Analisis Kebijakan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan di Kabupaten Nias

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Pada awal pembentukan UUD 1945, ada 2 (dua) tokoh besar yang pertama sekali
mengemukakan tentang masalah pemerintahan daerah, yaitu Moh. Yamin dalam
Sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 dan Soepomo selaku Ketua Panitia Kecil
Perancang Undang – Undang Dasar dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli
1945 dan Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Dalam Sidang BPUPKI itu Moh
Yamin (Huda,2005:1) antara lain menyampaikan bahwa :
“Negeri, Desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan
jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan
sebagai bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk
bagian tengah sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan
Pemerintahan urusan Dalam, Pangreh Praja”

Pada kesempatan itu pula, Moh. Yamin melampirkan suatu rancangan
sementara perumusan Undang – Undang Dasar yang memuat tentang
Pemerintahan daerah, yang berbunyi :

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah yang besar dan keci, dengan
bentuk susunan pemerintahannyaditetapkan dengan undang – undang,
dengan memandang dan mengingat dasar permusyarwaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak – hak asal usul dalam daerah yang bersifat
istimewa” (Huda,2005:1-2)

Dalam pidatonya tanggal 11 Juli 1945 di hadapan BPUPKI, Moh. Yamin
mengemukakan kembali pemikiran mengenai Pemerintahan Daerah, yang antara
lain mengatakan :

Universitas Sumatera Utara

“Pemerintahan dalam Republik ini pertama – tama akan tersusun dari
badan – badan
Masyarakat seperti Desa, yaitu susunan pemerintah yang paling bawah,
pemerintah ini saya namakan pemerintahan bawahan”
“Antara pemerintahan atasan dan pemerintahan bawahan itu adalah
pemeintahan yang baik saya sebut pemerintahan tengahan. Perkara Desa
barangkali tidak perlu saya bicarakan disini, melainkan kita harapkan saja,
supaya sifatnya diperbaharui atau disesuaikan dengan keperluan zaman

baru”
“Tetapi yang perlu ditegaskan disini, yaitu bahwa desa – desa, negeri –
negeri, warga – warga dan lainnya tetaplah menjadi kaki Pemerintahan
Republik Indonesia. Dan di tengah – tengah pemerintahan atasan dan
bawahan, kita pusatkan Pemerintah Daerah”
(Huda, 2005:2)

Seperti halnya Yamin, Soepomo dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945,
juga menyampaikan suatu keterangan yang antara lain mengatakan :
“Tentang daerah, kita menyetujui bentuk persatuan, unie, oleh karena itu
di bawah Pemerintahan Pusat, dibawah negara tidak ada negara lagi. Tidak
ada onderstaat, akan tetapi hanya ada Daerah. Bentuknya daerah itu dan
bagaimana bentuk pemerintahan daerah, ditetapkan dalam Undang –
Undang. Beginilah bunyi pasal 16 :
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah yang besar dan keci, dengan
bentuk susunan pemerintahannyaditetapkan dengan undang – undang,
dengan memandang dan mengingat dasar permusyarwaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak – hak asal usul dalam daerah yang bersifat
istimewa” (Huda,2005:3)
Kemudian, pada 18 Agustus 1945, Soepomo memberikan penjelanan mengenai

rancangan Undang – Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia. Dalam
sidang tersebut, Soepomo memberi penjelasan tentang Pemrintah Daerah sebagai
berikut :
“Di bawah Pemerintah Pusat ada Pemerintah Daerah : Tentang Pemerintah
Daerah disini hanya ada satu pasal, yang berbunyi : Pemerintah daerah
diatur dalam undang – undang hanya saja, dasar – dasar yang telah dipakai
untuk negara itu juga harus dipakai untuk Pemerintahan Daerah, artinya

Universitas Sumatera Utara

pemerintahan daerah juga harus bersifat permusyarwaratan, dengan kata
lain perkataan harus ada Dewan Perwakilan Rakyat. Dan adanya daerah –
daerah istimewa diindahkan dan dihormati, kooti-kooti, sultanat-sultanat
tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya
sebagai daerah, bukan negara, jangan sampai ada salah paham dalam
menghormati adanya daerah.....” (Huda,2005:3)

Berdasarkan pendapat 2 (dua) tokoh perancang Undang – Undang
tersebut, dapat dikatakan bahwa pemberian hak otonom terhadap daerah telah
diterapkan di Indonesia sejak awal kemerdekaan seperti yang tertuang dalam

ketentuan pasal 18 UUD 1945, yang esensinya adalah : pertama, keberadaan
daerah otonomi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang didasarkan
pada asas Desentralisasi. Kedua, satua pemerintahan tingkat daerah menurut UUD
1945 dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan “memandangdan mengingat
dasra

permusyarwaratan

dalam

sistem

pemerintahan

negara”,

ketiga,

pemerintahan tingkat daerah harus disusun dan diselenggarakan dengan
“memandang dan mengingat hak – hal asala usul dalam daerah – daerah yang

bersifat istimewa” (Huda, 2005:3-4)
Ada beberapa Undang – undang yang mengatur terkait dengan pemberian hak
otonom terhadap pemerintahan daerah, seperti penjelasan Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 1945 tanggal 23 November 1945 butir 4e tertulis “mengatur
rumah tangga”, ini agak sulit, sebab dalam Undang – Undang ini tidak
diterangkan “werkking” atau lingkungan kerja dari badan – badan tersebut,
sebagaimana lazimnya perkataan “mengurus rumah tangga”, diterjemahkan
dengan perkataan “otonomi” (syafrudin, 2006;1). Kemudian, terdapat juga
Undang – Undang dan peraturan – peraturan lainnya terkait dengan otonomi
daerah, antara lain Undang – undang nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan

Universitas Sumatera Utara

Daerah, Undang – Undang nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok – Pokok
Pemerintahan Daerah, Penetapan Presiden nomor 6 tahun 1959 tentang
Pemerintah Daerah, Penetapan Presiden nomor 5 Tahun 1960 tentang Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong dan Sekretariat Daerah, Ketetapan
MPR No. IV/MPR/1973, sampai dengan Undang – Undang nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok – Pokok Pemerintahan Di Daerah (syafrudin.2006:2-11).
Otonomi daerah bermakna upaya pembangunan daerah dengan memberikan

keleluasaan daerah dalam menyalurkan, menampung, dan melaksanakan aspirasi
dan partisipasi masyarakat di daerah seluas – luasnya (Ibrahim, 2004:39). Baik
pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian dari
suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya adalah
demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju, dan sejahtera, setiap
orang bisa hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan
dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat (Parjoko, 2002:1).
Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi pada tahun 1999, di satu pihak
membebaskan pemerintah pusat dari beban – beban yang tidak perlu dalam
menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan mempelajari, memahami,
merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya.
Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintahan ke daerah, maka
daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan
prakarsa dan kreatifitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam
mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat (Syaukani dkk,
2003:172).
Selanjutnya,

dengan


didesentralisasikannya

kewenangan

kepada

daerah,

pemerintah dan masyarakat dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri

Universitas Sumatera Utara

secara bertanggung jawab. Pemerintah pusat tidak lagi mempatronasi, apalagi
mendominasi mereka. Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini
adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi, dan mengevaluasi
pelaksanaan ottonomi daerah. Peran ini tidak ringan, tetapi juga tidak membebani
daerah secara berlebihan. Karena itu, dalam kerangka otonomi daerah diperlukan
kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta kepemimpinan yang kuat dari
pemerintah pusat, dengan keleluasaan berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah
daerah (Syaukani dkk, 2003,173).

Mahwood menyatakan desentralisasi adalah pembagian dari sebagian
kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok
– kelompok lain yang masing – masing otoritas dalam wilayah tertentu suatu
negara (Sunarno,2006:43). Dalam penerapannya, otonomi daerah dilaksanakan
dengan visi yang dirumuskan dalam 3 (tiga) ruang lingkup interaksinya yang
utama, yaitu Politik, ekonomi, dan sosial budaya. Di bidang politik, karena
otonomi adalah buah dari desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus
dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala
pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Di bidang ekonomi, otonomi
daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi
nasional di daerah, dan di pihak lain terbukanya peluang bagi pemerintah daerah
dalam mengembangkan kebijakan regional dan lokal umtuk mengoptimalkan
pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Sedangkan di bidang sosial
budaya, otonomi daerah harus dipahami dan dikelola sebaik mungkin demi
menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama,
memelihara nilai – nilai lokal yang di pandang bersifat kondusif terhadap

Universitas Sumatera Utara

kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan sekitarnya (Syaukani dkk,

2006:173-175).
2.2. Analisis Kebijakan Publik
Analisis (Analysis), dalam Random House Dictionary dijelaskan :
1. The separation of any material or absctract entity into its constituent
elements (Opposed to Synthesis).
2. This process as a method of studying the nature of something or of
determining its essential a their relations (Ibrahim, 2004:1)
Dari kedua konsep di tarik suatu konsep bahwa analisis adalah kegiatan
menjabarkan (menguraikan) sesuatu dengan cara tertentu sehingga terlihat
hubungan satu dengan yang lain dari sesuatu. Analisis dapat bersift terfokus
(parsial), komprehensif (multidisiplin) dan komprehensif integral (interdisiplin-er)
(Ibrahim, 2004:1).
Selanjutnya, kebijakan (policy) : Random dalam (Ibrahim, 2004:1-2), yaitu :
1. A definite course of action adopted for the sake expediency facility, etc;
2. Action for procedure conforming to or considered with reference to
prodence or expediency;
3. Prudence, practical wisdom or expediency.
Dari ketiga penjelasan di atas dapat disimpulkan konsep dasar bahwa kebijakan
itu adalah


prosedur memformulasikan sesuatu berdasarkan aturan tertentu.

Disebutkan

juga bahwa kebijakan

itu

bentuknya nyata (praktis) dari

kebijaksanaan.

Universitas Sumatera Utara

Sementara Publik (Public) : Random (Ibrahim, 2004:2) yaitu :
1. Pertaining to, or affecting a population or a community as a whole;
2. Open to all person;
3. Owned by a community;
4. Performed on behalf of a community;
5. Serving a community as an official.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Kebijakan terdiri dari kata bijak
yang berarti selalu menggunakan akal budinya;pandai;mahir;pandai
bercakap



cakap.

Arti

kata

kebijakan

yaitu

kepandaian;kemahiran;kebijaksanaan;rangkaian konsep dan azas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,
dan cara bertindak tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya. Definisi
kebijakan menurut Thomas R. Dye (2012:1)

menyatakan bahwa “what ever

government choose to do or not to do”, artinya apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Pemerintah memegang peranan
penting bukannya melakukan tindakan tertentu juga untuk berbuat sesuatu atau
menetapkan program sesuatu dalam mengatasi permasalahan, akan tetapi
pemerintah hanya akan berdiam diri saja dan tidak melakukan kegiatan apa – apa,
itu pun dapak dikatakan kebijakan pemerintah yang demikian bentuknya.
Pendapat Richard Rose (Darwin, 2005:109) mengatakan bahwa kebijakan publik
adalah rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk
keputusan – keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat
pemerintah, diformulasikan di dalam bidang – bidang itu sejak pertahanan, energi
dan kesehatan sampai pendidikan, kesejahteraan dan kegagalan. Sementara

Universitas Sumatera Utara

menurut william Dunn (Darwin, 2005:139) bahwa kebijakan publik adalah pola
ketergantungan yang kompleks dari pilihan – pilihan kolektif yang saling
tergantung, termasuk keputusan – keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat
oleh badang atau kantor pemerintah.
2.2.1

Prinsip – Prinsip Kebijakan
Dalam proses perumusan dan penerapan kebijakan publik, ada beberapa

prinsip yang harus di perhatikan, yaitu sebagai berikut :
a. Adanya tujuan, yakni adanya sebuah tujuan yang ingin dicapai,
melalui usaha – usaha yang telah disepakati dengan bantuan faktor
pendukung yang ada atau yang diperlukan.
b. Adanya rencana yang merupakan alat atau cara tertentu untuk
mencapainya.
c. Adanya program, yaitu cara yang telah disepakato dan mendapat
persetujuan serta pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
d. Adanya keputusan, yaitu tindakan tertentu yang diambil untuk
menentukan

yujuan,

membuat

dan

menyesuaikan

rencana,

melaksanakan dan mengevaluasi program yang sudah ada.
e. Dampak, yaitu pengaruh yang terjadi atau timbul dari suatu program
dalam masyarakat (Subarsono, 2003).
2.2.1

Langkah – langkah Pengambilan Kebijakan
Langkah langkah dalam pengambilan kebijakan, dapat dirumuskan sebagai

berikut :

Universitas Sumatera Utara

1. Identifikasi masalah, yaitu mencari masalah yang dihadapi, kemudian
digolongkan menurut jenisnya.
2. Penentuan alternatif, yaitu membuat beberapa pilihan penyelesaian
masalah yang dihadapi.
3. Pemilihan alternatif, yaitu menetapkan pilhan yang terbaik dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
4. Penerapan alternatif,

yaitu

pengambilang keputusan

dalam

menerapkan alternatif terbaik yang telah ditetapkan.
5. Evaluasi kebijakan, yaitu melakukan oenilaian terhadap hasil yang
dicapai dari penerapan alternatif dalam menyelesaikan masalah yang
ditimbulkan dari keutusan tersebut. (Subarsono, 2003:13).
2.2.3

Macam – Macam Kebijakan
Menurut Wayne (2005), kebijakan atau keputusan dapat dilihat menurut

bidang tertentu dimana kebijakan itu di keluarkan, yaitu sebagai berikut :
1.

Kebijakan publik, yaitu suatu ruang dalam kehidupan yang bukan
privat atau murni milik individu, tetapi milik bersama atau umum,
dan dibutuhkannya sebuah aturan atau intervensi oleh pemerintah
atau aturan sosial.

2.

Kebijakan ekonomi, yaitu kebijakan

yang dikeluarkan oleh

pemerintah untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang terjadi di
tengah – tengah masyarakat.
3.

Kebijakan Pertahanan dan Keamanan,

yaitu Kebijakan dari

Pemerintah untuk menjaga dan melindungi Bangsa dan Negara dar
gangguan baitu dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Universitas Sumatera Utara

4.

Kebijakan Politik, yaitu keputusan yang dipeluarkan untuk mengatur
dan menjalankan tiap – tiap bentuk dan pembagian kekuasaan dalam
masyarakat.

2.3.

Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu

kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang
telah dirumuskan akan sia – sia. Robert Nakamura & Frank Smallwood dalam
Tangkilisan ( 2003:17) menyatakan bahwa hal – hal yang berhubungan dengan
implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan
menerapkannya dalam sebuah keputusan – keputusan yang bersifat khusus.
Sementara itu Jones dalam Tangkilisan (2003) mengemukakan beberapa dimensi
dari implementasi pemerintahan mengenai program – program yang sudah
disahkan, kemudian menentukan implemntasi, juga membahas aktor – aktor yang
terlibat, dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor.
Jadi , implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara
terus menerus usaha – usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan.
Implementasi kebijakan dalam pengertian luas menurut Lester dan Stewart
(Winarno 2014:147) dapat diartikan sebagai tahap dari proses kebijakan segera
setelah penetapan undang – undang yang mempunyai makna pelaksanaan undang
– undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama
– sama untuk menilai kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan – tujuan
kebijakan atau program – program.
Grindle mengemukakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah
membentuk suatu kaitan (Linkage) yang memudahkan tujan – tujuan kebijakan

Universitas Sumatera Utara

bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena
itu, tugas implementasi mencakup terbentuknya “a policy delivery system”
dimana sarana – saranan tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai
pada tujuan – tujuan yang diinginkan (Winarno 2014:148).
Sementara itu, Edward melihat bahwa implementasi pada sisi lain merupakan
fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses ,
suatu

keluaran

(Output),

maupun

suatu

dampak

(Outcome).

Edward

memperlihatkan pelaksanaan kebijakan sebagai tindakan atau kegiatan yang
memberikan hasil berupa perubahan – perubahan yang tentu saja dapat diukur
dalam kaitannnya dengan program pemerintah (Winarno 2014:147).

2.4

Model Implementasi Kebijakan Publik
Willam Dunn (Tangkilisan 2003:21) mengemukakan bahwa ada beberapa

faktor – faktor yang mempengaruhi kejelasan antara kebijakan dan kinerja
implementasi yaitu :
a.
b.

Standard dan sasaran kebijakan;
Komunikasi antara organisasi dan pengukuran aktifitas;

c.

Karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi;

d.

Kondisi sosial, ekonomi dan politik;

e.

Sumber daya;

f.

Sikap pelaksanaan

Selain itu Rippley dan Franklin menyatakan keberhasilan implementasi
kebijakan program dan ditinjau dari tiga faktor yaitu :
1.

Prespektif
dari

kepatuhan

(compliance) yang

mengukur

Universitas Sumatera Utara

implementasi dari kepatuhan strate level burcancratsterhadap atasan
mereka.
2.

Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan
tiadanya persoalan.

3.

Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang
memuaskan semua pihak terutama kepompok penerima manfaat
yang diharapkan. (Tangkilisan 2003:21)

Pendapat lainnya juga dikemukakan oleh Peters (1982) sebagaimana
dikutip oleh Tangkilisan (2003:22) mengatakan bahwa implementasi kebijakan
yang gagal disebabkan oleh :
1.

Informasi, kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan
adanya gambaran yang kurang tepat kepada objek kebijakan maupun
kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya
dan hasil – hasil dari kebijakan itu.

2.

Isi kebijakan, implementasi kebijakan dapat gagal karena masih
samarnya isi atau tujaun kebijakan atau ketidaktepatan atau
ketidaktegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri,
menujukkan adanya kekurangan yang sangat berarti atau adanya
kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.

3.

Dukungan, implemntasi kebijakan akan sangat sulit bila pada
pelaksananya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.

4.

Pembagian potensi, hal ini terkait dengan pembagian potensi
diantaranya pada aktor implementasi dan juga mengenai organisasi

Universitas Sumatera Utara

pelakasana dalam

kaitannya

dengan

diferensiasi

tugas

dan

wewenang.
Penelitian ini merujuk pada pendekatan yang dikemukakan oleh
George Edward III. Pendekatan yang digunakan terhadap studi implementasi
kebijakan, dimulai dari sebuah intisari dan menanyakan : apakah prakondisi
untuk implementasi kebijakan yang berhasil ? apakah rintangan primer untuk
implementasi kebijakan yang sukses ?. untuk menjawabnya, Edward
merumuskan 4 (empat) faktor atau variabel kritis dalam mengimplementasikan
kebijakan publik : Komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap, dan struktur
birokrasi ( Tangkilisan;2003).
Keempat faktor ini sedang beroperasi secara simultan, dan berinteraksi
satu sama lain untuk membantu atau bersifat merintangi implementasi kebijakan,
pendekatan yang ideal akan harus merefleksikan kompleksitasnya dengan
membicarakan sekaligus. Teori Implemenetasi setiap kebijakan adalah sebuah
proses dinamis, yang ,meliputi interaksi berbagai variabel. Satu bab memliki dua
tujuan : untuk melihat bagaimana faktor yang sedang dibicarakan ini
mempengaruhi implementasi dan menjelaskan mengapa faktor ini muncul sebagai
suatu rintangan terhadap implementasi kebijakan atau mendukungnya.
a.

Komunikasi
Agar implementasi menjadi efektif, maka mereka yang tanggung

jawabnya adalah untuk mengimplementasikan sebuah keputusan mesti tahu apa
yang harus mereka kerjakan. Komando untuk mengimplementasikan kebijakan
mesti ditransmisikan kepada personalia yang tepat, dan kebijakan ini mesti jelas,
akurat, dan konsisten. Jika para pembuat keputusan kebijakan ini berkehendak

Universitas Sumatera Utara

untuk melihat yang diimplementasikan tidak jelas dan bagaimana rinciannya,
maka kemungkinan akan timbul kesalahpahaman antara pembuat kebijakan dan
implementornya. Jelasnya, kebingungan oleh para implementor mengenai apa
yang harus dilakukan meningkatkan berbagai kesempatan dimana mereka tidak
akan mengimplementasikan sebuah kebijakan sebagaimana mereka yang
meloloskan atau mengkomandokannya maksdukan.
Komunikasi yang tidak cukup juga memberikan implementor dengan
kewenangan ketika mereka mencoba untuk membalik kebijakan umum menjadi
tindakan – tindakan khusus. Kewenangan ini tidak akan perlu dilakukan untuk
memajukan tujuan papa pembuatan keputusan aslinya. Dengan demikian,
perinyah – perintah implementasi yang tidak ditransmisikan, yang terdistorsi
dalam transmisi, atau yang tidak pasti atau tidak konsisten mendatangkan
rintangan – rintangan serius bagi implementasi kebijakan. Sebaliknya, urkuran –
ukuran yang terlalu akurat mungkin merintangi implementasi dengan perubahan
kreativitas dan daya adaptasinya.

b.

Sumberdaya

Tidak menjadi soal betapa jelas dan konsisten komando implementasi ini
dan tidak menjadi soal betapa akuratnya komando ini ditransmisikan, jika
personalia yang bertanggungjawab dalam melaksanakan semua kebijakan kurang
sumberdaya untuk melakukan sebuah pekerjaan efektif, implementasi tidak akan
efektif pula. Sumberdaya yang penting meliputi staf ukuran yang tepat dengan
keahlian yang diperlukan; informasi yang relevan dan cukup tentang cara untuk
mengiplementasikan kebijakan dan dalam penyesuaian lainnya yang terlibat di
dalam implementasi; kewenangan untuk menyakinkan bahwa kebijakan ini

Universitas Sumatera Utara

dilakukan semuanya sebagaimana dimaksudkan; dan berbagai fasilitas (termasuk
bangunan, paralatan, tanah, dan persediaan) di dalamnya atau dengannya harus
memberikan pelayanan. Sumberdaya yang tidak cukupakan berarti bahwa undang
– undang tidak akan diberlakukan, pelayanan tidak akan diberikan, dan peraturan
– peraturan yang layak tidak akan dikembangkan.
c. Disposisi
Jika implementasi adalah untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja
mesti para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas
untuk melakukan hal ini, melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk
melakukan suatu kebijakan. Para implementor kebanyaka bisa melakukan seleksi
yang layak di dalam implementasi kebijakan. Salah satu dari berbagai alasan
untuk ini adalah independensinya dari atasan (superior) nominal yang
merumuskan kebijakan. Alasan lain adalah kompleksitas dari kebijakan mereka
sendiri. Cara dimana implementor ini melakukan seleksinya, bagaimanapun juga,
bergantung pada sebagian besar pada disposisinya terhadap kebijakan. Sikap –
sikapnya, pada gilirannya akan dipengaruhi oleh berbagai pandangannya terhadap
kebijakan masing – masing dengan cara apa mereka melihat kebijakan yang
mempengaruhi kepentingan organisasional dan pribadinya.
d. Struktur Birokrasi
Bahkan jika sumberdaya yang cukup untuk mengiplementasikan sebuah
kebijakan ini dan para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan ingin
mengerjakannya, implementasi mungkin masih dicegah karena kekurangan dalam
struktur birokrasi. Frgamentasi organisasi mungkin merintangi koordinasi yang
perlu untuk mengimplementasikan dengan sukses sebuah kebijakan kompleks

Universitas Sumatera Utara

yang mensyaratkan kerjasama banyak orang, dan mungkin juga memboroskan
sumberdaya langka, merintangi perubahan, menciptakan kekacauan, mengarah
kepada kebijakan bekerja dalam lintas-tujuan, dan menghasilkan fungsi – fungsi
penting yang terabaikan.
Sebagaimana unit – unit organisasional selenggarakan kebijakan mereka
mengembangkan

prosedur

pengoperasian

standar

(standard

operational

procedure) untuk menangani situasi rutin dalam pola hubungan yang beraturan.
Malangnya, SOP yang dirancang sering tidak tepat bagi kebijakan – kebijakan
baru dan mungkin menyebabkan perintangan terhadap perubahan, penundaan, dan
pemborosan, atau tindakan – tindakan yang tidak diinginkan. SOP kadang
merintangi bukan membantu implementasi kebijakan. (Tangkilisan 2003:12).
2.5.

Pendelegasian Wewenang

2.5.1 Pengertian Pendelegasian Wewenang
Menurut Hasibuan (2007:64) wewenang adalah kekuasaan yang sah dan legal
yang dimiliki seseorang untuk memerintah orang lain, berbuat atau tidak berbuat
sesuatu, kekuasaan merupakan dasar hukum yang sah dan legal untuk dapat
mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Sedangkan menurut Sutarto (2001:141), wewenang adalah hak seseorang untuk
mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas serta tanggung jawabnya dapat
dilaksanakan dengan baik.
2.5.2. Prinsip Pendelegasian wewenang
Menurut Koontz et al. (1998:379), ada beberapa prinsip dalam
oendegasian wewenang, yaitu antara lain :
1.

Prinsip pendelegasian berdasarkan hasil – hasil yang diharapkan

Universitas Sumatera Utara

2.6.

2.

Prinsip Definisi Fungsional

3.

Prinsip Saklar

4.

Prinsip Tingkat wewenang

5.

Prinsip Kesatuan Komando

6.

Prinsip kemutlakan tanggung jawab

7.

Prinsip keseimbangan wewenang dan tanggung jawab.

Pelayanan Publik
Pelayanan : “ Suatu pendekatan organisasi yang menjadi kualitas

pelayanan yang diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan penggerak utama dalam
pengoperasian bisnis” (Albert dalam Sedarmayanti 2010:243)
Thoha dalam Sedarmayanti ( 2010:243 ) juga menjelaskan bahwa pelayanan
masyarakat yaitu “ Usaha yang dilakukan oleh seseorang dan atau kelompok
orang atau instansi tertentu untuk memberi bantuan dan kemudahan kepada
masyarakat dalam mencapai tujuan “ . Pemberian pelayanan bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan umum yang sesuai dengan azas – azas
umum pemerintahan. Kepentingan umum yaitu “suatu bentuk kepentingan yang
menyangkut orang banyak/masyarakat, tidak bertentangan dengan norma dan
aturan, yang kepentingan tersebut bersumber pada kebutuhan (hajat/hidup) orang
banyak/masyarakat itu “.( Moenir dalam Sedarmayanti 2010:243 ).
“Pelayanan adalah produk – produk yang tidak kasat mata ( tidak dapat
diraba ) yang melibatkan usaha – usaha manusia yang menggunakan peralatan”
Ivancevich dkk dalam Ratminto dan Atik ( 2013:2 ).
Sementara Gronroos dalam Ratminto dan Atik mendefenisikan bahwa :

Universitas Sumatera Utara

“Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat
tidak kasat mata ( tidak dapat diraba ) yang terjadi akibat adanya interaksi
antara konsumen dengan karyawan atau hal – hal lain yang disediakan
oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk
memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan”.

Mahmudi ( 2010:223 ) mengatakan bahwa “ Pelayanan publik adalah
segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggaraan pelayanan
publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang – undangan “.
Sedarmayanti ( 2010:249 ) mengemukakan bahwa pelayanan prima adalah
“ Pelayanan yang diberikan kepada pelanggan ( masyarakat minimal sesuai
dengan standar pelayanan ( cepat, tepat, akurat, murah, dan ramah )
Dalam Sedarmayanti ( 2012:244 ), Nisjar mengemukakan bahwa
“Pelayanan umum adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau kelompok orang
dengan landasan faktor materiil melalui sistem, prosedur, dan metode tertentu dalam
rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan hak dan tanggung
jawab yang melekat pada masyarakat, sehingga pengertian umum harus dimaksudkan
pada mayarakat “ . Selanjutnya Nisjar membagi karakteristik pelayanan yang harus
dimiliki organisasi pemberi pelayanan, antara lain :
a) Prosedur pelayanan harus mudah dimengerti, mudah dilaksanakan,
sehingga terhindar dari prosedur birokratik yang sangat berlebihan,
berbelit – belit.
b) Pelayanan diberikan dengan kejelasan dan kepastian kepada
pelanggan.
c) Pemberian pelayanan diusahakan agar efektif dan efisien.
d) Pemberi pelayana memperhatika kecepatan dan ketetapan waktu
yang ditentukan.
e) Pelanggan setiap saat mudah memperoleh informasi berkaitan
dengan pelayanan secara terbuak.

Universitas Sumatera Utara

f) Dalam melayani, pelanggan diperlukan motto : “ Costumer is king
and costumer is always right “ .
Dari berbagai defenisi – defenisi pelayanan diatas, penulis menyimpulkan bahwa
pelayanan pada dasarnya merupakan segala aktivitas pemenuhan kebutuhan
pelanggan baik dalam bentuk barang dan jasa yang dilaksanakan oleh suatu
organisasi baik publik maupun swasta.
Ratminto dan Atik ( 2013:8 ) membedakan pelayanan publik berdasarkan
organisasi yang menyelenggarakannya antara lain :
a) Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh
organisasi publik.
b) Pelayanan publik atau pelayanan yang diselenggarakan oleh organisasi
privat yang dibedakan lagi menjadi :
 Yang bersifat primer
 Yang bersifat sekunder
Perbedaan diantara ketiga jenis pelayanan publik atau pelayanan umum
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh privat. Ini adalah semua
penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta,
seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, dan sebagainya.
b. Pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah dan bersifat primer. Ini
adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan
oleh pemerintah merupakan satu – satunya penyelenggara dan
pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya
pelayanan administrasi kependudukan, imigrasi, dan pelayananperizinan
lainnya.
c. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat
sekunder. Ini adalah segala bentuk penyediaan barang ataua jasa publik
yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi di dalamnya pengguna/klien
tidak harus memoergunakannya karena adanya beberapa penyelenggaraan
pelayanan, misalnya program asuransi tenaga kerja, pendidikan, dan
pelayanan yang diberikan oleh BUMN.
Zithaml, Parasuraman, dan Berry (1990) dalam Dwiyanto (2012:53)
mengemukakan bahwa kinerja pelayanan publik dapat dilihat melalui berbagai
indikator yang sifatnya fisik. Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dapat

Universitas Sumatera Utara

dilihat melalui aspek fisik pelayanan yang diberikan, seperti tersedianya gedung
yang nyaman, peralatan pendukung yang memilki teknologi canggih, misalnya
komputer, penampilan aparat yang menarik di mata pengguna jasa, seperti
seragam dan aksesoris, serta berbagai fasilitas kanto pelayanan yang memudahkan
bagi masyarakat.
2.7.

Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan ( PATEN )

2.7.1

Pengertian PATEN
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 4 Tahun 2010 tentang

Pedoman

Pelayanan

Adminsitrasi

Terpadu

Kecamatan,

PATEN

adalah

penyelenggaraan pelayanan publik di kecamatan yang proses pengelolaannya,
mulai dari permohonan sampain tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu
tempat, sehingga masyarakat hanya berhubungan dengan petugas di meja/loket
pelayanan.
Dalam pelaksanaannya, warga masyarakat yang hendak melakukan
pengurusan di kantor kecamatan tidak lagi mendatangi setiap pegawai yang
berkepentingan. Warga cukup menyerahkan permohonan yang disertai dokumen –
dokumen pendukung kepada petugas di loket pelayanan, setelah itu menunggu
hingga dokumen tersebut selesai dan melakukan pembayaran (jika ada).
Biaya dalam proses pengelolaan permohonan warga tersebut akan dicatat
secara akuntabel dan transparan serta akan sampai ke kas daerah. Selain itu,
persyaratan untuk memperoleh pelayanan, besarnya biaya dan waktu untuk
memproses pun ada standarnya dan disosialisasikan kepada masyarakat. Sehingga
apabila terdapat ketidaksesuaian antara standar yang telah ditentukan dengan
pelayanan yang diberikan oleh petugas, masyarakat dapa melaporkan kepada

Universitas Sumatera Utara

pengambil kebijakan diatasnya, sehingga penyelenggaraan pelayanan dapat
diawasi secara langsung.
2.7.2

Maksud Penyelenggaraan PATEN
Penyelenggaraan kebijakan PATEN dimaksudkan untuk mewujudkan

kecamatan sebagai pusat pelayanan masyarakat dan simpul pelayanan bagi
badan/kantor pelayanan terpadu satu pintu di kabupaten/kota. Penyelenggaraan
PATEN di kecamatan dipandang lebih efektif dan efisien secara geografis karena
kecamatan berada di wilayah yang dekat dengan masyarakat. Sebagai pusat
pelayanan, pemerintah kecamatan diharapkan bersungguh – sungguh dalam
melaksanakan kebijakan PATEN tersebut.Di dalam Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 138-270 tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Administrasi
Terpadu Kecamatan, dalam rangka mewujudkan kecamatan sebagai penyelenggra
PATEN, maka syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
a. Syarat substantif yaitu adanya pelimpahan sebagian wewenang
perizinan dan non perizinan sesuai dengan skala dan kriteria dari
Bupati kepada Camat, sehingga pada hakikatnya pelaksanaan
otonomi daerah dapat terwujud dengan adanya distribusi
kewenangan demi mewujudkan penyelenggaraan pelayanan
yang dekat dengan masyarakat.
b.

Syarat Administratif, meliputi standar pelayanan dan uraian
tugas personil kecamatan yang ditetapkan dengan Peraturan
Bupati/Walikota.

c.

Syarat teknis, yaitu sarana dan prasarana serta adanya pelaksana
teknis dalam rangka mendukung tercapainya pelaksanaan
pelayanan PATEN.

Universitas Sumatera Utara

Dengan penerapan program PATEN tersebut, diharapkan kualitas
pelayanan publik kepada masayarakat dapat mengalami peningkatan karena dalam
penerpannya dapat melibatkan seluruh pihak, baik pemerintah daerah, kecamatan,
dan juga masyarakat. Pemerintah daerah yang tergabung dalam Tim teknis
PATEN memliki tugas sebagai berikut :
a.

Mengidentifikasi kewenangan Bupati/Walikota berkaitan dengan
pelayanan administrasi yang dilimpahkan kepada Camat;

b.

Mempersiapkan rancangan kebijakan dan petunjuk umum atau teknis
yang dibutuhkan dalam rangka penerapan PATEN;

c.

Memfasilitasi terselenggaranya PATEN; dan

d.

Merekomendasikan kepada Bupati/Walikota untuk kecamatan yang
telah memenuhi syarat ditetapkan sebagai penyelenggara PATEN.
Kewenangan yang dilimpahkan kepada camat di bidang perizinan dan

non perizinan tentunya mengacu pada karakteristik wilayah kecamatan serta
dilakukan

dengan

memperhatikan

efisiensi

dan

efektivitas penyelenggaraan pelayanan. Kewenangan yang dilimpahkan
kepada Camat dapat dibagi berdasarkan Perizinan Skala Besar yang memerlukan
kajian/uji teknis secara mendalam dan Skala Kecil yang tidak memerlukan
kajian/uji
teknis.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2. 1 Skala Perizinan dalam kebijakan PATEN
No

Skala
Perizinan

Kecamatan

1.

Perizinan
Skala Besar

1.Menerima berkas permohonan
dari warga, memverifikasi; dan
mengirimkan berkas dimaksud
ke Badan/Kantor PTSP untuk
diproses lebih lanjut (setelah
sebelumnya
ada
kesepemahaman
antara
Badan/Kantor PTSP dengan
kecamatan.
4. Menerima atau mengambil
dokumen
perizinan yang
telah
diterbitkan
oleh
Badan/Kantor PTSP dan
memberikannya
kepada
pemohon.

2.

Perizinan
Skala Kecil

1. Menerima
permohonan,
memverifikasi,
memproses
dan menerbitkan dokumen
izin.
2. Menyampaikan data
perkembangan perizinan skala
kecil yang telah diterbitkan
kepada Badan/Kantor PTSP.

Badan/Kantor PTSP
2. Memproses berkas yang
diterima dan
telah
diverifikasi
oleh
kecamatan.
3. Menerbitkan
dokumen
perizinan
dan
mengirimkan
dokumen
dimaksud ke kecamatan
untuk diserahkan kepada
pemohon.

3. Menerima
dan
mengelaborasi
data
perkembangan perizinan
skala kecil yang telah
diterbitkan
oleh
kecamatan.

Sumber : Buku Kebijakan
PATEN, Dirjen Pemerintahan Umum
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, 2010.
Pemerintah kecamatan sebagai penyelenggara PATEN merupakan
satuan kerja perangkat daerah yang secara langsung melaksanakan pelayanan
kepada masyarakat. Kedudukan kecamatan sebagai office line dari pemerintah
daerah diharapkan akan menjadi lebih baik serta semakin memperkuat
kedudukan kecamatan sebagai ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan
khusunya penyelenggraan pelayanan publik setelah diterapkannya program
PATEN ini. Dalam pelaksanaannya, pejabat penyelenggara PATEN di
kecamatan yaitu Camat, Sekretaris Kecamatan, dan Kepala seksi yang

Universitas Sumatera Utara

membidangi pelayanan administrasi. Pejabat penyelenggra PATEN tersebut
memiliki tugas sebagai berikut :
1.

Camat adalah penanggung jawab penyelenggaraan PATEN, memiliki
tugas
sebagai berikut :
a.

Memimpin,

mengkoordinasikan, dan

mengendalikan

penyelenggaraan PATEN;
b.

Menyiapkan rancangan anggaran biaya;

c.

Menetapkan pelaksana teknis; dan

d.

Mempertanggungjawabkan kinerja PATEN kepda Bupati/Walikota
melalui Sekretaris Daerah.

2.

Sekretaris Kecamatan memiliki tugas dan kedudukan :
a.

Sekretaris Kecamatan
administrasi

Melakukan

penatausahaan

PATEN;
b.

Sekretaris Kecamatan

adalah Penanggungjawab

kesekretariatan/ketatausahaan penyelenggaraan PATEN;

3.

c. Sekretaris Kecamatan bertanggung jawab kepada Camat
Kepala seksi yang membidangi pelayanan administrasi mempunyai tugas
melaksanakan teknis pelayanan serta bertanggung jawab kepada Camat.
Selanjutnya, masyarakat selain sebagai objek pelayanan juga dapat turut

berpartisipasi dalam penyelenggaraan PATEN. Dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri nomor 4 Tahun 2010 menjelaskan bahwa masyarakat berperan secara aktif
dalam penyelenggaraan PATEN, peran serta tersebut berupa :
a. Ikut serta dalam penyusunan standar layanan;

Universitas Sumatera Utara

b. Memberikan masukan dalam proses penyelenggaraan layanan; dan
c. Memenuhi semua persyaratan pada saat meminta layanan.
Dengan adanya partisipasi baik dari pemerintah daerah, kecamatan dan
juga masyarakat diharapkan program PATEN ini dapat terselenggara dengan baik
dalam rangka mencapai efektivitas dan efisiensi pelayanan publik kepada
masyarakat. Tentunya, jika penyelenggaraan PATEN ini diselenggarakan dengan
baik sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditentukan akan memberikan
manfaat bagi banyak pihak diantaranya bagi pemerintah daerah, kecamatan dan
tentunya masyarakat diantaranya :
1.

Bagi pemerintah daerah :
a. Adanya standar pelayanan umum untuk seluruh kecamatan;
b. Menjadikan kecamatan sebagai (front desk, loket) dari sistem yang
berkualitas di kabupaten/kota;
c. Persiapan bagi proses pelimpahan kewenangan;
d. Adanya indikator pengukuran kinerja kecamatan yang lebih adil dan jelas.

2.

Bagi kecamatan :
a. Memberi kejelasan kepada petugas pelayanan mengenai biaya, waktu, dan
prosedur pelayanan;
b. Lebih memberi keadilan kepada semua staf, sehingga tak ada lagi istilah
bagian yang “basah” dan “kering”;
c. Memperkuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah kecamatan dan
meningkatkan kesadaran warga bahwa pelayanan publik yang berkualitas

Universitas Sumatera Utara

hanya tanggunh jawab pemerintah, tetapi juga warga msayarakat pengguna
layanan;
d. Menimbulkan ketertarikan dari pemerintah kecamatan lain untuk
mempelajari pengelolaannya;
e. Masing – masing kecamatan memiliki visi dan misi pelayanan yang
berkualitas;
f.

Pegawai kecamatan lebih memahami uraian tugas sesuai dengan tupoksi;

g. Standar operasional prosedur (SOP) pelayanan lebih jelas dan transparan;
h. Semangat dan kedisiplinan aparat kecamatan meningkat;
i.

Administrasi dan pengarsipan pelayanan di kecamatan akan lebih rapi dan
tertata.

3.

Bagi masyarakat :
a. Memperoleh pelayanan yang lebih cepat, mudah, tidak dsikriminatif, dan
transparan;
b. Masyarakat akan lebih puasdalam meperoleh pelayanan dari masyarakat;
c. Memperluas akses masyarakat untuk mendapatkan informasi, meniali, dan
memberi masukan agar tercipta pelayanan yang berkualitas;
d. Menghargai martabat dan kedudukan warga pengguna layanan.

2.7.3.Tujuan Penyelenggaraan PATEN
Penyelenggaraan PATEN diselenggarakan untuk mewujudkan pelayanan
yang berkualitas yang dilihat dari aspek dekatnya (waktu) pelayanan. Selama ini,
penyelenggara pelayanan khusunya perizinan maupun non perizinan adalah
Badan/kantor pelayanan perizinan terpadu ataupun satuan kerja perangkat daerah
terkait yang dibangun dalam PTSP. Namun, kecamatan dapat memainkan peran

Universitas Sumatera Utara

sebagai “simpul pelayanan” bagi badan/kantor PTSP kabupaten/kota tersebut. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara warga masyarakat yang hendak mengurus
dokumen – dokumen perizinan dapat membawa berkas permohonan dan
menyerahkan kepada petugas PATEN yang kemudian mengverifikasi berkas –
berkas persyaratan tersebut. Apabila berkas persyaratan tersebut telah lengkap,
maka petugas PATEN akan membawa berkas permohonan tersebut ke
kabupaten/kota untuk diproses lebih lanjut oleh badan/kantor PTSP. Jika telah
diproses dan diselesaikan oleh badan/kantor PTSP kabupaten/kota, kemudian
dikirim kembali ke kecamatan. Sehingga, pelayanan yang diperoleh masyarakat
menjadi lebih baik, berkualitas, mudah, murah, cepat dan transparan.
Tujuan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat melalui PATEN
berarti pelayanan yang diperoleh masyarakat menjadi lebih dekat baik secara jarak
maupun waktu. Masyarakat tidak perlu lagi datang ke badan/kantor PTSP di
kabupaten/kota untuk mengurus dokumen – dokumen perizinan dan non
perizinan, karena dapat dilaksanakan di kantor kecamatan dengan pelayanan
PATEN. Sehingga waktu yang diperlukan menjadi lebih sedikit, serta segala
persyaratan dapat diperoleh dengan mudah dan jelas.

Universitas Sumatera Utara