BAHASA PENCITRAAN PILKADA DKI JAKARTA DI

BAHASA PENCITRAAN PILKADA DKI JAKARTA DI MEDIA SOSIAL
Antok Risaldi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
antokrisaldi5@gmail.com

Abstrak
Media sosial menjadi salah satu sarana untuk mencitrakan diri yang bersifat positif ke
hadapan publik. Hal itu juga dilakukan oleh calon gubenur dan wakil gubenur Dki Jakarta
pada tanggal 15 Februari 2017 dan 19 April 2017. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan
kualitatif. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode penelitian
kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atu lisan tentang sifat suatu individu, keadaan, atau gejala dari kelompok tertentu
yang diamati. Oleh karena itu penelitian ini lebih menekankan pada bentuk kualitatif
deskriptif. Data tersebut berupa tulisan para calon gubenur dan calon wakil gubenur di media
sosial. Artikel ini akan membahas bahasa pencitraan yang digunakan para calon gubenur dan
calon wakil gubenur di media sosial.
Kata kunci: bahasa, pencitraan, pilkada, DKI Jakarta, media sosial.
PENDAHULUAN
Menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 15 Februari 2017 dan 19 April 2017
lalu, para calon gubenur dan wakil gubenur terus berusaha menampilkan sisi-sisi positif pada

diri mereka. Para calon memanfaatkan berbagai media sosial sebagai sarana untuk
mempromosikan diri mereka dan meraih simpati masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya
indikasi dramaturgi. Dramaturgi oleh Erving Goffman dapat dikatakan sebagai panggung
sandiwara, dimana individu berbeda karakternya ketika berada di panggung depan (front
stage) dan panggung belakang (back stage). Erving Goffman dalam bukunya The
Presentation of Everyday Life (1959) mengatakan bahwa dramaturgi adalah sebuah teori
dasar tentang bagaimana individu tampil di dunia sosial. Goffman memusatkan perhatiannya
pada interaksi tatap muka atau kehadiran bersama (co-presence). Individu dapat menyajikan
suatu “pertunjukan” apapun bagi orang lain, namun kesan (impression) yang diperoleh orang
banyak terhadap pertunjukan itu bisa berbeda-beda. Seseorang bisa sangat yakin terhadap
pertunjukan yang diperlihatkan kepadanya, tetapi bisa juga bersikap sebaliknya (Santoso,
2012: 47).
1

Calon gubenur dan wakil gubenur Dki Jakarta adalah Basuki Tjahja Purnama (dikenal
sebagai “Ahok”) mencalonkan diri sebagai petahanan bersama dengan Djarot Saiful Hidayat.
Selain itu, mantan perwira TNI Agus Harimurti Yudhoyono bersama dengan Sylviana Murni,
serta akademisi dan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Anies Baswedan
juga mencalonkan diri bersama dengan Sandiaga Uno.
Para calon gubenur dan calon wakil gubenur menggunakan media sosial sebagai

tempat sarana mereka dalam mempromosikan diri dan juga sebagai salah satu strategi mereka
dalam memenangkan pilkada. Makalah ini akan membahas (1) pencitraan, (2) politik
pencitraan, (3) pencitraan politik, (4) komunikasi politik.
1. Pencitraan
Kata “Citra” dalam bahasa Jawa berarti “gambar”, kemudian dikembangkan ke dalam
menjadi gambaran sebagai padanan perkatan image dalam bahasa Inggris. Citra dapat
didefiniskan konstruksi atas representasi dan persepsi khayalak terhadap individu, kelompok
atau lembaga yang terkait kiprahnya dalam masyarakat. Sedangkan pencitraan merupakan
proses pembentukan citra melalui informasi yang diterima oleh khayalak secara langsung
melalui media sosial atau media massa. Hal ini berkaitan dengan persepsi seseorang terhadap
pesan yang menyetuhnya atau merangsangnya. Citra yang melekat di benak seseorang itu
dapat berbeda dengan realitas objektif atau tidak selamanya mereflesikan kenyataan yang
sesungguhnya. Demikian juga citra dapat mereflesikan hal yang tidak wujud atau imajinasi
yang mungkin tidak sama dengan realitas empiris.
2. Politik Pencitraan
Politik pencitraan terletak pada sumber pesan (komunikator) , karena analisis yang
digunakan adalah analisis kontrol. Analisis kontrol yang dimaksud terkait dengan
pengendalian pada pesan-pesan yang disampaikan dan banyak berhubungan dengan sumber
pesan itu sendiri dalam membangun manajemen pencitraan yang terbaik bagi seseorang. Oleh
sebab itu, hal yang tidak bisa dilepaskan dari ‘politik pencitraan’ itu tersendiri adalah ‘strategi

pencitraan’ yang dibangun.
Strategi pencitraan yang dimaksud bagi seseorang komunikator (dalam hal ini partai
politik dan tokoh-tokohnya) tidak dapat dilakukan secara instant, melainkan memerlukan
waktu yang lama, karena khayalak, publik atau rakyat ingin mengetahui kesesuaian dirinya
dengan ideologi, visi, misi serta kinerja dan reputasi suatu partai politik dan tokoh-tokohnya.
Rakyat juga ingin mengetahui konstitensi dan integritas, maka citra yang terekam dan
melekat dibenak publik menjadi tidak utuh dan bahkan bisa menjadi buruk.

2

Anwar arifin (2003:145) menyebut strategi itu sebagai keseluruhan keputusan
kondisional pada saat ini tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan pada
masa depan. Menurut Anwar arifin, merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan
dalam melakukan komunikasi politik, merupakan keputusan yang tepat saat inibagi
komunikator untuk mencapai kedepan yaitu, citra yang baik, opini public yang positif dan
memenangkan pemilihan umum.
Dengan demikian esensi mendasar dari ‘Politik Pencitraan’ itu adalah upaya dari
komunikator untuk menumbuhkan ‘partisipasi politik’ khayalak selanjutnya memberikan
pilihan padanya.
3. Pencitraan Politik

Pencitraan politik terletak pada khayalak, sehingga analisa yang digunakannya adalah
‘analisa khayalak’. Pada dasarnya, ‘khayalak itu kepala batu’ (the obsinate audience theory)
yang merupakan koreksi dari Teori Peluru (The Ballet Theory) dan teori Jarum Hipodermik
(Hypordemik Needle Theory) di mana selama ini berpendapat bahwa khayalak itu pasif.
Pencitraan politik sangat terkait dengan sosialisasi politik, karenannya tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Semakin intens sosialisasi politik itu dilakukan
semakin tinggi kepercayaan khayalak dan pada gilirannya khayalak menentukan pilihannya.
Lahirnya Teori Khayalak Kepala Batu ini, maka fokus penelitian dan perhatian
bergesar dari komunikator politik kepada khayalak. Para pakat terutama pakar psikologi dan
kemudian pakar sosiologi dan komunikasi, mencurahkan kepada individu. Lizen dalam
Anwar Arifin (2008:89) misalnya telah menulis bahwa tiap-tiap manusia mempunyai watak
dan sifat tertentu yang menjadi senjata bagi dirinya terhadap pengaruh sosial dari luar.
Hampir tidak ada seorang pun yang menjadi bola permainan orang lain belakang.
Oleh karena itu, tiap-tiap individu juga sadar akan dirinya, dan dari kesadaran itu ia
hidup dan mengumpulkan kekuatan rohani untuk bertindak sendiri. Sejalan dengan itu Anwar
Arifin (1985) menyebutkan bahwa tiap individu memiliki kesadaran ‘Aku’, yang menjadi
kekuatan baginya dalam menghadapi pengaruh dari luar. Kesadaran ‘Aku’ itu bersumber dari
kerangka referensi (frame of reference) dan pengalaman lapangan (field of experience).
Dari penjelasan ini pula maka dapat diperoleh kejelasan bahwa pencitraan politik
sangat terkait dengan opini publik, sebagai ‘effect’ dari komunikasi politik, yang merupakan

hasil perpaduan dari sejumlah kekuatan yang bekerja dalam masyarakat. Dalam menentukan
sikap dan opini individu-individu yang menjadi khalayak selain memiliki kekuatan
menyeleksi secara internal berdasarkan kekuatan ‘Aku’, juga memperoleh pengaruh eksternal
dari kelompok masyarakat serta pengaruh rangsangan dari pesan lainnya. Itulah sebabnya
3

publik dipandang memiliki filter konseptual (seperti motif, kepentingan, ideology) yang
membuatnya tidak mudah membentuk opini. terhadap sebuah kebijakan, bamun dapat
dikalahkan oleh kelompok minoritas (public minority) yang anti terhadap kebijakan itu, tetapi
selalu ditonjolkan oleh media massa. Suara minoritas itu tidak saja membentuk citra yang
keliru, tetapi dapat terwujud dalam bentuk keputusan, nilai-nilai dan norma-norma.
Opini publik sendiri baru akan tercipta jika ada realitas sosial yang menjadi pendapat
dari pendapat rata-rata individu dalam masyarakat sebagai hasil diskusi langsung yang
dilakukan untuk memecahkan persoalan sosial terutama yang dioperkan media massa. Jadi
opini public hanya terbentuk jika ada isu yang dikembangkan oleh media massa seperti
suratkabar, radio dan televisi. (Anwar Arifin:1998:115).
Dengan ini memberikan gambaran bahwa ‘Pencitraan Politik’ juga akan terbentuk jika
ada ‘kesamaan wartawan’ dalam membangun opini itu sendiri. Inilah yang kemudian disebut
dengan realitas media, di mana media massamemiliki kekuatan yang kuat untuk membentuk
persepsi politik dan citra politik khalayak.

Noelle Neumann membuktikan adanya semacam ‘lingkaran kebisuan’ (die
schwigesperale) atau the spiral silence dalam masyarakat. Lingkaran kebisuan itu adalah
masyoritas khalayak (public majority) yang membisu atau diam meskipun pro atau setuju
terhadap sebuah kebijakan, bamun dapat dikalahkan oleh kelompok minoritas (public
minority) yang anti terhadap kebijakan itu, tetapi selalu ditonjolkan oleh media massa. Suara
minoritas itu tidak saja membentuk citra yang keliru, tetapi dapat terwujud dalam bentuk
keputusan, nilai-nilai dan norma-norma.
4. Strategi Komunikasi Politik
Hakikat strategi dalam komunikasi politik adalah keseluruhan keputusan kondisional
pada saat ini tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan politik pada masa
depan (Ardial, 2010: 73). Karena pada kenyataannya keberadaan pemimpin politik sangat
dibutuhkan dalam setiap aktivitas kegiatan komunikasi politik. Setelah itu, langkah yang
tepat bagi seorang komunikator politik untuk mencapai tujuan politik ke depan antara lain
dengan merawat ketokohan yang telah melekat pada diri komunikator politik tersebut serta
memantapkan kelembagaan politiknya.
Menurut Ardial (2010: 73) ketika komunikasi politik berlangsung, justru yang
berpengaruh bukan saja pesan politik, melainkan terutama siapa tokoh politik (politikus) atau
tokoh aktivis dan profesional dan dari lembaga mana yang menyampaikan pesan politik itu.
Dengan kata lain, ketokohan seorang komunikator politik dan lembaga politik yang
4


mendukungnya sangat menentukan berhasil atau tidaknya komunikasi politik dalam
mencapai sasaran dan tujuannya.
METODE PENELITIAN
Dari asal katanya metode berarti ‘Jalan’ atau cara ‘cara’. Metode penelitian ini berarti
cara pengumpulan data dan analisis. Dari analisa data tersebut kemudian peneliti akan
mendapatkan hasil apakah itu berupa penegasan atas teori yang pernah ada (confirmation)
atau suatu penemuan baru (discovery).
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode ini lebih memengedepankan
kualitas data yang diperoleh. Metode penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif .
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik pembahasan deskriptif analsis yaitu
dengan memaparkan dan menggambarkan serta menganalisa data-data yang diperoleh.
Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang
berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu.
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif,
ucapan atau tulisan, dan perilaku yang dapat diamati dari subjek itu sendiri. Pendekatan ini
menunjukan langsung dari seting itu secara keseluruhan. Subjek setudi baik berupa
organisasi, lembaga,atau pun individu tidak dipersempit menjadi variabelyang terpisah atau
menjadi hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari satu keseluruhan”
Data yang digunakan sebagai objek kajian penelitian ini menggunakan data dari

media sosial yaitu: instagram. Data tersebut berupa tulisan yang di tulis oleh si calon
gubenur, calon wakil gubenur ataupun tim sukses. Data merupakan fakta yang diperoleh dari
objek penelitian atau objek pengamatan yang dipercaya kebenarannya.

5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni merupakan pasangan calon gubenur
dan wakil gubenur DKI Jakarta nomor urut 1. Agus—Sylvi telah memulai proses kampanye
yang panjang untuk memperkenalkan diri serta menjelaskan program-program mereka
kepada warga Jakarta. Strategi Agus-Sylvi dalam memenangkan pilkada terlihat

pada

account instagram @agus.sylvi menghadirkan foto dan pernyataan sebagai berikut:

agus.sylvi seharusnya mereka menikmati masa kanak-kanaknya dengan bermain
dengan teman sebaya atau belajar berkelompok dengan teman-temannya.
Siapa yang bisa mewujudkan pendidikan gratis, ekonomi kerakyatan, dan
meningkatkan level masyarakat kecil.

Kalau bukan gubenur yang berpihak pada rakyat.
Tidak butuh janji tapi butuh bukti. Tidak pula bersilat lidah menyerang sana sini tapi
beri sumbangsi untuk anak negeri. (Ad1).
Pencitraan yang dilakukan oleh Agus-Sylvi dengan menggunakan foto seorang gadis
kecil yang bekerja sebagai pemulung. Foto tersebut digunakan oleh Agus-Sylvi dalam
membangun citra dirinya agar lebih baik lagi. Dalam pernyataan tersebut Agus-Sylvi
menegaskan bahwa dirinya mampu mewujudkan menjadi gubenur yang mampu
meningkatkan taraf hidup masyarakat kecil. Pada pernyataan berikutnya Agus-Sylvi
memberikan gambaran bahwa ia adalah sosok calon gubenur dan wakil gubenur yang tidak
mengumbar janji.

6

Basuki Tjahja Purnama atau yang sering disapa dengan nama Ahok menjadi petahana
dalam pilkada DKI Jakarta. Ahok menggandeng Djarot Saiful Hidayat sebagai wakil gubenur
DKI Jakarta. Ahok-Djarot merupakan pasangan urut nomor 2. Dalam memenangkan pilkada
DKI Jakarta Ahok-Djarot mempunyai strategi dalam menarik dukungan dari masyarakat
terlihat pada media sosial milik mereka. Dalam account instagram @ahokdjarot
menghadirkan foto dan pernyataan sebagai berikut:


ahokdjarot Jangan takut berobat karena ditanggung pemerintah. Orang Jakarta
harus sehat. #BasukiDjarot menjamin akses kesehatan untuk selirih warga dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Jakarta agar setara dengan kotakota
maju di dunia, karena #JakartaPunyaSemua.
Sampai tahun 2017, anggaran untuk BPJS-PBI terus meningkat mencapai 828M dan
jumlah peserta BPJS—PBI per tahun 2016 mencapai 2,9 juta penduduk. (Ad2)
Pencitraan yang tampak pada gambar di atas adalah Ahok ingin menunjukan bahwa ia
pro terhadap warga miskin dan membangun citra postif pada dirinya. Bahasa yang digunakan
juga mengandung pencitraan. Hal tersebut nampak pada kalimat #BasukiDjarot menjamin
akses kesehatan.... Hal ini dilakukan agar masyarakat percaya dan memilih Ahok-Djarot
sebagai calon gubenur dan wakil gubenur DKI Jakarta.

7

Anies Baswedan dan Sandiaga Uno merupakan calon pasangan nmor urut 3. Strategi
Anies-Sandi dalam memenangkan pilkada DKI Jakarta dengan memperkenalkan program
kerja

di


media

sosial.

seperti

terlihat

pada

account

instagram

Anies-Sandi

@jakartamajubersama.

Jakartamajubersama Mas @aniesbaswedan dan Bang @sandiuno punya programprogram yang konkrit untuk mempersatukan warga.
Membereskan ketimpangan sosial adalah jembatanya. Mari teman-teman, kita
bersiap untuk melangkah #MajuBersama Anies-Sandi!!! Jangan lupa digeser2 untuk
melihat lengkapnya  #CoblosNomor3 #SalamBersama #MajuBersama (Ad3 )
Anies-Sandi tentunya tak jauh beda dengan kandidat calon gubenur dan wakil
gubenur yang lain. Mereka membangun citra positif dan pro rakyat. Hal ini terlihat pada
program kerja mereka yang diberi nama OK OCE. Program kerja tersebut berisikan
gambaran mengenai apa yang mereka lakukan jika terpilih menjadi gubenur dan wakil
gubenur DKI Jakarta. Anies-Sandi berjanji akan membereskan permasalahan yang ada di
Jakarta, hal ini tentunya pelu bukti bukan hanya sekedar janji.

SIMPULAN
8

Penggunaan bahasa pecitraan di media sosial merupakan strategi politik yang
digunakan dalam membangun image (citra) pada kandidat calon gubenur dan wakil gubenur
DKI Jakarta. Pencitraan digunakan untuk membangun citra positif pada dirinya. Pencitraan
bertujuan untuk meraih hati mayarakat agar memilih dirinya. Strategi pencitraan setiap
kandidat calon gubenur dan wakil gubenur DKI Jakarta tentunya berbeda. Tetapi, tujuannya
sama yaitu untuk memenangkan pilkada DKI Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. 2008. Komunikasi Politik: Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan, Strategi dan
Komunikasi Politik. Jakarta: Balai Pustaka.
Ardial, 2009. Komunikasi Politik. Jakarta:Indeks.
Saifuddin, Azwar. 1998. Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kertamukti, Rama. 2015. “INSTAGRAM DAN PEMBENTUKAN CITRA (Studi Kualitatif
Komunikasi Visual dalam Pembentukan Personal Karakter Account Instagram
@basukibtp” dalam Jurnal Komunikasi PROFETIK Volume 08 Nomor 01 April 2015
dalam http://ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/profetik diunduh Kamis, 20 Juli 2017
Pukul 19:31
http://instagram.com/press/# diakses pada tanggal 22 Juli 2017, pukul 23:00.

9