BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PerspektifParadigma Kajian - Hambatan Komunikasi Antara Mertua Dan Menantu (Studi Etnografi Terhadap Hambatan Komunikasi Antara Mertua Dan Menantu Yang Masih Melaksanakan Rebu Pada Suku Karo Di Desa Batukarang Kecamatan Payung Ka
Usaha untuk mencari kebenaran dilakukan oleh peneliti melalui model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma. Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian yang berfungsi (perilaku di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu) (Moleong, 2005:49).
Perspektif atau paradigma yang peneliti gunakan adalah kualitatif dimana pendekatan sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris). Sementara itu penelitian kualitatif tidak menggunakan statistik, data hasil penelitian dokumen sehingga peneliti mendapat jawaban apa adanya dari responden.(Iskandar:35-37).
Peneliti menggunakan pendekatan interpretif dimana berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Pendekatan interpretif diadopsi dari orientasi praktis. Secara umum pendekatan interpretatif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara detail langsung mengobservasi. (Newman, 1997: 68). Selain itu interpretif juga melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam memahami makna sosial. Interpretif melihat fakta sebagai hal yang cair (tidak kaku) yang melekat pada sistem makna dalam pendekatan interpretatif. Fakta-fakta tidaklah imparsial, objektif dan netral. Fakta merupakan tindakan yang spesifik dan kontekstual yang bergantung pada pemaknaan sebagian orang dalam situasi sosial. Interpretif menyatakan situasi sosial mengandung ambiguisitas yang besar. Perilaku dan pernyataan dapat memiliki makna yang banyak dan dapat dinterpretasikan dengan berbagai cara. (http://ernams.wordpress.com/2008/01/07/pendekatan-interpretif/ diakses pada tanggal 5 Juli 2012).
2.2 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan acuan atau landasan berpikir peneliti dengan basis pada bahan pustaka yang membahas tentang teori atau hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan dijalankan (Prajarto, 2010:49). Pencarian dan penelusuran kepustakaan atau literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian sangat diperlukan. Penelitian tidak dilakukan di ruang kosong dan tidak pula dapat dikerjakan dengan baik, tanpa basis teoritis yang jelas. Penelitian kekinian sesungguhnya menelusuri atau meneruskan peta jalan yang telah dirintis oleh peneliti terdahulu. (Danim Sudarwan, 2001:105 dalam Iskandar, 2009:100).
Dengan adanya kajian teori, maka peneliti akan mempunyai landasan untuk menentukan tujuan dan arah penelitian. Adapun teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah:
2.2.1 Komunikasi
communicatio , dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Arti communis disini adalah
sama makna , yaitu sama makna mengenai suatu hal. Jadi komunikasi berlangsung apabila antara
orang-orang yang terlibat terdapat keasamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Secara trminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Dari pengertian itu jelas bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi itu adalah manusia. Karena itu, komunikasi yang dimaksudkan disini adalah komunikasi manusia atau dalam bahasa asing human
communication, yang sering kali pula disebut komunikasi sosial
atau social communication. Komunikasi manusia sebagai singkatan dari komunikasi antarmanusia dinamakan komunikasi sosial atau komunikasi kemasyarakatan karena hanya pada manusia-manusia yang bermasyarakat terjadinya komunikasi (Effendy, 2004: 3-4). Selain itu, Komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. (De vito, 1997:23).
Selanjutnya, Liliweri (2004:5) berpendapat esensi komunikasi terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang “melayani’ hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang manusia pada kemarin, kini dan mungkin di masa yang akan datang. Komunikasi manusia itu melayani segala sesuatu, akibatnya orang bilang komunikasi itu sangat mendasar dalam kehidupan manusia, komunikasi merupakan proses yang universal. Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku, dan tindakan yang trampil dari manusia (communication involves
both attitudes and skills). Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak
berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain.
Menurut (Rudy, 2005:1), komunikasi adalah proses penyampaian informasi-informasi, pesan-pesan, gagasan-gagasan atau pengertian-pengertian, dengan menggunakan lambang- lambang yang mengandung arti atau makna, baik secara verbal maupun non verbal dari seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau sekelompok orang lainnya dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian dan/atau kesepakatan bersama.. Sedangkan (Morissan, kendaraan atau alat yang digunakan untuk bertingkah laku dan untuk memahami serta memberi makna terhadap segala sesuatu di sekitar kita. Interaksi akan mengarah pada makna yang dipahami bersama dan sekaligus memperkuat makna bersama itu. Interaksi juga membangun berbagai konvensi yang merupakan standar makna dan tindakan, seperti peraturan, peran orang- orang tertentu, serta norma-norma yang memungkinkan terjadinya interaksi lebih jauh. Teori interaksi dirancang untuk menjelaskan proses sosial dan menunjukkan bagaimana tingkah laku orang dipengaruhi oleh aturan atau norma-norma kelompok.
Robert E. Park mengungkapkan dalam Liliweri (2004:179), komunikasi menjadi sangat penting dalam membentuk sebuah kebersamaan masyarakat, komunikasi mencipatakan, atau membuat segala kebimbangan menjadi lebih pasti, bahwa sebuah konsensus dan pengertian bersama diantara individu-individu sebagai anggota kelompok sosial akan mudah menghasilkan, tidak saja unit-unit sosial tetapi juga unit-unit kultural, dalam masyarakat. Karena kebudayaan- dalam hal ini adat istiadat-menjadi harapan atau menjadi harapan atau menjadi faktor perekat bersama. Bagaimanapun juga kehidupan bersama suatu kelompok dalam masyarakat menjadi ada dan terus ada karena memiliki sejarah dan tradisi yang panjang yang diturunkan dari saru generasi ke generasi lain
2.2.1.1 Karakteristik Komunikasi Adapun karakteristik dari komunikasi itu sendiri adalah (Fajar, 2009:33-34): 1. Komunikasi suatu proses
Komunikasi sebagai suatu proses artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu. Proses komunikasi melibatkan banyak faktor atau unsur. Faktor atau unsur yang dimaksud antara lain dapat mencakup pelaku atau peserta, pesan (meliputi bentuk, isi, dan cara penyajiannya), saluran atau alat yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan, waktu, tempat, hasil atau akibat yang terjadi.
2. Komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan Komunikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar, disengaja serta sesuai dengan tujuan atau keinginan dari pelakunya. Pengertian sadar disini menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi yang dilakukan seseorang sepenuhnya berada dalam kondisi mental psikologis yang terkendalikan bukan dalam keadaan mimpi. Disengaja maksudnya bahwa komunikasi yang dilakukan memang sesuai dengan kemauan dari pelakunya sementara tujuan menunjuk pada hasil atau akibat yang ingin dicapai.
3. Komunikasi menurut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang terlibat.
Kegiatan komunikasi akan berlangsung dengan baik apabila pihak-pihak yang berkomunikasi (dua orang atau lebih) sama-sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai perhatian yang sama terhadap topik pesan yang dikomunikasikan.
4. Komunikasi bersifat simbolis Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang, misalnya: bahasa.
5. Komunikasi bersifat transaksional Komunikasi pada dasarnya menuntut dua tindakan: memberi dan menerima. Dua tindakan tersebut tentunya perlu dilakukan secara seimbang atau proporsional oleh masing-masing pelaku yang terlibat dalam komunikasi.
6. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu Komunikasi menembus faktor waktu dan ruang maksudnya bahwa para peserta atau sama. Dengan adanya berbagai produk teknologi komunikasi seperti telepon, faksimili, teleks, dan lain-lain, kedua faktor tersebut (waktu dan ruang) bukan lagi menjadi persoalan dan hambatan dalam berkomunikasi.
2.2.1.2 Saluran Komunikasi Setelah dikemas, pesan dapat disampaikan melalui saluran (channel) atau media.
Pengirim dapat memilih media lisan (oral), tertulis (written), atau elektronik (elektronic).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain, dan akan berhasil bila terjadi saling pengertian diantara kedua belah pihak yang berkomunikasi baik secara individu ataupun kelompok secara verbal maupun nonverbal (Fajar, 2009:34)
2.2.2 Komunikasi Antarbudaya Menurut (Devito, 1997:479), komunikasi antarbudaya mengacu pada komunikasi antara orang-orang dari kultur yang berbeda-beda antara orang-orang yang memiliki kepercayaan, nilai, atau cara berperilaku kultural yang berbeda. Sedangkan William B. Hart II, 1996 dalam Liliweri (2004:8) mengungkapkan komunikasi antarbudaya yang paling sederhana adalah komunikasi antapribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan
Definisi komunikasi antarbudaya menurut para ahli dalam (Liliweri, 2004:10-11) yaitu sebagai berikut: a.
Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E.
Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial. (Samovar dan Porter, 1976:25) b. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.
(Samovar dan Porter, 1976:4) c. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhinya perilaku komunikasi para peserta (Dood, 1991:5).
d.
Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang - yang karena memiliki yang dipertukarkan. (Lustig dan Koester Intercultural Communication Competence, 1993 ).
e.
Interculutral communication yang disingkat “ICC”, mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan.
f.
Guo – Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negoisasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan : 1.
Dengan negoisasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks, dan makna-makna itu dinegoisasikan atau diperjuangkan;
2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama; 3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita;
Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasikannya dengan pelbagai cara
Sehubungan dengan itu, menurut Mulyana (2005:20), komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi dimana suatu pesa disandi dalam suatu budaya dan haus disandi balik dalam budaya lain. Seperti telah kita lihat, budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan berbeda pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan. Namun, melalui studi dan pemahaman atas komunikasi antarbudaya, kita dapat mengurangi atau hampir menghilangkan kesulitan- kesulitan ini.
Jadi, kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Oleh karena itu, di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita (Liliweri, 2004: 8-12).
2.2.2.1 Teori Negoisasi Muka Ting-Toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada muka dan facework. Muka evolusi dalam hal interpretasi selama bertahun-tahun. Konsep ini bermula dari bangsa Cina yang sebagaimana dikemukakan oleh Ho, memiliki dua konseptualisasi mengenai muka: lien dan min-
tzu , dua istiah yang mendeskripsikan identitas dan ego.
Menurut Ho, “muka dapat menjadi lebih penting dibandingkan kehidupan itu sendiri”. Erving Goffman (1967) diakui sebagai sosok yang menempatkan muka dalam penelitian Barat kontemporer. Ia mengamati bahwa muka (face) adalah citra dari diri yang ditunjukkan orang dalam percakapannya dengan orang lain. Ting-Toomey dan koleganya (Oetzel, Ting-Toomey, Yokochi, Masumoto, & Takai, 2000) mengamati bahwa muka berkaitan dengan nilai diri yang positif dan/atau memproyeksikan nilai lain dalam interpersonal. Orang tidak “melihat” muka orang lain; sebaliknya, muka merupakan metafora bagi batasan yang dimiliki orang dalam hubungan dengan orang lain. Goffman (1967) mendeskripsikan muka sesuatu yang dipertahankan, hilang, atau diperkuat. Pada penulisan naskahnya, Goffman tidak memperkirakan bahwa muka dan semua yang berkaitan dengannya lebih dapat diaplikasikan pada kajian mengenai kelompok sosial. Sejalan dengan waktu, kajian mengenai muka telah diaplikasikan pada beberapa konteks, termasuk hubungan dekat dengan kelompok kecil.
Ting-Toomey menggabungkan beberapa pemikirn dari penelitian mengenai kesantunan yang menyimpulkan bahwa keinginan mengenai muka merupakan keinginan yang universal (Brown & Levinson, 1978). Ting-Toomey (1988, 1991, 2004) memperluas pemikiran Goffman dan berpendapat bahwa muka merupakan citra diri seseorang yang diproyeksikan dan merupakan klaim akan penghargaan diri dalam sebuah hubungan. Ia percaya bahwa muka “melibatkan penampilan dari bagian depan yang beradab kepada individu lain”. (Ting-Toomey & Chung, 2005, hal.268). Ting-Toomey dan koleganya Beth Ann Cocroft (1994) dengan ringkas mengidentifikasi muka sebagai “fenomena lintas budaya”, yang artinya adalah semua budaya memiliki dan mengelola muka; muka melampaui semua budaya.
Sehubungan dengan cerita pembuka, Ting-Toomey dan para teoritikus Negoisasi Muka lainnya akan tertarik dalam mengetahui bahwa Profesor Yang berasal dari Cina dan Kevin Johnston adalah seorang Amerika. Keberagaman budaya mereka memengaruhi cara yakin bahwa walaupun muka adalah konsep yang universal, terdapat berbagai representasi muka dalam diinterpretasikan dalam dua cara yang utama: kepedulian akan muka dan kebutuhan akan muka. Kepedulian akan muka (face concern) mungkin berkaitan baik dengan muka seseorang maupun muka orang lain. Dengan kata lain, terdapat kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain.
Kepedulian akan muka menjawab pertanyaan, “apakah saya menginginkan perhatian tertuju pada diri saya atau pada orang lain?” Kebutuhan akan muka (face need) merujuk pada dikotomi keterlibatan-otonomi. Maksudnya, “apakah saya ingin diasosiasikan dengan orang lain (keterlibatan) atau apakah saya ingin tidak diasosiasikan dengan mereka (otonomi)?”
2.2.2.2 Muka dan Teori Kesantunan Sebagaimana telah kita lihat sebelumnya, Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian mengenai kesantunan. Teori kesantunan Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978) menyatakan bahwa orang akan menggunakan strategi kesantunan berdasarkan persepsi ancaman menemukan bahwa terdapat dua kebutuhan universal: kebutuhan muka posiif dan kebutuhan muka negatif. Muka positif (positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting di dalam hidup kita; muka negatif (negative face) merujuk pada keinginan untuk memilki otonomi dan tidak dikekang. Karen Tracy dan Sheryl Baratz (1994) menyatakan bahwa “kebutuhan muka” ini merupakan bagian dari suatu hubungan. Mereka mendukung klaim sebagai berikut:
Pengakuan akan kebutuhan muka yang ada menjelaskan mengapa seorang mahasiswa yang ingin meminjam catatan teman sekelasanya tidak akan meminta mereka dengan langsung (“pinjam catatanmu, ya?), tetapi lebih sering mereka akan meminta dalam sikap yang memberikan perhatian kepada keinginan muka negatif seseorang (“apakah bisa saya meminjam catatanmu untuk satu jam saja? Saya akan memfotokopinya dan segera mengembalikannya kepadamu.”)
Penelitian Brown dan Levinson mengilustrasikan sebuah dilema bagi individu-individu yang berusaha untuk memenuhi kedua jenis kebutuhan muka di dalam sebuah percakapan. Misalnya, dalam cerita pembukaan kita ditunjukkan bahwa Profesor Yang ingin agar Kevin bekerja untuk mencapai potensi dirinya yang terbaik. Kebutuhan muka positifnya, dihadapkan dengan
2.2.2.3 Facework Ketika positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka cenderung mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan muka mereka atau mitra mereka. Ting-Toomey
(1994), mengikuti Brown dan Levinson, mendefinisikan hal ini sebagai facework, atau “tindakan yang diambil untuk menghadapi keinginan akan muka seseorang dan/atau orang lainnya”. Stella Ting-Toomey dan Leeva Chung (2005) juga mengemukakan bahwa facework adalah “mengenai strategi verbal dan nonverbal yang kita gunakan untuk memelihara, memepertahankan, atau meningkatkan citra diri sosial kita dan menyerang atau mempertahankan (atau “menyelamatkan’) citra sosial orang lain. Dengan kata lain, facework berkaitan dengan bagaimana orang membuat apa pun yang mereka lakukan konsisten dengan muka mereka. Ting-Toomey menyamakan
facework dengan “tarian komunikasi yang berjinjit” (communication dance that tiptoes) antara
rasa hormat bagi muka diri sendiri dan muka orang lain. Jaimzadi, komentar Profesor Yang menggambarkan bagaimana profesor secara berkesinambungan menyelamatkan mukanya sendiri (tidak mengingkari batas waktu penyerahan tugasnya sendiri) dan juga muka Kevin (memberinya pujian).
Te-Stop Lim dan John Bowers (1991) memperluas diskusi ini dengan mengidentifikasi tiga jenis facework: kepekaan, solidaritas, dan pujian. Pertama, facework ketimbangrasaan (tact
facework) merujuk pada batas dimana orang menghargai otonomi seseorang. Facework ini
memberikan kebebasan kepada seseorang untuk bertindak sebagaimana yang ia inginkan sekaligus meminimalkan hal-hal yang akan membatasi kebebasan ini. Jenis facework kedua,
facework solidaritas (solidarity facework), berhubungan dengan seseorang menrima orang lain
sebagai anggota dari kelompok dalam (in-group).hub Solidaritas meningkatkan hubungan diantara dua orang yang sedang berbicara. Maksudnya, perbedaan-perbedaan diminimalkan dan kebersamaan ditekankan melalui bahasa informal dan pengalama-pengalaman yang dimiliki bersama. Jenis facework yang terakhir adalah facework keperkenanan (approbation facework), yang melibatkan meminimalkan penjelekan dan memaksimalkan pujian kepada orang lain.
Facework keperkenanan muncul ketika seseorang mengurangi fokus pada aspek negatif orang
lain dan lebih berfokus pada aspek yang positif (West and Turner, 2008:161-163).2.2.3 Hambatan Komunikasi Komunikasi atau berkomunikasi itu kelihatannnya mudah, tetapi sebenarnya tidak lepas dari berbagai kendala atau hambatan dalam pelaksanaannya. Dengan mengetahui atau menyadari adanya (kemungkinan) hambatan atau faktor yang lazim bisa menjadi kendala dalam aktivitas berkomunikasi ini, bisa kita harapkan bahwa kita bisa menanggulanginya atau menghindarinya.
Agar proses penyampaian pesan berlangsung dengan baik serta tercapainya tujuan komunikasi yang kita lakukan (saling pengertian atau kesepakatan bersama (Rudy, 2005:22-23).
Disamping itu, Rakhmat (1978:164-165) menjelaskan hambatan tidak menyebabkan komunikasi berhenti, tetapi ia menahan (menimbulkan kesulitan pada) aliran pesan itu. Beberapa pesan “dibendung” dan tidak dapat melampaui hambatan itu. Walaupun kegagalan mekanistis berarti adanya penghentian komunikasi, hambatan mekanistis mengemukakan adanya “bendungan” pada saluran yang menahan arus pesan dan memodifikasikan karakter dan arti
Sedangkan menurut Liliweri (2001:236-238) Beberapa hambatan yang perlu diantisipasi antara lain hambatan intern,ekstern dan pribadi. Pada hambatan intern perlu diperhatikan adalah masalah yang berkaitan dengan struktur/hirarki/wewenang, spesialisasi, kekuasaan, jarak sosial/psikologis, manager ‘owner information’, sarana dan prasarana, dan benalu komunikasi. Setiap organisasi mempunyai struktur. Karena struktur itu sifatnya formal, hubungan antarpribadi yang diciptakan adalah impersonal. Struktur dan hirarki juga tidak membenarkan pelanggaran atas disiplin, loncatan komando, dan terbatasnya delegasi untuk mengambil keputusan. Misalnya komunikasi antara atasan dan bawahan, seorang bawahan harus melalui beberapa tahapan untuk berkomunikasi langsung dengan atasan mengenai keluhan pekerjaannya setelah itu juga atasan tersebut tidak dapat langsung menanggapi keluhan tersebut secara sepihak melainkan harus dibicarakan kembali kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah tersebut sehingga dampaknya pekerjaan dan pengambilan keputusan berjalan lamban terhadap masalah yang dihadapi.
Kecenderungan lain yang terlihat pula adalah diferensiasi organisasi, berarti organisasi menambah struktur-struktur atau lapisan baru dalam organisasi yang sebenarnya kurang diperhatikan. Akibatnya terjadi lebih banyak karyawan yang “kurang kerja” sehingga dari segi karyawan menutup diri dalam keahlian dan profesinya dan kurang memperhatikan kerja sama dengan pihak lain. Timbul juga streotip untuk meremehkan pekerjaan atau spesialisasi yang lain.
Kekuasaan sering mengakibatkan timbulnya jarak sosial dan psikologis antara atasan dengan bawahan. Jarak itu demikian formal sehingga hubungan antara atasan dan bawahan hanya ditentukan oleh struktur. Terutama bagi bawahan, hubungan dengan atasan merupakan sesuatu yang mahal. Akibatnya, Atasan sebagai manajer tidak terlalu merasa perlu membagi semua informasi kepada bawahan (owner information). Maka, muncullah benalu komunikasi, yakni medium komunikasi tidak resmi (yang kadang-kadang merupakan saluran rumor atau gosip) di kalangan karyawan.
Pada hambatan ekstern yang perlu diperhatikan adalah beberapa faktor, seperti perubahan sosial dan ekonomi, masalah persaingan, konflik. Karena organisasi itu terletak dalam masyarakat, perubahan-perubahan yang melanda masyarakat, misalnya gerakan sosial, konflik antar perusahaan, akan mempengaruhi cara kerja organisasi. Organisasi merupakan wadah kerja sama antarmanusia. Tatkala sumber daya manusia kurang mampu menangani perubahan dan mekanisme kerja ataupun tidak bisa menyesuaikan diri dengan masukkan teknologi, mekanisasi dan otomatisasi, keadaan itu akan mempengaruhi cara kerja organisasi.
Faktor-faktor lain seperti latar belakang sosiologis dan antropologis, misalnya struktur sosial dalam masyarakat, kebudayaan dan adat-istiadat, juga mempengaruhi perilaku kerja. Salah satu pengaruh yang patut dicegah adalah, nepotisme dan primordialisme yakni terjadinya pembentukan “klik” berdasarkan ikatan suku, agama, ras dan golongan. Faktor demografis seperti umur, faktor psikologis seperti suasana ketenteraman dan kedamaian dan lain-lain ikut berpengaruh terhadap cara kerja organisasi.
Dalam komunikasi dapat terjadi salah paham atau salah pengertian seperti yang dikatakan (Hardjana, 2003:16-46) sehingga pesan tidak dimengerti seperti dimaksud oleh pengirim dan ditanggapi sebagaimana diinginkan oleh pengirim. Masalah salah paham dapat terjadi pada pengirim, penyampaian pesan, penerimaan, dan penafsiran pesan.
a. Pengirim Salah pengertian dapat terjadi karena: 1. Pengirim tidak jelas tentang isi pesan yang hendak disampaikan
3. Pada diri pengirim ada konflik batin tentang pesan yang akan dikirim dan tentang penerima yang akan dikirimi pesan
4. Latar belakang budaya, pendidikan, dan pengalaman penerima jau berbeda dari pengirim.
3. Tidak ada hambatan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk menindaklanjuti pesan yang dikirim. Namun komunikasi yang ideal itu tidak selalu terjadi karena ada halangan- halangan yang menghadang pada proses komunikasi. Halangan dapat bersifat interpersonal maupun organisasional.
2. Pesan disetujui oleh penerima dan ditindaklanjuti dengan perbuatan yang diminta oleh pengirim.
1. Pesan diterima dan dimengerti sebagaimana yang dimaksud oleh pengirimnya.
2.2.3.1 Halangan Untuk Komunikasi Yang Efektif Komunikasi efektif menjadi cita-cita semua orang yang berkomunikasi. Komunikasi akan efektif jika:
6. Ada perbedaan tanggapan emosional, baik terhadap makna isi pesan maupun makna hubungan antara pengirm dan penerima.
5. Terjadi perbedaan penafsiran kata antara pengirim dan penerima.
3. Kesehatan fisik: sakit, lelah, tidak ada gairah.
4. Pengirim merasa sulit bagaimana mengungkapkan pesan yang akan disampaikan.
Ada gangguan-gangguan mental: sulit konsentrasi, sibuk dengan urusan lain, sikap menolak.
1. Ada gangguan-gangguan fisik: penerangan, penglihatan, pendengaran, suara terlalu bising atau tidak terdengar.
c. Penerima Pesan Pada waktu menerima pesan faktor-faktor yang bisa membuat salah pengertian dalam komunikasi antara lain:
3. Terlalu banyak gabungan saluran yang digunakan untuk menyampaikan sehingga pesan menjadi terlalu banyak pula.
2. Dua pesan yang saling berebut perhatian penerima sehingga konsentrasi penerima kacau atau pesan sendiri mempunyai makna yang bertentangan.
b. Penyampaian Pesan Pada penyampaian pesan, kesalahpahaman dalam komunikasi disebabkan karena: 1. Faktor-faktor fisik yang tidak mendukung: tulisan jelek dan tidak terbaca, saluran komunikasi rusak, alat pendengar tidak berfungsi baik, suara tidak jelas.
2.2.3.2 Halangan Interpersonal yang kompleks yang dilakukan orang untuk memilih, mengatur, dan memberi makna pada kenyataan yang dijumpai disekelilingnya. Persepsi dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, dan kebudayaan. Ada dua persepsi yang menghalangi komunikasi. Pertama, persepsi selektif
(selective perception), dan kedua, bertindak berdasarkan stereotipe (stereotype). Persepsi selektif
merupakan kecenderungan orang untuk melihat orang, objek, dan situasi bukan sebgaimana adanya, tetapi sebagaimana dikehendakinya. Berbuat menurut stereotipe membuat orang cenderung untuk melihat dan mengatur kenyataan menurut pola yang tetap, pasti, dan dapat diramalkan. Contohnya, “perempuan suka begini atau begitu.” “Orang bule pasti..”, dan seterusnya.
2.2.3.3 Sikap Defensif Sikap defensif adalah sikap mental orang untuk menjaga dan melindungi diri terhadap membuat raut wajah, gerak tubuh, dan cara berbicara yang membuat penerima ikut-ikutan menjadi bersikap defensif pula. Akibatnya, pesan yang diterima tidak tepat dan maksud pengirim tidak dimengerti secara benar. Jika bersikap defensif, perhatian penerima pesa yang mendengar pesan menjadi pesan menjadi terpusat pada apa yang mau dikatakan untuk menjawab dan bukan pada apa yang disampaikan oleh pengirim pesan.
Penggunaan media untuk menyampaikan pesan dapat mengalami gangguan, yang dalam bahasa Inggris disebut noise. Gangguan adalah “segala sesuatu yang menghambat atau mengurangi kemampuan kita untuk mengirim dan menerima pesan”. Gangguan komunikasi itu meliputi:
1. Pengacau indra, misalnya suara terlalu keras atau lemah, di tempat menerima pesan, bau menyengat, udara panas, dan lain-lain.
2. Faktor-faktor pribadi, antara lain, prasangka, lamunan, perasaan tidak cakap.
2.2.3.4 Faktor-Faktor Penghambat Komunikasi
1. Hambatan sosio-antro –psikologis Proses komunikasi berlangsung dalam konteks situasional (situasional context). Ini situasi amat berpengaruh terhadap kelancaran komunikasi, terutama situasi yang berhubungan dengan faktor-faktor sosiologis-antropologis-psikologis.
a. Hambatan sosiologis Seorang sosiolog Jerman bernama Ferdinand Tonnies mengklasifikasikan kehidupan manusia dalam masyarakat menjadi dua jenis pergaulan yang ia namakan Gemeinschaft dan
Gesselschaft. Gemeinschaft adalah pergaulan hidup yang bersifat pribadi, statis, dan tak rasional,
seperti dalam kehidupan rumah tangga; sedang Gesselschaft adalah pergaulan hidup yang bersifat tak pribadi, dinamis, dan rasional, seperti pergaulan di kantor atau dalam organisasi.
Berkomunikasi dalam Gemeinschaft dengan istri atau anak tidak akan menjumpai banyak hambatan karena sifatnya personal atau pribadi sehingga dapat dilakukan dengan santai; adalah lain dengan komunikasi dalam Gesselschaft. Seseorang yang bagaimanapun tingginya kedudukan yang ia jabat, ia akan menjadi bawahan orang lain. Masyarakat terdiri dari bebrbagai tingkat pendidikan, tingkat kekayaan, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat menjadi hambatan bagi kelancaran komunikasi.
b. Hambatan antropologis Dalam melancarkan komunikasinya, seorang komunikator tidak akan berhasil apabila ia tidak mengenal siapa komunikan yang dijadikan sasarannya. Yang dimaksudkan dengan “siapa” di sini bukan nama yang disandang, melainkan ras apa, bangsa apa, atau suku apa. Dengan mengenal dirinya, akan mengenal pula kebudayaannya, gaya hidup dan norma kehidupannya, kebiasaan dan bahasanya.
Komunikasi akan berjalan lancar jika suatu pesan yang disampaikan komunikator diterima oleh komunikasi secara tuntas, yaitu diterima dalam pengertian received atau secara inderawi, dan dalam pengertian accepted atau secara rohani. Seorang pemirsa televisi mungkin menerima acara yang disiarkan dengan baik karena gambar yang tampil pada pesawat televisi amat terang dan suara yang keluar amat jelas, tetapi mungkin ia tidak dapat menerima ketika seorang pembicara pada acara itu mengatakan bahwa daging babi lezat sekali. Si pemirsa tadi hanya menerimanya dalam pengertian accepted. Jadi teknologi komunikasi tanpa dukungan c. Hambatan Psikologis Faktor psikologis sering kali menjadi hambatan dalam komunikasi. Hal ini umumnya disebabkan si komunikator sebelum melancarkan komunikasinya tidak mengkaji diri komunikan.
Komunikasi sulit untuk berhasil apabila komunikan sedang sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, dan kondisi psikologis lainnya; juga jika komunikasi menaruh prasangka (prejudice) kepada komunikator.
Prasangka merupakan salah satu hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap menentang komunikator. Prasangka sebagai faktor psikologis dapat disebabkan oleh aspek antropologis dan sosiologis; dapat terjadi terhadap ras, bangsa, suku bangsa, agama, partai politik, kelompok, dan apa saja bagi seseorang merupakan suatu perangsang disebabkan dalam pengalamannya pernah diberi kesan yang tidak enak. antropologis-psikologis itu, yang menjadi permasalahan ialah bagaimana upaya kita mengatasinya. Cara mengatasinya ialah mengenal diri komunikan seraya mengkaji kondisi psikologisnya sebelum komunikasi dilancarkan, dan bersikap empatik kepadanya. Empati
(empathy) adalah kemampuan memproyeksikan diri kepada diri orang lain; dengan lain
perkataan, kemampuan mengahayati perasaan orang lain atau merasakan apa yang dirasakan orang lain.
2. Hambatan Semantis Kalau hambatan sosiologi-antropologis-psikologis terdapat pada pihak komunikan, maka hambatan semantis terdapat pada diri komunikator. Faktor semantis menyangkut bahas yang dipergunakan komunikator sebagai “alat” untuk menyalurkan pikiran dan perasaannya kepada komunikan. Demi kelancaran komunikasinya seorang komunikator harus benar-benar memperhatikan gangguan semantis ini, sebab salah ucap atau salah tulis dapat menimbulkan salah pengertian (misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation), yang pada gilirannya bisa menimbulkan salah komunikasi (miscommunication).
Gangguan semantis kadang-kadang disebabkan pula oleh aspek antropologis, yakni kata- kata sama bunyinya dan tulisannya, tetapi memiliki makna yang berbeda. “Rampung Sunda lain sifatnya konotatif. Dalam komunikasi bahasa yang sebaiknya dipergunakan adalah kata-kata yang denotatif. Kalau terpaksa juga menggunakan kata-kata yang konotatif, seyogyanya dijelaskan apa yang dimaksudkan sebenarnya, sehingga tidak terjadi salah tafsir. Kata-kata yang bersifat denotatif adalah yang mengandung makna sebagaimana tercantum dalam kamus
(dictionary meaning) dan diterima secara umum oleh kebanyakan orang yang sama dalam
kebudayaan dan bahasanya. Kata-kata yang mempunyai pengertian konotatif adalah yang mengandung makna emosional atau evaluatif (emotional or evaluative meaning) disebabkan oleh latar belakang kehidupan dan pengalaman seseorang.
Jadi, untuk menghilangkan hambatan semantis dalam komunikasi, seorang komunikator harus mengucapkan pernyataannya dengan jelas dan tegas, memilih kata-kata yang tidak menimbulkan persepsi yang salah, dan disusum dalam kalimat-kalimat yang logis.
3. Hambatan Mekanis komunikasi. Banyak contoh yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari; suara telepon yang krotokan, ketikan huruf yang buram pada surat, suara yang hilang-muncul pada pesawat radio, berita surat kabar yang sulit dicari sambungan kolomnya, gambar yang meliuk-liuk pada pesawat televisi dan lain-lain.
Hambatan pada beberapa media tidak mungkin diatasi oleh komunikator, misalnya hambatan yang dijumpai pada surat kabar, radio dan televisi. Tetapi pada beberapa media komunikator dapat saja mengatasinya dengan mengambl sikap tertentu, misalnya ketika sedang menelepon terganggu oleh krotokan. Barangkali ia dapat mengulanginya beberapa saat kemudian.
Hambatan yang dijumpai pada surat, misalnya huruf ketikan yang buram, dapat diatasi dengan mengganti pita mesin tik atau mesin tiknya sendiri. Yang penting diperhatikan dalam komunikasi ialah seperti telah disinggung di muka-sebelum suatu pesan komunikasi dapat diterima secara rohani (accepted), terlebih dahulu harus dipastikan dapat diterima secara inderawai (received), dalam arti kata bebas dari hambatan mekanis. Apakah pesannya kemudian dapat diterima secara rohani atau tidak, itu merupakan maslah kedua yang akan dibahas pada bab mendatang.
4. Hambatan Ekologis Hambatan ekologis terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan terhadap proses berlangsungnya komunikasi, jadi datangnya dari lingkungan. Contoh hambatan ekologis adalah suara riuh orang-orang atau kebisingan lalu-lintas, suara hujan atau petir, suara pesawat terbang lewat, dan lain-lain pada saat komunikator sedang berpidato.
Situasi komunikasi yang tidak menyenangkan seperti itu dapat diatasi komunikator dengan menghindarkannya jauh sebelum atau dengan mengatasinya pada saat ia sedang berkomunikasi. Untuk menghindarkannya komunikator harus mengusahakan tempat komunikasi yang bebas dari gangguan suara lalu-lintas atau kebisingan orang-orang seperti disebutkan tadi. Dalam menghadapi gangguan seperti hujan, petir, pesawat terbang lewat, dan lain-lain yang datangnya tiba-tiba tanpa diduga terlebih dahulu maka komunikastor dapat melakukan kegiatan tertentu, misalnya berhenti dahulu sejenak atau memperkeras suaranya (Effendi, 2004:60).
Fajar (2009:110), mengemukakan bahwa komunikasi verbal yang menggunakan kata- kata secara lisan dengan secara sadar dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan manusia lain. Dasar komunikasi verbal adalah interaksi antara manusia. Dan menjadi salah satu cara bagi manusia berkomunikasi secara lisan atau bertatapan dengan manusia lain, sebagai sarana utama menyatukan pikiran, perasaan dan maksud kita.
Selain itu, Rubin dalam Larry A.Samovar dan Richard E Porter (2007:169) mengatakan
Language is a set of characters or elements and rules for their use in relation to one another.
These characters or elements are language symbols that are culturally diverse. (bahasa adalah
kumpulan perilaku atau elemen serta peraturan untuk digunakan dalam berhubungan satu sama lain. Karakter dan elemen tersebut adalah simbol bahasa dengan bermacam-macam adat istiadat).
Sedangkan komunikasi verbal menurut Hardjana (2003:22-23), adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan maupun tertulis. Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antarmanusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pikiran, gagasan atau maksud mereka, menyampaikan fakta data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat,dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan penting.
Pada buku komunikasi antarbudaya Devito (1997:119-120) mengatakan bahwa Bahasa dapat dibayangkan sebagai kode, atau sistem simbol, yang kita gunakan untuk membentuk pesan-pesan verbal kita. Kita dapat mendefinisikan bahasa sebagai sistem produktif yang dapat dialihkan dan terdiri atas simbol-simbol yang cepat lenyap (rapidly fading), bermakna bebas
(arbitary), serta dipancarkan secara kultural (Hockett, 1977). Masing-masing karakteristik ini
akan dijelaskan secara singkat.a.
Produktivitas
Bahasa bersifat produktif, terbuka, kreatif. Artinya, pesan-pesan verbal kita merupakan gagasan-gagasan baru; setiap gagasan bersifat baru. Tentu ada beberapa pengecualian dari kaidah umum ini, tetapi tidak banyak dan tidak penting. Ketika anda berbicara, anda tidak mengulang kalimat-kalimat hasil mengingat melainkan menciptakan sendiri kalimat-kalimat baru. Begitupula, pemahaman anda atas pesan-pesan verbal menunjukkan produktivitas dalam arti bahwa anda dapat memahami pemikiran- pemikiran baru yang dikemukakan.
b.
Pengalihan Karena bahasa kita mengenal pengalihan (displacement), kita dapat berbicara mengenai hal-hal yang jauh dari kita baik dari segi tempat maupun waktu. Kita dapat berbicara tentang masa lalu dan maa depan semudah kita berbicara tentang masa kini. Dan kita dapat berbicara tentang hal-hal yang tidak pernah kita lihat-tentang manusia duyung, kuda bertanduk, dan mahluk dari planet lain.
c.
Pelenyapan Cepat Suara kita melenyap dengan cepat; suara-suara ini lenyap. Suara harus diterima segera setelah itu dikirimkan atau kita tidak akan pernah menerimanya. Sudah barang tentu, semua isyarat berangsur-angsur akan melenyap; simbol-simbol tertulis bahkan simbol- simbol yang dipahatkan pada batu permanen. Tetapi, secara relatif, isyarat suara barangkali merupakan yang paling tidak permanen diantara semua media komunikasi,; inilah yang dimaksud dengan pelenyapan cepat (rapid fading).
d.
Kebebasan Makna
Isyarat bahasa mempunyai kebebasan makna (arbitary); mereka tidak memiliki karakteristik atau sifat fisik dari benda atau hal yang mereka gambarkan. Kata anggur tidak lebih lezat ketimbang kata bulgur. Kata bulgur juga tidak lebih mengenyangkan ketimbang kata anggur. Suatu kata memiliki arti atau makna yang mereka gambarkan karena kitalah yang secara bebas menentukan arti atau maknanya.
2.2.4.2 Proses Verbal Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yangkita gunakan. Proses-proses ini (bahasa verbal dan pola-pola berpikir) secara vital berhubungan dengan persepsi dan pemberian serta penyertaan makna.
1. Bahasa Verbal Setiap diskusi tentang bahasa dalam peristiwa-peristiwa antarbudaya harus mengikutsertakan pembahasan atas isu-isu bahasa yang umum sebelum membahas masalah-masalah khusus tentang bahasa asing, penerjemahan bahasa, dan dialek serta logat subkultur dan subkelompok. Dalam perkenalan kita dengan berbagai dimensi budaya ini, kita akan membicarakan bahasa verbal dan relevansinya dengan pemahaman kita tentang budaya.
Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau budaya. Objek-objek, kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, dan perasaan- perasaan mempunyai suatu label atau nama tertentu semata-mata karena suatu komunitas orang, atas kehendak mereka, memutuskan untuk menamakan hal-hal tersebut demikian. Karena bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan bergantung pada berbagai penafsiran. Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan turut membentuk pikiran.
2. Pola-Pola Berpikir Proses-proses mental, bentuk-bentuk penalaran, dan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah yang terdapat dalam suatu komunitas, merupakan suatu komponen penting budaya. Kecuali bila mereka mempunyai pengalaman bersama orang-orang lain dari budaya lain yang mempunyai pola berpikir yang berbeda, kebanyakan orang menganggap bahawa setiap orang berpikir dengan cara yang sama. Namun, kita harus sadar bahwa terdapat-perbedaan-perbedaan budaya dalam aspek- aspek berpikir. Perbedaan-perbedaan ini dapat dijelaskan dengan membandingkan pola-pola berpikir Timur. Di Barat umumnya orang berpikir bahwa ada suatu hubungan yang langsung antara konsep-konsep mental dan dunia realitas yang nyata.
Orientasi ini menuntut pertimbangan-pertimbangan logis dan rasionalitas. Ada kepercayaan bahwa kebenaran terdapat diluar sana, bahwa kebenaran dapat diperoleh ditemukan dengan pencarian aktif dan penerapan cara-cara berpikir Aristotelian. Sebaliknya, orang harus menunggu, dan bila kebenaran memang harus diketahui, maka kebenaran itu akan menampakkan diri. Perbedaan utama dalam kedua pandangan ini terdapat pada bidang kegiatan. Bagi orang-orang Barat, kegiatan manusia itu penting dan akhirnya akan menuntun kepada penemuan kebenaran. Dalam tradisi pemeluk agama Tao, kebenaran merupakan agen yang aktif, dan bila kebenaran itu harus diketahui, kebenaran akan muncul melalui kegiatan penampakan diri kebenaran tersebut. Pola-pola berpikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang pada gilirannnya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang merespons individu-individu dari suatu budaya lain. Kita tak dapat mengharapkan setiap orang untuk menggunakan pola-pola berpikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat banyak pola berpikir danbelajar menerima pola-pola tersebut akan memudahkan komunikasi antarbudaya tersebut. (Mulyana, 2005:30).
2.2.4.3 Bahasa Menurut Wardhaugh (1985) dalam Devito (1997: 157) berpendapat bahasa merupakan
Sebagai suatu institusi sosial, bahasa mencerminkan dan mempengaruhi masyarakat dimana bahasa menjadi salah satu bagiannya.
Entah komunikasi verbal atau komunikasi nonverbal, dalam berkomunikasi menggunakan bahasa. Pada dasarnya bahasa adalah suatu sistem lambang yang memungkinkan orang berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang dipergunakan adalah bahasa verbal entah lisan, tertulis pada kertas, ataupun elektronik. Dalam komunikasi nonverbal, bahasa yang dipakai adalah bahasa nonverbal berupa bahasa tubuh (raut wajah, gerak kepala, gerak tangan), tanda, tindakan, objek.
Bahasa suatu bangsa atau suku bangsa berasal dari interaksi dan hubungan antara warganya satu sama lain. Pada awalnya bahasa terdiri dari lambang-lambang nonverbal, seperti raut wajah, gerak mata, gerak anggota tubuh seperti tangan atau kaki, atau gerak-gerik tubuh, dan tindakan-tindakan tertentu seperti bersalaman, berpelukan dan berciuman.
Tetapi dengan berjalannya waktu dan perkembangan hidup, bahasa nonverbal dirasa tidak memadai lagi. Karena banyak gagasan, pemikiran, perasaan, atau sikap tidak mampu lagi diungkapkan dan disampaikan dengan bahasa nonverbal. Maka, terciptalah bahasa verbal, mula- mula berbentuk lisan, kemudian tertulis, dan akhir-akhir ini elektronik. Bahasa verbal terus-
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual kita (Mulyana, 2007: 260-261).