Kecerdasan Emosional pada Guru SDLB-C "X" dan Guru Sekolah Dasar Reguler "Y" di Kota Bandung.

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kecerdasan emosional pada guru SDLB-C ‘X’ dan guru SD reguler ‘Y’ di Kota Bandung dengan rancangan penelitian uji diferensial. Sampel penelitian merupakan guru SDLB-C ‘X’ dan guru SD reguler ‘Y’ di Kota Bandung yaitu sebanyak 17 guru SDLB-C dan 40 guru SD reguler dengan menggunakan teknik purposive sampling.

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kecerdasan emosional dibuat peneliti berdasarkan teori emotional intelligence dari Daniel Goleman (1999). Data yang diperoleh diolah menggunakan Mann-Whitney dengan program SPSS 16.0, dan diperoleh hasil reliabilitas diolah menggunakan Alpha Cronbach didapat reliabilitas untuk alat ukur emotional intelligence sebesar 0,867, dengan nilai validitas 0,304 – 0,793.

Berdasarkan hasil pengolahan data uji beda Mann-Whitney bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kecerdasan emosional pada guru SDLB-C ‘X’

dengan guru SD sekolah reguler ‘Y’ dengan nilai Z hitung sebesar -3,17 dan nilai P sebesar 0,002, dan terlihat pula perbedaan pada aspek-aspek kecerdasan emosional. Kesimpulan yang diperoleh yaitu terdapat perbedaan yang signifikan kecerdasan emosional pada 2 kelompok guru. Peneliti mengajukan saran agar pada penelitian berikutnya perlu ditinjau kembali apakah terdapat faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi tinggi atau rendahnya kecerdasan emosional. Kata Kunci: kecerdasan emosional, guru SDLB-C, guru sekolah dasar reguler.


(2)

v Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT

This research was conducted with the aim to determine whether there is a difference of emotional intelligence on SDLB teacher-C 'X' and the regular elementary teachers 'Y' in the city of Bandung with differential test research design. The research sample is SDLB teacher-C 'X' and the regular elementary teachers 'Y' in the city of Bandung as many as 17 teachers SDLB-C and 40 regular elementary school teachers by using purposive sampling technique.

Measuring instrument used to measure emotional intelligence made the researchers based on the theory of emotional intelligence Daniel Goleman (1999). The data obtained were processed using the Mann-Whitney with SPSS 16.0, and the reliability of the results obtained was processed using Cronbach Alpha obtained reliability for measuring emotional intelligence tool at 0.867, with the validity score 0,304 – 0,793.

Based on the results of data processing Mann-Whitney test that there are significant differences in teachers' emotional intelligence SDLB-C 'X' with regular school elementary teachers' Y 'with a value of Z count of -3.17 and a P value of 0.002, and looks well differences on aspects of emotional intelligence. The conclusion that there are significant differences of emotional intelligence in the two groups of teachers. Researchers propose suggestions for the next research needs to be revisited if there are other factors that can affect the high or low emotional intelligence.

Keywords: emotional intelligence, teachers SDLB-C, regular elementary school teacher.


(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN ORISINALITAS PERNYATAAN PUBLIKASI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ………..……… iv

ABSTRACT ………..……… v

DAFTAR ISI ……….. vi

DAFTAR TABEL ……….. x

DAFTAR BAGAN ……….. xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2 Identifikasi Masalah ………. 14

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ……… 14

1.3.1 Maksud Penelitian ……… 14

1.3.2 Tujuan Penelitian ……… 14

1.4 Kegunaan Penelitian ……… 14

1.4.1 Kegunaan Teoritis ……… 14

1.4.2 Kegunaan Praktis ……… 15

1.5 Kerangka Pemikiran ……… 15

1.6 Asumsi ……… 20


(4)

vii Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 22

2.1 Teori Kecerdasan Emosional ………...….………… 22

2.1.1 Emosi ……….... 22

2.1.2 Sejarah Lahirnya Teori Kecerdasan Emosional ………… 23

2.1.3 Pengertian Kecerdasan Emosional ……… 24

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional 29 2.1.4.1 Faktor Internal ……… 29

2.1.4.2 Faktor Eksternal ……… 30

2.2 Teori Guru ……….……… 32

2.2.1 Pengertian Guru ...……… 32

2.2.2 Kompetensi Guru ……… 33

2.2.2.1 Kompetensi Guru Umum ………. 34

2.2.2.2 Kompetensi Guru Pendidikan Luar Biasa ……….. 38

2.2.2.3 Kompetensi Guru SLB-C ... 38

2.2.3 Peran Guru ……… 39

2.2.4 Pengertian Guru Pendidikan Luar Biasa ……… 40

2.3 Teori Tunagrahita ……… 42

2.3.1 Pengertian Tunagrahita ……… 42

2.3.2 Karakteristik Umum Tunagrahita……… 43

2.3.3 Klasifikasi Anak Tunagrahita …………...………. 44

2.3.4 Kriteria Diagnostik Dalam DSM V ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……… 54

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ……… 54

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ……… 54

3.3 Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional ……… 55

3.3.1 Variabel Penelitian ………... 55

3.3.2 Definisi Konseptual ... 55

3.3.3 Definisi Operasional ……… 55


(5)

3.4.1 Alat Ukur Kecerdasan Emosional ………..………. 56

3.4.2 Data Sosio Demografis ……… 58

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ………... 59

3.4.3.1 Validitas alat ukur ………... 59

3.4.3.2 Reliabilitas ……….... 59

3.5 Sampel Dan Teknik Penarikan Sampel ………... 60

3.5.1 Sampel Sasaran ………..………... 60

3.5.2 Karakteristik Sampel ………..………….. 60

3.6 Teknik Analisis Data ………. 61

3.7 Hipotesa Statistik ... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN ……… 62

4.1 Gambaran Sampel ……… 62

4.1.1 Gambaran Populasi Berdasarkan Jenis Kelamin ……… 62

4.1.2 Gambaran Populasi Berdasarkan Usia ……… 63

4.1.3 Gambaran Populasi Berdasarkan Jenjang Pendidikan …… 63

4.1.4 Gambaran Populasi Berdasarkan Masa Bekerja .………64

4.2 Hasil Penelitian ………... 64

4.2.1 Uji Diferensial Kecerdasan Emosional Pada Guru SDLB-C ‘X’ dan Guru SD Sekolah Reguler ‘Y’ ...………... 64

4.2.2 Uji diferensial aspek-aspek kecerdasan emosional antara kelompok Guru SDLB-C dangan kelompok Guru SD sekolah regular ... 65

4.2.3 Gambaran Korelasi Data Sosiodemografis Jenis Kelamin, Usia, jenjang Pendidikan, dan Lama Masa Kerja dengan Kecerdasan Emosional 68 4.3 Pembahasan ... 68


(6)

ix Universitas Kristen Maranatha

BAB V Kesimpulan dan Saran ...73

5.1 Kesimpulan ... 73

5.2 Saran ... 74

5.2.1 Saran Bagi Penelitian Lanjutan ……… 74

5.2.2 Saran Guna Laksana ...………... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

DAFTAR RUJUKAN ... 76 LAMPIRAN


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Gambaran Alat ukur Kecerdasan Emosional ... 57 Tabel 4.1 Tabel Populasi Guru SDLB-C ‘X dan Guru SD sekolah reguler ‘Y’ Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62 Tabel 4.2 Tabel Populasi Guru SDLB-C ‘X dan Guru SD sekolah reguler ‘Y’ Berdasarkan Usia ... 63 Tabel 4.3 Tabel Populasi Guru SDLB-C ‘X dan Guru SD sekolah reguler ‘Y’ Berdasarkan Jenjang Pendidikan ... 63 Tabel 4.4 Tabel Populasi Guru SDLB-C ‘X dan Guru SD sekolah reguler ‘Y’ Berdasarkan Masa Kerja ... 64 Tabel 4.5 Tabel Uji Diferensial Kecerdasan Emosional Antara Guru SDLB-C dengan Guru SD Reguler 64 Tabel 4.6 Tabel Mean Rank Kecerdasan Emosional Pada 2 Kelompok Guru 65 Tabel 4.7 Tabel Uji Diferensial Aspek Kecerdasan Emosional Antara Guru SDLB-C dengan Guru SD Reguler ... 65 Tabel 4.8 Tabel Mean Rank Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional Pada 2 Kelompok Guru... 67 Tabel 4.9 Tabel Korelasi Data Sosiodemografis dengan Kecerdasan Emosional 68


(8)

xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir ………... 20 Bagan 3.1 Prosedur Penelitian ……….. 54


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I ………... L-1

Lampiran II ………... L-7

Lampiran III ………... L-11

Lampiran IV ………... L-12

Lampiran V ………... L-14

Lampiran VI ………... L-18

Lampiran VII ………... L-20

Lampiran VIII ………... L-21

Lampiran IX ………... L-23

Lampiran X ………... L-26

Lampiran XI ………... L-28

Lampiran XII ………... L-29


(10)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang anak dan memengaruhi anak dalam berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosialnya. Pendidikan merupakan hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena pendidikan bukan hanya merupakan sarana yang dapat meningkatkan kapasitas kemampuan individu tetapi juga dapat menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan individu saat ini maupun di masa yang akan dating. Oleh karena itu setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang sama tanpa pengecualian. Seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945

pasal 31 ayat 1 bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”

dan Pasal 31 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara wajib

mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Selain itu hak

setiap anak untuk memperoleh pendidikan tanpa pengecualian pun tercatat dalam Undang-Undang no. 20 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat 2 yang berbunyi bahwa

“Warga negara yang berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial

berhak memperoleh pendidikan khusus.”

Anak-anak yang terlahir dengan kebutuhan khusus sekalipun berhak mendapatkan pendidikan mulai dari jenjang PAUD, TK, SD, SMP, SMA tanpa pengecualian, selama kondisinya memungkinkan.


(11)

Pendidikan di Indonesia terdiri atas beberapa jenis yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, keagamaan, dan khusus (pasal 15 dalam Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003). Pendidikan umum adalah pendidikan yang bersifat general (bukan spesifik atau kejuruan), yang wajib diikuti oleh semua siswa. Sementara itu pendidikan kejuruan adalah pendidikan pada jenjang menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakn jenis pekerjaan tertentu (PP 29 tahun 1990 pasal 1 ayat 3).

Pendidikan khusus merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang diperuntukkan bagi peserta didik dengan tingkat kesulitan atau keterbatasan fisik, kognisi, emosi, dan sosial. Proses pembelajaran pendidikan khusus ini bertujuan membantu peserta didik dengan kelainan fisik atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengandalkan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (PP No. 72 Thn. 1991, Pasal 2). Oleh karena itu, pemerintah mendirikan lembaga pendidikan khusus yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan tujuan memberikan pendidikan yang sesuai karakteristik dan kebutuhan dari anak-anak berkebutuhan khusus.

SLB adalah lembaga pendidikan khusus yang dipersiapkan untuk menangani dan memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak yang memiliki keterhambatan atau kekurangan yang meliputi fisik, mental, emosi dan sosial (Mikarasa, 2002). SLB merupakan salah satu bentuk sistem pendidikan segregasi yaitu suatu sistem pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang


(12)

3

Universitas Kristen Maranatha terpisah dari sistem pendidikan anak normal (Undang-undan Pendidikan Nasional

(UUSPN) no. 2/1989 yang diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 72 tahun 1991). Jenjang pendidikan SLB yang tercatat dalam PP no. 72 tahun1991, pasal 4 terdiri atas jenjang PAUD berupa Taman Kanak-kanan Luar Biasa (TKLB), jenjang Pendidikan Dasar berupa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB), serta jenjang Pendidikan Menengah adalah Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB).

Salah satu anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan pendidikan khusus adalah anak tunagrahita atau yang lebih sering dikenal dengan istilah retardasi mental yang saat ini disebut dengan intellectual disability. Anak ini membutuhkan layanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuannya dibandingkan mengikuti pendidikan reguler, sebab anak tunagrahita memiliki taraf kecerdasan jauh di bawah rata-rata yang mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan reguler (Somantri, 2007). Pendidikan khusus memiliki kurikulum yang disesuaikan dengan karakteristik anak tunagrahita sehingga potensi yang ada di dalam diri mereka dapat berkembang dengan optimal.

Definisi anak tunagrahita yang dikembangkan oleh AAMD (American

Association of Mental Deficiency) adalah keterbelakangan mental yang

menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku yang terjadi pada masa perkembangan (Kauffman dan Hallan, dalam Somantri, 2007). Pada DSM V istilah yang digunakan adalah intellectual disability, ditandai adanya keterbatasan


(13)

atau kekurangan dalam kemampuan mental secara umum, seperti penalaran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, penilaian, belajar akademik, dan belajar dari pengalaman. Kurangnya kemampuan mental secara umum mengakibatkan gangguan fungsi adaptif, sehingga individu gagal memenuhi standar kemandirian pribadi dan tanggung jawab sosial dalam satu atau lebih aspek kehidupan sehari-hari, termasuk komunikasi, partisipasi sosial, fungsi akademik atau pekerjaan, dan kemandirian pribadi di rumah atau di pengaturan masyarakat. Dengan adanya kekurangan atau keterbasan dalam kemampuan mental seacara umum, orang tua yang memiliki anak dengan tunagrahita sulit untuk berkomunikasi dengan anak dan tidak jarang orang tua menjadi kesal kepada anak.

Lembaga pendidikan khusus yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita adalah SLB-C. SLB-C yang ada di kota Bandung merupakan lembaga pendidikan khusus yang disediakan untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak tunagrahita. SLB-C ini memiliki dua program kelas, yaitu kelas C untuk tunagrahita ringan, dan kelas C1 untuk tunagrahita sedang. Jenjang pendidikan yang ada di SLB-C dimulai dari SDLB, SMPLB, SMALB, dan Kelas Keterampilan. Kurikulum yang digunakan berdasarkan kurikulum dua ribu tiga belas (KURTILAS), disesuaikan dengan jenis dan tingkat ketunaannya. Selain memelajari mata pelajaran umum, ada juga mata pelajaran kekhususan, untuk anak tunagrahita yaitu mata pelajaran “Bina Diri” didalamnya mencakup kemampuan merawat diri, mengurus diri, menolong diri, komunikasi dan sosialisasi.


(14)

5

Universitas Kristen Maranatha Suatu sistem pendidikan dapat berjalan dengan baik bergantung pada

beberapa faktor, seperti guru, murid, kurikulum dan fasilitas. Guru merupakan faktor yang penting dalam struktur pendidikan agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan optimal. Peran dan fungsi guru memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah. Guru yang mengajar di sekolah reguler dan guru yang mengajar di sekolah luar biasa memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik dan mengembangkan potensi yang ada di dalam diri siswa-siswa, terlebih guru yang berada di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) yang merupakan tahap awal dari jenjang pendidikan formal dan jenjang pendidikan yang paing lama penyelenggaraannya yaitu selama 6 tahun. Pada jenjang SD inilah kemampuan dan keterampilan dasar siswa dikembangkan sebagai bekal untuk pendidikan lanjutan dan bekal dalam kemasyarakatan untuk bersosialisasi.

Guru memiliki fungsi dan tugas sebagai berikut (Ditjen Dikti P2TK, 2004 dalam Mulyasa, 2011): (1) Guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, dan pelatih yang memiliki tugas mengembangkan potensi murid, mengembangkan kepribadian murid, menciptakan suasana belajar yang kondusif, merencanakan pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran, membimbing murid memecahkan masalah dalam pembelajaran, melatih keterampilan yang diperlukan dan pembelajaran, dan membiasakan murid berperilaku positif dalam pembelajaran; (2) Guru sebagai pengembang program dan pengelola program yang memiliki tugas membantu mengembangkan program pendidikan sekolah dan hubungan kerjasama intra sekolah, dan membantu secara aktif dalam menjalin hubungan dan kerjasama antar sekolah dan masyarakat; (3) Guru sebagai tenaga


(15)

profesional, memiliki tugas melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan profesionalitas.

Pada sekolah luar biasa, Guru Pendidikan Luar Biasa merupakan salah satu komponen pendidikan yang secara langsung memengaruhi tingkat keberhasilan anak berkebutuhan khusus dalam menempuh perkembangannya (Ineupuspita, 2008). Guru pendidikan luar biasa merupakan tenaga profesional yang memenuhi kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi pendidik bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial dan-atau potensi kecerdasan serta bakat istimewa pada satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, dan-atau satuan pendidikan kejuruan (Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 32 tahun 2008, pasal 1). Oleh karena itu selain fasilitas, prasarana dan sarana yang ada di SLB-C „X‟ kota Bandung juga menyiapkan guru-guru pada jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) yang berkompeten, memiliki kemampuan mengajar dan memahami tugasnya dalam mendidik murid-muridnya berdasarkan karakteristik murid yang dihadapinya.

Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru SLB menurut Diktendik Depdiknas (2009) adalah kompetensi pengelolaan pembelajaran, yang meliputi penyusunan renacana pembelajaran, pelaksanaan interaksi belajar-mengajar, penilaian prestasi belajar murid, dan pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar murid; kompetensi pengembangan potensi; dan kompetensi penguasaan akademik, yang meliputi pemahaman waawasan kependidikan, dan penguasaan bahan kajian akademik .


(16)

7

Universitas Kristen Maranatha Dengan adanya tiga kompetensi sebagaimana disebutkan di atas, guru

SLB-C diharapkan dapat memberikan pendidikan yang optimal bagi peserta didik. Selain itu para guru SLB-C diharapkan dapat mengerti dan menerima kekurangan yang dimiliki siswa tunagrahita serta dapat menunjukkan rasa kasih sayangnya dengan tulus.

Kompetensi guru SLB-C kekhususan bidang bina diri dan keterampilan hidup sehari-hari guru harus memiliki kompetensi (Diktendik Depdiknas, 2003): (1) Kemampuan dalam memahami konsep bina diri dalam keterampilan hidup sehari-harai pada murid tunagrahita; (2) Kemampuan dalam mengasesmen murid dalam bidang kajian bina diri dan mengembangkan anaisis tugas bidang kajian tersebut yang harus dikuasi oleh murid tunagrahita; (3) Kemampuan dalam mengembangkan komunikasi dan sosialisasi murid dalam melakukan kegiatan hidup sehari-hari; (4) Kemampuan dalam mengembangkan keterampilan hidup sehari-hari pada anak tunagrahita.

Guru-guru SDLB-C memunyai peran yang sangat penting dan bertanggung jawab terhadap perkembangan muridnya. Guru SDLB dituntut untuk memiliki komitmen yang kuat, empati, memiliki kesabaran yang tinggi dalam menghadapi murid-muridnya, memiliki perhatian terhadap mereka, dan memiliki kesehatan fisik serta psikis yang baik dalam bekerja. Salah satu tugas guru SDLB-C adalah melakukan tugas fungsional yaitu mengajar satu per satu muridnya dengan penuh kesabaran karena anak tunagrahita memiliki keterbatasan inteligensi yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatan keterbatasan yang disandangnya.


(17)

Anak tunagrahita memiliki IQ di bawah rata-rata anak normal; keterbatasan sosial, kesulitan dalam mengurus diri sendiri; dan keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya. Anak tunagrahita membutuhkan waktu yang lama untuk bereaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Selain itu anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa, kemampuan bahasa mereka kurang berfungsi dengan baik, mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya dan diajarkan secara berulang-ulang (Somantri, 2007). Dengan keterbatasan yang dialami anak tunagrahita, guru pun mengalami kesulitan untuk memberikan pengajaran karena kemampuan intelektual anak tunagrahita satu dengan anak tunagrahita yang lain berbeda-beda. Guru harus dapat memahami kemampuan setiap muridnya. Selain itu, anak tunagrahita memiliki emosi yang sering kali meledak-ledak dan sulit dikendalikan, guru harus sabar dalam mendidik anak tunagrahita dan memberikan pengarahan kepada siswa, guru harus melakukannya secara berulang-ulang dan jelas. Hal tersebut dapat membuat guru merasa kesal, lelah, mengabaikan siswanya dan dapat menimbulkan stres bagi guru yang bersangkutan.

Pendidikan bagi murid-murid tunagrahita memerlukan suatu keahlian khusus, terutama bagi guru-guru yang mengelola proses belajar dan mengajar. Guru harus menyampaikan pelajaran yang bersifat konkrit, guru harus melakukan pengiulangan materi secara konsisten agar murid paham, guru jangan terlalu menuntut syarat-syarat akademik yang tinggi, kata-kata yang digunakan oleh guru harus sederhana dan mudah dipahami murid, guru jangan memerlihatkan sikap


(18)

9

Universitas Kristen Maranatha menakut-nakuti murid, dan isi pengajaran menarik minat murid (Mangunsong,

1998).

Menurut Kepala Sekolah SDLB-C‟ X‟ di kota Bandung tugas-tugas guru SDLB-C adalah membuat kurikulum/ materi pembelajaran, membuat alat peraga, membuat evaluasi perkembangan anak, membuat raport, ketika anak ujian guru pun membuat materi ujian sesuai dengan kemampuan anak, dan mengerjakan administrasi organisasi di sekolah.

Dengan tugas-tugas dan karakteristik anak tunagrahita yang harus dihadapi guru SDLB maka guru SDLB harus memiliki kesabaran yang tinggi serta kesehatan fisik dan mental yang baik dalam bekerja untuk siap mengajar para murid tunagrahita yang memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda. Menangani anak tunagrahita pada jenjang pendidikan sekolah dasar dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental karena anak tunagrahita pada jenjang sekolah dasar membutuhkan lebih banyak perhatian dan pelatihan dibandingkan dengan anak normal yang bersekolah di sekolah reguler. Dibandingkan dengan guru SD sekolah reguler yang tugasnya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, guru SDLB selain mengajarkan pengetahuan dan keterampilan kepada anak tunagrahita guru SDLB juga harus mampu bertindak sebagai terapis,

social worker, konselor, dan administrator.

Dengan adanya perbedaan tingkat kecerdasan intelektual murid tunagrahita yang dihadapi guru SDLB maka guru SDLB harus memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dibandingkan dengan guru SD sekolah reguler


(19)

yang mengajar anak-anak normal. Peran dan tugas yang dihadapi oleh guru di sekolah dapat meningkatkan derajat stres guru yang bersangkutan dan terkadang menyebabkan timbulnya masalah emosional pada guru. Selain itu bila guru mengalami stres dan memengaruhi keadaan emosi guru, pekerjaan yang dilakukannya tidak akan optimal. Oleh karena itu selain diperlukan keterampilan mengajar yang tinggi, kecerdasan emosional yang tinggi pun harus dimiliki para guru SDLB untuk menghadapi siswa-siswanya yang memiliki karakteristik yang berbeda.

Berbeda dengan guru yang mengajar di sekolah SDLB-C, guru yang mengajar di sekolah reguler mengajar murid yang memiliki tingkat intelegensi sekurang-kurangnya rata-rata atau di atas kecerdasan rata-rata anak tunagrahita sehingga tingkat kesulitan yang dihadapkan kepada guru sekolah regular berbeda dengan guru SDLB-C. Setiap guru memiliki kecerdasan emosional tetapi guru SDLB-C harus lebih terampil menggunakan kecerdasan emosional dibandingkan guru sekolah reguler karena kondisi peserta didik yang berbeda.

Tugas guru SD reguler „Y‟ di kota Bandung menurut Humas SD reguler

„Y‟ adalah memberi bimbingan emosional dan perilaku, memberi dan

menjelaskan materi pelajaran, melakukan tugas administrasi seperti penulisan raport, dan menyusun soal ketika ulangan harian.

Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru SDLB dan guru SD sekolah reguler menurut Mulyasa, 2011 adalah kompetensi pedagogis yang mencakup kemampuan mengelola pembelajaran, guru SDLB-C harus mampu mengelola


(20)

11

Universitas Kristen Maranatha pembelajaran bagi murid tunagrahita dan guru SD sekolah reguler harus mampu

mengelola pembelajaran untuk murid-murid SD sesuai dengan jenjang pendidikannya; Pemahaman terhadap peserta didik, guru SDLB-C harus mampu memahami karakteristik murid tunagrahita yang memiliki kekurangan dalam intelegensi dibawah rata-rata, sosial, bahasa dan komunikasi begitupun dengan guru SD sekolah reguler yang harus mampu memahami peserta didik agar dapat mengajar dengan optimal; Perancangan pembelajaran, guru SDLB-C harus mampu membuat rancangan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat ketunaan pada murid tunagrahita seperti membuat alat peraga dalam menyampaikan materi pembelajaran, pada guru SD reguler pun harus membuat rancangan pembelajaran yang disesuaikan dengan kurikulum dari dinas pendidikan; Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; Pemanfaatan teknologi pembelajaran; Evaluasi hasil belajar, guru SDLB-C tidak dapat menentukan nilai minimal dari setiap mata pelajaran karena guru mengikuti kemampuan murid tunagrahita tidak seperti guru SD reguler yang dapat menentukan nilai minimal dari setiap mata pelajaran; dan Pengembangan peserta didik. Dengan adanya perbedaan karakteristik murid yang dihadapi guru maka kecerdsan emosional yang dimiliki guru SDLB-C dan guru SD reguler pun berbeda.

Menurut Goleman (1999), kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi dengan cara mengendalikan dorongan diri dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa. Terdapat lima aspek utama kecerdasan emosional,


(21)

yaitu Pertama, mengenali emosi diri, adalah kemampuan untuk mengenali perasaan ketika perasaan itu terjadi. Kedua, mengelola emosi, adalah kemampuan untuk menangani perasaan agar dapat terungkap di waktu yang tepat. Ketiga, memotivasi diri sendiri. Keempat, mengenali emosi orang lain, memahami perasaan dan masalah orang lain, dan berpikir dengan sudut pandang mereka; menghargai perbedaan perasaan mengenai berbagai hal. Kelima, membina hubungan dengan orang lain, kemampuan membina hubungan dengan orang lain berarti guru mampu mengendalikan dan mengolah emosinya dengan baik dalam berinteraksi dengan murid, mampu bersikap cermat dalam membaca situasi sosial di sekitarnya, mampu berinteraksi dengan baik dan lancar dengan setiap kalangan, serta mampu bertindak bijaksana dalam hubungannya dengan murid dan rekan kerja.

Jika guru SDLB-C memiliki kecerdasan emosional yang rendah, guru tidak mampu mengendalikan stres pada pekerjaannya dan akan memengaruhi emosi guru dalam mengajar sehingga guru tidak akan optimal dalam melakukan pengajaran. Jika guru memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, guru akan dapat mengendalikan stres kerja sehingga dapat bekerja dengan optimal. Kecerdasan emosional dapat sangat membantu para guru untuk mengelola berbagai tujuan dan tekanan yang mereka hadapi ketika bekerja, membantu para guru SDLB untuk mengelola emosi yang sedang dialami dengan lebih baik.

Menurut hasil wawancara yang dilakukan terhadap enam orang guru SDLB, kesulitan yang banyak dialami dan dirasakan oleh guru SDLB adalah ketika harus menghadapi murid yang tantrum dan berusaha menenangkannya agar


(22)

13

Universitas Kristen Maranatha tenang dan mau belajar lagi, sulit memahami apa yang diinginkan oleh murid

tunagrahita dikarenakan keterbatasan bahasa. Kesulitan lain yang dirasakan adalah setiap guru harus mencakup semua aspek bidang materi pelajaran serta tuntutan fisik yang lebih dalam menghadapi murid tunagrahita yang aktif dan sulit dikendalikan. SLB-C „X‟ di kota Bandung, memiliki 21 orang guru dengan jumlah murid SD 52 orang, satu orang guru bertanggung jawab terhadap dua hingga tiga orang siswa.

Sedangkan kesulitan yang dihadapi guru SD reguler dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap enam guru SD reguler adalah menghadapi anak yang kelas 1 dan 2 yang masih membutuhkan perhatian lebih seperti menemani ke toilet, menangis ingin pulang, menyuapi makan ketika waktu istirahat, menghadapi anak yang malas belajar; sebaliknya menghadapi anak kls 5 dan 6 yang mulai sulit diatur, untuk guru kelas 6 kesulitan yang dihadapi adalah memberi pengarahan persiapan yang lebih bagi murid untuk menghadapi ujian nasional. SD reguler „Y‟ di kota Bandung, memiliki 80 orang guru untuk mendidik siswa kelas 1 hingga siswa kelas 6.

Masalah yang timbul pada guru sekolah SD reguler tentu saja tidak sama dengan masalah yang timbul pada guru SDLB. Permasalahan yang timbul pada guru SDLB berupa beban kerja yang menuntut guru tidak hanya mampu mengajarkan sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang selaras dengan potensi dan karakteristik peserta didiknya, melainkan juga harus mampu bertindak seperti paramedis, terapis, social worker, konselor dan administrator. Menangani anak tunagrahita dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental karena anak


(23)

tunagrahita membutuhkan lebih banyak perhatian dan pelatihan dibandingkan anak normal. Sehubungan dengan keadaan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui seperti apakah gambaran perbedaan kecerdasan emosional antara guru SDLB-C dan guru SD sekolah reguler di kota Bandung.

1.2Identifikasi Masalah

Melalui penelitian ini ingin diketahui sejauh mana perbedaan kecerdasan emosional antara guru SDLB-C „X‟ dan guru SD sekolah reguler „Y‟ di Kota Bandung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Memeroleh data tentang kecerdasan emosional guru SDLB-C „X‟ dan guru SD sekolah reguler „Y‟ di Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui sejauh mana perbedaan kecerdasan emosional pada guru SDLB-C „X‟ dan guru SD sekolah reguler „Y‟ di Kota Bandung.


(24)

15

Universitas Kristen Maranatha 1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

 Memberikan informasi mengenai kecerdasan emosional guru SDLB-C „X‟ dan guru SD sekolah reguler „Y‟ di kota Bandung untuk ilmu Psikologi Pendidikan.

 Memeroleh pemahaman tentang pentingnya kecerdasan emosional pada guru SDLB-C „X‟.

 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai derajat kecerdasan emosional.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada Kepala Sekolah SDLB-C „X‟ di Kota Bandung dan Kepala Sekolah dari sekolah SD reguler „Y‟ di kota Bandung mengenai kecerdasan emosional guru-guru yang mengajar ketika memberikan pengajaran. Informasi yang diberikan dapat digunakan untuk meningkatkan derajat kecerdasan emosional guru yang rendah dalam rangka mencapai proses pembelajaran yang optimal dengan cara memberikan konseling.

 Memberikan informasi mengenai pentingnya kecerdasan emosional kepada guru-guru SDLB-C „X‟ dan guru-guru SD sekolah reguler „Y‟ proses belajar-mengajar agar optimal dalam belajar-mengajar.


(25)

1.5 Kerangka Pikir

Pendidikan merupakan hal yang penting bagi proses tumbuh kembang anak dan memengaruhi anak dalam berinteraksi dengan orang lain. Terdapat dua macam pendidikan yang ada di Indonesia yaitu pendidikan umum dan pendidikan khusus. Pendidikan umum adalah pendidikan yang diperuntukan bagi semua murid yang mengutamakan perluasan pengetahuan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.

Pendidikan khusus adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi murid yang memiliki tingkat kesulitan atau keterbatasan fisik, kognisi, emosi, dan sosial dalam mengikuti proses pembelajaran. Pendidikan khusus atau luar biasa merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, salah satunya adalah SLB-C yang diperuntukan bagi anak tunagrahita. Tunagrahita adalah keterbelakangan mental dengan fungsi intelektual di bawah rata-rata disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku yang terjadi pada masa perkembangan (Kauffman dan Hallan dalam Somantri, 2007).

Guru-guru SDLB-C mempunyai peran penting dalam memengaruhi tingkat keberhasilan anak tunagrahita dalam menjalani perkembangannya dan bertanggungjawab secara khusus terhadap perkembangan muridnya. Anak tuna grahita memiliki IQ di bawah rata-rata anak normal; keterbatasan sosial, kesulitan dalam mengurus diri sendiri; dan keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya, membutuhkan waktu yang lama untuk bereaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Selain itu anak tuna grahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa, kemampuan bahasa mereka kurang berfungsi dengan baik sehingga mereka


(26)

17

Universitas Kristen Maranatha membutuhkan kata-kata konkret dan sering diulang (Somantri, 2007). Dibutuhkan

kesabaran, komitmen, dan empati dalam memberikan pengajaran kepada siswa tunagrahita.

Mengingat tugas-tugas yang dihadapi tidak ringan, guru SDLB berpeluang mengalami tekanan-tekanan yang berdampak pada munculnya masalah emosional. Tekanan yang dialami ini membutuhkan adanya kemampuan untuk meregulasi kehidupan perasaannya agar kinerja guru tidak terganggu. Oleh karena itu dibutuhkan kecerdasan emosional bagi para guru SDLB-C untuk menghadapi siswa-siswanya yang memiliki karakteristik yang berbeda.

Di sisi lain, guru sekolah reguler juga memunyai peran penting dalam memengaruhi tingkat keberhasilan siswa dalam mengembangkan potensi diri, ilmu, pengetahuan, spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Guru sekolah reguler memiliki tugas-tugas rutin, sebagaimana halnya guru SDLB-C, yang tidak jarang juga menyebabkan timbulnya masalah emosional. Dalam tataran tertentu, guru-guru sekolah regular juga membutuhkan kecerdasan emosional agar kinerjanya dapat berjalan optimal ditengah-tengah beban tugas yang tidak ringan.

Menurut Goleman (1999), kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi dengan cara mengendalikan dorongan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa. Terdapat lima


(27)

aspek utama kecerdasan emosional, yaitu Pertama, mengenali emosi diri, kesadaran diri untuk mengenali emosi dan penyebab munculnya perasaan ketika perasaan itu terjadi. Ketika mengajar jika guru SDLB dan guru sekolah reguler sedang merasa senang, guru tersebut mengetahui bahwa ia sedang merasa senang dan mengetahui penyebab dari rasa senangnya. Ketika mengajar guru yang bersangkutan merasa senang terhadap muridnya, ia mengetahui penyebab rasa senangya karena murid-muridnya dapat menguasai materi yang diajarkan. Kedua, mengelola emosi, kemampuan untuk menangani perasaan agar dapat terungkap di waktu yang tepat. Dalam kegiatan mengajar jika guru sedang merasa kesal guru tersebut dapat mengatasi rasa kesalnya dan tidak dilampiaskan kepada muridnya. Rasa kesal yang dirasakan oleh guru kepada salah satu muridnya ketika mengajar tidak dilampiaskan kepada murid yang lain. Ketiga, memotivasi diri sendiri, kemampuan untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugas yang dikerjakan dan bertanggung jawab. Ketika guru SDLB dan guru SD sekolah reguler mengetahui ada siswa yang tidak menunjukan kemajuan, guru tidak merasa kecil hati, malah guru termotivasi untuk melakukan pengajaran yang optimal karena ia merasa bahwa memberikan pengajaran yang optimal merupakan tanggung jawabnya.

Keempat, mengenali emosi orang lain, memahami perasaan dan masalah orang

lain, dan berpikir dengan sudut pandang mereka; menghargai perbedaan perasaan mengenai berbagai hal. Guru mengetahui ketika muridnya sedang marah dan guru dapat menghadapi serta menenangkan anak tunagrahita yang sedang marah tersebut. Kelima, membina hubungan dengan orang lain, yaitu kemampuan membina hubungan dengan orang lain berarti guru mampu mengendalikan dan


(28)

19

Universitas Kristen Maranatha mengolah emosinya dengan baik dalam berinteraksi dengan murid, mampu

bersikap cermat dalam membaca situasi sosial di sekitarnya, mampu berinteraksi dengan baik dan lancar dengan setiap kalangan, serta mampu bertindak bijaksana dalam hubungannya dengan murid dan rekan kerja. Jika guru SDLB dan guru SD sekolah reguler merasa kesal, guru tetap dapat menjalin komunikasi yang baik dengan murid, rekan kerja, dan orangtua murid.

Seorang guru SDLB-C dan guru SD sekolah reguler dengan kecerdasan emosional yang tinggi, mampu dan terampil dalam mengendalikan dirinya, memiliki semangat dan ketekunan yang tinggi, mampu memotivasi dirinya sendiri dalam mengerjakan sesuatu, dan mampu berinteraksi baik dengan orang lain, mampu memahami dan mengelola emosi orang lain, sehingga akan disenangi dalam pergaulan dan berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Dalam bekerja kecerdasan emosional yang tinggi dapat sangat membantu para guru untuk mengelola berbagai tuntutan tugas dan tekanan yang dihadapi.

Guru SDLB-C dan guru SD sekolah reguler dengan kecerdasan emosional yang rendah, tidak mampu untuk mengenali emosi diri, kesulitan dalam mengelola emosi, tidak ada motivasi dalam diri, tidak mampu mengenali emosi orang lain, dan menarik diri dari orang lain. Dalam bekerja guru SDLB dan guru SD sekolah reguler akan menampilkan perilaku mudah lelah, mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan siswanya, dan selalu merasa cemas.


(29)

Kerangka pikir secara sistematis dapat dilihat pada skema di bawah ini:

Gambar 1.1 Skema Rancangan Pemikiran

1.6 Asumsi

1) Tugas yang berkaitan dengan tuntutan kinerja guru SDLB-C dan guru SD sekolah reguler dan karakteristik siswa-siswa yang dihadapi dapat menimbulkan keadaan tertekan.

Guru Sekolah Dasar Luar Biasa

C di kota Bandung

KECERDASAN EMOSIONAL

Guru Sekolah Dasar Reguler di

kota Bandung Diuji beda bedakan Hasil Hasil KECERDASAN EMOSIONAL

Aspek-aspek kecerdasan emosional:  Mengenali emosi diri

 Mengelola emosi  Memotivasi diri

 Mengenali emosi orang lain  Membina hubungan

Aspek-aspek kecerdasan emosional:  Mengenali emosi diri

 Mengelola emosi  Memotivasi diri

 Mengenali emosi orang lain  Membina hubungan


(30)

21

Universitas Kristen Maranatha 2) Kemampuan para guru dalam mengelola perasaannya ditentukan oleh seberapa

baik kecerdasan emosionalnya.

3) Guru SDLB-C dengan kecerdasan emosional tinggi mampu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan siswa, didalam menjalankan proses pembelajaran.

4) Terdapat perbedaan karakteristik siswa yang dihadapi oleh guru SDLB-C dan guru SD sekolah reguler.

1.7Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini yaitu:

Terdapat perbedaan kecerdasan emosional pada guru SDLB-C „X‟ dan


(31)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik suatu gambaran umum mengenai perbedaan kecerdasan emosional pada guru SDLB-C ‘X’ dan guru SD

sekolah reguler ‘Y’ di Kota Bandung, dengan simpulan sebagai berikut:

1) Terdapat perbedaan kecerdasan emosional pada guru SDLB-C ‘X’ dan

guru SD sekolah reguler ‘Y’ di Kota Bandung, yaitu pada rata-ratanya

Guru SDLB-C ‘X’ memiliki kecerdasan emosional lebih tinggi dibandingkan guru SD sekolah reguler ‘Y’. Ini berarti terdapat hubungan antara tempat mengajar dan kecerdasan emosional guru.

2) Terdapat perbedaan aspek-aspek kecerdasan emosional pada guru

SDLB-C ‘X’ dan guru SD sekolah reguler ‘Y’ di Kota Bandung, yaitu pada

rata-ratanya seluruh aspek kecedasan emosional guru SDLB-C lebih tinggi dibandingkan guru SD regular. Temuan ini dapat ditafsirkan ada hubungana antara tempat guru mengajar dan kecerdasan emosionalnya. 3) Pengolahan atas data sosiodemografis dalam hubungannya dengan

kecerdasan emosional menunjukkan jenis kelamin, usia, jenjang pendidikan, dan masa bekerja tidak ada kaitannya dengan kecerdasan emosional guru di kedua kelompok yang diteliti.


(32)

74

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

5.2.1 Saran Untuk Penelitian Lanjutan

Penelitian tentang perbedaan kecerdasan emosional antara guru yang mengajar di SLB dengan guru yang mengajar di sekolah reguler ini memang menunjukkan adanya perbedaan signifikan. Apabila penelitian ini hendak ditindaklanjuti, sebaiknya menambahkannya dengan observasi partisipatif peneliti ke lokasi penelitian guna memeroleh gambaran yang lebih komprehensif.

5.2.2 Saran Guna Laksana

1) Bagi Guru SDLB-C Bandung agar dapat memertahankan dan meningkatkan kecerdasan emosional agar semakin optimal mengajar murid tunagrahita. 2) Bagi guru SD sekolah reguler ‘Y’ Bandung agar dapat meningkatkan

kecerdasan emosional sehingga dapat optimal dalam mengajar dan berinteraksi dengan murid.

3) Bagi Kepala Sekolah SDLB-C ‘X’ dan Kepala Sekolah SD reguler ‘Y’ agar dapat menggunakan informasi yang diperoleh melalui penelitian ini untuk dapat membantu guru-guru dalam meningkatkan kecerdasan emosional.


(33)

Suatu Penelitian Menggunakan Metode Riset Diferensial

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh:

HANA ERLIZA NARFIA

NRP: 0730076

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA


(34)

(35)

(36)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini. Penelitian ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir sebagai mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Marantha dengan Judul Penelitian Dengan Metode Differensial Mengenai Kecerdasan Emosional Pada Guru SDLB-C ‘X’ dan Guru SD Sekolah Reguler ‘Y’ di Kota Bandung.

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna karena mengingat keterbasan dan kemampuan peneliti. Oleh karena itu, peneliti bersedia menerima kritik dan saran yang dapat membantu untuk menyempurnakannya. Kendati demikian, peneliti berharap penelitian ini masih dapat memberikan manfaat bagi Fakultas Psikologi, khusunya psikologi pendidikan dan bagi masyarakat pada umumnya.

Dalam melakukan penyusunan penelitian ini, peneliti banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Irene P Edwina, M. Si., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.


(37)

3. Cindy Maria, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing pendamping yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan perhatiannya untuk memberikan penjelasan, bimbingan, dan pengarahan kepada peneliti. 4. Pihak SDLB-C ‘X’ Bandung, kepala sekolah yang telah memberikan izin

dan informasi yang dibutuhkan untuk melengkapi data dan guru-guru yang telah bersedia membantu dan bekerja sama dengan peneliti dalam proses pengambilan data, terimakasih atas waktunya.

5. Pihak Sekolah SD ‘Y’ Bandung, yang telah memberikan waktu dan izin

untuk penulis, dan terutama untuk para guru yang telah bersedia membantu dan bekerja sama dengan peneliti dalam proses pengambilan data.

6. Perpustakaan Universitas Kristen Marantha yang telah menyediakan buku referensi yang dibutuhkan peneliti.

7. Perpustakaan UPI yang telah menyediakan buku referensi yang dibutuhkan peneliti.

8. Kepada Alm. Papa. Terimakasih Papa, karena Papa, peneliti tetap semangat untuk menyelesaikan skripsi walau terlambat. Maaf karena belum bisa lulus tepat waktu selama Papa masih ada.


(38)

9. Kepada Mama, walau kondisi Mama tidak cukup baik tapi selalu memberikan motivasi ketika penulis merasa down untu tetap semangat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

10.Rizaldi yang telah begitu sabar mengantar, menemani, dan selalu memberikan support kepada peneliti.

11.Nono, terimakasih untuk selalu mengingatkan akan deadline.

Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bandung, Agustus 2016


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Iif Khoiru, hendro Ari, dan Sofan Amri. 2011. Pembelajaran Akselerasi:

Analisis Teori dan Praktik Serta Pengaruhnya Terhadap Mekanisme Pembelajaran Dalam Kelas Akselerasi. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya.

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders 5th Edition. Arlington : VA, American Psychiatric

Association.

Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Guru Sekolah Dasar Luar Biasa / SLB

Tingkat Dasar. Jakarta: Dirjendikdasmen Diktendik.

Depdiknas. 2009. Pemetaan Kemampuan Sekolah. Puspendik.

Goleman, Daniel. 1999. Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Graziano. Anthony M. 2009. Research Methods : A Process of Inquiry 7th

Edition. Boston : Pearson.

Kaga, dalam Goleman, Daniel. 2007. Emotional Intelligence: Kecerdasan

Emosional Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Kaplan, Robert M and Dennise P Sacuzzo. 1992. Psychological Testing

Principles Application and Issues. California: Broks/Cole Publishing

Company.

Kauffman dan Hallan, dalam Soemantri, Sutjihati. 2007. Psikologi Anak Luar

Biasa. Jakarta: Refika Aditama.

Kemdikbud, PDSPK. 2016. Statistik Persekolahan SLB 2015/2016 Pusat Data

dan Statistik Pendidikan.Jakarta: Setjen Kemdikbud.

Mangunsong, Frida. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta : LPSP3 UI.

Mulyasa, Dr. E., M.Pd. 2011. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Musfah, Dr. Jejen, M.A. 2011. Peningkatan Kompetensi Guru : Melalui Pelatihan

dan Sumber Belajar Teori dan Praktik. Jakarta : Kencana.

Somantri, Sutjihati. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Refika Aditama. Surya, Prof. Dr. H. Mohamad. 2014. Psikologi Guru Konsep dan Aplikasi.


(40)

76 Universitas Kristen Maranatha Daftar Rujukan

Anak Berkebutuhan Khusus. (online).

(id.wikipedia.org/wiki/Anak-Berkebutuhan-Khusus, diakses 23 Juli 2013).

Fakultas Psikologi. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Ineupuspita. 2008. Kinerja Guru SLB. (online).

(http://inepuspita.wordpress.com/2008/07/15/kinerja-guru-slb, diakses 23 Juli 2013).

Mikarasa, H.L. 2002. Pendidikan Anak di SD: Buku Materi Pokok P6SD

4302/4/SKS/Modul 1-12. Jakarta : Pusat Penerbit Universitas Terbuka.

Putri, Melisa Mulya. 2007. Suatu Penelitian Mengenai Hubungan Emotional

Intelligence Dengan Copping Stress (Bentuk-Bentuk Copping Stress) Pada

Siswa Kelas Akselerasi Tahun Pertama SMAN ‘X’ Bekasi. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.


(1)

(2)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini. Penelitian ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir sebagai mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Marantha dengan Judul Penelitian Dengan Metode Differensial Mengenai Kecerdasan Emosional Pada Guru SDLB-C ‘X’ dan Guru SD Sekolah Reguler ‘Y’ di Kota Bandung.

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna karena mengingat keterbasan dan kemampuan peneliti. Oleh karena itu, peneliti bersedia menerima kritik dan saran yang dapat membantu untuk menyempurnakannya. Kendati demikian, peneliti berharap penelitian ini masih dapat memberikan manfaat bagi Fakultas Psikologi, khusunya psikologi pendidikan dan bagi masyarakat pada umumnya.

Dalam melakukan penyusunan penelitian ini, peneliti banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Irene P Edwina, M. Si., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.


(3)

2. Dr. Ria Wardani, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan perhatiannya untuk memberikan penjelasan, bimbingan, dan pengarahan kepada peneliti.

3. Cindy Maria, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing pendamping yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan perhatiannya untuk memberikan penjelasan, bimbingan, dan pengarahan kepada peneliti. 4. Pihak SDLB-C ‘X’ Bandung, kepala sekolah yang telah memberikan izin

dan informasi yang dibutuhkan untuk melengkapi data dan guru-guru yang telah bersedia membantu dan bekerja sama dengan peneliti dalam proses pengambilan data, terimakasih atas waktunya.

5. Pihak Sekolah SD ‘Y’ Bandung, yang telah memberikan waktu dan izin untuk penulis, dan terutama untuk para guru yang telah bersedia membantu dan bekerja sama dengan peneliti dalam proses pengambilan data.

6. Perpustakaan Universitas Kristen Marantha yang telah menyediakan buku referensi yang dibutuhkan peneliti.

7. Perpustakaan UPI yang telah menyediakan buku referensi yang dibutuhkan peneliti.

8. Kepada Alm. Papa. Terimakasih Papa, karena Papa, peneliti tetap semangat untuk menyelesaikan skripsi walau terlambat. Maaf karena belum bisa lulus tepat waktu selama Papa masih ada.


(4)

9. Kepada Mama, walau kondisi Mama tidak cukup baik tapi selalu memberikan motivasi ketika penulis merasa down untu tetap semangat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

10.Rizaldi yang telah begitu sabar mengantar, menemani, dan selalu memberikan support kepada peneliti.

11.Nono, terimakasih untuk selalu mengingatkan akan deadline.

Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bandung, Agustus 2016


(5)

75 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Iif Khoiru, hendro Ari, dan Sofan Amri. 2011. Pembelajaran Akselerasi: Analisis Teori dan Praktik Serta Pengaruhnya Terhadap Mekanisme Pembelajaran Dalam Kelas Akselerasi. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya. American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders 5th Edition. Arlington : VA, American Psychiatric Association.

Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Guru Sekolah Dasar Luar Biasa / SLB Tingkat Dasar. Jakarta: Dirjendikdasmen Diktendik.

Depdiknas. 2009. Pemetaan Kemampuan Sekolah. Puspendik.

Goleman, Daniel. 1999. Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Graziano. Anthony M. 2009. Research Methods : A Process of Inquiry 7th

Edition. Boston : Pearson.

Kaga, dalam Goleman, Daniel. 2007. Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kaplan, Robert M and Dennise P Sacuzzo. 1992. Psychological Testing Principles Application and Issues. California: Broks/Cole Publishing Company.

Kauffman dan Hallan, dalam Soemantri, Sutjihati. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Refika Aditama.

Kemdikbud, PDSPK. 2016. Statistik Persekolahan SLB 2015/2016 Pusat Data dan Statistik Pendidikan.Jakarta: Setjen Kemdikbud.

Mangunsong, Frida. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta : LPSP3 UI.

Mulyasa, Dr. E., M.Pd. 2011. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Musfah, Dr. Jejen, M.A. 2011. Peningkatan Kompetensi Guru : Melalui Pelatihan dan Sumber Belajar Teori dan Praktik. Jakarta : Kencana.

Somantri, Sutjihati. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Refika Aditama. Surya, Prof. Dr. H. Mohamad. 2014. Psikologi Guru Konsep dan Aplikasi.


(6)

76 Universitas Kristen Maranatha Daftar Rujukan

Anak Berkebutuhan Khusus. (online). (id.wikipedia.org/wiki/Anak-Berkebutuhan-Khusus, diakses 23 Juli 2013).

Fakultas Psikologi. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Ineupuspita. 2008. Kinerja Guru SLB. (online). (http://inepuspita.wordpress.com/2008/07/15/kinerja-guru-slb, diakses 23 Juli 2013).

Mikarasa, H.L. 2002. Pendidikan Anak di SD: Buku Materi Pokok P6SD 4302/4/SKS/Modul 1-12. Jakarta : Pusat Penerbit Universitas Terbuka. Putri, Melisa Mulya. 2007. Suatu Penelitian Mengenai Hubungan Emotional

Intelligence Dengan Copping Stress (Bentuk-Bentuk Copping Stress) Pada Siswa Kelas Akselerasi Tahun Pertama SMAN ‘X’ Bekasi. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.