PENGARUH GENDER AUDITOR DAN GENDER KLIEN
PENGARUH GENDER AUDITOR DAN GENDER KLIEN TERHADAP
AUDIT JUDGEMENT
Monika Wijaya
Email : [email protected]
Abstrak
The purpose of this analysis is to see that empirical evidence of auditor and client influence on
audit judgment. Where there is some research indicates that the gender of the auditor influences
the audit judgment. However, the gender of the client has no effect on the audit judgment.
Furthermore, there is also a finding that there is no difference in response between female and
male auditors to female and male clients and this supports the theory of risk aversion and
selectivity hypothesis. Findings that show that female auditors are more conservative than male
auditors. Therefore, it is recommended that practitioners improve the recruitment process by
opening more opportunities for future female auditors.
Keywords: Audit assessment; Gender auditor; Gender of client; Gender;
Stereotype ; Hypothesis of risk aversion and selectivity
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Auditor dapat dipercaya jika mereka mampu menjadi seorang profesional yang
independen, memiliki pengetahuan audit yang mumpuni serta paham secara benar pelaksanaan
etika dalam menjalankan profesinya (Herawaty dan Susanto, 2009). Etika profesi auditor harus
memiliki komitmen moral yang tinggi yang dituangkan dalam bentuk aturan khusus yang biasa
disebut sebagai kode etik. Kode etik auditor harus dilaksanakan dan ditaati oleh setiap profesi
yang memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat dan merupakan alat kepercayaan
masyarakat luas. Faktor yang mempengaruhi indenpendensi auditor adalah gender. Gender
diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara pria dan wanita dapat diketahui dari sudut
pandang nilai dan tingkah laku (Webster’s New World Dictionary, 2008).
Dalam proses audit, seorang auditor akan memberikan judgement berupa opini yang
didasarkan pada kejadian-kejadian di masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Audit
judgement atas kemampuan entitas harus berdasarkan pada ada tidaknya kesangsian dalam diri
auditor terhadap kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya pada
periode satu tahun sejak tanggal laporan keuangan auditan Audit judgement sebagai bagian dari
proses audit ditentukan oleh auditor berdasarkan dalil individual dan kombinasi dari
permasalahan yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Mautz dan Sharaf (1985:27)
“formulation of judgements are based on the individual proposition and the composite
problems”.
Riset tentang pengaruh gender terhadap audit judgement dilakukan oleh Gold et al.
(2009) yang menguji pengaruh gender auditor dan gender klien terhadap audit judgement dengan
menggunakan sampel 81 auditor di Amerika Serikat. Temuan Gold et al. (2009) menunjukkan
bahwa auditor (perempuan dan laki-laki) lebih mudah dipengaruhi oleh klien laki-laki dalam
menentukan audit judgement. Nateberg et al. (2006) menguji pengaruh keahlian klien, gender
klien dan gender auditor terhadap audit judgement. Nateberg et al. (2006) menemukan bahwa
klien dengan keahlian tinggi dan bergender laki-laki lebih mempengaruhi auditor dalam
2
menentukan audit judgement, serta auditor perempuan lebih bias gender daripada auditor lakilaki.
Bidang akuntansi publik merupakan salah satu bidang yang tidak terlepas dari
diskriminasi gender, stereotipe dan bias gender. Riset-riset di Indonesia menunjukkan adanya
stereotipe dan bias gender di bidang akuntansi publik. Hal ini nampak dari berbedanya upah
auditor laki-laki dengan auditor perempuan dimana auditor laki-laki dibayar lebih tinggi daripada
auditor perempuan (Trisnawati, 2007). Selain itu, data di Indonesia menunjukkan bahwa sejak
tahun 2005 lebih dari 50% lulusan sarjana akuntansi adalah perempuan (www.dikti.go.id),
namun pada dunia kerja akuntansi dan auditing masih didominasi oleh laki-laki. Pada tahun 2010
sekitar 882 akuntan publik yang menempati posisi rekan, hanya sekitar 16% diantaranya adalah
perempuan (IAPI, 2010). Hal inilah yang mendasari peningkatan riset yang mengkaji gender dan
akuntansi pada satu dasawarsa terakhir (Anderson et al., 1994; Trisnaningsih, 2004; Jamilah et
al., 2007; Gold et al., 2009; Hardies et al., 2009). Isu ini juga mengemuka karena gender
merupakan salah satu aspek perilaku individu, yang turut mempengaruhi auditor dalam
menentukan audit judgement.
Pengaruh gender terhadap audit judgement dapat dijelaskan berdasarkan teori psikologi
keperilakuan. Teori psikologi keperilakuan menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan
berdasarkan risk aversion dan selectivity hypothesis. Dimana, perempuan dikatakan lebih
menghindari risiko (risk averse) dan memproses informasi secara lebih komprehensif (selectivity
hypothesis) dibandingkan dengan laki-laki. Risk aversion dan selectivity hypothesis seringkali
digunakan untuk menjadi landasan teori riset-riset di bidang akuntansi yang menguji gender
sebagai variabel independen (Byrnes, 1999; Watson dan McNaughton, 2007; Gold et al., 2009).
Penelitian Hardies et al. (2009) yang menguji pengaruh gender terhadap kualitas audit
dengan reputasi auditor sebagai proksi dari kualitas audit menemukan bahwa tidak terdapat
perbedaan kualitas audit antara auditor perempuan dengan auditor laki-laki. Namun kredibilitas
informasi dari auditor laki-laki dianggap lebih baik daripada informasi yang diberikan oleh
auditor perempuan. Hardies et al. (2010) menguji pengaruh gender terhadap kualitas audit, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kualitas audit antara kelompok auditor
perempuan dengan kelompok auditor laki-laki. Namun demikian, Hardies et al. (2010) juga
menemukan bahwa kelompok auditor dengan komposisi gender yang seimbang antara
3
perempuan dan laki-laki menunjukkan tingkat kualitas audit yang lebih baik daripada kelompok
auditor perempuan dan kelompok auditor laki-laki.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan adanya stereotipe gender dan inkonsistensi pengaruh gender sebagai variabel
independen, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris dan menguji pengaruh
gender terhadap audit judgement. Untuk kemudian mengetahui apakah audit judgement yang
ditetapkan oleh auditor perempuan akan berbeda dengan auditor laki-laki ketika mendapatkan
informasi yang belum diverifikasi dari klien laki-laki atau klien perempuan. Berdasarkan latar
belakang analisis ini yang telah dibahas sebelumnya, maka rumusan masalah pada analisi ini
sebagai berikut:
1. Apakah auditor perempuan atau auditor laki-laki yang akan lebih mudah dipengaruhi oleh
informasi yang belum diverifikasi dari klien dalam menentukan audit judgement?
2. Apakah klien perempuan atau klien laki-laki yang akan lebih mempengaruhi auditor dalam
menentukan audit judgement ?
3. Apakah auditor akan memberi respon yang berbeda terhadap klien perempuan atau klien lakilaki ?
4. Apakah gender baik perempuan maupun laki-laki mempengaruhi tingkat independensi seorang
auditor dalam memberikan hasil opini ataupun laporan keuangan yang diaudit ?
1.3 Tujuan Analisis
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, tujuan analisis ini adalah sebagai
berikut:
1. Menginvestigasi mengenai auditor perempuan atau auditor laki-laki mana yang akan lebih
mudah dipengaruhi oleh informasi yang belum diversifikasi dari klien dalam menentukan audit
judgement.
2. Menginvestasi mengenai klien perempuan atau klien laki-laki mana yang akan lebih
mempengaruhi auditor dalam menentukan audit judgement.
4
3. Menginvestasi auditor akan memberi respon yang berbeda terhadap klien perempuan atau
klien laki-laki.
4. Menginvestasi gender mana perempuan maupun laki-laki yang mempengaruhi tingkat
independensi seorang auditor dalam memberikan hasil opini ataupun laporan keuangan yang
diaudit.
1.4 Kegunaan Analisis
1.4.1 Kegunaan bagi Akademi
Dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi semua lapisan masyarakat yang berhubungan
dengan permasalahan mengenai profesionalisme, pengalaman auditor dan kualitas audit terhadap
pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan dalam perspektif
gender.
1.4.2
Kegunaan bagi Pengembang Ilmu
Analisis ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi dan dapat memberikan sumbangan
pemikiran unutk pengembangan ilmu auditing, sehingga diharapkan kualitas auditor di masa
yang akan datang semakin menghasilkan auditor yang independen sehingga dapat memberikan
jawaban dan kepercayaan kepada masyarakat untuk menilai kesesuaian suatu laporan keuangan
dengan kriteria yang berlaku.
1.4.3
Kegunaan Operasional
Memberikan kontribusi dalam menambah pengetahuan di bidang akuntansi keperilakuan dan
auditing untuk menjadi acuan untuk analisis selanjutnya, juga memberikan kontribusi untuk
Kantor Akuntan Publik agar menjadi lebih baik lagi dalam mengambil audit judgment yang tidak
bertentangan dengan standar profesional, khususnya bagi auditor independen agar dapat
meningkatkan kesadaran tentang pentingnya beberapa hal yang mempengaruhi judgement
auditor seperti pengaruh gender, orientasi tujuan, self-efficacy, dan konflik kepentingan agar
tidak salah dalam mengambil judgement audit.
5
Bab II
Tinjauan Pustaka dan Kerangka Konseptual
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Profesi Akuntan Publik
Profesi akuntan publik dikenal oleh masyarakat dari jasa audit yang disediakan bagi
pemakai informasi keuangan. Tumbuh dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu
negara sejalan dengan berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan
di negara tersebut. Semakin berkembangannya usaha, baik perusahaan perseorangan maupun
perusahaan berbentuk badan hukum tidak dapat menghindarkan diri dari penarikan dana dari
pihak luar, yang tidak selalu dalam bentuk penyertaan modal dari investor, tetapi berupa
penarikan pinjaman dari kreditur. Dengan demikian, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
laporan keuangan perusahaan tidak lagi hanya terbatas pada para pemimpin perusahaan, tetapi
meluas kepada para investor dan kreditur serta calon investor dan calon kreditur.
Pihak-pihak di luar perusahaan memerlukan informasi mengenai perusahaan untuk
pengambilan keputusan tentang hubungan mereka dengan perusahaan. Umumnya, mereka
mendasarkan pada laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen. Dengan demikian,
terdapatnya dua kepentingan antara pemilik perusahaan dan pengelola perusahaan yang
berlawanan akan menyebabkan tumbuh dan berkembangnya profesi akuntan publik (Mulyadi,
2002: 3).
2.1.2 Pengertian Auditing, Standar Auditing, serta Sikap Profesional
Auditing menurut Arens et al. (2012:4) adalah sebagai berikut:
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and
report on the degree of correspondence between the information and established criteria.
Auditing should be done by a competent, independent person”.
Artinya auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk
menentukan dan melaporkan tingkat atau derajat kesesuaian antara informasi tersebut dan
6
kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten serta
independen.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa auditing adalah suatu proses yang
sistematis untuk mengumpulkan dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai informasi atau
peristiwa-peristiwa ekonomi dan menentukan tingkat kesesuaiannya terhadap kriteria yang telah
ditetapkan yang selanjutnya melaporkan hasilnya kepada para pengguna informasi. Audit sendiri
terbagi atas tiga jenis antara lain yakni audit operasional, audit ketaatan atau kepatuhan dan audit
laporan keuangan.
Standar auditing merupakan pedoman bagi auditor dalam menjalankan tanggung jawab
profesionalnya. Standar ini meliputi pertimbangan kualitas profesional auditor, seperti keahlian
dan independensi, persyaratan pelaporan, dan bahan bukti. Standar auditing terdiri dari sepuluh
standar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu standar umum, standar
pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan (IAI, 2001). Standar-standar ini merupakan dan
meliputi pertimbangan mengenai kualitas profesional mereka seperti keahlian dan independensi,
persyaratan dan pelaporan serta bahan bukti.
a. Standar Umum
1) Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis
yang cukup sebagai auditor.
2) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental
harus dipertahankan oleh auditor.
3) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran
profesionalnya dengan cermat dan seksama.
b. Standar pekerjaan lapangan
1) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi
dengan semestinya.
2) Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan
menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
7
3) Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan
keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan
keuangan.
c. Standar Pelaporan
1) Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
2) Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan
prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan
dibandingkan dengan penerapan prinsip tersebut dalam periode sebelumnya.
3) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai kecuali
dinyatakan lain dalam laporan auditor.
Seorang auditor bisa dikatakan profesional apabila telah memenuhi dan mematuhi
standar-standar
kode
etik
yang
telah
ditetapkan
oleh
IAI,
antara
lain:
a). Prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh IAI yaitu standar ideal dari perilaku etis yang telah
ditetapkan oleh IAI seperti dalam terminologi filosofi, b). Peraturan perilaku seperti standar
minimum perilaku etis yang ditetapkan sebagai peraturan khusus yang merupakan suatu
keharusan, c). Inteprestasi peraturan perilaku tidak merupakan keharusan, tetapi para praktisi
harus memahaminya, dan d). Ketetapan etika seperti seorang akuntan publik wajib untuk harus
tetap memegang teguh prinsip kebebasan dalam menjalankan proses auditnya, walaupun auditor
dibayar oleh kliennya.
2.1.3 Audit Judgement dan Gender
Menurut Mulia (2004) gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk
membedakan peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Gender juga bisa diartikan sebagai suatu sifat
yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antar laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi kondisi sosial budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi serta faktor-faktor
nonbiologis lainnya.
8
Indra, Ahra dan Husnani (2004) dalam Nurasnida (2008:13) istilah gender menurut
Wabster’s New World Dictionary diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara pria dan
wanita dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
gender bukan dilihat dari jenis kelamin saja, tetapi dilihat dari segi kondisi sosial budaya, nilai
dan perilaku, mentalitas, dan emosi serta factor faktor nonbiologis lainnya.
Pengertian klasifikasi Stereotypes merupakan proses pengelompokan individu kedalam
suatu kelompok dan pemberian atribut karakteristik pada individu berdasarkan anggota
kelompok. Berdasarkan Sex Role Stereotypes pria dipandang lebih berorientasi pada pekerjaan,
mampu bersikap obyektif, independen dan pada umumnya memiliki kemampuan lebih dalam
pertanggung jawaban manajerial jika dibandingkan dengan wanita. Sedangkan wanita dipandang
lebih lemah lembut, pasif dan pertanggungjawaban terhadap organisasi lebih rendah
dibandingkan dengan pria (Praditaningrum, 2012).
Meyers –Levy (1986) dalam Hasby, dkk (2010:9) mengembangkan kerangka teoritis
untuk menjelaskan kajian tentang perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam memproses
informasi. Kerangka teoritis ini mereka sebut dengan “selectivity hypothesis”. Perbedaaan yang
didasarkan pada isu gender dalam pemrosesan informasi dan pembuatan keputusan didasarkan
atas pendekatan yang berbeda yaitu bahwa laki-laki dan perempuan menggunakan pemrosesan
inti informasi dalam memecahkan masalah dan membuat inti keputusan.
Dalam memecahkan suatu masalah, laki-laki pada umumnya tidak menggunakan semua
informasi yang tersedia dan mereka juga memproses informasi secara menyeluruh sehingga
dapat dikatakan bahwa laki-laki cenderung melakukan pemrosesan informasi secara terbatas.
Sedangkan perempuan dipandang sebagai pemroses informasi lebih detail yang melakukan
proses informasi pada sebagian besar inti informasi untuk pengambilan suatu keputusan
(Zulaikha, 2006:5).
Selain itu laki-laki dan perempuan juga memiliki karakteristik yang sangat berbeda.
Perempuan memiliki karakteristik lebih realistis, teguh pendirian, mudah dipercaya, memiliki
kecurigaan yang tinggi, penuh perhatian dan teliti, kurang percaya diri, dan cenderung mematuhi
peratuuran, sedangkan laki-laki memiliki kepribadian yang tidak berpihak, kurang dapat bekerja
9
sama, cenderung tidak praktis dan tidak realistis, lebih percaya diri dan cenderung sembarangan
dalam menjalankan tugas (Falikhatun 2009:7).
Judgement merupakan kegiatan yang sangat dibutuhkan oleh auditor dalam
melaksanakan tugasnya terutama dalam mengaudit laporan keuangan dari suatu perusahaan.
Judgement tersebut tergantung pada perolehan bukti dan pengembangan bukti tersebut sehingga
menghasilkan keyakinan yang muncul dari kemampuan auditor dalam menjelaskan bukti-bukti
yang diuraikan. Semakin handal Judgement yang diambil oleh auditor maka semakin handal pula
opini audit yang dikeluarkan oleh auditor.
Proses Judgement tergantung pada kedatangan informasi sebagai suatu proses unfolds.
Kedatangan informasi bukan hanya mempengaruhi pilihan, tetapi juga mempengaruhi cara
pilihan tersebut dibuat. Audit Judgement adalah kebijakan auditor dalam menentukan pendapat
mengenai hasil audit yang mengacu pada pembentukan suatu gagasan, pendapat atau perkiraan
mengenai suatu objek, peristiwa, status atau jenis peristiwa lain (Yustrianthe, 2012).
2.2 Kerangka Konsep
Analisis ini menguji dampak potensial gender terhadap audit judgement. Sebagaimana
yang dipaparkan oleh Mautz dan Sharaf (1985) dimana auditor menggunakan dalil individualnya
dalam menentukan audit judgement, oleh karenanya aspek-aspek individual auditor dapat
mempengaruhi penentuan audit judgement. Maka gender sebagai salah satu aspek individual dari
seorang auditor dapat pula mempengaruhi audit judgement. Berdasarkan kajian teori dan analisis
empiris sebelumnya, kerangka berpikir dalam analisis ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
Model Kerangka Konsep
Gender Auditor
Audit Judgement
Gender Klien
10
Analisis ini menguji audit judgement sebagai variabel dependen dan gender auditor
sebagai variabel independen. Selain itu, gender klien adalah variabel yang dimanipulasi untuk
dapat melihat pengaruh potensial gender klien dalam interaksinya dengan auditor dan penentuan
audit judgement.
2.2.1 Gender Auditor
Riset di bidang akuntansi menunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan,
perempuan cenderung lebih berhati-hati apabila dibandingkan dengan laki-laki Francis et al.
(2010) menemukan bahwa chief financial officer (CFO) perempuan lebih menghindari risiko
daripada CFO laki-laki dalam hal kebijakan pelaporan keuangannya, serta CFO perempuan lebih
sering menggunakan kebijakan pelaporan keuangan konservatif apabila dibandingkan dengan
CFO laki-laki. Demikian pula Dwyer et al. (2002), dalam riset ini diketahui bahwa perempuan
cenderung lebih menghindari risiko apabila dibandingkan dengan laki-laki ketika membuat
keputusan investasi. Niskanen et al. (2009) menemukan bahwa auditor perempuan cenderung
lebih konservatif apabila dibandingkan dengan auditor laki-laki. Oleh karenanya, dapat dikatakan
bahwa, berdasarkan risk aversion, auditor perempuan cenderung lebih berhati-hati dalam
menentukan audit judgementnya dibandingkan dengan auditor laki-laki.
Selectivity hypothesis adalah perbedaan proses pengolahan informasi antara perempuan
dan laki-laki. Perempuan cenderung untuk memadukan lebih banyak informasi yang tersedia
untuk kemudian menentukan sebuah keputusan, sementara laki-laki cenderung untuk
mengeliminir informasi yang mereka anggap tidak perlu untuk kemudian menentukan sebuah
keputusan. Auditor perempuan cenderung untuk mengumpulkan lebih banyak bukti yang tersedia
sebagai petunjuk untuk membuat judgement. Sebaliknya, auditor laki-laki cenderung untuk
meminimalisir bukti yang mereka anggap tidak perlu dan fokus kepada lebih sedikit informasi
yang mereka anggap perlu. Dengan demikian, selectivity hypothesis merupakan dasar
argumentasi bahwa auditor perempuan akan cenderung untuk mengumpulkan informasi secara
lebih komprehensif dibandingkan auditor laki-laki dalam menentukan audit judgementnya.
Berdasarkan perbedaan penghindaran risiko dan selectivity hypothesis dapat dikatakan
bahwa auditor perempuan cenderung lebih berhati-hati dan mengumpulkan lebih banyak
informasi dalam membuat audit judgement. Oleh karenanya, dapat diasumsikan bahwa auditor
11
perempuan mestinya relatif tidak mudah dipengaruhi oleh informasi yang belum diverifikasi
yang diberikan oleh klien. Sehingga, dapat diturunkan hipotesis, sebagai berikut:
H1: Auditor perempuan relatif lebih tidak mudah dipengaruhi oleh informasi klien yang
belum diverifikasi dibandingkan dengan auditor laki-laki.
2.2.2 Gender Klien
Nyberg-Stuart (2006) dalam Gold et al. (2009) menyatakan bahwa terjadi ketimpangan antara
jumlah CFO perempuan dengan CFO laki-laki, dimana jumlah CFO perempuan hanya mencapai
kurang dari 10 % dari seluruh CFO yang ada pada 500 perusahaan terkemuka. Sehingga,dapat
dikatakan bahwa probabilitas auditor bertemu dengan klien CFO perempuan adalah kecil,
dengan demikian terdapat kesenjangan antara pengalaman auditor dalam menghadapi klien
perempuan dibandingkan dengan klien laki-laki.
Selain itu, riset psikologi menunjukkan bahwa gender merefleksikan kategori sosial tertentu yang
seringkali tanpa sadar mempengaruhi aktivitas proses pengumpulan informasi dan perumusan
keputusan (Norton et al., 2004). Individu seringkali mengasosiasikan laki-laki memiliki
kemampuan yang lebih dibandingkan dengan perempuan (William dan Best, 1990). Lebih jauh,
riset eksperimen yang dilakukan oleh BBC (2006) menunjukkan bahwa laki-laki cenderung akan
lebih memperhatikan informasi yang disampaikan oleh sesama laki-laki dibandingkan dengan
informasi yang disampaikan oleh perempuan.
Berdasarkan asumsi bahwa auditor lebih sedikit berhadapan dengan klien perempuan, sehingga
terdapat kesenjangan pengalaman auditor dalam menghadapi klien perempuan dibandingkan
dengan klien laki-laki. Serta adanya anggapan bahwa laki-laki memiliki kemampuan yang lebih
baik dari laki-laki dan kemungkinan kecenderungan auditor laki-laki untuk lebih memperhatikan
informasi yang diberikan oleh klien laki-laki, maka diturunkan hipotesis sebagai berikut:
H2: auditor akan relatif lebih dipengaruhi oleh penjelasan yang diberikan oleh klien lakilaki dibandingikan dengan klien perempuan.
12
2.2.3 Interaksi antara Gender Auditor dengan Gender Klien
Auditor perempuan dan laki-laki dapat memberikan respon yang berbeda ketika
menghadapi klien perempuan atau laki-laki. Konstruksi sosial seringkali mengunggulkan lakilaki daripada perempuan dalam berbagai bidang, bias gender ini disebut dengan male
favorability. Oleh karenanya, auditor dalam menentukan audit judgement dapat dipengaruhi
secara potensial oleh gender klien.
Literatur psikologi dan riset-riset terdahulu menunjukkan inkonsistensi mengenai bias
gender male favorability, beberapa riset menunjukkan bahwa laki-laki lebih bias gender
dibandingkan dengan perempuan, beberapa yang lain menunjukkan bahwa laki-laki dan
perempuan sama bias gendernya, dan lainnya menunjukkan bahwa perempuan lebih bias gender
dibandingkan dengan laki-laki.
Eagly et al. (1992) melakukan riset tentang evaluasi yang dilakukan oleh pimpinan
terhadap laki-laki dan perempuan, yang menunjukkan hasil bahwa, perempuan akan menghadapi
penolakan lebih besar daripada laki-laki ketika berhadapan dengan pimpinan laki-laki. Hal ini
menunjukkan bahwa laki-laki lebih bias gender dengan male-favorability dibandingkan dengan
perempuan. Di bidang auditing, Trapp et al. (1989) menemukan bahwa auditor laki-laki lebih
bias gender daripada auditor perempuan. Heilman et al. (2005) melakukan penelitian dengan
menggunakan metode eksperimen untuk mengetahui perilaku komunitas pada sebuah seting
kerja. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat kecenderungan male favorablity. Hasil
penelitian ini mengkonfirmasi penelitian sebelumnya bahwa terdapat stereotipe gender di dunia
kerja dan menunjukkan bukti adanya streotipe gender tentang bagaimana seharusnya perempuan
dan laki-laki berperilaku.
Pada penelitian lain, seperti Anderson, et al. (1994) menemukan bahwa tidak ada
pengaruh dari gender partisipan terhadap bias gender. Harding et al. (2002) yang menyelidiki
apakah gender dari para pelamar akan mempengaruhi rekrutmen pada kantor akuntan publik dan
besarnya gaji yang akan diterima, menemukan bahwa perekrut perempuan cenderung untuk
menawarkan gaji yang lebih besar kepada pelamar laki-laki dibandingkan dengan pelamar
perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan lebih bias gender daripada laki-laki.
13
Bias gender yang cenderung male favorability tidak bersifat universal dan sangat tergantung
pada waktu dan tempat dimana konstruksi sosial terbentuk. Sehingga, riset-riset bias gender
menemukan hasil yang berbeda-beda. Oleh karenanya, penelitian ini menurunkan tiga alternatif
hipotesis berkaitan dengan respon auditor terhadap gender klien, sebagai berikut:
H3a: respon auditor laki-laki terhadap klien akan relatif lebih male-favorability
dibandingkan dengan auditor perempuan.
H3b: respon auditor terhadap klien akan tidak berbeda
H3c: respon auditor perempuan terhadap klien akan relatif lebih male-favorability
dibandingkan dengan auditor laki-laki.
Robbins (2006) menyatakan pria dan wanita berbeda pada sikap emosional dan
kemampuan membaca orang lain. Wanita cenderung dapat mengungkapkan emosi yang lebih
besar dari pada pria, mereka memperlihatkan ekspresi emosional positif dan negatif, kecuali
kemarahan. Selain itu Wanita cendrung lebih baik dalam membaca isyarat non verbal dari pada
pria. Perbedaan tersebut dapat mempengaruhi tingkat independensi seorang auditor dalam
memberikan hasil opini atau laporan keuangan yang diaudit.
14
Bab III
Penutup
Kesimpulan dan Saran
Profesionalisme auditor merupakan kualitas diri yang terbentuk berdasarkan pengabdian
profesi, kewajiban sosial akan pekerjaan, adanya tanggung jawab yang melekat secara profesi,
kemandirian dan hubungan dengan rekan seprofesi, sehingga faktor pengalaman individu dalam
menghadapi situasi sulit dan berulang sangat berpengaruh terhadap ketepatan untuk menilai
materialitas suatu akun atau laporan keuangan.
Auditor selalu mengoptimalkan pengalamannya dalam mempertimbangkan tingkat
materialitas demi tercapainya kualitas audit yang baik. Gender sebagai pembagian peran serta
tanggung jawab baik laki-laki maupun perempuan, yang diterapkan secara sosial maupun
kultural. Dalam memproses informasi dalam tugas yang kompleks tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Gender tidak mempengaruhi terhadap pertimbangan auditor. Kondisi
ini menunjukkan bahwa perbedaan gender antara auditor pria dan wanita dengan perbedaan
karakter dan sifat yang melekat pada individu masing-masing tidak berpengaruh terhadap
judgement yang akan diambilnya.
Tingkat materialitas yang ditetapkan oleh auditor mempunyai peranan terhadap hasil
pemeriksaan. Penetapan materialitas membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti
yang cukup. Jika auditor menetapkan jumlah yang rendah, maka akan lebih banyak bahan bukti
yang harus dikumpulkan.
Berdasarkan keterbatasan yang ada dalam analisis ini, maka dapat dikemukakan beberapa
saran yang dapat dijadikan pertimbangan untuk peneliti yang ingin melakukan penelitian
lanjutan, yaitu (1) peneliti berikutnya dapat melakukan penelitian di tempat lain, sehingga
nantinya hasilnya bisa digeneralisasi untuk lingkup yang lebih luas jadi untuk memperkuat
validitas eksternal diperlukan penelitian lebih lanjut, (2) penelitian lebih lanjut disarankan untuk
menambah variabel-variabel yang berpengaruh terhadap audit judgement seperti kemampuan
dan pengetahuan.
15
Daftar Pustaka
http://jamal.ub.ac.id/index.php/jamal/article/view/266/253
https://www.academia.edu/10983768/PENGARUH_GENDER_DAN_PENGALAMAN_AUDIT
_TERHADAP_AUDIT_JUDGMENT
http://journal.trunojoyo.ac.id/neo-bis/article/view/1274
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjvscT
Ry-_UAhWHMY8KHeR0BHcQFggtMAE&url=http%3A%2F%2Feprints.ums.ac.id
%2F51458%2F13%2FNASKAH
%2520PUBLIKASI.pdf&usg=AFQjCNEeAELKAisLSDp5aeM1vfAbfR-tdg
eprints.undip.ac.id/24198/1/Budi_Susetyo.pdf
http://eprints.undip.ac.id/24198/
http://repository.unair.ac.id/38533/
16
AUDIT JUDGEMENT
Monika Wijaya
Email : [email protected]
Abstrak
The purpose of this analysis is to see that empirical evidence of auditor and client influence on
audit judgment. Where there is some research indicates that the gender of the auditor influences
the audit judgment. However, the gender of the client has no effect on the audit judgment.
Furthermore, there is also a finding that there is no difference in response between female and
male auditors to female and male clients and this supports the theory of risk aversion and
selectivity hypothesis. Findings that show that female auditors are more conservative than male
auditors. Therefore, it is recommended that practitioners improve the recruitment process by
opening more opportunities for future female auditors.
Keywords: Audit assessment; Gender auditor; Gender of client; Gender;
Stereotype ; Hypothesis of risk aversion and selectivity
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Auditor dapat dipercaya jika mereka mampu menjadi seorang profesional yang
independen, memiliki pengetahuan audit yang mumpuni serta paham secara benar pelaksanaan
etika dalam menjalankan profesinya (Herawaty dan Susanto, 2009). Etika profesi auditor harus
memiliki komitmen moral yang tinggi yang dituangkan dalam bentuk aturan khusus yang biasa
disebut sebagai kode etik. Kode etik auditor harus dilaksanakan dan ditaati oleh setiap profesi
yang memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat dan merupakan alat kepercayaan
masyarakat luas. Faktor yang mempengaruhi indenpendensi auditor adalah gender. Gender
diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara pria dan wanita dapat diketahui dari sudut
pandang nilai dan tingkah laku (Webster’s New World Dictionary, 2008).
Dalam proses audit, seorang auditor akan memberikan judgement berupa opini yang
didasarkan pada kejadian-kejadian di masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Audit
judgement atas kemampuan entitas harus berdasarkan pada ada tidaknya kesangsian dalam diri
auditor terhadap kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya pada
periode satu tahun sejak tanggal laporan keuangan auditan Audit judgement sebagai bagian dari
proses audit ditentukan oleh auditor berdasarkan dalil individual dan kombinasi dari
permasalahan yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Mautz dan Sharaf (1985:27)
“formulation of judgements are based on the individual proposition and the composite
problems”.
Riset tentang pengaruh gender terhadap audit judgement dilakukan oleh Gold et al.
(2009) yang menguji pengaruh gender auditor dan gender klien terhadap audit judgement dengan
menggunakan sampel 81 auditor di Amerika Serikat. Temuan Gold et al. (2009) menunjukkan
bahwa auditor (perempuan dan laki-laki) lebih mudah dipengaruhi oleh klien laki-laki dalam
menentukan audit judgement. Nateberg et al. (2006) menguji pengaruh keahlian klien, gender
klien dan gender auditor terhadap audit judgement. Nateberg et al. (2006) menemukan bahwa
klien dengan keahlian tinggi dan bergender laki-laki lebih mempengaruhi auditor dalam
2
menentukan audit judgement, serta auditor perempuan lebih bias gender daripada auditor lakilaki.
Bidang akuntansi publik merupakan salah satu bidang yang tidak terlepas dari
diskriminasi gender, stereotipe dan bias gender. Riset-riset di Indonesia menunjukkan adanya
stereotipe dan bias gender di bidang akuntansi publik. Hal ini nampak dari berbedanya upah
auditor laki-laki dengan auditor perempuan dimana auditor laki-laki dibayar lebih tinggi daripada
auditor perempuan (Trisnawati, 2007). Selain itu, data di Indonesia menunjukkan bahwa sejak
tahun 2005 lebih dari 50% lulusan sarjana akuntansi adalah perempuan (www.dikti.go.id),
namun pada dunia kerja akuntansi dan auditing masih didominasi oleh laki-laki. Pada tahun 2010
sekitar 882 akuntan publik yang menempati posisi rekan, hanya sekitar 16% diantaranya adalah
perempuan (IAPI, 2010). Hal inilah yang mendasari peningkatan riset yang mengkaji gender dan
akuntansi pada satu dasawarsa terakhir (Anderson et al., 1994; Trisnaningsih, 2004; Jamilah et
al., 2007; Gold et al., 2009; Hardies et al., 2009). Isu ini juga mengemuka karena gender
merupakan salah satu aspek perilaku individu, yang turut mempengaruhi auditor dalam
menentukan audit judgement.
Pengaruh gender terhadap audit judgement dapat dijelaskan berdasarkan teori psikologi
keperilakuan. Teori psikologi keperilakuan menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan
berdasarkan risk aversion dan selectivity hypothesis. Dimana, perempuan dikatakan lebih
menghindari risiko (risk averse) dan memproses informasi secara lebih komprehensif (selectivity
hypothesis) dibandingkan dengan laki-laki. Risk aversion dan selectivity hypothesis seringkali
digunakan untuk menjadi landasan teori riset-riset di bidang akuntansi yang menguji gender
sebagai variabel independen (Byrnes, 1999; Watson dan McNaughton, 2007; Gold et al., 2009).
Penelitian Hardies et al. (2009) yang menguji pengaruh gender terhadap kualitas audit
dengan reputasi auditor sebagai proksi dari kualitas audit menemukan bahwa tidak terdapat
perbedaan kualitas audit antara auditor perempuan dengan auditor laki-laki. Namun kredibilitas
informasi dari auditor laki-laki dianggap lebih baik daripada informasi yang diberikan oleh
auditor perempuan. Hardies et al. (2010) menguji pengaruh gender terhadap kualitas audit, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kualitas audit antara kelompok auditor
perempuan dengan kelompok auditor laki-laki. Namun demikian, Hardies et al. (2010) juga
menemukan bahwa kelompok auditor dengan komposisi gender yang seimbang antara
3
perempuan dan laki-laki menunjukkan tingkat kualitas audit yang lebih baik daripada kelompok
auditor perempuan dan kelompok auditor laki-laki.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan adanya stereotipe gender dan inkonsistensi pengaruh gender sebagai variabel
independen, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris dan menguji pengaruh
gender terhadap audit judgement. Untuk kemudian mengetahui apakah audit judgement yang
ditetapkan oleh auditor perempuan akan berbeda dengan auditor laki-laki ketika mendapatkan
informasi yang belum diverifikasi dari klien laki-laki atau klien perempuan. Berdasarkan latar
belakang analisis ini yang telah dibahas sebelumnya, maka rumusan masalah pada analisi ini
sebagai berikut:
1. Apakah auditor perempuan atau auditor laki-laki yang akan lebih mudah dipengaruhi oleh
informasi yang belum diverifikasi dari klien dalam menentukan audit judgement?
2. Apakah klien perempuan atau klien laki-laki yang akan lebih mempengaruhi auditor dalam
menentukan audit judgement ?
3. Apakah auditor akan memberi respon yang berbeda terhadap klien perempuan atau klien lakilaki ?
4. Apakah gender baik perempuan maupun laki-laki mempengaruhi tingkat independensi seorang
auditor dalam memberikan hasil opini ataupun laporan keuangan yang diaudit ?
1.3 Tujuan Analisis
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, tujuan analisis ini adalah sebagai
berikut:
1. Menginvestigasi mengenai auditor perempuan atau auditor laki-laki mana yang akan lebih
mudah dipengaruhi oleh informasi yang belum diversifikasi dari klien dalam menentukan audit
judgement.
2. Menginvestasi mengenai klien perempuan atau klien laki-laki mana yang akan lebih
mempengaruhi auditor dalam menentukan audit judgement.
4
3. Menginvestasi auditor akan memberi respon yang berbeda terhadap klien perempuan atau
klien laki-laki.
4. Menginvestasi gender mana perempuan maupun laki-laki yang mempengaruhi tingkat
independensi seorang auditor dalam memberikan hasil opini ataupun laporan keuangan yang
diaudit.
1.4 Kegunaan Analisis
1.4.1 Kegunaan bagi Akademi
Dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi semua lapisan masyarakat yang berhubungan
dengan permasalahan mengenai profesionalisme, pengalaman auditor dan kualitas audit terhadap
pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan dalam perspektif
gender.
1.4.2
Kegunaan bagi Pengembang Ilmu
Analisis ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi dan dapat memberikan sumbangan
pemikiran unutk pengembangan ilmu auditing, sehingga diharapkan kualitas auditor di masa
yang akan datang semakin menghasilkan auditor yang independen sehingga dapat memberikan
jawaban dan kepercayaan kepada masyarakat untuk menilai kesesuaian suatu laporan keuangan
dengan kriteria yang berlaku.
1.4.3
Kegunaan Operasional
Memberikan kontribusi dalam menambah pengetahuan di bidang akuntansi keperilakuan dan
auditing untuk menjadi acuan untuk analisis selanjutnya, juga memberikan kontribusi untuk
Kantor Akuntan Publik agar menjadi lebih baik lagi dalam mengambil audit judgment yang tidak
bertentangan dengan standar profesional, khususnya bagi auditor independen agar dapat
meningkatkan kesadaran tentang pentingnya beberapa hal yang mempengaruhi judgement
auditor seperti pengaruh gender, orientasi tujuan, self-efficacy, dan konflik kepentingan agar
tidak salah dalam mengambil judgement audit.
5
Bab II
Tinjauan Pustaka dan Kerangka Konseptual
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Profesi Akuntan Publik
Profesi akuntan publik dikenal oleh masyarakat dari jasa audit yang disediakan bagi
pemakai informasi keuangan. Tumbuh dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu
negara sejalan dengan berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan
di negara tersebut. Semakin berkembangannya usaha, baik perusahaan perseorangan maupun
perusahaan berbentuk badan hukum tidak dapat menghindarkan diri dari penarikan dana dari
pihak luar, yang tidak selalu dalam bentuk penyertaan modal dari investor, tetapi berupa
penarikan pinjaman dari kreditur. Dengan demikian, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
laporan keuangan perusahaan tidak lagi hanya terbatas pada para pemimpin perusahaan, tetapi
meluas kepada para investor dan kreditur serta calon investor dan calon kreditur.
Pihak-pihak di luar perusahaan memerlukan informasi mengenai perusahaan untuk
pengambilan keputusan tentang hubungan mereka dengan perusahaan. Umumnya, mereka
mendasarkan pada laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen. Dengan demikian,
terdapatnya dua kepentingan antara pemilik perusahaan dan pengelola perusahaan yang
berlawanan akan menyebabkan tumbuh dan berkembangnya profesi akuntan publik (Mulyadi,
2002: 3).
2.1.2 Pengertian Auditing, Standar Auditing, serta Sikap Profesional
Auditing menurut Arens et al. (2012:4) adalah sebagai berikut:
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and
report on the degree of correspondence between the information and established criteria.
Auditing should be done by a competent, independent person”.
Artinya auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk
menentukan dan melaporkan tingkat atau derajat kesesuaian antara informasi tersebut dan
6
kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten serta
independen.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa auditing adalah suatu proses yang
sistematis untuk mengumpulkan dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai informasi atau
peristiwa-peristiwa ekonomi dan menentukan tingkat kesesuaiannya terhadap kriteria yang telah
ditetapkan yang selanjutnya melaporkan hasilnya kepada para pengguna informasi. Audit sendiri
terbagi atas tiga jenis antara lain yakni audit operasional, audit ketaatan atau kepatuhan dan audit
laporan keuangan.
Standar auditing merupakan pedoman bagi auditor dalam menjalankan tanggung jawab
profesionalnya. Standar ini meliputi pertimbangan kualitas profesional auditor, seperti keahlian
dan independensi, persyaratan pelaporan, dan bahan bukti. Standar auditing terdiri dari sepuluh
standar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu standar umum, standar
pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan (IAI, 2001). Standar-standar ini merupakan dan
meliputi pertimbangan mengenai kualitas profesional mereka seperti keahlian dan independensi,
persyaratan dan pelaporan serta bahan bukti.
a. Standar Umum
1) Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis
yang cukup sebagai auditor.
2) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental
harus dipertahankan oleh auditor.
3) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran
profesionalnya dengan cermat dan seksama.
b. Standar pekerjaan lapangan
1) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi
dengan semestinya.
2) Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan
menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
7
3) Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan
keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan
keuangan.
c. Standar Pelaporan
1) Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
2) Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan
prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan
dibandingkan dengan penerapan prinsip tersebut dalam periode sebelumnya.
3) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai kecuali
dinyatakan lain dalam laporan auditor.
Seorang auditor bisa dikatakan profesional apabila telah memenuhi dan mematuhi
standar-standar
kode
etik
yang
telah
ditetapkan
oleh
IAI,
antara
lain:
a). Prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh IAI yaitu standar ideal dari perilaku etis yang telah
ditetapkan oleh IAI seperti dalam terminologi filosofi, b). Peraturan perilaku seperti standar
minimum perilaku etis yang ditetapkan sebagai peraturan khusus yang merupakan suatu
keharusan, c). Inteprestasi peraturan perilaku tidak merupakan keharusan, tetapi para praktisi
harus memahaminya, dan d). Ketetapan etika seperti seorang akuntan publik wajib untuk harus
tetap memegang teguh prinsip kebebasan dalam menjalankan proses auditnya, walaupun auditor
dibayar oleh kliennya.
2.1.3 Audit Judgement dan Gender
Menurut Mulia (2004) gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk
membedakan peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Gender juga bisa diartikan sebagai suatu sifat
yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antar laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi kondisi sosial budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi serta faktor-faktor
nonbiologis lainnya.
8
Indra, Ahra dan Husnani (2004) dalam Nurasnida (2008:13) istilah gender menurut
Wabster’s New World Dictionary diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara pria dan
wanita dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
gender bukan dilihat dari jenis kelamin saja, tetapi dilihat dari segi kondisi sosial budaya, nilai
dan perilaku, mentalitas, dan emosi serta factor faktor nonbiologis lainnya.
Pengertian klasifikasi Stereotypes merupakan proses pengelompokan individu kedalam
suatu kelompok dan pemberian atribut karakteristik pada individu berdasarkan anggota
kelompok. Berdasarkan Sex Role Stereotypes pria dipandang lebih berorientasi pada pekerjaan,
mampu bersikap obyektif, independen dan pada umumnya memiliki kemampuan lebih dalam
pertanggung jawaban manajerial jika dibandingkan dengan wanita. Sedangkan wanita dipandang
lebih lemah lembut, pasif dan pertanggungjawaban terhadap organisasi lebih rendah
dibandingkan dengan pria (Praditaningrum, 2012).
Meyers –Levy (1986) dalam Hasby, dkk (2010:9) mengembangkan kerangka teoritis
untuk menjelaskan kajian tentang perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam memproses
informasi. Kerangka teoritis ini mereka sebut dengan “selectivity hypothesis”. Perbedaaan yang
didasarkan pada isu gender dalam pemrosesan informasi dan pembuatan keputusan didasarkan
atas pendekatan yang berbeda yaitu bahwa laki-laki dan perempuan menggunakan pemrosesan
inti informasi dalam memecahkan masalah dan membuat inti keputusan.
Dalam memecahkan suatu masalah, laki-laki pada umumnya tidak menggunakan semua
informasi yang tersedia dan mereka juga memproses informasi secara menyeluruh sehingga
dapat dikatakan bahwa laki-laki cenderung melakukan pemrosesan informasi secara terbatas.
Sedangkan perempuan dipandang sebagai pemroses informasi lebih detail yang melakukan
proses informasi pada sebagian besar inti informasi untuk pengambilan suatu keputusan
(Zulaikha, 2006:5).
Selain itu laki-laki dan perempuan juga memiliki karakteristik yang sangat berbeda.
Perempuan memiliki karakteristik lebih realistis, teguh pendirian, mudah dipercaya, memiliki
kecurigaan yang tinggi, penuh perhatian dan teliti, kurang percaya diri, dan cenderung mematuhi
peratuuran, sedangkan laki-laki memiliki kepribadian yang tidak berpihak, kurang dapat bekerja
9
sama, cenderung tidak praktis dan tidak realistis, lebih percaya diri dan cenderung sembarangan
dalam menjalankan tugas (Falikhatun 2009:7).
Judgement merupakan kegiatan yang sangat dibutuhkan oleh auditor dalam
melaksanakan tugasnya terutama dalam mengaudit laporan keuangan dari suatu perusahaan.
Judgement tersebut tergantung pada perolehan bukti dan pengembangan bukti tersebut sehingga
menghasilkan keyakinan yang muncul dari kemampuan auditor dalam menjelaskan bukti-bukti
yang diuraikan. Semakin handal Judgement yang diambil oleh auditor maka semakin handal pula
opini audit yang dikeluarkan oleh auditor.
Proses Judgement tergantung pada kedatangan informasi sebagai suatu proses unfolds.
Kedatangan informasi bukan hanya mempengaruhi pilihan, tetapi juga mempengaruhi cara
pilihan tersebut dibuat. Audit Judgement adalah kebijakan auditor dalam menentukan pendapat
mengenai hasil audit yang mengacu pada pembentukan suatu gagasan, pendapat atau perkiraan
mengenai suatu objek, peristiwa, status atau jenis peristiwa lain (Yustrianthe, 2012).
2.2 Kerangka Konsep
Analisis ini menguji dampak potensial gender terhadap audit judgement. Sebagaimana
yang dipaparkan oleh Mautz dan Sharaf (1985) dimana auditor menggunakan dalil individualnya
dalam menentukan audit judgement, oleh karenanya aspek-aspek individual auditor dapat
mempengaruhi penentuan audit judgement. Maka gender sebagai salah satu aspek individual dari
seorang auditor dapat pula mempengaruhi audit judgement. Berdasarkan kajian teori dan analisis
empiris sebelumnya, kerangka berpikir dalam analisis ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
Model Kerangka Konsep
Gender Auditor
Audit Judgement
Gender Klien
10
Analisis ini menguji audit judgement sebagai variabel dependen dan gender auditor
sebagai variabel independen. Selain itu, gender klien adalah variabel yang dimanipulasi untuk
dapat melihat pengaruh potensial gender klien dalam interaksinya dengan auditor dan penentuan
audit judgement.
2.2.1 Gender Auditor
Riset di bidang akuntansi menunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan,
perempuan cenderung lebih berhati-hati apabila dibandingkan dengan laki-laki Francis et al.
(2010) menemukan bahwa chief financial officer (CFO) perempuan lebih menghindari risiko
daripada CFO laki-laki dalam hal kebijakan pelaporan keuangannya, serta CFO perempuan lebih
sering menggunakan kebijakan pelaporan keuangan konservatif apabila dibandingkan dengan
CFO laki-laki. Demikian pula Dwyer et al. (2002), dalam riset ini diketahui bahwa perempuan
cenderung lebih menghindari risiko apabila dibandingkan dengan laki-laki ketika membuat
keputusan investasi. Niskanen et al. (2009) menemukan bahwa auditor perempuan cenderung
lebih konservatif apabila dibandingkan dengan auditor laki-laki. Oleh karenanya, dapat dikatakan
bahwa, berdasarkan risk aversion, auditor perempuan cenderung lebih berhati-hati dalam
menentukan audit judgementnya dibandingkan dengan auditor laki-laki.
Selectivity hypothesis adalah perbedaan proses pengolahan informasi antara perempuan
dan laki-laki. Perempuan cenderung untuk memadukan lebih banyak informasi yang tersedia
untuk kemudian menentukan sebuah keputusan, sementara laki-laki cenderung untuk
mengeliminir informasi yang mereka anggap tidak perlu untuk kemudian menentukan sebuah
keputusan. Auditor perempuan cenderung untuk mengumpulkan lebih banyak bukti yang tersedia
sebagai petunjuk untuk membuat judgement. Sebaliknya, auditor laki-laki cenderung untuk
meminimalisir bukti yang mereka anggap tidak perlu dan fokus kepada lebih sedikit informasi
yang mereka anggap perlu. Dengan demikian, selectivity hypothesis merupakan dasar
argumentasi bahwa auditor perempuan akan cenderung untuk mengumpulkan informasi secara
lebih komprehensif dibandingkan auditor laki-laki dalam menentukan audit judgementnya.
Berdasarkan perbedaan penghindaran risiko dan selectivity hypothesis dapat dikatakan
bahwa auditor perempuan cenderung lebih berhati-hati dan mengumpulkan lebih banyak
informasi dalam membuat audit judgement. Oleh karenanya, dapat diasumsikan bahwa auditor
11
perempuan mestinya relatif tidak mudah dipengaruhi oleh informasi yang belum diverifikasi
yang diberikan oleh klien. Sehingga, dapat diturunkan hipotesis, sebagai berikut:
H1: Auditor perempuan relatif lebih tidak mudah dipengaruhi oleh informasi klien yang
belum diverifikasi dibandingkan dengan auditor laki-laki.
2.2.2 Gender Klien
Nyberg-Stuart (2006) dalam Gold et al. (2009) menyatakan bahwa terjadi ketimpangan antara
jumlah CFO perempuan dengan CFO laki-laki, dimana jumlah CFO perempuan hanya mencapai
kurang dari 10 % dari seluruh CFO yang ada pada 500 perusahaan terkemuka. Sehingga,dapat
dikatakan bahwa probabilitas auditor bertemu dengan klien CFO perempuan adalah kecil,
dengan demikian terdapat kesenjangan antara pengalaman auditor dalam menghadapi klien
perempuan dibandingkan dengan klien laki-laki.
Selain itu, riset psikologi menunjukkan bahwa gender merefleksikan kategori sosial tertentu yang
seringkali tanpa sadar mempengaruhi aktivitas proses pengumpulan informasi dan perumusan
keputusan (Norton et al., 2004). Individu seringkali mengasosiasikan laki-laki memiliki
kemampuan yang lebih dibandingkan dengan perempuan (William dan Best, 1990). Lebih jauh,
riset eksperimen yang dilakukan oleh BBC (2006) menunjukkan bahwa laki-laki cenderung akan
lebih memperhatikan informasi yang disampaikan oleh sesama laki-laki dibandingkan dengan
informasi yang disampaikan oleh perempuan.
Berdasarkan asumsi bahwa auditor lebih sedikit berhadapan dengan klien perempuan, sehingga
terdapat kesenjangan pengalaman auditor dalam menghadapi klien perempuan dibandingkan
dengan klien laki-laki. Serta adanya anggapan bahwa laki-laki memiliki kemampuan yang lebih
baik dari laki-laki dan kemungkinan kecenderungan auditor laki-laki untuk lebih memperhatikan
informasi yang diberikan oleh klien laki-laki, maka diturunkan hipotesis sebagai berikut:
H2: auditor akan relatif lebih dipengaruhi oleh penjelasan yang diberikan oleh klien lakilaki dibandingikan dengan klien perempuan.
12
2.2.3 Interaksi antara Gender Auditor dengan Gender Klien
Auditor perempuan dan laki-laki dapat memberikan respon yang berbeda ketika
menghadapi klien perempuan atau laki-laki. Konstruksi sosial seringkali mengunggulkan lakilaki daripada perempuan dalam berbagai bidang, bias gender ini disebut dengan male
favorability. Oleh karenanya, auditor dalam menentukan audit judgement dapat dipengaruhi
secara potensial oleh gender klien.
Literatur psikologi dan riset-riset terdahulu menunjukkan inkonsistensi mengenai bias
gender male favorability, beberapa riset menunjukkan bahwa laki-laki lebih bias gender
dibandingkan dengan perempuan, beberapa yang lain menunjukkan bahwa laki-laki dan
perempuan sama bias gendernya, dan lainnya menunjukkan bahwa perempuan lebih bias gender
dibandingkan dengan laki-laki.
Eagly et al. (1992) melakukan riset tentang evaluasi yang dilakukan oleh pimpinan
terhadap laki-laki dan perempuan, yang menunjukkan hasil bahwa, perempuan akan menghadapi
penolakan lebih besar daripada laki-laki ketika berhadapan dengan pimpinan laki-laki. Hal ini
menunjukkan bahwa laki-laki lebih bias gender dengan male-favorability dibandingkan dengan
perempuan. Di bidang auditing, Trapp et al. (1989) menemukan bahwa auditor laki-laki lebih
bias gender daripada auditor perempuan. Heilman et al. (2005) melakukan penelitian dengan
menggunakan metode eksperimen untuk mengetahui perilaku komunitas pada sebuah seting
kerja. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat kecenderungan male favorablity. Hasil
penelitian ini mengkonfirmasi penelitian sebelumnya bahwa terdapat stereotipe gender di dunia
kerja dan menunjukkan bukti adanya streotipe gender tentang bagaimana seharusnya perempuan
dan laki-laki berperilaku.
Pada penelitian lain, seperti Anderson, et al. (1994) menemukan bahwa tidak ada
pengaruh dari gender partisipan terhadap bias gender. Harding et al. (2002) yang menyelidiki
apakah gender dari para pelamar akan mempengaruhi rekrutmen pada kantor akuntan publik dan
besarnya gaji yang akan diterima, menemukan bahwa perekrut perempuan cenderung untuk
menawarkan gaji yang lebih besar kepada pelamar laki-laki dibandingkan dengan pelamar
perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan lebih bias gender daripada laki-laki.
13
Bias gender yang cenderung male favorability tidak bersifat universal dan sangat tergantung
pada waktu dan tempat dimana konstruksi sosial terbentuk. Sehingga, riset-riset bias gender
menemukan hasil yang berbeda-beda. Oleh karenanya, penelitian ini menurunkan tiga alternatif
hipotesis berkaitan dengan respon auditor terhadap gender klien, sebagai berikut:
H3a: respon auditor laki-laki terhadap klien akan relatif lebih male-favorability
dibandingkan dengan auditor perempuan.
H3b: respon auditor terhadap klien akan tidak berbeda
H3c: respon auditor perempuan terhadap klien akan relatif lebih male-favorability
dibandingkan dengan auditor laki-laki.
Robbins (2006) menyatakan pria dan wanita berbeda pada sikap emosional dan
kemampuan membaca orang lain. Wanita cenderung dapat mengungkapkan emosi yang lebih
besar dari pada pria, mereka memperlihatkan ekspresi emosional positif dan negatif, kecuali
kemarahan. Selain itu Wanita cendrung lebih baik dalam membaca isyarat non verbal dari pada
pria. Perbedaan tersebut dapat mempengaruhi tingkat independensi seorang auditor dalam
memberikan hasil opini atau laporan keuangan yang diaudit.
14
Bab III
Penutup
Kesimpulan dan Saran
Profesionalisme auditor merupakan kualitas diri yang terbentuk berdasarkan pengabdian
profesi, kewajiban sosial akan pekerjaan, adanya tanggung jawab yang melekat secara profesi,
kemandirian dan hubungan dengan rekan seprofesi, sehingga faktor pengalaman individu dalam
menghadapi situasi sulit dan berulang sangat berpengaruh terhadap ketepatan untuk menilai
materialitas suatu akun atau laporan keuangan.
Auditor selalu mengoptimalkan pengalamannya dalam mempertimbangkan tingkat
materialitas demi tercapainya kualitas audit yang baik. Gender sebagai pembagian peran serta
tanggung jawab baik laki-laki maupun perempuan, yang diterapkan secara sosial maupun
kultural. Dalam memproses informasi dalam tugas yang kompleks tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Gender tidak mempengaruhi terhadap pertimbangan auditor. Kondisi
ini menunjukkan bahwa perbedaan gender antara auditor pria dan wanita dengan perbedaan
karakter dan sifat yang melekat pada individu masing-masing tidak berpengaruh terhadap
judgement yang akan diambilnya.
Tingkat materialitas yang ditetapkan oleh auditor mempunyai peranan terhadap hasil
pemeriksaan. Penetapan materialitas membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti
yang cukup. Jika auditor menetapkan jumlah yang rendah, maka akan lebih banyak bahan bukti
yang harus dikumpulkan.
Berdasarkan keterbatasan yang ada dalam analisis ini, maka dapat dikemukakan beberapa
saran yang dapat dijadikan pertimbangan untuk peneliti yang ingin melakukan penelitian
lanjutan, yaitu (1) peneliti berikutnya dapat melakukan penelitian di tempat lain, sehingga
nantinya hasilnya bisa digeneralisasi untuk lingkup yang lebih luas jadi untuk memperkuat
validitas eksternal diperlukan penelitian lebih lanjut, (2) penelitian lebih lanjut disarankan untuk
menambah variabel-variabel yang berpengaruh terhadap audit judgement seperti kemampuan
dan pengetahuan.
15
Daftar Pustaka
http://jamal.ub.ac.id/index.php/jamal/article/view/266/253
https://www.academia.edu/10983768/PENGARUH_GENDER_DAN_PENGALAMAN_AUDIT
_TERHADAP_AUDIT_JUDGMENT
http://journal.trunojoyo.ac.id/neo-bis/article/view/1274
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjvscT
Ry-_UAhWHMY8KHeR0BHcQFggtMAE&url=http%3A%2F%2Feprints.ums.ac.id
%2F51458%2F13%2FNASKAH
%2520PUBLIKASI.pdf&usg=AFQjCNEeAELKAisLSDp5aeM1vfAbfR-tdg
eprints.undip.ac.id/24198/1/Budi_Susetyo.pdf
http://eprints.undip.ac.id/24198/
http://repository.unair.ac.id/38533/
16