Hambatan Komunikasi Antara Mertua Dan Menantu (Studi Etnografi Terhadap Hambatan Komunikasi Antara Mertua Dan Menantu Yang Masih Melaksanakan Rebu Pada Suku Karo Di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo)

(1)

HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARA MERTUA DAN MENANTU

(STUDI ETNOGRAFI TERHADAP HAMBATAN KOMUNIKASI

ANTARA MERTUA DAN MENANTU YANG MASIH MELAKSANAKAN

REBU

PADA SUKU KARO DI DESA BATUKARANG KECAMATAN

PAYUNG KABUPATEN KARO)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

APRINI ODOR SITUMORANG

100922013

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberkati penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Atas berkat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hambatan Komunikasi Antara Mertua dan Menantu Pada Suku Karo di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo”. Penulisan skripsi dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus saya menyampaikan rasa terima kasih yang terdalam kepada Ayahanda B.Situmorang, Ibunda R.Simbolon serta Kakak Sondang Erwina Situmorang, Riana Erwita Situmorang/Hormat Siahaan, dan juga Samuel Situmorang atas doa, dukungan materi dan moril yang diberikan untuk memotivasi saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada pihak- pihak yang telah banyak

membantu dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara serta seluruh jajarannya.

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A, selaku Ketua Departemen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Program Studi Imu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu DR. Nurbani, M.Si, selaku dosen pembimbing, terima kasih atas saran, kritik, bimbingan, wawasan, pengetahuan, waktu, tenaga, dan pikiran yang telah diberikan dengan sabar untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen dan staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing mulai dari semester awal hingga saya menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh karyawan Tata Usaha Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dalam membantu penulis mengurus administrasi sidang.


(3)

7. Buat teman-teman Ekstensi Komunikasi 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu memberi semangat dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Para informan yang telah bersedia memberikan informasi yang diperlukan serta seluruh

pegawai kantor Kecamatan Payung dan juga seluruh masyarakat Desa Batukarang.

Saya menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati saya berharap pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan skripsi ini serta memperdalam pengetahuan dan pengalaman saya. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Medan, Maret 2013


(4)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Hambatan Komunikasi Antara Mertua dan Menantu (Studi Etnografi Terhadap Komunikasi Antara Mertua dan Menantu yang masih melaksanakan rebu Pada Suku Karo di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hambatan komunikasi verbal dan nonverbal dan alasan mertua dan menantu masih melaksanakan rebu. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi yaitu pembuatan dokumentasi dan analisis budaya tertentu dengan mengadakan penelitian lapangan dimana dalam mendeskripsikan suatu kebudayaan seorang etnografer juga menganalisis. Penelitian ini melibatkan sembilan orang informan yang merupakan mertua dan menantu yang melaksanakan rebu di desa Batukarang yang diperoleh dengan cara Purposive Sampling dan Snowball Sampling dimana memilih subjek yang memiliki pengetahuan dan informasi tentang fenomena yang diteliti kemudian dari informan kunci diminta petunjuk siapa sebaiknya yang menjadi informan berikutnya. Hasil penelitian menemukan bahwa rebu pada suku Karo di desa Batukarang dilakukan antara mertua laki-laki dan menantu perempuan atau mertua perempuan dan menantu laki-laki. Hal itu masih masih dilakukan demi menjaga kelestarian adat istiadat dan hambatan komunikasi yang terjadi dapat diatasi melalui perantara orang ketiga apabila rebu itu dilanggar maka tidak ada sanksi bagi yang melanggar.

Kata Kunci:

Komunikasi, Komunikasi Antarbudaya, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Hambatan Komunikasi, Rebu dalam kehidupan masyarakat batak Karo.


(5)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Model Teoritis 37

3.1 Kerangka Analisis 43


(6)

DAFTAR REFERENSI

LAMPIRAN -Hasil wawancara -Biodata Peneliti


(7)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

LEMBAR PENGESAHAN……….. ii

KATA PENGANTAR………... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... v

ABSTRAK………. vi

DAFTAR ISI……….. vii

DAFTAR GAMBAR………. viii

DAFTAR LAMPIRAN……….. ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah……… 1

1.2 Fokus Masalah……… 6

1.3 Tujuan Penelitian………... 7

1.4 Manfaat Penelitian………. 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian……… 8

2.2 Kajian Pustaka……… 9

2.3 Model Teoritis………. 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian………. 45

3.2 Objek Penelitian……… 47

3.3 Subjek Penelitian……… 49

3.4 Kerangka Analisis……… 50

3.5 Teknik Pengumpulan Data (termasuk waktu penelitian)….. 51

3.6 Teknik Analisa Data……… 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil……….. 56

4.2 Pembahasan………. 73

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan……….. 79


(9)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Hambatan Komunikasi Antara Mertua dan Menantu (Studi Etnografi Terhadap Komunikasi Antara Mertua dan Menantu yang masih melaksanakan rebu Pada Suku Karo di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hambatan komunikasi verbal dan nonverbal dan alasan mertua dan menantu masih melaksanakan rebu. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi yaitu pembuatan dokumentasi dan analisis budaya tertentu dengan mengadakan penelitian lapangan dimana dalam mendeskripsikan suatu kebudayaan seorang etnografer juga menganalisis. Penelitian ini melibatkan sembilan orang informan yang merupakan mertua dan menantu yang melaksanakan rebu di desa Batukarang yang diperoleh dengan cara Purposive Sampling dan Snowball Sampling dimana memilih subjek yang memiliki pengetahuan dan informasi tentang fenomena yang diteliti kemudian dari informan kunci diminta petunjuk siapa sebaiknya yang menjadi informan berikutnya. Hasil penelitian menemukan bahwa rebu pada suku Karo di desa Batukarang dilakukan antara mertua laki-laki dan menantu perempuan atau mertua perempuan dan menantu laki-laki. Hal itu masih masih dilakukan demi menjaga kelestarian adat istiadat dan hambatan komunikasi yang terjadi dapat diatasi melalui perantara orang ketiga apabila rebu itu dilanggar maka tidak ada sanksi bagi yang melanggar.

Kata Kunci:

Komunikasi, Komunikasi Antarbudaya, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Hambatan Komunikasi, Rebu dalam kehidupan masyarakat batak Karo.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa budaya Indonesia yang terkikis oleh budaya barat sehingga generasi muda hampir melupakan budaya bangsa sendiri. Banyak generasi muda yang malu melaksanakan budaya itu sendiri dikarenakan tidak up to date atau ketinggalan zaman. Misalnya, para generasi muda enggan untuk belajar alat musik tradisional seperti angklung, gamelan dan lain-lain karena mereka lebih cenderung menyukai belajar alat musik modern seperti gitar, piano, bass, drum sehingga mereka dapat memainkan segala jenis aliran musik modern yang mereka sukai dengan alat musik modern tersebut.

Salah satu budaya Indonesia yang lama kelamaan sudah jarang diterapkan lagi khususnya di daerah perkotaan seperti kota Medan adalah Rebu. Seperti yang pernah diungkapkan oleh bapak Antoni Bangun selaku ketua adat desa Batukarang, dahulu kala rebu masih dijalankan oleh masyarakat Karo baik di kota maupun di desa tetapi sejalan dengan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan-perubahan terjadi meliputi perubahan tata kelakuan atau tingkah laku atau tata krama yang telah terpola dengan perilaku “hubungan sungkan” (rebu) . Masyarakat Karo yang telah lama tinggal di kota sebagian besar sudah tidak menjalankannya karena mereka menganggap rebu menjadikan hubungan antara mertua dan menantu pada suku Karo menjadi kaku untuk berkomunikasi satu sama lain dan lama-kelamaan mereka telah menganggap bahwa antara mertua dan menantu mempunyai hubungan layaknya orang tua dengan anak sehingga satu sama lain dapat berkomunikasi secara langsung seperti mereka berkomunikasi dengan anggota keluarga lainnya.

Rebu dianggap sulit untuk diterapkan dikarenakan antara mertua laki-laki dan menantu perempuan begitupun sebaliknya memiliki jarak pemisah dalam melakukan komunikasi serta untuk melakukan kegiatan sehari-hari di dalam rumah juga tidak semudah layaknya mertua dan menantu pada umumnya. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari mereka harus menjaga tingkah laku/perilaku serta tutur kata seperti tidak boleh berkomunikasi secara langsung karena harus melalui perantara/orang ketiga dan apabila secara tidak sengaja saling berpapasan maka sebisa mungkin untuk saling menghindar agar tidak saling bertatap muka dan kalau sudah terlanjur bertatap muka maka keduanya agar sedikit menundukkan sedikit kepala sebagai tanda


(11)

penyesalan karena tidak sengaja melakukannya. Walaupun rebu yang dianggap sulit untuk dilakukan namun begitu masih ada yang masih melaksanakan hal tersebut seperti yang dilakukan oleh masyarakat desa Batukarang karena mereka menganggap bahwa adat istiadat yang telah diberikan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun maka harus tetap dijaga dan dilakukan sebagaimana seharusnya. Pada saat berkomunikasi para pelaku rebu harus menjaga jarak satu sama lain sehingga tidak memungkinkan untuk saling berdekatan misalnya tidak boleh satu tempat duduk dan juga melalui orang ketiga/perantara. Hambatan komunikasi yang seperti itulah memungkinkan pelaku rebu tidak dapat menerima pesan secara lengkap karena pada saat penyampaian pesan, orang ketiga tidak sepenuhnya menyampaikan pesan sesuai dengan aslinya karena bisa saja pihak ketiga tidak mengerti pesan yang disampaikan ataupun dia tidak dapat mendengar dengan baik karena sesuatu hal ataupun tidak dapat mengingat pesan secara lengkap seperti yang disampaikan, maka sebaiknya harus memilih pihak ketiga yang mengerti dan bisa menyampaikan pesan dengan baik (dikutip dari skripsi Heksanta Bangun, Antropologi USU).

Komunikasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Hafied Cangara (2006:4) mengungkapkan bahwa komunikasi merupakan salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam kehidupan umat manusia. Melalui komunikasi pula seseorang dapat menumbuhkan, mempelajari serta mengembangkan budaya itu sendiri.Setiap aktivitas manusia tidak lepas dari komunikasi karena komunikasi tersebut berfungsi untuk menyampaikan keinginan seseorang kepada seorang lainnya atau lebih. Proses Komunikasi adalah rangkaian kejadian dengan melakukan hubungan, kontak, interaksi satu sama lain berupa penyampaian pesan melalui penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti dan makna. Proses komunikasi yang baik apabila hubungan interaksi penyampaian pesan/informasi yang dilakukan tertuju kepada penerima pesan/informasi itu dan secara timbal balik disampaikan melalui media/saluran yang cocok serta dapat dipahami oleh pihak yang terlibat dalam penyampaian dan penerimaan pesan tersebut. Memahami budaya yang berbeda dengan kita juga bukanlah hal yang mudah, dimana kita dituntut untuk mau mengerti realitas budaya orang lain. Jadi, melalui komunikasi kita dapat bertukar informasi tentang budaya kita dengan orang lain dengan latar belakang budaya yang berbeda ataupun sebaliknya dan dapat saling memahami tentang budaya lain sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.

Setiap etnis mengenal istilah dan adat sopan santun kekerabatan yang berbeda-beda yang digunakan untuk mengelompokkan, menyebut dan memanggil anggota kerabatnya, perbedaan itu


(12)

berhubungan erat dengan berbedanya peranan dan kedudukan masing-masing anggota kerabat dan kelompok kekerabatannya. Selain itu dalam berinteraksi dengan para kerabat, dikenal berbagai aturan dan nilai agar seorang anggota kerabat dikategorikan beradat. Aturan dan nilai tersebut menjadi pengetahuan umum dan dijadikan menjadi sebagai pola dalam berinteraksi. Akibatnya ada interaksi yang harus bersikap sopan, hati-hati, akrab, sungkan, dan tidak sungkan atau bersikap akrab, bebas. Dengan kata lain dalam kekerabatan dalam hubungannya dengan istilah yang digunakan ada aturan atau adat sopan santun yang harus dituruti. Seorang yang tidak tahu istilah dan adat sopan santun kekerabatan dikategorikan sebagai “tidak beradat” atau dicap tidak tahu sopan santun. 2013). Sebagai contoh keluarga yang tidak menjalankan adat rebu yaitu keluarga Selo Purba dan Rosnani Ginting dari Kampung Lau Cimba. Pasangan ini menikah tahun 1986 dan memiliki dua orang anak, sewaktu mereka tinggal bersama di rumah mertuanya mereka tidak menjalankan rebu. Sebelumnya perbuatan keluarga ini yang tidak menjalankan rebu tidak begitu diperdulikan oleh masyarakat tetapi karena diluar lingkungan rumah mereka juga sering berkomunikasi antara mami dan kela sehingga masyarakat setempat tidak dapat menahan emosi sehingga masyarakat melempari batu kerumahnya sampai akhirnya kepala kampung mengajak masyarakat untuk bermusyawarah. Dan dari hasil musyawarah tersebut keluarga ini tidak jadi diusir karena mereka termasuk keturunan dari merga pemuka kampung Lau Cimba yang merupakan keluarga kepala kampung juga. (dikutip dari skripsi Heksanta Ginting, Departemen Antropologi, Universitas Sumatera Utara).

Menurut Elly M.Setiadi (2006: 33-34), kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, seperti di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan universal. Dimana sifat-sifat budaya itu akan memiliki ciri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain:

1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.

2. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.


(13)

Budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan yang diizinkan.

Secara garis besar, setiap masyarakat di negeri ini memiliki kekhasan tersendiri. Seperti di beberapa tempat, ada tabu atau pantangan dalam suatu keluarga seorang anak yang lebih muda menikah terlebih dahulu dari yang lebih tua. Tabu berasal dari kata taboo yang diambil dari bahasa Tonga, salah satu bahasa dari rumpun Polinesia. Pada masyarakat Tonga kata taboo merujuk pada tindakan yang dilarang atau yang harus dihindari. Bila tindakannya saja dilarang, maka bahasa atau kata-kata yang merupakan simbol dari tindakan itu pun dilarang. Dengan demikian dapat mendefinisikan “tabu sebagai kata-kata yang tidak boleh digunakan, setidaknya tidak dipakai di tengah masyarakat beradab”.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia diakses pada tanggal 20 Maret 2012). Tabu yang mungkin sebagai sebuah bentuk sikap untuk menghormati yang lebih tua meski dibungkus dengan alasan bahwa akan membuat yang lebih tua kesulitan mendapat jodoh ketika didahului yang lebih muda. Demikian juga dengan masyarakat Karo, terdapat pantangan yang menjadi sebuah aturan meski tidak tertulis, hanya disampaikan secara lisan saja. Salah satu yang unik dalam kajian komunikasi antarbudaya ini adalah ketika seorang mertua laki-laki dan menantu perempuan ataupun mertua perempuan dan menantu laki-laki pada etnis ini masih tabu saling berbicara satu sama lain.

Adat istiadat yang tabu dalam berbicara antara mertua laki-laki dan menantu perempuan dan juga sebaliknya inilah yang dinamakan rebu. Istilah rebu berarti “pantang’, ‘dilarang’, ‘tidak dapat’, tidak diiijinkan melakukan sesuatu hal atau perbuatan’. Manifestasi rebu (dilarang) ini dalam adat istiadat Karo, adalah dilarang berbicara, dilarang duduk sebangku/setikar, misalnya antara mertua laki-laki dengan menantu perempuan dan juga mertua perempuan dengan menantu laki-laki. Rebu ini sebagai tanda adanya batas kemerdekaan diri karena melalui perilaku seperti ini dapat mengingatkan dan sadar akan prinsip sosial dalam cara hidup berkerabat, maka melalui rebu, setiap pelaku rebu akan mampu mengkontrol perbuatan dirinya sendiri. rebu menimbulkan rasa enggan, dari enggan menimbulkan rasa hormat dan juga hormat menimbulkan sopan santun. Adat sopan santun pada dasarnya adalah segala tingkah laku, perilaku, adat istiadat, tegur sapa, ucapan dan cakap yang sesuai dengan kaidah atau norma tertentu. Sifatnya yang normatif menyebabkan rebu menjadi pola kelakuan sosial warga masyarakat yang mendukungnya, yaitu mengandung nilai-nilai, aturan-aturan, ide-ide, dan


(14)

keyakinan yang secara keseluruhan pedoman bertindak dan bertingkah laku bagi setiap warga masyarakatnya, sehingga individu-individu anggota masyarakat yang melanggar atau tidak menjalankan rebu sebagaimana mestinya dapat dipandang telah melanggar norma.

Konsep yang timbul dari asumsi mengenai rebu adalah konsep sopan-santun, kepercayaan (religius), mite dan fungsi. Norma sopan santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok manusia di dalam masyarakat dan dianggap sebagai tuntutan pergaulan sehari-hari masyarakat itu. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu. Norma kesopanan sangat penting diterapkan, terutama dalam bermasyarakat karena norma ini sangat erat kaitannya terhadap masyarakat, sekali saja kita melanggar terhadap norma kesopanan pasti akan mendapat sanksi dari masyarakat misalnya “cemoohan” atau yang lainnya. Norma adalah suatu aturan yang mengatur sikap, perilaku dan tindakan seseorang di dalam kehidupan masyarakat, sehingga hubungan antara mereka dapat terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan oleh anggota masyarakat, pada etnis karo rebu merupakam hal yang tabu bila aturan tersebut dilanggar pada masa lalu.

Seorang mertua laki-laki dan menantu perempuan ataupun mertua perempuan dan menantu laki-laki dalam suku Karo yang ingin berkomunikasi satu sama lain harus melalui perantara. Dan hal inilah yang menjadi suatu hambatan komunikasi dimana seorang mertua laki-laki yang ingin menyampaikan suatu pesan kepada menantu perempuan begitupun sebaliknya harus melalui perantara misalnya menantu perempuan ingin pergi kerja dan ingin berpamitan kepada mertua laki-laki tetapi karena adat yang mengharuskan mereka untuk tidak saling berbicara maka menantu tersebut menyampaikan kepada mertua perempuan untuk diberitahukan kembali kepada mertua laki-laki. Misalnya saja, di suatu rumah kebetulan hanya ada seorang menantu wanita dengan ayah mertuanya. Sang Ayah mertua jatuh sakit dan benar-benar butuh pertolongan cepat, dalam kondisi seperti ini sang menantu wanita tetap tidak boleh berkomunikasi atau menyentuh sang ayah mertua. Tidak menutup kemungkinan kalau sang ayah mertua tiba-tiba meninggal pada saat itu. Dan pada kondisi seperti ini adat rebu tersebut terkesan seperti sebuah kesalahan. Seperti halnya ada seorang ibu mertua (mami) hanyut di sebuah sungai dikarenakan yang melihat kejadian tersebut si menantu pria (Kela). Dikarenakan “Rebu/Tabu” tadi si menantu pria hanya berteriak minta tolong, dan hanyutlah si ibu mertua (maminya) tadi.


(15)

(Topik cerita ini pernah diangkat dalam “Sarasehan Budaya Karo” di gedung Alpha Omega Medan, pada tahun 1989)

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hambatan Komunikasi Antara Mertua dan Menantu Pada Suku Karo di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo.

1.2. Fokus Masalah

Fokus masalah dalam penelitian ini adalah, untuk mengetahui hambatan komunikasi antara mertua dan menantu pada suku Karo di desa Batukarang kecamatan Payung kabupaten Karo, karena di daerah ini masyarakat Karo itu sendiri masih memegang teguh adat-istiadat termasuk masih menjalankan Rebu yang dilakukan antara mami (mertua perempuan) dengan kela (menantu laki-laki) dan juga antara bengkila (mertua laki-laki) dengan permain (menantu perempuan).

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui komunikasi Verbal antara mertua dan menantu pada suku Karo. 2. Untuk mengetahui komunikasi Nonverbal antara mertua dan menantu pada suku Karo. 3. Untuk mengetahui alasan mertua dan menantu masih melaksanakan “Rebu”.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU Medan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bagi generasi muda Karo mempelajari serta melestarikan kebudayaan daerah sebagai bagian dari kebudayaan.

3. Secara teoritis, penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Ilmu komunikasi dan memberikan manfaat bagi peneliti.


(16)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian

Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan suatu kebenaran. Usaha untuk mencari kebenaran dilakukan oleh peneliti melalui model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma. Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian yang berfungsi (perilaku di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu) (Moleong, 2005:49).

Perspektif atau paradigma yang peneliti gunakan adalah kualitatif dimana pendekatan sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris). Sementara itu penelitian kualitatif tidak menggunakan statistik, data hasil penelitian diperoleh secara langsung, misalnya observasi partisipan, wawancara mendalam, dan studi dokumen sehingga peneliti mendapat jawaban apa adanya dari responden.(Iskandar:35-37).

Peneliti menggunakan pendekatan interpretif dimana berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Pendekatan interpretif diadopsi dari orientasi praktis. Secara umum pendekatan interpretatif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara detail langsung mengobservasi. (Newman, 1997: 68). Selain itu interpretif juga melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam memahami makna sosial. Interpretif melihat fakta sebagai hal yang cair (tidak kaku) yang melekat pada sistem makna dalam pendekatan interpretatif. Fakta-fakta tidaklah imparsial, objektif dan netral. Fakta merupakan tindakan yang spesifik dan kontekstual yang bergantung pada pemaknaan sebagian orang dalam situasi sosial. Interpretif menyatakan situasi sosial mengandung ambiguisitas yang besar. Perilaku dan pernyataan dapat memiliki makna yang banyak dan dapat dinterpretasikan dengan berbagai cara. (http://ernams.wordpress.com/2008/01/07/pendekatan-interpretif/ diakses pada tanggal 5 Juli 2012).


(17)

2.2 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan acuan atau landasan berpikir peneliti dengan basis pada bahan pustaka yang membahas tentang teori atau hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan dijalankan (Prajarto, 2010:49). Pencarian dan penelusuran kepustakaan atau literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian sangat diperlukan. Penelitian tidak dilakukan di ruang kosong dan tidak pula dapat dikerjakan dengan baik, tanpa basis teoritis yang jelas. Penelitian kekinian sesungguhnya menelusuri atau meneruskan peta jalan yang telah dirintis oleh peneliti terdahulu. (Danim Sudarwan, 2001:105 dalam Iskandar, 2009:100).

Dengan adanya kajian teori, maka peneliti akan mempunyai landasan untuk menentukan tujuan dan arah penelitian. Adapun teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah:

2.2.1 Komunikasi

Secara etimologis atau menurut asal katanya, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatio, dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Arti communis disini adalah sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal. Jadi komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat keasamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Secara trminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Dari pengertian itu jelas bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi itu adalah manusia. Karena itu, komunikasi yang dimaksudkan disini adalah komunikasi manusia atau dalam bahasa asing humancommunication, yang sering kali pula disebut komunikasi sosial atau social communication. Komunikasi manusia sebagai singkatan dari komunikasi antarmanusia dinamakan komunikasi sosial atau komunikasi kemasyarakatan karena hanya pada manusia-manusia yang bermasyarakat terjadinya komunikasi (Effendy, 2004: 3-4). Selain itu, Komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. (De vito, 1997:23).

Selanjutnya, Liliweri (2004:5) berpendapat esensi komunikasi terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang “melayani’ hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Itulah sebabnya mengapa semua orang pertama-tama tertarik mempelajari komunikasi manusia (human communication), sebuah proses komunikasi yang melibatkan


(18)

manusia pada kemarin, kini dan mungkin di masa yang akan datang. Komunikasi manusia itu melayani segala sesuatu, akibatnya orang bilang komunikasi itu sangat mendasar dalam kehidupan manusia, komunikasi merupakan proses yang universal. Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku, dan tindakan yang trampil dari manusia (communication involves both attitudes and skills). Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain.

Menurut (Rudy, 2005:1), komunikasi adalah proses penyampaian informasi-informasi, pesan-pesan, gagasan-gagasan atau pengertian-pengertian, dengan menggunakan lambang-lambang yang mengandung arti atau makna, baik secara verbal maupun non verbal dari seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau sekelompok orang lainnya dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian dan/atau kesepakatan bersama.. Sedangkan (Morissan, 2009:11), mengemukakan komunikasi merupakan bentuk interaksi. Komunikasi adalah kendaraan atau alat yang digunakan untuk bertingkah laku dan untuk memahami serta memberi makna terhadap segala sesuatu di sekitar kita. Interaksi akan mengarah pada makna yang dipahami bersama dan sekaligus memperkuat makna bersama itu. Interaksi juga membangun berbagai konvensi yang merupakan standar makna dan tindakan, seperti peraturan, peran orang-orang tertentu, serta norma-norma yang memungkinkan terjadinya interaksi lebih jauh. Teori interaksi dirancang untuk menjelaskan proses sosial dan menunjukkan bagaimana tingkah laku orang dipengaruhi oleh aturan atau norma-norma kelompok.

Robert E. Park mengungkapkan dalam Liliweri (2004:179), komunikasi menjadi sangat penting dalam membentuk sebuah kebersamaan masyarakat, komunikasi mencipatakan, atau membuat segala kebimbangan menjadi lebih pasti, bahwa sebuah konsensus dan pengertian bersama diantara individu-individu sebagai anggota kelompok sosial akan mudah menghasilkan, tidak saja unit-unit sosial tetapi juga unit-unit kultural, dalam masyarakat. Karena kebudayaan-dalam hal ini adat istiadat-menjadi harapan atau menjadi harapan atau menjadi faktor perekat bersama. Bagaimanapun juga kehidupan bersama suatu kelompok dalam masyarakat menjadi ada dan terus ada karena memiliki sejarah dan tradisi yang panjang yang diturunkan dari saru generasi ke generasi lain


(19)

2.2.1.1 Karakteristik Komunikasi

Adapun karakteristik dari komunikasi itu sendiri adalah (Fajar, 2009:33-34): 1. Komunikasi suatu proses

Komunikasi sebagai suatu proses artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu. Proses komunikasi melibatkan banyak faktor atau unsur. Faktor atau unsur yang dimaksud antara lain dapat mencakup pelaku atau peserta, pesan (meliputi bentuk, isi, dan cara penyajiannya), saluran atau alat yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan, waktu, tempat, hasil atau akibat yang terjadi.

2. Komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan

Komunikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar, disengaja serta sesuai dengan tujuan atau keinginan dari pelakunya. Pengertian sadar disini menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi yang dilakukan seseorang sepenuhnya berada dalam kondisi mental psikologis yang terkendalikan bukan dalam keadaan mimpi. Disengaja maksudnya bahwa komunikasi yang dilakukan memang sesuai dengan kemauan dari pelakunya sementara tujuan menunjuk pada hasil atau akibat yang ingin dicapai.

3. Komunikasi menurut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang terlibat. Kegiatan komunikasi akan berlangsung dengan baik apabila pihak-pihak yang berkomunikasi (dua orang atau lebih) sama-sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai perhatian yang sama terhadap topik pesan yang dikomunikasikan.

4. Komunikasi bersifat simbolis

Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang, misalnya: bahasa.

5. Komunikasi bersifat transaksional

Komunikasi pada dasarnya menuntut dua tindakan: memberi dan menerima. Dua tindakan tersebut tentunya perlu dilakukan secara seimbang atau proporsional oleh masing-masing pelaku yang terlibat dalam komunikasi.

6. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu

Komunikasi menembus faktor waktu dan ruang maksudnya bahwa para peserta atau pelaku yang terlibat dalam komunikasi tidak harus hadir pada waktu serta tempat yang


(20)

sama. Dengan adanya berbagai produk teknologi komunikasi seperti telepon, faksimili, teleks, dan lain-lain, kedua faktor tersebut (waktu dan ruang) bukan lagi menjadi persoalan dan hambatan dalam berkomunikasi.

2.2.1.2 Saluran Komunikasi

Setelah dikemas, pesan dapat disampaikan melalui saluran (channel) atau media. Pengirim dapat memilih media lisan (oral), tertulis (written), atau elektronik (elektronic).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain, dan akan berhasil bila terjadi saling pengertian diantara kedua belah pihak yang berkomunikasi baik secara individu ataupun kelompok secara verbal maupun nonverbal (Fajar, 2009:34)

2.2.2 Komunikasi Antarbudaya

Menurut (Devito, 1997:479), komunikasi antarbudaya mengacu pada komunikasi antara orang-orang dari kultur yang berbeda-beda antara orang-orang yang memiliki kepercayaan, nilai, atau cara berperilaku kultural yang berbeda. Sedangkan William B. Hart II, 1996 dalam Liliweri (2004:8) mengungkapkan komunikasi antarbudaya yang paling sederhana adalah komunikasi antapribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan

Definisi komunikasi antarbudaya menurut para ahli dalam (Liliweri, 2004:10-11) yaitu sebagai berikut:

a. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial. (Samovar dan Porter, 1976:25)

b. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. (Samovar dan Porter, 1976:4)

c. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhinya perilaku komunikasi para peserta (Dood, 1991:5).

d. Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang - yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu – memberikan interprestasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna


(21)

yang dipertukarkan. (Lustig dan Koester Intercultural Communication Competence, 1993).

e. Interculutral communication yang disingkat “ICC”, mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan.

f. Guo – Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negoisasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan :

1. Dengan negoisasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks, dan makna-makna itu dinegoisasikan atau diperjuangkan; 2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang

terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama;

3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita;

4. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasikannya dengan pelbagai cara.

Sehubungan dengan itu, menurut Mulyana (2005:20), komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi dimana suatu pesa disandi dalam suatu budaya dan haus disandi balik dalam budaya lain. Seperti telah kita lihat, budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan berbeda pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan. Namun, melalui studi dan pemahaman atas komunikasi antarbudaya, kita dapat mengurangi atau hampir menghilangkan kesulitan-kesulitan ini.

Jadi, kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Oleh karena itu, di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita (Liliweri, 2004: 8-12).

2.2.2.1 Teori Negoisasi Muka

Ting-Toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada muka dan facework. Muka jelas merupakan fitur yang penting dalam kehidupan, sebuah metafora bagi citra diri yang diyakini David-Ho (1976) melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial. Konsep muka telah


(22)

ber-evolusi dalam hal interpretasi selama bertahun-tahun. Konsep ini bermula dari bangsa Cina yang sebagaimana dikemukakan oleh Ho, memiliki dua konseptualisasi mengenai muka: lien dan min-tzu, dua istiah yang mendeskripsikan identitas dan ego.

Menurut Ho, “muka dapat menjadi lebih penting dibandingkan kehidupan itu sendiri”. Erving Goffman (1967) diakui sebagai sosok yang menempatkan muka dalam penelitian Barat kontemporer. Ia mengamati bahwa muka (face) adalah citra dari diri yang ditunjukkan orang dalam percakapannya dengan orang lain. Ting-Toomey dan koleganya (Oetzel, Ting-Toomey, Yokochi, Masumoto, & Takai, 2000) mengamati bahwa muka berkaitan dengan nilai diri yang positif dan/atau memproyeksikan nilai lain dalam interpersonal. Orang tidak “melihat” muka orang lain; sebaliknya, muka merupakan metafora bagi batasan yang dimiliki orang dalam hubungan dengan orang lain. Goffman (1967) mendeskripsikan muka sesuatu yang dipertahankan, hilang, atau diperkuat. Pada penulisan naskahnya, Goffman tidak memperkirakan bahwa istilah ini akan diaplikasikan pada hubungan dekat. Sebagai seorang sosiolog, ia percaya bahwa muka dan semua yang berkaitan dengannya lebih dapat diaplikasikan pada kajian mengenai kelompok sosial. Sejalan dengan waktu, kajian mengenai muka telah diaplikasikan pada beberapa konteks, termasuk hubungan dekat dengan kelompok kecil.

Ting-Toomey menggabungkan beberapa pemikirn dari penelitian mengenai kesantunan yang menyimpulkan bahwa keinginan mengenai muka merupakan keinginan yang universal (Brown & Levinson, 1978). Ting-Toomey (1988, 1991, 2004) memperluas pemikiran Goffman dan berpendapat bahwa muka merupakan citra diri seseorang yang diproyeksikan dan merupakan klaim akan penghargaan diri dalam sebuah hubungan. Ia percaya bahwa muka “melibatkan penampilan dari bagian depan yang beradab kepada individu lain”. (Ting-Toomey & Chung, 2005, hal.268). Ting-Toomey dan koleganya Beth Ann Cocroft (1994) dengan ringkas mengidentifikasi muka sebagai “fenomena lintas budaya”, yang artinya adalah semua budaya memiliki dan mengelola muka; muka melampaui semua budaya.

Sehubungan dengan cerita pembuka, Ting-Toomey dan para teoritikus Negoisasi Muka lainnya akan tertarik dalam mengetahui bahwa Profesor Yang berasal dari Cina dan Kevin Johnston adalah seorang Amerika. Keberagaman budaya mereka memengaruhi cara yakin bahwa walaupun muka adalah konsep yang universal, terdapat berbagai representasi muka dalam berbagai budaya. Kebutuhan akan muka ada didalam semua budaya, tetapi semua budaya tidak mengelola kebutuhan ini secara sama. Ting-Toomey berpendapat bahwa muka dapat


(23)

diinterpretasikan dalam dua cara yang utama: kepedulian akan muka dan kebutuhan akan muka. Kepedulian akan muka (face concern) mungkin berkaitan baik dengan muka seseorang maupun muka orang lain. Dengan kata lain, terdapat kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain. Kepedulian akan muka menjawab pertanyaan, “apakah saya menginginkan perhatian tertuju pada diri saya atau pada orang lain?” Kebutuhan akan muka (face need) merujuk pada dikotomi keterlibatan-otonomi. Maksudnya, “apakah saya ingin diasosiasikan dengan orang lain (keterlibatan) atau apakah saya ingin tidak diasosiasikan dengan mereka (otonomi)?”

2.2.2.2 Muka dan Teori Kesantunan

Sebagaimana telah kita lihat sebelumnya, Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian mengenai kesantunan. Teori kesantunan Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978) menyatakan bahwa orang akan menggunakan strategi kesantunan berdasarkan persepsi ancaman muka. Para peneliti melihat lebih dari selusin budaya yang berbeda di seluruh dunia dan menemukan bahwa terdapat dua kebutuhan universal: kebutuhan muka posiif dan kebutuhan muka negatif. Muka positif (positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting di dalam hidup kita; muka negatif (negative face) merujuk pada keinginan untuk memilki otonomi dan tidak dikekang. Karen Tracy dan Sheryl Baratz (1994) menyatakan bahwa “kebutuhan muka” ini merupakan bagian dari suatu hubungan. Mereka mendukung klaim sebagai berikut:

Pengakuan akan kebutuhan muka yang ada menjelaskan mengapa seorang mahasiswa yang ingin meminjam catatan teman sekelasanya tidak akan meminta mereka dengan langsung (“pinjam catatanmu, ya?), tetapi lebih sering mereka akan meminta dalam sikap yang memberikan perhatian kepada keinginan muka negatif seseorang (“apakah bisa saya meminjam catatanmu untuk satu jam saja? Saya akan memfotokopinya dan segera mengembalikannya kepadamu.”)

Penelitian Brown dan Levinson mengilustrasikan sebuah dilema bagi individu-individu yang berusaha untuk memenuhi kedua jenis kebutuhan muka di dalam sebuah percakapan. Misalnya, dalam cerita pembukaan kita ditunjukkan bahwa Profesor Yang ingin agar Kevin bekerja untuk mencapai potensi dirinya yang terbaik. Kebutuhan muka positifnya, dihadapkan dengan tantangan untuk memberikan waktu lebih bagi Kevin, dan karenanya merugikan kebutuhan muka negatifnya.


(24)

2.2.2.3 Facework

Ketika positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka cenderung mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan muka mereka atau mitra mereka. Ting-Toomey (1994), mengikuti Brown dan Levinson, mendefinisikan hal ini sebagai facework, atau “tindakan yang diambil untuk menghadapi keinginan akan muka seseorang dan/atau orang lainnya”. Stella Ting-Toomey dan Leeva Chung (2005) juga mengemukakan bahwa facework adalah “mengenai strategi verbal dan nonverbal yang kita gunakan untuk memelihara, memepertahankan, atau meningkatkan citra diri sosial kita dan menyerang atau mempertahankan (atau “menyelamatkan’) citra sosial orang lain. Dengan kata lain, facework berkaitan dengan bagaimana orang membuat apa pun yang mereka lakukan konsisten dengan muka mereka. Ting-Toomey menyamakan facework dengan “tarian komunikasi yang berjinjit” (communication dance that tiptoes) antara rasa hormat bagi muka diri sendiri dan muka orang lain. Jaimzadi, komentar Profesor Yang kepada Kevin mengenai kemampuannnya untuk menyelesaikan proyek dan presentasinya menggambarkan bagaimana profesor secara berkesinambungan menyelamatkan mukanya sendiri (tidak mengingkari batas waktu penyerahan tugasnya sendiri) dan juga muka Kevin (memberinya pujian).

Te-Stop Lim dan John Bowers (1991) memperluas diskusi ini dengan mengidentifikasi tiga jenis facework: kepekaan, solidaritas, dan pujian. Pertama, facework ketimbangrasaan (tact facework) merujuk pada batas dimana orang menghargai otonomi seseorang. Facework ini memberikan kebebasan kepada seseorang untuk bertindak sebagaimana yang ia inginkan sekaligus meminimalkan hal-hal yang akan membatasi kebebasan ini. Jenis facework kedua, facework solidaritas (solidarity facework), berhubungan dengan seseorang menrima orang lain sebagai anggota dari kelompok dalam (in-group).hub Solidaritas meningkatkan hubungan diantara dua orang yang sedang berbicara. Maksudnya, perbedaan-perbedaan diminimalkan dan kebersamaan ditekankan melalui bahasa informal dan pengalama-pengalaman yang dimiliki bersama. Jenis facework yang terakhir adalah facework keperkenanan (approbation facework), yang melibatkan meminimalkan penjelekan dan memaksimalkan pujian kepada orang lain. Facework keperkenanan muncul ketika seseorang mengurangi fokus pada aspek negatif orang lain dan lebih berfokus pada aspek yang positif (West and Turner, 2008:161-163).


(25)

2.2.3 Hambatan Komunikasi

Komunikasi atau berkomunikasi itu kelihatannnya mudah, tetapi sebenarnya tidak lepas dari berbagai kendala atau hambatan dalam pelaksanaannya. Dengan mengetahui atau menyadari adanya (kemungkinan) hambatan atau faktor yang lazim bisa menjadi kendala dalam aktivitas berkomunikasi ini, bisa kita harapkan bahwa kita bisa menanggulanginya atau menghindarinya. Agar proses penyampaian pesan berlangsung dengan baik serta tercapainya tujuan komunikasi yang kita lakukan (saling pengertian atau kesepakatan bersama (Rudy, 2005:22-23).

Disamping itu, Rakhmat (1978:164-165) menjelaskan hambatan tidak menyebabkan komunikasi berhenti, tetapi ia menahan (menimbulkan kesulitan pada) aliran pesan itu. Beberapa pesan “dibendung” dan tidak dapat melampaui hambatan itu. Walaupun kegagalan mekanistis berarti adanya penghentian komunikasi, hambatan mekanistis mengemukakan adanya “bendungan” pada saluran yang menahan arus pesan dan memodifikasikan karakter dan arti pentingnya.

Sedangkan menurut Liliweri (2001:236-238) Beberapa hambatan yang perlu diantisipasi antara lain hambatan intern,ekstern dan pribadi. Pada hambatan intern perlu diperhatikan adalah masalah yang berkaitan dengan struktur/hirarki/wewenang, spesialisasi, kekuasaan, jarak sosial/psikologis, manager ‘owner information’, sarana dan prasarana, dan benalu komunikasi. Setiap organisasi mempunyai struktur. Karena struktur itu sifatnya formal, hubungan antarpribadi yang diciptakan adalah impersonal. Struktur dan hirarki juga tidak membenarkan pelanggaran atas disiplin, loncatan komando, dan terbatasnya delegasi untuk mengambil keputusan. Misalnya komunikasi antara atasan dan bawahan, seorang bawahan harus melalui beberapa tahapan untuk berkomunikasi langsung dengan atasan mengenai keluhan pekerjaannya setelah itu juga atasan tersebut tidak dapat langsung menanggapi keluhan tersebut secara sepihak melainkan harus dibicarakan kembali kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah tersebut sehingga dampaknya pekerjaan dan pengambilan keputusan berjalan lamban terhadap masalah yang dihadapi.

Kecenderungan lain yang terlihat pula adalah diferensiasi organisasi, berarti organisasi menambah struktur-struktur atau lapisan baru dalam organisasi yang sebenarnya kurang diperhatikan. Akibatnya terjadi lebih banyak karyawan yang “kurang kerja” sehingga dari segi efisiensi menjadi beban organisasi. Serta spesialisasi meskipun ideal namun mengakibatkan


(26)

karyawan menutup diri dalam keahlian dan profesinya dan kurang memperhatikan kerja sama dengan pihak lain. Timbul juga streotip untuk meremehkan pekerjaan atau spesialisasi yang lain.

Kekuasaan sering mengakibatkan timbulnya jarak sosial dan psikologis antara atasan dengan bawahan. Jarak itu demikian formal sehingga hubungan antara atasan dan bawahan hanya ditentukan oleh struktur. Terutama bagi bawahan, hubungan dengan atasan merupakan sesuatu yang mahal. Akibatnya, Atasan sebagai manajer tidak terlalu merasa perlu membagi semua informasi kepada bawahan (owner information). Maka, muncullah benalu komunikasi, yakni medium komunikasi tidak resmi (yang kadang-kadang merupakan saluran rumor atau gosip) di kalangan karyawan.

Pada hambatan ekstern yang perlu diperhatikan adalah beberapa faktor, seperti perubahan sosial dan ekonomi, masalah persaingan, konflik. Karena organisasi itu terletak dalam masyarakat, perubahan-perubahan yang melanda masyarakat, misalnya gerakan sosial, perubahan kebijaksanaan dalam bidang ekonomi dan perdagangan, persaingan di pasar bebas, konflik antar perusahaan, akan mempengaruhi cara kerja organisasi. Organisasi merupakan wadah kerja sama antarmanusia. Tatkala sumber daya manusia kurang mampu menangani perubahan dan mekanisme kerja ataupun tidak bisa menyesuaikan diri dengan masukkan teknologi, mekanisasi dan otomatisasi, keadaan itu akan mempengaruhi cara kerja organisasi.

Faktor-faktor lain seperti latar belakang sosiologis dan antropologis, misalnya struktur sosial dalam masyarakat, kebudayaan dan adat-istiadat, juga mempengaruhi perilaku kerja. Salah satu pengaruh yang patut dicegah adalah, nepotisme dan primordialisme yakni terjadinya pembentukan “klik” berdasarkan ikatan suku, agama, ras dan golongan. Faktor demografis seperti umur, faktor psikologis seperti suasana ketenteraman dan kedamaian dan lain-lain ikut berpengaruh terhadap cara kerja organisasi.

Dalam komunikasi dapat terjadi salah paham atau salah pengertian seperti yang dikatakan (Hardjana, 2003:16-46) sehingga pesan tidak dimengerti seperti dimaksud oleh pengirim dan ditanggapi sebagaimana diinginkan oleh pengirim. Masalah salah paham dapat terjadi pada pengirim, penyampaian pesan, penerimaan, dan penafsiran pesan.

a. Pengirim

Salah pengertian dapat terjadi karena:

1. Pengirim tidak jelas tentang isi pesan yang hendak disampaikan

2. Meski isi pesan jelas, tetapi pengirim mengemas pesan itu secara tidak tepat dan mengirim melalui media yang tidak mendukung


(27)

3. Pada diri pengirim ada konflik batin tentang pesan yang akan dikirim dan tentang penerima yang akan dikirimi pesan

4. Pengirim merasa sulit bagaimana mengungkapkan pesan yang akan disampaikan.

b. Penyampaian Pesan

Pada penyampaian pesan, kesalahpahaman dalam komunikasi disebabkan karena:

1. Faktor-faktor fisik yang tidak mendukung: tulisan jelek dan tidak terbaca, saluran komunikasi rusak, alat pendengar tidak berfungsi baik, suara tidak jelas.

2. Dua pesan yang saling berebut perhatian penerima sehingga konsentrasi penerima kacau atau pesan sendiri mempunyai makna yang bertentangan.

3. Terlalu banyak gabungan saluran yang digunakan untuk menyampaikan sehingga pesan menjadi terlalu banyak pula.

c. Penerima Pesan

Pada waktu menerima pesan faktor-faktor yang bisa membuat salah pengertian dalam komunikasi antara lain:

1. Ada gangguan-gangguan fisik: penerangan, penglihatan, pendengaran, suara terlalu bising atau tidak terdengar.

2. Ada gangguan-gangguan mental: sulit konsentrasi, sibuk dengan urusan lain, sikap menolak.

3. Kesehatan fisik: sakit, lelah, tidak ada gairah.

4. Latar belakang budaya, pendidikan, dan pengalaman penerima jau berbeda dari pengirim. 5. Terjadi perbedaan penafsiran kata antara pengirim dan penerima.

6. Ada perbedaan tanggapan emosional, baik terhadap makna isi pesan maupun makna hubungan antara pengirm dan penerima.

2.2.3.1 Halangan Untuk Komunikasi Yang Efektif

Komunikasi efektif menjadi cita-cita semua orang yang berkomunikasi. Komunikasi akan efektif jika:

1. Pesan diterima dan dimengerti sebagaimana yang dimaksud oleh pengirimnya. 2. Pesan disetujui oleh penerima dan ditindaklanjuti dengan perbuatan yang diminta

oleh pengirim.

3. Tidak ada hambatan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk menindaklanjuti pesan yang dikirim.

Namun komunikasi yang ideal itu tidak selalu terjadi karena ada halangan- halangan yang menghadang pada proses komunikasi. Halangan dapat bersifat interpersonal maupun organisasional.

2.2.3.2 Halangan Interpersonal

Halangan interpersonal adalah halangan yang ada pada pribadi penerima. Hubungan itu adalah persepsi yang merupakan pandangan orang tentang kenyataan. Persepsi merupakan proses


(28)

yang kompleks yang dilakukan orang untuk memilih, mengatur, dan memberi makna pada kenyataan yang dijumpai disekelilingnya. Persepsi dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, dan kebudayaan. Ada dua persepsi yang menghalangi komunikasi. Pertama, persepsi selektif (selective perception), dan kedua, bertindak berdasarkan stereotipe (stereotype). Persepsi selektif merupakan kecenderungan orang untuk melihat orang, objek, dan situasi bukan sebgaimana adanya, tetapi sebagaimana dikehendakinya. Berbuat menurut stereotipe membuat orang cenderung untuk melihat dan mengatur kenyataan menurut pola yang tetap, pasti, dan dapat diramalkan. Contohnya, “perempuan suka begini atau begitu.” “Orang bule pasti..”, dan seterusnya.

2.2.3.3 Sikap Defensif

Sikap defensif adalah sikap mental orang untuk menjaga dan melindungi diri terhadap bahaya, entah itu nyata atau hanya bayangan saja. Sikap defensif pada pengirim pesan lisan membuat raut wajah, gerak tubuh, dan cara berbicara yang membuat penerima ikut-ikutan menjadi bersikap defensif pula. Akibatnya, pesan yang diterima tidak tepat dan maksud pengirim tidak dimengerti secara benar. Jika bersikap defensif, perhatian penerima pesa yang mendengar pesan menjadi pesan menjadi terpusat pada apa yang mau dikatakan untuk menjawab dan bukan pada apa yang disampaikan oleh pengirim pesan.

Penggunaan media untuk menyampaikan pesan dapat mengalami gangguan, yang dalam bahasa Inggris disebut noise. Gangguan adalah “segala sesuatu yang menghambat atau mengurangi kemampuan kita untuk mengirim dan menerima pesan”. Gangguan komunikasi itu meliputi:

1. Pengacau indra, misalnya suara terlalu keras atau lemah, di tempat menerima pesan, bau menyengat, udara panas, dan lain-lain.

2. Faktor-faktor pribadi, antara lain, prasangka, lamunan, perasaan tidak cakap.

2.2.3.4 Faktor-Faktor Penghambat Komunikasi 1. Hambatan sosio-antro –psikologis

Proses komunikasi berlangsung dalam konteks situasional (situasional context). Ini berarti bahwa komunikator harus memperhatikan situasi ketika komunikasi dilangsungkan, sebab


(29)

situasi amat berpengaruh terhadap kelancaran komunikasi, terutama situasi yang berhubungan dengan faktor-faktor sosiologis-antropologis-psikologis.

a. Hambatan sosiologis

Seorang sosiolog Jerman bernama Ferdinand Tonnies mengklasifikasikan kehidupan manusia dalam masyarakat menjadi dua jenis pergaulan yang ia namakan Gemeinschaft dan Gesselschaft. Gemeinschaft adalah pergaulan hidup yang bersifat pribadi, statis, dan tak rasional, seperti dalam kehidupan rumah tangga; sedang Gesselschaft adalah pergaulan hidup yang bersifat tak pribadi, dinamis, dan rasional, seperti pergaulan di kantor atau dalam organisasi.

Berkomunikasi dalam Gemeinschaft dengan istri atau anak tidak akan menjumpai banyak hambatan karena sifatnya personal atau pribadi sehingga dapat dilakukan dengan santai; adalah lain dengan komunikasi dalam Gesselschaft. Seseorang yang bagaimanapun tingginya kedudukan yang ia jabat, ia akan menjadi bawahan orang lain. Masyarakat terdiri dari bebrbagai golongan dan lapisan, yang menimbulkan perbedaan dalam situasi sosial, agama, ideologi, tingkat pendidikan, tingkat kekayaan, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat menjadi hambatan bagi kelancaran komunikasi.

b. Hambatan antropologis

Dalam melancarkan komunikasinya, seorang komunikator tidak akan berhasil apabila ia tidak mengenal siapa komunikan yang dijadikan sasarannya. Yang dimaksudkan dengan “siapa” di sini bukan nama yang disandang, melainkan ras apa, bangsa apa, atau suku apa. Dengan mengenal dirinya, akan mengenal pula kebudayaannya, gaya hidup dan norma kehidupannya, kebiasaan dan bahasanya.

Komunikasi akan berjalan lancar jika suatu pesan yang disampaikan komunikator diterima oleh komunikasi secara tuntas, yaitu diterima dalam pengertian received atau secara inderawi, dan dalam pengertian accepted atau secara rohani. Seorang pemirsa televisi mungkin menerima acara yang disiarkan dengan baik karena gambar yang tampil pada pesawat televisi amat terang dan suara yang keluar amat jelas, tetapi mungkin ia tidak dapat menerima ketika seorang pembicara pada acara itu mengatakan bahwa daging babi lezat sekali. Si pemirsa tadi hanya menerimanya dalam pengertian accepted. Jadi teknologi komunikasi tanpa dukungan kebudayaan tidak akan berfungsi.


(30)

c. Hambatan Psikologis

Faktor psikologis sering kali menjadi hambatan dalam komunikasi. Hal ini umumnya disebabkan si komunikator sebelum melancarkan komunikasinya tidak mengkaji diri komunikan. Komunikasi sulit untuk berhasil apabila komunikan sedang sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, dan kondisi psikologis lainnya; juga jika komunikasi menaruh prasangka (prejudice) kepada komunikator.

Prasangka merupakan salah satu hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap menentang komunikator. Prasangka sebagai faktor psikologis dapat disebabkan oleh aspek antropologis dan sosiologis; dapat terjadi terhadap ras, bangsa, suku bangsa, agama, partai politik, kelompok, dan apa saja bagi seseorang merupakan suatu perangsang disebabkan dalam pengalamannya pernah diberi kesan yang tidak enak.

Berkenaan dengan faktor-faktor penghambat komunikasi yang bersifat sosiologis-antropologis-psikologis itu, yang menjadi permasalahan ialah bagaimana upaya kita mengatasinya. Cara mengatasinya ialah mengenal diri komunikan seraya mengkaji kondisi psikologisnya sebelum komunikasi dilancarkan, dan bersikap empatik kepadanya. Empati (empathy) adalah kemampuan memproyeksikan diri kepada diri orang lain; dengan lain perkataan, kemampuan mengahayati perasaan orang lain atau merasakan apa yang dirasakan orang lain.

2. Hambatan Semantis

Kalau hambatan sosiologi-antropologis-psikologis terdapat pada pihak komunikan, maka hambatan semantis terdapat pada diri komunikator. Faktor semantis menyangkut bahas yang dipergunakan komunikator sebagai “alat” untuk menyalurkan pikiran dan perasaannya kepada komunikan. Demi kelancaran komunikasinya seorang komunikator harus benar-benar memperhatikan gangguan semantis ini, sebab salah ucap atau salah tulis dapat menimbulkan salah pengertian (misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation), yang pada gilirannya bisa menimbulkan salah komunikasi (miscommunication).

Gangguan semantis kadang-kadang disebabkan pula oleh aspek antropologis, yakni kata-kata sama bunyinya dan tulisannya, tetapi memiliki makna yang berbeda. “Rampung Sunda lain dengan “Rampung” Jawa. “Atos” Sunda tidak sama dengan “atos” Jawa. Salah komunikasi atau miscommunication ada kalanya disebabkan oleh pemilihan kata yang tidak tepat, kata-kata yang


(31)

sifatnya konotatif. Dalam komunikasi bahasa yang sebaiknya dipergunakan adalah kata-kata yang denotatif. Kalau terpaksa juga menggunakan kata-kata yang konotatif, seyogyanya dijelaskan apa yang dimaksudkan sebenarnya, sehingga tidak terjadi salah tafsir. Kata-kata yang bersifat denotatif adalah yang mengandung makna sebagaimana tercantum dalam kamus (dictionary meaning) dan diterima secara umum oleh kebanyakan orang yang sama dalam kebudayaan dan bahasanya. Kata-kata yang mempunyai pengertian konotatif adalah yang mengandung makna emosional atau evaluatif (emotional or evaluative meaning) disebabkan oleh latar belakang kehidupan dan pengalaman seseorang.

Jadi, untuk menghilangkan hambatan semantis dalam komunikasi, seorang komunikator harus mengucapkan pernyataannya dengan jelas dan tegas, memilih kata-kata yang tidak menimbulkan persepsi yang salah, dan disusum dalam kalimat-kalimat yang logis.

3. Hambatan Mekanis

Hambatan mekanis dijumpai pada media yang dipergunakan dalam melancarkan komunikasi. Banyak contoh yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari; suara telepon yang krotokan, ketikan huruf yang buram pada surat, suara yang hilang-muncul pada pesawat radio, berita surat kabar yang sulit dicari sambungan kolomnya, gambar yang meliuk-liuk pada pesawat televisi dan lain-lain.

Hambatan pada beberapa media tidak mungkin diatasi oleh komunikator, misalnya hambatan yang dijumpai pada surat kabar, radio dan televisi. Tetapi pada beberapa media komunikator dapat saja mengatasinya dengan mengambl sikap tertentu, misalnya ketika sedang menelepon terganggu oleh krotokan. Barangkali ia dapat mengulanginya beberapa saat kemudian.

Hambatan yang dijumpai pada surat, misalnya huruf ketikan yang buram, dapat diatasi dengan mengganti pita mesin tik atau mesin tiknya sendiri. Yang penting diperhatikan dalam komunikasi ialah seperti telah disinggung di muka-sebelum suatu pesan komunikasi dapat diterima secara rohani (accepted), terlebih dahulu harus dipastikan dapat diterima secara inderawai (received), dalam arti kata bebas dari hambatan mekanis. Apakah pesannya kemudian dapat diterima secara rohani atau tidak, itu merupakan maslah kedua yang akan dibahas pada bab mendatang.


(32)

4. Hambatan Ekologis

Hambatan ekologis terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan terhadap proses berlangsungnya komunikasi, jadi datangnya dari lingkungan. Contoh hambatan ekologis adalah suara riuh orang-orang atau kebisingan lalu-lintas, suara hujan atau petir, suara pesawat terbang lewat, dan lain-lain pada saat komunikator sedang berpidato.

Situasi komunikasi yang tidak menyenangkan seperti itu dapat diatasi komunikator dengan menghindarkannya jauh sebelum atau dengan mengatasinya pada saat ia sedang berkomunikasi. Untuk menghindarkannya komunikator harus mengusahakan tempat komunikasi yang bebas dari gangguan suara lalu-lintas atau kebisingan orang-orang seperti disebutkan tadi. Dalam menghadapi gangguan seperti hujan, petir, pesawat terbang lewat, dan lain-lain yang datangnya tiba-tiba tanpa diduga terlebih dahulu maka komunikastor dapat melakukan kegiatan tertentu, misalnya berhenti dahulu sejenak atau memperkeras suaranya (Effendi, 2004:60).

2.2.4. Komunikasi Verbal dan Non Verbal

Fajar (2009:110), mengemukakan bahwa komunikasi verbal yang menggunakan kata-kata secara lisan dengan secara sadar dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan manusia lain. Dasar komunikasi verbal adalah interaksi antara manusia. Dan menjadi salah satu cara bagi manusia berkomunikasi secara lisan atau bertatapan dengan manusia lain, sebagai sarana utama menyatukan pikiran, perasaan dan maksud kita.

Selain itu, Rubin dalam Larry A.Samovar dan Richard E Porter (2007:169) mengatakan Language is a set of characters or elements and rules for their use in relation to one another. These characters or elements are language symbols that are culturally diverse. (bahasa adalah kumpulan perilaku atau elemen serta peraturan untuk digunakan dalam berhubungan satu sama lain. Karakter dan elemen tersebut adalah simbol bahasa dengan bermacam-macam adat istiadat). Sedangkan komunikasi verbal menurut Hardjana (2003:22-23), adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan maupun tertulis. Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antarmanusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pikiran, gagasan atau maksud mereka, menyampaikan fakta data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat,dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan penting.


(33)

Pada buku komunikasi antarbudaya Devito (1997:119-120) mengatakan bahwa Bahasa dapat dibayangkan sebagai kode, atau sistem simbol, yang kita gunakan untuk membentuk pesan-pesan verbal kita. Kita dapat mendefinisikan bahasa sebagai sistem produktif yang dapat dialihkan dan terdiri atas simbol-simbol yang cepat lenyap (rapidly fading), bermakna bebas (arbitary), serta dipancarkan secara kultural (Hockett, 1977). Masing-masing karakteristik ini akan dijelaskan secara singkat.

a. Produktivitas

Bahasa bersifat produktif, terbuka, kreatif. Artinya, pesan-pesan verbal kita merupakan gagasan-gagasan baru; setiap gagasan bersifat baru. Tentu ada beberapa pengecualian dari kaidah umum ini, tetapi tidak banyak dan tidak penting. Ketika anda berbicara, anda tidak mengulang kalimat-kalimat hasil mengingat melainkan menciptakan sendiri kalimat-kalimat baru. Begitupula, pemahaman anda atas pesan-pesan verbal menunjukkan produktivitas dalam arti bahwa anda dapat memahami pemikiran-pemikiran baru yang dikemukakan.

b. Pengalihan

Karena bahasa kita mengenal pengalihan (displacement), kita dapat berbicara mengenai hal-hal yang jauh dari kita baik dari segi tempat maupun waktu. Kita dapat berbicara tentang masa lalu dan maa depan semudah kita berbicara tentang masa kini. Dan kita dapat berbicara tentang hal-hal yang tidak pernah kita lihat-tentang manusia duyung, kuda bertanduk, dan mahluk dari planet lain.

c. Pelenyapan Cepat

Suara kita melenyap dengan cepat; suara-suara ini lenyap. Suara harus diterima segera setelah itu dikirimkan atau kita tidak akan pernah menerimanya. Sudah barang tentu, semua isyarat berangsur-angsur akan melenyap; simbol tertulis bahkan simbol-simbol yang dipahatkan pada batu permanen. Tetapi, secara relatif, isyarat suara barangkali merupakan yang paling tidak permanen diantara semua media komunikasi,; inilah yang dimaksud dengan pelenyapan cepat (rapid fading).

d. Kebebasan Makna

Isyarat bahasa mempunyai kebebasan makna (arbitary); mereka tidak memiliki karakteristik atau sifat fisik dari benda atau hal yang mereka gambarkan. Kata anggur tidak lebih lezat ketimbang kata bulgur. Kata bulgur juga tidak lebih mengenyangkan ketimbang kata anggur. Suatu kata memiliki arti atau makna yang mereka gambarkan karena kitalah yang secara bebas menentukan arti atau maknanya.


(34)

2.2.4.2 Proses Verbal

Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yangkita gunakan. Proses-proses ini (bahasa verbal dan pola-pola berpikir) secara vital berhubungan dengan persepsi dan pemberian serta penyertaan makna.

1. Bahasa Verbal

Setiap diskusi tentang bahasa dalam peristiwa-peristiwa antarbudaya harus mengikutsertakan pembahasan atas isu-isu bahasa yang umum sebelum membahas masalah-masalah khusus tentang bahasa asing, penerjemahan bahasa, dan dialek serta logat subkultur dan subkelompok. Dalam perkenalan kita dengan berbagai dimensi budaya ini, kita akan membicarakan bahasa verbal dan relevansinya dengan pemahaman kita tentang budaya.

Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar

Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau budaya. Objek-objek, kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, dan perasaan-perasaan mempunyai suatu label atau nama tertentu semata-mata karena suatu komunitas orang, atas kehendak mereka, memutuskan untuk menamakan hal-hal tersebut demikian. Karena bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan bergantung pada berbagai penafsiran.

Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan turut membentuk pikiran.

2. Pola-Pola Berpikir

Proses-proses mental, bentuk-bentuk penalaran, dan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah yang terdapat dalam suatu komunitas, merupakan suatu komponen penting budaya. Kecuali bila mereka mempunyai pengalaman bersama orang-orang lain dari budaya lain yang mempunyai pola berpikir yang berbeda, kebanyakan orang menganggap bahawa setiap orang berpikir dengan cara yang sama. Namun, kita harus sadar bahwa terdapat-perbedaan-perbedaan budaya dalam aspek-aspek berpikir. Perbedaan-perbedaan ini dapat dijelaskan dengan membandingkan pola-pola berpikir Timur. Di Barat umumnya orang berpikir bahwa ada suatu hubungan yang langsung antara konsep-konsep mental dan dunia realitas yang nyata. Orientasi ini menuntut pertimbangan-pertimbangan logis dan rasionalitas. Ada kepercayaan bahwa kebenaran terdapat diluar sana, bahwa kebenaran dapat diperoleh dengan mengikuti tahapan-tahapan logis yagn benar. Pandangan Timur, Sebagaimana dicontohkan dengan pandangan pemeluk agama Tao, ternyata menunjukkan bahwa bagi mereka, manusia tidak dianugerahi rasionalitas yang segera. Kebenaran tidak


(35)

ditemukan dengan pencarian aktif dan penerapan cara-cara berpikir Aristotelian. Sebaliknya, orang harus menunggu, dan bila kebenaran memang harus diketahui, maka kebenaran itu akan menampakkan diri. Perbedaan utama dalam kedua pandangan ini terdapat pada bidang kegiatan. Bagi orang-orang Barat, kegiatan manusia itu penting dan akhirnya akan menuntun kepada penemuan kebenaran. Dalam tradisi pemeluk agama Tao, kebenaran merupakan agen yang aktif, dan bila kebenaran itu harus diketahui, kebenaran akan muncul melalui kegiatan penampakan diri kebenaran tersebut.

Pola-pola berpikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang pada gilirannnya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang merespons individu-individu dari suatu budaya lain. Kita tak dapat mengharapkan setiap orang untuk menggunakan pola-pola berpikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat banyak pola berpikir danbelajar menerima pola-pola tersebut akan memudahkan komunikasi antarbudaya tersebut. (Mulyana, 2005:30).

2.2.4.3 Bahasa

Menurut Wardhaugh (1985) dalam Devito (1997: 157) berpendapat bahasa merupakan institusi sosial, bahasa ada karena manusia berinteraksi dalam kelompok-kelompok sosial. Sebagai suatu institusi sosial, bahasa mencerminkan dan mempengaruhi masyarakat dimana bahasa menjadi salah satu bagiannya.

Entah komunikasi verbal atau komunikasi nonverbal, dalam berkomunikasi menggunakan bahasa. Pada dasarnya bahasa adalah suatu sistem lambang yang memungkinkan orang berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang dipergunakan adalah bahasa verbal entah lisan, tertulis pada kertas, ataupun elektronik. Dalam komunikasi nonverbal, bahasa yang dipakai adalah bahasa nonverbal berupa bahasa tubuh (raut wajah, gerak kepala, gerak tangan), tanda, tindakan, objek.

Bahasa suatu bangsa atau suku bangsa berasal dari interaksi dan hubungan antara warganya satu sama lain. Pada awalnya bahasa terdiri dari lambang-lambang nonverbal, seperti raut wajah, gerak mata, gerak anggota tubuh seperti tangan atau kaki, atau gerak-gerik tubuh, dan tindakan-tindakan tertentu seperti bersalaman, berpelukan dan berciuman.

Tetapi dengan berjalannya waktu dan perkembangan hidup, bahasa nonverbal dirasa tidak memadai lagi. Karena banyak gagasan, pemikiran, perasaan, atau sikap tidak mampu lagi diungkapkan dan disampaikan dengan bahasa nonverbal. Maka, terciptalah bahasa verbal, mula-mula berbentuk lisan, kemudian tertulis, dan akhir-akhir ini elektronik. Bahasa verbal terus-menerus dikembangkan dan disesuaikan agar dapat memenuhi kebutuhan zaman dimana orang hidup. Maka, bahasa berdifat dinamis.


(36)

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual kita (Mulyana, 2007: 260-261).

Pesan verbal terdiri dari kata-kata terucap atau tertulis (berbicara dan menulis adalah perilaku-perilaku yang menghasilkan kata-kata), sementara pesan nonverbal adalah seluruh perbendaharaan perilaku lainnya. Perilaku mungkin disadari.Kadang-kadang kita melakukan perilaku sesuatu tanpa menyadarinya, terutama kalau perilaku kita bersifat nonverbal. Kebiasaan-kebiasaan seperti menggigit kuku jari tangan, menganggukkan kepala, menatap dan tersenyum, misalnya, seringkali berlangsung tanpa disadari. Bahkan perilaku-perilaku seperti duduk membungkuk di kursi, mengunyah permen karet, atau menyesuaikan letak kacamata, seringkali merupakan perilaku-perilaku tak disadari. Oleh karena suatu pesan terdiri dari perilaku-perilaku yang dapat diartikan, kita harus mengakui kemungkinan memberikan pesan yang tidak kita ketahui. Implikasi dari pesan-perilaku ini adalah ini adalah bahwa kita sering berperilaku tanpa sengaja. Misalnya, bila kita malu kita mungkin menampilakan muka bersemu merah atau berbicara tidak lancar. Kita tidak bermaksud untuk menampilkan muka yang merah atau suara yang gagap, tetapi toh kita berperilaku demikian. Perilaku yang tidak disengaja ini menjadi pesan bila seseorang melihatnya dan menangkap suatu makna dari perilaku tersebut. (Mulyana, 2005:12-13).

Liliweri (2001: 193-195) mengemukakan kita tidak cukup berkomunikasi dengan mengandalkan pesan-pesan verbal karena tidak semua konsep diwakili oleh sebuah kata atau bahkan kalimat. Kita membutuhkan dukungan pesan nonverbal. Ada tiga bentuk pesan non verbal yaitu: (1) kinesik, (2) proksemik (3) paralinguistik.

Pesan-pesan kinesik berkaitan dengan pesan yang disampaikan melalui gerakan tubuh/anggota tubuh, misalnya emblem, ilustrator, adaptor, regulator dan effect display. Sedangkan pesan proksemik pada prinsipnya ditunjukkan melalui pemeliharaan jarak fisik tatkala kita berkomunikasi, misalnya jarak intim, kelompok, dan jarak dengan khalayak. Ke dalam pesan proksemik dikelompokkan pula pesan melalui penataan ruang, pilihan waktu.


(37)

Terakhir pesan-pesan berbentuk paralinguistik melalui penampilan khusus kualitas suara, ciri-ciri vokal, pembatasan vokal dan pemisahan vokal.

Sedangkan pesan-pesan verbal lebih banyak digunakan untuk penyampaian pesan yakni bahasa. Karena itu seorang komunikator membutuhkan:

1) Pengetahuan tentang bentuk-bentuk pesan verbal masyarakat sasaran, yang terdiri dari:

a. Struktur pesan: ditunjukkan oleh pola penyimpulam (tersirat atau tersurat), pola urutan argumentasi (mana yang lebih dahulu, argumentasi yang disenangi atau yang tidak disenangi), pola obyektivitas (satu sisi atau dua sisi).

b. Gaya pesan: menunjukkan variasi linguistik dalam penyampaian pesan (perulangan, mudah dimengerti, perbendaharaan kata).

c. Appeals pesan: mengacu pada motif-motif psikologis yang dikandung pesan (rasional-emosional, fearappeals, reward-appeals).

2) Pengetahuan terhadap isi pesan, sebagai contoh, apabila materi pesan itu berisi inovasi informasi maupun teknologi, maka pesan yang disampaikan sebaiknya mengandung sesuatu cara yang dapat membantu masyarakat memecahkan masalah yang dihadapinya. Secara teknis isi pesan harus mudah dipahami secara verbal, agar cepat dikerjakan meskipun dalam skala kecil agar hasilnya cepat dirasakan.

2.2.4.4 Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal menurut Devito (1997:177) pastilah merupakan kata yang sedang populer saat ini. Setiap orang tampaknya tertarik pada pesan yang dikomunikasikan oleh gerkan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, sosok tubuh, penggunaan jarak (ruang), kecepatan dan volume bicara, bahkan juga keheningan. Kita juga ingin bisa mengendalikan komunikasi nonverbal kita sendiri sehingga kita dapat berkomunikasi secara lebih efektif. Jelas bahwa ini semua merupakan tujuan yang penting. Sayangnya, komunikasi nonverbal begitu kompleks sehingga tidak mudah bagi kita untuk mencapai tujuan tersebut. Apalagi, kita tidak mempunyai cukup pengetahuan yang memungkinkan kita membaca pikiran seseorang dari gerak-gerik, sosok tubuh, atau ekspresi wajah. Kita juga tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang komunikasi nonverbal untuk menetapkan aturan yang jelas mengenai komunikasi nonverbal yang menyangkut status atau kekuasaan. Tetapi belakangan ini kita telah belajar banyak tentang


(38)

komunikasi nonverbal dan kaitannya dengan sejumlah besar karakteristik penting seperti status, persuasi, kredilitas, kontrol, persahabatan, dan wewenang.

Seperti yang diungkapkan Hardjana (2003:26-27), komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk nonverbal, tanpa kata-kata. Dalam hidup nyata komunikasi nonverbal ternyata jauh lebih banyak dipakai daripada komunikasi verbal, dengan kata-kata. Dalam berkomunikasi hampir secara otomatis komunikasi nonverbal ikut terpakai. Karena itu, komunikasi nonverbal bersifat tetap dan selalu ada. Komunikasi nonverbal lebih jujur mengungkapkan hal yang mau diungkapkan dengan spontan. Tamu dirumah kita, meski lapar, dapat berbasa-basi menolak pada waktu kita tawari makan siang. Tetapi adik kecil yang masih bayi, pada waktu lapar langsung menangis dan minta ASI.

Meskipun lebih umum, terus-menerus dipakai dan lebih jujur, namun komunikasi nonverbal lebih sulit ditafsir karena kabur. Misalnya, jika ada orang tersenyum kepada kita, maka kita tidak dapat dengan cepat menangkap apa artinya: senang, kaget, bingung ataupun bertanya-tanya. Kekaburan ini disebabkan karena struktur komunikasi nonverbal tidak jelas. Susunan suatu komunikasi nonverbal, misalnya berjabat tangan, mungkin masih mudah dimengerti. Tetapi jika jabat tangan itu disambung dengan raut wajah seperti cemberut, gerak mata seperti terkejut, gerak anggota tubuh seperti tangan yang kaku dan seluruh tubuh yang tegang, kita sulit mengartikannya. Karena itu, mempelajari komunikasi nonverbal lebih sulit daripada mempelajari komunikasi verbal. Sebab perbendaharaan kata, tata kalimat, dan tata bahasanya sulit ditunjuk.

Liliweri (2004: 138-140) menyatakan ada beberapa hal yang termasuk dari komunikasi non verbal yaitu:

1. Komunikasi non verbal merupakan tindakan dan atribusi (lebih dari penggunaan kata-kata) yang dilakukan seorang kepada orang lain bagi pertukaran makna, yang selalu dikirimkan dan diterima secara sadar oleh dan untuk mencapai umpan balik atau tujuan tertentu (Burgoon dan Saine 1978)

2. Komunikasi non verbal meliputi ekspresi wajah, nada suara, gerakan anggota tubuh, kontak mata, rancangan ruang,pola-pola perabaan, gerakan ekspresif, perbedaan budaya dan dan tindakan-tindakan non verbal lain yang tak menggunakan kata-kata. Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa komunikasi non verbal itu sangat penting untuk memahami perilaku antarmanusia daripada memahami kata-kata verbal yang diucapkan atau yang ditulis, pesan-pesan non verbal memperkuat apa yang disampaikan secara verbal.

3. Studi tersendiri untuk menggambarkan bagaimana orang berkomunikasi melalui perilaku fisik, tanda-tanda vokal dan relaso ruang atau jarak. Akibatnya penelitian


(39)

tentang komunikasi non verbal acapkali menekankan pada dimensi beberapa aspek tertentu dari bahasa (TerrenceA 00:59:56).

4. Komunikasi non verbal merujuk pada variasi bentuk-bentuk komunikasi yang meliputi bahasa. Bagaimana seorang itu berpakaian, bagaimana seseorang melindungi dirinya, menampilkan ekspresi wajah, gerakan tubuh, suara, nada dan kontak mata dll (Eugene Matusov-Ema of California at Santa Cruz-1996).

5. Komunikasi nonverbal meliputi semua stimuli non verbal yang dalam setting komunikastif digeneralisasikan oleh individu dan lingkungan yang memakainya. 6. Komunikasi non verbal meliputi pesan non verbal yang memiliki tujuan ataupun

tidak memiliki tujuan teretentu.

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa komunikasi non verbal adalah cara berkomunikasi melalui pernyataan wajah, nada suara, isyarat-isyarta, kontak mata, dan lain-lain. Cara ini memainkan peranan yang sangat penting dalam hidup daripada interaksi verbal, meskipun harus diakui bahwa perbedaan isyarat membawa perbedaan makna.

2.2.4.5 Fungsi-fungsi Pesan Non Verbal

Ada lima kategori fungsi komunikasi non verbal menurut Simon Capper (Suzugamine Woman’s College, Hiroshima, 1997) dalam Liliweri (2004:140-141) yaitu:

1. Fungsi Regulasi

Regulation function. Fungsi regulasi menjelaskan bahwa simbol non verbal yang digunakan mengisyaratkan bahwa proses komunikasi verbal sudah berakhir. Dalam percakapan dengan sesama, anda akan mengalami kesulitan menyatakan diri, atau memberikan reaksi balik (feedback). Fungsi regulasi dimaksudkan untuk membantu orang yang sedang mendengarkan anda membrikan interpretasi yang tepat terhadap apa yang sedang anda sampaikan secara verbal. Jadi fungsi regulasi bermanfaat untuk mengatur pesan non verbal secara seksama untuk meyakinkan orang lain menginterpretasi makna yang disampaikan secara verbal.

2. Fungsi Interpersonal

Interpersonal function. Fungsi ini membantu kita untuk menyatakan sikap dan emosi dalam relasi antarpribadi (bisa disebut pula dengan ‘affect displays’). Dalam beberapa penelitian yang berkaitan dengan pertukaran non verbal ditunjukkan bahwa ada sinkronisasi, kongruens dan konvergensi yang dapat ditunjukkan oleh pesan non verbal (Wallbott, 1995). Mereka menemukan bahwa pesan non verbal dapat meningkatkan relasi yang sangat tinggi antara para peserta komunikasi, misalnya meningkatkan simpati, daya tarik kepada lawan bicara.

3. Fungsi Emblematis

Emblematic function menerangkan bahwa pesan non verbal dapat disampaikan melalui isyarat-isyarat gerakan anggota tubuh, terutama tangan. Contoh yang baik untuk ini adalah ketika anda menyatakan kemenangan dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati anda menyatakan kemenangan itu dengan membuat huruf ‘V’ dengan jari telunjuk dan jari tengah.


(1)

Pada informan kedelapan, terdapat hambatan antropologis dimana dalam berkomunikasi ia harus mengenal dirinya sendiri, mengenal kebudayaannya serta norma dan bahasa yang harus dipergunakan terutama dalam berkomunikasi dengan menantu perempuan, karena seorang mertua laki-laki tidak boleh berbicara langsung dengan menantu perempuannya yang dalam bahasa Karo disebut rebu. Dalam penyampaian pesan, haruslah didukung faktor-faktor fisik yang baik agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Pada informan kesembilan, adat istiadat haruslah dipertahankan eksistensinya agar tidak terjadi kepunahan kebudayaan. Karena adat yang harus dijalankan tersebut yang disebut rebu maka terjadi hambatan komunikasi. Terjadinya hambatan komunikasi tersebut maka haruslah menembus faktor ruang dan waktu dimana informan kesembilan maka untuk berkomunikasi dengan mertua laki-laki, ia bisa menggunakan teknologi yang ada seperti SMS (short message service) yang dapat memudahkan informan kedelapan mengerti apa yang dikatakan informan kesembilan.

Melalui hasil observasi dan wawancara yang dilakukan maka desa Batukarang masih menjalankan Rebu karena mayoritas masih suku Karo dan walaupun dari suku lain yang menikah dengan suku Karo juga akan melaksanakan hal itu juga karena sebelum pernikahan maka calon pengantin yang bukan berasal dari suku karo akan diberi marga Karo dan mereka juga harus menjalankan semua adat istiadat yang ada pada suku Karo termasuk adat Rebu itu sendiri karena pada satu hari sebelum pernikahan berlangsung Ketua Adat menyampaikan hal-hal apa saja yang boleh dilakukan pada adat istiadat Karo termasuk pelaksanaan Rebu tersebut. Rebu merupakan salah satu adat Karo dimana seoranng mertua laki-laki tidak boleh berkomunikasi dengan menantu perempuan begitupun sebaliknya. Hambatan komunikasi antara mertua dan menantu pada suku Karo di desa batukarang adalah karena mereka masih menjalankan adat Rebu dimana satu sama lain tidak boleh berbicara langsung dan harus melalui perantara. Pesan verbal yang yang mereka yaitu dalam menyampaikan pesan melalui kata-kata kepada orang lain tidak secara langsung walaupun orang yang kita ajak berkomunikasi berada di dekat kita. Adapun pesan nonverbal yang yang dilakukan yaitu okulesik dimana manusia tersebut tidak diperkenankan melihat lawan bicara nya melainkan harus memandang suatu benda jadi seolah-olah orang tersebut berbicara kepada benda tersebut.

Walaupun informan pertama dan keempat bukan berasal dari suku Karo tetapi mereka sudah diberikan marga Karo jadi mereka sudah sah menjadi orang Karo dan harus melaksanakan


(2)

adat istiadat Karo. Pada awal pernikahan informan pertama dan keempat merasa canggung kalau tidak boleh berbicara dengan mertua mereka sendiri dikarenakan adat Karo. Hal itu dipicu bahwa di adat suku mereka sendiri bahwa mertua telah dianggap oarang tua sendiri dan diperbolehkan berbicara langsung satu sma lain tanpa ada perantara. Tetapi dikarenakan hambatan komunikasi antara mertua dan menantu maka satu sama lain akan menggunakan perantara untuk menyampaikan pesan satu sama lain misalnya mertuaingin berbicara kepada menantu maka ia akan berbicara ‘hei tembok bilang dulu sama permain ku itu kalo aku mau ke ladang”. Hal itu dilakukan agar mereka tidak saling berbicara dan tidak saling berpandangan agar tidak melanggar Rebu tersebut dan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Walaupun hambatan komunikasi itu ada karena Rebu tetapi mereka boleh berbicara secara langsung apabila terjaadi hal-hal yang darurat seperti mertua perempuan dalam keadaan sakit parah dan harus dibawa segera ke rumah sakit dan yang berada di rumah hanya ada menantu laki-laki maka menantu tersebut diperbolehkan untuk bebicara langsung ataupun bersentuhan secara langsung agar mertua mendapat pertolongan dengan segera agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.


(3)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Dari hasil penelitian tentang hambatan komuniaksi antara mertua dan menantu pada suku Karo di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada masyarakat Karo terdapat rebu, yaitu rebu antara mami dan kela, rebu antara bengkila dan permain.

2. Rebu terdapat pula antara orang-orang yang berbeda jenis kelamin seperti yaitu rebu antara mami dan kela, rebu antara bengkila dan permain. Dan mereka rebu berbicara langsung tanpa perantra, rebu bersentuhan anggota badanm rebu duduk berhadapan dan sebagainya.

3. Masyarakat di Desa Batukarang masih menjalankan adat istiadat yang berlaku sejak nenek moyang mereka karena adat itu dibuat juga demi kebaikan orang Karo itu sendiri seperti Rebu yang masih dijalankan oleh masyarakat desa sampai saat sekarang ini demi mencegah terjadinya hal-hal yang buruk bagi diri mereka sendiri.

4. Hambatan komunikasi yang ada antara mertua dan menantu pada suku karo dapat diatasi dengan melalui perantara anggota keluarga yang lain yang msih berada dirumah tersebut ataupun dapat berbicara dengan dengan benda mati yang ada di dekat komunikan dengan tidak mengurangi makna penyampaian pesan kepada komunikator.


(4)

5.2 Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh peneliti selama melakukan observasi dan wawancara, peneliti juga memiliki saran. Adapun saran-saran yang ingin peneliti sampaikan yaitu:

1. Adat istiadat ataupun kebiasaan suatu daerah hendaknya dipertahankan keberadaannya agar tidak hilang seiring kemajuan zaman karena adat istiadat itu merupakan identitas suatu bangsa begitu juga dengan Rebu harus dipertahankan demi kebaikan masing-masing individu dan menghargai warisan budaya nenek moyang kita.

2. Setiap pendatang yang bukan berasal dari suku Karo hendaknya mempelajari budaya setempat agar terjadi keselarasan hidup satu sama lain.

3. Selama penelitian, peneliti mendapat pengalaman yang belum didapatkan sebelumnya mengenai kerukunan hidup antar budaya dan antar umat beragama semoga dapat dipertahankan dan juga dapat lebih ditingkatkan.

4. Daerah sangat bagus untuk dijadikan daerah wisata berkebun semoga desa ini dapat dipublikasikan melalu internet agar masyarakat mengetahui mengenai desa ini.

5. Peneliti berharap birokrasi di desa ini tidak sulit bagi para peneliti selanjutnya demi dikenalnya desa ini pada khalayak umum.


(5)

DAFTAR REFERENSI

Bungin, Burhan. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Cangara, Hafied. (2006). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta :PT. RajaGrafindo Persada.

Devito, Joseph.A. (1996). Human Communication, Fifth Edition. NYC: HarperCollins Publishers Inc..

Fajar, Marhaeni. (2009). Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktik. Jakarta: Graha Ilmu

Effendy, Onong Uchjana. (2004). Dinamika Komunikasi, Bandung: PT. Remaja RosdaKarya.

Hardjana, Agus.M. (2003). Komunikasi Intrapersonal dan Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta:Kanisius.

Iskandar, (2009). Metode Penelitian Kualitattif. Jakarta: Gaung Persada.

Liliweri, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

___________. (2004). Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Moleong, Lexy. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Morissan, Dkk. (2009). Teori Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mulyana, Deddy, dkk. (2005). Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. (2007). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Poerwanto, Hari. (2005). Kebudayaan Dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar.

Prinst, Darwan. (2004). Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis.

Prajarto, Nunung. (2010). Metode Penelitian Survei Untuk Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: FISIPOL UGM.

Rakhmat, Jalaluddin. (1978). Teori-Teori Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. ____________________. (2004). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Ranjabar, Jacobus. (2006). Sistem Sosial Suatu Budaya, Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.


(6)

Rudy, May. (2005). Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Internasional. Bandung: PT. Refika Aditama.

Setiadi, Elly M. dkk. (2009). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group .

Soehartono. (2008). Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

West, Richard & Lynn H. Turner. (2008). Pengantar Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

Yunus, Ahmad. (1995). Makna Pemakaian Rebu Dalam Kehidupan Kekerabatan Orang Batak Karo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumber Lain:

pukul18.15 WIB)

(http://skripsimahasiswa.blogspot.com/2010/11/teknik-analisis-data.html) diakses pada tanggal 15 April 2012, pukul 23.46 WIB)

operasional/ diakses tanggal 15 April 2012, pukul 22.20 WIB)