PROFESIONALISME GURU DALAM MEWUJUDKAN GE

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah
Dilihat dari sisi aktualisasinya, pendidikan merupakan

proses interaksi antara guru (pendidik) dengan peserta didik
(siswa)

untuk

tentukan.

mencapai

Pendidik,

tujuan-tujuan

peserta


didik

dan

pendidikan
tujuan

yang

di

pendidikan

merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk
suatu triangle, yang jika hilang satunya, maka hilang pulalah
hakikat pendidikan. Namun demikian, dalam situasi tertentu
tugas guru bisa di wakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti
media teknologi. Mendidik adalah pekerjaan profesional, karena
itu guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik

profesional.1
Peranan guru sebagai pendidik profesional akhir-akhir ini
mulai dipertanyakan eksistensinya secara fungsional. Hal ini
antara lain disebabkan oleh munculnya serangkaian fenomena
para lulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot
dan

secara

intelektual

akademis

juga

kurang

siap

untuk


memasuki lapangan kerja. Jika fenomena tersebut benar adanya,
maka baik lansung maupun tidak lansung akan terkait dengan
peranan guru sebagai pendidik profesional.
1 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), cet. 1, hlm191.

1

Sejalan dengan permasalahan tersebut, di dalam skripsi ini
saya akan coba menguraikan tentang apa yang dimaksud
dengan kode etik profesi guru ? Mengapa kode etik guru itu
diperlukan dalam menunjang keberhasilan pendidikan ? Dan,
bagaimanakah
mewujudkan
hubungan

upaya-upaya
kode


etik

yang

profesi

profesionalisme

guru

harus

guru

itu

dengan

dilakukan
?


untuk

Bagaimanakah

peningkatan

mutu

pendidikan ?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan yang merupakan
ruang

lingkup

pembahasan

skripsi

ini,


tulisan

ini

akan

menggunakan data-data yang bersumber dari literatur yang
ditulis oleh pakar yang otoritatif dalam bidangnya. Data-data
tersebut

akan

menggunakan

dideskripsikan
pendekatan

ilmu


dan

dianalisis

kependidikan,

dengan
khususnya

didaktik dan metodik.
Kode etik berasal dari dua kata, yaitu kode yang berarti
tulisan (kata-kata, tanda) yang dengan persetujuan memiliki arti
atau maksud yang tertentu (untuk telegram dan sebagainya;
sedangkan etik dapat berarti aturan tata susila, sikap, atau
akhlak.2 Dengan demikian, kode etik secara kebahasaan berarti
ketentuan atau aturan yang berkenaan dengan tata susila dan
akhlak. Akhlak itu sendiri sebagai disebutkan oleh Ibn Miskawaih
dan Imam al-Ghazali (w. 1111 M) adalah ekspresi jiwa yang
2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991), cet. 12, hlm 514.


2

tampak dalam perbuatan dan meluncur dengan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi.3
Para ahli pendidikan, pada umumnya memasukkan guru
sebagai tenaga profesional, yaitu pekerjaan yang hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan
bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak
dapat memperoleh pekerjaan lain.4
Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut
melaksanakan tugasnya secara profesional saja, tetapi juga
harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Dalam
diskusi pengembangan model pendidikan profesional tenaga
kependidikan yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun
1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu : (1) memiliki fungsi
dan signifikan sosial; (2) memiliki keahlian/keterampilan tertentu;
(3) keahlian/keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori
dan metode ilmiah; (4) didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas;
(5) diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang

cukup lama; (6) aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional; (7)
memiliki kode etik; (8) Kebebasan untuk memberikan judgement
dalam memecahkan masalah dalam lingkungan kerjanya; (9)
memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi; dan (10) ada
3 Lihat Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.), hlm 231;
Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din Jilid III, (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.), hlm. 144;
Abuddin Nata, Akhlak/tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), cet. 1,
hlm. 14
4 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1997), cet. 8, hlm 14; Lihat pula Nana Syaodih Sukmadinata, op. Cit., hlm. 191

3

pengakuan

dari

masyarakat

dan


imbalan

atas

layanan

profesinya.5
Jika ciri-ciri profesionalisme tersebut di atas ditujukan
untuk profesi pada umumnya, maka khusus untuk profesi
seorang guru dalam garis besarnya ada tiga.
Pertama, seorang guru yang profesional harus menguasai
bidang ilmu pengetahuan yang akan diajarkannya dengan baik.
Ia

benar-benar

seorang

ahli


dalam

bidang

ilmu

yang

diajarkannya. Selanjutnya kerena bidang pengetahuan apapun
selalu mengalami perkembangan, maka seorang guru profesional
juga harus terus-menerus meningkatkan dan mengembangkan
ilmu yang diajarkannya, sehingga tidak ketinggalan zaman.
Untuk dapat melakukan peningkatan dan pengembangan ilmu
yang diajarkannya itu, seorang guru harus secara terus-menerus
melakukan penelitian dengan menggunakan berbagai macam
metode.
Kedua, seorang guru yang profesional harus memiliki
kemampuan

menyampaikan

atau

mengajarkan

ilmu

yang

dimilikinya (transfer of knowledge) kepada murid-muridnya
secara efektif dan efisien. Untuk ini, seorang guru harus memiliki
ilmu keperguruan. Dahulu, ilmu keguruan ini terdiri dari tiga
bidang keilmuan, yaitu pedagogik, didaktik, dan metodik. Istilah
pedagogik diterjemahkan dengan kata ilmu mendidik, dan yang
dibahas ialah bagaimana mengasuh dan membesarkan seorang
5 Ibid, hlm 191.

4

anak. Sedangkan, didaktik adalah pengetahuan tentang interaksi
belajar mengajar secara umum. Yang diajarkan di sini antara lain
cara membuat persiapan pengajaran sesuatu yang sangat perlu,
cara menjalin bahan-bahan pelajaran, dan cara menilai hasil
pelajaran. Adapun metodik adalah pengetahuan tentang cara
mengajarkan
pelajaran

suatu

dipandang

bidang

pengetahuan.6

memerlukan

Beberapa

cara-cara

khusus

mata
untuk

menyajikannya, dan untuk ini dikembangkan metodik khusus.
Pelajaran

yang

memerlukan

metodik

khusus

ini

misalnya

menggambar, menyanyi, pekerjaan tangan, dan olahraga.
Ketiga, seorang guru yang profesional harus berpegang
teguh kepada kode etik profesional sebagaimana tersebut di
atas. Kode etik di sini lebih dikhususkan lagi tekanannya pada
perlunya memiliki akhlak yang mulia. Dengan akhlak yang
demikian itu, maka seorang guru akan dijadikan panutan, contoh,
dan teladan. Dengan cara demikian ilmu yang diajarkan atau
nasihat yang diberikannya kepada para siswa akan didengarkan
dan dilaksanakannya dengan baik. Tentang perlunya akhlak yang
baik bagi seorang guru yang profesional ini sudah lama menjadi
perhatian dan kajian para ulama Islam di zaman klasik. Ibn
Muqaffa (lahir di persia tahun 106 H) misalnya mengatakan
bahwa guru yang baik adalah guru yang mau berusaha memulai

6 Mochtar Buchori, Ilmu Pendidikan & Praktek Pendidikan dalam Renungan,
(Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994), cet. 1, hlm. 19.

5

dengan

mendidik

dirinya,

memperbaiki

tingkah

lakunya,

meluruskan pikirannya, dan menjaga kata-katanya terlebih
dahulu sebelum menyampaikan kepada orang lain. 7 Sementara
itu, Imam al-Ghazali (w.1111 M) menyatakan bahwa seorang
guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan harus berhati
bersih, berbuat dan bersikap yang terpuji.8
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk
mengadakan

penelitian yang berjudul “ Profesionalisme Guru

dalam mewujudkan Generasi yang Bermoral dan Berintelektual
tinggi ” Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeteksi sedini
mungkin dampak real di lapangan bagaimana bentuk dan cara
guru untuk mewujudkan generasi yang baik.

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas,

maka permasalah yang dapat dirumuskan adalah:
1. Bagaimana
menjadikan

Profesionalisme
siswa

yang

seorang
Bermoral

guru
dan

dalam
memiliki

intelektual yang tinggi ?

7 Ibn Al-Muqaffa, al-Fikr al-Tarbawy ind Ibn Al-Muqaffa (Adab al-Shaghir),
Aljahid, (Beirut: Dar iqra’ 1403), cet. 1, hlm. 117.
8 Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid 1, (Beirut: Dar al-Kutub, t.t.), hlm.
48-49.

6

2. Metode apa saja yang dilakukan guru guna menjadikan
siswa yang Bermoral dan memiliki intelektual yang
C.

tinggi ?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kesigapan seorang guru profesional
dalam menuntun dan memberi arahan kepada muridnya
agar memiliki moral dan intelektual yang tinggi.
2. Untuk mengetahui Upaya guru profesional

dalam

mengatasi penyebab moral cenderung merosot dan secara
intelektual terlalu rendah.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian

ini

adalah

salah

satu

syarat

untuk

menyelesaikan program pendidikan strata satu (S1) pada prodi
PAI, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Secara umum, penelitian ini
diharapkan dapat menambah wawasan dalam dunia pendidikan
dalam memberikan bimbingan terhadap guru agar profesional
dalam menjalankan tugasnya, sehingga menghasilkan lulusan
yang bermoral dan memilki intelektual yang tinggi.
Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat memberi
manfaat

kepada

seluruh

para

7

pembaca

berupa

informasi

mengenai profesionalisme guru dalam mewujudkan generasi
yang bermoral dan memiliki intelektual yang tinggi.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian lapangan (Field Research), dimana proses
pengumpulan

data

penulis

melakukan

langsung

di

lokasi

penelitian, dengan harapan dapat memberikan jawaban terhadap
bagaimana

peran

Profesionalisme

seorang

guru

dalam

mewujudkan siswa yang Bermoral dan memiliki intelektual yang
tinggi. Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu penelitian
yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta,
kejadian-kejadian atau gambaran dalam suatu kesatuan yang
diamati lalu di analisa.9
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan

penelitian

kualitatif

diharapkan

mampu

menghasilkan suatu rumusan mendalam tentang ucapan, tulisan
yang dapat diamati dalam konteks tertentu yang dikaji dari sudut
pandang yang utuh, komprehensif dan holistik.

9 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 47.

8

Menurut J. Moleong dengan mengutip pendapat S. Margono
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penelitian kualitatif
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati.10
3. Sumber Data dan Populasi
Data penelitian ini adalah bersumber dari sejumlah hasil
wawancara

atau

interview

dengan

objek

penelitian,

yaitu

pimpinan 1 orang, dan sejumlah dewan guru.
E. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memporoleh data dan informasi yang akurat,
berkaitan

dengan

jenis

penelitian

kualitatif,

maka

teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan
tiga

cara,

yaitu:

pengamatan/

observasi,

wawancara

dan

dokumentasi. Ketiga teknik pengumpulan data tersebut adalah:
1. Observasi (Pengamatan)
Observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data
yang dilakukan melalui suatu pengamatan secara lansung di
lapangan, yang disertai dengan pencatatan terhadap kegiatan
dan kejadian yang ada di lapangan.
10 Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), hlm.9

9

2. Wawancara
Wawancara adalah sebuah percakapan yang dilakukan oleh
pewawancara

dengan

kepada

diwawancarai

yang

mengajukan
untuk

pertanyaan-pertanyaan
mendapatkan

jawaban-

jawaban tertentu.
3. Dokumentasi
Menurut Suharsimi Arikunto, mengungkapkan pengertian
metode dokumentasi adalah metode mencari data mengenai halhal atau variabel-variabel yang berupa catatan, transkrip,
prasasti, buku, surat kabar, majalah dan sebaginya. 11 Metode
yang penulis gunakan untuk memperoleh data dari dokumendokumen atau arsip-arsip yang ada dilokasi penelitian, seperti
sejarah berdirinya, letak geografis, dan kondisi
4. Instrumen Penelitian
Instrumen

merupakan

alat

bantu

pada

saat

peneliti

menggunakan sebuah metode.12 Setiap metode pengumpulan

11 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Ilmiah Suatu Pendekatan Praktis,
(Jakarta: Reneka Cipta, 2006), hlm. 188.
12 Imron Arifin, (Ed), Penelitian Kualitatif ..., hlm. 49.

10

data mempunyai instrumen tersendiri, yang disesuaikan dengan
kondisi

dan

kebutuhan

dalam

setiap

penelitian.

Dengan

mempersiapkan instrumen yang matang, diharapkan semua
informasi penting yang menyangkut dengan penelitian dapat
diselesaikan dengan sempurna.

11