THE INTERACTIVE-COMPENSATORY MODEL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MEMBACA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA : Studi Pengembangan pada SMP di Kota Palembang.

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini masyarakat dunia menghadapi kemajuan teknologi yang tidak dapat dibendung. Hal ini memberikan pengaruh yang tidak sedikit kepada semua bangsa di dunia. Masing-masing negara berusaha untuk dapat mengimbangi arus globalisasi tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di negara kita juga mengalami perkembangan dan perubahan tersebut secara terus menerus sebagai akumulasi respon terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi selama ini yang diakibatkan pengaruh perubahan global. Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya manusia itu sendiri tergantung pada kualitas pendidikannya. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis. Pembaharuan pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan suatu bangsa.

Kemajuan bangsa Indonesia dan peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri hanya dapat dicapai melalui penataan pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan itu diharapkan dapat menaikkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Untuk mencapai itu, pembaharuan pendidikan di Indonesia perlu terus dilakukan untuk menciptakan dunia pendidikan yang adaptif terhadap perubahan zaman.


(2)

2 Di era globalisasi ini pendidikan mempunyai peranan yang penting. Pendidikan merupakan kegiatan yang bertujuan agar peserta didik dapat mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Kegiatan pendidikan berintikan interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber-sumber pendidikan lain, dan berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan. Kegiatan pendidikan berfungsi membantu mengembangkan potensi, kecakapan dan karakteristik peserta didik agar berkembang sesuai dengan harapan masyarakat (Sukmadinata, 2007: 442). Selain itu pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dan melalui pendidikan akan tercipta sumber daya manusia yang berkualitas dan berkemampuan disegala bidang karena pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan.

Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan diarahkan dan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan pembangunan sektor ekonomi, yang satu sama lainnya saling berkaitan dan berlangsung berbarengan. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dan melalui pendidikan akan tercipta SDM yang berkualitas dan berkemampuan disegala bidang.

Dalam perkembangannya, teknologi akan terjadi terus menerus dan bisa terjadi dalam percepatan yang tinggi diberbagai negara dan akan mempengaruhi perkembangan ekonomi melalui indrustri dan jasa. Oleh karena itu, menurut Rosyada (2007:5) pendidikan harus mampu menjembatani antara sektor kerja dan kemajuan ilmu dan teknologi dengan cara memperbaharui keterampilan. Pendidikan dapat sejalan dengan tuntutan dan perkembangan teknologi dan


(3)

3 ekonomi dunia, diperlukan sebuah pedoman atau acuan bagi para pelaksana pendidikan agar proses pendidikan lebih terarah. Kurikulum sebagai rencana merupakan dimensi kurikulum yang akan mengakomodasi keterlaksanaan sebuah rencana pendidikan yang akan mampu membuat arah pendidikan menjadi lebih terarah untuk mencapai tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Dengan kurikulum yang terencana maka peserta didik dapat melakukan berbagai kegiatan pembelajaran sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran (Hamalik, 2001:17). Kurikulum berperan pula dalam mengatur strategi dan penyempurnaan sistem pendidikan, karena kurikulum memiliki keterkaitan secara konseptual dengan pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sukmadinata (2002:7) yang mengungkapkan bahwa kurikulum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori pendidikan dan kurikulum dapat dipandang sebagai rencana konkrit penerapan dari suatu teori pendidikan. Pikiran-pikiran tentang pendidikan tersebut terangkum dalam kurikulum

Terkait dengan hal tersebut, maka pemerintah telah melakukan langkah-langkah strategis agar proses pendidikan dapat terlaksana yaitu dengan membuat Undang-Undang SISDIKNAS dan dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, tentang Standarisasi Nasional Pendidikan yang merupakan Kriteria minimal tentang sistem pendidikan di Indonesia. Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional


(4)

4 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Standar Nasional Pendidikan meliputi beberapa standar yang terdiri dari standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Begitu pula dengan berbagai Peraturan menteri sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah, yang secara umum memberikan aturan-aturan standar minimal yang harus dipenuhi bagi setiap penyelenggara dan pengelola sekolah agar outcome pendidikan Indonesia mempunyai kualitas yang baik dengan daya saing yang kuat ketika dihadapan kepada para kompetitornya. Berdasarkan pernyataaan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi pembangunan negara khususnya dalam peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas.

Proses pendidikan tidak terlepas dari sebuah proses pembelajaran. Tugas seorang guru tidak hanya sekedar sebagai seseorang yang akan menambahkan informasi dan memberikan kemampuan baru kepada peserta didiknya tetapi seorang guru harus mampu menentukan jenis informasi dan kemampuan apa yang harus dikuasai oleh peserta didik sehingga akan dapat membantu mereka memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kelak. Dalam kondisi ini guru harus mampu untuk menentukan strategi pembelajaran apa yang harus dilakukan agar semua proses tersebut dapat tercapai secara efektif dan efisien. Dick dan Carey (1990) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran terdiri atas seluruh komponen materi pembelajaran dan prosedur atau tahapan kegiatan


(5)

5 pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam rangka membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Menurut mereka strategi pembelajaran bukan hanya terbatas prosedur atau tahapan kegiatan belajar saja, melainkan termasuk juga pengaturan materi atau paket program pembelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. Dengan kata lain, strategi pembelajaran adalah cara-cara yang akan digunakan oleh guru untuk memilih kegiatan pembelajaran yang akan digunakan selama proses pembelajaran. Pemilihan tersebut dilakukan dengan mempertimbangakan situasi dan kondisi, sumber belajar, kebutuhan dan karakteristik peserta didik yang dihadapi dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran tertentu.

Kemampuan untuk berkomunikasi dalam bahasa Asing merupakan salah satu kompetensi atau keterampilan hidup (life skill) yang harus dikuasai dalam menghadapi era globalisasi ini. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan perlunya program pendidikan yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas dan status kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu indikator kualitas dan meningkatnya status ini ialah kemampuan bangsa dalam berinteraksi dengan bangsa lain. Tentu saja hal ini menuntut kemahiran berkomunikasi dalam bahasa asing. Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan pesat dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi telah menjadikan penguasaan bahasa Inggris sebagai syarat mutlak mengembangkan diri sehingga mampu bersaing ditengah komunitas global

Bahasa adalah alat komunikasi terpenting dalam kehidupan manusia yang merupakan alat untuk menyampaikan pikiran dan perasaan baik secara lisan


(6)

6 ataupun secara tulis. Dalam interaksi lokal maupun global bahasa memegang peran yang sangat penting bahkan boleh dikatakan merupakan kunci utama karena bahasa diperlukan dalam berbagai percaturan dunia seperti dalam percaturan politik, ekonomi, sosial, budaya maupun keamanan negara (Lengkanawati, 2007 : 659). Mengingat pentingnya bahasa dan peranannya yang cukup besar dalam berbagai aspek maka pendidikan bahasa di negara manapun menjadi penting terutama pendidikan bahasa Inggris.

Pembelajaran bahasa Inggris di sekolah bertujuan agar siswa dapat mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, membuat keputusan yang bertanggung jawab pada tingkat pribadi dan sosial, menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya. Penyelanggaraan pendidikan dalam upaya peningkatan kualitas SDM diharapkan memiliki peran untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris bagi para siswa Indonesia dalam mempersiapkan dirinya menuju masyarakat global dengan kemampuan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi, dalam konteks lisan maupun tulis. Memiliki kemampuan berbahasa akan sangat membantu siswa dalam mengembangkan dirinya secara intelektual, sosial, dan emosional. Bahasa juga merupakan kunci penentu menuju keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi (Depdiknas : 2004). Dengan demikian, segala upaya harus dilakukan untuk menciptakan pembelajaran Bahasa Inggris yang menyenangkan sehingga mampu memotivasi siswa untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam belajar Bahasa Inggris.


(7)

7 Bahasa Inggris di Indonesia dipelajari dari jenjang Sekolah Dasar hingga tingkat Perguruan Tinggi, terutama di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran yang wajib diberikan sebagai alat bagi pengembangan diri siswa terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Namun satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah terlihatnya kecenderungan bahwa meskipun siswa sudah belajar bahasa Inggris bertahun-tahun di sekolah namun kemampuan untuk menggunakan bahasa Inggris di kalangan lulusan sekolah menengah secara umum masih tergolong sangat rendah. Hanya sedikit di antara mereka yang mampu menggunakan bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi lisan maupun tulis.

Kita dapat mengamati bahwa sejauh ini hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di Indonesia memperlihatkan adanya ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan sehari-hari (Direktorat SLTP, 2002). Menurut Sa’ud dan Sumantri (2000:1113) esensi dari pendidikan dasar dan menengah secara umum adalah pada jenjang pendidikan dasar merupakan paspor bagi setiap peserta didik untuk mengembangkan dirinya dimasa yang akan datang dan bekal dasar untuk dapat hidup layak dalam hidup bermasyarakat dimanapun di dunia ini. Pada jenjang pendidikan menengah adalah awal dari penguatan dan pengembangan potensi dominan peserta didik yang terpotret pada jenjang pendidikan dasar. Dengan demikian, program belajar dan pembelajaran pada jenjang pendidikan menengah harus memperhatikan pengembangan potensi dominan peserta didik, sehingga program belajar pada jenjang pendidikan


(8)

8 menengah dapat mendukung suksesnya kehidupan peserta didik. Hal ini tidak terkecuali dengan hasil pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia.

Selama ini mutu pembelajaran bahasa Inggris di sekolah masih dinilai belum dapat memenuhi kebutuhan siswa sebagai salah satu keterampilan yang akan bermanfaat bagi mereka kelak. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa kemungkinan salah satunya adalah kegiatan pembelajaran bahasa Inggris disekolah cenderung menekankan pada penguasaan struktur tata bahasa dan penghapalan kosa kata yang berlebihan padahal pada kenyataannya pembelajaran bahasa lebih dari sekedar penghapalan kosakata dan aturan tata bahasa akan tapi lebih menekankan pada kemampuan komunikatif. Padahal tujuan pendidikan berbahasa di sekolah menengah menurut PP 19 Tahun 2005 menyebutkan bahwa pendidikan bahasa harus mampu mengembangkan kompetensi bahasa dengan penekanan terhadap kemampuan membaca dan menulis berdasarkan tingkat literasi yang disusun berdasarkan jenjang pendidikan.

Prinsip pembelajaran bahasa Inggris di SMP berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) didasarkan pada prinsip pendidikan literasi (literacy education) yang mencakup orasi dan literasi dengan pengertian bahwa belajar bahasa berangkat dari bahasa lisan menuju ke bahasa tulis. Oleh karena itu, pengajaran bahasa Inggris lebih menekankan pada pentingnya penggunaan bahasa secara wajar dan otentik guna mengembangkan keterampilan hidup (life skills), yaitu mampu melayani kebutuhan siswa sebagai anggota masyarakat. PISA (Program for International Student Assessment) sebuah program melaksanakan sebuah studi yang berhubungan dengan literasi. Program tersebut


(9)

9 bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang kemampuan siswa usia 15 tahun (kelas III SMP dan kelas I SMA) dalam membaca (reading literacy), matematika (mathematic literacy) dan sains (scientific literacy). Makna literasi membaca dalam PISA didefinisikan sebagai tingkat kemampuan untuk menggunakan informasi tertulis sesuai dengan situasi yang dihadapi dalam kehidupan sehari. Keterampilan membaca mengarah pada pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam menetapkan kemampuan membacanya untuk belajar lebih lanjut, dan bukan hanya keterampilan teknis dalam tingkat belajar membaca. Kemampuan literasi membaca berkenaan dengan keterampilan memahami, menggunakan dan melakukan refleksi terhadap bacaan sesuai dengan tujuan membacanya, yaitu untuk menambah dan mengembangkan pengetahuan dan potensi diri, serta untuk berperan di masyarakat (OECD, 2003).

Berdasarkan studi PISA yang dilaksanakan oleh OECD (Organization of Economic Co-operation & Development) pada tahun 2003 terdapat 5 tingkatan tingkat literasi (T) membaca di mana pencapaian rata-rata ditentukan pada nilai 500 dengan simpangan baku 100 untuk 29 negara OECD yang berperan serta dalam survei. Pencapaian ini dilaporkan menurut tingkat penguasaan sesuai dengan tingkat kesulitan, yaitu tingkat literasi 5 (T5) dengan nilai 625 atau lebih, tingkat literasi 4 (T4) nilai 553-625, tingkat literasi 3 (T3) ,nilai 481-552, tingkat literasi 2 (T2) nilai 408-480, dan tingkat literasi 1 (T1) nilai 335-407. Perbandingan pencapaian literasi membaca siswa Indonesia dibandingkan dengan siswa Asia lainnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.


(10)

10 Tabel 1.1 Pencapaian Tingkat Literasi Membaca Siswa Indonesia (sumber: PISA

2003) Keterangan: T = Tingkat Literasi

T1 = Tingkat literasi nilai 335-407 T2 = Tingkat literasi nilai 408-480 T3 = Tingkat literasi nilai 481-552 T4 = Tingkat literasi nilai 553-625 T5 = Tingkat literasi nilai 625 atau lebih

Berdasarkan tabel di atas tingkat literasi membaca siswa Indonesia yang berada pada tingkat literasi T1 sebanyak 37.2 % siswa Indonesia memperoleh nilai dibawah 335 yaitu dibawah Tingkat literasi T1 yang berarti tidak dapat mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh PISA. Tetapi tentu tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki keterampilan membaca. Mereka hanya akan mampu mengerjakan setengah dari seluruh soal yang diberikan dalam menggunakan kemampuan membacanya yang terbatas sebagai alat belajar, untuk menambah dan memperluas pengetahuan dan keterampilan dalam bidang studi yang mereka minati sendiri. Dengan pencapaian keterampilan dibawah tingkat literasi T1 ini, mereka diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam persiapan mereka melanjutkan atau memasuki dunia kerja dan lebih jauh lagi mereka tidak akan mampu memanfaatkan kemampuan membacanya untuk meneruskan belajar sepanjang hayat. Sebanyak 27.3% siswa Indonesia berada pada tingkat literasi T2 yang bermakna bahwa siswa yang mencapai tingkat literasi ini umumnya mampu

T1 T2 T3 T4 T5 Skor

Indonesia 37.2% 27.3% 8.2% 1.2% 0.1% 382 Thailand 30.5% 34.3% 17.0% 4.1% 0.5% 420 Korea 5.4% 16.8% 33.5% 30.8% 12.2% 534

Jepang 11.6% 20.9% 27.2% 23.3% 9.7% 498


(11)

11 membaca untuk menemukan informasi yang dinyatakan secara langsung, membuat kesimpulan sederhana, mengartikan kata secara harfiah, dan menggunakan pengetahuan umum untuk memahami bacaan itu. Pada tingkat literasi T3, siswa Indonesia mencapai 8.2% yang bermakna bahwa siswa yang dapat mencapai tingkatan ini pada umumnya mampu membaca teks dengan tingkat kesulitan menengah, seperti menemukan informasi dalam berbagai jenis dan format teks menghubungkan informasi dalam beragam teks dengan konteks dan pengetahuan umum yang dikenal oleh siswa sehari-hari. Pada tingkat literasi T4 terdapat hanya 1.2 % siswa Indonesia yang berada pada level ini. Hal ini berarti bahwa pada tingkatan ini siswa mampu membaca ragam bacaan dengan kemampuan untuk mencari informasi yang dipertanyakan, memahami ambiguitas atau ketaksaan, dan dengan kritis melakukan penilaian terhadap suatu teks. Tingkat literasi T5 merupakan tingkatan literasi yang tertinggi sedangkan siswa Indonesia hanya mencapai 0.1% yang berarti bahwa hanya sedikit sekali siswa Indonesia yang mampu membaca dengan canggih, seperti menemukan informasi yang rumit dalam teks yang tidak dikenal sebelumnya, mempertunjukkan pemahaman yang terperinci, menarik kesimpulan dari informasi yang ada di dalam teks, dan mengevaluasi dengan kritis, membangun hipotesis, serta mengemukakan konsep yang mungkin bertentangan dengan harapannya sendiri. Siswa yang memiliki kemampuan seperti ini diharapkan akan memberikan kontribusi pada negara dengan menjadi pemikir atau pekerja yang dapat disejajarkan dengan pekerja tingkat dunia di masa yang akan datang.


(12)

12 Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh OECD dapat ditarik simpulan bahwa kemampuan literasi siswa Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya tingkat literasi itu dapat dipahami karena beberapa aspek yang diujikan pada studi internasional itu tidak menjadi kompetensi siswa kita karena siswa kita tidak diberi ruang dalam memproses masukan-masukan selama proses pembelajaran dalam sistem pendidikan kita. Hal ini dapat dilihat dari penerapan ujian nasional yang lebih banyak menguji kompetensi konten dibandingkan kompetensi proses. Hal ini didukung oleh pendapat Kirsch dkk (1993:2) yang berpendapat bahwa literasi pada dasarnya adalah kemampuan “…using printed and written information to function in society, to achieve one’s goals, and to develop one’s knowlwdge and potential.” Definisi ini merupakan pengembangan dari definisi The National Literacy Act di Amerika Serikat tahun 1991 yang mendefinisikan literasi sebagai “…an individual’s ability to read, write, and speak (in English) and compute and solve problem at level of proficiency necessary to function on the job and in society, to achieve one’s goal, and to develop one’s knowledge and potential”. Masih menurut OECD (2008) yang menegaskan bahwa standar literasi individu berhubungan dengan kualitas hidup seseorang, pekerjaan dan penghasilan seseorang. Sekolah-sekolah mempunyai tugas untuk menjamin standar literasi tersebut dan oleh sebab itu perlu sebuah metode dan materi pembelajaran yang sesuai untuk dipergunakan dalam proses pembelajaran.

Dalam konteks sekarang literasi memiliki arti yang sangat luas selain mencakup kemampuan membaca dan menulis, literasi juga mencakup kemampuan berbicara dan mendengar dan berpikir tentang pengetahuan yang


(13)

13 kontekstual dengan kehidupan sehari-hari. Alwasilah (2006) mengatakan bahwa ada beberapa prinsip pendidikan literasi yang mendasari pendidikan bahasa Inggris di sekolah menengah saat ini, yaitu: (1) prinsip lisan ke tulisan yang berarti keterampilan berkomunikasi lisan merupakan prasyarat untuk membangun keterampilan komunikasi tulis, (2) Pemaknaan atau interpretasi. Berkomunikasi baik lisan maupun tulis pada hakikatnya menangkap makna, yakni makna interpersonal, ideasional, dan tekstual. Pemaknaan ini yang akan mencerdaskan, karena membaca itu merangsang syaraf otak untuk terus berpikir, (3) Penggunaan bahasa. Literasi bukan sekadar menangkap makna tapi juga memberikan makna untuk ditangkap orang lain. Sejalan dengan laju teknologi, kini informasi melimpah ruah dengan jenis dan bentuk teks yang sangat beragam. Ini semua memerlukan strategi untuk menangkap maknanya dan untuk meresponsnya melalui teks yang beragam pula, (4) Kolaborasi. Berkomunikasi adalah sebuah kerja sama membangun makna atau kesepahaman melalui interaksi personal, interpersonal, tekstual, dan transaksional, (5) Konvensi. Berbahasa itu adalah berperilaku verbal dengan mengikuti aturan yang disepakati bersama, ejaan, tanda baca, pola kata, pola kalimat, pola alinea, dan pola wacana, (6) Pengetahuan budaya. Belajar bahasa asing adalah juga belajar budaya asing yang melekat pada bahasa itu. Aspek budaya harus diajarkan secara eksplisit di kelas, (7) Pemecahan masalah. Dalam keseharian, komunikasi dilakukan untuk memecahkan masalah. Kelas bahasa harus menyajikan pengalaman belajar dengan berbagai masalah untuk dipecahkan secara kolaboratif, (8) Refleksi. Dengan refleksi dimaksudkan


(14)

14 kesadaran pembelajar bahasa terhadap perilaku berbahasa pada dirinya dan pada orang lain.

Tujuan pembelajaran bahasa Inggris di SMP yang berbasis literasi ini bertujuan agar siswa memiliki kompetensi wacana. Kemampuan berwacana, yaitu kemampuan seseorang dalam pemahaman dan penciptaan wacana. Wacana secara sederhana diartikan sebagai teks, baik tulis maupun lisan, dalam konteks bermakna yang dipengaruhi situasi dan budaya. Oleh karena itu, pendekatan, metode, serta teknik-teknik pengajarannya diserahkan kepada guru sesuai dengan kapasitas dan sumber-sumber yang ada dengan syarat kompetensi yang telah ditetapkan dapat dicapai. Dalam hal ini guru bisa menggunakan model pembelajaran apapun yang telah dipelajari dan dimiliki guru selama dalam hal ini diperlukan kejelian guru untuk memilih model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Keterampilan berbahasa (language skills) dalam kurikulum di sekolah mencakup empat segi, yaitu sebagai berikut: (1) keterampilan menyimak/ mendengarkan (listening skills), (2) keterampilan berbicara (speaking skills), (3) keterampilan membaca (reading skills) dan (4) keterampilan menulis (writing skill). Setiap keterampilan tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat terhadap tiga keterampilan lainnya. Setiap keterampilan erat sekali berhubungan dengan proses-proses berpikir yang mendasari bahasa.

Keterampilan membaca merupakan salah satu keterampilan literasi yang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat. Masyarakat yang literat akan sanggup menyerap dan menganalisis kemudian


(15)

15 mensintesis dan mengevaluasi terhadap informasi yang tercetak sebelum mengambil keputusan menurut kemampuan nalar dan intuisinya. Terbentuknya masyarakat yang literat akan mampu menghadapi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain, kemampuan membaca tidak hanya akan membuat orang tersebut menjadi pintar dan produktif tapi juga dengan membaca seseorang akan mampu bersikap secara baik efektif dan efisien.

Belajar bahasa atau mata pelajaran apapun tidak terlepas dari kegiatan membaca. Membaca merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi kehidupan akademik, personal dan sosial seseorang. Pernyataan tersebut di perkuat oleh Bernhart dikutip dari Ediger (1991:154) yang memandang membaca sebagai sebuah proses interaksi dan sosiokognitif yang melibatkan teks, pembaca dan konteks sosial di mana kegiatan membaca itu terjadi. Mengingat pentingnya kegiatan membaca bagi kehidupan manusia, maka tidak mengherankan jika banyak pihak yang peduli terhadap upaya peningkatan kemampuan membaca ini. Kegiatan membaca merupakan sine quo non dalam semua proses pendidikan. Pendapat tersebut didukung oleh Wilson dan Trainin (2007) yang dikutip dari Westwood (2008:257) yang menyatakan bahwa “The cornerstone of academic achievement and the foundation for success across the curriculum is learning to read and write proficiently”.

Berdasarkan hasil studi The Internasional Association for the Evaluastion of Education Achievement (IEA, 1992) yang dilaporkan oleh World Bank (1992) menunjukkan bahwa siswa SD kita dalam hal kemampuan membaca berada pada urutan ke-26 dari 27 negara yang diteliti, termasuk di dalammnya negara maju,


(16)

16 seperti Amerika, Kanada, Jerman dan Negara-negara berkembang, seperti Trinidad dan Venezuela. Kondisi demikian mencerminkan bahwa standar membaca di sekolah-sekolah Indonesia masih rendah. Sebagian besar siswa yang diteliti memperoleh skor tes membaca pemahaman (bacaan naratif, ekspositorik dan dokumen) berada pada kategori rendah, dengan menjawab secara benar antara 35% sampai 40 %. Para siswa Indonesia yang memperoleh skor tertinggi secara signifikan masih berada jauh di bawah para siswa yang berskor tertinggi di semua negara lain. Sementara itu, siswa Indonesia yang bernilai terendah merupakan salah satu diantara tiga sampel negara yang berskor rendah.

Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan membaca dianggap pula sebagai kemampuan yang paling vital dalam pemerolehan bahasa asing dalam hal ini bahasa Inggris. Sedangkan keterampilan lainnya seperti menulis, mendengar dan berbicara diintegrasikan kedalam pembelajaran membaca (Murcia, 2001:153). Kemampuan siswa dalam pemahaman membaca (reading comprehension) dapat dijadikan sebagai salah satu elemen penting untuk menilai kompetensi kebahasaan siswa.

Dalam proses pembelajaran pemahaman membaca bahasa Inggris di kelas selama ini, siswa cenderung mempunyai orientasi untuk mendapatkan nilai semata. Para guru tidak mengembangkan keterampilan membaca, karena menurut persepsi mereka pemahaman membaca akan berkembang sendiri secara natural selama para siswa mengetahui makna/arti kosakata (words) yang ada di dalam teks. Penguasaan kosakata masih dianggap penting dalam memahami sebuah teks seperti Penelitian yang dilakukan Alessi dan Dwyer (2008) yang


(17)

17 melaksanakan penelitian tentang peningkatan kinerja membaca setelah siswa menerima penjelasan tentang kosakata selama kegiatan inti membaca (during reading) bukan pada kegiatan awal membaca (before reading).

Penguasaan kosakata memang bisa menjadi salah satu modal yang cukup untuk memahami sebuah teks dan siswa yang lemah penguasaan kosakatanya akan menghadapi permasalah yang serius terhadap pemahaman membaca. Tetapi penguasaan kosakata saja tidak dapat mampu membantu siswa untuk memahami sebuah teks selain siswa harus diajarkan tentang bagaimana menguasai kosakata siswa juga harus diajarkan keterampilan dan strategi dalam memahami sebuah teks (Rapp dkk, 2007).

Penelitian tentang pemahaman membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris menunjukkan bahwa pemahaman membaca merupakan keterampilan yang dapat ditingkatkan melalui berbagai metode yang telah dikembangkan oleh berbagai ahli. Stenson (2008) telah melakukan penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa melalui public knowledgement of improvement (perbaikan pengetahuan publik), scaffolded instructions through the use of differentiated teacher created matrices (pembelajaran scaffolded melalui penggunaan matriks yang di ciptakan oleh guru), dan graphic organizers to solidify the relationship between events in reading passage (Organisasi grafik untuk memadukan hubungan antar kejadian dalam bacaan). Palumbo dan Loiacono (2009) melakukan penelitian terhadap guru pendidikan khusus yang mengajar pada tingkat intermediate yang menghadapi banyak tantangan ketika mereka mengajarkan pengembangan keterampilan membaca dan bahan ajar.


(18)

18 Dalam mengajar guru tidak hanya berhubungan dengan peningkatan kosakata dan wilayah pengajaran teks, namun para guru juga harus mengisi kebutuhan siswa yang tidak memiliki kemampuan membaca.

Selain itu untuk mengembangkan pemahaman membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris, guru melaksanakan proses pembelajaran pemahaman membaca secara konvensional. Guru hanya membaca teks dan menjawab pertanyaan berdasarkan teks dengan tidak memperhatikan bagaimana mengembangkan kemampuan membaca pemahaman bagi siswa. Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat yang diungkapakan oleh Winograd dan Greenlee (1986) mengatakan bahwa:

“Teachers are spending too much time managing children through materials by assigning them activities and asking questions and too little time engaged in the kind of teaching that will help children into independent readers”.

Hal lainnya adalah pembaca juga tidak mampu membentuk simpulan (inferring) dengan menggunakan kosakata/kata-kata mereka sendiri. Menurut Howard (1980:15) untuk memiliki kemampuan membaca pemahaman siswa harus memiliki penguasaan wilayah perkembangan membaca (Growth Areas of Reading) yang terdiri atas words recognition (penguasaan kosakata), Meaning (Pemaknaan) dan study skill (keterampilan studi) di mana masing-masing wilayah perkembangan membaca akan saling berhubungan dan saling berkaitan satu sama lain untuk menunjang kemampuan membaca pemahaman seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agar siswa dapat mengartikan/memaknai teks tersebut diperlukan keterlibatan keterampilan penguasaan kosakata (word


(19)

19 recognition), ketrampilan menghubungkan informasi-informasi baru dengan pengetahuan latar belakang, pengaplikasian strategi kemampuan membaca pemahaman seperti mencari pikiran utama dari sebuah teks, membangun hubungan, bertanya, membuat simpulan dan memprediksi (meaning and study skills). McCardle dkk. (2002) menyatakan bahwa proses membaca pemahaman membutuhkan keterampilan kognitif dan kebahasaan.

“Comprehension processes draw on many cognitive and linguistic abilities – most notably, vocabulary, recalling background, sentence, sentence processing, verbal reasoning, knowlegde of print conventions and working memory. Weakness in any of these abilities can impair reading and can cause a student to disengage from the task of interpreting text”.

Berdasarkan deskripsi di atas mengenai beberapa kesulitan terhadap kemampuan membaca pemahaman maka diperlukan sebuah strategi yang efektif untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa SMP dalam pembelajaran bahasa Inggris dengan tujuan untuk meningkatkan membaca pemahaman.

Pemecahan persoalan-persoalan dalam meningkatkan mutu pembelajaran seperti tersebut di atas pada dasarnya dapat dilakukan melalui perancangan model pembelajaran yang aplikatif bagi guru, sesuai karakteristik mata pelajaran dan dimensi perkembangan siswa. Hal ini menjadi sangat mendesak untuk dilakukan mengingat kondisi pembelajaran bahasa Inggris di sekolah Menengah Pertama menuntut sebuah inovasi yang secara lagsung dapat bersinggungan dengan realitas kelas dan kemampuan guru yang terbatas.


(20)

20

Terdapat beberapa landasan teoretis yang berimplikasi praktis terhadap peningkatan mutu pembelajaran bahasa Inggris. Sejumlah teori dapat diadopsi sebagai kerangka berpikir sistematis dalam merumuskan langkah-langkah pembelajaran. Kerangka berpikir tersebut menghadirkan pendekatan pembelajaran membaca yang beragam yang dapat di pergunakan dalam pembelajaran bahasa Inggris khususnya peningkatan kemampuan pemahaman membaca siswa.

B. Rumusan dan Batasan Masalah 1. Rumusan Masalah

Penelitian ini bertitik tolak dari adanya masalah yang dihadapi oleh guru dan siswa dalam pembelajaran membaca pemahaman bahasa Inggris. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, dapat dikemukakan bahwa pembelajaran membaca pemahaman bahasa Inggris belum optimal. Pembelajaran membaca pemahaman bahasa Inggris saat ini belum dapat meningkatkan pemahaman membaca siswa.

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris. Secara sistemik faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan kedalam komponen “input, process dan output” (Sukmadinata, 2003:9). Komponen input atau masukan, mencakup raw input (masukan mentah), instrumental input (masukan instrumental) dan environment input (masukan lingkungan). Masukan mentah pada sistem pembelajaran adalah siswa. Siswa sebagai pembelajar menduduki fungsi sentral di dalam proses pembelajaran, sebab dialah yang menjadi subjek atau pelaku dari kegiatan belajar. Ada sejumlah faktor penting yang


(21)

21 mempengaruhi keberhasilan belajar, yang berpangkal pada siswa sendiri, diantaranya faktor: kecerdasan, bakat, minat, sikap, motivasi, kebiasaan belajar, fisik, kesehatan, prestasi belajar dan pendidikan sebelumnya.

Pada komponen masukan instrumental, beberapa faktor penting juga melatarbelakangi proses dan keberhasilan pembelajaran, diantaranya: kebijakan-kebijakan, program pendidikan, desain kurikulum, personalia pendidikan yang mencakup unsur pimpinan, guru dan staf, sarana, prasarana pendidikan, media dan sumber belajar serta biaya pendidikan. Pada masukan lingkungan beberapa faktor yang cukup berpengaruh terhadap proses belajar, yaitu: lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat sekitar, lembaga-lembaga sosial, unit-unit kerja dan masyarakat luas.

Proses pembelajaran juga merupakan komponen pendidikan yang cukup luas, meliputi: pembelajaran teori, pembelajaran praktik, pengelolaan kelas, pemberian tugas dan latihan, bimbingan siswa, evaluasi, serta manajemen pembelajaran. Komponen output berkenaan dengan perubahan-perubahan positif atau perkembangan yang dicapai setelah melakukan proses pembelajran. Perkembangan tersebut mencakup aspek pengetahuan, kepribadian dan prilaku atau performansi.

Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Dunkin dan Biddle (1986:6). Mereka mengembangkan proses pembelajaran berbasis riset, dan membagi komponen-komponen pembelajaran yang disebut sebagai variabel, terdiri atas variabel pendahulu (presage variables), variabel konteks (context variables), variabel instrumental (instrumental variables), variabel proses (process variables) dan


(22)

22 variabel hasil (product variable). Rincian dan keterkaitan antar variabel -variabel tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Bagan 1.1: Komponen-Komponen proses Pembelajaran Sumber: Dunkin dan Biddle (1974:38)

Proses pembelajaran oleh Dunklin dan Biddle dikelompokkan sebagai variabel proses (process variable) yang berlangsung di dalam kelas, walaupun bisa juga terjadi di luar kelas, bahkan di luar sekolah. Variabel ini mencakup

Variabel Instrumental - Kurikulum - Program pembelajaran - Metode - Media/sumber belajar Variabel Produk Dampak segera: Subject matter,

sikap terhadap mat pel, perkembangan penguasaan keterampilan Dampak Jangka Panjang: Kematangan, kepribadian, keterampilan profesi, Variabel Konteks

- Masyarakat - Lingk. sekolah - Lingk kelas - Iklim

- Fasilitas kelas

Variabel Proses

Perilaku guru di kelas

Perilaku siswa d kelas Prbh prilaku yg diamati Variabel Pendahulu Guru: keterampilan mengajar, intelegensi, motivasi, sikap, dll

Siswa:

kemampuan,penget ahuan, sikap, dll


(23)

23 kegiatan mengajar yang dilakukan oleh guru (teacher behavior) dan kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa (pupils’ behavior). Interaksi belajar mengajar yang berlangsung menimbulkan perubahan-perubahan perilaku atau perkembangan pengetahuan, kemampuan, sikap dan nilai pada siswa, baik yang segera dapat dilihat ataupun yang baru terlihat setelah beberapa lama.

Variabel proses dilatarbelakangi oleh variabel pendahulu (presage variables) baik variabel pendahulu pada guru maupun pada siswa. Variabel pendahulu pada guru, oleh Dunkin dan Biddle dibedakan antara variabel yang langsung berpengaruh terhadap proses pembelajaran (teacher properties) yang meliputi: keterampilan guru dalam mengajar, kecerdasan, motivasi dan ciri-ciri kepribadian, dan yang tidak langsung berpengaruh. Variabel yang tidak langsung berpengaruh ini dipisahkan antara pengalaman pendidikan dan pelatihan dan pengalaman formatif ke dalam pengalaman pendidikan dan pelatihan (teacher training experiences) ini termasuk: pengalaman belajar di perguruan tinggi, pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti serta pengalaman latihan mengajar sebagai calon guru. Pada pengalaman formatif (teachers’s formative experiences) sebagai variabel yang mendahului pendidikan dan latihan termasuk: status sosial-ekonomi, usia dan jenis kelamin.

Variabel pendahulu juga terletak pada siswa. Variabel ini mencakup pengetahuan, kemampuan dan sikap siswa yang oleh Dunkin dan Biddle dikelompokkan sebagai pupil’s properties, dan status sosial-ekonomi, usia dan jenis kelamin yang dikelompokkan sebagai pupils formative experiences. Variabel pendahulu yang dimiliki guru dan siswa berlangsung khusus dan sempit. Konteks


(24)

24 umum atau yang luas adalah konteks sosial budaya yang meliputi iklim sosial-budaya, komposisi etnis dan besarnya sekolah. Konteks khusus atau sempit adalah konteks lingkungan atau tempat berlangsungnya proses pembelajaran (classroom context) yaitu besarnya kelas, buku-buku sumber serta media yang digunakan terutama media elektronika. Dengan dukungan atau mendapatkan pengaruh dari variabel-variabel pendahulu yang dimiliki guru dan siswa, yang berlangsung dalam konteks lingkungan luas dan spesifik seperti di atas maka interaksi belajar dan mengajar terjadi. Keberhasilan dari kegiatan interaksi tersebut dipengaruhi baik oleh variabel pendahulu pada guru, pada siswa, maupun variabel konteks. Keempat kelompok variabel tersebut, yaitu variabel pendahulu pada guru, pada siswa, variabel konteks dan variabel proses menentukan keberhasilan pembelajaran (product variables).

Mengenai variabel hasil, Dunkin dan Biddle memisahkannya antara hasil belajar jangka pendek dan jangka panjang. Hasil belajar jangka pendek (immediate pupils growth) adalah hasil belajar dapat diketahui pada akhir masa belajar atau disebut juga output, meliputi: penguasaan keterampilam-keterampilan. Hasil belajar jangka panjang yang dapat diketahui setelah beberapa lama (long term pupils effect) atau disebut juga outcome, meliputi kepribadian sebagai orang dewasa, kemampuan professional atau keterampilan vokasional. Rincian variabel yang dikemukakan oleh Dunkin dan Biddle dengan Sukmadinata tidak ada perbedaan prinsipil, keduanya memiliki banyak kesamaan dan saling melengkapi.


(25)

25 2. Batasan Masalah

Penelitian ini berkenaan dengan pengembangan model pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran membaca untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa SMP dalam pembelajaran bahasa Inggris. Banyak variabel yang melatarbelakangi atau mempengaruhi proses pembelajaran, mengingat keterbatasan waktu dan tenaga, maka penelitian ini dibatasi pada proses pembelajaran dan kontribusinya terhadap peningkatan kemampuan pemahaman membaca bahasa Inggris di SMP. Pengembangan model pembelajaran membaca berdasarkan proses pembelajaran yang dapat merubah perilaku siswa dalam hal ini kemampuan membaca teks.

Proses variabel (variables process) dilatarbelakangi oleh varibel pendahulu (presage variable) baik variabel pendahulu pada guru maupun pada siswa. Variabel pendahulu pada guru meliputi: keterampilan guru dalam mengajar, pengetahuan guru terhadap kurikulun yang sedang berlaku yaitu KTSP. Pengetahuan guru tentang kurikulum KTSP akan mempengaruhi keberhasilan pengembangan model pembelajaran membaca. Model pembelajaran membaca yang dikembangkan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa yang sesuai dengan tuntutan kurikulum. Kompetensi guru dalam mengajar mata pelajaran bahasa Inggris menjadi salah satu variabel yang penting agar dapat mendukung pengembangangan model pembelajaran membaca ketika dilaksanakan di dalam kelas. Motivasi merupakan variabel yang penting karena tampa adanya motivasi guru, maka proses peningkatan hasil belajar tidak akan tercapai.


(26)

26 Variabel pendahulu pada siswa mencakup minat, motivasi dan sikap siswa terhadap mata pelajaran bahasa Inggris. Minat siswa akan menjadi salah satu variabel yang menentukan keberhasilan pengembangan model pembelajaran dalam proses pembelajaran. Demikian pula dengan motivasi menjadi salah satu faktor yang mendukung siswa dalam meningkatkan kemampuan pemahaman membaca siswa. Sikap yang positif terhadap mata pelajaran bahasa Inggris akan membantu siswa untuk lebih bersemangat selama proses pembelajaran mata pelajaran bahasa Inggris yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa kelak.

Variabel penelitian seperti instrumental input juga menjadi bahan pertimbangan ketika akan mengembangan sebuah model pembelajaran membaca seperti kurikulum, silabus, RPP, metode, media pembelajaran serta pengetahuan tentang konsep-konsep teori membaca. Variabel konteks dalam penelitian ini berupa lingkungan sekolah, lingkungan kelas, sarana dan prasarana pendukung, dukungan kepala sekolah dan staf. Variabel konteks akan sangat mempengaruhi kelancaran pengembangan model pembelajaran karena tanpa dukungan lingkungan yang kondnsif, kepala sekolah serta staf maka proses pengembangan model pembelajaran khususnya pada saat draft model akan diuji cobakan akan menghadapi beberapa kendala di lapangan.

Mengenai variabel hasil meliputi hasil jangka pendek yaitu siswa memiliki kemampuan untuk memahami teks dalam pembelajaran bahasa Inggris. Hasil jangka panjang yang diharapkan siswa memiliki kemampuan untuk memahami teks mata pelajaran lain.


(27)

27 ingin dikaji yaitu “Model pembelajaran yang bagaimanakah yang cocok untuk meningkatkan kemampuan pemahaman membaca dalam pembelajaran Bahasa Inggris siswa SMP di Kota Palembang?”

Model pembelajaran membaca yang dikembangkan pada penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pemahaman membaca siswa yang memadukan konsep-konsep pengembangan keterampilan pemahaman membaca.

Proses pembelajaran membaca yang berdasarkan Bottom-Up Reading Approach adalah pendekatan yang didasari oleh keyakinan bahawa siswa perlu untuk diajarkan secara eksplisit aspek-aspek keterampilan berbahasa dan beberapa strategi untuk memproses teks. Konsep membaca pemahaman lainnya yang menjadi dasar teori pada penelitian ini adalah pemahaman membaca yang melibatkan pengetahuan skemata pembaca (Top-Down Approach). Penelitian tentang bagaimana teori skemata mempengaruhi pemahaman membaca telah dilakukan sejak tahun 70-an dan 80-an (Anderson dan Pearson, 1984; Anderson, Reynold, Schallert dan Goetz, 1977). Intisari dari teori skemata ini adalah bahwa ada begitu banyak pengetahuan yang tersimpan dalam bentuk struktur hubungan yang kompleks. Skemata membantu seseorang untuk memahami sebuah peristiwa dengan mudah. Proses pemrosesan skemata sudah ada pada siswa semenjak usia dini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bauer dan Fivush (1992) bahwa bahkan anak-anak telah mengembangkan skemata terhadap peristiwa yang sering terjadi pada diri mereka. Skemata membantu anak-anak untuk untuk membuat kesimpulan dari sebuah cerita yang mengandung informasi yang berhubungan dengan pengetahuan skemata. Agar skemata dapat berkembang diperlukan


(28)

28 pengalaman oleh sebab itu maka semakin banyak anak-anak yang mempunyai banyak pegalaman maka semakin banyak pengetahuan skemata yang mereka miliki.

Berdasarkan kombinasi konsep-konsep proses dan pendekatan pemahaman membaca diyakini akan melahirkan sebuah model pembelajaran pemahaman membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris di SMP. Berdasarkan konsep dan teori yang dideskripsikan diatas apabila dipadukan menjadi sebuah model pembelajaran membaca pemahaman bahasa Inggris akan dapat membantu siswa dalam memahami sebuah bacaan. Dalam memahami sebuah bacaan, penguasaan pengenalan kosakata tidak akan cukup membantu siswa memahahami sebuah bacaan. Pembaca yang baik akan membuat sebuah simpulan dari bacaan menggunakan pengetahuan awal mereka ketika pengetahuan awal tersebut diperlukan untuk memahami sebuah bacaan. Pembaca hanya menghubungkan pengetahuan awal mereka apabila pengetahuan tersebut relevan dengan ide-ide yang dituliskan di dalam bacaan. Walaupun demikian pemahaman membaca tidak hanya membutuhkan skemata saja untuk mengerti sebuah bacaan. Pemahaman sebuah bacaan membutukan pengenalan kata untuk mendukung pemahaman informasi-informasi terbaru dalam bacaan.

Untuk memperjelas gambaran penelitian ini, variabel-variabel penelitian secara operasional dapat dipetakan sebagai berikut:


(29)

29

Bagan 1.2

Variabel-variabel Penelitian

PEMBELAJARAN Pembelajaran membaca untuk

meningkatkan kemampuan pemahaman membaca siswa Variabel Instrumental - Kurikulum - Silabus - RPP - Metode - Media/sumber belajaran - Teori membaca

Variabel Pendahulu - Guru: Keterampilan mengajar. Pengetahuan tentang kurikulum Kompetensi guru. Motivasi

- Siswa:

Minat. Motivasi Sikap

Variabel Konteks - Lingkungan

sekolah

- Lingkungan kelas - Kepala sekolah

dan staf - Iklim - Fasilitas

Variabel Hasil - Dampak Segera:

Peningkatan kemampuan pemahaman membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris

- Dampak Jangka Pendek:

Kemampuan untuk memahami buku teks mata pelajaran lain.


(30)

30 C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang timbul maka pertanyaan penelitian terdiri dari beberapa pertanyaan yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kondisi pelaksanaan pembelajaran membaca untuk meningkatkan kemampuan pemahaman membaca pembelajaran bahasa Inggris SMP saat ini?

2. Model pembelajaran membaca yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan kemampuan pemahaman membaca siswa SMP ditinjau dari dari desain, implementasi dan evaluasinya?

3. Apakah model pembelajaran pemahaman membaca yang dikembangkan cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan pemahaman membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris siswa di SMP?

4. Faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat implementasi model pembelajaran membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris di SMP?

D. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini perlu dijelaskan tentang definisi secara operasional tentang beberapa pokok pikiran. Ada dua variabel atau faktor utama yang menjadi inti kajian dalam penelitian ini, yaitu Model Pembelajaran Membaca dan Pemahaman membaca

1. Model Pembelajaran Membaca

Pengembangan model pembelajaran membaca dalam penelitian ini didefinisikan sebagai pola atau desain yang berisi kerangka konseptual dan


(31)

31 prosedur atau langkah-langkah sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk meningkatkan kemampuan pemahaman membaca siswa SMP. Dalam hal ini model pembelajaran membaca yang dikembangkan adalah model pengembangan pembelajaran membaca yang berakar dari dua teori utama adalam pembelajaran membaca yaitu konsep pendekatan membaca Bottom-Up Reading Approach dan pendekatan membaca Top-Down Reading Approach. Masing-masing pendekatan menggambarkan perbedaan konsep tentang proses-proses yang terlibat dalam pembelajaran membaca. Model pembelajaran membaca yang dikembangkan merupakan model pembelajaran yang dikembang untuk mengisi kelemahan yang terdapat dari masing-masing teori tersebut ditinjau dari implementasinya.

Dalam penelitian ini, model pengelolaan pembelajaran pemahaman membaca dalam pembelajaran bahasa bahasa Inggris dikembangkan berdasarkan hasil studi pendahuluan yang menggali kondisi pembelajaran yang ada, teori-teori yang relevan, dan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini. Hasil studi pendahuluan akan menjadi dasar bagi pengembangan desain model.

2. Kemampuan Pemahaman Membaca

Dalam konteks penelitian ini, kemampuan pemahamann membaca bukan saja ditekankan pada penguasaan terhadap huruf, kata, sintaksis, frase dan kalimat tetapi juga harus didukung oleh sistem kognisi pembaca dalam hal ini pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca berpikir aktif dengan cara membangun makna untuk membentuk pemahaman yang mendalam mengenai konsep dan informasi yang tersaji didalam teks.


(32)

32 Berangkat dari deskripsi tersebut maka kemampuan pemahaman membaca dalam penelitian ini dapat dilihat dari skor yang akan dicapai oleh siswa yang diukur melalui tes pemahaman membaca setelah mereka diperlakukan dengan menggunakan Pembelajaran TICM. Kemampuan membaca pemahaman diukur pada awal dan akhir pelaksanaan kegiatan pembelajaran.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengidentifikasi kondisi pelaksanaan pembelajaran membaca yang meliputi: kondisi guru, siswa, materi pelajaran, sumber belajar, model pembelajaran, dan sarana prasarana/fasilitas pembelajaran di SMP saat ini 2. Untuk menghasilkan model pembelajaran pemahaman membaca yang dapat

meningkatkan kemampuan pemahaman membaca ditinjau dari desain, implementasi dan evaluasinya dalam pembelajaran bahasa Inggris siswa SMP. 3. Untuk mengkaji model pembelajaran pemahaman membaca yang

dikembangkan apakah cukup efektif dalam meningkatkan kemampuan pemahaman membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris siswa SMP.

4. Untuk mengkaji faktor-faktor yang mendukung dan menghambat implementasi model pembelajaran pemahaman membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris di SMP.


(33)

33 F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu model pembelajaran membaca yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman membaca siswa dalam pembelajaan pembelajaran bahasa Inggris. Model pembelajaran dikembangkan dengan berpegang pada landasan-landasan konseptual, dan kenyataan empiris dan pelaksanaan pembelajaran membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris di SMP. Dari studi pengembangan ini diharapkan dapat dipetik dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan praktis.

1. Manfaat Teoretis

Penelitian pengembangan model pembelajaran ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi:

a. Pengembangan teori pada bidang pembelajaran bahasa Inggris di SMP, berupa prinsip-prinsip dasar atau dalil-dalil mengenai pengembangan pemahaman membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris SMP.

b. Di samping itu hasil penelitian ini dapat pula dimanfaatkan sebagai sumber informasi yang diperlukan oleh peneliti dan pengembang kurikulum untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman kepada guru tentang langkah-langkah pengembangan model pembelajaran dengan pendekatan komunikatif mulai dari menyusun perencanaan, mengimplementasikan sampai mengevaluasi pembelajaran serta menyempurnakannya. Model pembelajaran yang dihasilkan melalui penelitian ini


(34)

34 dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran bahasa Inggris khusus pembelajaran membaca pemahaman di SMP. Temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan juga bagi peneliti selanjutnya, sebagai bahan awal, pembanding atau rujukan bagi penelitian yang dilakukan.


(35)

123

BAB III

METODOLOGI

Bab ini menguraikan metode penelitian yang digunakan, subyek penelitian, alat pengumpul data, dan analisis data.

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan (research and development) yang oleh Borg dan Gall (1983:773) dijelaskan sebagai “a process used to develop and validate educational products” yang dapat diartikan sebagai sebuah proses untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Keuntungan metode ini dibandingkan dengan metode penelitian lainnya dalam bidang pengembangan pendidikan adalah bahwa R&D secara langsung mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan pengembangan produk berdasarkan kondisi aktual lapangan yang dilakukan melalui studi pendahuluan. Selain itu terdapat langkah-langkah sistematis dan bertujuan yang dilakukan secara siklis dengan evaluasi dan perbaikan yang dilakukan peneliti sebelum memperoleh produk pendidikan. Proses penelitian dikembangkan mengunakan dasar langkah-langkah penelitian dan pengembangan yang dikembangkan oleh Borg and Gall (1979:626) yang meliputi sepuluh kegiatan yaitu: (1) Research and Information collecting (penelitian dan pengumpulan informasi); (2) Planning (perencanaan); (3) Develop preliminary form of product (mengembangkan bentuk produk awal); (4) Preliminary field testing (pengujian lapangan awal); (5) Main product revision (revisi terhadap produk utama); (6) Main field testing (pengujian lapangan utama); (7) Operasional product revision (revisi produk utama); (8)


(36)

124

Operational field testing (pengujian lapangan operasional); (9) Final product revision (revisi produk operasional); dan (10) Dissemination and implementation (diseminasi dan penerapan)

B. Prosedur Penelitian

Implementasi langkah-langkah diatas untuk mengembangkan model yang dikemukan oleh Borg and Gall dimodifikasi melalui beberapa tahapan proses dengan tetap memperhatikan esensi yang harus terpenuhi dalam pelaksanaan penelitian sehingga siklusnya terdiri atas: (1) Studi pendahuluan, mempelajari kondisi yang ada dilapangan, teori-teori yang relevan, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan produk yang akan dikembangkan (research and information collecting); (2) Pengembangkan produk awal berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (develop preliminary form of product) dan ujicoba lapangan secara terbatas dan lebih luas dimana nantinya produk akan digunakan (field testing), yang diselingin dengan revisi (revision) terhadap kelemahan-kelemahan yang ditemukan dalam setiap ujicoba lapangan; (3) Validasi model yang dikembangkan divalidasi (operational field testing) sampai memperoleh produk akhir (final product) sebagai sebuah model pembelajaran. Kegiatan pengembangan dan uji validasi produk dilakukan secara siklis, disertai umpan balik, evaluasi, penilaian, perbaikan. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing tahapan pengembangan desain model pembelajaran.

1. Studi Pendahuluan

Kegiatan studi pendahuluan meliputi kajian kepustakaan dan survei pendahuluan. Kajian pustaka ditujukan untuk mempelajari landasan-landasan


(37)

125

teoritis mengenai model pembelajaran bahasa Inggris khusus mengenai pembelajaran membaca bahasa Inggris di SMP yang akan dikembangkan dalam sebuah model pembelajaran membaca serta mengkaji hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan model tersebut. Studi pendahuluan penting dilakukan karena menghasilkan basis konseptual dan atau rasionalisasi yang akan dijadikan tempat berpijak untuk mengembangkan sebuah model pembelajaran membaca yang sesuai. Didalam studi pendahuluan juga dilaksanakan survei pendahuluan yang diarahkan untuk menemukan model-model sejenis atau draft dari model tersebut dalam pelaksanaan pembelajaran membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris saat ini. Survei lapangan juga ditujukan untuk mengungkapkan kondisi nyata yang merupakan faktor pendukung atau penghambat penerapan model yang akan dikembangkan. Faktor-faktor tersebut meliputi kondisi, kemampuan dan kinerja guru, kondisi siswa serta kuantitas dan juga kualitas sarana dan fasilitas pembelajaran di sekolah.

2. Pengembangan Model Awal

Tujuan pengembangan model awal adalah untuk merumuskan rancangan awal model pembelajaran yang diperoleh melalui studi pendahuluan, dan pengetahuan serta keterampilan apa yang perlu dimiliki guru dari rancangan tersebut. Draft model disusun berdasarkan landasan teori hasil kajian kepustakaan serta kesesuaian karakteristik model yang akan dikembangkan dengan karakteristik pelajaran bahasa Inggris dan kondisi siswa SMP khususnya pada kegiatan pembelajaran membaca yang akan menjadi sasaran penggunaan model. Draft awal dikaji ulang melalui diskusi dengan guru bahasa Inggris, teman


(38)

126

sejawat dan pakar dalam bidang pengembangan kurikulum dan metode pembelajaran.

Pelatihan singkat tentang strategi konseptual yang terkandung dalam desain model yang dikembangkan diberikan kepada guru yang terpilih sebagai penguji coba sehingga hakikat yang dikembangkan diberikan kepada guru yang terpilih sebagai penguji coba sehingga hakikat model dipahami. Kemudian, secara kolaboratif guru dan peneliti menyusun strategi operasional yang dapat dituangkan kedalam rencana pembelajaran (lesson plan). Rencana pembelajaran bersifat sangat fleksibel untuk dikembangkan berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran.

Kemudian Draft model yang dhasilkan diujicoba secara terbatas pada suatu kelompok belajar dalam satu sekolah. Ujicoba model dilakukan oleh guru pada sekolah yang bersangkutan. Sebelum pelaksanaan ujicoba dilakukan diskusi antara guru dengan peneliti untuk membicarakan mekanisme proses ujicoba. Ujicoba terbatas bertujuan untuk memperoleh penilaian kualitatif yang berkaitan dengan penerapan model. Selama pelaksanaan ujicoba dilakukan evaluasi proses oleh peneliti dengan membuat catatan pelaksanaan ujicoba, kemajuan, kesulitan dan hambatan-hambatannya temasuk juga tes formatif diakhir pembelajaran. Setelah selesai melewati tahap uji coba terbatas kemudian diadakan diskusi antara peneliti dengan guru untuk mencocokkan hasil evaluasi proses serta untuk melengkapi dan penyempurnaan model. Penyempurnaan model dilakukan dengan memperbaiki struktur materi dan proses pembelajaran pada langkah berikutnya sampai ditemukan pola implementasi model untuk mencapai hasil yang optimal.


(39)

127

Pelaksanaan ujicoba terbatas dilakukan secara siklis pada satu sekolah dalam tiga siklus. Hasil ujicoba terbatas digunakan untuk merevisi model yang dikembangkan agar diperoleh desain lebih baik untuk ujicoba lebih luas.

Ujicoba model dalam skala lebih luas dilakukan untuk mendapatkan informasi apakah model yang dikembangkan memenuhi tujuan yang telah ditetapkan, baik melalui penilaian kualitatif maupun kuantitaif. Penilaian kualitatif diperoleh dari hasil observasi. Selain itu digunakan juga rancangan eksperimental yang bertujuan untuk melihat pengaruh dan keefektifan model terhadap kemampuan membaca pemahaman bahasa Inggris dalam pembelajaran bahasa Inggris di SMP. Penelitian eksperimen ini melibatkan tiga SMP dengan kategori baik, sedang dan kurang, dilakukan secara siklis sehingga diperoleh model pembelajaran yang siap untuk di validasi.

Berikut adalah bagan desain pretest-posttest satu kelompok (one group pretest-postets design) untuk melihat hasil yang dicapai melalui penerapan model yang dikembangkan pada kemampuan membaca pemahaman dalam pembelajaran bahasa inggris.

Pretest Variables bebas Posttest

YI X Y2


(40)

128

3. Validasi Model

Pengujian validasi model final dilakukan untuk melihat apakah model yang dikembangkan telah siap untuk diterapkan di sekolah-sekolah di luar tempat uji coba. Dalam penelitian ini uji validasi model dilaksanakan melalui eksperimen semu dengan menggunakan pendekatan pretest-posttest kelompok kontrol tampa acak (non randomized control group pretest-posttest experimental design). Penggunaan rancangan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa model desain yang dikembangkan tidak memberlakukan syarat-syarat secara ketat terhadap situasi dan penempatan subyek penelitian. Tujuan dari pengembangan model desain adalah pengembangan model pembelajaran membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami teks dalam pembelajaran bahasa Inggris. Berikut adalah gambar prosedur penelitian dan pengembangan berdasarkan langkah-langkah yang dikembangkan oleh Sukmadinata dan kawan-kawan. (Lihat gambar 3.1)


(41)

129 Bagan 3.1: Langkah-Langkah Penelitian dan Pengembangan Model Menurut

Sukmadinata (2007:189)

Eksperimen implementasi model dilakukan pada tiga kelas di tiga sekolah yaitu sekolah dengan kategori baik, sedang dan kurang. Sebagai perbandingan ditetapkan kelompok kontrol dengan jumlah sekolah dan kelas yang sama yang menerapkan pembelajaran konvensional. Sebelum eksperiman dilakukan pretest kemudian siswa diberikan perlakuan yang diakhiri deangan dilakukannya posttest. STUDI PENDAHULUAN PENGEMBANGAN MODEL VALIDASI MODEL Survei lapangan

Kondisi guru

Kondisi siswa

Sarana Ujicoba Terbatas Ujicoba lebih Luas Eksperimen Pretest Treatment Postest Draft Awal Model Model final Hipotetik Model Teruji Studi Pendahuluan

Landasan Teori

Hasil Penelitian yang relevan


(42)

130 Tabel 3.2. Desain Pretest-Posttest Kelompok Kontrol Tampa Acak

Pengujian validasi model dilakukan untuk mengetahui pengaruh atau efektifitas model pembelajaran yang dikembangkan dalam meningkatkan kemampuan membaca pemahaman. Untuk maksud tersebut dilakukan uji statistik terhadap hasil tes. Pengaruh penerapan model dalam meningkatkan kemampuan pemahaman membaca diketahui melalui uji perbedaan rata-rata hasil pretest-posttest. Adanya perbedaan yang signifikan antara skor pretest dan posttest menunjukkan adanya pengaruh penggunaan model dalam meningkatkan kemampuan pemahaman membaca siswa. Efektifitas model diketahui melalui uji perbedaan rata-rata peningkatan skor tes (gain score) antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Dikemukannya perbedaan peningkatan skor yang signifikan antara kedua kelompok tersebut menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran membaca pemahaman ini lebih efektif dibandingkan dengan metode konvesional dalam meningkatkan kemampuan pemahaman membaca.

C. Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Pertama Negeri yang ada di kota Palembang yang tersebar di enam kecamatan dari enam belas kecamatan

Kelompok Pretest Perlakuan Posttest

Eksperimen

Kontrol

YI

YI

X

_

Y2


(43)

131

yaitu, kecamatan Kec. Ilir Timur I, Kec. Ilir Timur II, Kec. Ilir Barat I, Kec. Ilir Barat II, Seberang Ulu I dan Seberang Ulu II. Dari 16 kecamatan yang ada di Kota palembang diambil 6 kecamatan yang masing-masing sekolah di wakili oleh kategori baik, sedang, kurang. Ketiga daerah kecamatan itu menjadi lokasi kegiatan studi pendahuluan, lokasi untuk uji coba terbatas dan lebih luas, serta untuk uji validasi model.

1. Subjek Pada Studi Pendahuluan

Studi Pendahuluan dilakukan pada 10 SMPN yang tersebar pada 16 kecamatan di kota palembang. Untuk subyek penelitian dipilih guru dan siswa kelas VIII SMP dari 10 SMPN dalam kota Palembang yang diambil dari dari enam kecamatan dengan kriteria ”baik, sedang, kurang”. Teknik pengambilan sampel digunakan purposive sample untuk penentuan daerah kecamatan dan stratified sampling untuk penentuan SMP dalam setiap kecamatan. Jumlah guru sepuluh orang dan siswa kurang lebih 320 orang. Berikut daftar sumber data penelitian dalam studi pendahuluan


(44)

132 Tabel 3.3. Sumber Data Penelitian Pada Studi Pendahuluan

2. Subjek Pada Uji Coba Model Terbatas dan Lebih Luas

Setelah peneliti melakukan studi pendahuluan pada sepuluh sekolah ditetapkan satu sekolah sebagai tempat untuk melaksanakan ujicoba secara terbatas yaitu SMPN 9 Palembang. Guru dan siswa dalam kelas yang dipilih menjadi subjek penelitian. Penentuan SMP sebagai tempat pelaksanaan ujicoba secara terbatas dilakukan dengan teknik purposive sampling. Teknik itu digunakan atas pertimbangan bahwa subjek penelitian pada sekolah memiliki karakterisitik yang sama dengan ciri subjek penelitian secara keseluruhan.

Untuk ujicoba lebih luas menggunakan 3 sekolah yang berbeda dengan kategori yang berbeda, yaitu baik, sedang, kurang. Subyek penelitian ditambah terdiri dari 3 sekolah SMP dari sepuluh SMP yang menjadi subyek penelitian studi

No. Sekolah Kategori Jumlah

Siswa Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10

SMPN 9 Palembang SMPN 10 Palembang SMPN 13 Palembang SMPN 18 Palembang SMPN 6 Palembang SMPN 2 Palembang SMPN 33 Palembang

SMPN 15 Palembang SMPN 7 Palembang SMPN 44 Palembang

Baik Baik Sedang Kurang Baik Sedang Kurang Baik Sedang Kurang

35 orang 38 orang 40 orang 39 orang 40 orang 44 orang 40 orang 40 orang 40 orang 40 0rang

Ilir Timur I Ilir Timur I Ilir Barat II Ilir Barat II Ilir Timur II

Ilir Barat II Ilir Barat I Seberang Ulu I Seberang Ulu I Seberang Ulu II


(45)

133

pendahuluan. Tiga SMP yang dimaksud adalah SMPN 10 palembang, Palembng SMPN 13 dan SMPN 18 palembang. Jumlah siswa yang menjadi subyek penelitian adalah 126 siswa dengan 3 orang guru bahasa Inggris.

Faktor-faktor yang mendasari pemilihan ketiga sekolah ini adalah (1) memenuhi kriteria sekolah baik, sedang, dan kurang menurut penilaian Depdiknas kota Palembang sehingga menggambarkan karakterisitik subyek secara keseluruhan, (2) kesediaan kepala sekolah dan guru bahasa Inggris untuk memfasilitasi uji coba, dan (3) rasa ingin tahu dan kemampuan guru yang cukup baik untuk menerapkan model pembelajaran yang dikembangkan.

Kategori Sekolah Jumlah

Baik SMP Negeri 10 Palembang 38 orang

Sedang SMP Negeri 13Pelambang 40 orang

Kurang SMP Negeri 18 PAlembang 39 orang

Tabel 3.4. Sumber Data Penelitian Pada Uji Coba lebih Luas

3. Subjek Pada Uji Validasi Model

Pada tahap uji validasi model, dilibatkan 6 dari 10 SMP yang telah di tetapkan pada studi pendahuluan. Siswa dan guru bahasa Inggris dari keenam SMP itu tidak pernah menjadi subyek penelitian pada uji coba terbatas dan ujicoba lebih luas sebelumnya. Jumlah Subjek pada uji validasi adalah 240 orang siswa dengan 6 orang guru bahasa Inggris. Karena validasi menggunakan rancangan penelitian eksperimen, subjek penelitian dibagi menjadi kelompok eksperimen dan kotrol masing-masing dalam tiga kategori sekolah, “baik, sedang dan kurang”


(46)

134 Tabel 3.5. Sumber data Penelitian Pada Uji Validasi Model

D. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan tahap-tahap pengembangan model pembelajaran bahasa Inggris SMP, (1) studi pendahuluan; (2) Pengembangan model; dan (3) uji validasi model, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: dokumentasi, observasi, kuesioner, wawancara dan tes.

1. Dokumentasi

Dokumentasi adalah kegiatan pengumpulan data melalui analisis dokumen untuk membuktikan bahwa sesuatu benar atau tidak benar adanya. Analisis dokumen bertujuan untuk menjaring data khususnya yang berupa dokumen yang disiapkan guru sebelum memasuki kelas. Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data dari guru tentang ketersediaan kelengkapan perangkat belajaran belajar mata pelajaran bahasa Inggris, meliputi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Hasil dokumen dimaksudkan untuk melengkapi hasil observasi pada studi pendahuluan.

Kategori Kelompok Sekolah Jumlah

Siswa Baik Eksperimen

Kontrol

SMPN 6 Palembang

SMPN 15 Palembang

40 orang

40 orang

Sedang Eksperimen

Kontrol

SMPN 2 Palembang

SMPN 7 Palembang

40 orang

40 orang

Kurang Eksperimen

Kontrol

SMPN 33 Palembang

SMPN 44 Palembang

40 orang


(47)

135

Analisis dokumen dilakukan dengan cara mencatat dokumen-dokumen apa saja yang telah dan belum dimiliki oleh guru. Mempelajari rencana pembelajaran dan kelengkapan komponennya, serta ketepatan perumusan Kompetensi Dasar dan Standar Kompetensi, tujuan pembelajaran dan indikatornya. Analisis dokumen dilakukan sebelum observasi kelas berlangsung dengan maksud memperoleh informasi perihal kesiapan guru sebelum mengajar.

2. Observasi

Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi yang telah disusun oleh peneliti untuk menjaring data yang diperlukan pada studi pendahuluan, ujicoba terbatas, dan ujicoba lebih luas. Pada saat studi pendahuluan pelaksanaan observasi dilakukan dengan cara melihat dari dekat kondisi pembelajaran bahasa Inggris khususnya dalam pembelajaran membaca yang dilakukan selama ini di sekolah, khususnya bahan ajar dan metode penyampaian, proses dan interaksi belajar mengajar, serta evaluasi proses dan hasil belajar. Pada saat pengembangan model observasi juga dilakukan dengan melihat dengan dekat proses penerapan model pada ujicoba terbatas dan ujicoba lebih luas. Observasi dilakukan untuk memperoleh informasi tentang penerapan model ujicoba, interaksi belajar mengajar, penguasaan guru dalam penerapan model dan respon siswa terhadap langkah-langkah pembelajaran termasuk perilaku-perilaku yang muncul, serta faktor pendukung dan faktor penghambat ketika model pembelajaran dikembangkan.

Alasan menggunakan observasi sebagai teknik pengumpul data, antara lain (1) sesuai dengan sifat data yang ingin dikumpulkan, (2) teknik observasi


(48)

136

membantu peneliti dalam merekam perilaku sebenarnya, dan, (3) teknik observasi membantu peneliti mengumpulkan data secara langsung tampa kontaminasi. Dengan demikian, kekuatan dan kelemahan dapat direkam dinilai dan dievaluasi bagi perbaikan penerapan model dalam siklus berikutnya.

3. Wawancara

Wawancara bertujuan untuk mengungkapkan informasi langsung dari subjek penelitian yaitu guru dan siswa sehubungan dengan model pembelajaran yang dikembangkan. Disamping itu juga wawancara dilakukan oleh peneliti untuk menggali data dan informasi dari guru tentang hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembelajaran membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris selama ini dan kebutuhan akan model pembelajaran membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris yang relevan dengan tuntutan kurikulum. Selain itu juga wawancara juga dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang pandangan guru dan siswa terhadap model pembelajaran yang akan dikembangkan dan model pembelajaran yang sedang diterapkan saat ini, faktor pendukung serta faktor penghambat yang dirasakan guru dalam mengimplementasikan model pembelajaran yang dikembangkan, serta gagasan-gagasan yang dimiliki guru untuk menyempurnakan model pembelajaran yang sedang dikembangkan.

4. Tes

Tes adalah alat ukur yang diberikan kepada individu untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang diharapkan baik secara tertulis maupun secara lisan atau perbuatan. Tes prestasi belajar mengukur penguasaan atau abilitas tertentu sebagai hasil dari proses belajar. (Sudjana dan Ibrahim, 1989:100). Tes digunakan untuk


(49)

137

mengukur ada atau tidaknya pengaruh penggunaan pembelajaran TICM yang sedang dikembangkan terhadap kemampuan pemahaman membaca siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris serta menguji pengaruh dan efektifitas model pembelajaran dengan model pembelajaran yang biasa selama ini digunakan oleh guru mata pelajaran bahasa Inggris.

Tes hasil belajar yang dikembangkan disusun berdasarkan aspek-aspek dari kemampuan pemahaman membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris. Aspek-aspek tersebut mencakup main idea (topic), expression/idioms/phrases in the context, inference, grammatical features, detail, vocabulary in context (Brown, 2004:206). Instrumen tes yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tes yang dibuat oleh peneliti yang terlebih dahulu dinilai oleh pakar dalam bidangnya. Tes tersebut berupa pilihan ganda akan dipergunakan sebagai sumber data untuk melihat peningkatan pemahaman membaca siswa yang akan dianalisis secara kuantitatif. Instrumen tes digunakan untuk mendapatkan informasi tentang kemampuan awal siswa berupa test awal (pretest) dan test akhir (posttes). Pretest bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Sedangkan posttest bertujuan untuk mendapat informasi tentang kemampuan akhir setelah mereka diberikan perlakuan menggunakan model pembelajaran yang sedang dikembangkan selama proses kegiatan pembelajaran membaca dalam pembelajaran bahasa Inggris.

Selain itu dipergunakan tes pemahaman membaca berupa short-answer task. Tes ini diimplementasikan pada setiap akhir putaran kegiatan pembelajaran dan kemudian dianalisis secara kualitatif yang dipergunakan untuk memberikan


(1)

346 Ibrahim dan Syaodih, Nana Sukmadinata. (1993). Materi Pokok: Pengembangan

Inovasi dan Kurikulum. Jakarta: Depsikbud.

Iskandarwassid dan Sunendar. (2008). Strategi Pembelajaran bahasa. Bandung : PT. Remaja Rosda

Gee, James. (1990). Social Linguistics and Literacies: Ideology in discourse. London: Falmer Press.

Gibbon, Pauline. (2002). Scaffolding language Scaffolding language: Teaching second Language Learners in the Mainstream Classroom. Portsmouth: Heinemann

Kamarga Hansiswany. (2000). Model Pembelajaran Pengemas Awal (Advance Organizer): dalam Implementasi kurikulum Sejarah di SD yang Menggunakan pendekatan Kronologis dalam Rangka mengembangkan Aspek Berpikir Kesejarahan. Disertasi Doktor pasa PPS UPI Bandung tidak diterbitkan

Karakas, Muge. (2002) The Effects of Reading Activities on ELT trainee Teachers’ Comprehension of Short stories. Unpublished thesis. Canakkale: Canakkale Onsekiz Mart University.

Kemple, J., Corrin, W., Nelson, E., Salinger, T., Herrmann, S., & Drummond, K. (2008). The Enhanced Reading Opportunity Study: Early Impact and Implementation Findings. Washington, DC: Institute of education Sciences and US Department of Education

Krashen, S. D dan T.D. Terrel. 1983. The Natural Approach: Language Acquisition in the Classroom. Oxford: Pergamon.

Lengkanawati, Nenden Sri. (2007). Pendidikan Bahasa. Dalam Mohammad Ali dan Rekan (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Hal.659-692). Bandung: Pedagogiana Press.

Leu, Donal J (2000). Literacy and Technology: Deictic Consequences for Literacy Education in an Information Age. Dalam Michael L. Kamil, Peter B Mosenthal, P david Pearson dan Rebecca Barr (penyunting). Handbook of reading research: Volume III. Hal. 743-770. New Jersey: Lawrence Erlbaun Associates, Publishers. Logan, L.M. dan Logan, V, G. (1972). Creative communication. Toronto: Mc


(2)

347 Majid, A. (2007). Perencanaan Pembelajaran : Mengembangkan Standar

Kompetensi Guru. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

McCardle, P., scarborough, H.S., dan Catt, H.W. (2002). Predicting, Explaining and Preventing Children Difficulties. The Quarterly Bulletin Of the Remedial and Support Teachers’ Association of Queensland, December Issue 2002, (5-17) McDevitt, T.M dan Ormrod, J.E. (2002). Child develompment and Education. New

Jersey: Merril Prentice hall.

McKay, S. (1982). Literature in the ESL classroom. TESOL Quarterly, 16, 529-536 Mc.Shane. (2005). Applying research on Reading Instruction for Adult: First Steps

for Teachers. US: National Center for Family Literacy.

Mikulecky, Beatrice S. (1990). A Short course in Teaching Reading Skill. New York: Addison-Wesley Publishing Company.

Myers, D. G. (1996). Exploring Psychology. New York : worth Publishers, Inc. Nasution. (2006). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara

Norland, Deborah L dan Terry Pruett-Said. (2006). A Kaleidoscope of Models and Strategies for Teaching English to Speakers of Other Langauges. Westport, Connecticut : Teacher Ideas Press, an Im print of Libraries Unlimited

Nunan, David. (1991). Second Language Teaching & Learning. Boston, MA: Heile &h Heinle Publishers.

Nuttal, Christine. (1996). Teaching Reading Skills in a Foreign Language. Oxford: Heinemann.

OECD. (2003). Literacy skills for the World of Tomorrow-Futher Results from PISA (2000). Organization for Economic Co-operation & Development & Unesco Institute for statistic.

Palombo, Anthony dan Vito Loiacano. (2008). Understanding the Cause of Intermiade and Middle school Comprehension Problem. Internasinal Journal of Specail Education


(3)

348 Pressley. (2000). What Should Comprehension Instruction Be the Instruction Of? Dalam Michael L. Kamil, Peter B Mosenthal, P david Pearson dan Rebecca Barr (penyunting). Handbook of reading research: Volume III. Hal. 550-607. New Jersey: Lawrence Erlbaun Associates, Publishers.

Pressley, M. (2006). Reading Instruction that Works: The Ccase for Balanced Teaching (3rd ed). New York; Guilford.

Rapp, D. N., van den Broek, P., McMaster, K.L., Kendeou, P., dan Espin, C.A. (2007). Higher-Order Comprehension Processes in Struggling readers: A Perspective for Research and Intervention. Scientific Studies of Reading, 11, 4, 289-312.

Richards, L.C. dan W. A. Renanadya. (2002). Methodology of Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

Ridhani Ar, A, (2004). “Pembelajaran Membaca interpretative dengan Pendekatan Cooperative Learning di Sekolah dasar “. Jurnal Ilmu Pendidikan. No. 1 Jilid 11. Malang : UNM

Robinson, Jay L. (1983). “The Social Context of literacy”. Essay Dalam Patricia L. Stock. Essays on Theory and Practice in the Teaching of Writing. USA: Boynton Cook Publisher

Rosyada, Dede. (2007). Paradigma Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media group.

Rusyana, Y. (1982). Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang.

Rumelhart, D.E. (1977). Toward an Interactive model of Reading. Dalam S. Dornic (editor). Attention and Performance VI (PP. 575-603). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.

Sanjaya, Wina. (2008). Kurikulum dan pembelajaran: teori dan praktik pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Predana Media Group.


(4)

349 Saud, Udin Syaefudin dan Mulyani Sumantri. (2007). Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam Mohammad ali dan Rekan (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Hal.1113-1130). Bandung: Pedagogiana Press.

Seifert, K.L dan Hoffnung, R.J.(1994). Child and Adolescent Development. Boston : Houghton Mifflin compaby.

Shanahan, D. (1997). Articulating the relationship between language, literature and culture: Toward a new agenda for foreign language teaching and research. The Modern Language Journal, 81(2), 164-174.

Shulman, L. (1982). Autonomy and Obligation : The Remote Control of Teaching. Dalam L Shulman dan G Sykes. Handbook of Teaching and Policy ( hal. 484-504). New York: Longman.

Smith, R dan John , D. (1980). Teaching Reading to Read. Boston. Addison Wensley Publishing.

Sood, P. (1981). Language Experience Approach. (report No.CS))-7267). Mangilo, Guam: Proceedings of the Annual symposium on reading education. (ERIC Document Reproduction service no. Ed 236 551)

Sripo., R. J. dkk (Penyunting). (1980). Theoritical Issues in reading Comprehension. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Stahl, S. (1983). Differential Word Knowledge and Reading comprehension. Journal of reading Behavior, 15, 33-50

Stavonich, K. E dan P. Stavonich. (199). How Research Might Inform the Debate about the Reading Acquisition. In J. Oakhill and R Bead (eds), Reading Development and the Teaching of Reading (pp. 12-41). Oxford: Blackwell.

Stenson, Brenton A. (2006). Programs and Methods to improve Reading Comprehension Level of Reading reasources Special Need Students At Austin Road Middle School. International Journal of Special Education, (21) 2, 137-146.

Stripling, Barbara. (1992). Libraries for National Education. ERIC

Strickland, D.S. (1990). “Emergent Literacy: how Young Children Learn to read and write”. Educational Leadership. 47(6), 18-23.


(5)

330 Stubbs, Michael. (1986). Language and Literacy: The Sociolinguistics of reading and

writing. London: Routledge & Kegan Paul

Sudjana, Nana dan R.Ibrahim. (1989). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung : Sinar Baru

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2007). Ilmu dan Aplikasi pendidikan. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosda

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2004). Kurikulum & Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Yayasan Kesuma Raya.

Tarigan, Henry Guntur. (1989). Metodologi Pengajaran Bahasa: Suatu Penelitian Kepustakaan. Jakarta : depdikbud.

Tampubolon, H. G. 1(1994). Membaca sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tankersley, Karen. ()2005. Literacy Strategies for Grades 4-12 :Reinforcing Threads of Reading. Alexandria: association for Supervison Curriculum Development. Teale, W. H. dan Sulzby. (1986). Emergent Litercy. Norwood, NJ: Ablex

Tierney, R.J, dan Shanahan, T. (1991). Research on the Reading writing Relationship: Interaction, tracsantion and Outcomes. Handbook of Reading research, vol 2. hal. 346-280. New York : Longman.

Torgessen, J. K. (2000). Individual Differences in Response to Early intervention in Reading: The lingering Problem of Treatment Resisters. Learning Disabilities Research and Practice, 15, 1, 55-64.

Turner, Juliane C. (1995). “The Influemce of Classroom Contexts on Young Children’s Motivation for Literacy”. Dalam Jurnal Reading Research Quartely Volume 30, No, 3 Juli-September 1995.

Undang-Undang No.25 Tahun 2000 Tentang Propenas 2000-2004 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS

Ur, Penny. (1996). A Course in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.


(6)

331 Wallace, Chatherine. (1992). Reading. Oxford : Oxford University Press.

Weaver, Constance. (1994). Reading Process and Practice: From Socio-Psycholinguistics to whole Language. Portsmouth: Heinemann.

Wells, G. (1990). “Creating the Condition to Encourage Literate Thinking”. Educational Leardership, 47 (6), 13-17.

Westwood, Peter S. (2008). What teachers need to know about reading and Writing difficulties. Victoria: ACER Press.

White, James Boyd. (1985). “The Invisible Discourse of Law : Reflections on Legal Literacy and General education” Essay dalam Praticia L. Stock Essays on Theory and Practise in the Teaching of Writing. USA: Boynton Cook Publisher Inc. Wretsch, J. (1985). Vygotsky in Formation of Mind. Cambridge, MA : Harvard

University Press.

Vygotsky, L. (1981). The Genesis of Haigher Mental Fuctions. In J.V Wertsch (ed), The Concept of Activity in Soviet Psychology. Armonk New York: Sharpen. Vygotsky. L (1978) Mind in society. Cambridge, MA : Harvard University Press. Van Prooyen, Nancy dan Clouse, R Willburn. (1984). Three Approaches to Teaching

Reading : Basal, language Experience dan Computer Assisted Instruction : Nashville : ERIC