PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA 2019

MAKALAH
“PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA 2019”

OLEH;
LISNAWATI, S.Pd

CALON ANGGOTA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN
UMUM (BAWASLU) KABUPATEN
TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk
memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah
amandemen ke-IV UUD 1945 pada 2002, pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan
langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukan ke dalam rezim pemilihan
umum. Pilpres sebagai bagian dari pemilihan umum diadakan pertama kali pada
pemilu 2004. pada 2007, berdasarkan UU No.22 Tahun 2007, UU No.12 Tahun
2008, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga

dimasukan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum yang dipertegas dalam
Undang-Undang No. 7 tahun 2017. Sebagaimana dewasa ini praktek demokrasi
di indonesia dirasakan semakin dewasa. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan
Pimilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014, yang berlansung damai dan
tentram, kemudian Pemilihan Kepala Daerah serentak sejak tahun 2015 sampai
tahun 2018 yang baru saja usai.
Pemilihan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat
dapat berpartisipasi

menentukan

sikapnya

terhadap

pemerintahan

dan

negaranya. Pemilihan umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan

kenegaraan. Pemilu adalah menyembatani sistem demokrasi, melalui pemilihan
umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan kepala daerah
sebagai eksekutif yang

menjalankan pemerintahan. Ada negara yang

menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat duduk
dalam parlemen, akan tetapi adapula negara yang juga menyelenggarakan
pemilihan umum untuk memilih para pejabat tinggi negara.
Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu
adalah partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan
mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu. Dalam

ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi
umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu: singel member constituency
(satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik).
Multy member constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil;
biasanya dinamakan proporsional representation atau sistem perwakilan
berimbang).
B. Rumusan Masalah

Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan pemilikhan umum yang
bisa memberikan kontribusi bagi sistem politik yang demokratis, dan efektif yang
sedang giat-giatnya dilaksanakan adalah sistem proses pemilihan umum yang
luber, yang matang mengenai sistem pemilu proporsional dan pemahaman yang
luas dari pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan pernyataan ini maka
rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah sistem pemilu proporsional tersebut?
2. Faktor-faktor apa yang menmjadi kelebihan dan kelemahan pada pemilu
sistem proporsional yang berlaku sejak tahun 2009 sampai 2018 ini?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem
Sebuah sistem pada dasarnya adalah suatu organisasi besar yang
menjalin berbagai subjek atau objek serta perangkat kelembagaan dalam suatu
tatanan tertentu. Subjek atau objek pembentuk sebuah sistem dapat berupa
orang-orang atau masyarakat. Kehadiran subjek atau objek semata belumlah
cukup untuk membentuk sebuah sistem, itu baru merupakan himpunan subjek
atau objek. Himpunan subjek atau objek tadi baru membentuk sebuah sistem

jika lengkap dengan perangkat kelembagaan yang mengatur dan menjalin
tentang bagaimana subjek-objek bekerja, berhubungan dan berjalan.
Sebuah sistem sederhana apapun senantiasa mengandung kadar
kompleksitas tertentu. Dari uraian diatas cukup jelas bahwa sebuah sistem
bukan sekedar himpunan suatu subjek atau himpunan suatu objek. Sebuah
sistem adalah jalinan semua itu, mencakup objek dan perangkat-perangkat
kelembagaan yang membentuknya. Selanjutnya perlu disadari bahwa, seringkali
suatu sistem tidak bisa berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sistem yang lain
demikian pula sistem demokrasi di Indonesia yang tumbuh makin dewasa dalam
beberapa tahun terakhir.
B. Pemilihan Umum
a. Makna Pemilu
Makna pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik
yang demokratis adalah sebagai institusi pergantian dan perebutan kekuasaan
yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elite politik
dapat dilakukan secara damai dan beradab.
Lembaga itu adalah produk dari pengalaman sejarah umat manusia
dalam mengelola kekuasaan. Suatu fenomena yang mempunyai daya tarik dan
pesona luar biasa. Siapapun akan amat mudah tergoda untuk tidak hanya
berkuasa,


tetapi

akan

mempertahankan

kekuasaan

yang

dimilikinya.

Sedemikian mempesonanya daya tarik kekuasaan sehingga tataran apa saja

kekuasaan tidak akan diserahkan oleh pemilik kekuasaan tanpa melalui
perebutan atau kompetisi.
Selain mempesona, kekuasaan mempunyai daya rusak yang dahsyat.
Kekuatan daya rusak kekuasaan melampaui nilai-nilai yang terkandung dalam
ikatan-ikatan etnis, ras, ikatan persaudaraan, agama dan lainnya. Transformasi

dan kompetisi merebutkan kekuasaan tanpa disertai norma, aturan, dan etika;
nilai-nilai dalam ikatan-ikatan itu seakan tidak berdaya menjinakan kekuasaan.
Daya rusak kekuasaan telah lama diungkap dalam suatu adagium ilmu politik,
power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absoluteny.
Pemilu 2014 adalah pemilu keempat dalam masa transisi demokrasi dan
juga pemilihan kedua presiden dan wakil preside yang dipilih lansung oleh
rakyat. Pemilu mendatang diharapkan dapat menjadi pelajaran dan pengalaman
berharga untuk membangun suatu institusi yang dapat menjamin transfer of
power dan power competition dapat berjalan secara damai dan beradab. Untuk
itu, pemilu 2019 harus diatur dalam suatu kerangka regulasi dan etika yang
dapat memberi jaminan agar pemilu tidak saja dapat berlangsung secara jujur
dan adil, tetapi juga dapat menghasilkan wakil-wakil yang kredibel, akuntabel,
dan kapabel serta sanggup menerima kepercayaan dan kehormatan dari rakyat,
dalam mengelola kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka untuk
mewujudkan kesejahteraan umum.
Agar pemilu 2019 dapat menjadi anggeda pelembagaan proses politik
yang demokratis, diperlukan kesungguhan, terutama dari anggota parlemen,
untuk tidak terjebak dalam permainan politik yang oportunistik, khususnya
dalam memperjuangkan agenda subjektif masing-masing. Orientasi sempit dan
egoisme politik harus dibuang jauh-jauh.

Kerangka hukum perlu didukung niat politik yang sehat sehingga regulasi
bukan sekedar hasil kompromi politik oportunistik dari partai-partai besar untuk
menjaga kepentingannya. Bila hal itu yang terjadi, dikhwatirkan hasil pemilu
akan memperkuat oligarki politik. Karena itu, partisipasi masyarakat amat
diperlukan. Bahkan, tekanan publik perlu dilakukan agar kerangka hukum yang
merupakan aturan permainan benar-benar menjadi sarana menghasilkan pemilu
yang demokratis. Untuk itu, perlu diberikan beberapa catatan mengenai

perkembangan konsensus politik dari peraturan kepentingan di parlemen serta
saran mengenai regulasi penyelenggaraan pemilu yang akan datang.
Pertama, diperlukan penyelenggaraan pemilu yang benar-benar
independen. Parsyaratan ini amat penting bagi terselenggaranya pemilu yang
adil dan jujur. Harapan itu tampaknya memperlihatkan tanda-tanda akan
menjadi kenyataan setelah pansus pemilu menyetujui bahwa kondisi pemilihan
umum (KPU) benar-benar menjadi lembaga independen dan berwewenang
penuh dalam menyelenggarakan pemilu. Sekretariat KPU yang semula
mempunyai dua atasan: untuk urusan operasional bertanggung jawab kepada
KPU, telah disatukan dalam struktur yang tidak lagi bersifat dualistik. Struktur
yang sama diterapkan pula ditingkat propinsi serta kabupaten dan kota.
Kedua, kesepakatan mengenai sistem proporsional terbuka, kesepakatan

partai-partai menerima sistem pemilu proporsional terbuka adalah suatu
kemajuan. Sejak semula, sebenarnya argumen kontra terhadap sistem
proporsional terbuka dengan menyatakan sistem ini terlalu rumit gugur dengan
sendirinya.
Begitu suatu masyarakat atau bangsa sepakat memilih sistem demokrasi,
saat itu harus menyadari bahwa mewujudkan tatanan politik yang demokratis itu
selain rumit, diperlukan kesabaran melakukan pendidikan politik bagi rakyat.
Sebab, partai politik bukan saja instrumen untuk melakukan perburuan
kekuasaan, tetapi juga institusi yang mempunyai tugas melakukan pendidikan
dan sosialisasi politik kepada masyarakat.
Ketiga, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu supaya kebih
efektif dari pemilu 2019. Caranya antara lain, agar pengawas pemilu selain
terdiri dari aparat penegak hukum dan KPU, juga melibatkan unsur-unsur
masyarakat. Selain itu, perlu semacam koordinasi diantara lembaga pemantau
dan pengawas pemilu sehingga tidak tumpang tindih. Pengawasan dilakukan
terhadap

seluruh

tahapan


kegiatan

pemilu

yang

melibatkan

lansung

masyarakat. Tugas lembaga pengawas adalah menampung, menindak lanjuti,
membuat penyilidikan dan memberi saksi terhadap pelanggaran pemilu.
Keempat, Money politics mencegas habis-habisan permainan uang
dalam pemilu mendatang amat penting sekali. Upaya itu amat perlu dilakukan

mengingat money politics dewasa ini telah merebak luas dan mendalam dalam
kehidupan pilih memilih pemimpin mulai dari elite politik sampai dibeberapa
organisasi sosial dan kemahasiswaan. Karena itu, kontrol terhadap dana
kampanye harus lebih ketat. Misalnya, Batasan sumbangan berupa uang,

mengonversikan utang dan sumbangan barang dalam bentuk perhitungan
rupiah, dilarang memperoleh bantuan dari sumber asing dan APBN/APBD lebihlebih sumber ilegal dan tentu saja hukuman pidana yang tegas dan setimpal
bagi para pelanggarannya.
Kelima, pendidikan politik perlu segera dilakukan baik oleh organisasi
masyarakat dan partai politik. Bagaimanapun, pemilihan kedepan mengandung
unsur-unsur baru serta detail-detail yang sangat perlu diketahui oleh
masyarakat.
b. Pemilih dan Hak Pilih
Persyaratan mendasar dari pemerintahan perwakilan daerah adalah
bahwa rakyat mempunyai peluang untuk memilih anggota dewan yang
memegang peranan dan bertanggung jawab dalam proses pemerintahan.
Masken Jie (1961) berpendapat bahwa pemilihan bebas, walaupun bukan
puncak dari segalanya, masih merupakan suatu cara yang bernilai paling tinggi,
karena belum ada pihak yang dapat mencipatakan suatu rancangan politik yang
lebih baik dari cara tersebut untuk kepentingan berbagai kondisi yang diperlukan
guna penyelenggaraan pemerintahan dalam masyarakat manapun. Pertama,
pemilihan dapat menciptakan suatu suasana dimana masyarakat mampu
menilai arti dan manfaat sebuah pemerintahan. Kedua, pemilihan dapat
memberikan suksesi yang tertib dalam pemerintahan, melalui transfer
kewenangan yang damai kepada pemimpin yang baru ketika tiba waktunya bagi

pemimpin lama untuk melepaskan jabatannya, baik karena berhalanga tetap
atau karena berakhirnya suatu periode kepemimpinan.
Pada sistem pemerintahan nonperwakilan daerah, peranan warga daerah
terbatas pada hal-hal yang relatif tidak terorganisasi dan tidak langsung dalam
urusan pemerintahan daerahnya. Rakyat harus memainkan peranan yang aktif

dan langsung jika pemerintahan perwakilan diinginkan untuk menjadi dinamis
dan bukan merupakan proses statis. Ada banyak kepentingan dan pengaruh
warga daerah untuk melibatkan diri dalam proses pemerintahan daerah, tetapi
yang paling mendasar adalah melalui pemilihan para wakilnya dalam
kepemimpinan daerah.
c. Hak Untuk Memilih
Suatu hak pilih yang umum merupakan dasar dari pemerintahan
perwakilan dan pengembangannya diberbagai negara merupakan fenomena
yang paling penting dalam kaitannya dengan pemerintahan perwakilan daerah
yang modern. Pada abad 19, banyak negara belum mempunyai proses
pemilihan untuk posisi-posisi pada pemerintahan daerah. Di negara lainnya, hak
untuk memilih seringkali dibatasi pada sejumlah kecil penduduknya. Namun
perkembangan selama satu abad terakhir ini menunjukan adanya kemajuan
yang berarti dalam mengalihkan hak dari beberapa orang saja menjadi hak bagi
semua, atau lebih tepat lagi berupa hak bagi hampir semua, karena pada sistem
hak pilih yang paling luas pun masih ada beberapa diantaranya yang tidak
memenuhi syarat untuk memilih.
Dalam banyak hal, hak untuk memilih bagi perwakilan pada lembaga
daerah terbatas pada satu orang yang merupakan warga daerah tersebut.
Namun pengecualiannya dapat dijumpai pada persemakmuran Inggris yang
hukum

kewarganegaraannya

menyatakan

bahwa

warga

negara

dalam

persemakmuran manapun dapat memilih di Inggris Raya, bila ia dinayatakan
memenuhi syarat (HMSO, 1965). Dewasa ini sudah menjadi fenomena yang
umum untuk memberikan hak pilih kepada seseorang yang sudah mencapai
“umur yang bertanggung jawab”. Ada dua persyaratan lain yang sering
diungkapkan dalam cara yang agak negatif. Diketahui bahwa sudah menjadi hal
yang biasa disetiap negara untuk menghapus hal pilih dari mereka yang tidak
waras atau catat mental dan mereka yang sedang menjalani hukuman penjara.
Demikian pula, ada beberapa negara yang tidak membolehkan warganya yang
telah menjalani masa tahanan dalam penjara selama waktu yang cukup lama

untuk ikut memilih. Di indonesia, mereka yang dihukum diatas lima tahun tidak
diperkenankan mengikuti pemilihan umum.
d. Pemilu Sistem Proporsional
Umumnya ada dua sistem pelaksanaan pemilihan umum yang dipakai,
yaitu: pemilu sistem distrik dan pemilu sistem proporsional. Namun yang akan
dibahas penulis ialah pemilu sistem proporsional.
Sistem ini perjumlah penduduk pemilih misalnya setiap 40.000 penduduk
pemilih memperoleh satu wakil (suara berimbang), sedangkan yang dipilih
adalah sekelompok orang yang diajukan kontekstan pemilu (multy member
constituency), sehingga wakil dan pemilih kurang akrab. Tetapi sisah dapat
digabung secara nasional untuk kursi tambahan, dengan begitu partai kecil
dapat dihargai tanpa harus beraliansi, karena suara pemilih dihargai. Indonesia
berada ditengah-tengah sistem ini (sistem campuran) dalam pemilihan selama
orde baru, tetapi sedikit cenderung agak mirip pada sistem proporsional.
e. Kelemahan dan Kelebihan Sistem Proporsional
Kelemahan
1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai
baru. Sistem ini tidak menjurus kearah integrasi bermacam-macam
golongan dalam masyarakat, mereka lebih cenderung lebih mempertajam
perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk mencari dan
memanfaatkan persamaan-persamaan. Umumnya diaggap bahwa sistem
ini mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai;
2. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang
merasakan loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya. Hal-hal
semacam ini partai lebih menonjol perannya dari pad kepribadian
seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan partai.
Kelebihan
1. Partai politik bisa leluasa menentukan siapa yang bakal calon.

2. integritas secara citra partai lebih “solid” karana para pemilih mendukung
atau mencoblos partai politik serta calonnya.
3. pencalonan perempuan okeh partai politik sebagai anggota legislatif
sebanyak 30 %.
4. KPU membuat regulasi pelarangan mantan Napi Korupsi untuk
mencalonkan diri sebagai Calon DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi DPRD
Kab/Kota.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilu, akan tetapi
umumnya ada dua prinsip pokok yaitu: sistem distrik dan sistem proporsional,
namun pada pemilu 2019 masih menggunakan sistem pemilu proporsional
terbuka. Sebagai catatan penutup perlu dikemukakan, perjalanan yang akan
ditempuh bangsa Indonesia dalam mengukir demokrasi masih amat panjang
dan melelahkan. Kebiasaan melakukan pergantian kekuasaan dan sirkulasi elite

penguasa yang reguler, aman dan beradab hanya dapat dilakukan melalui
serangkaian pemilu yang jujur dan adil.
Politik merupakan kualitas yang paling penting untuk membangkitkan dan
mengorganisasikan minat dan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan ditingkat daerah. Pada unit pemerintahan yang lebih besar, politik
memegang peranan penting dalam proses pemerintahan perwakilan. Untuk
mewujudkan aspirasi masyarakat guna mewujudkan good governance. Dalam
rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem
pertanggung jawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan
pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna,
berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.

Referensi
Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang pemilihan Kepala Daerah Provinsi
dan Kab/Kota
Undang-Undang No. 15 tahun 2011 tentang penyelengara pemilihan DPR-RI,
DPD, DPRD PROV, DPDRD Kab/Kota
Undang-Undang No. 10 tahun 2016 tentang pemilihan Kepala Daerah Provinsi
dan Kab/Kota
Undang-Undang No. 7 tahun 2019 tentang pemilihan umum DPR-RI, DPD,
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupeten/Kota, Presiden dan wakil presiden.