Analisis Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Dalam Kasus Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Nomor 28 PDT-G 2015 MS-ACEH)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hukum tentang harta sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia. Semua manusia pasti mengalami peristiwa kehidupan yang lazim dalam
dunia ini yang dapat disebut juga meninggal dunia, semua manusia yang meninggal
dunia pasti meninggalkan harta warisannya yang diturunkan kepada ahli warisnya.
Harta sangat banyak fungsinya bagi manusia jika dilihat dari segi kehidupan
saat ini, harta dapat menunjang kegiatan manusia baik dalam kegiatan yang baik
maupun yang buruk karena manusia memang cenderung seperti itu. Kecenderungan
di atas, tidak jarang mendorong manusia untuk menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan harta kekayaan. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk
memiliki dan menguasainya.
Kasus mengenai harta menjadi pemicu terjadinya pertengkaran, perpecahan,
terputusnya tali silaturahmi, bahkan pertumpahan darah dalam sebuah keluarga. Hal
ini terjadi yang dikarenakan akibat kezhaliman dan ketidakadilan dalam
pembagiannya. Terkadang seseorang berwasiat bahwa sepeninggalannya seluruh
hartanya dia wariskan kepada salah seorang anaknya saja, atau seluruh anaknya,
namun dengan porsi yang ditentukan semaunya bukan porsi yang telah ditetapkan
dalam Hukum Islam atau terkadang dikuasai secara paksa oleh sebagian anggota


1

Universitas Sumatera Utara

2

keluarganya sehingga sebagian keluarga yang lain tidak mendapatkan apa-apa. Oleh
karena itu perkara yang satu ini mendapat perhatian lebih di dalam Islam.
Masyarakat didunia masih banyak yang menilai bahwa Islam hanya berlaku
dilapangan peribadatan saja, padahal itu diturunkan untuk kemaslahatan seluruh umat
manusia di dunia dan berlaku mutlak untuk seluruh aspek kehidupan manusia, baik
dibidang ibadah maupun di bidang muammalah.1
Islam adalah agama yang mengatur semua sisi kehidupan. Semua sisi
kehidupan telah diatur secara tegas dan jelas dalam Islam, tidak ada suatu masalah
apapun dalam kehidupan ini yang tidak diatur dalam Islam secara tegas dan jelas.
Salah satu bentuk taqarrub (membangun kedekatan diri kepada Allah SWT)
dalam rangka

mempersempit kesenjangan sosial serta menumbuhkan rasa


kesetiakawanan dan kepedulian sosial adalah hibah atau pemberian. Hibah ialah
shadaqah yang dilakukan dengan harta atau barang mubah yang dimilikinya, hibah
seperti hadiah keduanya disunatkan, karena keduanya merupakan kebaikan yang
sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.2 Jika dilihat dari aspek vertical (hubungan
antara manusia dengan Tuhan) memiliki dimensi taqarrub, artinya ia dapat
meningkatkan keimanan dan ketakwaan seseorang. Semakin banyak berdermawan
dan bershadaqah akan semakin memperkuat dan memperkokoh keimanan dan
ketakwaan.

1

M. Hasballah Thaib. Syahril Sofyan.”Teknik Pembuatan Akta Penyelesaian Warisan
Menurut Hukum waris Islam di Indonesia. Citapustaka Media: Bandung 2014. hal l5
2
Abu Bakar Jabir El-Jazairi. “Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim) Mu’amalah”, PT
Remaja Rosdikarya: Bandung 1991. hal 153

Universitas Sumatera Utara


3

Dilihat dari sudut lainnya, hibah juga mempunyai aspek horizontal (hubungan
antara sesama manusia serta lingkungannya) yaitu dapat berfungsi sebagai upaya
mengurangi kesenjangan antara kaum yang berpunya dengan kaum yang tidak punya,
antara si kaya dan si miskin, serta menghilangkan rasa kecemburuan sosial.
Selain itu, hibah juga berfungsi sebagai fungsi sosial karena hibah dapat
diberikan kepada siapa saja tanpa mengenal ras, agama dan golongan, maka hibah
dapat dijadikan solusi untuk memecahkan problem hukum waris dewasa ini.
Awal mulanya kata hibah itu diambil dari kata-kata “hubuuburriih” artinya
“nuruuruha” yang berarti perjalanan angin. Dalam perkembangan lebih lanjut
dipakai kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta
maupun selainnya. Di dalam syariat Islam, hibah berarti akad yang pokoknya adalah
pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup tanpa
adanya imbalan apapun.3
Selain dalam Hukum Islam di KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata) yang selanjutnya disebut KUH Perdata juga mengatur tentang hibah, hibah
disebut schenking yang berarti suatu persetujuan dengan sipemberi hibah diwaktu
hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak ditarik kembali, menyerahkan sesuatu
benda guna keperluan sipenerima hibah untuk digunakan sebagai layaknya milik

pribadi. Dalam KUH Perdata, sama sekali tidak mengakui lain-lain hibah, kecuali
hibah di antara orang-orang yang masih hidup. Hibah itu hanya mengenal benda-

3

Abdul Manan,”Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia”, Prenada Media Group,
Jakarta, 2006, hal 131

Universitas Sumatera Utara

4

benda yang sudah ada, jika benda itu meliputi benda yang akan ada dikemudian hari,
maka sekedar mengenai hal ini hibahnya adalah batal.4
Setiap orang boleh memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah, kecuali
oleh aturan perundang-undangan dinyatakan tidak cakap untuk itu. Agar orang-orang
yang menerima hibah itu dapat menerima keuntungan dari suatu hibah, maka si
penerima hibah itu harus ada pada saat pemberian hibah itu, dengan mengindahkan
peraturan yang tercantum dalam Pasal 2 KUH Perdata.5
Hibah adalah pemberian seseorang kepada ahli warisnya, sahabat-sahabatnya

atau kepada urusan umum, sebagian daripada hartanya atau semuanya sebelum ia
meninggal.6 Pengertian ini adalah hibah khusus. Sedangkan hibah umum meliputi
hal-hal sebagai berikut;
1. Ibraa artinya menghibahkan hartanya kepada orang yang berhutang.
2. Sadaqah artinya menghibahkan sesuatu dengan mendapatkan pahala di hari
kiamat.
3. Hadiah artinya imbalan yang diberikan seseorang karena dia telah
mendapatkan hibah.7
Jumhur ulama mendefinisikannya sebagai akad yang mengakibatkan
pemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup
kepada orang lain secara sukarela. Ulama Mazhab Hanbali mendefinisikannya
4

Ibid, hal 132
Ibid
6
Mukhlis Lubis, Mahmun Zulkifli, ”Ilmu Pembagian Waris”, Cita Pustaka Media, Bandung
2014, hal 153
7
M.Hasballah Thaib, ”Perbandingan Mazhab Dalam Ilmu Hukum Islam, Fakultas Pasca

Sarjana Konsentrasi Hukum Islam USU, Medan, 1999, hal 133
5

Universitas Sumatera Utara

5

sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang
yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu
tertentu maupun tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan. Penyerahannya dilakukan
ketika pemberi masih hidup tanpa mengharapkan imbalan. Beberapa pendapat para
ulama Fiqh yang berhubungan dengan masalah hibah dengan tujuan untuk
mengetahui bagaimana sebenarnya kedudukan hibah dalam ajaran agama Islam.8
Menurut pendapat Abu Hanifah dan Ahmad hibah (memberikan harta secara
sukarela dimana masih hidup kepada seseorang), sah dengan ijab dan qabul. Menurut
pendapat mereka ijab dan qabul dan orang yang menerima harus ada supaya hibah itu
sah.9
Menurut pendapat Imam Malik, qabadh (harta yang belum diterima langsung
oleh penerima hibah) tidak diperlukan untuk sahnya suatu hibah. Menurut Imam
Malik, hibah itu telah sah dan telah lazim dengan adanya ijab dan qabul saja,

sedangkan qabadh hanyalah untuk syarat sempurnanya saja.10
Hibah diberikan saat pemberi dan penerima masih dalam keadaan hidup dan
belum meninggal, jika seseorang menghibahkan sebuah tanah dengan lafaz ‘’jika
saya meninggal, tanah ini menjadi milik kamu’’, pemberian seperti itu bukanlah
hibah, melainkan wasiat karena hibah tanpa adanya syarat.11

8

Ibid
Ibid
10
M.Hasballah Thaib.”Hukum Benda Menurut Islam”. Fakultas Hukum Dharmawangsa.
Medan. 1992. hal 87
11
Ahmad Bisyri Syakur, Panduan Lengkap Mudah Memahami Hukum Waris Islam :
Dilengkapi Hibah & Wasiat, Visimedia Pustaka, Jakarta, 2015, hal 83
9

Universitas Sumatera Utara


6

Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang selanjutnya disebut
KHI, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Pengertian ini sama
dengan definisi yang banyak disebut dalam kitab-kitab fikih tradisional bahwa yang
dimaksud dengan hibah adalah pemilikan sesuatu melalui akad tanpa mengharapkan
imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika si pemberi hibah masih hidup.
Pemberian harta hibah pada hakikatnya tidak mempunyai aturan khusus dalam
memberikan harta tersebut kepada siapa saja yang dikehendakinya, akan tetapi
sebaik-baiknya pemberi hibah tidak memberikan lebih dari sepertiga dari hartanya
tersebut, karena menurut hadist ibnu Abbas Rasulullah melarang berwasiat melebihi
sepertiga dari harta, sebab hibah ini sama dengan wasiat dalam hal merugikan Ahli
waris.
Perbedaan hibah dengan wasiat terlihat dari proses teralihnya pemberiannya
itu selagi hidup sementara wasiat ditunaikan pemberiannya sesudah ia mati. Kalau
seseorang memberi hibah kepada ahli waris yang sederajat hendaklah dengan adil,
tidak berat sebelah. Apabila hibah belum sempat dilakukan kepada semua anak
(kepada ahli waris yang sederajat), tiba-tiba ia meninggal maka sebelum diadakan
pembagian, harta peninggalan dapat diambil sebagian untuk melaksanakan keadilan

dalam pemberian kepada anak-anak. Anak yang belum pernah menerima pemberian
orang tuanya dapat diberi sejumlah harta yang diambil dari harta orang tuanya dapat

Universitas Sumatera Utara

7

diberi sejumlah harta yang diambil dari harta peninggalan, kemudian baru diadakan
pembagian warisan.12
Menghibahkan harta kepada siapapun diperbolehkan, tidak ada larangan
menghibahkan kepada istri, anak, adik serta ahli waris lainnya serta menghibahkan
harta kepada anak angkat yang tidak mendapatkan harta warisannya, tidak adanya
suatu larangan dalam suatu pemberian hibah tersebut.13
Menurut pendapat M. Hasbalah Thaib tidak ada halangannya apabila hibah
yang pernah diterima oleh sebagian anak itu diperhitungkan sebagai warisan yang
sudah diberikan pada waktu pewaris masih hidup. Meskipun demikian, apabila
ternyata ketentuan hukum waris, anak yang bersangkutan tidak perlu mengembalikan
kelebihan hartanya kepada Ahli waris lain sebab penyerahan barang oleh seseorang
pada waktu masih hidup itu adalah hibah yang sah.14
Hibah sebenarnya dapat meneguhkan rasa kecintaan antara manusia, oleh

karena itu Islam sanggup mengantar dan memberikan keselamatan secara utuh
memiliki ajaran yang sangat lengkap dalam segala aspek kehidupan. Hibah atau
pemberian merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah s.w.t, dalam rangka
mempersempit kesenjangan antara hubungan keluarga serta menumbuhkan rasa setia
kawanan dan juga kepedulian sosial.
Hibah akan sempurna dengan adanya rukun dan syarat yang mencukupi.
Fuqaha Hanafi meletakkan rukun hibah hanya tawaran dan penerimaan. Manakala
12

M.Hasballah Thaib, Op.Cit. hal 87
Ahmad Bisyri Syakur, Op.Cit. hal 84
14
M.Hasballah Thaib, Op.Cit. hal 155

13

Universitas Sumatera Utara

8


jumhur fuqaha lebih daripada itu ia meliputi pihak pemberi dan penerima pemberian,
termasuk juga barang yang diberikan, tawaran dan penerimaan. Tawaran dan
penerimaan boleh berlaku denga lafaz terang yang menunjukan maksud pemberian
seperti lafaz hibah dan seumpamanya. Bagi pemberi disyaratkan mempunyai
kelayakan yang cukup untuk membolehkannya membentuk hibah yang bercorak
tabarru’ (melakukan sesuatu tanpa mengharapka imbalan) seperti berakal, baligh dan
waras, ia bukan anak-anak dan juga bukan orang gila, barang yang tidak ada ketika
akad diadakan tidak sah dijadikan barang hibah. Syarat ini dipersetujui juga oleh
fuqaha Shafii dan Hambali. Barang yang di hibahkan itu hendaklah barang yang
bernilai, barang yang tidak bernilai tidak sah dijadikan hibah seperti bangkai, arak
dan sebagainya.15
Pemberian hibah harus barang milik si pemberi hibah tersebut, hibah tidak sah
jika barang itu milik orang lain, dan hak miliknya itu berasingan dan bukannya
barang milik bersama atau bersyarikat. Barang hibah tersebut mestilah diterima oleh
pihak penerima hibah. Imam Maliki berpendapat, penerima hibah tidak menjadi suatu
persyaratan kepadanya.16
Pemberian hibah dilakukan dengan alasan yang tepat dan benar dalam
pelaksanaannya maka tidak akan menimbulkan suatu konflik yang signifikan, namun
dalam hal ini jika dilakukan dengan alasan maupun kondisi yang tidak tepat maka
akan mudah menimbulkan suatu konflik antar keluarga atau bahkan antar masyarakat.
15

Abdul Halim El-Muhammady.”Undang-Undang Muamalat & Aplikasinya Kepada ProdukProduk Perbankan Islam”. Aras Mega, Selangor: 2006. hal 202
16
Ibid hal 203

Universitas Sumatera Utara

9

Maka akan menimbulkan suatu masalah maupun kerugian yang didapatkan oleh
beberapa pihak yang diakibatkan tidak tepatnya pemberian hibah khususnya akan
menimbulkan kerugian yang besar terhadap para ahli warisnya.
Menurut Fuqaha mencabut kembali hibah (al-I’tishar) itu boleh, ulama Malik
dan Jumhur ulama berpendapat bahwa ayah boleh mencabut kembali pemberian yang
telah dihibahkannya, apabila ayah masih hidup, tetapi ada riwayat dari Malik bahwa
ibu tidak boleh mencabut hibahnya kembali.
Ahmad dan fuqaha zhairi berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut
kembali pemberian yang telah di hibahkannya. Dalam hal itu, Abu Hanifah
berpendapat bahwa seseorang boleh mencabut kembali pemberian yang telah
dihibahkan kepada perempuan (dzawil arham) yang tidak boleh dikawini (mahram).
Fuqaha sependapat bahwa seseorang tidak boleh mencbut kembali hibahnya yang
dimaksudkan sebagai sedekah yakni untuk memperoleh keridhoaan Allah swt.
Secara umum, para fuqaha setuju tentang keharusan pembatalan hibah
sekiranya ia dilakukan secara ikhlas antara pemberi hibah dengan penerima hibah
atau melalui keputusan hakim. Sungguhpun Islam membenarkan penarikan balik
hibah yang dibuat oleh orangtuanya kepada anaknya, tetapi ia terikat dengan syarat
bahwa harta tersebut masih lagi di dalam pemilik anaknya atau belum dijual belikan
kepada orang lain.
Kasus

yang

berkaitan

dengan

pembatalan

hibah.

Putusan

Nomor

28/Pdt.G/2015/MS-Aceh merupakan putusan yang dijatuhkan pada tanggal 25 Mei
2015 oleh Mahkamah Syariah Provinsi Aceh.

Universitas Sumatera Utara

10

Permohonan pencabutan hibah diajukan oleh HJ. S terhadap J yang
merupakan anak kandung dari HJ. S, pada awalnya HJ. S menghibahkan sebuah tanah
yang berada di daerah pidie jaya seluas 1.141,33 M, dan telah dibuatkan akta hibah
yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Camat Kecamatan Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya. Adapun tujuan HJ. S menghibahkan tanah tersebut kepada J merupakan
untuk harta peutimang (pengganti biaya hidup) sehingga HJ. S memberikan syarat
bahwa termohon harus memelihara, menanggung biaya hidup sampai HJ. S
meninggal dunia.
Setelah pemberian tanah hibah tersebut ternyata HJ. S merasa J ingkar janji,
HJ. S merasa tidak adanya pemenuhan janji untuk menjaga dan merawat HJ. S,
sehingga HJ. S kembali pulang kediaman sebelumnya karena menganggap tidak
adanya kenyamanan yang didapatkan dalam masa tinggal bersama J sehingga HJ. S
mengajukan gugatan pembatalan hibah sebuah tanah yang diberikan untuk menjadi
penganti biaya hidup tersebut pada Mahkamah Syariah Meuredu. Permohonan HJ. S
diterima oleh majelis hakim Mahkamah Syariah Meuredu dan terjadilah pembatalan
hibah pada tanah yang diberikan HJ. S terhadap J tersebut. Akan tetapi J melakukan
banding pada Mahkamah Syariah Provinsi Aceh, karena J menganggap bahwa
pencabutan hibah yang dilakukan oleh Hj. S bukan karena kemauannya sendiri dan
menganggap adanya suatu keganjalan yang terjadi terhadap proses pencabutan hibah
tersebut, sehingga J kembali melakukan upaya hukum untuk mempertahankan tanah
yang telah dihibahkan terhadapnya, namun dalam hal ini majelis hakim di Mahkamah
Syariah Provinsi Aceh juga sependapat dengan putusan sebelumnya, sehingga J harus

Universitas Sumatera Utara

11

mengembalikan tanah hibah tersebut kepada HJ. Berdasarkan hal diatas maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagaimana tersebut dibawah ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka ditarik
permasalahan yang dapat diteliti dan dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengapa Masyarakat Kota Banda Aceh masih menggunakan praktek Hibah
Bersyarat?
2. Bagaimana dalil Hukum pembatalan hibah dalam perspektif Hukum Islam?
3. Kenapa Majelis Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh tidak menjadikan
hibah bersyarat menjadi pertimbangan hukum dalam membatalkan hibah di
Putusan Mahkamah Syariah Aceh nomor 28/PDT-G/2015/MS-Aceh ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui alasan Masyarakat Kota Banda Aceh masih menggunakan
praktek Hibah Bersyarat.
2. Untuk mengetahui dalil Hukum pembatalan hibah dalam perepektif Hukum
Islam.
3. Untuk mengetahui alasan Majelis hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh
membatalkan hibah diluar dari tuntutan pemohon dalam Putusan nomor
28/PDT-G/2015/MS-Aceh.
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis
dan praktis sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

12

1. Manfaat teoritis dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan
pemikiran

informasi untuk perkembangan ilmu hukum. Bagi kalangan

akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut tentang
hibah.
2. Manfaat

praktis,

penelitian

ini

diharapkan

dapat

mengembangkan

pengetahuan masyarakat dalam hal hibah, dan praktek hibah oleh ahli waris
yang mungkin terjadi dikemudian hari. Bagi praktisi hukum, hasil penelitian
ini dapat dijadikan masukan berbagai aspek hukum dari sengketa penarikan
hibah oleh ahli waris.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelurusan kepustakaan yang dilakukan dalam lingkungan
Universitas Sumatera Utara Medan khususnya dilingkungan Program Studi Magister
Kenotariatan, belum ada Penelitian sebelumnya yang berjudul “Analisis Putusan
Mahkamah Syariah Provinsi Aceh dalam kasus Pembatalan Hibah ( Studi Putusan
Mahkamah Syariah Provinsi Aceh Nomor 28/PDT-G/2015/MS-Aceh )” terutama
dalam permasalahan yang sama.
Akan tetapi ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan masalah Hibah
yang pernah ditulis sebelumnya, antara lain :
1. Penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Atas Harta Gono-Gini Yang
Dihibahkan Ayah Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama
Medan Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.Medan.””, oleh Maya Primasari, NIM:

Universitas Sumatera Utara

13

017011039, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara.
Dengan rumusan masalah :
1.

Bagaimana akibat hukum terhadap harta gono-gini yang telah dihibahkan
orang tua kepada anak?

2.

Bagaimana bila orang tua yang menghibahkan menarik kembali harta
gono-gini tersebut?

3.

Bagaimana kekuatan hukum bila harta hibah tersebut tidak diaktakan di
hadapan Notaris?

2. Penelitian dengan judul “Analisis Hukum Tentang Pembatalan Hibah (Studi
Kasus Putusan Pengadilan Agama No.887/Pdt.G/2009/PA.Mdn)”, oleh Putri
Tika Larasari, NIM: 097011014, Mahasiswi Magister Kenotariatan,
Universitas Sumatera Utara. Dengan Rumusan Masalah :
1.

Bagaimana syarat hibah dalam Hukum Islam?

2.

Apa faktor-faktor yang menyebabkan pembatalan hibah di Pengadilan
Agama Medan?

3.

Bagaimana Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Medan dalam
menentukan putusan perkara Nomor 887/pdt.G/2009/PA.Mdn?

3. Penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Atas Harta Gonogini yang
dihibahklan ayah kepada anak

Studi kasus: Putusan Pengadilan Agama

Medan Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.MEDAN, oleh Agustina Darmawati, NIM:
077011003, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara.
Dengan Rumusan Masalah :

Universitas Sumatera Utara

14

1.

Bagaimana akibat hukum terhadap harta gono-gini yang telah dihibahkan
orang tua kepada anak?

2.

Bagaimana bila orang tua yang menghibahkan menarik kembali harta
gono-gini tersebut?

3.

Bagaimana kekuatan hukum bila harta hibah tersebut tidak diaktakan di
hadapan Notaris?

4. Penelitian dengan judul “Hibah Kepada Anak Angkat Dalam Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Adat, oleh Lila Triana, NIM: 027011035,
Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara. Dengan
Rumusan Masalah :
1.

Apa yang menjadi motif terjadinya pengangkatan anak secara adat yang
dapat diakui oleh Islam?

2.

Bagaimana pelaksanaan hibah terhadap anak angkat pada Pengadilan
Agama Medan?

3.

Apakah suatu hibah yang telah diberikan dapat dibatalkan menurut
Hukum Islam dan Hukum Adat?

Berdasarkan hasil penelusuran judul tesis di atas dapat disimpulkan bahwa judul dan
permasalahan dalam penelitian ini tidak memiliki kesamaan dengan judul dan
permasalahan yang telah ada sebelumnya. Penelitian ini difokuskan kepada
permasalahan Analisis Putusan Mahkamah Syariah Provinsi Aceh dalam kasus
Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syariah Provinsi Aceh), maka
penelitian ini asli baik dari segi materi maupun dari segi lokasi penelitian.

Universitas Sumatera Utara

15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Teori hukum merupakan salah satu alat bantu di dalam hukum, untuk dapat

menganalisis sebuah kelayakan atas suatu perbuatan, dimana perbuatan tersebut telah
sesuai dengan aturan hukum dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga perbuatan
yang dilakukan tersebut bisa saja bertentangan dengan aturan hukum yang ada.
Kerangka teori dapat dijadikan sebagai bahan masukan eksternal bagi peneliti
yang berfungsi sebagai kerangka pemikiran. Tesis mengenai suatu kasus ataupun
permasalahan yang dijadikan sebagai perbandingan, pegangan teoritis apakah
disetujui atau tidak dengan pegangan teori. Teori hukum merupakan kelanjutan dari
usaha untuk mempelajari hukum positif, dimana teori hukum menggunakan hukum
positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan
untuk menjelaskan tentang hukum.
Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat
teori, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui. Fungsi penelitian ini
adalah untuk memberi arahan, petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.17
Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori
diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan kepada unsur hukum.
Dunia ilmu, teori menempati yang penting karena memberikan saran kepada
kita untuk bisa mbiasgkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih

17

Snelbecker dalam Lexi J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1993, hal. 35.

Universitas Sumatera Utara

16

baik.18 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapinya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.19
Sebagai tolak ukur menganalisis permasalahan yang akan diteliti karena suatu
teori atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal
sebagai berikut:
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diteliti atau diuji kebenarannya.
b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan konsep-konsep.
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui
serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang telah diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediuksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktorfaktor tersebut akan akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan pada pengetahuan
penelitian.20
Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir,
pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan
pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujuinya.21 Sedangkan

18

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, 1991, hal. 6
Sadjipto Raharjo,Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 259.
20
J.satrio, Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hal. 254.
21
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, PT. Sofmedia. Medan, 2012, hal. 129
19

Universitas Sumatera Utara

17

tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan
dan menginterprestasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil
penelitian yang terdahulu.22
Sehubungan dengan pembahasan diatas maka penelitian ini perlu mempunyai
landasan fikir, yaitu berupa teori-teori hukum yang akan digunakan adalah Teori
Keadilan dan Kepastian Hukum.
Masalah keadilan ini, selain sebagai dambaan setip insan tetapi juga
merupakan salah satu dari tujuan hukum secara universal. Namun demikian, sampai
saat ini belum ada teminologi yang dapat diterima semua pihak tentang apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan keadilan.23 Di dalam buku tersebut diterangkan
bahwa ada dua macam keadilan, yaitu : keadilan komulatif dan keadilan distributive.
Keadilan komulatif maksudnya adalah memberikan sesuatu kepada orang lain
secara merata dan seimbang tanpa adanya perbedaan antarasatu dengan yang alinnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan keadilan distributive adalah memberikan sesuatu
kepada orang lain sesuai dengan prestasi kerjanya. Dapat diambil contoh bahwa
walaupun undang-undang menetapkan seluruh Warga Negara Indonesia boleh
menjadi pegawai negeri, tetapi hanya bagi mereka yang memenuhi syarat saja.
Dengan kata lain, yang berhak menjadi pegawai negeri adalah mereka-mereka yang
telah lulus seleksi masuk.

22
23

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Imu Hukum, Rhineka Cipta, Jakarta,1996, hal. 19
Subagio dan slamet Supriatna, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Alumni Pressindo, Jakarta, hal 19

Universitas Sumatera Utara

18

Seputar masalah keadilan ini, Muhammad Yusuf Musa mengemukakan bahwa
keadilan itu adalah menganut asas persamaan dalam kewajiban apabila sama dalam
perolehan hak.24
Islam memandang bahwa adil itu bukan berarti harus sama, melainkan
keadilan itu adalah menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Konsep keadilan
yang sejak jaman Rasul sampai sekarang adalah masih hidup dan mengakar dalam
kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Oleh karena itu, konsep
keadilan yang dibawa Islam ratusan tahun yang lalu masih sangat tepat dan relevan
dipraktekkan dalam kehidupan modern sekarang ini.
Keadilan yang ditawarkan komunis dengan mengandung asas persamaan
ternyata tidak bertahan lama, karena memang tidak sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang rasional. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan tidak selamnya
harus baik. Itulah sebabnya ajaran keadilan tidak menekankan pada persamaan tapi
hanya menempatkan sesuatu tepat pada proporsinya.
Adil atau dalam bahasa Arab disebut Al-Adlu, berarti “menetapkan hukum
dengan benar.” Jadi seorang yang adil merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki
oleh manusia dalam rangka menegakkan kebenaran kepada siapapun tanpa terkecuali,
walaupun akan merugikan dirinya sendiri.25

24
Syaifuddin dalam Muhammad Yusuf Musa, Al Tirkah Wa AL Miras Fi Al Islam Ma’a
Madkhal Fi Al Miras ‘Inda Al ‘ Arab Al Yahudi Wa Al Rumani, Kairo, Darul Ma’rufah, Cet II, 1967,
hal 26
25
Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, Citapustaka Media
Perintis, Cetakan Kedua, Medan, 2015 hal. 94-95.

Universitas Sumatera Utara

19

Secara etimologis, al-adhlu berarti “tidak berat sebelah, tidak memihak, atau
menyamakan sesuatu dengan yang lain (al-musawah). Istilah lain dari al-Aldl adalah
al-qisth, al-Mitsl (sama bagian, atau semisal).26
Secara terminologi, Al-Adhlu (adil) berarti “mempersamakan sesuatu dengan
yang lain, baik dari segi nilai, maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi
tidak berat sebelah, dan menjadi tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain.”27
Ibnu Qudamah, ahli Fiqih bermazhab Hambali, mengatakan bahwa keadilan
merupakan ssuatu yang tersembunyi, motivasinya semata-mata karena takut kepada
Allah s.w.t. jika keadilan telah dicapai, maka itu merupakan dalil yang kuat dalam
Islam selama belum ada dalil lain yang menentangnya.28
Berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki
seseorang, termasuk hak asasi manusia harus diperlakukan secara adil. Hak dan
kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada
yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, hukum berdasarkan amanah harus
ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya. (Q.S
An-Nisa: 58, dan Al-Maidah:8).
Peradilan juga disyari’atkan oleh Allah SWT untuk berlaku adil. Beberapa
ayat Al-Qur’an menjelaskan kewajiban bagi para penegak hukum untuk berlaku adil
dalam menetapkan atau memutuskan perkara diantara manusia sebagai pencari
keadilan. (Q.S An-Nisa: 58 dan Q.S Al-Maidah: 42)
26

Ibid
Raghib Al-Isfahani, Mufradaat Alfadzil Qur’an, Daar Al-Ma’rifah, Beirut, 2005, hal.168.
28
Zamakhsyari, Op.Cit. hal. 95.
27

Universitas Sumatera Utara

20

Sejumlah pandangan mengenai kemanfaatan digunakan untuk membela
keadilan sebagai fairness (kewajaran) terhadap berbagai keberatan. Seorang hakim
yang baik mempunyai keinginan yang kuat untuk memberikan keadilan, untuk
memutuskan kasus-kasus secara adil sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
hukum.29 Ia memiliki kebajikan-kebajikan yudisial yang dituntut oleh jabatannya
yaitu ia tidak memihak, mampu menilai bukti secara adil, tidak berprasangka atau
digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan pribadi.30
Dikaitkan dengan fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia,
hukum mempunyai tujuan dan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai.
Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam
masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai
tujuan tersebut hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan
didalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah
hukum serta memelihara kepastian hukum.31
Selain menggunakan teori keadilan dalam menganalisis tesis ini, juga
mengguinakan teori kepastian hukum, kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan
utama dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam
hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan
29

John Rawls, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial Dalam Negara, Penerjemah Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2006, hal. 515.
30
Ibid. hal. 524.
31
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberti, 2003,
hal.77.

Universitas Sumatera Utara

21

akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan
yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Sudikno Mertokusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan
bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum
menghendaki adanya upaya pegaturan hukum dalam perundang-undangan yang
dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu
memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum
berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.32
Van Kant mengatakan bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin
adanya kepastian hukum dalam masyarakat.33 Dengan demikian, kepastian hukum
mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu ; yang pertama bahwa adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan. Dan yang kedua adalah adanya perlindungan bagi individu terhadap
kesewenang-wenangan karena adanya suatu aturan tertentu.
Ketentraman dan ketertiban serta keadaan damai dalam masyarakat dijamin
dengan adanya kepastian hukum. Karenanya, kepastian hukum memiliki sifat-sifat
antara lain ; bahwa adanya sanksi dari penguasa untuk membina dan
mempertahankan tata tertib masyarakat dan merupakan peraturan umum yang berlaku
bagi siapa saja.

32

Ibid, hal. 68
C.T.S. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
2002, hal. 44
33

Universitas Sumatera Utara

22

Berdasarkan teori keadilan serta teori kepastian hukum diatas, pembaharuan
hukum merupakan suatu keniscayaan dengan adanya perkembangan masyarakat.
Dengan adanya perkembangan masyarakat tersebut maka hukum pun harus
berkembang mengikuti perkembangan masyarakat agar hukum dapat menjawab
kepentingan dan kebutuhan masyarakat tersebut sehingga dapat tercapai keadilan dan
kepastian hukum bagi masyarakat.
2.

Konsepsional
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Landasan konsepsional

dalam penelitian ini sebagai pedoman konseptual dengan tujuan untuk menghindari
pemahaman atau penafsiran yang berbeda dari konsep-konsep yang digunakan.
Agar menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda
tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian saya ini, maka perlu diuraikan
pengertian konsepsi yang digunakan, yaitu:
a. Analisis
Analisis merupakan penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan,
perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebabmusabab, duduk perkaranya, dan sebagainya).34
b. Putusan
Putusan pada akhir pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan yang berisi
pertimbangan menurut kenyataan, pertimbangan hukum, dan putusan pokok
perkara.35
34

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976

Universitas Sumatera Utara

23

c. Mahkamah Syari’ah
Menurut Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam
Mahkamah Syari’ah disingkat MS adalah salah satu Pengadilan Khusus yang
berdasarkan Syari’at Islam di provinsi Aceh sebagai pengembangan dari
Pengadilan Agama. Mahkamah Syari’ah terdiri dari Mahkamah Syari’ah
Provinsi dan Mahkamah Syari’ah (tingkat Kabupaten dan Kota). Kekuasaan
dan kewenangan Mahkamah Syari’ah adalah kekuasaan dan kewenangan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan
kekuasaan dan kewenangan lain yang yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dalam bidang ibadah dan Syari’at Islam.
d. Kewenangan
Menurut Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam
Mahkamah Syari’ah di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam meliputi tiga
bidang:
1.

Kewenangan dalam bidang al-ahwal al-syahsiyah meliputi hal-hal yang
diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama beserta penjelasannya dari Pasal tersebut, kecuali
wakaf, hibah, dan sadaqah.

2.

Kewenangan dalam bidang muamalah dan perikatan seperti, jual beli,
hutang piutang, qiradh (permodalan), bagi hasil pertanian, perkongsian,
pinjam meminjam, penyitaan harta, hak langgeh, gadai, pembukaan tanah,

35

Ibid

Universitas Sumatera Utara

24

tambang, barang temuan, perbankan, sewa menyewa, takaful, wakaf,
hibah, sadaqah, dan hadiah.
3.

Kewenangan di bidang jinayah seperti, zina, menuduh berzina, mencuri,
merampok, minuman keras dan napza, murtad, pemberontakan.

e. Hibah
Hibah adalah pemberian hak atas sesuatu benda miliknya sendiri kepada
seseorang keluarga ahli waris atau bukan, karena suatu pertimbangan,
biasanya karena hubungan jasa, atau hubungan anak pada saat sipemilik
hidup.36
f. Pembatalan Hibah
Pembatalan Hibah adalah penarikan kembali hibah yang telah diberikan
yang dikarenakan tidak memenuhi syarat pemberian hibah atau penerima
hibah dinyatakan bersalah Karena telah ikut andil dalam percobaan
pembunuhan pemberi hibah.37
G. Metode Penelitian
Istilah metode penelitian terdiri atas dua kata, yaitu kata metode dan kata
penelitian. Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti cara
atau menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu objek atau objek penelitian,

36

Badrulzaman Ismail, Asas-Asas dan Perkembangan Hukum Adat, CV Boebon Jaya, Banda
Aceh, 2013, hal 261
37
Mukhlis Lubis, Mahmun Zulkifli, Op.Cit

Universitas Sumatera Utara

25

sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dan termasuk keabsahannya.38
Penelitian adalah sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodologis dan konsisten, karena melalui proses penelitian tersebut diadakan
metode penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metodemetode ilmiah.39 Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang teratur
(sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.40
1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yang disebabkan karena

penelitian ini merupakan penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian
kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditunjukan pada peraturan yang
tertulis atau bahan hukum yang lain.41 Penelitian normatif merupakan penelitian
ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya.42 Penelitian normatif sering kali disebut dengan penelitian doctrinal,

38

Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi, Jakarta, Rajawali Pers,
2003. hal 24
39
Soetrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta, Yayasan penerbit Fakultas Psikologi
UGM, 1980, hal 43
40
Abdulkadir Muhammad, Metode Penelitian Hukum, Cetakan – 1, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004, hal.14
41
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang, 1993, hal. 13
42
Ibrahim Johni, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing,
Malang, 2005, hal. 57

Universitas Sumatera Utara

26

yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen perundang-undangan dan
bahan kepustakaan.43
Sifat

dari

penelitian

ini

adalah

bersifat

deskriptif

analisis,

yaitu

menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan teoriteori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan
di atas.
Dikatakan deskriptif karena penelitian ini diharapkan mampu memberi
gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala hal yang
berhubungan dengan pembatalan hibah.
Data yang diperoleh dari penelitian ini diupayakan memberikan gambaran
atau mengungkapkan berbagai faktor yang berhubungan erat dengan gejala-gejala
yang diteliti kemudian di analisa mengenai penerapan atas pelaksanaan peraturan
perundang-undangan guna untuk mendapatkan data atau informasi mengenai
pelaksanaannya.
2.

Sumber Data
Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung

penelitian lapangan, sebagai berikut:
Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan
melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekuder yang meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.44

43

Soejono H. Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 2003, hal 56

Universitas Sumatera Utara

27

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:
a)

Kompilasi Hukum Islam

b) Putusan

perkara

Mahkamah

Syariah

Provinsi

Aceh

Nomor

28/Pdt.G/2015/MS-Aceh
2) Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder tersebut meliputi :
a)

Hasil karya ilmiah para sarjana

b) Hasil penelitian yang berkaitan dengan hibah
3) Bahan tertier adalah bahan pendukung diluar bidang hukum seperti kamus
ensiklopedia atau majalah yang berkaitan dengan hibah yang dibatalkan.
3.

Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang diperoleh atau dikumpulkan mengenai masalah-

masalah yang berhubungan dengan penelitian ini maka data yang dikumpulkan
menggunakan metode sebagai berikut:
Penelitian Kepustakaan (Library Recearch)
Penelitian Kepustakaan (Library Recearch) digunakan untuk memperoleh data
sekunder sebanyak mungkin. Penelitian Kepustakaan ini dilakukan dengan cara
mempelajari Undang-Undang, Pendapat-Pendapat atau tulian para sarjana serta
bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penyusunan tesis ini. Dan didukung
juga dengan data primer, data primer diperoleh dari informan yang erat
44

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal. 29.

Universitas Sumatera Utara

28

hubungannya dengan masalah yang diteliti. Berdasarkan data yang diperoleh dari
informan tersebut nantinya akan diperoleh data primer. Data primer inipun
dihimpun dengan mengadakan wawancara dengan informan yang diperlukan
dalam penulisan ini. Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah
wawancara. Dalam wawancara ini, informan yang diwawancarai mempunyai
pengalaman tertentu atau terjun secara langsung yang berkaitan dengan
penelitian ini. Adapun informan yang digunakan adalah Majelis Hakim
Mahkamah Syariah Provinsi Aceh Bapak Abd Mannan Hasyim, Panitera Muda
Hukum Mahkamah Syariah Provinsi Aceh Bapak Abd Latif, serta Notaris di
Kota Banda Aceh Bapak Teuku Irwansyah. Dari hasil wawancara ini diharapkan
dapat memberikan gambaran dalam praktek pembatalan hibah. Hasil yang
diperoleh dari wawancara ini merupakan data primer yang digunakan sebagai
pendukung data sekunder.
4.

Analisis Data
Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan maupun data yang

diperoleh melalui penelitian lapangan akan dianalisis secara kualitatif. Analisis
kualitatif yaitu analisis data dengan mengelompokkan dan menyelidiki data yang
diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian
dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan, sehingga
diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan. Kemudian akan ditarik
kesimpulan dengan menggunakan metode penarikan kesimpulan deduktif dan dari
hasil ini diharpkan dapat menjawab permasalahan yang dibuat.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Penuntutan Pengembalian Mahar Akibat Perceraian (Studi Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh)

8 60 128

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Pelaksanaan qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang khalwat di Aceh: studi putusan Mahkamah Syar’iyyah Tahun 2010 di Provinsi Aceh

1 8 145

Pelaksanaan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat di Aceh (Studi Putusan Mahkamah Syar'iyyah Tahun 2010 di Provinsi Aceh)

0 7 145

Analisis Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Dalam Kasus Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Nomor 28 PDT-G 2015 MS-ACEH)

0 0 15

Analisis Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Dalam Kasus Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Nomor 28 PDT-G 2015 MS-ACEH)

0 0 2

Analisis Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Dalam Kasus Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Nomor 28 PDT-G 2015 MS-ACEH)

0 1 28

Analisis Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Dalam Kasus Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Nomor 28 PDT-G 2015 MS-ACEH) Chapter III V

0 0 50

Analisis Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Dalam Kasus Pembatalan Hibah (Studi Putusan Mahkamah Syari’ah Provinsi Aceh Nomor 28 PDT-G 2015 MS-ACEH)

0 0 5