Analisis Yuridis Penuntutan Pengembalian Mahar Akibat Perceraian (Studi Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh)

(1)

TESIS

Oleh

YANTI JULIA

117011023/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

YANTI JULIA

117011023/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ACEH)

Nama Mahasiswa : YANTI JULIA

Nomor Pokok : 117011023

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Dr.Utary Maharani Barus, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum


(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : YANTI JULIA

Nim : 117011023

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PENUNTUTAN PENGEMBALIAN

MAHAR AKIBAT PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH SYAR’IYAH ACEH NOMOR :

15/PDT.G/2011/MS-ACEH)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : YANTI JULIA Nim :117011023


(6)

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Namun sebagai manusia pasti banyak persoalan yang timbul dalam suatu rumah tangga yang tanpa disadari dapat menyebabkan terjadinya perceraian. Apabila perceraian terjadi sudah pasti akan menimbulkan akibat hukum terhadap orang-orang yang berkaitan dengan suatu rumah tangga. Pasangan yang merasakan dirugikan akan melakukan penuntutan haknya seperti hak asuh anak, pembagian harta bersama bahkan sampai menuntut pengembalian mahar dari suami kepada isterinya. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai latar belakang kewajiban pemberian mahar dari calon suami kepada calon isteri dalam perkawinan Islam, faktor-faktor yang menyebabkan seorang suami melakukan penuntutan pengembalian mahar akibat perceraian dan pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian dengan penuntutan pengembalian mahar Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan dan kemashlahatan, sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan dan wawancara.

Kewajiban pembayaran mahar dilatarbelakangi oleh beberapa alasan yang terdiri dari alasan yuridis, dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4, ayat 20, ayat 24 dan ayat 25, dalam Al-Hadis, Ijtihad serta dalam KHI yang diatur dalam pasal 30, selanjutnya juga dapat ditinjau dari alasan sejarah, alasan filosofi serta alasan sosiologi. Dalam hukum Islam mahar yang telah diberikan kepada isteri adalah menjadi hak milik isteri dan tidak bisa diminta kembali. Walaupun demikian mahar dapat dituntut kembali oleh seorang suami apabila perceraian tersebut terjadi tanpa alasan dan atas permintaan serta kesalahan dari isteri. Majelis Hakim juga memandang bahwa pengembalian mahar akibat perceraian merupakan bentuk keadilan terhadap suami yang digugat cerai oleh isterinya tanpa alasan.


(7)

in order to form a happy and everlasting family (household), based on God Almighty. As human beings, however, we have to face many problems in our household life which can possibly end with a divorce. If a divorce occurs, it will cause legal consequence on those who are related to a household. The husband or the wife who feels inconvenient will claim his/her rights such as the right to bring up the child, to divide joint property, and sometimes to claim the return of dowry to the ex-wife. The problems in the research was the background of the obligation to give a dowry to the future wife in the Islamic marriage, some factors which caused the ex-husband claimed the return of the dowry, and legal consideration for judges in the divorce cases in the claim of the return of dowry in the Ruling of Aceh Sharia Court No. 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh.

The theory used in the research was the theory of justice and benefit. The research used judicial normative approach which analyzes deeply legal provisions, jurisprudence, and the opinion of legal experts. The data were gathered by conducting library research and interviews

The obligation to pay for a dowry is based on some reasons: judicial reason can be seen in the Koran, An-N isa:4, 20, 24, and 25, Al-Hadis, Ijtihat, and in KHI (the Compilation of Islamic Laws) it is regulated in Article 30; it can also viewed from historical reason, philosophical reason, and sociological reason. In the Islamic law, a dowry which has been given to a future wife will belong to her and cannot be claimed anymore. Nevertheless, a dowry can be claimed by the ex-husband if the divorce is without any reason and in the request of and the fault of the ex-wife. Panel of judges also consider that the return of the dowry because of a divorce is the form of justice for a husband who is claimed for a divorce by his wife without any reason.


(8)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat kehidupan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Analisis Yuridis Penuntutan Pengembalian Mahar Akibat Perceraian (Studi Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh) dengan sebaik-baiknya. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran Islam sehingga kita keluar dari zaman kebodohan.

Dibalik terselesaikannya tesis ini, ada banyak pihak yang telah membantu, membimbing dan memberikan semangat kepada penulis. Untuk itu, penulis haturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan masukan dalam penulisan tesis ini hingga selesai.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku anggota Komisi Pembimbing dan Ketua Program Studi Magister Kenotariatan atas waktu dan arahan serta bimbingannya.

3. Ibu Dr. Utary Maharani Barus, SH, M.Hum selaku anggota Komisi Pembimbing atas segala waktu, masukan, bimbingan serta sarannya dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Dosen Penguji dan Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan, atas segala waktu serta kritik dan sarannya dalam menyelesaikan tesis ini.


(9)

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu yang bermanfaat serta segala bantuannya kepada penulis.

7. Kedua orang tua penulis, Bapak Abdul Djalil Baden dan Ibu Jamaliah Yunus, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dari kecil hingga dewasa yang senantiasa memberikan doa dan dukungan hingga saat ini. Mereka memiliki peran yang sangat penting dan tak terhingga, rasanya ucapan terima kasih saja tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan wujud penghargaan penulis. 8. Semua pihak dan rekan-rekan yang telah membantu dan mendukung penulis

dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.

Aamiin Yaa Rabbal’alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Medan, Agustus 2013 Penulis


(10)

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Yanti Julia

2. Tempat, Tanggal Lahir : Bireuen, 28 Juli 1981

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Status : Belum Menikah

5. Agama : Islam

6. Alamat : Jl. Bakti No. 28, Kel. Laksana Banda Aceh

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : A. Djalil Baden

2. Nama Ibu : Jamaliah Yunus

3. Nama Saudara : Yusran, S.Kep

Roslina, S.Ag, M.Hum Iskandar, S.Km

Fitriana, Amd Nuravni, Amd

III. PENDIDIKAN

1. SD : SD Negeri Glumpang Payong

Tahun 1988-1994

2. SMP : SLTP Negeri 3 Bireuen

Tahun 1994-1997

3. SMA : SMU Negeri 1 Jeumpa Bireuen

Tahun 1997-2000 4. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Syiah Kuala

Tahun 2001-2007

5. Perguruan Tinggi (S2) : Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2011-2013


(11)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTRA RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR ISTILAH ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitian ... 21

1. Spesifikasi Penelitian ... 21

2. Teknik Pengumpulan Data ... 22

3. Alat Pengumpulan Data ... 23

4. Analisis Data ... 24

BAB II KEWAJIBAN PEMBERIAN MAHAR DARI CALON SUAMI KEPADA CALON ISTERI DALAM PERKAWINAN ISLAM ... 25

A. Mahar Dalam Hukum Perkawinan Islam ... 25 B. Kewajiban Pemberian Mahar Dalam Hukum Perkawinan Islam 40


(12)

B. Akibat Terjadinya Perceraian ... 71

C. Alasan Suami Menuntut Pengembalian Mahar ... 76

BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENGADILI PERKARA PERCERAIAN DENGAN PENUNTUTAN PENGEMBALIAN MAHAR PUTUSAN MAHKAMAH SYAR’IYAH ACEH NOMOR: 15/Pdt.G/2011/MS-ACEH ... 80

A. Analisis Kasus ... 80

B. Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh Terhadap Putusan Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 106


(13)

Dukhul : hubungan suami isteri

Fasakh : merusakkan atau membatalkan

Hadhanah : yang berhak memelihara anak

Iddah : masa tunggu

Ijma’ : kesepakatan

Ila’ : bersumpah tidak melakukan suatu pekerjaan

Iwadl : ganti rugi

Kiswah : pakaian

Khuluk : talak tebus

Li’an : menuduh isteri berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan isteri

Nusyuz : meninggalkan kewajiban bersuami isteri Riddah : murtad/keluar dari agama Islam

Syiqaq : perselisihan

Thalaq : perceraian

Urf’ : kebiasaan


(14)

SAW : Shalallahu‘alaihi Wasallam

SWT : Subhanahu wa ta’ala

UU : Undang-undang

Q.S : Qur’an Surah


(15)

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Namun sebagai manusia pasti banyak persoalan yang timbul dalam suatu rumah tangga yang tanpa disadari dapat menyebabkan terjadinya perceraian. Apabila perceraian terjadi sudah pasti akan menimbulkan akibat hukum terhadap orang-orang yang berkaitan dengan suatu rumah tangga. Pasangan yang merasakan dirugikan akan melakukan penuntutan haknya seperti hak asuh anak, pembagian harta bersama bahkan sampai menuntut pengembalian mahar dari suami kepada isterinya. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai latar belakang kewajiban pemberian mahar dari calon suami kepada calon isteri dalam perkawinan Islam, faktor-faktor yang menyebabkan seorang suami melakukan penuntutan pengembalian mahar akibat perceraian dan pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian dengan penuntutan pengembalian mahar Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan dan kemashlahatan, sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan dan wawancara.

Kewajiban pembayaran mahar dilatarbelakangi oleh beberapa alasan yang terdiri dari alasan yuridis, dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4, ayat 20, ayat 24 dan ayat 25, dalam Al-Hadis, Ijtihad serta dalam KHI yang diatur dalam pasal 30, selanjutnya juga dapat ditinjau dari alasan sejarah, alasan filosofi serta alasan sosiologi. Dalam hukum Islam mahar yang telah diberikan kepada isteri adalah menjadi hak milik isteri dan tidak bisa diminta kembali. Walaupun demikian mahar dapat dituntut kembali oleh seorang suami apabila perceraian tersebut terjadi tanpa alasan dan atas permintaan serta kesalahan dari isteri. Majelis Hakim juga memandang bahwa pengembalian mahar akibat perceraian merupakan bentuk keadilan terhadap suami yang digugat cerai oleh isterinya tanpa alasan.


(16)

in order to form a happy and everlasting family (household), based on God Almighty. As human beings, however, we have to face many problems in our household life which can possibly end with a divorce. If a divorce occurs, it will cause legal consequence on those who are related to a household. The husband or the wife who feels inconvenient will claim his/her rights such as the right to bring up the child, to divide joint property, and sometimes to claim the return of dowry to the ex-wife. The problems in the research was the background of the obligation to give a dowry to the future wife in the Islamic marriage, some factors which caused the ex-husband claimed the return of the dowry, and legal consideration for judges in the divorce cases in the claim of the return of dowry in the Ruling of Aceh Sharia Court No. 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh.

The theory used in the research was the theory of justice and benefit. The research used judicial normative approach which analyzes deeply legal provisions, jurisprudence, and the opinion of legal experts. The data were gathered by conducting library research and interviews

The obligation to pay for a dowry is based on some reasons: judicial reason can be seen in the Koran, An-N isa:4, 20, 24, and 25, Al-Hadis, Ijtihat, and in KHI (the Compilation of Islamic Laws) it is regulated in Article 30; it can also viewed from historical reason, philosophical reason, and sociological reason. In the Islamic law, a dowry which has been given to a future wife will belong to her and cannot be claimed anymore. Nevertheless, a dowry can be claimed by the ex-husband if the divorce is without any reason and in the request of and the fault of the ex-wife. Panel of judges also consider that the return of the dowry because of a divorce is the form of justice for a husband who is claimed for a divorce by his wife without any reason.


(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodrat manusia sejak lahir sampai meninggal dunia membutuhkan hidup bersama-sama dengan manusia lain. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok, karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri. Manusia juga mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya. Untuk mewujudkannya adalah dengan cara melangsungkan perkawinan, karena perkawinan merupakan satu-satunya cara guna membentuk sebuah keluarga.

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia, karena dengan perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami istri, sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang melaksanakan perkawinan tersebut. Oleh karena itu dalam suatu perkawinan itu diperlukan adanya cinta lahir bathin antara pasangan suami istri tersebut.

Menurut Hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. “Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu


(18)

suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan materil”.1

Dalam sebuah perkawinan harus adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara suami dan istri, senantiasa diharapkan berjalan dengan baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada keTuhanan Yang Maha Esa. Seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Nomor 1 Tahun 1974) tentang Perkawinan : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi unsur bathin juga mempunyai peranan yang sangat penting.2

Perkawinan secara Islam dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yaitu melaksanakan ikatan persetujuan (akad) antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama. Perkawinan itu bagi yang bersangkutan yaitu suami istri, bagi masyarakat pada umumnya merupakan suatu hal yang penting, karena menentukan mulai saat kapan terjadinya suatu perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum yang mengandung segala akibat hukumnya.

1Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap,Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam,(Medan: Universitas Al-Azhar, 2010), hal. 4.

2


(19)

Perkawinan bukanlah barang mainan yang suatu waktu dapat diganti dan ditukar dengan yang lain. Oleh karena itu untuk melangsungkan suatu perkawinan, undang-undang telah menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak. Di dalam undang-undang perkawinan ditetapkan beberapa azas dan prinsip serta rukun dan syarat perkawinan. Sehingga dapat terciptanya sebuah kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Dalam sebuah perkawinan hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Hal ini juga sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 31 ayat 3 dan pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan adalah seimbang. Hal ini nampaknya memang mengkekalkan apa yang selama ini dianut oleh sebagian besar masyarakat dan inilah yang sedang mengalami proses perubahan dalam lingkup yang luas.

Sebagai manusia yang mempunyai banyak persoalan dan keinginan tentunya tidak jarang timbul suatu pertentangan atau perselisihan yang tanpa disadari akan menjadi dinding pemisah antara suami isteri didalam perkawinan. Hal-hal tersebut secara berkesinambungan akan dapat menimbulkan keinginan bagi para pihak, baik suami ataupun isteri untuk mencari jalan keluarnya yang mungkin tidak dapat dihindari yaitu dengan mengakhiri kehidupan rumah tangga mereka, artinya pertentangan dan perselisihan tersebut dapat menyebabkan terjadinya perceraian atau putusnya hubungan perkawinan. Ada banyak hal yang memicu terjadinya perceraian, alasannya pun sangat bervariasi seperti: masuknya orang ketiga dalam perkawinan,


(20)

adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami isteri dalam rumah tangga, dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dipertahankan.

Pada kenyataannya perceraian tidak juga dapat dihindarkan, walaupun berbagai usaha dan upaya telah diupayakan kearah itu. Padahal perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan mengingat perbuatan tersebut adalah dilarang dan aib sifatnya kecuali dalam keadaan benar-benar terpaksa.

Namun demikian hukum Islam membenarkan dan mengizinkan perceraian kalau perceraian itu lebih membaikkan diri pada tetap berada dalam ikatan perkawinan itu. Walaupun maksud dari perkawinan itu untuk mencapai kebahagian dan kerukunan hati masing-masing, tentulah kebahagian itu tidak akan tercapai dalam hal-hal yang tidak dapat disesuaikan, karena kebahagian itu tidak dapat dipaksakan. Memaksakan kebahagian bukanlah kebahagian tetapi penderitaan. Karena itulah Islam tidak mengikat mati perkawinan tetapi tidak pula mempermudah perceraian.3

Mengenai putusnya perkawinan akibat perceraian ini diatur dalam pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 jo pasal 113 Kompilasi Hukum Islam, dengan dasar bahwa perceraian dapat dilaksanakan bagi suami istri. “Walaupun perceraian itu adalah malapetaka, tetapi suatu malapetaka itu tidak menimbulkan malapetaka yang lain yang lebih besar bahayanya, perceraian hanya dibenarkan penggunaannya dalam

3


(21)

keadaan darurat untuk tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar. Karena itu perceraian adalah pintu daruratnya perkawinan guna keselamatan bersama.4

Dalam perkembangannya, peceraian terjadi tidak hanya karena kemauan suami (cerai talak), tetapi banyak juga terjadi karena permintaan isteri (cerai gugat). Banyak alasan yang dikemukakan isteri untuk menggugat cerai kepada suaminya misalnya, adanya kekerasan dalam rumah tangga, ataupun seringnya terjadi pertengkaran yang pada akhirnya melayangkan gugatan cerai ke pengadilan. Hal ini membuktikan bahwa setiap pasangan tidak selamanya dapat menyelesaikan konflik-konflik yang mereka alami, sehingga menempuh upaya hukum yang ada untuk menyelesaikannya.

Lembaga-lembaga peradilan pada hakikatnya tidak begitu mudah mengabulkan gugatan perceraian walaupun alasan-alasan perceraian tersebut telah dipenuhi oleh salah satu pihak. Hakim pada dasarnya berusaha agar kedua belah pihak merenungkan kembali dan disarankan agar sejauh mungkin perceraian dihindarkan karena berakibat luas, apabila keluarga tersebut telah mempunyai keturunan (anak). Tetapi apabila upaya dan usaha itu gagal maka dengan terpaksa gugatan tentang perceraian harus diputus dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan. Masalah perceraian ini didalam peraturan perundang-undangan telah mengatur tentang lembaga-lembaga yang berwenang menerima, memeriksa, dan memutus perkara tersebut. Bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, lembaga


(22)

yang berwenang memeriksa dan memutusnya adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk Provinsi Aceh, Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.

Apabila perceraian ini terjadi, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat-akibat terhadap orang-orang yang berkaitan dalam suatu rumah tangga. Salah satu dari pasangan pasti akan merasa dirugikan. Berbagai reaksi pun akan terjadi dari pihak yang merasa dirugikan, mulai dari perebutan hak asuh anak, penuntutan pembagian harta bersama (gono-gini), bahkan sampai ada penuntutan pengembalian mahar oleh suami terhadap isterinya.

Kalau dilihat dari segi hukum Islam mahar yang telah diberikan kepada isteri adalah menjadi hak milik isteri. Seorang suami tidak boleh menuntut kembali mahar yang telah diberikan apabila isterinya tersebut telah digaulinya, namun pada kenyataannya ada suami yang menuntut kembali pengembalian mahar tersebut karena merasa tidak ada alasan yang kuat bagi isterinya untuk menggugat cerai.

Menurut ketentuan hukum Islam, mahar tidak termasuk dalam rukun perkawinan, namun semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan harus ada dalam suatu perkawinan adalah:

1. Akad perkawinan/ijab dan kabul; 2. Laki-laki yang akan kawin; 3. Perempuan yang akan kawin; 4. Wali dari mempelai perempuan;


(23)

6. Mahar atau maskawin.5

Salah satu kewajiban suami dalam perkawinan adalah membayar mahar. Mahar termasuk lambang kewajiban untuk melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar yang besar kecilnya ditetapkan oleh calon isteri karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib.

Mahar merupakan salah satu hal penting dalam pelaksanaan perkawinan. Kedudukan mahar adalah sebagai kewajiban perkawinan dan sebagai syarat sahnya perkawinan. Bila tidak ada mahar maka pernikahannya menjadi tidak sah. Dasarnya adalah Q.S. An-nisa ayat 4: “Berikanlah maskawin (shadaq, nihlah), sebagai pemberian yang wajib.kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagai maskawin itu senang hati, maka gunakanlah (makanlah) pemberian itu dengan sedap dan nikmat".6

Dalam istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan : “shadaq”, nihlah; dan faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.7 Mahar atau maskawin adalah suatu pemberian wajib dari seorang suami kepada seorang isteri dalam kaitannya dengan perkawinan.8 Mahar yang diberikan

5Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan 3, 2009), hal. 59.

6Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yokyakarta: Graha Ilmu, 2011), hal. 10.

7Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 81.


(24)

oleh suami kepada istri dalam bentuk apapun semata-mata menjadi miliknya istri, kecuali istri bersedia memberikan seluruhnya atau sebagian dari mahar tersebut kepada suaminya maka pemberian tersebut hanya merupakan sekedar kebaikan hati istri kepada suaminya.

Dalam Islam besarnya mahar tidak dibatasi. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara sesama manusia. Disamping itu, setiap masyarakat mempunyai adat kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu, besarnya mahar disesuaikan dengan kebiasaan suatu daerah disamping kondisi ekonomi kedua calon mempelai.

Di dalam hukum Islam, mahar adalah wajib bagi laki-laki, akan tetapi tidak menjadi rukun nikah. Apabila ditinjau dari segi besarnya mahar yang harus dibayar oleh suami, maka terdapat dua pembagian mahar, yaitu:

1. Mahar Musamma.

Mahar yang besarnya ditentukan atau disepakati kedua belah pihak. Mahar ini dapat dibayar secara tunai bisa juga ditangguhkan sesuai persetujuan istri. Kalau istri menghendaki tunai, maka suami harus membayar setelah akad pernikahan dilaksanakan , tetapi jika ditangguhkan mahar harus dibayar ketika perceraian terjadi. Dalam hal mahar yang ditetapkan dan pembayarannya ditangguhkan, mengandung beberapa akibat jika terjadi perceraian yaitu: 1. Jika perceraian terjadi sebelum suami menggauli istrinya maka suami

hanya wajib membayar separuh dari jumlah mahar yang ditetapkan sebelumnya dengan ketentuan bahwa perceraian tersebut adalah cerai hidup. Hal ini ditegaskan didalam surat Al-Baqarah ayat 237, yakni:“Jika kamu menthalak perempuan, sebelum kamu bersetubuh dengan dia, sedang kamu telah menentukan maskawinnya, maka untuk perempuan itu seperdua dari yang kamu tentukan itu, kecuali jika dimaafkannya atau


(25)

maaf orang yang ditangannya akad nikah (lelaki). Maaf itu lebih hampir kepada taqwa. Janganlah kamu lupakan karunia (pemberian) sesama kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah : 237)

2. Jika terjadi kasus cerai mati sebelum suami menggauli istrinya, mahar tetap harus dibayar penuh yang diambil dari harta kekayaan suami serta mahar tersebut menjadi hutang si suami yang telah meninggal itu.

3. Jika perceraian (baik perceraian hidup maupun cerai mati) terjadi setelah istri digauli suami, maka mahar harus dibayar penuh sesuai jumlah yang ditetapkan semula.

2. Mahar Mitsil.

Mahar Mitsil atau mahar sebanding adalah mahar yang besarnya tidak ditentukan, tetapi dibayar secara pantas sesuai dengan kedudukan isteri dan kemampuan serta kedudukan suami.9

Menurut Kompilasi Hukum Islam, mahar diberikan berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan dalam ajaran Islam, yaitu:

1. Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.

2. Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria.

3. Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. 4. Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah tidak

menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.

5. Suami yang menalak isterinya qabla ad-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.

6. Apabila suami meninggal dunia qabla ad-dukhul, seluruh mahar yang yang ditetapkan menjadi hak penuh isterinya.

7. Apabila perceraian terjadi qabla ad-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.10

Dalam kenyataan di masyarakat mahar dapat berupa uang, pakaian, benda bergerak atau tidak bergerak, bahkan bisa dalam bentuk pelayanan tertentu kepada

9 Sudarsono,Op.Cit, hal. 56.


(26)

isterinya seperti suami memberikan mahar dalam bentuk mengajarkan ngaji Al-Qur’an kepada istrinya dan lain sebagainya.

Mengenai penuntutan pengembalian mahar akibat perceraian, kasus ini pernah terjadi di Provinsi Aceh yang diputus oleh Mahkamah Syar’iyah Aceh pada tahun 2011, yaitu Putusan Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh.

Kronologi kasus dari putusan tersebut yaitu seorang isteri Nyonya NA mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya Tuan MR yang diajukan kepada Mahkamah Syar’iyah Jantho. Dalam perkara ini pokok permasalahannya adalah telah terjadi perselisihan dan pertengkaran diantara mereka. Setelah menikah Nyonya NA dan Tuan MR tinggal bersama orang tua Nyonya NA, selama kurang lebih dua bulan Tuan MR rutin mendatangi Nyonya NA, namun dua bulan berikutnya Tuan MR tidak pernah datang lagi karena Nyonya NA tidak mau lagi dengan Tuan MR tanpa alasan yang jelas. Nyonya NA minta diceraikan dari Tuan MR karena sudah tidak suka lagi dengan Tuan MR, sementara Tuan MR tetap mau rukun membina rumah tangga. Tuan MR termasuk keluarganya dan perangkat desa bersikap bila Nyonya NA tetap minta bercerai harus mengembalikan mahar kepada Tuan MR yang diserahkan ketika menikah dahulu, sementara Nyonya NA bersikap tidak mau mengembalikan mahar karena itu hak Nyonya NA dan diantara keduanya sudah bercampur sebagaimana layaknya suami isteri.

Berdasarkan uraian diatas, penuntutan pengembalian mahar merupakan suatu permasalahan yang ada dalam suatu perkawinan. Hal ini menjadi salah satu permasalahan yang merugikan pihak isteri karena harus mengembalikan sesuatu benda/barang yang telah menjadi haknya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang merupakan permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah :

1. Apakah yang melatarbelakangi kewajiban pemberian mahar dari calon suami kepada calon isteri dalam perkawinan Islam?


(27)

2. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan seorang suami melakukan penuntutan pengembalian mahar akibat perceraian?

3. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian dengan penuntutan pengembalian mahar Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang kewajiban pemberian mahar dari calon suami kepada calon isteri dalam perkawinan Islam.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan seorang suami melakukan penuntutan pengembalian mahar akibat perceraian.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian dengan penuntutan pengembalian mahar Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.


(28)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk ilmu pengetahuan hukum, agar ilmu itu tetap hidup dan berkembang khususnya tentang hukum perkawinan.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman dan masukan kepada masyarakat serta aparat penegak hukum terkait dalam proses perceraian yang berhubungan dengan penuntutan pengembalian mahar.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “Analisis Yuridis Penuntutan Pengembalian Mahar Akibat Perceraian (Studi Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor: 15/Pdt.G/2011/MS-Aceh)” tidak ditemukan, dengan demikian penelitian adalah asli, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademik. Adapun penelitian terkait dengan perceraian antara lain:

1. Lusinda Maranatha Siahaan, Nim 027011037, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul: “Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada Masyarakat Batak Toba Kristen Di Kota Medan)”.

2. A. Rico H. Sitanggang, Nim 037011006, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul: “Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian (Studi Pada Pengadilan Negeri Siak-Riau)”.


(29)

3. Rubi Ginting, Nim 067011076, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul: “Perkawinan Kontrak Dan Akibat Hukumnya Pada Saat Perceraian (Kontrak Perkawinan Berakhir)”.

4. Sandry Halim, Nim 107011045, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul: “Pembagian Harta Bersama Melalui Pengadilan Pasca Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Putusan-putusan Pengadilan)”.

5. Masyithah, Nim 107011038, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul: “Penuntutan Pengembalian Harta Hadiah Perkawinan Akibat Perceraian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor: 583/Pdt.G/2010/PA/Mdn)”.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk “menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.11 “Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.12 Jelaslah

11W. Friedmann,Teori dan Filsafat Hukum,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996), hal. 2 12 J.J.J. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial,(Jakarta: Jilid I, FE-UI, 1996), hal. 126


(30)

kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya. “Bukan karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung dimasyarakat melainkan juga karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup mereka” 13 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan empiris.14

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis dalam penelitian.15 Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan dan teori kemaslahatan.

Teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls yang memberikan sejumlah penekanan pada pertimbangan yang dikemukakan oleh prinsip ganti rugi. Ini adalah prinsip yang dibutuhkan ketimpangan untuk mengkompensasi, dan karena ketimpangan kelahiran dan alami tidak berhak, maka ketimpangan-ketimpangan tersebut menggantikannya. Maka prinsip tersebut menyatakan bahwa untuk memperlakukan semua orang secara sama, untuk memberikan kesetaraan kesempatan yanggenuine, masyarakat yang harus memberikan perhatian yang lebih besar dalam posisi-posisi sosial yang tidak menguntungkan.16

Kata keadilan juga digunakan dalam pengertian hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif terutama kecocokan dengan undang-undang. Makna harfiahnya berbeda dari pengertian hukum, kata keadilan berarti nilai mutlak.17 Teori keadilan

13

Jujun J. Suryasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 237

14

M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 27

15

Ibid, hal. 80

16

John Rawls,Teori Keadilan, dengan penyunting Kamdani, (Yokyakarta: Cetakan 1, 2006), hal. 120.

17Hans Kelsen, dengan penyunting Nurainun Mangunsong, Pengantar Teori Hukum, (Bandung: Nusa Media, Cetakan 3, 2010), hal. 48


(31)

menyajikan gagasan mengenai keadilan sebagai fairness, suatu teori keadilan yang menggeneralisasikan dan mengangkat konsepsi tradisional ke level abstraksi yang lebih tinggi. Tatanan masyarakat digantikan oleh situasi awal yang melibatkan batasan-batasan prosuderal tertentu pada argumen yang dirancang untuk memunculkan persetujuan awal tentang prinsip keadilan.18

Teori keadilan dalam Islam dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi keadilan yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah. Dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tak bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif. Bagi kaum Mu`tazilah tidak ada cara, dalam batas-batas logika biasa, untuk menerangkan hubungan kekuasaan Allah dengan tindakan manusia. Dengan kata lain, kaum Mu`tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan bentuk obyektivisme rasionalis. Sedangkan Asy`ariah menolak gagasan akal manusia sebagai sumber otonomi pengetahuan etika. Mereka mengatakan bahwa baik dan buruk itu adalah sebagaimana Allah tentukan, dan adalah angkuh untuk menilai Allah berdasarkan kategori-kategori yang diberikan-Nya untuk mengarahkan kehidupan manusia. Konsepsi Asy`ariah tentang pengetahuan etika ini dikenal sebagai subyektivisme teistis, yang berarti bahwa semua nilai etika tergantung pada ke tetapan-ketetapan kehendak Allah yang diungkapkan dalam bentuk wahyu yang kekal dan tak berubah. Kedua pendirian teologis tersebut berdasarkan pada penafsiran ayat-ayat Al-Quran, yang mempunyai pandangan kompleks tentang peranan tanggung jawab manusia dalam mewujudkan kehendak ilahiah di muka bumi.19

18John Rawls,Op.Cit, hal. 3

19 http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA HUKUM ISLAM/TEORI KEADILAN PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM.pdf, diakses pada tanggal 23 Pebruari 2013.


(32)

Selanjutnya adalah teori kemaslahatan yang juga sebagai kerangka dasar dari ide pembaruan hukum Islam yang tetap menjadi sorotan dan terus melaju.

Kemaslahatan dalam perspektif hukum Islam adalah sesuatu yang prinsip. Prinsip maslahat sebagai dasar orientasi perkembangan hukum Islam telah disepakati oleh para ahli. Namun, para ulama cukup berpolemik dalam menentukan kriteria kemaslahatan umum tersebut. Di antara gagasan yang mengemuka dan cukup kontroversial dalam teori kemaslahatan dalam visi pembaruan hukum Islam ini dikemukakan oleh Najm al-Din al-Thufi. Dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi, intisari dari keseluruhan ajaran Islam yang termuat dalam nash ialah kemaslahatan bagi manusia secara universal. Al-mashlahah, dalam gagasan al-Thufi, merupakan dalil yang bersifat mandiri dan paling dominan dalam penetapan hukum. Secara terminologis, al-Thufi merumuskanal-mashlahahsebagai suatu ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadah atau adat kebiasaan. Dengan demikian, al-mashlahah dalam arti syara’ dipandang sebagai sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara’. Pemikiran al-Thufi tentang al-mashlahah membawa nuansa lain terhadap pendapat mayoritas ulama semasanya. Dalam persepsi umum para ulama, kemaslahatan itu harus mendapatkan dukungan dari syara’, baik melalui nash tertentu maupun cakupan makna dari sejumlah nash. Sementara Al-Ghazali memformulasikan teori kemaslahatan dalam kerangka mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syarak. Suatu kemaslahatan, menurut al-Ghazali, mesti sejalan dengan tujuan syarak, meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Atas dasar ini, yang menjadi ukuran darimaslahah itu adalah tujuan dan kehendak syarak, bukan diasaskan pada kehendak hawa nafsu manusia. Secara sederhana maslahat (al-mashlahah) diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat. Secara leksikal, menuntut ilmu itu mengandung suatu kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu itu merupakan penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan batin. Hukum Islam bersifat elastis. Elastisitas hukum Islam sangat adaptatif dengan dinamika perubahan sosial dan kemajuan zaman. Sifat multidimensional dalam ruang lingkup hukum Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia. Tujuan dari penetapan hukum Islam tersebut adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.20

Lebih lanjut fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan /petunjuk serta menjelaskan mengenai gejala yang diamati berdasarkan dari pengertian tersebut serta berangkat dari konsep “mengambil manfaat dan menolak


(33)

kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syarak, meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia” bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual.21 Perkawinan juga bertujuan untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah Allah dan Rasul-Nya dengan tujuan menciptakan rasa tentram dan saling kasih sayang diantara suami dan isteri serta dari sunnah Rasul yang menyatakan, nikah adalah sebagian dari sunnahku (Hadis),22 walaupun pada akhirnya harus mengakhiri perkawinan tersebut dengan perceraian.

Beberapa penulis Belanda memberikan definisi perkawinan sebagai berikut: “perkawinan adalah persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”.23 Secara positif, maka perkawinan itu hanya mungkin dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita (monogami mutlak) dan dari sifatnya yang kekal itu bertujuan untuk melanjutkan kehidupan. Bubarnya perkawinan selain kerena kematian, menurut hukum adalah

21Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hal. 105.

22

Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan 1, 2013), hal. 68

23R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia,( Airlangga University Press, 2002), hal. 35.


(34)

pembubaran yang tidak semestinya dan tidak normal, yang hanya terjadi di dalam kasus-kasus tertentu yang patut dihindari.24

Akibat dari suatu perkawinan memiliki dimensi yang cukup luas antara lain sosial dan hukum, mulai pada saat perkawinan, selama perkawinan maupun setelah perkawinan, karena dalam perkawinan banyak hal yang akan terjadi seperti: keturunan, harta maupun masalah perceraian. Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena salah satu pihak mengajukannya ke Pengadilan, jika suami yang mengajukan perceraian maka pangajuan itu disebut permohonan thalak, sedangkan jika isteri yang mengajukan permohonan perceraian maka disebut gugatan cerai.

Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 132 ayat 1 menyebutkan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami. Berbagai macam alasan dikemukakan untuk dapat dilakukakannya proses perceraian. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai alasan cerai gugat diatur dalam pasal 116, yaitu:

a. Cerai gugat dengan alasan suami berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Cerai gugat dengan alasan suami meninggalkan isteri selama (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak laindan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Cerai gugat dengan alasan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun. 24Ibid


(35)

d. Cerai gugat dengan alasan suami melakukan kekejaman atau penganiayaan. e. Cerai gugat dengan alasan suami mendapat cacat badan atau penyakit. f. Cerai gugat dengan alasan suami isteri terjadi perselisihan terus menerus. g. Cerai gugat dengan alasan suami melakukan pelanggaran sighat taklik talak. h. Cerai gugat dengan alasan suami murtad.

i. Cerai gugat dengan alasan suami melalaikan kewajibannya. j. Cerai gugat dengan alasan syiqaq.

k. Cerai gugat dengan alasan khuluk dan acaranya.

Sementara dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya sedikit yang memuat tentang alasan perceraian, seperti yang terdapat dalam pasal 39 ayat 2 menyebutkan bahwa “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri”.

Apabila perceraian ini terjadi, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap orang-orang yang berkaitan dalam suatu rumah tangga, mulai dari masalah harta bersama, perebutan hak asuh anak sampai ada penuntutan pengembalian mahar sebagai reaksi dari ketidaksenangan akibat perceraian. Jika ditinjau dari segi Hukum Islam tidak diperbolehkan meminta kembali mahar yang telah diberikan apabila telah bercampur atau telah menggauli isterinya.

Mahar adalah suatu pemberian wajib dari seorang suami kepada seorang isteri dalam kaitannya dengan perkawinan. 25 Mahar tersebut mutlak menjadi hak milik


(36)

isteri. Dalam hukum Islam tidak ada aturan yang jelas yang mengatur tentang keharusan isteri untuk mengembalikan mahar ketika mengajukan gugatan cerai. 2. Konsepsi

Konsepsi diartikan sebagai “kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional”.26 Konsepsi digunakan juga untuk memberi pegangan pada proses penelitian oleh karena itu dalam rangka penelitian ini perlu dirumusksn serangkaian definisi agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran.27 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.

Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar atau istilah, agar didalam pelaksanaannya sebagian diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Penuntutan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh Pengadilan serta kemudian diambil putusan terhadap tuntutan tersebut.28

26Masri Singarimbun,Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1999), hal. 34 27Ibid.


(37)

b. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.29

c. Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.30

d. Mahkamah Syar’iyah adalah salah satu lembaga peradilan yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan hukum sebagai salah satu bagian dari sistem peradilan nasional menggantikan kedudukan Pengadilan Agama di Provinsi Aceh.31

e. Dukhul adalah proses terjadinya hubungan suami isteri antara kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang sudah diikat oleh suatu ikatan yang resmi yaitu pernikahan.32

f. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya.33

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu

29Pasal 1 huruf d, Kompilasi Hukum Islam.

30MR. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Indonesia Legal Center

Publishing, Cetakan 2, 2007), hal. 39. 31

KepresNo. 11, Tahun 2003

32repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18933/1/SURINA//MOHAMMAD/NA PIAH-FSH.pdf, diakses tanggal 17 Juli 2013.


(38)

atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.34 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas.

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, artinya adalah bahwa peneliti dalam menganalisis berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya.35 Di sini peneliti ingin menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atas penuntutan pengembalian maskawin akibat perceraian.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai aspek hukum dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku, putusan hakim, yurisprudensi yang berkaitan dengan permasalahan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan dengan melakukan penelaahan terhadap bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan Hukum Primer

34

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: UI-Press, Cetakan 3, 1986), hal. 43.

35Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2010), hal. 183.


(39)

yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

b. Bahan Hukum Sekunder

yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku dan karya ilmiah”.36

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, artikel, majalah, surat kabar dan internet yang masih relevan dengan penelitian ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data sangat penting menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang optimal dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara.

a. Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

36Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 141.


(40)

b. Wawancara dengan informan yang berhubungan dengan materi penelitian ini. Dalam melakukan penelitian lapangan ini dipergunakan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam (indept interview) secara langsung yaitu kepada: Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh. Hasil wawancara yang dilakukan ini digunakan untuk mendukung data sekunder.

4. Analisis Data

Analisis data dapat diartikan sebagai proses menganalisa, memanfaatkan data yang telah terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam proses pengolahan, analisis dan pemanfaatan data dalam penelitian ini menggunakan metodekualitatif yaitu “prosedur penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif, yang bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang dapat diobservasi dari manusia”.37

Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, yaitu dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban terhadap masalah penelitian. Pernarikan kesimpulan menggunakan logika berfikirdedukatif-induktif.


(41)

BAB II

KEWAJIBAN PEMBERIAN MAHAR DARI CALON SUAMI KEPADA CALON ISTERI DALAM PERKAWINAN ISLAM

A. Mahar Dalam Hukum Perkawinan Islam 1. Pengertian Mahar

Secara terminologi, mahar adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya38 dalam kaitannya dengan perkawinan. Pemberian itu dapat berupa uang, jasa, barang, ataupun yang lainnya yang dianggap bermanfaat oleh orang yang bersangkutan.

Kemudian mengenai definisi mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan bahwa mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Dalam ilmu fiqihmaharatau maskawin mempunyai banyak nama. Demikian pula dalam al-Qur’an, maskawin sering disebut dengan sebutan yang berbeda-beda, kadangkala disebut denganshadaq, nihlah, faridhah, atau arjun.Dasar hukum mahar adalah surat An-Nisa ayat 4, yakni: “Berikanlah kepada wanita-wanita yang kamu nikahi maskawin mereka dengan kerelaan”39. Dengan demikian, istilah shadaqah,

38Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan 4, 2010), hal. 84.


(42)

nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi istilah maskawin lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.

Dari beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa mahar merupakan pemberian wajib yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah. Pemberian yang diberikan kepada mempelai perempuan tidak dalam kesempatan akad nikah atau setelah selesai peristiwa akad nikah tidak disebut mahar, tetapinafaqah. Demikian pula pemberian yang diberikan mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah namun tidak kepada mempelai perempuan, tidak disebut mahar.

2. Syarat dan Macam-macam Mahar

Islam membolehkan memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan nilai serendah mungkin yang penting memiliki nilai meski pun tidak besar yang penting kedua belah pihak ridho dan rela atas mahar tersebut. Namun demikian ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam pemberian mahar kepada calon isteri.

Mahar yang diberikan kepada calon isteri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:40

a. Harta/bendanya bergerak.

Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.


(43)

b. Barangnya suci dan dapat diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamar, babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.

c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.

d. Bukan barang yang tidak jelas keberadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa syarat-syarat mahar atau sesuatu yang cocok dijadikan mahar dan yang tidak cocok, ditetapkan 3 (tiga) syarat:41 1. Merupakan suatu barang yang bisa dimiliki dan dijual (emas), barang-barang dan

yang sejenisnya. Tidak boleh memberikan mahar yang berupa khamar, babi, dan yang selain keduanya yang tidak bisa dimiliki.

2. Harus sesuatu yang diketahui. Karena mahar adalah pengganti pada hak yang diberikan ganti, maka dia menyerupai harga barang jadi tidak boleh dengan sesuatu yang tidak diketahui, kecuali dalam pernikahan tafwidh, yaitu kedua belah pihak yang melakukan akad diam ketika ditetapkan mahar didalam akad. Penentuan diserahkan kepada salah satu dari keduanya atau kepada orang yang selain keduanya.

3. Terbebas dari tipuan. Mahar tidak boleh berupa budak yang tengah kabur, unta yang tersesat atau barang yang mempunyai keduanya.


(44)

Menurut pendapat mazhab Maliki dan Hanafi yang bertentangan dengan pendapat Syafi’i dan Ahmad tidak diwajibkan menyifati barang mahar. Jika diberikan mahar yang tidak sesuai dengan yang disifati maka si perempuan memiliki hak untuk menengahi.42

Macam-macam Mahar.

Adanya pernikahan menjadi sebab seorang suami diwajibkan memberikan sesuatu kepada isterinya baik berwujud uang maupun berupa barang. Pemberian ini disebut mahar. Mahar adalah sesuatu yang wajib ada meskipun tidak dijelaskan bentuk dan harganya pada saat akad nikah namun pada kenyataannya yang terjadi ditengah-tengah masyarakat masalah mahar tetap disebutkan pada waktu akad nikah menurut ukuran yang pantas. Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:

a. Mahar Musamma

Mahar Musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.43 Mahar ini yang umum berlaku dalam suatu perkawinan. Suami berkewajiban untuk memenuhi selama hidupnya atau selama berlangsungnya perkawinan, suami wajib membayar mahar tersebut yang nilainya sesuai dengan yang disebutkan dalam akad perkawinan. Ulama fikih sepakat bahwa, dalam pelaksanaannya, maharmusammaharus diberikan secara penuh apabila:

42 Ibid, hal. 238.


(45)

1) Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah Swt. Berfirman:

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun”.(QS An-Nisa: 20)

2) Salah satu dari suami istri meninggal. Dengan demikian menurut ijma’.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengah, berdasarkan firman Allah Swt.

“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu....”(QS Al-Baqarah: 237).44

Mahar musamma sebaiknya diserahkan langsung secara tunai pada waktu akad nikah supaya selesai pelaksanaan kewajiban. Namun dalam keadaan tertentu dapat saja tidak diserahkan secara tunai, bahkan dapat pembayarannya secara cicilan. Sebagian ulama diantaranya Malikiyah menghendaki pemberian pendahuluan mahar setelah akad berlangsung. Apabila mahar tidak dalam bentuk tunai kemudian terjadi putus perkawinan setelah dukhul, sewaktu akad maharnya adalah dalam bentuk


(46)

musamma maka kewajiban suami yang menceraikan adalah mahar secara penuh sesuai dengan yang ditetapkan dalam akad. Demikian juga keadaannya seandainya suami meninggal dunia. Namun bila perceraian terjadi sebelum dukhul, sedangkan jumlah mahar telah ditentukan, maka kewajiban mantan suami hanyalah separuh dari jumlah yang ditetapkan sewaktu akad nikah, kecuali bila yang separuh itu telah dimaafkan oleh mantan isteri atau walinya.

b. Mahar Mitsil (Sepadan)

Mahar Mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan.45 Maksudnya adalan mahar yang diusahakan kepada mahar-mahar yang pernah diterima pendahulunya atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan memperhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya. Bila terjadi demikian (mahar itu disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita atau bibi/bude, atau uwa perempuan (Jawa Tengah/Jawa Timur), atau ibu uwa (Jawa Banten), ataupun anak perempuan dari bibi/bude. Apabila tidak ada, mahar mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.

Para Ulama berbeda pendapat tentang penetapan mahar mitsil. Mazhab Hanafi telah menetapkan bahwa mahar seorang perempuan sebanding dengan mahar seorang isteri dari pihak bapaknya pada waktu akad, bukan sebanding dengan mahar ibunya.


(47)

Seperti mahar saudara perempuannya, bibinya dari pihak bapak, dan sepupu perempuannya dari pihak bapaknya, yang tinggal dinegaranya dan terjadi pada masa itu. Dia mesti sebanding dengan mereka dalam beberapa sifat yaitu seperti umur, kecantikannya, kekayaannya, tingkat kecerdasannya, dan agama.46

Mazhab Maliki dan Syafi’i menetapkan batasan mahar mitsil yaitu, sesuatu yang biasanya diinginkan oleh orang laki-laki yang sepertinya (maksudnya suami) pada orang perempuan (maksudnya isteri). Menurut mazhab Syafi’i yang menjadi standar dalam mahar mitsil adalah mahar kerabat perempuannya yang ashabah. Yang dijadikan standar adalah kerabat perempuan yang paling dekat dengannya yaitu saudara-saudara perempuan, para keponakan perempuan dari saudara laki-laki, para bibi dari pihak bapak. Jika dia tidak memiliki kerabat perempuan ashabah maka yang dijadikan standar adalah perempuan yang memiliki hubungan paling dekat dengannya yaitu ibunya dan bibinya dari pihak ibu. Menurut mazhab Maliki yang menjadi patokan bagi mahar mitsil adalah kerabat perempuan si isteri, kondisi, kedudukan, harta dan kecantikannya seperti mahar saudara perempuan sekandung atau sebapak. Selain itu yang menjadi patokannya adalah persamaan dari segi agama, harta, kecantikan ,akal, etika, umur, keperawanan, janda, negara, nasab dan kehormatan.47

Mazhab Hambali berpendapat jika kebiasaan para kerabatnya adalah meringankan mahar, maka diperhatikan peringanannya. Jika adat mereka menyebutkan mahar yang banyak yang sebenarnya tidak ada, maka keberadaannya

46Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit,hal. 243 47Ibid,hal. 244.


(48)

sama dengan ketiadaannya. Jika adat mereka menangguhkan, maka dibayarkan secara tangguh karena itu adalah kebiasaan mahar kerabat perempuannya. Jika adat mereka tidak ditangguhkan, maka harus dibayarkan langsung karena mahar ini adalah pengganti yang bisa hilang seperti harga barang-barang yang hilang. Jika adat mereka berbeda dalam masalah pembayaran segera dan ditangguhkan, atau berbeda ukuran banyak dan sedikitnya dalam mahar mereka, maka diambil yang pertengahan darinya karena ini adalah suatu keadilan.48

Mahar Mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:

1. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.

2. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.

Mahar mitsil ini diberlakukan apabila isteri telah dicampuri kemudian ia meninggal atau ia belum dicampuri, tetapi suaminya meninggal, ia berhak menerima maskawin dengan mahar mitsil. Apabila ia diceraikan sebelum dukhul, suaminya harus memberi pesangon (mut’ah) yaitu pemberian tertentu yang nilainya diserahkan kepada kemampuan mantan suami.

Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan.


(49)

Firman Allah Swt,:

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.....”(QS AL-Baqarah: 236).49

Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah maharnya tertentu kepada istrinya itu. Sesungguhnya dengan tafwidh tidak diwajibkan sesuatu dengan akad tersebut, hanya saja diwajibkan mahar mitsil berdasarkan akad. Disyaratkan ada keridhaan isteri dengan mahar yang telah ditetapkan oleh suami.

3. Jumlah dan Penyerahan Mahar

Agama Islam tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari mahar. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Disamping itu, setiap masyarakat mempunyai adat kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu, besarnya mahar disesuaikan dengan kebiasaan suatu daerah disamping kondisi ekonomi kedua calon mempelai. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi mahar yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya, sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.50 Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal

49Abdul Rahman Ghozali ,Op. Cit,hal, 94 50Kamal Mukhtar,Op. Cit,hal. 82.


(50)

menyebutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar mahar karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda nabi:

“Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita maka ai berkata: “Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan, wanita tersebutberdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: “Ya Rasulullah saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat kepadanya”. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Adakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: “ Aku tidak memiliki sesuatu selain sarungku ini”. Nabi saw. berkata: “Jika engkau berikan sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu (yang lain)”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa.” Nabi berkata: “Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun. Maka, Rasulullah saw. bersabda: “adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut berkata: “Ada surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya. Nabi saw. berkata: “Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin (mahar) Al-Qur’an yang engkau hafal”(HR Bukhari dan Muslim).51

Islam tidak membatasi jumlah mahar. Islam hanya memberikan prinsip pokok yaitu “secara ma’ruf”. Artinya dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan oleh isteri.52 Mengenai besarnya mahar tidak ada ketentuan khusus yang menyebutkan tentang banyak atau sedikitnya mahar. Para fuqaha sepakat bahwa tidak ada batasan yang paling tinggi untuk mahar53 karena tidak disebutkan dalam syariat yang menunjukkan batasannya yang paling tinggi. Akan tetapi disunnahkan meringankan mahar dan tidak terlalu tinggi dalam menetapkan mahar. Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan paling sedikitnya.

51Ibid,hal. 83.

52Sudarsono,Op. Cit,hal. 55.


(51)

Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syariat Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam Al-Quran dan demikian pula dalam hadist Nabi. Seperti firman Allah SWT, surat Al-Qashash ayat 27,

“Berkatalah dia (Syu’aib): Sesungguhnya aku bermaksud nenikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah urusanmu”.(Al-Qashash: 27).54

Ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mahar ini. Imam Syafi’i, Ahmad, Ishak, Abu Saur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan sebagai mahar. Sebagian Fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.55

54Amir Syarifuddin,Op. Cit, hal. 91. 55Abdul Rahman Ghozali,Op. Cit, hal. 88.


(52)

Tidak ada petunjuk pasti tentang jumlah mahar, maka ulama sepakat menetapkan bahwa tidak ada batas maksimal bagi sebuah mahar. Namun dalam batas minimalnya terdapat beda pendapat dikalangan ulama. Ulama Hanafiah menetapkan batas minimal mahar sebanyak 10 (sepuluh) dirham perak dan bila kurang dari itu tidak memadai dan oleh karenanya diwajibkan mahar mitsil. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah 3 (tiga) dirham perak atau seperempat dinar emas. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabillah tidak memberi batas minimal dengan arti apa pun yang bernilai dijadikan mahar.

Mengenai ukuran atau kadar mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 32 bahwa “penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam” .Dengan demikian, besarnya mahar antara satu dan lain tempat akan berbeda-beda. Hanya saja permintaan yang terakhir ini disindir Nabi dengan sabdanya :

“Wanita yang paling banyak membawa berkah adalah wanita yang paling sedikit maskawinnya.”56

Bila dalam bentuk barang, maka mahar itu harus memenuhi beberapa hal:57 1. Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya.

2. Barang itu miliknya sendiri secara pemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya. Bila salah satunya saja yang dimiliki, seperti

56H. Rahmat Hakim,Op. Cit, hal. 74. 57Ibid, hal. 95.


(53)

manfaatnya saja dan tidak zatnya misalnya barang yang dipinjam, tidak sah dijadikan mahar.

3. Barang itu sesuatu yang memenuhi syarat untuk diperjualbelikan dalam arti barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh dijadikan mahar, seperti minuman keras, daging babi, dan bangkai.

4. Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan dalam arti barang tersebut sudah berada ditangannya pada waktu diperlukan. Barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya tidak dapat dijadikan mahar, seperti burung yang terbang diudara.

Penetapan pemberian mahar dalam masyarakat kita, dikompromikan antara kedua mempelai dan melibatkan keluarga kedua mempelai bahkan sejak jauh-jauh hari sebelum akad nikah dilaksanakan.

Penyerahan mahar

Pelaksanaan pembayaran mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan kebiasaan atau adat masyarakat. Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sehingga sangat bisa dipahami bahwa sebagian dari manusia ada yang kaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya. Oleh karena itu, Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk dapat mencicilnya atau mengangsurnya. Kebijakan


(54)

angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi solusi terbaik antara kemampuan suami dan hak istri, supaya tidak ada yang merasa dirugikan.

Pembayaran mahar dalam Islam dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu: 1. Secara Tunai

Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.”(HR Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim).

Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.

Ulama Imamiyah dan Hambali berpendapat bahwa manakala mahar disebutkan, tapi kontan atau dihutangnya tidak disebutkan, maka mahar harus dibayar kontan seluruhnya. Sementara Hanafi mengatakan, tergantung pada ‘urf yang berlaku. Ia harus dibayar kontan, manakala tradisi yang berlaku adalah seperti itu, dan boleh dihutang pula manakala tradisinya seperti itu pula. Maliki mengatakan bahwsa akad nikah tersebut fasid, dan harus difaskhsebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah terjadi percampuran, akadnya dinyatakan sah dengan menggunakan mahar


(55)

mitsil. Namun Syafi’i berpendapat bahwa apabila hutang tersebut tidak diketahui secara detail, tetapi secara global, misalnya akan dibayar pada salah satu diantara dua waktu yang ditetapkan tersebut (sebelum mati atau jatuh thalak), maka mahar musammanya fasid dan ditetapkan mahar mitsil.58

2. Secara Hutang.

Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik.

Mahar dapat diutang diperbolehkan karena atau perceraian, ini adalah pendapat Al-Auza’i. Perbedaan tersebut dikarenakan pernikahan itu disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau tidak dapat disamakan dengannya. Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli, mereka

58Muhammad Jawad Mughniyah,Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, cetakan 27, 2011), hal. 369.


(56)

berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu adalah ibadah.59

B. Kewajiban Pemberian Mahar Dalam Hukum Perkawinan Islam 1. Alasan Yuridis

Mahar merupakan pemberian pertama seorang suami kepada isterinya yang dilakukan pada waktu berlangsungnya akad nikah. Dikatakan pemebrian pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilakukan oleh suami selama masa perkawinan. Pemberian mahar ini dimaksudkan untuk mempersiapkan dan membiasakan suami menghadapi kewajiban materiil berikutnya.

Kewajiban berlakunya membayar mahar, ulama sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah berlakulah kewajiban untuk membayar separuh dari jumlah mahar yang ditentukan pada waktu akad nikah. Alasannya adalah walaupun putus perkawinan atau kematian seorang diantara suami isteri terjadi sebelumdukhul, namun suami telah wajib membayar separuh mahar yang disebutkan pada waktu akad.

Berlakunya kewajiban pemberian mahar ini dapat ditelaah dari beberapa aspek, diantaranya yaitu:

a. Al-Qur’an

Al-Quran adalah sumber hukum Islam pertama dan utama. Al-Quran memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. Menurut keyakinan umat Islam, Al-Quran adalah kitab


(57)

suci yang memuat wahyu (firman) Allah, Tuhan Yang Maha Esa, asli seperti yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekah kemudian di Madinah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan dikehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan diakhirat kelak.60

Menurut Al-Quran kewajiban pemberian mahar dari seorang suami kepada isterinya, terdapat dalam firman Allah dalam surat An-nisa ayat 4: “Berikanlah maskawin (shadaq, nihlah), sebagai pemberian yang wajib .kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagai maskawin itu senang hati, maka gunakanlah (makanlah) pemberian itu dengan sedap dan nikmat".61 Dalam surat An-nisa ayat 4 juga disebutkan “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan”. Hal ini merupakan dalil bahwa mahar merupakan simbol bagi kemuliaan seorang perempuan. Demikian juga seperti yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 20 “Dan kamu telah memberikan kepada mereka harta yang banyak (maskawin)”.62

Surat An-Nisa ayat 24 juga Allah berfirman:“wanita-wanita yang telah kamu campuri, hendaklah kamu berikan ujrah (maskawin) sebagai suatu kewajiban” dan masih dalam ayat 24 juga ditegaskan “Dan dihalalkan bagimu selain

(perempuan-60

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan 18, 2012) hal. 78.

61Mardani,Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern,Loc. Cit. 62H. Rahmat Hakim,Op. Cit, hal. 72.


(58)

perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina” dan dalam ayat 25 disebutkan bahwa “Dan berilah mereka maskawin yang pantas”.63

Dari dalil-dalil diatas sudah jelas bahwa adanya perintah Allah SWT untuk memberikan maskawin/mahar, dan mahar merupakan syarat dari sahnya akad pernikahan.

b. Al-Hadis

Al-Hadist adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, yang berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah) dan sikap diam (sunnah taqririyah atau sunnah sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadis.64 Ini merupakan penafsiran serta penjelasan tentang Al-Quran.

Mengenai kewajiban mahar, terdapat beberapa Al-Hadis yang menyebutkan kewajiban pembayaran mahar dari seorang suami kepada isterinya. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Sahal bin Sa’ad al-Sa’adiy dalam bentuk muttafaq alaih, yaitu: “Nabi berkata: Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat Al-Quran?, Ia menjawab: Ya, surat ini dan surat ini, sambil menghitungnya. Nabi berkata: Kamu hafal surat-surat itu diluar kepala?, dia menjawab: Ya. Nabi berkata: Pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan Al-Quran”.65

Hadis lainnya adalah Nabi sendiri pada waktu menikahi Sofiyah yang waktu itu masih berstatus hamba dengan maharnya memerdekakan Sofiyah tersebut.

63Ibid.

64Mohammad Daud Ali,Op. Cit, hal. 80. 65Amir Syarifuddin,Op. Cit, hal. 92.


(1)

3. Sebaiknya dalam putusan perkara ini seharusnya Hakim lebih

mempertimbangkan juga hak dan kerugian yang diterima atau dialami oleh isteri,

karena dalam hal ini isteri telah kehilangan haknya yaitu mahar yang merupakan

lambang kehormatan dirinya dan yang mengangkat derajat kaum wanita ke atas


(2)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Abdoerraoef,Al-Quran dan Ilmu Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, 1970

Ali, Mohammad Daud,Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan 18, 2012

Ash-Shiddiqy, Hasbi,Pedoman Rumah Tangga,Medan: Pustaka Maju

Ashshofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum,Jakarta, Rineka Cipta, 2007

Az-Zuhaili, Wahbah,Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta, Gema Insani, 2011

Bahari, Adib, Prosedur Gugatan Cerai + Pembagian Harta Gono-gini + Hak Asuh Anak,Yokyakarta: Pustaka Yustisia, 2012

Barlas, Asma, dengan penyunting Kurniawan Abdullah, Cara Quran Membebaskan Perempuan,Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yokyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2010

Friedmann, W,Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1986

Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cetakan 4, 2010

Hadikusuma, Hilman,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, Cetakan 2, 2003

Hakim, H. Rahmad,Hukum Perkawinan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000

Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1997

Ichsan, Achmad, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986


(3)

Istibsyaroh,Hak-hak Perempuan, Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi,Jakarta: Teraju, 2004

Kelsen, Hans, dengan penyunting Nurainun Mangunsong, Pengantar Teori Hukum, Bandung, Nusa Media, Cetakan 3, 2010

Khamenei, dengan penyunting Arif Mulyadi, Risalah Hak Asasi Wanita,Jakarta: Al-Huda, 2004

Latif, H.M. Djamil, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982

Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994

Malik, Rusdi,Memahami Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Universitas Trisakti, 2009

Manan, Abdul,Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian dalam Siatem Peradilan Islam,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Yokyakarta, Graha Ilmu, Cetakan 1, 2011

Martiman, MR. Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Cetakan 2, 2007.

Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum,Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2005

Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta, Bulan Bintang. 1994

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, Penerbit Lentera, cetakan 27, 2011

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010


(4)

Syariat Islam dalam Hukum Adat Aceh, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2011

Muhammad ‘Uwaidah, Syaikh Kamil, dengan penerjemah Abdul Ghoffar, Fiqih Wanita,Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan 4, 2010

Nasution, Khoruddin,Hukum Perkawinan I, Yokyakarta, ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004

Nasution, Bahder Johan dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam: Kompetensi Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqah, Bandung: Mandar Maju, 1997

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan 3, 2006

Prawirohamidjojo, R. Soetejo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia,Airlangga University Press, 2002

Prins, J,Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982

Ramulyo, Mohd. Idris,Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1996

Rasjidi, Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni, 1982

Rawls, John dengan penyunting Kamdani, Teori Keadilan, Yokyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan 1, 2006

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, penerjemah Mohammad Thalib, Bandung: Al Ma’arif, 1980

Singarimbun, Masri,Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES, 1999

Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, Cetakan 3, 1986

Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2005.

Suryasumantri, J. Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999


(5)

Prenada Media Group, Cetakan 1, 2013

Syaifuddin, Muhammad, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, Jakarta: Sinar Grafika, 2013

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cetakan 3, 2009

Thaib, Hasballah dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Medan, Al-Azhar, 2010

Thalib, Sayuti,Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, Cetakan 5, 1986

Usman, Iskandar, Istihsan dan Pembaruan Hukum Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994)

Wuisman, J.J.J. M. dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta, Jilid I, FE-UI, 1996

Yafizham, T, Persintuhan Hukum Di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Medan: CV. Mustika, cetakan 1, 1977

B. Peraturan Perundang- Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 TentangPerkawinan

Kompilasi Hukum Islam.

Kepres Nomor 11 Tahun 2003.

C. Internet

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA HUKUM ISLAM/TEORI KEADILAN PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM.pdf, diakses pada tanggal 23 Pebruari 2013

Efrinaldi.multiply.com/journal/item/15.teori kemaslahatan, diakses tanggal 23 Pebruari 2013.


(6)

http://qolbifsh.blogspot.com/2012/04/bab-i-pendahuluan-secara-garis-besar.html, diakses tgl 12 juni 2013

repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18933/1/SURINA//MOHAMMA D/NAPIAH-FSH.pdf, diakses tanggal 17 Juli 2013.

http://Indonesianschool.org, Artikel, Aep Saepullah Darusnanwiati, “Mahar, resepsi dan adab malam pengantin menurut petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah”, diakses pada tanggal 20 Agustus 2013