PROFESIONALISME GURU DALAM MEWUJUDKAN GE
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dilihat dari sisi aktualisasinya, pendidikan merupakan
proses interaksi antara guru (pendidik) dengan peserta didik
(siswa)
untuk
tentukan.
mencapai
Pendidik,
tujuan-tujuan
peserta
didik
dan
pendidikan
tujuan
yang
di
pendidikan
merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk
suatu triangle, yang jika hilang satunya, maka hilang pulalah
hakikat pendidikan. Namun demikian, dalam situasi tertentu
tugas guru bisa di wakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti
media teknologi. Mendidik adalah pekerjaan profesional, karena
itu guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik
profesional.1
Peranan guru sebagai pendidik profesional akhir-akhir ini
mulai dipertanyakan eksistensinya secara fungsional. Hal ini
antara lain disebabkan oleh munculnya serangkaian fenomena
para lulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot
dan
secara
intelektual
akademis
juga
kurang
siap
untuk
memasuki lapangan kerja. Jika fenomena tersebut benar adanya,
maka baik lansung maupun tidak lansung akan terkait dengan
peranan guru sebagai pendidik profesional.
1 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), cet. 1, hlm191.
1
Sejalan dengan permasalahan tersebut, di dalam skripsi ini
saya akan coba menguraikan tentang apa yang dimaksud
dengan kode etik profesi guru ? Mengapa kode etik guru itu
diperlukan dalam menunjang keberhasilan pendidikan ? Dan,
bagaimanakah
mewujudkan
hubungan
upaya-upaya
kode
etik
yang
profesi
profesionalisme
guru
harus
guru
itu
dengan
dilakukan
?
untuk
Bagaimanakah
peningkatan
mutu
pendidikan ?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan yang merupakan
ruang
lingkup
pembahasan
skripsi
ini,
tulisan
ini
akan
menggunakan data-data yang bersumber dari literatur yang
ditulis oleh pakar yang otoritatif dalam bidangnya. Data-data
tersebut
akan
menggunakan
dideskripsikan
pendekatan
ilmu
dan
dianalisis
kependidikan,
dengan
khususnya
didaktik dan metodik.
Kode etik berasal dari dua kata, yaitu kode yang berarti
tulisan (kata-kata, tanda) yang dengan persetujuan memiliki arti
atau maksud yang tertentu (untuk telegram dan sebagainya;
sedangkan etik dapat berarti aturan tata susila, sikap, atau
akhlak.2 Dengan demikian, kode etik secara kebahasaan berarti
ketentuan atau aturan yang berkenaan dengan tata susila dan
akhlak. Akhlak itu sendiri sebagai disebutkan oleh Ibn Miskawaih
dan Imam al-Ghazali (w. 1111 M) adalah ekspresi jiwa yang
2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991), cet. 12, hlm 514.
2
tampak dalam perbuatan dan meluncur dengan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi.3
Para ahli pendidikan, pada umumnya memasukkan guru
sebagai tenaga profesional, yaitu pekerjaan yang hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan
bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak
dapat memperoleh pekerjaan lain.4
Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut
melaksanakan tugasnya secara profesional saja, tetapi juga
harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Dalam
diskusi pengembangan model pendidikan profesional tenaga
kependidikan yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun
1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu : (1) memiliki fungsi
dan signifikan sosial; (2) memiliki keahlian/keterampilan tertentu;
(3) keahlian/keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori
dan metode ilmiah; (4) didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas;
(5) diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang
cukup lama; (6) aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional; (7)
memiliki kode etik; (8) Kebebasan untuk memberikan judgement
dalam memecahkan masalah dalam lingkungan kerjanya; (9)
memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi; dan (10) ada
3 Lihat Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.), hlm 231;
Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din Jilid III, (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.), hlm. 144;
Abuddin Nata, Akhlak/tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), cet. 1,
hlm. 14
4 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1997), cet. 8, hlm 14; Lihat pula Nana Syaodih Sukmadinata, op. Cit., hlm. 191
3
pengakuan
dari
masyarakat
dan
imbalan
atas
layanan
profesinya.5
Jika ciri-ciri profesionalisme tersebut di atas ditujukan
untuk profesi pada umumnya, maka khusus untuk profesi
seorang guru dalam garis besarnya ada tiga.
Pertama, seorang guru yang profesional harus menguasai
bidang ilmu pengetahuan yang akan diajarkannya dengan baik.
Ia
benar-benar
seorang
ahli
dalam
bidang
ilmu
yang
diajarkannya. Selanjutnya kerena bidang pengetahuan apapun
selalu mengalami perkembangan, maka seorang guru profesional
juga harus terus-menerus meningkatkan dan mengembangkan
ilmu yang diajarkannya, sehingga tidak ketinggalan zaman.
Untuk dapat melakukan peningkatan dan pengembangan ilmu
yang diajarkannya itu, seorang guru harus secara terus-menerus
melakukan penelitian dengan menggunakan berbagai macam
metode.
Kedua, seorang guru yang profesional harus memiliki
kemampuan
menyampaikan
atau
mengajarkan
ilmu
yang
dimilikinya (transfer of knowledge) kepada murid-muridnya
secara efektif dan efisien. Untuk ini, seorang guru harus memiliki
ilmu keperguruan. Dahulu, ilmu keguruan ini terdiri dari tiga
bidang keilmuan, yaitu pedagogik, didaktik, dan metodik. Istilah
pedagogik diterjemahkan dengan kata ilmu mendidik, dan yang
dibahas ialah bagaimana mengasuh dan membesarkan seorang
5 Ibid, hlm 191.
4
anak. Sedangkan, didaktik adalah pengetahuan tentang interaksi
belajar mengajar secara umum. Yang diajarkan di sini antara lain
cara membuat persiapan pengajaran sesuatu yang sangat perlu,
cara menjalin bahan-bahan pelajaran, dan cara menilai hasil
pelajaran. Adapun metodik adalah pengetahuan tentang cara
mengajarkan
pelajaran
suatu
dipandang
bidang
pengetahuan.6
memerlukan
Beberapa
cara-cara
khusus
mata
untuk
menyajikannya, dan untuk ini dikembangkan metodik khusus.
Pelajaran
yang
memerlukan
metodik
khusus
ini
misalnya
menggambar, menyanyi, pekerjaan tangan, dan olahraga.
Ketiga, seorang guru yang profesional harus berpegang
teguh kepada kode etik profesional sebagaimana tersebut di
atas. Kode etik di sini lebih dikhususkan lagi tekanannya pada
perlunya memiliki akhlak yang mulia. Dengan akhlak yang
demikian itu, maka seorang guru akan dijadikan panutan, contoh,
dan teladan. Dengan cara demikian ilmu yang diajarkan atau
nasihat yang diberikannya kepada para siswa akan didengarkan
dan dilaksanakannya dengan baik. Tentang perlunya akhlak yang
baik bagi seorang guru yang profesional ini sudah lama menjadi
perhatian dan kajian para ulama Islam di zaman klasik. Ibn
Muqaffa (lahir di persia tahun 106 H) misalnya mengatakan
bahwa guru yang baik adalah guru yang mau berusaha memulai
6 Mochtar Buchori, Ilmu Pendidikan & Praktek Pendidikan dalam Renungan,
(Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994), cet. 1, hlm. 19.
5
dengan
mendidik
dirinya,
memperbaiki
tingkah
lakunya,
meluruskan pikirannya, dan menjaga kata-katanya terlebih
dahulu sebelum menyampaikan kepada orang lain. 7 Sementara
itu, Imam al-Ghazali (w.1111 M) menyatakan bahwa seorang
guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan harus berhati
bersih, berbuat dan bersikap yang terpuji.8
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk
mengadakan
penelitian yang berjudul “ Profesionalisme Guru
dalam mewujudkan Generasi yang Bermoral dan Berintelektual
tinggi ” Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeteksi sedini
mungkin dampak real di lapangan bagaimana bentuk dan cara
guru untuk mewujudkan generasi yang baik.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas,
maka permasalah yang dapat dirumuskan adalah:
1. Bagaimana
menjadikan
Profesionalisme
siswa
yang
seorang
Bermoral
guru
dan
dalam
memiliki
intelektual yang tinggi ?
7 Ibn Al-Muqaffa, al-Fikr al-Tarbawy ind Ibn Al-Muqaffa (Adab al-Shaghir),
Aljahid, (Beirut: Dar iqra’ 1403), cet. 1, hlm. 117.
8 Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid 1, (Beirut: Dar al-Kutub, t.t.), hlm.
48-49.
6
2. Metode apa saja yang dilakukan guru guna menjadikan
siswa yang Bermoral dan memiliki intelektual yang
C.
tinggi ?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kesigapan seorang guru profesional
dalam menuntun dan memberi arahan kepada muridnya
agar memiliki moral dan intelektual yang tinggi.
2. Untuk mengetahui Upaya guru profesional
dalam
mengatasi penyebab moral cenderung merosot dan secara
intelektual terlalu rendah.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian
ini
adalah
salah
satu
syarat
untuk
menyelesaikan program pendidikan strata satu (S1) pada prodi
PAI, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Secara umum, penelitian ini
diharapkan dapat menambah wawasan dalam dunia pendidikan
dalam memberikan bimbingan terhadap guru agar profesional
dalam menjalankan tugasnya, sehingga menghasilkan lulusan
yang bermoral dan memilki intelektual yang tinggi.
Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat memberi
manfaat
kepada
seluruh
para
7
pembaca
berupa
informasi
mengenai profesionalisme guru dalam mewujudkan generasi
yang bermoral dan memiliki intelektual yang tinggi.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian lapangan (Field Research), dimana proses
pengumpulan
data
penulis
melakukan
langsung
di
lokasi
penelitian, dengan harapan dapat memberikan jawaban terhadap
bagaimana
peran
Profesionalisme
seorang
guru
dalam
mewujudkan siswa yang Bermoral dan memiliki intelektual yang
tinggi. Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu penelitian
yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta,
kejadian-kejadian atau gambaran dalam suatu kesatuan yang
diamati lalu di analisa.9
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan
penelitian
kualitatif
diharapkan
mampu
menghasilkan suatu rumusan mendalam tentang ucapan, tulisan
yang dapat diamati dalam konteks tertentu yang dikaji dari sudut
pandang yang utuh, komprehensif dan holistik.
9 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 47.
8
Menurut J. Moleong dengan mengutip pendapat S. Margono
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penelitian kualitatif
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati.10
3. Sumber Data dan Populasi
Data penelitian ini adalah bersumber dari sejumlah hasil
wawancara
atau
interview
dengan
objek
penelitian,
yaitu
pimpinan 1 orang, dan sejumlah dewan guru.
E. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memporoleh data dan informasi yang akurat,
berkaitan
dengan
jenis
penelitian
kualitatif,
maka
teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan
tiga
cara,
yaitu:
pengamatan/
observasi,
wawancara
dan
dokumentasi. Ketiga teknik pengumpulan data tersebut adalah:
1. Observasi (Pengamatan)
Observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data
yang dilakukan melalui suatu pengamatan secara lansung di
lapangan, yang disertai dengan pencatatan terhadap kegiatan
dan kejadian yang ada di lapangan.
10 Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), hlm.9
9
2. Wawancara
Wawancara adalah sebuah percakapan yang dilakukan oleh
pewawancara
dengan
kepada
diwawancarai
yang
mengajukan
untuk
pertanyaan-pertanyaan
mendapatkan
jawaban-
jawaban tertentu.
3. Dokumentasi
Menurut Suharsimi Arikunto, mengungkapkan pengertian
metode dokumentasi adalah metode mencari data mengenai halhal atau variabel-variabel yang berupa catatan, transkrip,
prasasti, buku, surat kabar, majalah dan sebaginya. 11 Metode
yang penulis gunakan untuk memperoleh data dari dokumendokumen atau arsip-arsip yang ada dilokasi penelitian, seperti
sejarah berdirinya, letak geografis, dan kondisi
4. Instrumen Penelitian
Instrumen
merupakan
alat
bantu
pada
saat
peneliti
menggunakan sebuah metode.12 Setiap metode pengumpulan
11 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Ilmiah Suatu Pendekatan Praktis,
(Jakarta: Reneka Cipta, 2006), hlm. 188.
12 Imron Arifin, (Ed), Penelitian Kualitatif ..., hlm. 49.
10
data mempunyai instrumen tersendiri, yang disesuaikan dengan
kondisi
dan
kebutuhan
dalam
setiap
penelitian.
Dengan
mempersiapkan instrumen yang matang, diharapkan semua
informasi penting yang menyangkut dengan penelitian dapat
diselesaikan dengan sempurna.
11
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dilihat dari sisi aktualisasinya, pendidikan merupakan
proses interaksi antara guru (pendidik) dengan peserta didik
(siswa)
untuk
tentukan.
mencapai
Pendidik,
tujuan-tujuan
peserta
didik
dan
pendidikan
tujuan
yang
di
pendidikan
merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk
suatu triangle, yang jika hilang satunya, maka hilang pulalah
hakikat pendidikan. Namun demikian, dalam situasi tertentu
tugas guru bisa di wakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti
media teknologi. Mendidik adalah pekerjaan profesional, karena
itu guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik
profesional.1
Peranan guru sebagai pendidik profesional akhir-akhir ini
mulai dipertanyakan eksistensinya secara fungsional. Hal ini
antara lain disebabkan oleh munculnya serangkaian fenomena
para lulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot
dan
secara
intelektual
akademis
juga
kurang
siap
untuk
memasuki lapangan kerja. Jika fenomena tersebut benar adanya,
maka baik lansung maupun tidak lansung akan terkait dengan
peranan guru sebagai pendidik profesional.
1 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), cet. 1, hlm191.
1
Sejalan dengan permasalahan tersebut, di dalam skripsi ini
saya akan coba menguraikan tentang apa yang dimaksud
dengan kode etik profesi guru ? Mengapa kode etik guru itu
diperlukan dalam menunjang keberhasilan pendidikan ? Dan,
bagaimanakah
mewujudkan
hubungan
upaya-upaya
kode
etik
yang
profesi
profesionalisme
guru
harus
guru
itu
dengan
dilakukan
?
untuk
Bagaimanakah
peningkatan
mutu
pendidikan ?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan yang merupakan
ruang
lingkup
pembahasan
skripsi
ini,
tulisan
ini
akan
menggunakan data-data yang bersumber dari literatur yang
ditulis oleh pakar yang otoritatif dalam bidangnya. Data-data
tersebut
akan
menggunakan
dideskripsikan
pendekatan
ilmu
dan
dianalisis
kependidikan,
dengan
khususnya
didaktik dan metodik.
Kode etik berasal dari dua kata, yaitu kode yang berarti
tulisan (kata-kata, tanda) yang dengan persetujuan memiliki arti
atau maksud yang tertentu (untuk telegram dan sebagainya;
sedangkan etik dapat berarti aturan tata susila, sikap, atau
akhlak.2 Dengan demikian, kode etik secara kebahasaan berarti
ketentuan atau aturan yang berkenaan dengan tata susila dan
akhlak. Akhlak itu sendiri sebagai disebutkan oleh Ibn Miskawaih
dan Imam al-Ghazali (w. 1111 M) adalah ekspresi jiwa yang
2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991), cet. 12, hlm 514.
2
tampak dalam perbuatan dan meluncur dengan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi.3
Para ahli pendidikan, pada umumnya memasukkan guru
sebagai tenaga profesional, yaitu pekerjaan yang hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan
bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak
dapat memperoleh pekerjaan lain.4
Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut
melaksanakan tugasnya secara profesional saja, tetapi juga
harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Dalam
diskusi pengembangan model pendidikan profesional tenaga
kependidikan yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun
1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu : (1) memiliki fungsi
dan signifikan sosial; (2) memiliki keahlian/keterampilan tertentu;
(3) keahlian/keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori
dan metode ilmiah; (4) didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas;
(5) diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang
cukup lama; (6) aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional; (7)
memiliki kode etik; (8) Kebebasan untuk memberikan judgement
dalam memecahkan masalah dalam lingkungan kerjanya; (9)
memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi; dan (10) ada
3 Lihat Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.), hlm 231;
Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din Jilid III, (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.), hlm. 144;
Abuddin Nata, Akhlak/tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), cet. 1,
hlm. 14
4 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1997), cet. 8, hlm 14; Lihat pula Nana Syaodih Sukmadinata, op. Cit., hlm. 191
3
pengakuan
dari
masyarakat
dan
imbalan
atas
layanan
profesinya.5
Jika ciri-ciri profesionalisme tersebut di atas ditujukan
untuk profesi pada umumnya, maka khusus untuk profesi
seorang guru dalam garis besarnya ada tiga.
Pertama, seorang guru yang profesional harus menguasai
bidang ilmu pengetahuan yang akan diajarkannya dengan baik.
Ia
benar-benar
seorang
ahli
dalam
bidang
ilmu
yang
diajarkannya. Selanjutnya kerena bidang pengetahuan apapun
selalu mengalami perkembangan, maka seorang guru profesional
juga harus terus-menerus meningkatkan dan mengembangkan
ilmu yang diajarkannya, sehingga tidak ketinggalan zaman.
Untuk dapat melakukan peningkatan dan pengembangan ilmu
yang diajarkannya itu, seorang guru harus secara terus-menerus
melakukan penelitian dengan menggunakan berbagai macam
metode.
Kedua, seorang guru yang profesional harus memiliki
kemampuan
menyampaikan
atau
mengajarkan
ilmu
yang
dimilikinya (transfer of knowledge) kepada murid-muridnya
secara efektif dan efisien. Untuk ini, seorang guru harus memiliki
ilmu keperguruan. Dahulu, ilmu keguruan ini terdiri dari tiga
bidang keilmuan, yaitu pedagogik, didaktik, dan metodik. Istilah
pedagogik diterjemahkan dengan kata ilmu mendidik, dan yang
dibahas ialah bagaimana mengasuh dan membesarkan seorang
5 Ibid, hlm 191.
4
anak. Sedangkan, didaktik adalah pengetahuan tentang interaksi
belajar mengajar secara umum. Yang diajarkan di sini antara lain
cara membuat persiapan pengajaran sesuatu yang sangat perlu,
cara menjalin bahan-bahan pelajaran, dan cara menilai hasil
pelajaran. Adapun metodik adalah pengetahuan tentang cara
mengajarkan
pelajaran
suatu
dipandang
bidang
pengetahuan.6
memerlukan
Beberapa
cara-cara
khusus
mata
untuk
menyajikannya, dan untuk ini dikembangkan metodik khusus.
Pelajaran
yang
memerlukan
metodik
khusus
ini
misalnya
menggambar, menyanyi, pekerjaan tangan, dan olahraga.
Ketiga, seorang guru yang profesional harus berpegang
teguh kepada kode etik profesional sebagaimana tersebut di
atas. Kode etik di sini lebih dikhususkan lagi tekanannya pada
perlunya memiliki akhlak yang mulia. Dengan akhlak yang
demikian itu, maka seorang guru akan dijadikan panutan, contoh,
dan teladan. Dengan cara demikian ilmu yang diajarkan atau
nasihat yang diberikannya kepada para siswa akan didengarkan
dan dilaksanakannya dengan baik. Tentang perlunya akhlak yang
baik bagi seorang guru yang profesional ini sudah lama menjadi
perhatian dan kajian para ulama Islam di zaman klasik. Ibn
Muqaffa (lahir di persia tahun 106 H) misalnya mengatakan
bahwa guru yang baik adalah guru yang mau berusaha memulai
6 Mochtar Buchori, Ilmu Pendidikan & Praktek Pendidikan dalam Renungan,
(Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994), cet. 1, hlm. 19.
5
dengan
mendidik
dirinya,
memperbaiki
tingkah
lakunya,
meluruskan pikirannya, dan menjaga kata-katanya terlebih
dahulu sebelum menyampaikan kepada orang lain. 7 Sementara
itu, Imam al-Ghazali (w.1111 M) menyatakan bahwa seorang
guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan harus berhati
bersih, berbuat dan bersikap yang terpuji.8
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk
mengadakan
penelitian yang berjudul “ Profesionalisme Guru
dalam mewujudkan Generasi yang Bermoral dan Berintelektual
tinggi ” Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeteksi sedini
mungkin dampak real di lapangan bagaimana bentuk dan cara
guru untuk mewujudkan generasi yang baik.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas,
maka permasalah yang dapat dirumuskan adalah:
1. Bagaimana
menjadikan
Profesionalisme
siswa
yang
seorang
Bermoral
guru
dan
dalam
memiliki
intelektual yang tinggi ?
7 Ibn Al-Muqaffa, al-Fikr al-Tarbawy ind Ibn Al-Muqaffa (Adab al-Shaghir),
Aljahid, (Beirut: Dar iqra’ 1403), cet. 1, hlm. 117.
8 Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid 1, (Beirut: Dar al-Kutub, t.t.), hlm.
48-49.
6
2. Metode apa saja yang dilakukan guru guna menjadikan
siswa yang Bermoral dan memiliki intelektual yang
C.
tinggi ?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kesigapan seorang guru profesional
dalam menuntun dan memberi arahan kepada muridnya
agar memiliki moral dan intelektual yang tinggi.
2. Untuk mengetahui Upaya guru profesional
dalam
mengatasi penyebab moral cenderung merosot dan secara
intelektual terlalu rendah.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian
ini
adalah
salah
satu
syarat
untuk
menyelesaikan program pendidikan strata satu (S1) pada prodi
PAI, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Secara umum, penelitian ini
diharapkan dapat menambah wawasan dalam dunia pendidikan
dalam memberikan bimbingan terhadap guru agar profesional
dalam menjalankan tugasnya, sehingga menghasilkan lulusan
yang bermoral dan memilki intelektual yang tinggi.
Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat memberi
manfaat
kepada
seluruh
para
7
pembaca
berupa
informasi
mengenai profesionalisme guru dalam mewujudkan generasi
yang bermoral dan memiliki intelektual yang tinggi.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian lapangan (Field Research), dimana proses
pengumpulan
data
penulis
melakukan
langsung
di
lokasi
penelitian, dengan harapan dapat memberikan jawaban terhadap
bagaimana
peran
Profesionalisme
seorang
guru
dalam
mewujudkan siswa yang Bermoral dan memiliki intelektual yang
tinggi. Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu penelitian
yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta,
kejadian-kejadian atau gambaran dalam suatu kesatuan yang
diamati lalu di analisa.9
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan
penelitian
kualitatif
diharapkan
mampu
menghasilkan suatu rumusan mendalam tentang ucapan, tulisan
yang dapat diamati dalam konteks tertentu yang dikaji dari sudut
pandang yang utuh, komprehensif dan holistik.
9 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 47.
8
Menurut J. Moleong dengan mengutip pendapat S. Margono
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penelitian kualitatif
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati.10
3. Sumber Data dan Populasi
Data penelitian ini adalah bersumber dari sejumlah hasil
wawancara
atau
interview
dengan
objek
penelitian,
yaitu
pimpinan 1 orang, dan sejumlah dewan guru.
E. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memporoleh data dan informasi yang akurat,
berkaitan
dengan
jenis
penelitian
kualitatif,
maka
teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan
tiga
cara,
yaitu:
pengamatan/
observasi,
wawancara
dan
dokumentasi. Ketiga teknik pengumpulan data tersebut adalah:
1. Observasi (Pengamatan)
Observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data
yang dilakukan melalui suatu pengamatan secara lansung di
lapangan, yang disertai dengan pencatatan terhadap kegiatan
dan kejadian yang ada di lapangan.
10 Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), hlm.9
9
2. Wawancara
Wawancara adalah sebuah percakapan yang dilakukan oleh
pewawancara
dengan
kepada
diwawancarai
yang
mengajukan
untuk
pertanyaan-pertanyaan
mendapatkan
jawaban-
jawaban tertentu.
3. Dokumentasi
Menurut Suharsimi Arikunto, mengungkapkan pengertian
metode dokumentasi adalah metode mencari data mengenai halhal atau variabel-variabel yang berupa catatan, transkrip,
prasasti, buku, surat kabar, majalah dan sebaginya. 11 Metode
yang penulis gunakan untuk memperoleh data dari dokumendokumen atau arsip-arsip yang ada dilokasi penelitian, seperti
sejarah berdirinya, letak geografis, dan kondisi
4. Instrumen Penelitian
Instrumen
merupakan
alat
bantu
pada
saat
peneliti
menggunakan sebuah metode.12 Setiap metode pengumpulan
11 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Ilmiah Suatu Pendekatan Praktis,
(Jakarta: Reneka Cipta, 2006), hlm. 188.
12 Imron Arifin, (Ed), Penelitian Kualitatif ..., hlm. 49.
10
data mempunyai instrumen tersendiri, yang disesuaikan dengan
kondisi
dan
kebutuhan
dalam
setiap
penelitian.
Dengan
mempersiapkan instrumen yang matang, diharapkan semua
informasi penting yang menyangkut dengan penelitian dapat
diselesaikan dengan sempurna.
11