Makalah BAHASA INDONESIA DALAM HUKUM

MAKALAH
“KEGUNAAN MEMPELAJARI BAHASA HUKUM
INDONESIA SERTA MAKSUD DAN TUJUANNYA”
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bahasa Indonesia Hukum

Disusun Oleh Kelompok 1 :
M. Muchlis Adi Putra

(2013020454)

Asep Haerudin

(

Ali Sobu Hasibuan

(2013020488)

Anuardin Lase


(2013020933)

Ade Ike Hapidah

(2013020990)

KELAS EKSEKUTIF ILMU HUKUM (S-1) : 02HUKEB R.519
UNIVERSITAS PAMULANG

Jl. Surya Kencana No.1 Pamulang – Tangerang Selatan

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan taufik dan hidayah buat kita semua sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik, walaupun banyak menemui hambatan.
Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih banyak kepada :
Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan dorongan baik moril

maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik,
Dosen Mata kuliah Hukum serta rekan-rekan yang telah memberikan bantuan dan
dorongan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Dan tak lupa penulis mengharapkan saran dan kiritk yang membangun
untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan
balasan yang lebih dari pada yang diberikan, Amin
Tangerang Selatan, Agustus 2011
Penulis

DAFTAR ISI
ii

HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
A. Pendahuluan..................................................................................... 1
B. Bahasa Hukum Indonesia dan Permasalahannya............................. 3
C. Bahasa Hukum Indonesia sebagai Bahasa Tulis Ilmiah.................. 5
D. Pemakaian Ejaan dan Tanda Baca................................................... 7
E. Penutup............................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA

A. Pendahuluan
iii

Bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional
dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.

Alasan yang mendukung

pengikraran itu di antaranya adalah bahasa Indonesia telah dipakai sebagai
lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan Nusantara.
Kedudukannya makin kuat manakala bahasa Indonesia dijadikan bahasa
negara dan bahasa resmi negara Indonesia di dalam Pasal 36 UUD 1945
(Sugono 2009). Meskipun sudah menjadi bahasa negara, bagi hampir
sebagian orang di Indonesia bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa ibu,
melainkan bahasa kedua yang hanya dipelajari di bangku sekolah.
Dalam pemakaiannya di masyarakat, muncul berbagai ragam atau
variasi bahasa Indonesia. Variasi bahasa yang timbul menurut situasi dan
fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut dinamakan ragam bahasa

(Kridalaksana 1984 dalam Nasucha 2009:12). Ragam bahasa dikelompokkan
menjadi ragam bahasa formal/resmi dan tidak formal/tidak resmi. Ragam
bahasa yang oleh penuturnya dianggap berprestise tinggi dan digunakan oleh
kalangan terdidik disebut ragam bahasa baku/formal.
Hukum DM (Diterangkan-Menerangkan) adalah istilah yang mulamula dimunculkan oleh almarhum Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Hukum
DM itu sendiri memang merupakan salah satu sifat utama bahasa Indonesia
(BI). Sebuah frasa, terdiri atas unsur utama yang diikuti oleh unsur penjelas.
Ada juga bentuk susunan sebaliknya yaitu MD, tetapi jumlahnya agak
terbatas. Konstituen pembentuk frasa itu pun bermacam-macam, boleh nomina
(N), verba (V), adjektiva (Ad), pronomina (Pron), dan sebagainya. Kita lihat
contoh berikut ini:
NN

: kandang kuda

NAdv

: anak kemarin

NPron


: anak saya

NfrPrep

: rumah di bukit

Nad

: rumah besar

VAdv

: pergi lama

Npron

: anak itu

NV


: rumah makan

iv

Perhatikan! Baik kata pertama (yang diterangkan) maupun kata
kedua (yang menerangkan) dapat terdiri dari kelas kata apa saja: nomina,
verba, dan sebagainya. Juga bukan terdiri atas kata-kata sederhana (simple
word), namun dapat juga atas kata-kata turunan (complex words). Misalnya,
pertimbangkan

hati

nurani,

ketenangan

pikiran,

kesederhanaan,


dan

penampilan.
Konstituen menerangkan yang terdiri atas adverbia, frasa preposisi,
dan numeralia terletak mendahului konstituen utama yang diterangkannya.
Misalnya: belum dewasa, sudah pergi, di pasar, dari sekolah, lima anak, tiga
buah patung. Arti atau makna yang ditimbulkan oleh paduan kedua unsur frasa
itu dapat bermacam-macam seperti terlihat pada contoh-contoh berikut.
NV

: rumah makan, kamar tidur (untuk tempat)

NAd

: rumah baru, rumah sederhana (bersifat)

NN

: padang pasir (yang tediri dari), buku bacaan (untuk di)


VAd

: makan besar, tidur nyenyak (bersifat)

AdAd

: biru muda, hitam manis (bersifat)

NumN

: lima hari, seratus orang (menyatakan jumlah) dsb.

Melihat contoh-contoh di atas, bahwa dalam membentuk frasa, kita
pada umumnya menyusunnya seperti itu, yaitu pokok, yang utama, yang
diterangkan kita letakkan di depan, sedangkan keterangan atau penjelasannya
kita letakkan sesudah unsur pokok itu. Inilah yang ditonjolkan oleh istilah
Hukum DM itu.
Di sinilah kita lihat perbedaan antara bahasa Indonesia (juga bahasabahasa lain yang termasuk rumpun Austronesia) dengan bahasa yang
tergolong dalam rumpun Indo-German seperti bahasa Belanda dan bahasa

Inggris. Dalam bahasa-bahasa itu susunannya adalah MD, yaitu konstituen
penjelasnya.
Misalnya,

schoolbuilding

(Inggris)

`bangunan

sekolah`,

gouverneurkantoor (Belanda) `kantor gubernur`. Ada pula yang menanyakan
apakah seorang wanita yang menjadi dokter disebut wanita dokter wanita?
Perhatikan: wanita dokter ialah `wanita yang menjadi dokter`, sedangkan
dokter wanita ialah `dokter yang keahliannya ialah penyakit-penyakit yang

v

diderita oleh wanita`; bandingkan dengan dokter anak, dokter kandungan,

wanita pencuri ialah `wanita yang suka mencuri`, sedangkan pencuri wanita
ialah `orang (laki-laki atau perempuan) yang mencuri wanita`; bandingkan
dengan wanita penipu dan penipu wanita.
B. Bahasa Hukum Indonesia dan Permasalahannya
Sesuai dengan pokok persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang
digunakan dalam bidang hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Manurut
Mahadi (1983:215), bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang
corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian yang besar
terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak diadakan
Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November 1954 di
Medan. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan simposium bahasa dan hukum di
kota yang sama, Medan. Simposium tahun 1974 tersebut menghasilkan empat
konstatasi berikut (Mahadi dan Ahmad 1979 dalam Sudjiman 1999).
1. Bahasa

hukum

Indonesia


(BHI)

adalah

bahasa

Indonesia

yang

dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai
karakteristik tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah
memenuhi syarat-syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia.
2. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi,
serta gayanya.
3. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang
penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat
estetika.
4. Simposium melihat adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum
yang sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk,
dan komposisi kalimat.
Terungkapnya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti
terdapat dalam konstatasi keempat di atas, yang tercermin dalam penulisan
dokumen-dokumen hukum

dapat

ditelusuri

dari sejarahnya.

Sejarah

membuktikan bahwa bahasa hukum Indonesia, terutama bahasa undang-

vi

undang, merupakan produk orang Belanda. Pakar hukum Indonesia saat itu
banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia mengacu pada
hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan langsung pengetahuan
dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa mengindahkan struktur
bahasa Indonesia (Adiwidjaja dan Lilis Hartini 1999:1—2). Di samping itu,
ahli hukum pada masa itu lebih mengenal bahasa Belanda daripada bahasa
asing lainnya (Inggris, Perancis, atau Jerman) karena bahasa Belanda wajib
dipelajari, sedangkan bahasa Indonesia tidak tercantum di dalam kurikulum
sekolah (Sudjiman 1999).
Menurut Mahadi (1979:31), hukum mengandung aturan-aturan,
konsepsi-konsepsi, ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa
pembuat

hukum

untuk

(a)

disampaikan

kepada

masyarakat

(b)

dipahami/disadari maksudnya, dan (c) dipatuhi. Namun, kenyataannya sebagai
sarana komunikasi, bahasa Indonesia di dalam dokumen-dokumen hukum
sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian bahasa Indonesia dalam
bidang hukum masih perlu disempurnakan (Mahadi 1979:39). Banyak istilah
asing (Belanda atau Inggris) yang kurang dipahami maknanya dan belum
konsisten, diksinya belum tepat, kalimatnya panjang dan berbelit-belit (lihat
Mahadi 1979).
Senada dengan Mahadi, Harkrisnowo (2007) menambahkan bahwa
kalangan hukum cenderung (a) merumuskan atau menguraikan sesuatu dalam
kalimat yang panjang dengan anak kalimat; (b) menggunakan istilah khusus
hukum tanpa penjelasan; (c) menggunakan istilah ganda atau samar-samar; (d)
menggunakan istilah asing karena sulit mencari padanannya dalam bahasa
Indonesia; (e) enggan bergeser dari format yang ada (misalnya dalam akta
notaris). Hal-hal tersebut menempatkannya dalam dunia tersendiri seakan
terlepas dari dunia bahasa Indonesia umumnya. Tidak heran jika dokumen
hukum, seperti peraturan perundang-undangan, surat edaran lembaga, surat
perjanjian, akta notaris, putusan pengadilan, dan berita acara pemeriksaan,
sulit dipahami masyarakat awam.
Akan tetapi, sebagian orang menganggap semua itu merupakan
karakteristik bahasa hukum dalam hal kekhususan istilah, kekhususan

vii

komposisi, dan kekhususan gaya bahasa. Meskipun diakui bahasa hukum
Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dalam hal istilah, komposisi, dan
gaya bahasanya, bukan berarti hanya dapat dimengerti oleh ahli hukum atau
orang-orang yang berkecimpung di dalam hukum (Natabaya 2000:301).
Bahkan, sebetulnya di kalangan praktisi hukum sendiri masih timbul
perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum (lihat Murniah 2007). Begitu
penting peran bahasa dalam pembuatan dokumen hukum ditekankan pula oleh
Suryomurcito (2009). Ia mengatakan bahwa banyak layanan produk hukum
yang berbasis bahasa, seperti korespondensi dengan klien atau dengan ditjen
HKI, surat teguran/somasi, iklan peringatan, laporan polisi, gugatan,
permohonan pendaftaran (merek, hak cipta, paten, dan sebagainya), dan
penerjemahan jenis barang/jasa, draf perjanjian.
Jika bahasa hukum membingungkan masyarakat, tentu saja
masyarakat akan dirugikan padahal merekalah yang terikat dan terbebani
kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum yang dihasilkan (Murniah 2007).
Karena semua itu ditujukan untuk dimanfaatkan dan diinformasikan kepada
masyarakat umum, sudah selayaknya penulisannya dalam bahasa Indonesia
yang baik dan benar mendapat perhatian besar. Putusan simposium 1974
waktu itu sudah tepat: memasukkan bahasa Indonesia dalam kurikulum di
fakultas hukum dan melibatkan ahli bahasa Indonesia di dalam penyusunan
rancangan peraturan-peraturan hukum. Dengan kata lain, dibutuhkan penulis
dokumen hukum yang memahami ketentuan perundang-undangan yang
menjadi

landasannya,

tetapi

juga

yang memiliki

keterampilan

dan

pengetahuan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

C. Bahasa Hukum Indonesia sebagai Bahasa Tulis Ilmiah
Tidak berbeda dengan

bidang ilmu lainnya, bahasa hukum

Indonesia memiliki ciri-ciri bahasa keilmuan

(Moeliono 1974 dalam

Natabaya 2000), yakni :
1. lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan
2. objektif dan menekan prasangka pribadi

viii

3. memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori yang
diselidiki untuk menghindari kesimpangsiuran
4. tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi
5. membakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan gaya paparannya
berdasarkan konvensi
6. bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai

7. bentuk, makna, fungsi kata ilmiah lebih mantap dan stabil daripada yang
dimiliki kata biasa.
Bahasa hukum Indonesia dalam surat-menyurat khususnya, menurut
Suryomurcito (2009), perlu memperhatikan tata bahasa yang benar, istilah
yang tepat, kosakata yang beragam, kalimat yang singkat dan jelas, kalimat
yang mengandung satu pokok pikiran, dan tanda baca yang benar. Dengan
kata lain, supaya masyarakat lebih mudah memahaminya, disarankan untuk
menghindari kalimat yang bertele-tele, jangan mengulang-ulang, jangan
menggunakan istilah yang tidak sesuai dengan yang digunakan di dalam
undang-undang, jangan salah menggunakan tanda baca, dan jangan salah
ketik. Seperti hanya bahasa tulis ilmiah dalam bidang ilmu lainnya, dalam
dokumen hukum dibutuhkan penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar
yang menunjukkan intelektualitas penulisnya dalam menyampaikan aturan
hukum di dalam ejaan yang tepat dan benar serta rangkaian pesan yang
tersusun dalam kalimat yang efektif.
Kalimat efektif, menurut Alwi (2001:38), adalah kalimat yang
memperlihatkan bahwa proses penyampaian oleh penulis dan pembaca
berlangsung sempurna sehingga isi atau maksud yang disampaikan oleh
penulis tergambar lengkap dalam pikiran pembaca. Kalimat yang efektif dapat
dilihat dari ciri-ciri berikut: memiliki keutuhan atau keterkaitan makna
antarunsur di dalam kalimat; mempunyai kesejajaran struktur klausa dan
kesejajaran makna/informasi; memfokuskan unsur-unsur dengan mengulang
bagian-bagian yang ditekankan; menunjukkan penghematan dalam kata.
Tulisan ini akan menyajikan pemakaian bahasa hukum di dalam surat
perjanjian kredit (2003), surat perjanjian kerja (2006), dan surat perjanjian
pemberian pinjaman (2008). Dengan menganalisisnya secara kualitatif, yaitu

ix

dengan memerikan gejala pemakaian bahasa hukum, tulisan ini akan
mengungkap penggunaan bahasa hukum yang sebenarnya.

D. Pemakaian Ejaan dan Tanda Baca
Bahasa ilmiah hendaknya memperhatikan penulisan ejaan dan tanda
baca yang benar. Penulisan ejaan dan tanda baca yang benar menandakan
penulis

memperhatikan

kaidah-kaidah

kebahasaan

dan

mampu

menggunakannya secara tepat untuk menyatakan maksudnya. Kadang kala
pemakaian tanda baca yang tidak tepat dapat mengakibatkan makna yang
disampaikan berubah. Salah satu tanda baca yang sering digunakan di dalam
bahasa hukum, khususnya di dalam surat perjanjian adalah titik koma.Terlepas
dari struktur kalimatnya, perhatikan contoh (1) berikut :(1)

Bahwa Para

Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas
terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:
- Bahwa Pihak Pertama merupakan perusahaan yang bergerak dibidang
asuransi jiwa;
Dalam kaidah bahasa Indonesia, tanda titik dua diganti titik satu
pada kalimat lengkap yang diikuti perincian berupa kalimat lengkap pula, dan
perincian diakhiri tanda titik (Utorodewo, Felicia N. dkk. 2004). Oleh karena
itu, pada kalimat pertama bukan titik dua yang mengakhiri kalimat, melainkan
titik satu karena perincian berikutnya, yaitu kalimat kedua, merupakan kalimat
yang sudah lengkap pula (mengandung unsur Subjek-Predikat-Pelengkap).
Di samping titik dua, penulisan di agaknya juga masih belum
diperhatikan oleh penulisnya. Di- ditulis menyambung jika kata yang
mengikutinya merupakan verba (kata kerja). Kata berimbuhan di- sebagai
awalan dapat diubah ke dalam bentuk kalimat aktif. Contoh: divonismemvonis. Jika tidak berdampingan dengan verba, di ditulis terpisah, misalnya
di pengadilan, di atas. Dengan demikian, kalimat kedua pada contoh (1)
dibidang diperbaiki menjadi di bidang.
Contoh pemakaian tanda titik dua yang kurang tepat masih dapat
dilihat pada (2) berikut ini.

x

(2) Tanpa persetujuan tertulis dari BANK, selama kredit belum
lunas DEBITUR tidak diperkenankan untuk:
a. Menerima Kredit dari Bank lain,
b. Mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.
Tanda baca titik dua seharusnya tidak muncul pada unsur-unsur yang
masih merupakan bagian dari kalimat yang bukan memberi penjelasan.
Karena masih merupakan bagian dari kalimat, setelah titik dua tidak perlu
diawali dengan huruf kapital layaknya awal kalimat. Juga kata lain di dalam
kalimat yang bukan awal kalimat atau nama orang/tempat, tidak perlu ditulis
huruf kapital; begitu pula kata-kata dari bahasa asing sebaiknya ditulis dengan
huruf miring. Berikut perbaikan contoh (2). (2a) Tanpa persetujuan tertulis
dari bank, selama kredit belum lunas, debitor tidak diperkenankan untuk
a. menerima kredit dari bank lain,
b. mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.
1. Pemakaian bentuk jamak diikuti pengulangan kata
Tidak seperti dalam bahasa Inggris, untuk menyatakan bentuk jamak
di dalam bahasa Indonesia digunakan kata bermakna jamak, seperti
beberapa, para, semua, atau kata bilangan. Ketika bentuk jamak itu
digunakan, nomina yang yang menyertainya tidak lagi diulang katanya.
(3) a. Selalu mentaati dan melaksanakan semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk tetapi tidak terbatas kepada,
seluruh

ketentuan-ketentuan

yang

berlaku

serta

sesuai

standar

profesionalisme, etika kerja dan kode etik yang lazim sebagai Tenaga
Pemasaran di Indonesia.
(4) DEBITUR dengan ini berjanji dan mengikat diri untuk
mensahkan semua tindakan-tindakan hukum…
Dalam contoh (3), selain kesalahan ejaan mentaati, yang seharusnya
menaati, ditemukan seluruh ketentuan-ketentuan dan contoh (4) semua
tindakan-tindakan. Supaya lebih hemat penggunaan katanya, diperbaiki
masing-masing menjadi seluruh ketentuan dan semua tindakan.

xi

2. Pemakaian kata yang bersinonim
Dalam surat perjanjian kredit ditemukan pemakaian kata yang
makna dan fungsinya sama, seperti adalah merupakan, seperti terlihat
pada contoh berikut.
(5)Daftar pembayaran berikut perubahan-perubahannya adalah
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit ini.
Sebaiknya, kalimat (5) diperbaiki dengan menggunakan salah satu di
antara kedua kata tersebut, yaitu adalah atau merupakan.
3. Pengaruh unsur bahasa Inggris
Pengaruh bahasa Inggris dalam bahasa hukum marak ditemukan. Hal
tersebut dapat disebabkan penulisnya seorang dwi/multibahasawan.
Pengaruh bahasa Inggris tampak dalam penggunaan kata which dan where,
yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dimana, yang mana. Kedua
kata terjemahan tersebut bukan berperilaku konjungsi seperti halnya which
dan where. Untuk itu, kata-kata tersebut sebaiknya tidak digunakan atau
diganti dengan kata lain (lihat 6a) untuk (6) atau meniadakan kata mana
dalam (7) dan menambahkan tersebut (7a).
(6) Para Pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan Perjanjian ini,
Pihak Pertama akan membuka rekening khusus pada Bank yang disepakati
bersama oleh Para Pihak, yang mana rekening tersebut akan digunakan
oleh Para Pihak untuk mengelola dana masuk dan dana

keluar

sehubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini (“Rekening Khusus”).
(7) Apabila DEBITUR terlambat membayar angsuran (pokok
dan/atau bunga) sesuai jadwal yang ditetapkan diatas, maka DEBITUR
dikenakan denda sebesar 0,17% (nol koma tujuh belas persil) per hari atas
jumlah angsuran yang harus dibayar. Denda mana harus dibayar secara
sekaligus dan tunai bersamaan dengan angsuran yang tertunggak.
(6a) Para pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan perjanjian ini,
Pihak Pertama akan membuka rekening khusus pada bank yang disepakati
bersama oleh para pihak. Rekening tersebut akan digunakan oleh para
pihak untuk mengelola dana masuk dan dana keluar sehubungan dengan

xii

pelaksanaan perjanjian ini (“Rekening Khusus”). (7a) […] Denda tersebut
harus dibayar secara sekaligus dan tunai bersamaan dengan angsuran yang
tertunggak.
4. Pemakaian bahwa di depan Subjek
Konjungsi bahwa (dari bahasa Inggris whereas) merupakan
konjungsi yang banyak digunakan sebagai awal dari pernyataan hukum.
Akan tetapi, perlu diperhatikan tidak semua awal pernyataan dapat diawali
dengan bahwa. Perhatikan contoh (8) berikut.
(8)

Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya

sebagaimana tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai
berikut:
Di dalam kalimat pasif kata bahwa merupakan penanda bahwa unsur
yang menyertainya adalah anak kalimat pengisi subjek, seperti Bahwa dia
tidak bersalah//telah dibuktikan (Sugono 2009:46-47). Kalimat itu dapat
dipermutasi menjadi Telah dibuktikan bahwa dia tidak bersalah. Bahwa
juga merupakan penanda subjek yang berupa anak kalimat pada kalimat
yang menggunakan adalah, merupakan, atau ialah, seperti Bahwa
percobaan itu gagal//merupakan risiko dia. Oleh karena itu, penggunaan
bahwa pada (8) sebaiknya ditiadakan sehingga dengan tegas kalimat itu
menampakkan

Subjek,

yaitu

Para

Pihak

masing-masing

dalam

kedudukannya sebagaimana tersebut di atas (lihat 8a).
(8a) Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana
tersebut di atas// terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut.
a. Pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar
Kesejajaran bentuk mengacu pada kesejajaran unsur-unsur di
dalam kalimat sehingga memudahkan pemahaman pengungkapan
pikiran (Alwi 2001). Bentuk kata yang sejajar lazim muncul pada
kalimat

yang

membutuhkan

rincian/penjelasan;

setiap

rincian

menggunakan bentuk atau pola kata yang sama. Perhatikan contoh (9).
(9) Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana:
1) Berakhirnya jangka waktu Perjanjian ini.

xiii

2) Para Pihak setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri
Perjanjian ini.
3) Pihak Pertama sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan
kegiatan usaha utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan
pailit/bangkrut oleh Pengadilan, atau Pihak Pertama dibubarkan
oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.
Pada awal setiap rincian terlihat bentuk atau pola yang tidak
sama. Rincian a tidak diawali dengan Subjek seperti halnya b dan c
yang mempunyai unsur Subjek: Para Pihak dan Pihak Pertama. Oleh
karena itu, rincian dalam a perlu ditambahkan Subjek. Selain itu, jika
masing-masing rincian a—c sudah berbentuk kalimat, hal itu berarti
kalimat pengantar ke rincian, yaitu Perjanjian ini akan berakhir
secara otomatis bilamana: juga harus merupakan kalimat yang
lengkap. Agar sempurna sebagai kalimat, perbaikan yang sesuai,
misalnya sebagai berikut. (9a) Perjanjian ini akan berakhir secara
otomatis bilamana terjadi kondisi-kondisi berikut.
a. Jangka waktu perjanjian ini// berakhir.
b. Para Pihak// setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri
perjanjian ini.
c. Pihak Pertama// sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan
kegiatan usaha utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan
pailit/bangkrut oleh pengadilan, atau Pihak Pertama dibubarkan
oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.
b. Pemakaian kalimat yang panjang
Kalimat yang panjang sehingga sulit dipahami maknanya terjadi
karena ada beberapa gagasan di dalam satu kalimat yang ditumpuktumpuk, seperti tampak pada contoh berikut.
1) Selama Kredit tersebut diatas belum lunas, maka barang jaminan
tersebut harus dipertanggungkan oleh DEBITUR terhadap bahaya
kebakaran, kerusakan, kecurian atau bahaya lainnya yang
dianggap perlu oleh BANK pada maskapai asuransi yang disetujui

xiv

oleh BANK, untuk jumlah dan dengan syarat-syarat yang
dianggap baik oleh BANK, dengan ketentuan bahwa premi
asuransi dan biaya lain yang berkenaan dengan penutupan asuransi
tersebut dipikul oleh DEBITUR dan dalam polis asuransi BANK
ditunjuk sebagai pihak yang berhak untuk menerima segala
pembayaran berdasarkan asuransi itu (Banker’s Clause).
2) Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana dimaksud butir 2 di
atas diurus oleh DEBITUR, maka DEBITUR wajib telah
mengajukan

permohonan

perpanjangan

asuransi

selambat-

lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum tanggal
jatuh tempo polis asuransi, dan polis perpanjangan asuransi harus
telah diserahkan oleh DIBITUR kepada BANK selambatlambatnya pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang
diperpanjang, demikian dengan ketentuan bahwa apabila pada
tanggal

jatuh

tempo

polis

asuransi

tersebut,

DEBITUR

tidak/belum menyerahkan polis perpanjangan asuransi, maka
DEBITUR dengan ini memberi kuasa kepada BANK, tanpa
BANK

berkewajiban

untuk

melaksanakannya,

untuk

memperpanjang asuransi tersebut di atas biaya DEBITUR.
Kalimat 1. di atas berjumlah 80 kata. Ada beberapa gagasan
yang dikemukakan di dalam kalimat itu, yaitu barang jaminan
dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya kebakaran,
kerusakan, kecurian, atau bahaya lainnya pada maskapai asuransi
yang disetujui oleh bank, ketentuan pertanggungan adalah premi
asuransi dan biaya lain berkenaan dengan penutupan asuransi
dipikul oleh debitor; di dalam polis asuransi terdapat klausul
tentang hak bank untuk menerima segala pembayaran berdasarkan
asuransi itu.
Seperti kalimat 1 yang cukup panjang, kalimat 3 di atas
terdiri dari 91 kata. Dalam satu kalimat itu ada beberapa pokok
pikiran yang ingin disampaikan penulisnya, yaitu

xv

(1) debitor wajib mengajukan permohonan perpanjangan asuransi
paling lambat satu bulan sebelum jatuh tempo polis asuransi;
(2) polis perpanjangan asuransi harus diserahkan debitor kepada
bank paling lambat pada tanggal jatuh tempo polis asuransi
yang diperpanjang;
(3) apabila pada tanggal jatuh tempo, debitor belum/tidak
menyerahkan polis perpanjangan asuransi, debitor memberi
kuasa kepada bank untuk melakukan perpanjangan;
(4) bank diberi kuasa, tetapi tidak berkewajiban melaksanakannya;
(5) biaya perpanjang asuransi ditanggung oleh debitor.
Sebuah kalimat, kendatipun panjang jika kaitan antarkalimatnya jelas,
tidak akan menyulitkan untuk mencerna isinya. Kalimat 1 dan 3 pada contoh
(10) menunjukkan ada kecenderungan untuk menghubungkan antargagasan
dengan konjungsi dan, padahal tidak semestinya setiap gagasan digabungkan
dengan dan. Berikut perbaikan yang disarankan untuk
1. Selama kredit tersebut di atas belum lunas, barang jaminan tersebut harus
dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya kebakaran, kerusakan,
kecurian, atau bahaya lainnya yang dianggap perlu oleh bank pada
maskapai yang disetujui oleh bank. Biaya premi asuransi dan lainnya yang
berkenaan dengan penutupan asuransi tersebut dibebankan pada debitor.
Bank berhak menerima segala pembayaran berdasarkan asuransi itu
(banker’s clause).
2. Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana dimaksud butir 2 di atas
diurus oleh debitor, debitor wajib telah mengajukan perpanjangan
asuransi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal jatuh tempo
polis asuransi. Polis perpanjangan asuransi harus telah diserahkan kepada
bank selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang
diperpanjang. Apabila pada tanggal jatuh tempo polis asuransi tersebut
debitor tidak/belum menyerahkan polis perpanjangan asuransi, debitor
memberi kuasa kepada bank, tetapi bank tidak berkewajiban untuk
melaksanakannya, untuk memperpanjang asuransi tersebut di atas dengan
biaya debitor.

xvi

c. Pemakaian Dalam Hal dan Maka
Sugono (2009:215) mengatakan bahwa di dalam kenyataan
penggunaan bahasa, terdapat sejumlah kalimat yang cukup berhasil
dalam penyampaian informasi, tetapi dilihat dari segi kaidah, kalimatkalimat itu tidak memenuhi syarat kalimat yang benar. Kalimat yang
dimaksud adalah kalimat majemuk bertingkat yang tidak jelas unsurunsurnya mana yang merupakan inti kalimat (induk kalimat) dan mana
yang anak kalimat (penjelas induk kalimat). Anak kalimat lazim
didahului oleh konjungsi dan induk kalimat tidak didahului oleh
konjungsi.
Dalam contoh (11) di bawah ini, dalam hal berperilaku sebagai
konjungsi, yang sebenarnya menyatakan suatu kondisi atau keadaan
yang belum tentu terjadi. Maknanya hampir mirip dengan jika,
apabila. Adanya konjungsi itu menandakan ada anak kalimat. Anak
kalimat tersebut diikuti dengan maka sesudah koma, yang juga sebagai
anak kalimat karena diawali konjungsi maka. Oleh karena itu, kalimat
tidak dapat disebut kalimat majemuk bertingkat karena tidak ada
informasi yang diutamakan sebagai induk kalimat.
Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia, maka yang berlaku adalah bahasa
Indonesia. Perbaikan untuk (11) adalah dengan meniadakan salah satu
konjungsi, misalnya maka (11a). (11a) Dalam hal terjadi perbedaan
penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, yang
berlaku adalah bahasa Indonesia.
E. Penutup
Dari dokumen surat-surat perjanjian yang diamati terbukti bahwa
penulis dokumen hukum belum menguasai kaidah bahasa Indonesia. Bahasa
hukum Indonesia di dalam surat perjanjian yang diamati masih menunjukkan
kesalahan yang klise, seperti ketidaktepatan dalam penggunaan ejaan, tanda
baca, dan kalimat. Karena bahasa hukum merupakan produk yang
diperuntukkan bagi masyarakat dari kalangan mana pun, bukan hanya orang

xvii

dari kalangan hukum, seharusnya penyusun dokumen hukum lebih
menyederhanakan penyampaian pesan atau maksud dari aturan atau
pernyataan di dalam pasal-pasalnya sehingga pembaca lebih mudah dan cepat
mencerna isinya. Penyampaian isi yang efektif perlu didukung oleh kaidah
ejaan bahasa Indonesia yang benar. Penulis menyarankan agar ahli hukum
adalah juga pemerhati bahasa Indonesia.

xviii

DAFTAR PUSTAKA

Adiwidjaya, Soelaeman B. dan Lilis Hartini. 1999. Bahasa Indonesia Hukum.
Bandung: Pustaka.
Alwi, Hasan. 2001. Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia: Kalimat. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Harkrisnowo, Harkristuti. 2007. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pengembangan
Hukum Nasional. Http://www.legalitas.org/?q=node/67.
Mahadi dan Sabaruddin Ahmad. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta:
Binacipta.

xix