PERMASALAHAN KOMUNIKASI DAN KEMITRAAN AN

PERMASALAHAN KOMUNIKASI DAN KEMITRAAN
ANTARA LPTK DENGAN SEKOLAH
Makalah
Disajikan pada Seminar Nasional
Permasalahan dan Alternatif Pemecahan Masalah Pendidikan MIPA,
Universitas Negeri Malang, 23 Pebruari 2000
Oleh:
Harry Firman
Universitas Pendidikan Indonesia

1. Pendahuluan
Keterkaitan (linkage) antara LPTK dengan sekolah muncul sebagai wacana
akademik masyarakat pendidikan pada pertengahan dekade 1990-an, yakni
sejak Proyek PGSM Ditjen Dikti (WB-Loan) meluncurkan program kemitraan
LPTK-Sekolah sebagai satu upaya untuk memperkuat keterkaitan LPTK
dengan sekolah. Rasional bagi peluncuran program ini adalah “LPTKs
uniformed their market”, sebagai akibat dari kurangnya kerjasama dan
komunikasi fungsional LPTK dan sekolah. Dampak keadaan itu adalah kurang
terbinanya mahasiswa LPTK ketika melaksanakan PPL. Di samping itu
pengembangan kemampuan profesional guru yang dilakukan di LPTK kurang
berbasis lapangan karena kurangnya pemahaman para pendidik guru (dosen

LPTK) terhadap keadaan nyata di sekolah, baik kondisi siswa, sarana dan
prasarana pembelajaran, maupun lingkungan kerja. Di lain pihak kurangnya
kerjasama antara LPTK dan sekolah menyebabkan LPTK berdiri sebagai
“menara gading”. Sekolah (sekalipun bertetangga dengan kampus LPTK) tidak
dapat menikmati kepakaran LPTK untuk kepentingan peningkatan program
pendidikan yang dilakukannya.
Dewasa ini program kemitraan yang difasilitasi proyek PGSM tengah
dikembangan dan diujicobakan oleh semua LPTK melalui dua bentuk kegiatan
kolaboratif LPTK-sekolah, yakni kemitraan melalui PPL dan kemitraan dalam
melakukan “school based action research”. Sementara itu beberapa kegiatan
dalam rangka implementasi Proyek IMSTEP pun mengandung elemen
komunikasi dan kemitraan dengan sekolah. Makalah ini lebih lanjut
memaparkan gagasan dasar tentang program kemitraan LPTK-sekolah,
kendala-kendala yang dihadapi, serta suatu pemikiran tentang langkah-langkah
terobosan untuk memelihara keberlanjutan program kemitraan LPTK-sekolah.

1

2. Konsep Kemitraan LPTK dengan Sekolah
Kepedulian dunia pendidikan terhadap keterkaitan, komunikasi, dan kemitraan

antara LPTK dan sekolah terstimulasi oleh salah satu butir rekomendasi
“Holmes Group” (1986) mengenai reformasi pendidikan guru dan reformasi
profesi keguruan di Amerika Serikat, yakni perlunya mengembangkan
keterkaitan LPTK dengan sekolah dalam rangka peningkatan kualitas
pendidikan. Kelompok Holmes memandang kemitraan perlu dilakukan dalam
bingkai pengembangan profesional semua komponen terkait, baik mahasiswa
calon guru yang sedang mengikuti PPL, dosen LPTK sebagai pendidik guru,
serta guru sekolah sebagai praktisi. Oleh karenanya kelompok Holmes
menyarankan untuk membentuk “professional development school (PDS)”
sebagai wahana untuk mewujudkan keterkaitan dan kemitraan LPTK dengan
sekolah.
Institusi PDS dibina bersama oleh guru (praktisi profesional) serta pendidik guru
profesional (expert) dengan misi untuk mengembangkan: (1) Pengetahuan,
keterampilan, serta nilai-nilai profesional para guru pemula (novice teacher)
melalui utilisasi secara optimum pengalaman dan kepakaran para guru senior
(experienced teacher), baik dalam PPL maupun perkuliahan pedagogi materi
subyek di kampus; (2) Riset berbasis kelas secara kolaboratif oleh dosen LPTK
dan guru untuk mengembangkan basis pengetahuan untuk mengajar
(knowledge base for teaching), termasuk di dalamnya validasi dan ujicoba
gagasan inovasi untuk memecahkan masalah aktual dalam pengajaran; serta

(3) Peningkatan wawasan, pengetahuan dan keterampilan profesional para
guru dan dosen LPTK melalui pertukaran pengetahuan dan pengalaman, serta
keterlibatannya dalam wacana akademik tentang teori dan praxis kepengajaran.
Dengan konsep kemitraan yang terpaparkan di atas, keberadaan sekolah mitra
(attached school, cooperative school, atau profesional development school)
bagi suatu LPTK merupakan kondisi yang dipersyaratkan bagi terjadinya proses
pendidikan guru yang bermutu. Fungsi sekolah mitra lebih luas dari “lab school”
atau “pilot school” pada era tahun 1970-an di Indonesia, sebab ia bukan hanya
berfungsi sebagai wahana ujicoba dalam inovasi pendidikan. Di samping itu
“setting” sekolah mitra bersifat alami, tidak ada pengkondisian khusus pada
rekrutmen siswa, sarana dan prasarana pembelajaran, anggaran serta
pengelolaan. Yang khas pada sekolah mitra adalah interaksi profesional antara
pakar, praktisi, dan guru pemula yang sangat intensif dalam rangka
pengembangan profesional semua unsur yang terlibat.
Sebagai manifestasi kesadaran masyarakat pendidikan di Amerika serikat
terhadap pentingnya kemitraan LPTK-sekolah, kinerja LPTK dalam kemitraan
dijadikan sebagai salah satu kriteria untuk memperoleh akreditasi oleh National
Committee for Acreditadion of Teacher Education. Sasaran evaluasi kemitraan
mencakup kerjasama LPTK dengan sekolah dalam penyelenggaraan PPL,
peranan LPTK dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah, riset

kolaboratif LPTK dan sekolah, serta keterlibatan dosen secara reguler dalam
praxis pengajaran di sekolah.

2

3. Permasalahan dalam Implementasi Kemitraan
Proyek PGSM menyediakan hibah kepada LPTK untuk menginisiasi kemitraan
LPTK-Sekolah melalui siklus pengembangan program secara kooperatif
dengan pihak otoritas pendidikan di daerah (Kanwil) dan sekolah, yakni
perancangan program, ujicoba rancangan program di sekolah, evaluasi dan
refleksi, serta penyempurnaan program. Wahana kemitraan yang dipilih adalah
optimalisasi program PPL, “joint research dosen LPTK dan guru”, kolaborasi
LPTK dan sekolah dalam kegiatan pengembangan profesional, keterlibatan
dosen LPTK dalam peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah dan di
kampus.
Stimulasi untuk mengembangakan kemitraan dan komunikasi antara LPTK
dengan sekolah dilakukan pula melalui IMSTEP. Pada tahun pertama
implementasi IMSTEP dilakukan survey ke sekolah oleh para dosen LPTKMIPA di tiga Universitas (UPI, UNY dan UM) untuk menghimpun permasalahanpermasalahan yang dihadapi guru dalam menjalankan tugas mengajarnya.
Pada tahun kedua ini dilakukan beberapa kegiatan yang mendorong dosen
LPTK mengenal sekolah, yakni melalui kegiatan monitoring dan survey. Pada

tahun berikutnya IMSTEP akan pula melaksanakan ujicoba paket-paket inovasi
yang dikembangkan melalui sejumlah workshop bersama guru-guru.
Bentuk-bentuk kegiatan kemitraan LPTK-sekolah sangat prospektif bagi
peningkatan kualitas pembelajaran pedagogi di LPTK, efektivitas PPL,
pengembangan kepakaran dan profesionalitas dosen dan guru. Namun
demikian dari terdapat sejumlah kendala yang perlu diantisipasi dalam
implementasi program kemitraan tersebut. Kendala-kendala tersebut
bersumber dari beberapa kondisi berikut.
1) Regulasi yang kontra-produktif
Harus diakui bahwa orde baru sangat overprotektif terhadap institusi
pemerintah yang menjadi kantung massa (termasuk sekolah negeri) yang
dikukuhkan dengan berbagai regulasi yang menangkal terjadinya interaksi
antara institusi tersebut dengan lingkungannya. Hal ini terlihat dari ketatnya
perijinan bagi siapa saja untuk melakukan survey, studi, riset, kunjungan ke
sekolah, selain atasan atau yang direkomendasi oleh atasan vertikalnya.
Sampai-sampai kegiatan mahasiswa melakukan pengumpulan data di sekolah
untuk penulisan skripsinya, perlu pemperoleh ijin dari Direktorat Sospol Pemda,
kemudian Kanwil P dan K propinsi. Demikian halnya dengan studi-studi yang
dilakukan dosen LPTK. Suatu proses yang sangat tidak efisien. Lucunya
terobosan yang dilakukan terhadap kendala itu juga tidak memperoleh

legitimasi dari dunia akademik itu sendiri. Surat ijin melakukan penelitian
dituntut untuk dilampirkan oleh peneliti dalam laporannya.
Reformasi yang digelindingkan sejak beberapa tahun yang lalu belum mampu
mengubah kondisi ini. Bayangkan untuk melakukan “school survey” 2-3 hari

3

dalam rangka implementasi proyek kerjasama teknis JICA, pada awal tahun ini
otoritas pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar di tingkat propinsi tidak
memberikan ijin sebelum usulan mengalami litsus. Kondisi seperti ini tidak
kondusif bagi terjadinya komunikasi LPTK dengan sekolah.
2) Aparat birokrasi yang kurang mandiri
Membudayanya dominasi loyalitas kaku dalam “merit system” aparat birokrasi
dalam kurun waktu yang lama telah membentuk perilaku kurang mandiri di
kalangan aparat birokrasi, baik pada eselon paling bawah maupun menengah.
Akibat dari kondisi seperti ini setiap kebijakan, termasuk pula kebijakan sekolah
untuk berkomunikasi dan bermitra dengan suatu unit dalam LPTK, perlu
memperoleh “restu” dari atasannya, sekalipun program kemitraan yang
ditawarkan sesungguhnya sejalan dengan, bahkan merupakan implementasi
kebijakan pemerintah sekalipun. Repotnya, sang atasan perlu memperoleh

“petunjuk” dari atasannya terlebih dahulu untuk memberikan sebuah restu
kepada bawahannya. Kondisi ini menumbuhkan budaya formalisme dalam
penyelenggaraan proyek-proyek kerjasama. Upacara panandatangan MoU
menjadi lebih penting daripada pengendalian implementasi serta pemanfaatan
hasilnya.
3) Komitmen dan kepemilikan yang kurang terhadap proyek inovasi
Tradisi “top down” dalam inovasi pendidikan, kecuali melemahkan kreativits dan
daya inovasi, juga mengakibatkan kepemilikan (ownership) dan komitmen yang
kurang memadai dari lembaga dan personel yang terlibat dalam programprogram inovasi. Oleh karenanya “sustainability” dari program inovasi yang
dikembangkan menjadi isu penting dalam setiap proyek inovasi berbasis
program pemerintah. Sangat dikehendaki agar program kemitraan dapat
belanjut sekalipun dukungan finansial pemerintah berakhir. Dalam kaitan ini
“transisi dari era proyek ke era rutin” merupakan fase kritis bagi proyek-proyek
inovasi, termasuk di dalamnya program kemitraan. Transisi ini akan berjalan
mulus apabila terdapat komitmen kelembagaan yang memadai, yang
ditunjukkan oleh kesediaan lembaga untuk mengalokasikan anggaran
operasional, serta kesediaan personel untuk melanjutkan dan mengembangkan
lebih lanjut proyek inovasi dalam kondisi minimum insentif material.
4) Nilai Budaya yang menghambat
Model kemitraan yang dikembangkan menuntut kesiapan semua pihak untuk

memasuki situasi keterbukaan dan dialogis. Kebutuhan ini bertabrakan dengan
nilai budaya tenggang rasa dan ewuh pakewuh berlebihan, sehingga sulit untuk
mewujudkan komunikasi yang produktif antara guru, calon guru, serta dosen
LPTK dalam menjalankan program kemitraan.

4

4. Langkah-Langkah Terobosan
Komunikasi fungsional dan kemitraan LPTK-Sekolah dalam pengembangan
profesionalisme pendidik dan proses pendidikan memerlukan pra-kondisi
keterbukaan, komitmen, dan komunikasi di kalangan komponen-komponen
yang terkait. Pada dasarnya pra-kondisi tersebut merupakan budaya baru bagi
sekolah dan LPTK, sehingga keberhasilan program kemitraan bergantung pada
proses pembudayaan nilai-nilai keterbukaan, kerjasama, dan komitmen pada
inovasi, baik dari sisi LPTK, sekolah, maupun birokrasi pendidikan.
Oleh karena proses pembudayaan umumnya memakan waktu panjang, maka
perlu diciptakan langkah-langkah terobosan untuk mengakselerasi tumbuhnya
tradisi keterbukaan, kerjasama, dan komitmen pada inovasi. Langkah yang
cukup strategis ke arah itu mencakup:
(1)


Deregulasi perijinan-perijinan dari otoritas pendidikan nasional
atau regional untuk kegiatan-kegiatan studi, riset, konsultasi, kunjungan,
serta bentuk-bentuk lain keterkaitan horizontal unit-unit pendidikan. Dalam
pada itu perlu diberikan kebebasan kepada kepala sekolah selaku pucuk
pimpinan suatu unit pendidikan untuk mengevaluasi proposal kerjasama
eksternal dengan unit-unit lain, melakukan proses pengambilan keputusan
profesional dan moral untuk menerima atau menolaknya.

(2) Menjadikan kinerja LPTK dalam pengembangan program kemitraan dan
komunikasi dengan sekolah sebagai salah satu kriteria evaluatif dalam
proses akreditasi unit-unit akademik dasar di LPTK. Kondisi ini akan
mendorong kebutuhan internal untuk berpartisipasi secara aktif dalam
perencanaan dan implementasi program keterkaitan dengan sekolah
(3) Mengintegrasikan program kemitraan dan komunikasi ke dalam rencana
induk maupun rencana operasional pengembangan kelembagaan LPTK,
sehingga anggaran operasional bagi manajemen dan implementasi
program tersebut dapat teralokasikan secara terencana.
(4) Perlu dibentuk atau ditunjuk unit pelaksana teknis di LPTK yang bertugas
mengkoordinasikan perencanaan, implementasi, pemantauan dan

assessment program-program keterkaitan yang diimplementasikan oleh
unit-unit akademik dasar, sehingga program tersebut dapat dikelola dan
dikembangkan secara baik.
(5) Penciptaan sistem insentif non-finansial yang memadai bagi partisipasi dan
prestasi dalam implementasi program kemitraan, baik untuk dosen LPTK,
guru dan kepala sekolah.

5

Kesimpulan
(1)

Komunikasi dan kemitraan LPTK dengan sekolah merupakan prakondisi bagi terjadinya pengembangan profesionalitas dosen LPTK dan
guru, serta profesionalime proses pendidikan di sekolah dan LPTK.
Implementasi program keterkaitan LPTK dan sekolah ini berhadapan
dengan sejumlah kendala yang bersumber dari regulasi yang
kontraproduktif, kekurangmandirian aparat birokrasi, serta hambatan
budaya.

(2)


Beberapa langkah terobosan diperlukan untuk “mencairkan”
komunikasi dan kemitraan LPTK dengan sekolah, antara lain deregulasi
perijinan, menjadikan kinerja kemitraan dan komunikasi LPTK dengan
sekolah sebagai kriteria evaluatif dalam proses akreditasi. Di sisi lain
pengembangan sistem insentif bagi LPTK perlu memasukkan program
kemitraan dengan sekolah sebagai bagian terpadu dari rencana strategis
pengembangan kelembagaan LPTK.

Referensi
Aria Djalil (1995, Mei). Pengembangan profesional tenaga pengajar. Makalah disajikan
pada Konferensi Nasional II PGSM Ditjen Dikti.
National Council for Accreditation of Teacher Education.
(1992). Standards,
procedures, and policies for the accreditation of professional education units.
Washington, DC: National Council for Accreditation of Teacher Education
Stallings, J. A. & Kowalski, T. (1990). Research on professional development schools.
Dalam R. B. Houston (Ed.), Handbook of research on teacher education, a
project of the association of teacher educators (h. 251-263). New York:
Macmillan.
The Holmes Group (1990). Tomorrow’s schools: Principles for the design of
professional development schools. East Lansing: The Holmes Group.
World Bank (1996). Staff appraisal report of Indonesia school teacher development
project (Report No. 15028-IND).

6