Penadahan menurut fikih islam Un

PENADAHAN MENURUT PERSPEKTIF FIKIH ISLAM DAN KITAB UNDANGUNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
Oleh: Artiyanto
I. PENDAHULUAN
Sebagai negara berkembang dengan angka kemiskinan mencapai 28,28 juta penduduk
pada tahun 2014, atau setara 11,25 % dari total jumlah penduduk, 1 Indonesia menghadapi
problematika sosial yang kompleks, antara lain: tingginya angka kejahatan terhadap hak milik
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), angka
kejahatan terhadap hak milik dalam skala nasional yang terjadi pada tahun 2014 masih
didominasi kejahatan pencurian, yaitu sebanyak 24.538 kasus, pencurian dengan kekerasan
(mengggunakan sejata api/senjata tajam) sebanyak 10.4143 kasus, dan pencurian kendaraan
bermotor sebanyak 42.165, kasus penadahan sendiri sebanyak 354 kasus.2
Kejahatan pencurian terhadap harta benda tidak akan tumbuh subur jika tidak ada pihak
yang bersedia menampung dan membeli hasil curian itu, barang-barang hasil curian tidak
mungkin selalu untuk dimiliki dan digunakan sendiri oleh pencuri, melainkan juga untuk dijual.
Disinilah peran seorang penadah. Adanya penadah membuat transaksi atas barang hasil curian
menjadi mudah dan cepat, sehingga pencuri tidak lagi menjual barang hasil curiannya langsung
di tengah-tengah masyarakat dengan resiko ketahuan/kedapatan yang sangat tinggi juga
membutuhkan waktu lama. Dengan adanya penadah, pencuri atau perampok cukup membawa
barang hasil curian ke tempat penadah, lalu pulang dengan membawa uang tunai.
Di lain sisi, keberadaan penadah dapat membuat seseorang yang sedang membutuhkan
uang untuk berbagai keperluan, baik yang halal misalnya makanan, pakaian, biaya berobat, dll.,

maupun yang haram seperti kebutuhan pecandu narkoba terhadap sabu-sabu, peminum terhadap
minuman keras, akan dengan mudah berpikir untuk mendapatkan uang dengan cara pintas,
misalnya membegal3 sepeda motor, lalu pulang dengan membawa sejumlah uang. Jika tidak ada
penadah, aktifitas menjual sepeda motor hasil curian tentu akan lebih sulit jika dibandingkan
1

Badan Pusat Statistik, Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), Hal.

56-57.
2

Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal 2015, Hal. 37.
Membegal berarti merampas dijalan; menyamun. (Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008), Hal. 1264.
3

1

menjual kepada penadah. Maraknya aksi begal akhir-akhir ini yang diberitakan berbagai stasiun
televisi nasional tidak lepas dari peran penadah yang membuat aktifitas jual beli hasil curian

menjadi mudah. Karena itulah, penadahan (heling) disebut juga pemudahan (begunstinging)
karena peran seorang penadah yang mempermudah aktifitas pencurian, penggelapan atau
penipuan.4
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Penadahan
Secara bahasa penadahan berasal dari kata tadah, yaitu barang untuk menampung
sesuatu. Menadah berarti menampung atau menerima barang hasil curian (untuk menjualnnya
lagi). Sedang penadahan berarti proses, cara atau perbuatan menadah. Orang yang menerima atau
memperjualbelikan barang-barang curian dinamakan penadah atau tukang tadah.5
Menurut Kamus Hukum penadahan berarti menerima, membeli, menukar barang yang
berasal dari suatu kejahatan dan dapat dipersalahkan ikut membantu dalam suatu kejahatan.6
Dari pengertian di atas dapat disimpulakan bahwa penadahan adalah tindakan menerima,
membeli, menukar suatu barang yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan dan
dapat dituntut pidana karena turut serta membantu lahirnya tindak kejahatan.
B. Kriteria Penadah
Tidak semua pembeli barang hasil curian dinyatakan sebagai penadah karena bisa jadi
jual beli terjadi karena ketidaktahuan pembeli mengenai asal-usul barang yang ia beli. Hal ini
dapat dipahami sebab tidak ada kewajiban bagi pembeli untuk mengetahui asal usul barang yang
ia beli, sebagaimana tidak wajibnya penjual mengetahui untuk apa barang yang ia jual
digunakan.7

4

P.A.F.Lamintang dan C.Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus – Kejahatan Yang Dilakukan Terhadap
Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), Cet. Ke-2, Hal. 1,

P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus; Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-1, Hal. 362.
5

Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Bahasa Indonesia…, Hal. 1264.
Simorangkir, ddk, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hal. 123.
7
Kewajiban pembeli terbatas pada: (1) Membayar harga. (2) Menerima barang dan menanggung biayanya,
misalnya biaya angkut dan sebagainya. (3) Menggangung biaya-biaya yang menjadi kewajiban pembeli, misalnya
pembuatan akta dan sebagainya. Kewajiban penjual terbatas pada: (1) Menyerahkan barang. (2) menjamin kondisi
6

2

Agar tidak semua pembeli disangkakan sebagai penadah, Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) menjelaskan beberapa kriteria penadah dalam Pasal 480 yang menjadi dasar
hukum penadahan, yang berbunyi:8
“Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak Sembilan ratus rupiah karena penadahan:
1. Barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima sebagai
hadiah,

atau karena ingin

mendapat keuntungan,

menjual, menyewakan,

menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan suatu
benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari
kejahataan.
2. Barangsiapa menarik keuntungan dari hasil suatu barang benda, yang diketahuinya
atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.
Terkait pasal di atas, R. Soesilo menjelaskan bahwa: 9
1. Yang dinamakan “sekongkol” atau disebut pula “tadah” dalam bahasa asingnya

“heling”, itu sebenarnya perbuatan yang disebutkan pada sub 1 dari pasal ini.10
2. Perbuatan yang tersebut pada sub 1 dibagi atas dua bagian:
a. Membeli, menyewa, dan sebagainya (tidak perlu dengan maksud hendak
mendapat untung) barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh
karena kejahatan.
b. Menjual, menukarkan, menggadaikan, dan sebagainya dengan maksud hendak
mendapat untung barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh
karena kejahatan.
3. Elemen penting pasal ini adalah terdakwa harus mengetahui atau patut dapat
menyangka bahwa barang itu berasal dari kejahatan. Di sini terdakwa tidak perlu tahu
dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan,
barang bebas dari aib dan bebas dari kepemilikkan orang lain. Lihat: Musthafa Ahmad Al-Zarqa, ‘Âqd Al-Bai‘,
(Damaskus: Dar Al-Qalam, 2012 H/1433 H), Cet. Ke-2, Hal. 104 dst.
8
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006),
Vol. 1, Hal. 1757.
9
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), Hal. 314.
10

Dalam terjemahan KUHP yang penulis gunakan tidak terdapat kata “sekongkol” seperti penjelasan R.
Soesilo ini, berbeda dengan KUHP terjemahan R. Soesilo sendiri yang pada awal sub 1 dari pasal ini menyatakan
“karena sebagai sekongkol, barang siapa yang membeli, menyewa....” Lihat: R. Soesilo, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)…, Hal. 314 dst.

3

pemerasan, uang palsu atau lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut dapat
menyangka (mengira, mencurigai) bahwa barang itu bukan barang “terang”.
Untuk membuktikan elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam prakteknya
biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli
dengan di bawah harga, dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut
ukuran di tempat itu memang mencurigakan.
4. Barang asal dari kejahatan misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, penipuan,
pemalsuan uang, sekongkol, dll.
P.A.F. Lamintang menguraikan dengan lebih jelas unsur-unsur yang terdapat di dalam
rumusan kejahatan seperti di atur dalam pasal 480 ayat 1 dengan menyatakan bahwa unsur-unsur
yang terdapat di dalam pasal tersebut terdiri dari unsur-unsur obyektif dan unsur-unsur subyekif
sebagai berikut:11
a. Unsur-unsur obyektif:

1. membeli, menyewa, menukar, menerima sebagai gadai, menerima sebagai
hadiah;.
2. karena ingin mendapatkan keuntungan menjual, menyewakan, menukarkan;
memberikan sebagai gadai, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan.
3. (a) sebuah benda; (b) yang diperoleh karena kejahatan;
4. Penadahan;
b. Unsur-unsur subyektif:
1. yang ia ketahui;
2. yang ia patut dapat menduga.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan kejahatan seperti yang diatur dalam
pasal 480 ayat 2 juga terdiri dari unsur-unsur objektif dan unsur-unsur subyektif yaitu sebagai
berikut.
a. Unsur-unsur obyektif
1. mengambil keuntungan;
2. pendapatan dari suatu benda;
3. (a) sebuah benda; (b) yang diperoleh karena kejahatan;
b. Unsur-unsur subyektif
11

P.A.F.Lamintang dan C.Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus – Kejahatan Yang Dilakukan Terhadap

Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik…, Hal. 240-241.

4

1. yang ia ketahui;
2. yang ia patut dapat menduga.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa, seseorang terbukti/dinyatakan seagai penadah
apabila memenuhi unsur-unsur dalam pasal 480 KUHP di atas, khususnya perbuatan yang
disebutkan pada sub 1 dari pasal tersebut. Dengan demikian, apabila seseorang membeli,
menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak
mendapatkan untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan, atau
menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh
karena kejahatan, maka ia disebut sebagai penadah.12
C. Bentuk-Bentuk Penadahan
Berdasarkan rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang tindak
pidana penadahan yang terdapat pada pasal 480, 481 dan 482, dapat diketahui bahwa bentukbentuk penadahan yang dirumuskan oleh pembentuk undang-undang terdiri dari tiga bentuk
sebagai berikut.
1. Penadahan dalam bentuk pokok
Rumusan ini terdapat dalam ketentuan pasal 480 KUHP yang menyakatan: Diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan

ratus rupiah karena penadahan:
1) Barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima sebagai
hadiah, atau karena ingin mendapat keuntungan, menjual, menyewakan,
menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan suatu
benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari
kejahataan;
2) Barangsiapa menarik keuntungan dari hasil suatu barang benda, yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.
2. Penadahan sebagai kebiasaan
Tindak pidana penadahan yang sudah menjadi kebiasaan atau dilakukan lebih dari satu
kali diatur dalam pasal yang berbeda, yaitu pasal 480 dan dengan hukuman yang berbeda pula,
yaitu pidana penjara paling lama 7 tahun dan pencabutan hak-hak tertentu.13
12

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5297f87f6f637/kriteria-seorang-penadah, di akses pada
tanggal, 12/12/2016.
13
P.A.F.Lamintang dan C.Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus – Kejahatan Yang Dilakukan Terhadap
Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik…, Hal. 246.


5

1) Barang siapa menjadikan sebagai kebiasaan dengan sengaja membeli, menukar,
menerima gadai, menyimpan, atau menyembunyikan barang yang diperoleh dari
kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
2) Yang bersalah dapat dijatuhi pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 nomor
1-414 dan haknya untuk melakukan pekerjaan dalam mana kejahatan itu
dilakukan.
Dari pasal 481 dapat diketahui bahwa sebab pelaku tindak pidana yang diatur dalam pasal
481 KUHP diancam dengan hukuman yang lebih berat dari hukuman yang diberikan kepada
pelaku pidana dalam pasal 480 karena tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 481 telah
dilakukan oleh pelaku sebagai kebiasaan atau lebih dari satu kali (tegasnya harus terjadi dua
kali).
3. Penadahan ringan
Ketentuan mengenai penadahan ringan diatur dalam pasal 482 yang berbunyi:
Perbuatan tersebut dalam pasal 480, diancam karena penadahan ringan dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah,
bila benda tersebut diperoleh dari salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal
364, 373, dan 379.
Dari pasal di atas jelaslah bahwa suatu perbuatan dinyatakan sebagai penadahan ringan

apabila perbuatan yang disebutkan dalam pasal 480 KUHP dilakukan terhadap benda-benda
sebagai hasil kejahatan pencurian ringan, penggelapan ringan atau penipuan ringan, seperti yang
berturut-turut di atur dalam pasal 364, 373 dan 379 KUHP.15
D. Hukum Penadahan
Penentuan hukum penadahan dalam tulisan ini berangkat dari perspektif bahwa
penadahan memiliki sisi negatif sebagai berikut:

14

Pasal 35 ayat 1 berbunyi: Hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim dalam hal-hal
yang ditentukan dalam kita, undang-undang ini, atau dalam aturan umum yang lain, ialah:
1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2. hak memasuki angkatan bersenjata;
3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan tertentu;
4. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan,hak menjadi wali, wali
pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri.
15
P.A.F.Lamintang dan C.Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus – Kejahatan Yang Dilakukan Terhadap
Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik…, Hal. 248.

6

1. Penadahan dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan karena adanya
kemudahan yang diberikan oleh penadah, yaitu kemudahan menjual, seorang pencuri
atau penipu dapat memiliki uang dalam waktu cepat jika menjual barang curian
kepada penadah.
2. Penadahan merupakan bentuk tolong menolong dalam dosa dan kemungkaran.
Seseorang yang sudah mengetahui atau patut menduga bahwa barang yang akan ia
beli adalah hasil curian semestinya melapor kepada pihak yang berwenang atas
temuanya tersebut, bukan membeli hasil curian tersebut.
3. Dalam penadahan seorang pencuri atau penipu memakan harta pemilik barang dengan
cara bathil, kemudian penadah membantu pencuri untuk memakan harta pemilik
barang dengan cara membeli barang tersebut, penadah juga ikut serta memakan harta
tersebut dengan cara batail, yaitu dengan membeli barang curian itu dengan harta
yang pada umumnya sangat murah.
Berangkat dari perspektif di atas, penulis berpendapat bahwa dalil yang digunakan dalam
menentukan hukum penadahan terdiri dari Al-Qur`an, hadits dan dalil ‘aqlî sebagai berikut:
1. Al-Qur`an

          -1
  
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Qs. Al-Maidah: 2)
Wijh Al-Istidlâl: ayat di atas melarang orang mukmin untuk tolong menolong dalam dosa
dan pelanggaran, sedang penadah membantu pencuri/penipu dengan membeli barang hasil
curiannya, yang sudah diketahui atau patut diduga oleh pembeli bukan merupakan hak milik
pencuri.
2. Hadist

َ ّ ‫ ع َن النبي صََلّى اللََه ع َلَي ََه وسََل‬،َ‫ع َن أَبي هُري ََرة‬
َ ‫ه قَََا‬
‫ن‬
َ " :‫ل‬
ُ ّ ‫م أن‬
َ َ َ ِ ْ
ُ
ِ ْ
َ ّ ِّ ِ
َ ْ َ
ِ 16‫م‬
ُ
َ
َ
َ
."‫مهَا‬
ٌ َ‫سرِق‬
ً َ‫سرِق‬
ِ ْ ‫ة فَقَد ْ أشْ رِك فِي ع َارِهَا وَإث‬
َ ‫م أنّهَا‬
َ ‫اشْ ت َ َرى‬
ُ ‫ة وَهُوَ يَعْل‬
16

Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, (Bairut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2003 H/1424 H), Vol. 5, Hal. 547.

7

Dari Abu Huraira RA. dari Nabi SAW bersabda: “barang siapa yang membeli barang
hasil curian, sedang ia tahu bahwa barang tersebut adalah hasil curian, maka ia telah
bersekutu dalam aib dan dosanya. (HR. Baihaqi, Hadist No. 10826).
Wijh Al-Istidlâl: Hadist di atas menyatakan bahwa seseorang yang membeli barang hasil
curian, sedang ia mengetahui barang itu hasil curian, maka pembeli tersebut telah bersekutu
dalam aib dan dosa pencurian tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa, perbuatan membeli barang
hasil curian atau penipuan (penadahan) merupakan dosa yang haram untuk dilakukan.
3.Dalil ‘aqlî
Membolehkan penadahan akan membuka pintu bagi berbagai bentuk kejahatan terhadap
hak milik seperti pencurian, penggelapan dan penipuan. Dan Allah SWT ketika mengharamkan
sesuatu, misalnya pencurian, segala perantara yang dapat mengantarkan seseorang melakukan
pencurian juga diharamkan, misalnya penadahan. Sebagai implementasi kaidah fikih “sadd aldzarâ‘î”.
Kesimpulan: Dari dalil di atas dapat disimpulkan bahwa hukum penadahan adalah
haram berdasarkan dalil-dalil yang telah dikemukakan.
Pendapat di atas sejalan dengan fatwa Ibnu Taimiyyah yang menyatakan: “jika yang ada
di tangan mereka (yaitu orang Tartar) atau ditangan selain mereka merupakan harta yang
diketahui bahwa mereka mendapatkannya dengan cara merampas dari orang-orang yang
dilindungi hartanya, maka yang demikian tidak boleh membelinya bagi orang yang hendak
memiliki harta tersebut; tapi jika harta tersebut dibeli dengan maksud akan menyelamatkannya,
untuk diserahkan kepada pihak yang berwenang, sehingga kembali kepada pemiliknnya, jika itu
memungkinkan, atau harta itu dipergunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin, maka yang
begini dibolehkan.”17
E. Hukuman Penadah
1. Hukuman Penadah Menurut Fikih Islam
Sebelum membahas hukuman bagi penadah, terlebih dahulu perlu dikemukan bentuk
kesalahan yang dilakukan oleh penadah sehingga hukuman yang diberikan sesuai dengan bentuk
kesalahannya. Dalam hal ini kesalahan seorang penadah terletak pada transaksi yang ia lakukan
17

Ibnu Taimiyyah, Majmu‘ Al-Fatawa, Tahqiq: Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, (Madinah:
Majma‘ Al-Malik Al-Fahd, 1995 M/1416M), Vol. 29, Hal. 276.

8

yaitu membeli, menukarkan, menggadaikan dan sebagainya atas barang yang ia ketahui atau
patut ia duga berasal dari tindak kejahatan.
Penentuan hukuman bagi penadah dalam tulisan ini dilakukan dengan cara memasukkan
penadahan ke dalam salah satu jenis kejahatan ditinjau dari besarnya hukuman yang diberikan
atas kejahatan/tindak pidana tersebut.
Ditinjau dari besarnya hukuman yang berikan, kejahatan dalam fikih islam dibagi ke
dalam tiga jenis:18
Pertama, Kejahatan Hudud, yaitu kejahatan-kejahatan yang dihukum dengan hadd,
yaitu hukuman yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Dalam hukuman hadd, tidak ada batas
minimal dan maksimal, tidak boleh pula untuk dibatalkan oleh individu ataupun golongan karena
semata-mata merupakan hak Allah SWT. Jenis-jenis kejahatan hudud terbagi ke dalam tujuh
macam sebagai berikut: (1) zina; (2) menuduh berzina; (3) minum minuman keras; (4)
pencurian; (5) perampokkan; (6) murtad; (7) membangkang kepada pemerintah yang sah.
Penadahan tidak termasuk salah satu dari bentuk-bentuk kejahatan hudud, sehingga tidak
dapat dihukum dengan hukuman hudud.
Kedua, Kejahatan Qishash dan Diyat, yaitu kejahatan yang dihukum dengan hukuman
qishash atau diyat (denda). Qishash dan diyat juga merupakan hukuman yang telah ditetapkan
kadar dan batasannya, dalam arti kata tidak memiliki batas minimal atau maksimal dan
merupakan hak korban, di mana ia dapat menuntut pelaku kejahatan atau memberikan maaf.
Jenis-jenis kejahatan qishash dan diyat sebagai berikut: (1) membunuh dengan sengaja; (2)
membunuh serupa dengan sengaja; (3) membunuh karena kesalahan; (4) kejahatan terhadap
tubuh tidak sampai membunuh (seperti memukul, melukai) yang dilakukan dengan sengaja; (5)
kejahatan terhadap tubuh tidak sampai membunuh karena kesalahan.
Penadahan tidak termasuk salah satu dari bentuk-bentuk qishash atau diyat, sehingga
tidak dapat dihukum dengan qishash atau diyat.

18

Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‘ Al-Jinâ‘, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1997 M/1418 H), Cet. Ke-14,
Vol. 1, Hal. 78 dst.

9

Ketiga, Kejahatahan Ta‘zîr, yaitu kejahatan yang dijatuhi hukuman satu atau lebih dari
bentuk hukuman ta‘zîr. Hukuman ta‘zîr adalah “hukuman yang tidak ditetapkan batasnya dalam
syariat, yang wajib dilaksanakan terhadap pelanggaran atas hak Allah atau hak manusia terhadap
kemaksiatan yang tidak ditentukan hukumannya atau kafaratnya, pada umumnya.”19
Dalam syariat islam, hukuman tidak ditentukan, baik batas minimal ataupun batas
maksimal, akan tetapi cukup dengan memberikan salah satu bentuk bentuk hukumannya dari
yang paling ringan hingga yang paling berat. Pemilihan bentuk hukuman tersebut diserahkan
kepada hakim sesuai dengan tingkat kejahatannya atau pertimbangan kondisi pelaku kejahatan.
Bentuk-bentuk kejahatan/kemaksiatan yang dijatuhi hukuman ta‘zir adalah sebagai
beirkut:20
1) Meninggalkan kewajiban atau melakukan maksiat yang tidak ditetapkan batasan
hukumnnya. Contoh meninggalkan kewajiban, misalnya tidak membayar zakat, tidak
membayar hutang, tidak menjalankan amanat, tidak mengembalikan barang hasil
curian, menyembunyikan cacat barang yang dijual, dll. Contoh maksiat yang tidak
ditetapkan hukumannya, misalnya mencuri barang yang bernilai sangat rendah yang
tidak mencapi nishab, khalwat, bersaksi palsu, melakukan transaksi riba, dll.
2) Melakuan perbuatan yang pada dasarnya adalah perbuatan yang dibolehkan (mubah)
akan tetapi perbuatan tersebut mendatangkan kemudaratan, yang mana hukumnya
menurut banyak ulama adalah haram, khususnya kalangan malikiyyah berdasarkan
kaidah fikih “sadd al-dzarâ‘i”. Dengan demikian, perbuatan jenis ini dijatuhi
hukuman ta‘zîr apabila tidak ditemukan batasan hukuman yang ditetapkan oleh
syariat.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa penadahan termasuk salah satu dari
bentuk-bentuk kejahatan ta‘zîr yang hukumannya diserahkan kepada keputusan hakim
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya besar kecil nilai barang yang
ditadah, situasi tempat kejahatan terjadi, misalnya apakah kejahatan tersebut terjadi di daerah
yang makmur atau di daerah yang sedang paceklik, kondisi penadah, misalnya apakah penadahan
19

Wizarat Al-Auqaf wa Al-Syu`un Al-Islamiyay-Kuwait, Al-Mausû‘at Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,
(Kuwait: Dar Al-Salâsil, 1404-1427 H), Vol. 12, Hal. 254.
20
Wizarat Al-Auqaf wa Al-Syu`un Al-Islamiyay-Kuwait, Al-Mausû‘at Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah…,
Vol. 12, Hal. 257 dst.

10

tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan primer ataukah untuk memenuhi kebutuhan akan
hal-hal yang diharamkan dan sebagainya.
Bentuk-bentuk hukuman ta‘zîr yang dapat dijatuhkan kepada pelaku pidana kejahatan
ta‘zîr seperti halnya penadahan sebagai berikut: (1) hukuman mati, (2) hukuman cambuk, (3)
penahanan/penjara, (3) pengasingan, (4) hukuman keuangannya, misalnya pemblokiran,
pemusnahan harta/barang bukti atau pembayaran denda, (5) pemanggilan ke hadapan hakim, (6)
celaan dengan kata-kata, dll.21
2. Hukuman penadah menurut undang-undang
Kitab undang-undang hukum perdata (KUHP) memberikan hukuman yang berbeda-beda
terhadap penadah sesuai dengan tingkat kejahatannya sebagai berikut.
1. Penadahan dalam bentuk pokok, yang baru dilakukan sekali dijatuhi hukuman penjara
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 900 (sembilan ratus
rupiah).
2. Penadahan sebagai kebiasaan, yang dilakukan sekurang-kurangnya dua kali dapat
dihukumi pidana penjara paling lama tujuh tahun, dan dapat ditambah dengan
pencabutan hak-hak berikut:
1) hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2) hak memasuki angkatan bersenjata;
3) hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturanaturan tertentu;
4) hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan,hak
menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang
yang bukan anak sendiri.
3. Penadahan ringan yang dilakukan terhadap benda-benda sebagai hasil kejahatan
pencurian ringan, penggelapan ringan atau penipuan ringan dijatuhi hukuman pidana
penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 900 (sembilan
ratus rupiah).
21

Wizarat Al-Auqaf wa Al-Syu`un Al-Islamiyay-Kuwait, Al-Mausû‘at Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah…,
Vol. 12, Hal. 257 dst.

11

Dari penjelasan mengenai hukuman penadah di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
kesamaan hukuman yang diberikan oleh undang-undang dengan hukuman yang terdapat dalam
fikih islam, yaitu penadah dijatuhi hukuman ta‘zir dalam bentuk penahanan/pemenjaraan atau
pembayaran denda, meskipun hukuman yang diberikan oleh undang-undang lebih lebih jelas
dalam hal batasan-batasannya.
III.KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fikih islam belum memberikan
perhatian yang serius terhadap kejahatan penadahan sebagaimana halnya KUHP dan pakar
hukum positif. Hal ini dapat dilihat dari tidak ditemukannya pembahasan mengenai penadahan
dalam buku-buku fikih, atau paling tidak istilah lain dari penadahan dalam bahasa arab, sejauh
pengetahuan penulis. Meski demikian, para ulama telah membicarakan penadahan dari sisi
hukum melakukannya, yaitu membeli barang hasil kejahatan seperti yang dikemukan oleh Ibnu
Taimiyyah dalam Majmu` Al-Fatawa yang tidak membolehkan membeli barang hasil rampasan.
Dengan telah diketahuinya hukum penadahan menurut fikih islam dan undang-undang
hendaknya setiap orang terkhusus kaum muslimin lebih berhati-hati dalam membeli suatu barang
yang dapat diduga merupakan hasil kejahatan, misalnya barang tersebut dijual dengan harta yang
sangat murah, dalam kondisi tidak biasa misalnya tanpa surat, atau pada waktu yang tidak biasa,
misalnya tengah malam, agar tidak terjebak pada kejahatan penadahan atau disangkakan sebagai
penadah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baihaqi. 2003/1424. Sunan Al-Kubra, Vol. 5. Bairut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
Audah, Abdul Qadir Audah. 1997/1418. Al-Tasyri‘ Al-Jinâ‘, Vol.1. Beirut: Muassasah AlRisalah.
Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Badan Pusat
Statistik-Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Kriminal 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik-Jakarta.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. 2006, Vol. 1. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve.

12

Lamintang, P.A.F dan Samosir, C.Djisman. 2011. Delik-Delik Khusus – Kejahatan Yang
Dilakukan Terhadap Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik. Bandung:
Nuansa Aulia.
Lamintang, P.A.F dan Lamintang, Theo. 2009. Delik-Delik Khusus; Kejahatan Terhadap Harta
Kekayaan. Jakarta: Sinar Grafika.
Pusat Bahasa Depdiknas. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.
Simorangkir, ddk,. 2009. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Taimiyyah, Ibnu. 1995/1416. Majmu‘ Al-Fatawa, Vol. 29. Madinah: Majma‘ Al-Malik Al-Fahd.
Wizarat Al-Auqaf wa Al-Syu`un Al-Islamiyay-Kuwait. 1404-1427. Al-Mausû‘at Al-Fiqhiyyah
Al-Kuwaitiyyah, Vol. 12. Kuwait: Dar Al-Salâsil.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5297f87f6f637/kriteria-seorang-penadah, di akses
pada tanggal, 12/12/2016.

13