Analisis Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Dalam Kasus Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Nomor 28 PDT-G 2015 MS-ACEH)

29

BAB II
PRAKTEK HIBAH BERSYARAT DI MASYARAKAT
KOTA BANDA ACEH
A. Tinjauan Umum Tentang Hibah
1.

Pengertian dan Dasar Hukum Hibah
Pengertian hibah banyak ditemukan dalam literatur Hukum Islam, namun

pada hakikatnya pengertian hibah adalah sama. Awal mula kata hibah secara
etimologi adalah bentuk masdar dari kata wahaba yang berarti pemberian,45
sedangkan hibah menurut istilah adalah akad yang pokok persoalannya, pemberian
harta milik orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa imbalan.46
Hibah didalam syara’ berarti akad yang pokok persoalannya pemberian harta
milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila
seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak
dibeikan kepadanya hak pemilikan, maka hal itu disebut i’areh (pinjaman).47
Hibah (pemberian atau hadiah) pemberian yang dilakukan secara sukarela
dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa mengharapkan balasan apapun.

Jumhur ulama mendefinisikan sebagai akad yang mengakibatkan pemilikan harta
tanpa ganti rugi yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain
secara sukarela.48

45

Ahmad warson munawir al-munawir, kamus arab Indonesia , Yogyakarta pondok pesantren
“Al-Munawir,” 1984, hal. 1692
46
Syayid Sabig, Fiqh Alsunnah, Juz III, Beirut: Dar Al-Fikir,1992, hal. 388
47
Mudzakir, Fiqih Sunnah jilid 14 Mua’mmalah, Bandung, Alma’arif, 1994, hal 167
48
Dahlan, Abdul Aziz, Hukum Islam Eksiklopedi, Jakarta, PT Ikrar Mandiri Abadi, 1999,
hal540

29

Universitas Sumatera Utara


30

Hibah dapat dilakukan kepada seorang anak yang masih berada dalam
kandungan Ibunya, sebuah bangunan masjid, sekolah atau pranata kebajikan yang
lainnya. Hibah dapat pula diperuntukkan kepada non muslim.49 Hibah juga dapat
diberikan kepada seseorang yang sekiranya berhak menjadi ahli waris, si penghibah
dapat menghibahkannya.50
Syariat Islam mengajarkan untuk berbuat baik dan saling tolong menolong
kepada sesama umat manusia seperti memberi makan orang miskin, berinfaq,
bersedekah, hibah dan lain sebagainya.
Dasar hukum hibah ini memiliki beberapa dasar dalam mengatur tentang
hibah, adapun dasar hukumnya adalah sebagai berikut ;
1.

Al-Quran
a. Surat Al Baqarah ayat 177
Artinya ; “Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetap sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang

miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan sholat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa.51

49

Abdur Rahman I. Do, Hudud dan Kewarisan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, cetakan
Pertama, 1996, hal 202
50
Masjfuk Zuhdi dalam Hazairin, Hukum kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1996,
hal 48
51
Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Rifa’I, Ikhtisar Tafsir, Maktabah Maarif Riyadh,
1989, hal37

Universitas Sumatera Utara


31

Memberikan harta kepada orang yang memerlukan apakah ia kaum kerabat
maupun yang lainnya seperti anak yatim, orang miskin, orang musafir,
peminta-minta dan sebagainya. Dalam hal ini menerangkan bahwa dengan
jalan hibah merupakan salah satu jalan kebaikan dalam bentuk membantu
sesama umat manusia.
b. Surat An-Nahl ayat 90 yang berbunyi;
Artinya ; “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran, mudahmudahan kamu mendapat peringatan.52
c. Surat Ali-Imran ayat 92 yang berbunyi;
Artinya ; “ Kamu sekali-sekali tidak sampai kebaikan yang sempurna,
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.53
2.

Hadist Rasulullah
a. Dari Abu Hurairah r.aa, bahwa Rasullullah SAW bersabda;
“hendaklah kalian saling memberi, maka kalian akan saling mencintai” (HR

al-Bukhari, an-Nasa’I, al-Hakim, dan al Baihaki).54

52
Departemen Agama R.I, Alquran dan terjemahannya, ajma Khadim Al-Haramain, Madinah,
1412H, hal 45
53
Ibid hal 102
54
Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adap Islam Menurut Al-Quran dan
Sunnah,Pustaka imam Asy-Syafi’I, Jakarta, 2007, hal 60

Universitas Sumatera Utara

32

Hadis ini menjelaskan bahwa setiap umat manusia harus saling memberi
sesama manusia dan dengan saling memberi tesebut dengan sendirinya karena
menumbuhkan rasa kasih sayang antar manusia, mampu memper erat tali
persahabatan antar manusia serta mampu mempererat hubungan persaudaraan.
Dengan adanya rasa saling memberi antar manusia maka menimbulkan

kecintaan antar umat manusia sehingga menghilangkan rasa saling benci antar
sesama dan menumbuhkan rasa persaudaraan yang makin erat antar sesama
manusia. Hal ini juga di anjurkan oleh Rasullulah saw bahwa menerima dan
membalas pemberian hadiah seseorang dengan ikhlas tanpa mengharapkan
imbalan apapun.
b. Dalam hadis Ahmad bahwa nabi saw bersabda:
“Barang siapa yang diberi saudaranya kebaikan dengan tidak berlebihan dan
tidak ia minta hendaklah ia terima, sesungguhnya yang demikian itu
pemberian yang diterimanya oleh Allah kepadanya’.55
Hadis ini menjelaskan bahwa setiap manusia tidak diperbolehkan menolak
suatu hadiah jika hadiahnya tersebut tidak merugikan si penerima hadiah, maka
hadiah tersebut haruslah diterimanya, karena hadiah tersebut merupakan rezeki yang
diberikan Allah kepadanya dan jika menolak hadiah tersebut bisa membuat
kekecewaan si pemberi hadiah tersebut, karena membuat kecewa sesama muslim
tidak baik baginya.

55

Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Attahiriyah, Jakarta, 1986, hal 312


Universitas Sumatera Utara

33

3.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata)
Hibah dalam Pasal 171 huruf g KHI yang menyatakan adalah pemberian suatu

benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang
masih hidup untuk dimiliki. Sedangkan dalam KUH Perdata juga mngatur tentang
Hibah seperti yang tersebut dalam Pasal 1666 dan Pasal 1667 KUH Perdata yang
menjelaskan bahwa Hibah itu hanya mengenai benda-benda yang sudah ada, jika
benda itu meliputi benda yang akan ada dikemudian hari, maka sekedar mengenai hal
ini hibahnya adalah batal. Beberapa ketentuan mengenai hibah:
1. Menurut Pasal 1666 KUH Perdata, hibah merupakan keperluan sepihak:
a.

Dilakukan dengan cuma-cuma : artinya tidak memerlukan suatu

pembayaran atau kompensasi dalam bentuk apapun.

b.

Dilakukan semasa hidupnya, sedangkan hibah yang dicantumkan dalam
surat Wasiat disebut Hibah Wasiat.

c.

Tidak dapat ditarik kembali oleh si pemberi hibah.

2. Menurut Pasal 1667 KUH Perdata, hanya dapat terjadi mengenai benda yang
sudah ada.
3. Menurut Pasal 1672 KUH Perdata, Dapat diperjanjikan bahwa pemberi hibah
akan berhak mengambil kembali hibahnya bila penerima hibah meninggal
dunia terlebih dahulu dari pemberi hibah. Hanya saja perjanjian yang emikian
hanya boleh bila untuk kepentingan penghibah sendiri.
4. Menurut Pasal 1682 KUH Perdata, pemberian harus dengan akta Notaris.

Universitas Sumatera Utara


34

5.

Menurut Pasal 1678 KUH Perdata, Hibah antara suami istri dilarang

6.

Menurut Pasal 1688 KUH Perdata, Hibah dapat ditarik kembali Jika:
a.

Karena tidak terpenuhi syarat-syarat mana penghibahan telah dilakukan.

b. Jika penerima hibah bersalah karena melakukan atau membantu
melakukan pembunuhan atas penghibah atau suatu kejahatan yang lain
terhadap si penghibah.
c.

Jika penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah kepada

sipenghibah, setelahnya penghibah jatuh miskin.

7.

Kuasa untuk menerima hibah harus dengan adanya akta otentik.

8.

Hibah yang berkaitan dengan tanah wajib dinyatakan dalam akta otentik yang
dibuat PPAT.

9.

Sebelum dilakukan hibah perlu dibayarnya pajak terlebih dahulu.

10. Cara perhitungan pajak hibah : (NJOP – NPOPTKP) x 5 %) x 50% khusus
untuk hibah dari garis keturunan verikal (orang tua ke anak maupun anak ke
orang tua). Sedangkan dari keluarga sedarah lainnya dan orang yang tidak
sedarah dihitung seperti menghitung pajak jual beli.
2.


Rukun dan Syarat Sahnya Hibah
Hibah itu sah melalui ijab dan qabul, suatu bentuk ijab-qabul yang ditujukan

oleh pemberi hibah tanpa mengharapkan imbalan apapun kepada penerima hibah.
Misalnya penghibah berkata : aku hibahkan kepadamu sedang pihak yang lain
berkata: Ya, aku terima. “Malik dan Asy-Syafi’i berpendapat, dipegangnya qabul
didalam hibah. Orang-orang Hanafi berpendapat bahwa ijab itu saja sudah cukup, dan

Universitas Sumatera Utara

35

itulah yang paling shahih. Sedangkan orang-orang Hanbali berpendapat: Hibah itu
sah dengan pemberian yang menunjukkan kepadanya; karena Nabi saw, diberi dan
memberikan hadiah. Begitu pula oleh para sahabat. Serta tidak dari mereka bahwa
mensyaratkan ijab qabul, dan yang serupa itu”.56
Menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat yaitu :
1. Pemberi Hibah (al-Wahib)
“Pemberi hibah, sekurang-kurangnya harus berumur 21 tahun, pembatasan

usia yang dilakukan KHI berdasarkan atas pertimbangan bahwa usia 21 tahun
telah dianggap cakap memiliki hak untuk menghibahkan hartanya kepada
orang lain. Orang yang telah cakap bertindak dapat mengetahui baik dan
buruk dari suatu perbuatan, dan sekaligus telah mempunyai pertimbangan
yang matang atas untung rugi perbuatannya menghibahkan sesuatu miliknya.
Selain itu penghibah haruslah berakal sehat, serta perbuatannya tersebut
haruslah berdasarkan kemauan sendiri bukan paksaan dari orang lain.57
2. Penerima Hibah (al-Mauhub lahu)
“Penerima hibah boleh kepada siapa saja asalkan dia mempunyai kemampuan
untuk memiliki harta dan mengelola harta, baik mukallaf ata bukan mukallaf.
Sekiranya penerima hibah bukan mukallaf seperti masih belum akil baligh
atau kurang sempurna akalnya hibah boleh diberikan kepada walinya atau
pemegang amanah bagi sipenerima. Penerima hibah mestilah menerima harta
yang dihibahkan dan mampu atas harta hibah tersebut. Dengan kata lain,
penguasaan dan kemampuan untuk mengelola harta hibah mestilah
disyaratkan kepada penerima hibah.58
3. Barang atau harta yang dihibahkan (Mauhub)
“Yang dimaksud barang yang dihibahkan merupakan jelas keberadaan
barangnya, jika barang yang dihibahkannya bukannlah miliknya pribadi
bahkan milik orang lain maka hibah tersebut batal, karena menghibahkan

56

Mudzakir, Op.Cit, hal 170 dan 171
Proyek Pembinaan Yustisial Mahkamah Agung RI, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia,
Mahkamah Agung RI, 1994, hal 105
58
Sayyid Sabiq I, Fiqh Al-SUnnah, al kitab al araby, Beirut, 1971, hal 176
57

Universitas Sumatera Utara

36

barang tersebut haruslah barang miliknya pribadi dan jelas akan keberadaan
barang tersebut.59
4. Ijab dan qabul
“Segala macam bentuk hibah tidak sah kecuali dengan ijab dan qabul, tidak

memiliki harta didalamnya melainkan dengan serah terima, serta tidak sah
serah terima tersebut kecuali dengan ijin pemberi hibah.60
Menurut Hukum Islam, sesuatu hibah itu sudah sah dengan adanya ijab dan
qabul, dengan perkataan atau apa-apa cara yang membawa arti memberi harta tanpa
balasan (‘iwad). Menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, penerimaan (qabul) itu
hendaklah dilafazkan dalam menentukan sah atau tidaknya sesuatu hibah.61
Penjelasan dari rukun hibah diatas dapat dijelaskan, apabila seseorang
menghibahkan hartanya maka haruslah miliknya pribadi bukanlah harta milik orang
lain atau milik bersama yang dihibahkannya, dan tidak diperkenankan terhadap anak
yang masih dibawah umur atau orang gila menghibahkan suatu hartanya kepada
orang lain karena hal tersebut tidak sah selain itu dalam hal sipenerima hibah harus
benar-benar orang yang masih hidup dan sehat dan jika penerima hibah masih anak
anak atau tidak berakal maka penerima hibah tersebut haruslah diwakili serta dengan
dilengkapi dengana adanya ijab dan qabul serta barang atau harta yang dihibahkan
merupakan harta yang ada.

59

Ahmad Bisyri Syakur, Op.Cit, hal 87
Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Kunci Fiqh Syafi’I, Cetakan Pertama, CV. Asy
Syifa, Semarang, 1992, hal 201
61
Wahbah Az Zuhayli, Fiqh Al Islam Waadillatuhu, Juz 9, Jakarta, darul fikir, 2011, Hal 42
60

Universitas Sumatera Utara

37

Mengenai hibahnya orang yang sedang jatuh pailit dan orang yang dibawah
pengampuan tidak

bisa bertindak hukum, maka para jumhur ulama tidak

memperselisihkannya lagi. Bila mereka berada berada dibawah pengampuan maka
hibah yang dilaksanakan itu tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum apa-apa.
Jika orang pailit dan orang gila tersebut menghibahkan hartanya, maka para ahli
warisnya atau pihak yang berkopeten dapat mencabut hibah yang telah dilaksanakan
tersebut.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah :
a.

Syarat- syarat bagi penghibah.
1. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah, dengan demikian tidaklah
sah menghibahkan barang milik orang lain
2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.
3. Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan
tidak kurang akal)
4. Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah, dengan demikian haruslah
sukarela.62

b.

Syarat-syarat penerima hibah
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu
hibah dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan benar-benar ada ialah orang
tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah ia anakanak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima
hibah, waalu bagaimanapun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan

62

Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta,
Sinar Grafika, 1996, Hal 115

Universitas Sumatera Utara

38

demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan
adalah tidak sah.63
c.

Syarat benda yang dihibahkan
Menyangkut benda yang dihibahkan haruslah memenuhi persyaratanpersyaratan sebagai berikut :
1. Benda tersebut benar-benar ada
2. Beda tersebut mempunyai nilai
3. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya
dapat dialihkan
4. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima
hibah.64
Pemberian hibah ini terdapat hal yang dicapai adalah akan menimbulkan

suasana yang akrab dan menimbulkan kasih sayang antar penerima dengan si pemberi
hibah serta dapat mempererat tali silaturahmi yang dimana merupakan anjuran dalam
agama.
3.

Bentuk-Bentuk Hibah
Adapun bentuk macam hibah lainnya yaitu:
1. Hibah Barang
2. Hibah Manfaat.65
Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang

mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya

63

Ibid, hal 115-116
Sayyid Sabiq, Op.Cit, hal 179
65
Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, Juz II, Mustofa al Baby Halaby wa Auladuh, Cairo, Mesir
cetakan ke-2 1960, hal 249
64

Universitas Sumatera Utara

39

tanpa ada harapan apapun. Seperti menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan
sebagainya.
Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan
harta tersebut atau manfaat barang yang dihibahkan itu, namun zat harta atau barang
itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si
penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri
dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah
muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka
waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
Hibah seumur hidup seperti seseorang memberikan tempat tinggal kepada
orang lain sepanjang hidupnya. Hibah seperti ini diperselisihkan oleh para ulama
dalam tiga pendapat:
1. Hibah tersebut merupakan hibah yang terputus sama sekali. Yakni bahwa
hibah tersebut adalah hibah terhadap pokok barangnya (ar-raqabah), pendapat
ini dikemukakan oleh Syafi’i, Abu Hanifah, ats-Tsauri, Ahmad, dan
sekelompok fuqaha lainnya.
2. Orang yang diberi hibah itu hanya memperoleh manfaatnya saja. Apabila
orang tersebut meninggal dunia, maka pokok barang tersebut kembali kepada
pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan
para pengikutnya, apabila dalam akad tersebut disebutkan keturunan
sedangkan keturunannya sudah tidak ada maka pokok barang tersebut kembali
kepada pemberi hibah atau ahli warisnya.

Universitas Sumatera Utara

40

3. Apabila pemberi hibah berkata “Barang ini, selama umurku masih ada,
untukmu dan keturunanmu”, maka barang tersebut menjadi milik orang yang
diberi hibah. Jika dalam akad tersebut tidak disebut-sebut soal keturunan,
maka sesudah meninggalnya orang yang diberi hibah, barang tersebut kembali
kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh
Dawud dan Abu Tsaur.66
Perbedaan pendapat ini berpangkal pada adanya beberapa hadist yang berbeda
dan pertentangan antara syarat dengan amal berlaku dalam hadis. Dalam hal ini
mempunyai dua hal :
a. Hadist yang disepakati yang diriwayatkan oleh Malik dari Jabir r.a bahwa
Rasulullah Saw bersabda:
“siapa saja yang memberikan hibah seumur hidup kepada orang lain dan
keturunannya, maka hibah tersebut menjadi milik orang yang diberinya itu,
tidak kembali kepada orang yang memberi selamanya.” (HR. Muslim dan
Nasai)67
b. Hadist Abu Zubair dari Jabir r.a. ia berkata:
Rasulullah Saw bersabda
“Wahai golongan Anshar, tahanlah untukmu hartamu, jangan kalian berikan
seumur hidup. Barangsiapa memberikan suatu pemberian sesuatu hidupnya,
maka sesuatu itu untuk orang yang diberi selama hidup (orang yang diberi)
dan sesudah matinya.” (HR. Ahmad dan Nasai)68
66

Abdul Rahman Al jaziri, Kitab Al Fiqh Ala Mazahib Al Arba’,Mathba’ah Tijariyah al
Kubra, Mesir, hal 322
67
Al Asqani, Bulughul Maram, Dar Alkitab, Al Araby Beirut, 1977 , hal 211
68
Ibid

Universitas Sumatera Utara

41

4.

Hikmah Hibah
Saling membantu dengan cara memberi, baik berbentuk hibah, shadaqah,

maupun hadiah dianjurkan oleh Allah dan rasul-Nya. Hikmah atau manfaat
disyari’atkannya hibah adalah sebagai berikut:
a. Memberi atau hibah dapat menghilangkan penyakit dengki, yakni penyakit
yang terdapat dalam hati dan dapat merusak nilai-nilai keimanan. Hibah
dilakukan sebagai penawar racun hati, yaitu dengki. Sebuah hadits yang
diriwayatkan Imam Bukhari dan Tirmidzi dari Abi Hurairah r.a. Nabi saw.
bersabda: Artinya:
“Beri-memberilah kamu, karena pemberian itu dapat menghilangkan sakit
hati (dengki).
b. Pemberian atau hibah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai
dan menyayangi.
c. Hadiah atau pemberian dapat menghilangkan rasa dendam.
5.

Hibah Orang Sakit dan Hibah Seluruh Harta
Apabila sesorang menghibahkan hartanya, sedangkan ia dalam keadaan sakit,

yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut
sama dengan hukum wasiatnya maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli
waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang
sebagai tidak sah, yaitu apabila para ahli waris mengingkarinya, sebab dikhawatirkan
ketika itu si penghibah melakukan penghibahan bukan lagi didasarkan kepada
sukarelaan, atau setidaknya dia tidak dapat lagi membedakan mana yang baik dan

Universitas Sumatera Utara

42

mana yang buruk. Namun sebaliknya apabila ahli waris mengakui kebenaran hibah
itu, maka hibah tersebut dipandang sah.
Menyangkut penghibahan seluruh harta, jumhur ulama berpendapat tidak sah
menghibahkan seluruh harta meskipun itu untuk kebaikan, karena menghibahkan
seluruh harta kepada seorang hali waris maupun orang lain dapat memicu
pertengkaran oleh ahli warisnya yang lain, oleh maka itu para jumhur ulama melarang
adanya penghibahan terhadap seluruh hartanya.69
Seperti diungkapkan oleh Sayid Sabiq bahwa hal ini sejalan dengan pendapat
pengarang kitab Ar-Raudhah An-Nadiyyah, yang menyatakan bahwa :
“Barangsiapa yang sanggup bersabar atas kemiskinan dan kekurangan harta,
maka tidak ada halangan baginya untuk menyedekahkan sebagian besar atau
semua hartanya. Dan barangsiapa yang menjaga dirinya dari meminta-minta
kepada manusia di waktu dia memerlukan, maka tidak halal baginya untuk
menyedekahkan semua atau sebagian besar hartanya.”70
Pendapat Muhammad Ibnul Hasan lebih bijaksana, karena orang yang
menghibahkan seluruh hartanya merupakan orang yang dianggap dalam keadaan
dungu (kurang sehat) yang dimana tidak cakap hukum dalam melakukan suatu
tindakan hukumnya. Dengan sendirinya menghibahkan seluruh harta tersebut
dipandang batal, sebab dia tidak memenuhi syarat untuk melakukan penghibahan.
Jika dikaitkan dengan kemaslahatan pihak keluarga dan ahli warisnya, sebab
dalam syariat Islam diperintahkan agar setiap pribadi itu menjaga diri dan
keluarganya dari siksaan api neraka, dengan sendirinya ada kewajiban untuk
69

Abd Shomad, Hukum Islam : Panorama Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia Edisi
Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hal 347
70
Sayyid Sabiq, Op.Cit, hal 173

Universitas Sumatera Utara

43

mensejahterakan sanak keluarganya ke gerbang kekafiran, sebab fakir itu merupakan
salah satu penyebab kekafiran.
Adapun menyangkut pemberian kepada anak-anak, dapat dikemukakan bahwa
dalam melakukan pemberian haruslah berlaku adil, tidak pilih kasih, sebab perbuatan
seperti ini akan menyebabkan timbulnya perselisihan di antara keluarga. Dengan
sendirinya perbuatan yang melahirkan perselisihan dipandang sebagai perbuatan yang
batil, dan memperbuat yang batil adalah harm (perbuatan dosa). Hal ini didasarkan
kepada ketetntuan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda, yang artinya berbunyi sebagai berikut:71
“Persamakanlah di antara anak-anakmu di dalam pemberian. Seandainya aku
hendak melebihkan seseorang, tentulah aku lebihkan anak-anak perempuan”.
Pemberian harta oleh orang tua terhadap anaknya harus adil dan tidak adanya
suatu ketidakadilan yang diterima oleh salah satu anaknya dan jika kehendak
melebihkan suatu pemberian maka diberikanlah kepada anak perempuan karena
dalam hal ini kebanyakan pada umumnya anak perempuanlah yang akan merawat
orang tuanya sampai orang tuanya meninggal dunia.
B. Prosedur Hibah yang berlaku di Aceh
Menurut keterangan informan adapun dokumen persyaratan untuk melakukan
hibah tersebut adalah:
1. Surat Pernyataan Hibah dari suami/isteri.
2. Surat Pernyataan Persetujuan/Kerelaan dari suami/isteri.
3. Surat Pernyataan Persetujuan/Kerelaan dari anak-anak lain.
71

Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Op. Cit, hal 119

Universitas Sumatera Utara

44

4. Fotocopy KTP Suami Isteri Pemberi Hibah.
5. Fotocopy KTP dari anak-anak lain Pemberi Hibah.
6. Fotocopy Surat Nikah/Akta Perkawinan Pemberi Hibah.
7. Fotocopy Kartu Keluarga.
8. Fotocopy Surat Kematian Suami/Isteri Pemberi Hibah (jika Suami/Isteri sudah
meninggal dunia).
9. Fotocopy KTP penerima Hibah.
10.Fotocopy Akta Kelahiran penerima Hibah. Jika harta yang akan dihibahkan
tersebut adalah tanah, maka harus disertakan:
1. Sertipikat Asli dan Fotocopy.
2. Akta Hibah dari PPAT.
3. Bukti Pembayaran Pajak penerimaan Hibah (BPHTB).
4. Formulir Permohonan Pendaftaran Hibah.
5. Formulir Permohonan Pengukuran.
6. Surat Pernyataan Menerima Hasil Ukur.
7. Surat Kuasa untuk pengurusan Hibah dan pengambilan Sertipikat.
8. Fotocopy KTP penerima kuasa yang telah dilegalisir.72
Jika di dalam KUH Perdata secara tegas adanya ketentuan akta hibah harus
dibuat di hadapan Notaris. Sedangkan di dalam KHI, sebagaimana ditentukan Pasal
210 bahwa orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat
tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Jadi
dalam KHI hanya dinyatakan bahwa hibah tersebut harus dilakukan di hadapan dua
orang saksi untuk dimiliki, tidak secara tegas harus dilakukan tertulis. Dari ketentuan
KHI hibah dibuat dihadapan dua orang saksi, maka hal ini sebenarnya menunjukkan
hibah tersebut harus dilakukan secara tertulis, namun tidak diharuskan hibah itu
dilakukan di hadapan notaris. Jadi dapat saja hibah itu dilakukan dengan akta di
bawah tangan.

72

Hasil wawancara dengan Bapak Teuku Irwansyah, Notaris di Kota Banda Aceh, tanggal 18
April 2016 di Banda Aceh

Universitas Sumatera Utara

45

Menurut keterangan informan dari Kantor Notaris di Kota Banda Aceh,
sebaiknya akta hibah itu dibuat secara akta otentik (akta Notaris), walaupun akta
hibah secara di bawah tangan itu adalah sah, namun akta hibah secara di bawah
tangan itu bukan sebagai alat bukti yang sempurna di depan pengadilan. Sedangkan
akta hibah yang dibuat secara akta notaris adalah sebagai akta otentik yang
mempunyai kekuatan pembuktian sempurna di depan pengadilan. 73
Hal senada juga dikemukakan informan dari Mahkamah Syariah Provinsi
Aceh, yang menyatakan hibah yang tidak dibuat dengan akta notaris, dalam sidang
pembuktian di Pengadilan Agama, apabila ternyata perolehan harta hibah tersebut
hanya berdasarkan lisan dengan didukung keterangan saksi-saksi atau secara tertulis
di bawah tangan, maka majelis hakim akan menilainya sebagai bukti akta di bawah
tangan, karena tidak dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau
di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, dimana kekuatan
pembuktiannya tidak sama dengan bukti akta otentik.74
Oleh karena itu, hibah yang dibuat secara di bawah tangan untuk dapat
dijadikan bukti yang kuat (otentik) di pengadilan, maka akta hibah secara di bawah
tangan tersebut harus mendapatkan penetapan dari pengadilan. Penetapan pengadilan
adalah sebagai akta otentik. Setiap produk yang diterbitkan hakim atau pengadilan
dalam menyelesaikan permasalahan yang diajukan kepadanya, dengan sendirinya

73

Hasil wawancara dengan Bapak Teuku Irwansyah, Notaris di Kota Banda Aceh, tanggal 18
April 2016 di Banda Aceh
74
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Abd Manan Hasyim , Hakim Mahkamah Syariah
Provinsi Aceh, tanggal 4 April 2016 di Banda Aceh

Universitas Sumatera Utara

46

merupakan akta otentik, yaitu merupakan akta resmi yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang untuk itu.75
Mengenai penetapan pengadilan atas akta hibah yang dibuat dengan adanya
akta ini, sebagaimana terlihat pada kasus Penetapan Mahkamah Syariah Aceh Nomor:
28/Pdt.G/2015/MS- Aceh. Di mana dalam kasus ini pemohon adalah si penerima
hibah sementara yang memberikan adalah orang tua prmohon.
Prosedur hibah yang berlaku di masyarakat aceh sama halnya seperti praktek
hibah pada umumnya, namun dalam hal ini adanya hibah bersyarat yang digunakan
pada praktek masyarakat di Banda Aceh, yang mana praktek tersebut sudah menjadi
kebiasaan masyarakat di Banda Aceh, dan praktek hibah bersyarat yang dilakukan
oleh masyarakat Banda Aceh tidak dicantumkan syarat nya dalam sebuah akta karena
hibah bersyarat tersebut tidak dibenarkan atau tidak pernah diatur dalam hukum
manapun.
C. Praktek Hibah Bersyarat di Banda Aceh
Hibah atau "peunulang" dalam bahasa Aceh, sudah dikenal rakyat Aceh sejak
dahulu. Lazimnya, hibah dari seorang ayah atau seorang ibu kepada anaknya,
diberikan sewaktu ia masih hidup yang dilakukan dihadapan Keuchik (Kepala Desa),
Teungku Meunasah (Ustad) dan Tuha Peut (orang tua yang dituakan) dari kampung
tempat tinggalnya. Hibah itu dilaksanakan setelah mereka memakan kenduri (jamuan
makan) yang diadakan oleh pemberi hibah dirumahnya, setelah ibadah Sholat
Magrib.76
75

76

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hal 199

Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudajaan Provinsi Daerah
Istimewa Atjeh, Atjeh, 1970, hal 179

Universitas Sumatera Utara

47

Harta pemberian ini yang besarnya tidak boleh lebih dari sepertiga dari harga
harta semuanya, mulai saat itu tidak termasuk kedalam harta lain yang akan menjadi
harta pusaka dari pemberi hibah itu, bilamana ia meninggal dunia kelak. Hibah ini
sudah dianggap sah oleh Adat Aceh, sementara pemeliharaannya sudah menjadi
tanggungan dari yang menerima hibah. Pemberian hibah seharusnya dilakukan di
hadapan notaris, akan tetapi ada pula hibah yang dilakukan dibawah tangan,
pemberiannya diikrarkan oleh pemberi hibah dihadapan Keuchik (Kepala Desa),
Teungku Meunasah (Ustad) dan Tuha Peut (orang tua yang dituakan) kampung
tersebut. Pembesar-pembesar kampung ini menyelidiki apakah harta-harta yang
dihibahkan itu benar kepunyaan pemberi hibah.77
Harta orang lain tidak dibenarkan Adat Aceh untuk dihibahkan. Biasanya
hibah itu diberikan kepada anak perempuan yang terdiri dari rumah sebagai
penegasan, dengan pekarangannya, barang perhiasan emas dan sebagainya. Meskipun
rumah tidak dihibahkan, tetapi menjadi hak anak perempuan, jika ayahnya meninggal
dunia, begitu juga pekarangannya. Anak laki-laki tidak boleh membantah
orangtuanya mengenai pemberian hibah kepada saudara perempuannya, disebabkan
dalam kebiasaan masyarakat Aceh pemberian hibah kepada anak perempuan
dimaksudkan sebagai bentuk kasih sayang orang tua kepada anak perempuannya
karena peutimang (menjaga) orang tuannya.
Pemberian

hibah

biasanya

dilakukan

dalam

masyarakat,

dengan

menghibahkan, tanah kebun atau emas kepada anak-anaknya atau anak angkat atau
77

Ibid

Universitas Sumatera Utara

48

orang lain yang mempunyai jasa kerja kepada pemberi hibah yang dilakukan
dihadapan Keuchik (kepala desa) dan Tuha peut (orang yang dituakan).78
Aceh dulunya tidak mengenal Penarikan hibah, karena orang merasa malu
berbuat demikian. Untuk hal ini orang Aceh mempunyai suatu istilah "pike beu habeh
bek teulah dudoe" artinya fikir matang - matang, jangan sampai menyesal dikemudian
hari. Pernah ada orang Aceh menghibahkan sesuatu kepada seseorang yang sudah
berjasa terhadapnya dan hibah tersebut ditentang oleh ahli warisnya, namun hibah
tersebut tetap tidak dibatalkan karena memalukan pihak pemberi hibah. 79
Selain hibah pada umumnya juga mengenal dengan adanya hibah bersyarat
yang diantaranya berupa hibah mu’ajjalah atau hibah bertempo, hibah ‘ariyah atau
hibah pinjaman, hibah minhah atau hibah pemberian, serta dapat dilihat macammacam hibah itu sebagai hal tersebut di bawah ini:80
1) Hibah Al ‘Umra bermaksud pemberian semasa masih hidup penerima hibah atau
pemberi hibah dengan syarat harta tersebut dikembalikan setelah kematian
penerima hibah, ijab qabulnya sebagai berikut “kuberikan benda ini kepadamu
selama kamu masih hidup, jika kamu mati sebelum saya, benda kembali kepada
saya”, jadi hibah bersyarat dalam bentuk bahwa seseorang dibolehkan memiliki
sesuatu yang semula milik penghibah selama penerima hibah masih hidup. Bila
penerima hibah meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikembalikan kepada

78

Badrulzaman Ismail, Op.Cit, hal 261
Moehammad Hoesin, Op.Cit
80
Abdul manan , Op.Cit, hal 141 - 143
79

Universitas Sumatera Utara

49

pihak penghibah. Jenis transaksi ini lebih tepat disebut sebagai ariah (pinjaman)
dan hal ini boleh dilakukan.81
Al-‘umra juga bermaksud suatu pemberian yang bersifat sementara yang
merujuk kepada salah seorang pemberi hibah atau penerima hibah. Sekiranya
penerima hibah meninggal dunia maka harta yang dihibahkan itu dikembalikan
kepada pemberi hibah. Sebaliknya, jika pemberi hibah meninggal dunia maka harta
hibah akan dikembalikan kepada ahli waris pemberi hibah.
Sebahagian daripada fuqaha Maazhab Hanbali, Imam Malik, Imam al-Zuhri,
Abu Thur dan fuqaha lain serta qawl al-qadim Imam Syafie berpendapat bahwa hibah
‘umra adalah harus dan syaratnya sah jika tidak dinyatakan oleh pemberi hibah
bahwa harta yang dihibahkan akan menjadi milik waris penerima hibah setelah
kematian penerima hibah. Ini bermakna harta hibah akan kembali kepada pemberi
hibah setelah kematian penerima hibah.82
2) Hibah al-ruqba adalah suatu pemberian dengan syarat kematian salah satu pihak
pemberi hibah atau penerima hibah sebagai syarat kepemilikan barang yang
dihibahkan kepada salah satu pihak yang masih hidup, ijab qabulnya sebagai
berikut “Jika kamu meninggal sebelumku maka benda ini kembali kepadaku,
sedangkan jika aku meninggal sebelum kamu maka benda ini menjadi
milikmu”.83

81

Abu Bakar Jabir El- Jaziri, Op.Cit, hal 158
Abdul manan , Op.Cit, hal 141 - 143
83
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, PT. Raja Gtafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 215
82

Universitas Sumatera Utara

50

Al-Ruqba juga bermaksud suatu pemberian bersyarat yang ditentukan oleh
pemberi hibah, di mana harta hibah akan menjadi milik penerima hibah sekiranya
pemberi hibah meninggal dunia. Tetapi jika penerima hibah meninggal dunia sebelum
pemberi hibah maka harta hibah akan kembali kepada pemberi hibah. Misalnya
seseorang penghibah berkata bahwa "rumah ini diberikan kepadamu dan akan
menjadi milikmu bila aku mati terlebih dahulu, ini berarti bila pihak yang menerima
hibah meninggal dunia terlebih dahulu maka benda yang dihibahkan tersebut kembali
kepada pihak penghibah.
Al-Ruqba juga bermaksud suatu pemberian bersyarat yang ditentukan oleh
pemberi hibah, di mana harta hibah akan menjadi milik penerima hibah sekiranya
pemberi hibah meninggal dunia. Tetapi jika penerima hibah meninggal dunia sebelum
pemberi hibah maka harta hibah akan kembali kepada pemberi hibah.
Fuqaha sepakat tidak mengharuskan hibah yang disyaratkan pemilikannya
akan terlaksana pada masa yang akan datang. Jumhur ulama berpendapat hibah yang
bersifat sementara seperti hibah ‘umra dan ruqba adalah sah akan tetapi syaratnya
dibatalkan. Jumhur Ulama berpendapat bahwa jika syarat itu terpakai maka akan
bertentangan dengan akad hibah itu sendiri.84
Sementara pendapat lain mengambil pendekatan bahawa hibah yang bersifat
sementara pada hakikatnya bukanlah hibah tetapi ia adalah ‘ariyah (peminjaman).
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengharuskan hibah ‘umra tetapi tidak
mengharuskan hibah ruqba. Pandangan mereka adalah dengan berpedoman kepada
84

Abdul manan , Op.Cit, hal 143

Universitas Sumatera Utara

51

hadis Rasulullah SAW yang telah mengharuskan hibah ‘umra dan membatalkan
hibah ruqba. Namun hadis ini dikritik oleh Imam Ahmad kerana ia tidak diketahui
keabsahannya. Mereka juga berpendapat bahawa hibah ruqba ialah hibah ta’liq ke
atas sesuatu yang tidak jelas dari segi waktu yang terlaksanakan.85
Dapat dirumuskan bahwa antara isu penting yang membawa perbedaan
pandangan di kalangan fuqaha. tentang hibah ‘umra dan hibah ruqba adalah
bertumpu kepada unsur hibah yang bersifat sementara dan hibah sesuatu yang
dita’liqkan kepada seseorang. Kedua hal ini telah menimbulkan reaksi yang berbeda
di kalangan fuqaha. Mazhab yang mengatakan hibah ‘umra dan hibah ruqba tidak
diharuskan adalah dengan berpedoman kepada hadis Rasulullah SAW: Maksudnya:
“Janganlah kamu memberi (hibah) sama ada secara ‘umra atau ruqba”. (Riwayat
Muslim).
Kedua jenis hibah ini tidak diperkenankan, karena hak milik atas benda yang
dihibahkan seharusnya sudah berpindah bila sudah diucapkan qabul dan benda telah
berada di tangan pihak yang diberi. Jadi hibah yang disertai syarat, syaratnya itu tidak
sah, dianggap hibah tanpa syarat.
Hibah umra dan hibah ruqba merupakan hibah bersyarat dengan adanya
kematian maka syarat tersebut terjadi, sedangkan di Banda Aceh kedua jenis hibah ini
tidak dipergunakan oleh masyarakat Banda Aceh, karena di Banda Aceh lebih
mengenal hibah bersyarat seperti adanya pemberian hibah dengan pembatasan
penggunaan barang oleh pihak penghibah atau adanya syarat seperti peutimang
85

Mudzakir, Op.Cit, hal 189

Universitas Sumatera Utara

52

(merawat) pemberi hibah oleh penerima hibah hingga akhir hayatnya, sedangkan
hibah umra dan hibah ruqba merupakan hibah terjadinya persyaratan tersebut setelah
adanya kematian.
Hibah bersyarat terjadi apabila hibah dikaitkan dengan sesuatu syarat, seperti
syarat pembatasan penggunaan barang oleh pihak penghibah kepada penerima hibah,
maka syarat tersebut tidak sah, sekalipun hibahnya itu sendiri sah.86
Pemberian Hibah bersyarat, apabila syaratnya tidak terpenuhi maka hibah
tersebut ditarik kembali, syarat tersebut jelas bertentangan dengan makna hibah
sebenarnya yang merupakan pemberian secara cuma-cuma dan ikhlas tanpa
mengharapkan imbalan apapun.
Ditemukan dalam Ilmu Fiqh bahwa macam hibah selain yang disebutkan itu,
masih ada bentuk lain, yaitu: maradhul maut. Hibah ini boleh dilakukan bila orang
yang maradhul maut dalam keadaan sempurna mukallaf-nya.87
Hibah bersyarat pada hakikatnya tidak diatur dalam hukum manapun, namun
pada saat ini masyarakat Kota Banda Aceh memakai hibah bersyarat pada praktek
pemberian hibah sehari-hari, walaupun pada kenyataannya tidak ada satu aturan
hukum pun yang mengatur hibah bersyarat tersebut, dan merupakan suatu kebiasaan
yang digunakan oleh masyarakat sampai saat ini.
Aplikasi hibah bertujuan untuk jaminan ketenangan hati dan kedua pihak
penerima hibah maupun pemberi hibah. Pengurusan harta yang benar-benar
86

Helmi karim, Fiqh Muammalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, cetakan ke 2, 1997,

87

Asymuni A. Rahman, dkk., Ilmu Fiqh, 1986, hal. 206.

hal 78

Universitas Sumatera Utara

53

mengikuti syarak yang diperlukan demi menjamin kebaikan hidup dunia dan akhirat.
Apabila hibah dikaitkan dengan suatu syarat seperti syarat pembatasan penggunaan
barang oleh pihak penghibah kepada pihak penerima hibah, maka syarat tersebut
tidak sah sekalipun hibahnya itu sendiri sah. Seperti seorang yang menghibahkan
sebidang tanah kepada orang lain dengan syarat pihak penerima hibah tidak boleh
mengharap tanah tersebut tanpa seizin pihak penghibah, persyaratan yang demikian
jelas bertentangan dengan prinsip hibah.
Hibah bersyarat sampai saat ini masih digunakan dalam masyarakat Kota
Banda Aceh yang mana menjadi hal sudah terbiasa telah terjadi dalam lingkungan
masyarakat Kota Banda Aceh, hibah bersyarat tersebut tidak ada aturan atau hukum
yang mengatur tentang hibah bersyarat tersebut.
Menurut pendapat informan hal ini seharusnya adanya sosialisasi yang
dilakukan pihak pemerintah untuk melakukan pengetahuan tentang hal hibah,
khususnya tentang pembatalan hibah, untuk menjelaskan pada masyarakat bahwa
hibah bersyarat itu tidak ada aturan dalam hukum tertulis dan jika dilakukannya suatu
gugatan ke pengadilan maka hibah bersyarat tersebut akan ditolak oleh pihak
pengadilan dan sosialisasi tersebut juga didukung oleh pihak pengadilan agama
setempat yang dimana di Aceh disebut Mahkamah Syariah.88
1.

Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Hibah Bersyarat di Kota Banda Aceh
Hibah bersyarat yang dilakukan oleh masyarakat Kota Banda Aceh pada

umumnya dikarenakan oleh suatu tujuan, bahwa untuk memberikan suatu imbalan

88

Hasil wawancara dengan Bapak Abd Latief, Panitra Muda Mahkamah Syariah provinsi
Aceh , tanggal 4 April 2016 di Banda Aceh

Universitas Sumatera Utara

54

terhadap si penerima hibah tersebut karena si penerima hibah mempunyai suatu jasa
ataupun akan menjanjikan suatu jasa seperti yang terjadi pada kasus pembatalan
hibah di mahkamah syariah Aceh yang mana pemberian hibah dengan syarat
menjadikan hibah tersebut merupakan harta peutimang (peganti biaya hidup) si
pemberi hibah.
Faktor penyebab terjadinya hibah bersyarat di Kota Banda Aceh terjadi karena
adanya kebiasaan masyarakat Kota Banda Aceh memberikan hibah dengan memakai
persyaratan tertentu untuk:
1. Menjaga harta yang dihibahkannya dapat dipergunakan untuk suatu
kemanfaatan pemberi hibah dan penerima hibah.
2. Tidak terjadi penyalahgunaan harta yang dihibahkan oleh penerima hibah
3. Sebagai pengganti biaya hidup selama merawat pemberi hibah oleh penerima
hibah89
Seperti yang terjadi pada masyarakat Kota Banda Aceh, pemberian hibah
bersyarat sering terjadi terhadap anak perempuan yang diberikan suatu hibah oleh
orang tuanya, dan hibah tersebut telah disetujui oleh pihak ahli waris lainnya, karena
dalam masyarakat Kota Banda Aceh anak perempuan dalam kebiasaanya bertugas
menjaga orang tuanya sampai orang tuanya meninggal dunia, dengan jasanya tersebut
maka terhadap anak perempuan diberikanlah suatu harta melalui hibah, walaupun
sebagaian yang terjadi dalam masyarakat di Kota Banda Aceh pemberian hibah
tersebut memiliki syarat dan syarat tersebut sering dilaksanakan secara lisan.90

89

Hasil wawancara dengan Bapak Abd Latief, Panitra Muda Mahkamah Syariah provinsi
Aceh , tanggal 4 April 2016 di Banda Aceh
90
Hasil wawancara dengan Bapak Abd Latief, Panitra Muda Mahkamah Syariah provinsi
Aceh , tanggal 4 April 2016 di Banda Aceh

Universitas Sumatera Utara

55

2.

Tujuan Terjadinya Hibah Bersyarat di Kota Banda Aceh
Hibah bersyarat terjadi karena untuk menjaga harta hibah, supaya hibah yang

diberikan oleh pemberi hibah tidak dipergunakan untuk hal yang dilarang agama oleh
penerima hibah, karena itulah masyarakat Banda Aceh masih menggunakan hibah
bersyarat agar harta yang dihibahkan tersebut tercapai dengan tujuan sipemberi hibah
memberikan hibah tersebut kepada penerima hibah, adapun selain untuk mencegah
terjadinya penggunaan harta yang dihibahkan ke sembarang tempat juga untuk
menjaga si pemberi hibah terhadap harta yang telah di hibahkannya atau disebut juga
harta peutimang (peganti biaya hidup), yang bertujuan untuk menjaga si pemberi
hibah oleh penerima hibah sampai akhir hayatnya.91
Kebiasaan Hibah bersyarat yang terjadi di Kota Banda Aceh yaitu antara
orang tua terhadap anaknya, karena untuk suatu jasa yang diberikan orang tua
terhadap anaknya yang sudah merawatnya. Akan tetapi hibah bersyarat tersebut tidak
mempunyai suatu aturan hukum yang mengaturnya, masyarakat Kota Banda Aceh
menggunakan hibah bersyarat tersebut dari kebiasaan para terdahulunya yang sampai
sekarang sudah menjadi sebuah kebiasaan.92
3.

Akibat Hukum Hibah Bersyarat di Aceh
Penarikan hibah yang telah diberikan oleh pemberi hibah kepada penerima

hibah dapat menimbulkan terputusnya tali silaturahmi antara penerima hibah dengan

91

Hasil wawancara dengan Bapak Abd Latief, Panitra Muda Mahkamah Syariah provinsi
Aceh , tanggal 4 April 2016 di Banda Aceh
92
Hasil wawancara dengan Bapak Abd Manan Hasyim, Majelis Hakim Mahkamah Syariah
provinsi Aceh , tanggal 4 April 2016 di Banda Aceh

Universitas Sumatera Utara

56

pemberi hibah yang dikarenakan penarikan hibah yang telah diberikan tersebut. Jika
pemberian hibah tersebut terjadi dengan tidak adanya hubungan darah seperti antara
orang tua dengan anaknya maka penarikan tersebut tidak akan pernah bisa terjadi,
walaupun syarat yang telah diberikan sipemberi hibah tidak ditepati oleh penerima
hibah, maka dapat menimbulkan selisih paham antara keduanya sehingga terputuslah
tali silaturahim pemberi hibah dengan penerima hibah.93
Sedangkan jika hibah bersyarat tersebut terjadi antara orang tua tehadap
anaknya maka dengan adanya pencabutan hibah tersebut akan menimbulkan selisih
paham antara orang tua dengan anaknya, walaupun dalam KHI Pasal 212 yang
menyebutkan bahwa pembatalan hibah hanya boleh terjadi antara orag tua terhadap
anaknya, dengan pembatalan hibah tersebut dapat menimbulkan perpecahan antara
keluarga seperti, dikeluarkan dari rumah atau bahkan dikeluarkan dari akta keluarga
yang mengakibatkan kedurhakaan seorang anak terhadap orang tuanya.

93

Hasil wawancara dengan Bapak Abd Latief, Panitra Muda Mahkamah Syariah provinsi
Aceh , tanggal 4 April 2016 di Banda Aceh

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Penuntutan Pengembalian Mahar Akibat Perceraian (Studi Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh)

8 60 128

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Pelaksanaan qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang khalwat di Aceh: studi putusan Mahkamah Syar’iyyah Tahun 2010 di Provinsi Aceh

1 8 145

Pelaksanaan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat di Aceh (Studi Putusan Mahkamah Syar'iyyah Tahun 2010 di Provinsi Aceh)

0 7 145

Analisis Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Dalam Kasus Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Nomor 28 PDT-G 2015 MS-ACEH)

0 0 15

Analisis Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Dalam Kasus Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Nomor 28 PDT-G 2015 MS-ACEH)

0 0 2

Analisis Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Dalam Kasus Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Nomor 28 PDT-G 2015 MS-ACEH)

0 0 28

Analisis Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Dalam Kasus Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Nomor 28 PDT-G 2015 MS-ACEH) Chapter III V

0 0 50

Analisis Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Dalam Kasus Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Nomor 28 PDT-G 2015 MS-ACEH)

0 0 5