BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Peneliti Terdahulu - Analisa Pengaruh Kepemimpinan, Motivasi Kerja dan Komitmen Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Teaga Kerja Indonesia di Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Medan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Peneliti Terdahulu

  Sebagai bahan acuan hasil penelitian terdahulu dapat digunakan untuk melakukan penelitian selanjutnya, walaupun terdapat perbedaan objek atau variabel-variabel yang diteliti dan tempat penelitian tersebut dipakai sebagai gambaran dan perbandingan bagi peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian.

  1. Harahap (2007), melakukan penelitian dengan Judul Peningkatan Kualitas Pelayanan Penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (Analisis Pengaruh antara Kepemimpinan, Pendidikan Latihan Pegawai dan Komitmen Kerja terhadap Kualitas Pelayanan TKI (Kinerja pegawai di BNP2TKI). Penelitian dilakukan melalui penyebaran daftar pertanyaan kepada 50 orang responden, berjenis kelamin laki-laki sebanyak 68% dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 32%. Hasil penelitian dinyatakan bahwa variabel Kepemimpinan, Pendidikan Latihan dan Komitmen Kerja memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mutu pelayanan kepada TKI, menggunakan metode analisis regresi linier berganda , melalui uji f (pengujian secara simultan/serentak) memperoleh F hitung sebesar 16,616 dengan peluang kesalahan 0,000 dan uji t (pengujian secara individu) yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan derajat keyakinan sebesar 95 %, variabel Kepemimpinan memiliki nilai t hitung sebesar 2,340 > t tabel sebesar 1,96 dengan probabilitasnya dibawah 0,05 yaitu p = 0,000. Pendidikan Latihan memiliki nilai t hitung sebesar 2,770 > t tabel sebesar 1,96 dengan probabilitasnya dibawah 0,05 yaitu p = 0,000 dan Komitmen Kerja juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mutu pelayanan yaitu t hitung sebesar 3,394 > t tabel sebesar 1,99 dengan

  2

  probabilitasnya dibawah 0,05 yaitu p = 0,000. Dari hasil nilai R dijelaskan oleh variabel bebas (X1,X2,dan X3) secara simultan sebesar 59,8% sedangkan sisanya sebesar 40,2% dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini.

  2. Lestari (2007) penelitian dengan judul Analisis Faktor – Faktor yang berpengaruh Terhadap Pelayanan Pengurusan dokumen TKI pada Penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah (Studi Kasus Pada PT. Satria Muda Utama Jakarta) , Responden penelitian berjumlah 121 karyawan, pengambilan sampel dengan random sampling yaitu secara acak tanpa tanpa memperhatikan strata yang ada pada populasi . Structural Equation Modeling (SEM) yang dijalankan dengan perangkat lunak AMOS, digunakan untuk menganalisis data bahwa variabel Kepemimpinan dan variabel Motivasi Kerja berpengaruh signifikan terhadap Kualitas Pelayanan Pengurusan paspor TKI. Kepemimpinan memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap kualitas pelayanan kepada TKI.

  Adapun pada tabel 2.1 menunjukkan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang yang digunakan sebagai gambaran dan perbandingan bagi peneliti selanjutnya.

Tabel 2.1 Perbedaan Penelitan Terdahulu dengan Penelitian Sekarang

  No . Peneliti Terdahulu Peneliti Sekarang

  1. Nama dan Tahun : :

  Harahap (2007) Lestari (2007) Nainggolan (2013)

  2. Judul Penelitian :

  • Peningkatan Kualitas Pelayanan penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (Analisis Pengaruh antara Kepemimpinan, Kemampuan dan Pendidikan Latihan
  • Analisis Faktor Faktor yang berpengaruh Terhadap Pelayanan Pengurusan dokumen TKI pada Penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah (Studi Kasus Pada PT. Satria Muda Utama Jakarta)
  • Analisa pengaruh kepemimpinan, Motivasi Kerja dan Komitmen Pegawai terhadap kualitas pelayanan penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Medan.
  • 50 orang responden, berjenis kelamin 68% laki-laki dan 32% berjenis kelamin perempuan
  • 121 responden, pengambilan sampel dengan random
  • 35 orang dari seluruh pegawai yang dijadikan sampel (sensus) dan 35 orang TKI
  • Analisa data dengan regresi linear berganda
  • Structural Equation
  • Analisa data dengan regresi linear berganda
  • Bahwa variabel
  • Bahwa variabel
  • Secara simultan kepemimpinan, motivasi kerja dan komitmen perpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan pegawai BP3TKI Medan kepada Tenaga Kerja Indonesia. Secara parsial menunjukkan variabel kepemimpinan, motivasi kerja dan komitmen masing -
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (Data Diolah)

  Pegawai terhadap Kualitas Pelayanan TKI (Kinerja pegawai di BNP2TKI).

  3. Populasi dan : Sampel

  sampling yaitu secara

  acak

  4. Metode Penelitian :

  Modeling (SEM) yang

  dijalankan dengan perangkat lunak AMOS

  5. Hasil Penelitian :

  Kepemimpinan, Kemampuan dan Pendidikan Latihan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mutu pelayanan kepada TKI, menggunakan metode analisis regresi linier berganda, melalui uji f (pengujian secara simultan) dan uji t (pengujian secara

  Kepemimpinan dan variabel Motivasi Kerja memberikan kaitan erat dan pengaruh yang signifikan terhadap Kualitas Pelayanan Pengurusan paspor TKI. Pengaruh yang ditunjukkan dikatakan bahwa variabel kepemimpinan memiliki pengaruh yang paling dominan

2.2. Teori Kepemimpinan

2.2.1. Pengertian dan Defenisi Kepemimpinan

  Pada suatu organisasi pimpinan merupakan unsur terpenting, karena memiliki daya kemampuan mempengaruhi dan menggerakkan manusia lainnya bekerja untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan merupakan proses dimana pimpinan mempengaruhi sikap dan perilaku pengikut untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan merupakan faktor yang paling penting dalam kegiatannya menggerakkan orang lain untuk bekerja sama dalam pencapaian tujuan.

  Banyak definisi kepemimpinan yang menggambarkan asumsi bahwa kepemimpinan dihubungkan dengan proses mempengaruhi orang baik individu maupun masyarakat. Robbins dan Judge (2008:49) mendefenisikan kepemimpinan (leadership) sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai suatu visi atau serangkaian tujuan yabng ditetapkan. Hersey, Blanchard dan Johnson (2007) : individu) berpengaruh signifikan terhadap Y (Pelayanan). terhadap kualitas pelayanan kepada TKI. masing berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan. Kepemimpinan merupakan faktor yang dominan dalam mempengaruhi kualitas pelayanan pegawai BP3TKI Medan terhadap Tenaga Kerja Indonesia.

  “Leadership is the process of influencing the activities of an individual or a group in efforts toward goal achievement in a given situation “

  (Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan – kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam suatu situasi tertentu).

  Cleary (2009) membagi defenisi kepemimpinan dilihat dari aneka sudut pandang antara lain : 1)

  Dari segi organisasi Kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi, mendorong sejumlah orang (dua orang atau lebih) agar bekerja sama dalam menentukan tujuan melaksanakan kegiatan -kegiatan yang terarah pada tujuan bersama.

  2) Dalam konteks Struktural

  Kepemimpinan diartikan sebagai proses pemberian motivasi agar orang-orang yang dipimpin melakukan kegiatan atau pekerjaan sesuai dengan program yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga berarti usaha mengarahkan, membimbing, dan mempengaruhi orang lain, agar pikiran dan kegiatannya tidak menyimpang dari tugas pokok unit / bidangnya masing-masing. Kepemimpinan merupakan inti dari manajemen yang berarti bahwa menajemen akan mencapai sasarannya apabila ada kepemimpinan yang tepat.

  3) Dalam konteks nonstruktural

  Kepemimpinan diartikan sebagai proses mempengaruhi pikiran, perasaan, tingkah laku dan mengarahkan semua fasilitas untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan secara bersama pula. Hersey dan Blanchard (dalam Cleary, 2009) dalam konteks

  Kepemimpinan situasional adalah merupakan kepemimpinan yang didasarkan atas hubungan saling mempengaruhi antara (1).Tingkat bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin (perilaku tugas), (2). Tingkat dukungan sosioemosional yang disajikan pemimpin (perilaku hubungan) dan (3).Tingkat kesiapan yang diperlihatkan bawahan dalam melaksanakan tugas, fungsi atau tujuan tertentu (kematangan bawahan). Berdasarkan teori kepemimpinan situasional, tidak ada satu gaya kepemimpinan yang paling efektif untuk semua organisasi.

  Kepemimpinan yang efektif adalah perilaku kepemimpinan yang sesuai dengan karakteristik organisasi, terutama kondisi kematangan bawahan.

2.2.2. Peran Pemimpin

  Peran kepemimpinan meliputi memotivasi bawahan dan menciptakan kondisi yang menyenangkan dalam melaksanakan pekerjaan kepemimpinan berusaha untuk membuat perubahan dalam organisasi dengan (1) menyusun visi masa depan dan strategi untuk membuat perubahan yang dibutuhkan (2) mengkomunikasikan dan memperjelas visi, dan (3) memotivasi dan memberi inspirasi kepada orang lain untuk mencapai visi itu, dan kepemimpinan sebagai hubungan pengaruh ke berbagai arah antara pemimpin dan bawahannya yang mempunyai tujuan yang sama dalam mencapai perubahan yang sebenarnya. Dalam penelitian definisi operasional dari kepemimpinan akan tergantung pada seberapa luas tujuan para peneliti (Allen , Meyer dan Smith, 1997).

  Dalam perspektif pelayanan publik, peran pemimpin harus mampu membawa organisasi publik memberikan pelayanan prima. Karena pada hakekatnya dibentuknya organisasi publik adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. bahwa organisasi publik dikatakan efektif apabila dalam realita pelaksanaannya birokrasi dapat berfungsi melayani sesuai dengan kebutuhan masyarakat (client), artinya tidak ada hambatan (sekat) yang terjadi dalam pelayanan tersebut, cepat dan tepat dalam memerikan pelayanan, serta mampu memecahkan fenomena yang menonjol.

2.2.3. Model dnn Gaya Kepemimpinan

  Robbins dan Judge (2008) mengemukakan ada empat macam model kepemimpinan bila dikaitkan dengan ciri kepribadian seorang pemimpin. Yaitu :

1. Model kepemimpinan kontigency (Model Fiedler.l974), 2.

  Model jalur-tujuan (Model Houss Path Goal, l974); 3. Model Partisipasi (Model Vroom-Yetton,l973) dan 4. Model situasi (l977).

  Dari keempat model tersebut model situasi merupakan penyempurnaan dari kelemahan-kelemahan teori yang ada sebelumnya. Efektivitas kepemimpinan seseorang pada tingkat yang sangat dominan ditentukan oleh kemampuannya untuk membaca situasi yang dihadapi dan menyesuaikan dengan gaya kepemimpinannya sedemikian rupa agar cocok dan mampu memenuhi tuntutan situasi yang dihadapi. Kepemimpinan situasional menggunakan dua dimensi kepemimpinan yang sama seperti dikenali oleh Fiedler : perilaku tugas dan hubungan. Tetapi Hersey dan Blanchard (2007) melangkah lebih jauh dengan menganggap masing masing dimensi sebagai tinggi atau rendah dan kemudian menggabung semuanya menjadi empat perilaku pemimpin yang spesifik pada gaya kepemimpinan situasional yaitu : 1.

   Telling/ konsultatif (orientasi tugas tinggi-hubungan rendah); pemimpin

  mendefinisikan peranan-peranan yang dibutuhkan untuk melakukan tugas dan mengatakan pada pengikutnya apa, dimana, bagaimana dan kapan untuk melakukan tugas-tugasnya.

  2. Selling/instruktif (orientasi tugas tinggi hubungan tinggi) : pemimpin

  menyedikan instruksi-lntruksi terstruktur bagi pengikutnya tetapi juga sportif. Melalui komunikasi dua arah dan penjelasan-penjelasan terarah tentang hal-hal yang perlu dilakukan, pemimpin juga harus mengusahakan dukungan secara psikologis agar para pegawai secara sukarela melaksanakan tugas sesuai harapan pemimpin.

  3. Participating/peran serta (orientasi tugas rendah-hubungan tinggi) :

  pemimpin dan pengikut saling berbagi dalam keputusan - keputusan menegenai bagaimana yang paling baik untuk menyelesaikan suatu tugas dengan kualitas tinggi.

  4. Pendelegasian (orientasi tugas rendah- hubungan rendah ) : pemimpin

  menyediakan sedikit pengarahan secara seksama, spesifik, atau dukungan pribadi terhadap pengikutnya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi orang lain seperti yang ia lihat (Robbins dan Judge, 2008). Kebanyakan orang menganggap gaya kepemimpinan merupakan tipe kepemimpinan. H a l i n i b a h w a g a y a k e p e m i m p i n a n seseorang adalah identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan.

  Ada beberapa ciri perilaku yang menunjukkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan hubungan manusia. Goleman dan Boyatzis (2003) mengemukakan empat ciri, yaitu memberikan dukungan, menjalin interaksi, merancang tugas-tugas dan menetapkan tujuan. Dua komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu merancang tugas-tugas dan menetapkan tujuan. Dua komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia, yaitu memberikan dukungan dan menjalin interaksi. Berdasarkan dua orientasi kepemimpinan tersebut, selanjutnya gaya kepemimpinan bisa diklasifikasi menjadi empat, yaitu: (1) task oriented

  

leadership , yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada tugas, dan

  rendah pada hubungan manusia, (2) relationship oriented leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada hubungan manusia, tetapi rendah pada tugas, (3) integrated leadership, yakni gaya kepemimpinan yang beroirientasi tinggi pada tugas dan hubungan manusia, dan (4) impoverished

  

leadership , yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi rendah pada tugas dan

  hubungan manusia (Goleman dan Boyatzis, 2003) Pendekatan gaya kepemimpinan menjelaskan perilaku kepemimpinan yang membuat seseorang menjadi pemimpin yang efektif.

  Dari uraian diatas maka defenisi kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kegiatan – kegiatan atau pekerjaan para bawahannya dimana pemimpin memberikan dukungan, komunikasi, kesempatan berinnovasi, berinpirasi dan mengupayakan partisipasi sukarela para bawahannya dalam usaha mencapai tujuan dan sasaran organisasi/instansi. Selanjutnya gaya atau model kepemimpinan pada instansi BP3TKI Medan diidentifikasi berupa pendekatan model Kepemimpinan yang Situasional. Pendekatan ini, menggambarkan bahwa gaya yang digunakan tergantung pada pemimpinnya sendiri, dukungan, pengikutnya, dan situasi yang kondusif. Untuk menganalisis motivasi pokok bawahannya, pemimpin dapat menempatkan pada situasi yang sesuai. Kualitas hubungan pemimpin dengan anggota kelompok adalah yang paling berpengaruh pada efektivitas kepemimpinannya sehingga kepemimpinannya tidak begitu perlu mendasarkan pada kekuasaan formalnya. Sebaliknya, jika ia tidak disegani atau tidak dipercaya maka ia harus didukung oleh peraturan yang memberi ketenangan untuk menyelesaikan tugasnya.

2.3. Motivasi Kerja

2.3.1. Pengertian Motivasi Kerja

  Motivasi adalah dorongan yang dilimiliki seseorang untuk bertindak dan berperilaku secara tertentu sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang diharapkan. Mondy (2010) memberikan defenisi motivasi kerja sebagai kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi, untuk mencapai tujuan- tujuan organisasi, yang di kondisikan oleh kemampuan upaya demikian, untuk memenuhi kebutuhan individual tertentu. Motivasi dapat pula dipandang sebagai

  bagian integral dari administrasi kepegawaian dalam rangka proses pembinaan, pengembangan dan pengarahan tenaga kerja dalam suatu organisasi. Motivasi menurut Siagian (2008) adalah dimensi atau energi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan Menurut Vroom yang dikutip penulis yang sama (2005,70) motivasi sebagai suatu proses yang menentukan pilihan antara beberapa alternatif dan kegiatan sukarela. Sebagian besar perilaku dipandang sebagai kegiatan yang dapat dikendalikan orang secara sukarela.

  Menurut Luthans (2006) Proses timbulnya motivasi umumnya diawali dengan munculnya suatu kebutuhan (needs) yang belum terpenuhi sehingga menyebabkan adanya ketidakseimbangan antara fisik dan psikologis dalam diri seseorang. Kemudian ketidakseimbangan tersebut menyebabkan orang berusaha untuk menguranginya dalam berprilaku tertentu. Usaha inilah yang disebut dorongan (drives), misalnya kebutuhan makan diwujudkan dalam bentuk dorongan rasa lapar dan kebutuhan untuk berteman menjadi dorongan untuk bersosialisasi. Selanjutnya orang tersebut akan menerima insentif (incentive) sebagai akibat dari usaha yang ia lakukan.

2.3.2. Teori Motivasi Kerja

  Pada bagian ini Siagian (2007) menyampaikan dua teori tentang motivasi kerja yaitu teori isi (content theory) dan teori proses (process

  theories ), yang masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Teori Isi (content theory)

  Teori isi dari motivasi kerja mencoba menentukan apakah hal itu yang memotivasi orang dalam bekerja. Teori ini menekankan arti pentingnya pemahaman faktor-faktor yang ada dalam diri individu yang menyebabkan mereka bertingkah laku.

  Teori isi kadang-kadang juga disebut teori kebutuhan, teori-teori tersebut diantaranya adalah :

  1. Teori Hirarki Kebutuhan dari Maslow Jika suatu kebutuhan telah terpenuhi maka kebutuhan berikutnya menjadi dominan. Untuk memotivasi seseorang, perlu diketahui tingkat hirarki kebutuhannya saat ini, dan memusatkan perhatian pada pemenuhan kebutuhan tersebut dan di atas tingkat tersebut.

  2. Teori ERG dari Alderfer Teori ini berusaha meninjau kembali teori hirarki kebutuhan agar lebih sesuai dengan hasil riset empiris. Revisi terhadap hirarki kebutuhan berupa penggolongannya menjadi tiga kelompok kebutuhan inti, yang disingkat ERG, yaitu : Eksistensi (existence), Keterikatan (relatedness), Pertumbuhan (growth).

  3. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor) Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.

b. Teori Proses (process theory)

  Pendekatan teori ini menentukan pada bagaimana dan dengan tujuan apa setiap individu dapat dimotivasi. Dasar teori ini adalah adanya expextancy (harapan) yaitu apa saja yang dipercayai oleh para individu akan mereka peroleh dari tingkahlaku mereka. Faktor tambahan dari teori ini adalah valency atau kekuatan dari preferency individu terhadap hasil yang diharapkan.

  1. Teori Harapan dari Vroom Teori harapan menyatakan bahwa kecenderungan berperilaku dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan harapannya bahwa perilaku tersebut akan memberikan hasil yang menarik bagi individu tersebut. Teori ini menunjukka hubungan antara : upaya dengan prestasi, prestasi dengan imbalan, dan imbalan dengan kepuasan tercapainya tujuan.

  2.Teori Lawler Teori motivasi dari Lawler menyatakan bahwa teori harapan dari motivasi dengan versi orientasi masa yang akan datang juga menentukan antisipasi tanggapantanggapan atau hasil-hasil.

  3. Teori Keadilan dari Adams Teori keadilan (equty theory) menyatakan bahwa individu membandingkan masukan pekerjaannya (upaya yang disumbangkan) dengan keluaran (imbalan yang diterima) antara diri dan pembandingannya, kemudian melakukan reaksi terhadap ketidakadilan yang dialaminya.

  4. Teori Penguatan dari Skiner Teori penguatan (reinforcement theory) menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh (atau merupakan fungsi dari) konsekuensinya. Teori penguatan menganggap perilaku disebabkan oleh lingkungan, yaitu apa yang diterima dari luar sebagai konsekuensi dari perilakunya. Teori ini mengabaikan keadaan internal individu berupa faktor-faktor kognitif seperti perasaan, sikap, harapan yang mempengaruhi perilaku.

2.3.3. Faktor Penggerak Motivasi

A. Faktor Internal

  Tentu banyak faktor yang menyebabkan karyawan mempunyai motivasi kerja yang tinggi atau rendah, namun secara garis besar motivasi dapat bersumber dari faktor internal dan faktor eksternal tergantung dari mana suatu kegiatan dimulai. Siagian (2008) menyatakan faktor yang cenderung ke arah faktor internal yang mempengaruhi motivasi adalah faktor yang didasarkan pada Teori Dua Faktor dari Herzberg (Herzberg Two Factor

  

Theory ), didasarkan pada pembagian Hierarki Maslow menjadi kebutuhan atas

  dan kebutuhan bawah. Kondisi kerja yang memungkinkan individu memenuhi kebutuhan tingkat atas disebut sebagai faktor motivator yang diklasifikasikan kedalam faktor internal, antara lain : (1) Tanggung Jawab (Responsibiliy), merupakan besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan diberikan pada seorang individu.

  (2) Kemajuan (Advancement), merupakan besar kecilnya kemungkinan individu dapat maju dalam pekerjaannya.

  (3) Pekerjaan itu sendiri, merupakan besar kecilnya tantangan yang dirasakan individu dari pekerjaannya.

  (4) Pencapaian (Achievement), besar kecilnya kemungkinan individu mencapai prestasi kerja yang tinggi.

  (5) Pengakuan (Recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan individu atas unjuk kerjanya.

  Robbins dan Judge (2008), menjelaskan pula bahwa Teori Kebutuhan McClelland (McClelland’s Theory of Needs) juga dapat mendukung faktor internal yang dapat mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja. Teori tersebut berfokus pada tiga kebutuhan, kekuatan dan hubungan : (1) Kebutuhan Pencapaian (Need for Achievement), merupakan dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil.

  (2) Kebutuhan Kekuatan (Need for Power), merupakan kebutuhan untuk membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga akan berperilaku sebaliknya. (3) Kebutuhan Hubungan (Need for Affiliation), keiginan untuk menjalin suatu hubungan antar personal yang ramah dan akrab.

B. Faktior Eksternal

  Teori motivasi eksternal menjelaskan kekuatan-kekeuatan yang ada di dalam individu yang di pengaruhi faktor-faktor intern.untuk itu : gaji, kondisi kerja, penghargaan, hub. Kerja, tanggung jawab ,teori motivasi eksternal tidak mengabaikan teori motivasi internal, tetapi justru mengembangkan nya.

  Pimpinan dan manajer dapat menggunakan motivasi eksternal yang positif maupun negatif. Motivasi positif merupakan penghargaan atas prestasi yang sesuai, sedangkan motivasi negatif mengenakan sanksi jika prestasi tidak dapat dicapai. Siagian (2008) menyatakan bahwa faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja dijelaskan pula oleh Teori Dua Faktor dari Herzberg (Herzberg Two Factor Theory). Teori Dua Faktor Herzberg didasarkan pada pembagian Hierarki Maslow menjadi kebutuhan atas dan kebutuhan bawah. Faktor yang dapat memenuhi kebutuhan tingkat bawah dinamakan faktor higyene yang merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja, yaitu: (1) Administrasi dan Kebijakan Perusahaan, merupakan derajat kesesuain yang dirasakan individu dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahaan. (2) Penyeliaan, merupakan derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan diterima individu.

  (3) Gaji, merupakan derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan unjuk kerjanya.

  (4) Hubungan antar Pribadi, merupakan derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan individu lain.

  

(5) Kondisi Kerja, merupakan derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses

pelaksanaan tugas pekerjaannya.

  Pendapat ini didukung oleh Teori Keseimbangan (Equity Theory) yang menyatakan bahwa setiap orang yang memasuki dunia kerja mengharapkan hasil (outcome) yang diterima sesuai dengan yang telah diberikannya untuk organisasi (input) dan dengan yang diterima orang lain di lingkungan pekerjaannya atau organisasi lain (dalam Mondy, 2010). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja adalah faktor internal dan faktor eksternal.

  2. 4. Komitmen

2.4.1. Pengertian

  Komitmen organisasi secara umum dapat diartikan sebagai keterikatan pegawai pada organiasasi dimana pegawai tersebut bekerja. Komitmen dibutuhkan oleh organisasi agar sumber daya manusia yang kompeten dalam organisasi dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Komitmen organisasi didefinisikan sebagai pengukur kekuatan pegawai yang berkaitan dengan tujuan dan nilai organisasi (Steers, dalam Robbins dan Judge, 2008).

  Komitmen dalam berorganisasi dapat terbentuk karena adanya beberapa faktor, baik dari organisasi, maupun dari individu sendiri. pendapat Allen dan Meyer (1997) yang mengklasifikasikan komitmen organisasional dalam tiga dimensi, yaitu komitmen afektif (affective coummitment), komitment continuance (continuance commitment), dan komitmen normatif

  

(normiative commitment ). Dalam perkembangannya affective commitment,

continuance commitment, dan normative commitment, masing-masing memiliki

  pola perkembangan tersendiri.

  Luthans (2006) mendefenisikan Komitmen dipandang sebagai suatu orientasi nilai terhadap organisasai yang menunjukan individu sangat memikirkan dan mengutamakan pekerjaan dan organisasinya. Individu akan berusaha memberikan segala usaha yang dimilikinya dalam rangka membantu organisasi mencapai tujuannya. Robbins (2003) membagi variabel komitmen organisasi dalam tiga katagori yaitu: (1) karakteristik personel dari setiap anggota organisasi yang meliputi umur, pendidikan, jenis kelamin, dan kebutuhan akan pencapaian; (2) karakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan yang terdiri dari beberapa variable seperti penekanan peran (konflik dan ketidakjelasan peran) serta (karakteristik tugas dan pengalaman kerja yang meliputi variabel seperti sikap kepemimpinan (inisiatif dari organisasi dan pertimbangan dari pimpinan) serta struktur organisasi (formalisasi dan pertisipasi dalam pengambilan keputusan). Mengingat fokus penelitian ini adalah pada faktor-faktor organisasi maka penelitian ini hanya dibatasi kepada karakteristik-karakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan.

2.4.2 Dimensi Komitmen

  Allen dan Mayer (1997) megemukakan 3 (tiga) dimensi dari komitmen organisasional, yaitu :

1. Continuance commitment, yaitu komitmen yang berdasarkan pada kesadaran

  anggota organisasi akan mengalami kerugian berhubungan dengan pemberhentian pekerjaan dengan organisasi. Karyawan memiliki penilaian pragmatis atas biaya dan manfaat dari yang tertinggal dengan organisasi. Terdapat kecenderungan karyawan untuk tinggal di organisasi karena karyawan tidak mampu untuk meninggalkan organisasi.

  Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi. Berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi. Jika individu tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada tahap selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang dapat menyebabkan kinerja yang buruk. Continuance commitment tidak berhubungan atau memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota organisasi atau indikator hasil pekerjaan selanjutnya, kecuali dalam kasus- kasus di mana job retention jelas sekali mempengaruhi hasil pekerjaan. Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan lebih bertahan dalam organisasi dibandingkan yang rendah. Hal menarik lainnya, semakin besar continuance commitment seseorang, maka ia akan semakin bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan baik.

  2. Affective commitment, merefleksikan penyertaan emosional pada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan dalam organisasi. Terdapat maksud karyawan untuk tinggal di organisasi karena keinginan kuat untuk melakukan. Komitmen ini meliputi loyalitas, tetapi juga merupakan perhatian yang dalam terhadap kesejahteraan organisasi.

  

Affective commitment ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan

  keinginan untuk menyarankan suatu hal demi kemajuan (voice) dan menerima sesuatu hal sebagaimana adanya mereka (loyalty) dan berhubungan negatif dengan tendency untuk bertingkah laku pasif ataupun mengabaikan situasi yang tidak memuaskan (neglect). Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk melakukan internal whistle- blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian yang berwenang dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan atau kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).

  3. Normative commitmen, berhubungan dengan perasaan karyawan atas kewajiban atau tanggung jawab untuk tinggal bersama organisasi. Karyawan memelihara keanggotaan di dalam organisasi. Individu dengan normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer & Allen (dalam Cleary,2009) menyatakan bahwa perasaan semacam itu akan memotivasi individu untuk bertingkahlaku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi. Namun adanya normative commitment diharapkan memiliki hubungan yang positif dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti job performance, work attendance, dan organizational citizenship. Normative commitment akan berdampak kuat pada suasana pekerjaan.

2.4.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komitmen

  Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen dalam berorganisasi adalah karakteristik pribadi individu, karakteristik organisasi, dan pengalaman selama berorganisasi (Allen dan Meyer, 1997). Yang termasuk ke dalam karakteristik organisasi adalah struktur organisasi, desain kebijaksanaan dalam organisasi, dan bagaimana kebijaksanaan organisasi tersebut disosialisasikan. Karakteristik pribadi terbagi ke dalam dua variabel, yaitu variabel demografis; dan variabel disposisional.

  Mowdays, Porter dan Steers (dalam Sopiah,2009) juga mengemukakan 3 tahap dalam komitmen yaitu komitmen selama periode awal, permulaan pekerjaan dan karir kemudian. Masing-masing tahap tersebut dipengaruhi oleh faktor yang berbeda. Proses tersebut dapat membuktikan proses komitmen sangat cepat. Komitmen organisasi didasarkan pada perilaku yang terutama berasal dari ketidakleluasaan menggunakan ketrampilan pekerja sehingga meninggalkan organisasi yang mengikatnya. Saat komitmen dicontohkan sebagai fungsi kepercayaan terhadap organisasi dan pengalaman kerja, karakteristrik organisasi harusnya menjadi faktor yang mempengaruhi kepercayaan pegawai terhadap organisasi dan oleh karena itu pada level komitmen pegawai; karakteristik kerja harusnya menjadi faktor utama yang mempengaruhi Kualitas pelayanan dari pegawai.

  Anggota organisasi yang loyalitas dan kesetiaannya tinggi terhadap organisasi akan mempunyai keinginan yang tinggi terhadap organisasi dan membuat organisasi menjadi sukses. Makin kuat pengenalan dan keterlibatan individu dengan organisasi akan mempunyai komitmen yang tinggi.

2.5. Kualitas Pelayanan

2.5.1. Pengertian

  Kata kualitas mengandung banyak definisi dan makna, orang yang berbeda akan mengartikannya secara berlainan tetapi dari beberapa definisi yang dapat kita jumpai memiliki beberapa kesamaan walaupun hanya cara penyampaiannya saja biasanya terdapat pada elemen sebagai berikut:

  1. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihkan harapan pelanggan.

  2. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan

  3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah. Pelayanan merupakan perilaku produsen dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen demi tercapainya kepuasan pada konsumen itu sendiri. Kotler (dalam Tjiptono, 2007) juga mengatakan bahwa perilaku tersebut dapat terjadi pada saat, sebelum dan sesudah terjadinya transaksi. Pada umumnya pelayanan yang bertaraf tinggi akan menghasilkan kepuasan yang tinggi serta pembelian ulang yang lebih sering

  Pengertian pelayanan umum menurut Keputusan Menpan nomor 81 tahun 1993 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum, adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintahan pusat, di daerah, dan dilingkungan badan usaha milik negara/ daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

  Dari defenisi tentang kualitas dan pelayanan diatas kualitas pelayanan dapat diartikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan penyampaiannya dalam mengimbangi harapan konsumen (Tjiptono, 2007). Kotler (dalam Kaspinor, 2004) menyatakan kualitas pelayanan (Service quality) pada umumnya dipandang sebagai hasil keseluruhan sistem pelayanan yang diterima konsumen, dan pada prinsipnya, bahwa kualitas pelayanan berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan, serta adanya tekad untuk memberikan pelayanan sesuai dengan harapan pelanggan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas pelayanan merupakan penilaian pelanggan terhadap kesempurnaan performansi atas produk atau jasa yang dikonsumsi (Sinambela ,2004).

2.5.2. Kriteria Pelayanan TKI

  Kualitas Pelayanan TKI merupakan kegiatan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI yang memiliki dimensi kemudahan, keterjangkauan, kecepatan, dan keamanan. Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004, tentang tugas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) untuk dapat memberikan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI antara lain : Rekrutmen, Pelatihan, Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP), Pembuatan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), Pemberangkatan, Perlindungan, Bantuan konsultasi, Pemulangan, Pemberdayaan, dan Penempatan kembali (reentry) dengan dimensi cepat, murah, dan aman Sinambela (2006:194) mengutarakan tentang sejumlah kriteria yang menjadi ciri pelayanan atau jasa sekaligus membedakannya dari barang dan jasa yaitu:

  1) Pelayanan merupakan output tak terbentuk. 2) Pelayanan merupakan output variabel, tidak standar. 3)

  Pelayanan tidak dapat disimpan dalam inventori, tetapi dapat diasumsikan dalam produksi.

  4) Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses pelayanan.

  5) Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan. 6)

  Keterampilan personel diserahkan atau diberikan secara langsung kepada pelanggan.

  7) Pelayanan tidak dapat diproduksi secara massal. 8)

  Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang memberikan pelayanan.

  9) Perusahaan jasa pada umumnya bersifat padat karya. 10) Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan. 11) Pengukuran efektifitas pelayanan bersifat subjektif. 12) Pengendalian kualitas terutama dibatasai pada penegndalian proses. 13) Option penetapan harga lebih rumit.

  Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) dalam keputusannya Nomor : 81/1993 menegaskan bahwa pelayanan yang berkualitas hendaknya sesuai dengan sendi-sendi sebagai berikut : (1)

  Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tidak berbelit-belit serta mudah difahami dan dilaksdanakan. (2)

  Kejelasan dan kepastian, menyangkut Prosedur/tata cara pelayanan umum, Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif, Unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum, Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayaranya, jadwal waktu penyelesaian, hak dan kewajiban dari pemberi dan penerima layanan.

  (3) Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.

  (4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan difahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.

  (5) Efisien, meliputi Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal- hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan.

  (6) Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar.

  (7) Keadilan yang merata dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.

  (8) Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

  Menurut FitzSimmons yang dikutip oleh Riduwan (2005, 249) mangatakan bahwa kualitas pelayanan merupakan suatu yang kompleks, sehingga untuk menentukan sejauh mana kualitas pelayanan tersebut harus dibuat tolak ukurnya, dapat dilihat dari lima dimensi yaitu :

  1) Reliability, kemauan untuk memberikan secara tepat dan benar, jenis

  pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen atau pelanggan.

  2) Responsiveness, kesadaran atau keinginan untuk membantu

  konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat.

  3) Assurance, pengetahuan atau wawasan, kesopansantunan,

  kepercayaan diri dari pemberi layanan, serta respek terhadap konsumen.

  4) Empathy, kemauan pemberi layanan untuk melakukan

  pendekatan, memberikan perlindungan, serta berusaha untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen.

  5) Tangibles. Penampilan para pegawai dan fasilitas fisik lainnya,

  seperti peralatan atau perlengkapan yang menunjang pelayanan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Kualitas

  Pelayanan TKI adalah kegiatan penempatan dan perlindungan TKI antara lain : Rekrutmen, Pelatihan, Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP), Pembuatan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), Pemberangkatan, Perlindungan, Bantuan konsultasi, Pemulangan, Pemberdayaan, dan Penempatan kembali (reentry) menggunakan tolok ukur reliability, responsiveness, assurance, empathy dan tangibles.

2.6. Kerangka Konseptual

  Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Kepemimpinan mempunyai kaitan erat dengan motivasi. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tuiuan yang telah ditetapkan sangat tergantung kepada kewibawaan kemampuan, dalam menciptakan motivasi dalam diri setiap orang bawahan, kolega, maupun atasan sendiri dan pada gilirannya akan meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan.

  Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa kepemimpinan memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas kinerja seseorang dalam memberikan pelayanan, sebagaimana penelitian yang dilakukan Howell dan Hall (2005:42). Lebih dari itu kepemimpinan yang efektif mengarah kepada kesuksesan kinerja.

  Ini memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan.

  Jadi Kepemimpinan yang baik atau ideal yaitu kepemimpinan yang mampu menciptakan budaya organisasi yang kondusif, saling mendukung satu sama lain, saling menguatkan yang akan membangkitkan energi organisasi dalam menghadapi tantangan dan tugas organisasi di era globalisasi yang semakin menuntut adanya kepemimpinan yang mampu menciptakan dan nembawa para bawahannya / pegawai untuk bertindak strategis yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan kualitas pelayanan TKI.

  Manusia sebagai unsur terpenting , paling utama dan menentukan bagi kelancaran jalannya kegiatan organisasi dan manajemen, maka masalah yang berhubungan dengan motivasi patut mendapat perhatian yang sungguh - sungguh dari setiap orang yang berkepentingan dengan keberhasilan organisasi, terutama yang berkaitan dengan pegawai uhtuk bisa menghasilkan kinerja yang optimal sehingga tujuan organisasi dapat dicapai. Pegawai yang memiliki motivasi tinggi untuk mencapai tujuannya dan memenuhi keinginan ian kebutuhannya. Adanya pengaruh signifikan motivasi terhadap kualitas pelayanan pegawai dapat dipahami dan relevan dengan teori – teori yang digunakan sebagai acuan teoritis serta relevan dengan hasil penelitian sebelumnya (Sopiah, 2008) mengungkapkan bahwa motivasi memiliki tiga fungsi utama, yaitu mendorong timbulnya tingkah laku atau perbuatan, mengarahkan perbuatan untuk mencapai tujuan,

  Menurut Siagian (2008, 286) motivasi dan kepuasan kerja merupakan bagian dari berbagai faktor yang mempengaruhi produktifitas seperti kesempatan memperoleh pendidikan dan pelatihan tambahan, penilaian kerja yang adil, rasional dan objektif, sistem imbalan dan faktor lainnya. Dengan Motivasi yang tepat para pegawai akan terdorong untuk berbuat semaksimal mungkfn dalam melaksanakan tugasnya, termasuk meningkatkan kualitas pelayanan penempatan TKI, karena meyakini bahwa dengan keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan berbagai sasarannya, kepentingan pribadi para anggota organisasi tersebut akan terpelihara pula. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa motivasi itu adalah modal utama bagi seseorang untuk bekerja.

  Tanpa adanya motivasi untuk bekerja , maka tidak ada seseorang mau untuk bekerja, sehingga sangatlah mustahil untuk mendapatkan hasil kerja yang maksimal.

  Seseorang yang memiliki komitmen yang tinggi akan memiliki identifikasi terhadap organisasi, terlibat sunguh-sunguh dalam kepegawaian dan ada loyalitas serta afektif positif terhadap organisasi, selain itu tingkah laku berusaha ke arah tujuan organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan organisasi dalam jangka waktu lama. Hal ini telah dibuktikan oleh potter et al (dalam Zainudin, 2006) mendefinisikan Komitmen Organisasional sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya ke dalam bagian organisasi, dalam penelitiannya yang menemukan hubungan yang kuat antara Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasional mempunyai hubungan positif.

  Kaitan antara kualitas layanan dan komitmen dikemukakan oleh Crosby,

  

et al (2001) yang menyatakan bahwa relationship marketing akan menjadi suatu

  hal yang penting apabila mandapatkan dukungan dari kualitas layanan yang baik. Rendahnya komitmen mencerminkan kurangnya tanggung jawab seseorang dalam menjalankan tugasnya. Mempersoalkan komitmen sama dengan mempersoalkan tanggung jawab, dengan demikian ukuran seorang pimpinan dihadapkan pada komitmen untuk mempercayakan tugas dan tanggung jawab ke bawahan. Sebaliknya bawahan perlu memiliki komitmen untuk meningkatkan kompetensi diri.

  Pemerintah sebagai service provider (Penyedia Jasa) bagi masyarakat dituntut untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan penempatan TKI dikatakan baik apabila yang dilayani memperoleh pelayanan yang baik dan merasakan kepuasan atas pelayanan tersebut. Hal ini tergantung bagaimanan pelayanan itu diberikan. Bila pelayanan ini diberikan oleh pegawai / personel yang bertugas di pelayanan dan didasarkan pada adanya pola kepemimpinan yang kondusif, dan didukung oleh motivasi kerja yang tinggi oleh setiap pegawai serta ditunjang dengan adanya komitmen mencakup adanya unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan tentunya akan sangat berpengaruh sekali terhadap kulaitas pelayanan yang diberikan.

  Dari uraian diatas terlihat pengaruh Kepemimpinan, Motivasi kerja, dan Komitmen, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama terhadap Kualitas Pelayanan TKI. Uraian tersebut diatas dapat digambarkan secara skematis sebagai berikut :

  Kepemimpinan (X1) Motivasi Kerja Kualitas Pelayanan

  (X2) TKI (Y) Komitmen (X3)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.7. Hipotesis Penelitian

  Berdasrkan kerangka konseptual yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah :

  1. Kepemimpinan, motivasi kerja dan komitmen pegawai berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas Pelayanan Tenaga kerja Indonesia (TKI) di BP3TKI Medan.

2. Kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas Pelayanan Tenaga kerja Indonesia (TKI) di BP3TKI Medan.

  3. Motivasi kerja pegawai berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas Pelayanan Tenaga kerja Indonesia (TKI) di BP3TKI Medan.

  4. Komitmen pegawai berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas Pelayanan Tenaga kerja Indonesia (TKI) di BP3TKI Medan.