ZAKAT PROFESI DI INDONESIA SEBUAH DISKUS (1)

ZAKAT PROFESI DI INDONESIA: SEBUAH DISKUSI PERBANDINGAN
PERSPEKTIF YUSUF AL-QARDHAWI DAN DIDIN HAFIDHUDDIN
Profession Zakah in Indonesia: A Comparative Study Between Yusuf Al-Qardhawi’s

Perspective and Didin Hafidhuddin’s Perspective
MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu: Zein Muttaqin, S.E.I., M.A

Disusun Oleh:
Nama
Nisa‟ulِMu‟minah
Siti Nurul Aulia Ahmad

:

NIM
14423154
14423179


PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2016

KATA PENGANTAR

‫بسْ ه الرَ حْ من الرَ حي‬
‫السََ ع يْك ْ رحْ مة ه بركا ته‬
‫ خات‬،‫ ال َ َ ص ِل ع سيِدنا محمَد‬.‫ الَذ حبانا ب ْاْيْمان الي ين‬،‫ا ْلحمْد ه ْالم ْالح ِق ْالمبيْن‬
َ ‫ ع آله‬،‫اأ ْنبياء المرْ س ين‬
ْ ‫ منْ تبع ْ بإحْ سان إل ي‬،‫ أصْ حابه اأ ْخيار أجْ معين‬،‫الطيِبين‬
‫ أمَا بعْ د‬.‫ال ِديْن‬
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam Dzat yang Maha mengetahui dan Maha
mengetahui ilmu pengetahuan, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini bisa
diselesaikan.
Makalah yang berjudul Zakat Profesi di Indonesia: Sebuah Diskusi Perbandingan
Perspektif Yusuf Al-Qardhawi dan Didin Hafidhuddin ini penulis susun guna memenuhi tugas
mata kuliah Bahasa Indonesia.

Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua bantuan yang
telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyusunan makalah ini
hingga selesai.
Secara khusus rasa terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Zein Muttaqin, S.E.I., M.A. selaku dosen mata kuliah Bahasa Indonesia yang
telah memberikan bimbingan dan dorongan dalam penyusunan makalah ini.
2. Keduaِorangِtuaِtercintaِyangِtelahِmemberikanِsemangatِdanِdo‟aِkepadaِpenulisِ
sehingga proses penulisan makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar.
3. Wulan Suci, Nadia Nuril Ferdaus, Evita Dwi Atmaja selaku sahabat yang selalu
memberikan canda tawa, nasehat dan bantuan kalian selama ini.
4. Teman-teman jurusan Ekonomi Islam 2014 yang juga telah banyak membantu
penulis.
5. Para pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas segala
kebaikanِ danِ do‟aِ bagiِ penulisِ semogaِ segalaِ kebaikanِ dibalasِ olehِ Allahِ denganِ
nikmat yang tidak ternilai. Aamiin.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, baik dari segi materi dan
penyajiannya. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dalam
penyempurnaan makalah ini.
Terakhir penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan
bagi pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.

Yogyakarta, 3 Desember 2016 M

Penulis
i

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….

i
ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………...
B. RumusanِMasalah……………………………………………………….
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………… ……

1
3
3


BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian…………………………………………………………………
B. LandasanِHukum………………………………………………………….
C. Syarat, Nisbah, Waktu, Kadar dan Cara Mengeluarkan Zakat Profesi……

4
5
6

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………
B. Saran………………………………………………………………………..

ii

9
12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki penduduk dengan
mayoritas beragama Islam terbesar di dunia. Sebanyak 87 persen dari 246.9 juta
penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam di tahun 2012 (Statistik, 2012).
Sebagaimana kenyataannya bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, maka
agama Islam sangat berpengaruh terhadap kultur yang berkembang. Termasuk pola dan
kecenderungan masyarakat dalam berzakat.
Potensi zakat di Indonesia, berdasarkan hasil survey Public Interest Research and
Advocary Center (PIRAC) meyatakan bahwa potensi dana zakat di Indonesia sangat
besar hingga mencapai Rp 9,09 triliun pada tahun 2007. Potensi ini meningkat Rp 4,64
triliun dibanding tahun 2004 yang potensinya hanya sebesar Rp 4,45 triliun.
Zakat dan sholat di dalam al-Qur‟anِdanِhaditsِdijadikanِsebagaiِlambangِimanِ
seorang Muslim. Pelaksanaan sholat melambangkan baiknya hubungan seseorang dengan
Tuhannya, sedangkan zakat adalah lambang hubungan antara sesama manusia. Oleh
karena itu, zakat dan sholat merupakan pilar-pilar berdirinya bangunan iman di dalam diri
seseorang. Jika keduanya hancur, makan iman seseorang tersebut akan hancur.
Di dalam al-Qur‟an,ِ Allahِ SWTِ telahِ menyinggungِ tentangِ zakatِ danِ sholatِ
sebanyak 28 ayat. Sebanyak 27 kali disebutkan dalam satu ayat bersama sholat dan hanya

satu kali disebutkan dalam konteks yang sama dengan sholat, namun tidak dalam satu
ayat (al-Qardhawi, 1996). Dari sini dapat disimpulkan bahwa setelah sholat, zakat
merupakan rukun Islam terpenting.
Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang
beragama Islam dan diberikan kepada mereka yang disebutkan dalam al-Qur‟anِsurahِAtTaubahِ(9)ِayatِ60ِyaituِfakir,ِmiskin,ِamil,ِmu‟allafِatauِorang yang baru masuk Islam,
riqab atau budak, gharim atau orang yang memiliki banyak hutang, sabilillah atau
pejuang di jalan Allah, dan ibnu sabil atau musafir.

ِ ‫ِ دق ِ ْفق ءِ ْ س كي ِ ْع م ي ِع ْي ِ ْ ف ِِق ب ْمِ فيِ ق‬
ِ‫ْغ مي ِ فيِس ي َِِ ْب ِ س ي ِِف ي ِم َِِِ َِع يمِح يم‬

ِ

Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah (9):
60).
Zakat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah zakat tentang harta dan
yang kedua zakat pertanian (Munawar, 2001). Zakat ini berupa emas, perak, hasil

pertanian (tanaman dan buah-buahan), barang dagangan, ternak, hasil tambang, barang
temuan dan jasa profesi (Sabiq, 1983).

1

Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam, pertama adalah pekerjaan
yang dikerjakan sendiri, tanpa tergantung pada orang lain berkat cekatan tangan ataupun
otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini, merupakan penghasilan professional
seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, advokat, seniman, penjahit, tukang kayu dan
lain-lainnya. Yang kedua adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain
yaitu baik pihak pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah
yang diberikan dengan tangan, otak ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan
seperti itu berrupa gaji, upah, ataupun honorarium (Qardhawi, 1996, p. 459).
Berdasarkan fatwa ulama yang dihasilkan pada waktu Muktaman Internasional
Pertama tentang Zakat di Kuwait pada tanggal 29 Rajab 1404 H yang bertepatan dengan
tanggal 30 April 1984 Masehi, bahwa salah kegiatan yang menghasilkan kekuatan bagi
manusia sekarang adalah kegiatan profesi yang menghasilkan amal yang bermanfaat,
baik yang dilakukan sendiri, seperti dokter, arsitek, dan yang lainnya, maupun yang
dilakukan secara bersama-sama, seperti karyawan atau para pegawai. Semua itu
menghasilkan pendapatan atau gaji. Adapun mengenai penentuan nishab, kadar dan

waktu mengeluarkan zakat profesi sangat bergantung pada qiyas (analogi) (Didin, 2002,
p. 96) yang dilakukan oleh para ulama melalui ijtihadnya.
Zakat profesi adalah istilah yang muncul di zaman sekarang ini. Adapun istilah
ulama‟ِsalafِbagiِzakatِprofesiِbiasanyaِdisebutِdenganِ al-mal al-mustafad yang masuk
dalam kategorinya adalah pendapatan yang dihasilkan dari profesi non zakat yang
dijalani, seperti gaji pegawai negeri atau swasta, konsultan, dokter dan lain-lain, atau
rezeki yang dihasilkan secara tidak terduga seperti undian, kuis berhadiah (yang tidak
mengandung unsur judi), dan lain-lain (Suryorini, 2012).
Zakat profesi tidak pernah ada dalam sepanjang sejarah Islam sejak masa
Rasulullah SAW hingga tahun 60-an terakhir pada abad ke-20 yang lalu. Penggagas zakat
profesi adalah Syeikh Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah, yang cetakan
pertamanya terbit pada tahun 1969. Namun nampaknya Yusuf Qardhawi dalam hal ini
mendapat pengaruh dari dua ulama lainnya, yaitu Syeikh Abdul Wahhab Khillaf dan
Syeikh Abu Zahrah (Riyadi, 2015). Di Indonesia salah satu ikon zakat profesi yang
cukup terkenal adalah Dr. Didin Hafidhuddin, M.Sc. sebagaimana naskah disertasi doktor
yang diajukannya. Guru Besar IPB dan ketua umum BAZNAS ini mencoba
mendefinisikan profesi ialah setiap keahlian atau pekerjaan apapun yang halal, baik yang
digunakan sendiri maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti pegawai atau karyawan
(Riyadi, 2015)
Yusuf al-Qardhawi menyandarkan hukum zakat profesi pada hadits dan beberapa

riwayat yang berasalِIbnuِAbbas,ِMu‟awiyyah,ِUmarِbinِAbdِal-„AzizِdanِIbnuِMas‟udِ
serta metode yang digunakan merupakan metode qiyas. Diantara riwayat tersebut di atas
yang ditonjolkan oleh Yusuf al-Qardhawiِ ialahِ riwayatِ dariِ Ibnuِ Mas‟udِ yangِ
memotong gaji para tentara untuk zakat sebesar 25 dari tiap seribu.
Sedangkan Didin Hafidhuddin (2002) dalam menggali hukum zakat profesi
dengan menggunakan qiyas syibhi (penyerupaan), lebih jauh lagi profesi sebagai kegiatan
yang menghasilkan amal yang bermanfaat apakah dengan berwirausaha sendiri seperti
dokter, insinyur, ahli hukum maupun yang dilakukan secara bersama-sama, seperti para
karyawan atau para pegawai, apabila penghasilan dan pendapatannya mencapai nisbah,
maka wajib dikeluarkan zakatnya. Semua itu menghasilkan pendapatan atau gaji (p. 94).

2

Dari argumen di atas, baik yang dikemukakan oleh Yusuf al-Qardhawi maupun
oleh Didin Hafidhuddin dapat dilihat adanya perbedaan metode yang digunakan dalam
menetapkan hukum zakat profesi tersebut. Metode yang digunakan oleh Yusuf alQardhawi adalah metode qiyas, sedangkan metode yang digunakan oleh Didin
Hafidhuddin adalah metode qiyas syibhi. Selain perbedaan metode dalam menggali
hukum zakat profesi, masih ada perbedaan dalam hal dasar hukum, syarat, nisabah,
waktu, kadar dan cara mengeluarkan zakat profesi yang perlu digali lebih dalam.
Oleh sebab itu dengan dilatarbelakangi masalah tersebut, penulis tertarik untuk

membuatِ makalahِ yangِ berjudulِ “Zakatِ Profesiِ diِ Indonesia:ِ Sebuahِ Diskusiِ
Perbandingan Perspektif Yusuf al-QardhawiِdanِDidinِHafidhuddin”.
1.2.Rumusan Masalah
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Yusuf al-Qardhawi maupun oleh Didin
Hafidhuddin dapat dilihat adanya perbedaan metode yang digunakan dalam menetapkan
hukum zakat profesi tersebut. Metode yang digunakan oleh Yusuf al-Qardhawi adalah
metode qiyas, sedangkan metode yang digunakan oleh Didin Hafidhuddin adalah metode
qiyas syibhi. Selain perbedaan metode dalam menggali hukum zakat profesi, masih ada
perbedaan dalam hal dasar hukum, syarat, nisbah, waktu, kadar dan cara mengeluarkan
zakat profesi yang perlu digali lebih dalam.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dan untuk memfokuskan makalah ini,
maka penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana definisi zakat profesi?
2. Apa saja landasan hukum dari zakat profesi?
3. Bagaimana perbandingan zakat profesi perspektif Yusuf al-Qardhawi dan
Didin Hafidhuddin dari segi syarat, nisbah, waktu, kadar dan cara
mengeluarkannya?
1.3.Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan definisi zakat profesi.
2. Untuk menjelaskan perbandingan landasan hukum yang digunakan oleh Yusuf alQardhawi dan Didin Hafidhuddin dalam mengkaji zakat profesi.

3. Untuk menjelaskan perbandingan zakat profesi perspektif Yusuf al-Qardhawi dan Didin
Hafidhuddin dari segi syarat, nisbah, waktu, kadar dan cara mengeluarkannya.

3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pengertian
A. Menurut Etimologi (Bahasa)
Zakat menurut bahasa dari awal kata zakka , tuzakki, tazkiyah, zakat yang
mempunyai arti membersihkan atau menyucikan harta kita yang lebih yang bukan haknya
(Bakry, 1988, p. 243). Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur‟anِ surahِ AtTaubah ayat 103 yang berbunyi:

ِ ‫خ ْ ِم ْ ِ ْم ْمِصدق ِتط ه ْمِ ت كي ْمِب ِ ص ِع ْي ْمِِ ِصَتكِس‬
ِ‫ْمِِ َِس يعِع يم‬
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah (9): 103).

Maksud dari ayat tersebut adalah zakat itu berfungsi untuk membersihkan mereka
dari kekikiran dan cinta yang berlebihan kepada harta benda. Zakat disini dimaksudkan
untuk menyuburkan sifat-sifat kebaikan seperti solidaritas dan kasih sayang dalam hati
mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
Sedangkan menurut Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad al-Husaini
dalam kitabnya Kifayatul Akhyar (terjemahan), lafadz zakat menurut bahasa berarti
tumbuh dan berkah serta banyaknya kebajikan.
Sementara itu, profesi dalam Islam dikenal dengan istilah al-kasb, yaitu harta
yang diperoleh melalui berbagai usaha, baik melalui kekuatan fisik, akal pikiran, maupun
jasa (Hadi, 2010).
Kata profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian
(keterampilan dan kejuruan) yang terkait dengan jasa yang diusahakan oleh manusia, baik
itu perorangan juga secara perkelompok atau grup seperti dokter, insyinyur, desainer,
konsultan hukum, dan lainnya (Nasional, 2007).
B. Menurut Terminologi (Istilah)
Zakat menurut para ulama adalah harta yang wajib dikeluarkan pada nisabnya dan
pembagiannya pun diatur kepada orang-orang yang berhak menerimanya semua itu diatur
olehِ syari‟atnya.ِ Imamِ Taqiyuddinِ dalamِ kitab Syarah Kifayatul Akhyar (terjemahan)
menambahkan bahwa zakat menurut syara ialah nama dari sejumlah harta yang tertentu
yang diberikan kepada golongan tertentu dengan syarat-syarat tertentu. Dinamakan zakat,
karena harta itu akan bertambah (tumbuh) disebabkan berkah dikeluarkan zakatnya dan
do‟aِ dariِ orangِ yangِ menerimanya.ِ Sesuaiِ denganِ firmanِ Allahِ dalamِ surahِ Ar-Rum
ayat 39 yang berbunyi:
4

ِ ‫ِفَِي ْ ب ِع ْدَِِِ م ِآتيْت ْمِم ْ ِ ك‬

ِ
‫ْ عف‬

‫م ِآتيْت ْمِم ْ ِ ب ِ ي ْ ب ِفيِ ْم‬
ْ ِ‫ت يد ِ جْ هَِِف ٰ كِهم‬

Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Rum (30): 39).
Yang dimaksud dengan zakat profesi adalah zakat yang berasal dari penghasilan
dan pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukan
sendiri maupun bersama-sama juga berkelompok dan sebagainya melalui sistem upah dan
gaji, yang sampai nisabnya wajib dikeluarkan (al-Qardhawi, 1991).
Sedangkan menurut Didin Hafidhuddin (2002), zakat profesi adalah zakat yang
dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian tertentu, baik yang dilakukn sendiri maupun
bersama orang lain atau lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang
memenuhi nisab (batas minimum untuk berzakat) (p. 103).
Jadi, yang dimaksud dengan zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada tiaptiap pekerjaan tertentu baik yang dilakukan sendiri maupun dilakukan bersama-sama atau
lembaga tertentu yang menghasilkan uang.
2.2.Landasan Hukum
Landasan hukum yang dijadikan landasan umum oleh Yusuf al-Qardhawi dalam
menetapkan hukum zakat profesi diantaranya adalah firman Allah surah al-Baqarah ayat 267
yang berbunyi:

َِ ِِ ْ ْْ ِ ‫ي ِ ي ِ ي ِآم ِ ْفق ِم ْ ِ ي ِم ِكس ْت ْمِ م ِ ْخ جْ ِ ْمِم‬
ِ‫ِفيهِِۚ ْع ِ َِِغِ ٌي‬
‫تي ِ ْخ يثِم ْهِت ْفق ِ سْت ْمِب خ يهِ َِ ْ ِت ْغ‬
َِ‫ح يد‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Al-Baqarah (2): 267).
Dari ayat tersebut, Yusuf al-Qardhawi berkesimpulan bahwa seluruh hasil usaha
yang dilakukan oleh manusia terkena kewajiban zakat, karena kata anfiqu tersebut juga
bermaknaِ“zakat”.
Setelah itu Yusuf al-Qardhawi menyandarkan hukum zakat profesi itu pada hadits
danِbeberapaِriwayatِyangِberasalِdariِIbnuِAbbas,ِMu‟awiyyah,ِUmarِbinِAbdِal-„Azizِ
5

danِ Ibnuِ Mas‟ud.ِ Diantaraِ riwayatِ tersebutِ diِ atasِ yangِ ditonjolkan oleh Yusuf alQardhawiِadalahِriwayatِdariِIbnuِMas‟udِyangِmemotongِgajiِparaِtentaraِuntukِzakatِ
sebesar 25 dari tiap seribu. Yusuf al-Qardhawi menyimpulkan bahwa pemotongan
tersebut sama dengan 2.5% dari gaji mereka (para tentara).
Sedangkan menurut Didin Hafidhuddin ada beberapa hal yang bisa dijadikan
landasan hukum tentang adanya kewajiban zakat profesi, salah satunya adalah ayat
berikut:

ِ ‫خ ْ ِم ْ ِ ْم ْمِصدق ِتط ه ْمِ ت كي ْمِب ِ ص ِع ْي ْمِِ ِصَتكِِس‬
ِ‫ْمِِ َِس يعِع يم‬
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah (9): 103).
Didin Hafidhuddin (2002) berpandangan bahwa dalam konteks masyarakat
modern sumber zakat telah berkembang dari waktu ke waktu dan perlu mendapatkan
perhatian serta keputusan status zakatnya (p. 92). Untuk itu, menurutnya qiyas sebagai
salah satu yang banyak dipergunakan untuk menentukan hukum.
Didin Hafidhuddin (2002) dalam menggali hukum zakat profesi dengan
menggunakan qiyas syibhi (penyerupaan), lebih jauh lagi profesi sebagai kegiatan yang
menghasilkan amal yang bermanfaat apakah dengan berwirausaha sendiri seperti dokter,
insyinyur, ahli hukum maupun yang dilakukan secara bersama-sama, seperti para
karyawan atau para pegawai, apabila penghasilan dan pendapatannya mencapai nisbah,
maka wajib dikeluarkan zakatnya. Semua itu menghasilkan pendapatan atau gaji (p. 94).
Sehingga permasalahan tentang zakat profesi diukur melalui penghasilan atau keahlian
yang halal.
2.3.Syarat, Nisbah , Waktu, Kadar dan Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
A. Menurut Yusuf Al-Qardhawi
Menurut Yusuf al-Qardhawi kategori zakat profesi (yang wajib dizakati) adalah
segala macam pendapatan yang didapat bukan dari harta yang sudah dikenakan zakat (p.
947). Artinya, zakat profesi didapat dari hasil usaha manusia yang mendatangkan
pendapatan dan sudah mencapai nishab. Bukan dari jenis harta kekayaan yang memang
sudah ditetapkan kewajibannya melalui al-Qu‟anِdanِhaditsِNabi,ِsepertiِhasilِpertanian,ِ
peternakan, perdagangan, harta simpanan berupa uang, emas dan perak, dan harta rikaz.
Jadi kewajiban zakat profesi merupakan kewajiban baru dari hasil ijtihad ulama yang
belum ditetapkan sebelumnya, melalui dalil al-Qur‟anِataupunِas-Sunnah.
Termasuk kategori zakat profesi adalah upah dan gaji yang dihasilkan seseorang
dari bekerja, sebagaimana hal tersebut dikatakan al-Qardhawi yaitu akibat dari tafsiran
itu, kecuali yang menentang, adalah bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau
semacamnya sebulan dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup
nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun. Yang menarik adalah pendapat guru-guru
besar tentang hasil penghasilan dan profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-lainnya di
6

atas, bahwa mereka tidak menemukan persamaannya dalam fikih selain apa yang
dilaporkan tentang pendapat Ahmad tentang sewa rumah diatas. Tetapi sesungguhnya
persamaan itu ada yang perlu disebutkan di sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat
digolongkan kepada kekayaan penghasilan, yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang
Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama. Jadi pandangan
fikihِ tentangِ bentukِ penghasilanِ ituِ adalah,ِ bahwaِ iaِ adalahِ “hartaِ penghasilan”ِ (alQardhawi, 1973, p. 491).
Intinya, kewajiban zakat profesi merupakan kewajiban baru dari hasil ijtihad
ulama yang belum diterapkan sebelumnya, melalui dalil al-Qur‟anِ yangِ umumِataupunِ
melalui inspirasi Sunnah yang sejalan dengan prinsip al-Qur‟anِtersebut.
Al-Qardhawi (1973) mengutip pendapat Muhammad al Ghazali dalam membahas
nishab zakat profesi yang cenderung menqiyaskan zakat profesi dengan zakat al zuru’
(zakat tanaman dan buah-buahan) (p. 491).
Menurut Muhammad al Ghazali, nishab zakat profesi disamakan dengan
nishabnya zakat tanaman dan buah-buahan, sebagai pelengkap, dia memberikan
penjelasanِ “siapapunِ yangِ mempunyaiِ pendapatanِ yangِ mencapaiِ (senilai)ِ 635ِ kgِ
(padi),ِmakaِwajibِberzakat”.ِ
Al-Qardhawi dalam menetapkan rumusan nishab zakat profesi adalah
menyamakannya dengan nishab zakat emas atau perak, hal tersebut sebagaimana
dikatakan al-Qardhawi (1973), yang paling penting dari besar nisab tersebut adalah
bahwa nisab uang diukur dari nisab tersebut yang telah kita tetapkan sebesar nilai 85
gram emas. Besar itu sama dengan dua puluh misqal hasil pertanian yang disebutkan oleh
banyak hadits. Banyak orang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, maka
yang paling baik adalah menetapkan nisab gaji itu berdasarkan nisab uang (p. 513).
Dari keterangan tersebut dapat diketahui al-Qardhawi (1996) berpendapat bahwa
orang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, maka yang paling baik
adalah menetapkan nishab gaji itu berdasarkan nishab uang (p. 482). Oleh karena itu,
berdasarkan pendapat al-Qardhawi tersebut nishab dan prosentase zakat profesi adalah
disamakan dengan zakat uang, emas, dan perak senilai 85 gram dan kadarnya 2.5%.
Sistem yang dipergunakan dalam pengeluaran zakatnya adalah dengan
mengumpulkan gaji atau penghasilan yang diterima berkali-kali dalam waktu tertentu
mencapai nishab yaitu 85 gram emas (al-Qardhawi, 1973, p. 484). Hal ini dapat
ditemukan pada kasus nishab pertambangan, di mana ulama-ulama fiqh berpendapat hasil
yang diperoleh dari waktu ke waktu yang tidak pernah terputus di tengah akan
melengkapi untuk mencapai nishab.
Menurut al-Qardhawi, zakat profesi tersebut diambilkan dari sisa pendapatan
bersih setahun, yang dimaksudkan supaya apabila ada hutang dan biaya hidup terendah
serta yang menjadi tanggungan seseorang bisa dikeluarkan.
B. Menurut Didin Hafidhuddin
Syarat-syarat harta kekayaan yang wajib dizakati, salah satunya adalah cukup
batas nishab. Dengan demikian, penghasilan yang mencapai nishab seperti gaji yang
tinggi dan honorarium yang besar dari para pegawai atau karyawan serta penghasilan
yang didapat dari keterampilan atau keahlian tertentu, maka wajib dikenakan zakat.
Menurut Hafidhuddin (2002) terdapat beberapa kemungkinan dalam menentukan nishab,
kadar, dan waktu pengeluaran zakat profesi. Hal ini tergantung pada qiyas (analogi) yang
dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut (p. 96-97).
7

Pertama, jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nishab, kadar dan
waktu mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan zakat emas dan perak.
Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2.5% dan waktu mengeluarkannya
setahun sekali setelah dikurangi kebutuhan pokok.
Contoh: jika A berpenghasilan Rp 5.000.000,00 setiap bulan dan kenutuhan
pokok per bulannya sebesar Rp 3.000.000,00 maka besar zakat yang dikeluarkannya
adalah: 2,5% x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 600.000,00 per tahun atau Rp
50.000,00 per bulan.
Kedua, jika dianalogikan pada zakat pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg
padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar lima persen dan dikeluarkan pada setiap
mendapatkan gaji atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Dalam contoh kasus di atas,
maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp
1.200.000,00 per tahun atau Rp 100.000,00 per bulan.
Ketiga, jika dianalogikan pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesar 20 persen
tanpa ada nisbah, dan dikeluarkan pada saat menerimanya. Pada contoh di atas, maka si
A mempunyai kewajiban berzakat sebesar 20% x Rp 5.000.000,00 atau sebesar Rp
1.000.000,00 setiap bulan.
Hafidhuddin (2002) berpendapat, bahwa zakat profesi bisa dianalogikan pada dua
hal secara sekaligus, yaitu pada zakat pertanian dan zakat emas dan perak. Dari sudut
nishab dianalogikan pada zakat pertanian, yaitu sebesar lima ausaq atau senilai 653 kg
padi atau gandum dan dikeluarkan pada saat menerimanya. Misalnya setiap bulan bagi
karyawan yang menerima gaji bulanan langsung dikelarkan zakatnya, sama seperti
pertanian yang dikeluarkan pada saat panen. Zakat profesi tidak ada ketentuan haul,
karena dianalogikan pada zakat pertanian. Pengeluaran dilakukan pada saat menerima,
misalnya setiap bulan. (p. 97)
Zakat profesi dianalogikan dengan zakat pertanian, karena ada kemiripan antara
keduanya (al-syabah). Dari sudut kadar zakat, dianalogikan pada zakat uang, karena
memang gaji, honorarium, upah dan yang lainnya, pada umumnya diterima dalam bentuk
uang. Karena itu kadar zakatnya adalah sebesar 2.5%.
Maka dari itu, jika seorang konsultan mendapatkan honorarium misalnya lima
juta rupiah setiap bulan, dan ini sudah mencapai nisbah, maka ia wajib mengeluarkan
zakatnya sebesar 2.5 persen sebulan sekali. Demikian pula misalnya seorang pegawai
perusahaan swasta yang setiap bulannya menerima gaji sepuluh juta rupiah, maka ia
wajib mengeluarkan zakatnya sebsar 2.5 persen sebulan sekali. Sebaliknya seorang
pegawai yang bergaji satu juta rupiah setiap bulan, dan ini belum mencapai nisbah, maka
ia tidak wajib berzakat. Akan tetapi kepadanya diankurkan untuk berinfaq dan
bersedekah, yang jumlahnya bergantung pada kemampuan dan keikhlasannya. Hal ini
sejalan dengan surah Ali Imran ayat 134. Dalam perspektif ekonomi modern, Didin
(2002) berpendapat bahwa zakat profesi termasuk kategori flows (p. 98).

8

BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada tiap-tiap pekerjaan tertentu baik
yang dilakukan sendiri maupun dilakukan bersama-sama atau lembaga tertentu yang
menghasilkan uang. Adapun landasan hukum zakat profess adalah sebagai berikut:

َِ ِِ ْ ْْ ِ ‫ي ِ ي ِ ي ِآم ِ ْفق ِم ْ ِ ي ِم ِكس ْت ْمِ م ِ ْخ جْ ِ ْمِم‬
ِ‫ِفيهِِۚ ْع ِ َِِغِ ٌي‬
‫تي ِ ْخ يثِم ْهِت ْفق ِ سْت ْمِب خ يهِ َِ ْ ِت ْغ‬
َِ‫ح يد‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Al-Baqarah (2): 267).
Dari ayat tersebut, Yusuf al-Qardhawi berkesimpulan bahwa seluruh hasil usaha
yang dilakukan oleh manusia terkena kewajiban zakat, karena kata anfiqu tersebut juga
bermaknaِ“zakat”.
Sedangkan menurut Didin Hafidhuddin ada beberapa hal yang bisa dijadikan
landasan hukum tentang adanya kewajiban zakat profesi, salah satunya adalah ayat
berikut:

ِ ‫خ ْ ِم ْ ِ ْم ْمِصدق ِتط ه ْمِ ت كي ْمِب ِ ص ِع ْي ْمِِ ِصَتكِس‬
ِ‫ْمِِ َِس يعِع يم‬
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah (9): 103).

Didin Hafidhuddin berpandangan bahwa dalam konteks masyarakat modern
sumber zakat telah berkembang dari waktu ke waktu dan perlu mendapatkan perhatian
serta keputusan status zakatnya. Untuk itu, menurutnya qiyas sebagai salah satu yang
banyak dipergunakan untuk menentukan hukum.
Menurut Yusuf al-Qardhawi kategori zakat profesi (yang wajib dizakati) adalah
segala macam pendapatan yang didapat bukan dari harta yang sudah dikenakan zakat,
9

yang termasuk kategori zakat profesi adalah upah dan gaji yang dihasilkan seseorang dari
bekerja. Sedangkan ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun
atau akhir tahun.
Al-Qardhawi mengutip pendapat Muhammad al Ghazali dalam membahas nishab
zakat profesi yang cenderung menqiyaskan zakat profesi dengan zakat al zuru’ (zakat
tanaman dan buah-buahan). Sistem yang dipergunakan dalam pengeluaran zakatnya
adalah dengan mengumpulkan gaji atau penghasilan yang diterima berkali-kali dalam
waktu tertentu mencapai nishab yaitu 85 gram emas. Hal ini dapat ditemukan pada kasus
nishab pertambangan, di mana ulama-ulama fiqh berpendapat hasil yang diperoleh dari
waktu ke waktu yang tidak pernah terputus di tengah akan melengkapi untuk mencapai
nishab. Menurut al-Qardhawi, zakat profesi tersebut diambilkan dari sisa pendapatan
bersih setahun, yang dimaksudkan supaya apabila ada hutang dan biaya hidup terendah
serta yang menjadi tanggungan seseorang bisa dikeluarkan.
Sedangkan menurut Didin Haafidhuddin, syarat-syarat harta kekayaan yang wajib
dizakati salah satunya adalah cukup batas nishab. Dengan demikian, penghasilan yang
mencapai nishab seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang besar dari para pegawai
atau karyawan serta penghasilan yang didapat dari keterampilan atau keahlian tertentu,
maka wajib dikenakan zakat. Menurut Hafidhuddin terdapat beberapa kemungkinan
dalam menentukan nishab, kadar, dan waktu pengeluaran zakat profesi. Hal ini
tergantung pada qiyas (analogi) yang dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nishab, kadar dan waktu
mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan zakat emas dan perak.
Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2.5% dan waktu
mengeluarkannya setahun sekali setelah dikurangi kebutuhan pokok.
2) Jika dianalogikan pada zakat pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg padi atau
gandum, kadar zakatnya sebesar lima persen dan dikeluarkan pada setiap
mendapatkan gaji atau penghasilan.
3) Jika dianalogikan pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesar 20 persen tanpa ada
nisbah, dan dikeluarkan pada saat menerimanya.
3.2.Saran
Sosialisasi zakat secara komprehensif yang berkaitan dengan hukum, hikmah,
tujuan, dan sumber-sumber zakat secara rinci serta tata cara perhitungannya, harus terusmenerus dilakukan. Sosialisasi ini dilakukan dengan menggunakan berbagai media,
seperti khotbah Jum‟at, majelis taklim, audio visual, brosur, surat kabar, dan majalah.
Sosialisasi ini dilakukan oleh para da‟i dan tokoh agama, dan terutama juga oleh
lembaga-lembaga pemgumpul zakat.
Untuk mengetahui perkembangan sumber zakat sejalan dengan perkembangan
ekonomi modern, lembaga-lembaga pengumpul zakat baik Badan Amil Zakat (BAZ)
maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) lainnya, perlu menguraikan sumber-sumber zakat
pada kolom penerimaannya dan rincian asnaf pada kolom pengeluarannya.
10

Sejalan dengan salah satu tujuan dan hikmah zakat, yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan kaum fakir miskin maka sumber-sumber zakat yang bervariasi ini
diharapkan dapat meningkatkan jumlah penerimaan zakat. Karenananya, upaya
penggalian sumber zakat harus terus-menerus dilakukan, terutama oleh Badan Amil
Zakat maupun oleh Lembaga Amil Zakat.

11

DAFTAR PUSTAKA

al-Qardhawi, Y. (1973). Fiqh al Zakah Dirasah Muqaranah li Ahkamiha wa Falsafatiha fi
Dhawi' al Quranwa al-Sunnah. Bairut: Muassasah al Risalah.
al-Qardhawi, Y. (1991). Hukum dan Fungsi Zakat. Bandung: Mizan.
al-Qardhawi, Y. (1996). Fiqh az-Zakat. In S. H. Hasanuddin, Fiqh az-Zakat (alih bahasa) (p.
39). Bogor: Litera Antar Nusa dan Mizan.
Bakry, H. (1988). Pedoman Islam di Indonesia. Jakarta: UI Press.
Didin, H. (2002). Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press.
Hadi, M. (2010). Problematika Zakat Profesi dan Solusinya (Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum
Islam). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munawar, A. (2001). Ilmu Fiqh dan Perkembangannya. Jakarta: Logos.
Nasional, D. P. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Qardhawi, Y. (1996). Hukum Zakat. Bandung: Mizan.
Riyadi, F. (2015). Kontroversi Zakat Perspektif Ulama Kontemporer. ZISWAF .
Sabiq, S. (1983). Zakat dan Pembagiannya. Bandung: Ma'arif.
Statistik, B. P. (2012). Retrieved Desember 2, 2016, from http://www.bps.go.id
Suryorini, A. (2012). Sumber-Sumber Zakat dalam Perekonomian Modern. Jurnal Ilmu Dakwah,
84.

12