URGENSI STUDI ISLAM INTERDISIPLINER DI E

URGENSI STUDI ISLAM INTERDISIPLINER
DI ERA DISRUPSI DAN MILLENIAL

PENDAHULUAN
Islam turun di dunia ini dengan tujuan untuk mengubah akhlak – akhlak masyarakat
pada saat itu, yaitu masyarakat jahiliah yang sikap dan perbuatannya sangat di luar akal
pikiran. Islam turun dibawa oleh nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dan disebar
luaskan kepada umat manusia. Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW,
diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di
dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi
hidup dalam makna seluas-luasnya. Islam pada masa perkembangan waktu, tidak ada
perdebatan – perdebatan tentang pengkajian Islam karena Islam langsung dari sumbernya
yaitu Nabi Muhammad SAW yang membawa al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketika nabi
meninggal mulailah adanya permasalahan – permasalahan yang timbul dalam menentukan
hukum – hukum Islam pada waktu itu.
Hingga di era saat ini, fenomena pemahaman ke-Islaman umat Islam terutama di
Indonesia masih ditandai oleh keadaan amat variatif. Kondisi ke-Islaman seperti serupa ini
barangkali terjadi pula di berbagai negara lainnya. Kita tidak tahu persis apakah kondisi
demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus diterima sebagai suatu kenyataan
untuk diambil hikmahnya ataukah diperlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan
dan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang variatif itu. Untuk itulah dalam

menyikapi suatu permasalahan yang ada saat ini diperlukan kajian islam interdisipliner atau
kajian islam yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Sehingga
walaupun persoalan yang ada saat ini amat bervariasi tetap tidak akan keluar dari ajaran yang
terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya.

PEMBAHASAN
1. Pengertian Studi Islam Interdisipliner
Studi Islam di Barat dikenal dengan istilah Islamic Studies, secara sederhana
dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan
agama Islam. Dengan perkataan lain ”usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan
1

memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang
berhubungan dengan agama islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah
maupunpraktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari
sepanjang sejarah.”1
Zakiyuddin mendefinisikan islamic studies sebagai studi tentang tradisi teks-teks
keagamaan klasik dan ilmu-ilmu keagamaan klasik dan memperluas lingkupnya berarti
akan mengurangi kualitas kajiannya. Islamic studies berbeda dari ilmu-ilmu humaniora

dan ilmu-ilmu sosial dan akan diperlemah bila pendidikan berbasis kepercayaan tentang
islam dan studi tentang islam lintas disiplin berdasarkan kepada dua disiplin tersebut.
Islamic studies hanya sebagai distingsi yang dibuat dalam hubungannya dengan disiplindisiplin lainnya seperti christian studies.2
Studi islam adalah kajian ilmiah tentang islam. Istilah studi mengandung makna
kajian ilmiah, yaitu kajiannya didasarkan kepada fakta-fakta dan data yang dianalisis
secara ilmiah dengan berbagai pendekatan. Dengan kata lain, studi islam berarti
menjadikan Islam sebagai objek kajian. Jadi, bukan mejadikan Islam sebagai agama dan
seperangkat kepercayaan.
Lebih lanjut, Baharuddin membedakan objek kajian studi islam kepada dua objek
studi. Objek pertama disebutnya dengan studi tentang islam dan yang kedua disebutnya
dengan studi di dalam islam. Studi tentang islam adalah kajian ilmiah yang menjadikan
Islam sebagai objek studi. Sedangkan studi di dalam islam adalah kajian yang
menjadikan islam sebagai sumber inspirasi untuk membangun konsep-konsep dan teoriteori keilmuan dalam islam.3
Pengertin studi islam dilihat secara normatif sebagaimana yang terdapat di dalam
Al-Quran dan hadist, maka islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan
kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma analisis, kritis, metodologis,
historis, dan empiris. Sedangkan jika dilihat segi historisnya yakni islam dalam arti yang
dipraktikkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan
manusia.4
Sedangkan interdisipliner dalam kamus bahasa indonesia memiliki arti bidang

studi. Sedangkan definisi mengenai kata interdisipliner sendiri yaitu kata disiplin. Dari

1

Muhaimin,et al. Kawasan dan Wawasan dan Studi Islam, Jakarta: Perdana Media, 2005, h.1
Zakiyuddin, Studi Islam Pendekatan dan Metode, Yogyakarta: Insan Madani, 2011, hlm 2
3
Baharudin dan Buyung Ali Sihombing, Metode Studi Islam, Bandung: Citapusaka Media, 2005, h.28- 29
4
Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004
2

2

pengertian diatas dapat diketahui bahwa studi islam interdisipliner adalah cara pandang
terhadap sebuah masalah dari berbagai sudut pandang ilmu pengetahuan.5
2. Pendekatan Studi Islam Interdisipliner
Pendekatan interdisliner adalah kajian dengan menggunakan sejumlah pendekatan
atau sudut pandang (perspektif). Dalam studi misalnya menggunakan pendekatan
sosiologis, historis dan normatif secara bersamaan. Pentingnya penggunaan pendekatan

ini semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil penelitian yang hanya menggunakan
satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji teks agama, seperti Al-Qur’an dan
sunnah Nabi tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus
dilengkapi dengan pendekatan sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu
ditambah dengan pendekatan hermeneutik misalnya.
Studi Islam Interdisipliner merupakan pengembangan dan penjabaran dari tiga
topik yaitu pendekatan filsafat, sosiologi dan sejarah yang penekanannya lebih diarahkan
pada aspek aplikasinya. Pendekatan interdisipliner merupakan pendekatan yang
menggunakan beberapa ilmu yang relevan antara satu ilmu kajian dengan kajian yang
lain itu penerapanya serumpun. Dalam pembahasan ini akan dibahas tentang pendekatan
filsafat, sosiologi dan sejarah.
a. Pendekatan Filsafat
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada
kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat
sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman

manusia.

Dalam


kamus

umum

bahasa

Indonesia,

Poerwardaminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala
yang ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu.6
Menurut Sidi Gazalba, filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik,
radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat
mengenai segala sesuatu yang ada.7
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya
menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik obyek
fenomena.8
5


Faisar Ananda Arifa dkk, Metode Studi Islam Jalan Tengah Memahami Islam, Jakarta: PT Raja
Grapindo Persada, 2015, h.11
6
J.s Poewadarminta, kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, Cet. XII, hlm. 280
7
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat,Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, Cet.II, hlm.15

3

Menurut istilah (terminologi) filsafat islam adalah cinta terhadap hikmah dan
berusaha mendapatkan falsafah dan menciptakan sikap positif terhadap falsafah
islam.9
Contoh pendekatan filsafat agama Islam, ajaran agama Islam mengajarkan
agar shalat berjamaah. Tujuan antara lain agar seseorang merasakan hidup
berdampingan dengan orang lain, dengan mengajarkan puasa misalkan agar seorang
dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada sesamanya
yang hidup serba kekurangan, dengan menggunakan pendekatan filosofis ini
seseorang akan dapat memberikan makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan
dapat pula mendapat hikmah dan ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan
demikian ketika seoarang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa

kekeringan dan kebosanan, semakin mampu mengenali makna filosofis dari suatu
ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya spiritual
yang dimiliki seseorang.10
b. Pendekatan Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dengan masyarakat
dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu.
Sementara itu soejono soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian11
Sosiologi tidak menetap kearah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam
arti member petunjuk – petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan
dari proses kehidupan bersama tersebut. 12
Dari kedua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
menggambarkan keadaan masyarakat lengkap dengan struktur , lapisan ,serta sebagai
gejala social lainya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini , suatu fenomena social
dapat dianalisis dengan factor –faktor yang mendorong terjadi hubungan , mobilitas
social, serta keyakinan- keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.13
Dari segi sosiologi ini, pendekatan terhadap agama telah melahirkan berbagai
teori. Diantara teori-teori itu, yang sangat terkenal adalah tingkatan, yang salah satu
implikasi teologis terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan hadist, sebagai contoh
8


Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet.19, 2012 , hlm ,42
M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006, hlm 290
10
Abuddin Nata, Op, Cit, hlm 43-44
11
Hasan shadily, Sosiologi Untuk masyarakat Indonesia, bina Aksara, Jakarta,1983, hlm.1
12
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 18 dan 53
13
Abudin Nata, op. cit.., hlm. 39
9

4

mengenai wanita. Wanita Islam dalam kontekstual adalah munculnya rasa takut dan
berdosa bagi kaum wanita bila ingin “menggugat” dan menolak penafsiran atas diri
mereka yang tidak hanya disubordinasikan dari kaum laki-laki, tetapi juga dilecehkan
hak dan martabatnya. Akibatnya secara sosiologis mereka terpaksa menerima
kenyataan-kenyataan diskriminatif bahwa lelaki serba lebih dari perempuan, terutama

dalam hal-hal seperti: pertama, wanita adalah makhluk lemah karena tercipta dari
tulang rusuk pria yang bengkok; kedua, wanita separuh harga laki-laki; ketiga, wanita
boleh diperistri hingga empat; keempat: wanita tidak bisa menjadi pemimpin
Negara.14
Dalam kejadian wanita, kata nafs pada surat An-nisa: 1, tidak ditafsirkan
Adam, seperti anggapan mufasir tradisional, sebab konteks awal turunnya ayat ini
tidak hanya bermaksud menolak atau mengklaim tradisi-tradisi jahiliyyah yang masih
menganggap wanita sebagai makhluk yang rendah dan hina, tapi juga sekaligus
mengangkat harkat dan martabat mereka, sebagaimana terlihat pada ayat sesudahnya.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan konteks ayat ini,
maka kata nafs harus ditafsirkan dengan jenis sebagaimana dipahami para mufasir
modern, bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dengan jenis yang sama.
Dalam hal lain, ketika surat an-Nisa:3 berbicara tentang poligami dengan
persyaratan agar lelaki berlaku adil, peran inti yang dikemukakan sebenarnya adalah
keadilan bukan semata-mata pembatasan jumlah wanita yang boleh dikawini laki-laki.
Oleh karena itu tuntutan keadilan kualitatif beristri pada saat ini adalah satu saja dan
saling melengkapi bukan sebaliknya melecehkan haknya. Hal yang sama berlaku
ketika al-Qur’an surat an-Nisa’:7 berbicara tentang ketentuan waris untuk anak lakilaki dan wanita. Konteks masa itu tidak memungkinkan adanya kesamaan hak antara
laki-laki dan wanita, karena wanita pada saat itu tidak mendapatkan warisan tapi
diwariskan dan al-Qur’an mengubahnya dengan memberikan separuh jumlah yang

diterima laki-laki. Sekarang konteksnya telah berbeda dimana wanita telah banyak
diberikan hak dan kebebasan oleh al-Qur’an.
Demikian pula terhadap persoalan tidak bolehnya wanita menjadi kepala
negara. Larangan ini bersumber dari hadist yang diriwayatkan Bukhori ahmad nasa’I
dan At-turmudzi “tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin
mereka seorang wanita”. Berdasarkan konteks hadis tersebut maka selama dalam

14

M. Yatimin Abdullah, Op cit, h. 35

5

suatu negara dimana sistem pemerintahan berdasarkan musyawarah, seorang kepala
negara tidak lagi harus bekerja keras sendirian, tetapi dibantu oleh tenaga ahli sesuai
dengan bidangnya masing-masing yang pada akhirnya dapat lebih mudah memajukan
negaranya dan menyelamatkan dari mala petaka, maka tidak ada halangan bagi
seorang wanita menjadi menteri/kepala negara.
c. Pendekatan Sejarah
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai

peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, objek, latar belakang, dan
prilaku peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, peristiwa dapat dilacak dengan melihat
kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa
tersebut.15
Pendekatan historis ini digunakan sebagai upaya untuk menelusuri asal-usul
serta pertumbuhan pemikiran dan lembaga keagamaan melalui periode perkembangan
sejarah tertentu, serta untuk memahami perenankekuatan yang diperlihatkan oleh
agama dalam periode-periode tersebut.16
Oleh karena itu metodologi Sejarah adalah suatu periodisasi atau tahapan –
tahapan yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan dengan kemampuan
yang ada dapat mencapai kemampuan hakikat sejarah. Adapun yang dimaksud
dengan kenyataan dan kebenaran sejarah bukanlah harus sampai pada kenyataan dan
kebenaran mutlak. Karena hal itu berada diluar kemampuan , juga hilangnya petunjuk
misalnya bekas peninggalan atau karena ada tujuan dan kepentingan tertentu.
Melalui pendekatan sejarah, seseorang diajak menukik dari alam idealis ke
alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini , seseorang akan melihat
adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan
yang ada dialam empiris dan historis. Pendekatan sejarah ini amat dibutuhkan dalam
memahami agama , karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkrit
bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan.
Melalui pendekatan sejarah ditemukan informasi sebagai berikut:
a) Sejak kedatangan Islam, umat Islam tergerak hati, pikiran dan perasaannya untuk
memberikan perhatiannya terhadap agama.
b) Melalui pendekatan sejarah, dapat diketahui tentang adanya sistem pengaturan
atau konsep keilmuan tentang keislaman.
15
16

Rosihon Anwar ,Badruzzaman, Pengantar Studi Islam ,Cet 1,Bandung : Pustaka Setia, 2009, hlm, 90
Ibid

6

Pendekatan sejarah dalam mempelajari Islam merupakan profil campuran,
yakni sebagian dari praktik tersebut ada yang dipengaruhi oleh sejarah dan ada pula
yang dipengaruhi oleh adat istiadat dan kebudayaan setempat. Praktik pendidikan
dalam sejarah tidak selamanya mencerminkan apa yang dikehendaki ajaran Al-Qur'an
dan al-sunnah.
Informasi yang terdapat dalam sejarah bukanlah dogma atau ajaran yang harus
diikuti, melainkan sebuah informasi yang harus dijadikan bahan kajian dan renungan,
memilah dan memilih bagian yang sesuai dan relevan untuk digunakan.17
d. Pendekatan Antropologis
Antropologi berasal dari Bahasa Yunani ”anthropos” artinya manusia/orang,
dan ”logos” yang berarti wacana. Antropologis adalah adalah ilmu yang mempelajari
tentang segala aspek dari manusia terdiri dari aspek fisik dan non fisik dan berbagai
pengetahuan tentang kehidupan lainnya yang bermanfaat.
Pendekatan antropologis adalah salah satu upaya memahami agama dengan
cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Kajian antropologi dibagi empat, yaitu:
1)

Intelektualisme, yaitu mempelajari agama dari sudut pandang intelektual yang
mencoba melihat definisi agama dalam setiap masyarakat, kemudian melihat
perkembangannya (religius development) dalam suatu masyarakat. Strukturalis

2)

Fungsionalis

3)

Simbolis
Ketiga teori ini dikembangkan Emile Durkheim, mengilhami banyak orang

dalam melihat agama dari sisi yang sangat sederhana sekaligus menggabungkannya
secara struktur. Objek antropologi agama ada empat, yaitu:
1) Modus pemikiran primitif,
2) Komunikasi, seperti simbol dan mite,
3) Teori dan praktik keagamaan,
4) Praktik ritual sampingan seperti magic.

17

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Mizan ,Bandung ,1991, hlm. 88-89

7

Sedangkan aliran antropologi agama terdiri dari:
a) Aliran fungsional
Penelitian Brosnilaw Kacper Malinowski bertujuan mengetahui titik
pandang pemikiran masayarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan
serta mengatakan pandangan-pandangan mereka tentang dunia.
b) Aliran historis
Evans Pritchard dalam penelitiannya mengatkan bahwa aliran historis
adalah membandingkan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
c) Aliran struktural
Claude

Levi

Strauss mengemukakan

bahwa

bahasa

dan

mite

menggambaerkan kaitan antara alam dengan budaya dan hubungan antara alam
dan budaya itu ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang diteliti.
3. Pengertian Era Disrupsi dan Millenial
Akhir-akhir ini kita sedang menghadapi fenomena disrupsi. Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia, disrupsi didefinisikan hal tercabut dari akarnya. Jika diartikan dalam
kehidupan sehari-hari, disrupsi adalah sedang terjadi perubahan fundamental atau
mendasar, yaitu evolusi teknologi yang menyasar sebuah celah kehidupan manusia.
Digitalisasi adalah akibat dari evolusi teknologi (terutama informasi) yang
mengubah hampir semua tatanan kehidupan, termasuk tatanan dalam berusaha. Sebagian
pihak mengatakan bahwa disrupsi adalah sebuah ancaman. Namun banyak pihak pula
mengatakan kondisi saat ini adalah peluang.
Era disrupsi ini merupakan fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitasaktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, ke dunia maya. Fenomena ini
berkembang pada perubahan pola dunia bisnis. Kemunculan transportasi daring adalah
salah satu dampaknya yang paling populer di Indonesia.18
Generasi Millennial adalah terminologi generasi yang saat ini banyak
diperbincangkan oleh banyak kalangan di dunia diberbagai bidang, apa dan siapa
gerangan generasi millennial itu?. Millennials (juga dikenal sebagai Generasi Millenial
atau Generasi Y) adalah kelompok demografis (cohort) setelah Generasi X. Peneliti
sosial sering mengelompokkan generasi yang lahir diantara tahun 1980 an sampai 2000

18

https://www.kabar-banten.com/generasi-era-disrupsi/, diakses pada tanggal 4 Juni 2018

8

an sebagai generasi millennial. Jadi bisa dikatakan generasi millennial adalah generasi
muda masa kini yang saat ini berusia dikisaran 15 – 34 tahun.19
Sebagai generasi milenial yang hidup di era disrupsi, kita harus bisa segera
beradaptasi, dan mengenali bagaimana keadaan sekarang yang penuh dengan perubahan.
Tidak lagi sekedar berubah, melainkan langsung bergeser atau menggantikan yang sudah
berdiri sebelumnya dalam waktu yang cepat. Dampak dari adanya perubahan itu adalah
timbulnya permasalahan-permasalahan di semua sektor kehidupan, tidak terkecuali
dalam hal keagamaan. Dalam mengkaji Al-Qur’an dan Hadist terhadap suatu
permasalahan masa kini diperlukan kajian-kajian dari berbagai pendekatan, tidak bisa
hanya dengan pendekatan tekstual saja. Untuk itu dalam mempelajari suatu
permasalahan, perlu dikaji dari berbagai sudut pandang (interdisipliner).
4. Urgensi Studi Islam Interdisipliner di Era Disrupsi dan Milenial
Metodologi Studi Islam atau Dirasah Islamiyah, sepintas lalumerupakan disiplin
ilmu baru dalam kurikulum Nasional Program StrataSatu (S1) pada Perguruan Tinggi
Agama Islam, seperti pada InstitutAgama Islam Negeri (IAIN) di seluruh Indonesia.
Padahal, jika ditelusuridalam topik bahasan materi intinya tidak lain adalah “akumulasi”
dari kajian-kajian substansi keislaman yang sebelumnya materi intinya bersifatdasar
(pengantar). Materi-materi tersebut bahkan sampai sekarang masihdan akan dipelajari
sebagai ilmu dasar (islamic basic knowledge) khususnya di Perguruan Tinggi Agama
Islam negeri ini. Hanya saja, pengkajian masing masing ilmu dasar keislaman itu
disajikan secara “terpisah” satu sama lain. Namun, diskursus-diskursus yang ditawarkan
masih materi-materi yang sifatnya pengenalan dasar atau pengantar.20
Berangkat dari kesadaran akan kelemahan metodologi umat Islam dalammengkaji
Islam, maka pentingnya metodologi dalam kajian ilmu-ilmukeislaman di era modern ini.
Kemajuan bangsa Eropa dan Amerika bukanlah hal yang menjadirahasia lagi, baik dalam
metode penelitian, teknologi dan segala sisi pendidikannya. Dunia muslim jika ingin
menyusul mereka danmemenangi segala lini kehidupan dari pada mereka, mau atau tidak
harus belajar dengan ilmu-ilmu yang merekan kembangkan, paling tidak jika belum bisa
menandingi mereka dunia muslim harus bisa menyamakan tingkat kehidupan dan

19

http://alvara-strategic.com/generasi-millennial-indonesia-tantangan-dan-peluang-pemuda-indonesia/ diakses
pada tanggal 4 Juni 2018
20
Muhibuddin Hanafiah, “Revitalisasi Metodologi Dalam Studi Islam: Suatu Pendekatan Terhadap Studi
Ilmuilmu Keislaman”. Jurnal Ilmiah Didaktika, Volume 11, Nomor 02, Februari 2011 294

9

keilmuan dengan mereka, agar orang-orang muslim tidak selalu dipandang inverior, dan
memandang dunia Barat lebih superior. Problematika zaman era modern juga tidak
cukup diselesaikan dengan kajian-kajian Islam secara klasik, karena semakin maju
pergolakan

kehidupan

zaman,

konskwensinya

juga

akan

semakin

banyak

pula permasalahan baru yang semakin rumit untuk dipecahkan, metodologi studi Islam di
era modern juga harus menyesuaikan dengan era dan kultur budaya yang ada, selain itu
juga harus dikaji dari beberapa disiplin ilmu yang ada, agar pemahaman Islam menjadi
lebih komplek dan selalu memberikan solusi yang solutif, tidak stagnan dan kaku jika
diterapkan dalam kondisi yang lain.

PENUTUP
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam melakukan kajian terhadap
keilmuan, ada berbagai pendekatan keilmuan yang dapat digunakan untuk menguak dan
menemukan formulasi terhadap kajian secara mendalam dan spesifik Namun sesuai
perkembangan waktu, yang sekarang kita masuk di era disrupsi dan milenial ini, kajian
monodisiplin yang hanya membidik pada satu frame of work. Sementara tuntutan era modern
dibutuhkan kajian yang dapat membidik dari berbagai sudut sehingga akan mendapatkan
pemahaman yang holistik dan komprehensif.
Untuk mendapatkan hasil pemahaman tersebut dalam kajian keislaman dibutuhkan
tidak hanya satu pendekatan disiplin ilmu (monodisiplin). Penggunaan pendekatan
antropologis,

sosiologis,

filosofis,

hukum

dan

sebagainya

secara

bersama-sama

(interdisipliner), akan dapat menguak fakta secara utuh tanpa ada potongan-potongan
pemahaman. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa antara pendekatan monodisiplin
maupun interdisiplin tetap membawa karakteristik masing-masing sebagai ciri dan
kosekuensi pilihan bagi orang yang menggunakannya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin. 2006. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah
Anwar, Rosihon dan Badruzzaman. 2009. Pengantar Studi Islam Cet 1. Bandung : Pustaka
Setia
Arifa, Faisar Ananda dkk. 2015. Metode Studi Islam Jalan Tengah Memahami Islam. Jakarta:
PT Raja Grapindo Persada
Baharudin, Buyung Ali Sihombing. 2005. Metode Studi Islam. Bandung: Citapusaka Media.
10

Baidhawy, Zakiyuddin. 2011. Studi Islam Pendekatan dan Metode. Yogyakarta: Insan
Madani
Gazalba, Sidi. 1967. Sistematika Filsafat,Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan
Muhaimin. 2005. Kawasan dan Wawasan dan Studi Islam. Jakarta: Perdana Media
Muhibuddin Hanafiah, Revitalisasi Metodologi Dalam Studi Islam: Suatu Pendekatan
Terhadap Studi Ilmuilmu Keislaman. Jurnal Ilmiah Didaktika, Volume 11, Nomor 02,
Februari 2011
Nata, Abudin. 2004. Metodelogi Studi Islam. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Poewadarminta. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Shadily, Hasan. 1983. Sosiologi Untuk masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara
Soekanto, Soejono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali

11