BERAS SEBAGAI SUMBER PANGAN DALAM KONTEK

1

BERAS SEBAGAI SUMBER PANGAN DALAM KONTEKS KEARIFAN LOKAL
(UPAYA MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA)
DI PULAU YAMDENA, MALUKU TENGGARA BARAT
Felecia P. Adam
Program Studi Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Pattimura

ABSTRAK
Penelitian ini berjuan untuk mengeksplorasi budaya lokal masyarakat Yamdena dalam
hubungannya dengan ketahanan pangan rumah tangga. Diharapkan penelitian ini dapat
memberikan manfaat bagi pencerahan wawasan semua pihak dalam memahami ketahanan
pangan secara komprehensif dan menemukan pola-pola lama ataupun pola-pola baru yang dapat
dikembangkan sesuai dengan kebudayaan setempat dalam upaya menciptakan kemadirian
pangan bagi masyarakat setempat.
Metode yang digunakan adalah metode diskriptif kualitatif dengan menggunakan FGD
untuk mendalami masalah sehingga diharapkan akan dapat memberikan gambaran yang lebih
nyata di lapangan. Penelitian ini menggunakan data pimer dan data sekunder pada 5 desa sampel
di kabupaten MTB yaitu Wowonda, Kandar, Adaut, Watidal dan Wunlah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ; 1) praktek pertanian tradisonal masih melekat kuat
dalam kehidupan masyarakat Yamdena, 2) tanaman padi memiliki nilai yang sakral karena

berhubungan dengan filosofi hidup bahwa padi adalah ibu dari segala tanaman, 3) dengan
pandangan sepeti ini maka padi dapat dibudidayakan dalam skala besar untuk memenuhi
kebutuhan pangan sehingga kebutuhan beras tidak lagi dipasok dari luar daerah, 4) dengan
varietas padi unggul lokal yang telah ada, maupun varietas unggul lainnya, perluasan areal
tanam, ditambah dengan input teknologi budidaya dan pasca panen yang lebih baik, maka
diharapkan produksi beras lokal dapat ditingkatkan, 5) kearifan lokal yang telah ada dan bernilai
positif untuk mempercepat pembangunan pertanian dapat digunakan untuk mendorong
tercapainya target program-program pemerintah.
Kata kunci : beras, pangan, kearifan lokal, ketahanan pangan, rumah tangga
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Masalah ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari konteks komoditas beras karena
beras merupakan makanan pokok, sehingga ketersediaannya harus selalu terjamin. Tingkat
partisipasi konsumsi beras rumah tangga, di Indonesia (kota maupun desa) sekitar 97-100 persen.
Artinya bahwa hanya 3 persen rumah tangga tidak mengkonsumsi beras sebagi bahan makanan
pokok. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, serta kurangnya diversifikasi pangan,
kebutuhan akan beras sebagai bahan makanan utama akan terus meningkat, sehingga diperlukan
kebijakan beras impor.

2


Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai negara agraris dan maritim.
Keunggulan

komparatif

tersebut

merupakan

fundamental

perekonomian

yang

perlu

didayagunakan melalui pembangunan ekonomi sehingga menjadi keunggulan bersaing. Dengan
begitu perekonomian yang dikembangkan di Indonesia memiliki landasan yang kokoh pada

sumberdaya domestik, memiliki kemampuan bersaing dan berdayaguna bagi seluruh rakyat
Indonesia. Mengingat sektor pangan merupakan sektor yang strategis dalam menopang
perekonomian nasional, pemantapan ketahanan pangan hendaknya dikembangkan secara
bersamaan/simultan dengan pengembangan sektor ini. Memperhatikan cakupan permasalahan
tersebut di atas, pembangunan ketahanan pangan diarahkan guna mewujudkan kemandirian
pangan, untuk menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan
bergizi seimbang pada tingkat rumah tangga, daerah, dan nasional sepanjang waktu dan merata
melalui pemanfaatan sumberdaya dan budaya lokal, teknologi inovatif dan peluang pasar, serta
memperkuat ekonomi kerakyatan dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
1.2. Perumusan Masalah
Dari waktu ke waktu jumlah penduduk terus meningkat dan konsekuensinya adalah
pangan yang harus dikonsumsi harus tersedia dalam jumlah yang cukup, aman dikonsumsi dan
bisa diakses kapan saja. Bergesernya pola konsumsi masyarakat lokal mempunyai konsekuensi
terhadap ketahanan pangan rumah tangga.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis
World Bank, 1986 mendefinisikan ketahanan pangan adalah kondisi dimana masyarakat
setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan agar dapat hidup produktif dan sehat. Konsep ini kemudian diterjemahkan
oleh International Conference in Nutrition (FAO/WHO), 1992 sebagai akses setiap rumah

tangga atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidupnya.
Selanjutnya World Food Summit, 1996 memperluas definisi FAO dengan menambahkan
persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai budaya setempat. Di Indonesia dengan
adanya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan didefinisikan

3

sebagai kondisi terpenuhinya pangan tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Sedemikian pentingnya pangan bagi peningkatan kualitas hidup manusia yang pada
gilirannya akan berpengaruh pada ketahanan bangsa menyebabkan pemerintah telah
mengupayakan berbagai regulasi yang berhubungan dengan pangan sebagai dasar legitimasi
dalam pelaksanaan teknis di lapangan seperti PP No 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan;
PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan; RPJMN 2005-2009;
Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (pencanangan oleh Presiden pada 11 Juni
2005) dan Kebjakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009.
Timmer (1996) dalam Amang dan Sawit (1997) mengemukakan bagaimana eratnya
keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi

dengan


ketahanan

pangan

mengambil kasus

Indonesia, Jepang, dan Inggris. Disimpulkan bahwa tidak ada suatu negara dapat
mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi yang pesat tanpa terlebih dahulu memecahkan
masalah ketahanan pangan (food security). Oleh karena itu, untuk negara dengan jumlah
penduduk yang besar seperti Indonesia kebijaksanaan pangan khususnya beras masih tetap
relevan. Dari banyak kejadian yang dialami Indonesia, Darwanto (2007) mengemukakan bahwa
kebijakan perberasan nasional yang menyangkut hajat hidup banyak orang sangat memerlukan
integrasi yang berlandaskan kemandirian bangsa. Pemberdayaan petani sebagai produsen beras
domestik utama sebaiknya dilakukan dengan memberikan perlindungan kepada petani dari
gejolak harga internasional, yang disertai dengan upaya memberikan dukungan perbaikan sarana
dan prasarana sehingga petani mampu berkembang menjadi produsen sekaligus pengusaha
berberasan yang kuat.
Aritonang (2000), mengutip Pedoman Umum Pelaksanaan Koordinasi Pembangunan
Pangan yang dikeluarkan oleh Kantor Menpangan, 1994


mencoba menjelaskan tujuan

pembangunan pangan adalah untuk menyediakan pangan yang cukup dari segi jumlah, mutu dan
keragamannya. Kecukupan ini juga meliputi kontinyutas ketersediaan pangan yang merata
disetiap daerah dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
2.2. Tinjuan Empiris
Sejak tahun 1970-an kebijakan pertanian Indonesia menekankan pencapaian swasembada
pangan melalui panca usahatani. Dalam kenyataannya swasembada pangan adalah upaya untuk

4

meningkatkan produksi beras sebagai sumber pangan utama. Setelah swasembada tercapai pada
tahun 1984, kebijakan nasional ekonomi makro langsung melompat dari pertanian tradisional ke
industri modern dengan menggunakan teknologi tinggi yang kurang berpihak pada aspek
pertanian. Program transmigrasi yang digalakkan oleh pemerintah orde baru secara umum
bertujuan untuk pemerataan, namun secara implisit

juga ditempuh untuk mempertahankan


swasembada beras. Tujuan implisit ini tidak bertahan lama karena kondisi fisik dan kebudayaan
pertanian di luar Jawa tidak memungkinkan untuk mengembangkan padi sawah seperti di Jawa.
Dalam jangka pendek produksi padi memang mengalami peningkatan yang signifikan dan beras
menjadi primadona, akan tetapi akibat dalam jangka panjang adalah lingkungan tidak menjamin
kesinambungan produksi, pola konsumsi masyarakat berubah, ketergantungan terhadap beras
meningkat.
Dalam upaya peningkatan produksi beras di Indonesia hal-hal yang harus diperhatikan
adalah: (1) adanya ketergantungan terhadap pasokan dari Pulau Jawa, (2) kehilangan hasil gabah
pada saat panen dan pasca panen serta adanya fenomena penurunan rendemen (faktor konversi
dari padi/gabah ke beras), dan (3) penurunan produktivitas per hektar. Seperti diketahui hingga
kini Pulau Jawa masih memegang peran penting dalam penyediaan beras nasional dengan pangsa
sekitar 56 % disusul Sumatera 22 %, Sulawesi 10 %, Kalimantan 5 %. Sedangkan Puslitbangtan
melaporkan kontribusi Pulau Jawa sebesar 60 % dari produksi padi nasional. Dalam jangka
panjang, mengandalkan Pulau Jawa tetap sebagai produsen utama bukanlah keputusan yang
bijaksana karena tingkat persaingan penggunaan lahan di Pulau Jawa untuk kegiatan non
pertanian sulit dibendung akibat dari tekanan jumlah penduduk, kebutuhan industri dan
infrastruktur yang semakin meningkat.
Sebagian besar areal padi (51%) berada di Jawa dengan kontribusi produksi sekitar 57 %
dari produksi beras nasional (Swastika dan Suhaeti, 2001). Data luas baku lahan sawah selama
10 tahun terakhir di Pulau Jawa menunjukkan penurunan sebesar 0,31 % per tahun, sementara di

luar Pulau Jawa meski menunjukkan kecenderungan naik namun hanya 0,65 % per tahun
(Mardianto, 2001).
Menurut Simatupang (2000) penyebab langsung dari perlambatan laju peningkatan
produksi padi adalah perlambatan pertumbuhan produktivitas. Pada dasawarsa 1990-1999 laju
pertumbuhan produktivitas padi rata-rata hanya 0,06 % per tahun, menurun tajam bila
dibandingkan dengan dasawarsa sebelumnya (1980-1989) yang mencapai rata-rata 3,5 % per

5

tahun. Penurunan dan perlambatan pertumbuhan produktivitas padi tersebut merupakan akibat
dari stagnasi teknologi produksi padi (Adnyana, dkk., 2000). Padahal sekitar 75 % pertumbuhan
produksi beras diperoleh dari peningkatan produktivitas (Manwan, 1994). Sedangkan menurut
Fagi, dkk (2002) kenaikan produktivitas memberikan kontribusi 80 % terhadap produksi padi
selama 40 tahun. Peningkatan produktivitas padi akan mendorong pertumbuhan produksi padi
yang pada akhirnya akan membuka peluang tumbuhnya perekonomian. Pertumbuhan ekonomi
yang mantap yang diikuti dengan stabilitas politik telah terbukti memperbaiki ketahanan pangan
(Soekirman, 1997). Kecenderungan produksi beras yang semakin menurun merupakan ancaman
yang serius bagi ketahanan pangan.
Adjid, 1994 telah mengemukakan tentang konsep ketahanan pangan yang sangat terkait
dengan swasembada pangan yang dinamik. Di sana disebutkan bahwa pada dasarnya, ketahanan

pangan mencakup dua aspek penting yaitu: (1) ketersediaan pangan seimbang dengan jumlah
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, pakan dan bahan baku industri, dan (2)
akses penduduk terhadap pangan merata dan tersebar luas pada tingkat harga yang terjangkau
oleh masyarakat. Dengan kata lain, ketahanan pangan merupakan akses penduduk terhadap
pangan yang dibutuhkan untuk menjamin suatu kehidupan yang layak. Secara sederhana dapat
disimpulkan bahwa tersedianya pangan, lapangan pekerjaan, pendapatan dan infra struktur
merupakan determinan utama yang menentukan apakah suatu RT memiliki ketahanan pangan,
artinya dapat memenuhi kebutuhan gizi bagi setiap keluarganya atau tidak. Cukup tidaknya
persediaan pangan di pasar sangat berpengaruh pada harga pangan. Bagi keluarga yang tidak
bekerja dan tidak berpenghasilan ataupun berpenghasilan tidak cukup, kenaikan harga pangan
terutama beras dapat mengancam kebutuhan gizinya, berarti ketahanan pangan keluarganya juga
terancam. Sebaliknya dapat pula terjadi, persediaan cukup, harga stabil tapi banyak penduduk
tidak memiliki pekerjaan sehingga tidak mempunyai sumber pendapatan, berarti tidak
mempunyai daya beli, juga menyebabkan ketersediaan pangan tidak efektif. Hal lain adalah
terbatasnya aksesibilitas terhadap pangan karena infrastruktur yang tidak memadai, seperti
jaringan transportasi

yang menghambat bergeraknya pangan dari pusat-pusat ekonomi ke

daerah-daerah yang jauh, salah satu diantaranya adalah Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

6

3.1 Tujuan Penelitian
Mengeksplorasi budaya lokal masyarakat Yamdena dalam hubungannya dengan ketahanan
pangan rumah tangga
3.2 Manfaat Penelitian
3.2.1

Memberikan pencerahan wawasan bagi semua pihak dalam memahami ketahanan pangan
secara komprehensif

3.2.2 Menemukan pola-pola lama ataupun pola-pola baru yang dapat dikembangkan sesuai
dengan kebudayaan setempat dalam upaya menciptakan kemadirian pangan bagi
masyarakat setempat.
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Waktu, Data dan sumber data
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2008 hingga Februari 2009 di
kabupaten Maluku Tenggara Barat. Desa sampel adalah Wowonda (Kec. Tanimbar Selatan),

Adaut dan Kandar (Kec. Selaru), Watidal (Kec. Tanimbar Utara) dan Wunlah (Kec.
Wuarlabobar). Dengan menggunakan data yang bersumber dari data sekunder dan data primer.
Data sekunder diperoleh melalui instansi permerintah ataupun lembaga non pemerintah yang
terkait. Data primer diperoleh langsung dari lapangan dengan jalan wawancara dan diskusi
dengan masyarakat.
4.2. Definisi operasional
 Ketahanan pangan ; adanya keterjaminan bahwa setiap penduduk (siapa saja) di suatu
wilayah (dimana saja, kapan saja) tercukupi kebutuhan pangan dan gizinya sebagai
syarat utama untuk mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan.


Rumah Tangga ; kelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik
dan biasanya tinggal bersama serta makan dalam satu dapur (BPS, 1997)



Pangan pokok ; makanan sumber karbohidrat (beras, jagung, ketela, umbian, pisang)



Kebudayaan Lokal ; pola-pola yang terjadi secara berulang dan dihidupi oleh masyarakat
dan dianggap memiliki keeratan hubungan dengan proses kehidupan yang yang saling
berinteraksi dengan linkungan sekitar.

7

4.3 Metode analisa
Metode yang digunakan adalah metode diskriptif kualitatif dengan menggunakan FGD
untuk mendalami masalah sehingga diharapkan akan dapat memberikan gambaran yang lebih
nyata di lapangan.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui konsumsi bahan makanan di Maluku, data yang yang tersedia dan
kemudian digunbakan sebagai dasar dalam penelitian ini adalah adalah Neraca Bahan Makanan
dan Pola Harapan Hidup Provinsi Maluku tahun 2004.
Tabel 1. Penyediaan Beras dan Bahan Pangan Pokok Lokal
Bahan Pangan Pokok
Beras
Ubi kayu
Sagu

Produksi
sendiri
impor
sendiri
sendiri

Penyediaan
(ton/th)
36.148
143.738
77.648
42.914

Harus tersedia
(gr/kap/thn)
319,67
161,01
88,99

Sumber : Neraca Bahan Makanan dan Pangan Harapan Provinsi Maluku 2004
Dinas Pertanian Provinsi Maluku

Potensi pangan non beras (pangan lokal) seperti umbi-umbian di daerah Maluku memiliki
keragaman species yang tidak terdapat di daerah lain di Indonesia, tersebar di Maluku Tenggara,
Maluku Tenggara Barat (MTB) dan Kepulauan Aru. Di daerah ini umbian dijadikan sumber
karbohidrat utama mulai tersingkir pemanfaatannya oleh beras dari luar daerah. Di MTB
masyarakat sudah mengenal tanaman padi sejak lama, dan beras lokal menjadi salah satu sumber
pangan utama. Sekalipun angka kecukupan rata-rata energi pada tingkat ketersediaan di Maluku
masih rendah yaitu sebesar 1986 kkal/kap/hari (seharusnya 2200 kkal/kap/hari) akan tetapi
masalah kelaparan tidak dijumpai. Namun kemungkinan kerawanan pangan dan gizi bisa terjadi
jika dilihat dari produksi, konsumsi dan distribusi. Kemungkinan ini sangat bisa terbukti
mengingat kondisi geografis Maluku yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang sangat rendah
aksesibilitasnya, terutama disebabkan karena kendala transportasi. Listyaningsih, 2007
melaporkan bahwa dalam beberapa penelitian diantaranya yang telah dilakukan Saliem, 2002
dalam LIPI, 2004 menunjukkan bahwa ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin

8

ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan individu, karena dalam wilayah yang tahan
pangan masih dijumpai rumah tangga yang tidak tahan pangan.
5.1. Karakteristik Desa Sampel
Adaut & Kandar (Kecamatan Selaru)
Adaut terletak di Pulau Selaru, bisa ditempuh dengan motor laut dari kota Saumlaki dalam 2 jam
perjalanan dengan biaya sebesar Rp. 15.000/org. Secara reguler, setiap hari transportasi ini tetap
melayari rute Adaut-Saumlaki hanya 1x. Sebagai kota kecamatan, masyarakat Adaut memiliki
karakteristik yang beragam. Mobilitas masyarakatnya cukup tinggi, hal ini dimungkinkan dengan
fasilitas transportasi yang memadai. Fasilitas pendidikan yang cukup juga terletak di dersa ini
yang juga dapat dimanfaatkan oleh desa-desa lain dalam wilayah kecamatan Selaru. Desa
Kandar bisa ditempuh dengan motor laut dari kota Saumlaki dalam 4 jam perjalanan dengan
biaya sebesar Rp. 20.000/org. Sama halnya dengan Adaut, secara reguler setiap hari transportasi
ini tetap melayari rute Kandar-Saumlaki hanya 1x. Jika kondisi laut tidak memungkinkan
(ombak besar) maka pelayaran akan berhenti dalam jangka waktu tertentu. Kadang-kadang
pelayaran hanya bisa dilakukan 1x dalam seminggu. Kandar memiliki pontensi yang cukup besar
untuk pengembangan tanaman padi ladang.
Wowonda (Kecamatan Tanimbar Selatan)
Wowonda dapat ditempuh dalam 30 menit perjalanan dari kota Saumlaki dengan jarak 20 km.
Transportasi umum yang biasa digunakan masyarakat adalah bus dengan biaya sebesar Rp.
3.500/org. Desa ini merupakan sentra produksi tanaman sayuran yang mendominasi pasar di kota
Saumlaki. Perkembangan kelompok tani di desa ini cukup menggembirakan karena membawa
pengaruh yang positif bagi perkembangan usahatani masyarakat setempat. Umumnya anggota
kelompok tani adalah para petani yang masih mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat
dekat sehingga kebun mereka juga terletak pada lokasi yang berdekatan satu dengan lainnya.
Budidaya tanaman secara teknis agronomis sudah mulai diterapkan di desa ini dengan bantuan
dinas pertanian setempat melalui penyuluhan dan sarana produksi.
Wunlah (Kecamatan Wuarlabobar)

9

Kecamatan Wuarlabobar terletak di pesisir barat, pada bagian tengah hingga ke ujung utara Pulau
Yamdena. Wilayah Kecamatan ini juga mencakup beberapa pulau kecil diantaranya Pulau
Labobar, Pulau Nus Wotar, Pulau Adodo, Pulau Molo dan beberapa pulau kecil lainnya. Desadesa yang termasuk dalam wilayah kecamatan ini selain terletak di daratan Pulau Yamdena, juga
tersebar di pulau-pulau kecil tersebut. Keadaan ini menjadi kendala bagi pemerintah kecamatan
Wuarlabobar dalam melakukan koordinasi dengan pemerintah desa di pulau-pulau tersebut.
Kecamatan Wuarlabobar cukup spesifik dibanding dengan kecamatan lain di Pulau Yamdena.
Latar belakang penduduknya cukup beragam. Berbeda dengan kecamatan lain yang latar
belakang penduduknya hampir seragam. Menurut sejarahnya, masyarakat yang mendiami desadesa yang terletak di pantai barat daratan Pulau Yamdena yang masuk dalam wilayah kecamatan
Wuarlabobar berasal dari pulaupulau kecil di sekitarnya seperti pulau Molo dan Pulau Adodo.
Mereka berpindah secara swadaya pada awal tahun 1950-an. Dalam perkembangannya kemudian
datang pula sebagian pendatang yang berasal dari wilayah Sulawesi yang kemudian menetap
menjadi warga di beberapa desa di kecamatan ini. Fakta ini turut menciptakan keberagaman yang
menjadi ciri khas kecamatan ini.
Transportasi utama hanyalah melalui laut dengan menggunakan motor laut atau ketinting
milik warga di setiap desa. Saat angin barat bertiup pada bulan Oktober – Pebruari, sering
menimbulkan gelombang laut disertai angin kencang di pantai barat. Pada saat itu transportasi
yang menghubungkan kecamatan tersebut dengan wilayah sekitarnya menjadi cukup sulit.
Sebagai ibu kota kecamatan, Wunlah dapat dijangkau dengan motor laut 4-5 jam perjalanan dari
kota Larat (Kec. Yamdena Utara) dengan biaya Rp.30.000/org. Motor laut secara regular
melayani rute Larat-Wunlah 2x seminggu. Sebagai kota kecamatan yang baru dimekarkan,
Wunlah masih sangat jauh dari wajah kota kecamatan.

Fasilitas sosial seperti sekolah masih

sangat minim (1 SD, 1 SMP, 1 SMU). Fasilitas kesehatan yang ada hanya Puskesmas Pembantu
dan 1 orang petugas kesehatan. Fasilitas ekonomi seperti lembaga keuangan/koperasi tidak
dijumpai di Wunlah.
Watidal (Kecamatan Tanimbar Utara)
Watidal adalah desa yang relatif dekat dengan kota Larat sebagai kota kecamatan, hanya
berjarak 7 km dan dapat ditempuh ± 15 menit dari Larat dengan biaya Rp. 2000/org
mengggunakan bis sebagai angkutan umum reguler dan ojek Rp. 10.000/org. Karena jaraknya

10

yang sangat dekat dengan kota kecamatan maka Watidal merupakan desa yang cukup
berkembang dibandingkan desa lainnya karena dapat memanfaatkan fasilitas sosial maupun
ekonomi yang ada di Larat. Fasilitas pendidikan yang tersedia di desa hanyalah SD dan SMP.
Untuk jenjang SMU masyarakat desa Watidal memanfaatkan SMU yang berada di Larat. Pasar
sebagai pusat aktifitas kegiatan ekonomi hanya terdapat di kota Larat, hal ini berakibat terhadap
mobilitas masyarakat desa setempat.
5.2. Nilai Pangan
Pangan bukan hanya sesuatu untuk dimakan, tetapi pangan mempunyai nilai dan konsep
yang relatif berbeda antar wilayah, daerah, bahkan negara karena itu pangan adalah bagian tak
terpisahkan dari budaya masyarakat. Adalah penting menyatakan bahwa perilaku pangan
individu berbeda dari perilaku yang diterima umum dalam sebuah populasi yang lebih besar.
Pada tataran global, manusia dapat mengonsumsi apa saja asal bukan racun untuk memenuhi
kebutuhan pangan. Pada tataran wilayah/daerah, nilai ini mengalami pergeseran. Budaya dan
situasi yang berbeda akan menghasilkan respons yang berbeda terhadap suatu produk yang sama.
Dalam budaya tertentu sesuatu dapat dimakan tetapi dalam budaya yang lain belum tentu itu
dapat dimakan. Misalnya kebudayaan tertentu, babi dilarang untuk dikonsumsi tetapi dalam
kebudayaan lain babi dapat dikonsumsi, dan pada kebudayaan yang lain babi dianggap sebagai
hewan yang suci. Di Meksiko serangga dikonsumsi dengan bebas bahkan dijual dalam kemasan
plastik tetapi di Amerika tidak dijumpai hal yang sama (Van Huis, 2003 dalam Hartog, 2006). Di
Yamdena, pangan yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat adalah ubi dan babi, baik
ditataran wilayah hingga tingkatan RT. Kedua jenis pangan ini selalu dihidangkan pada setiap
acara-acara adat bahkan di menu harianpun akan dijumpai ubi dan babi. Beras menjadi unsur
yang penting dan selalu ada dalam upacara-upara adat karena beras dianggap memiliki nilai yang
sakral. Beras identik dengan kehidupan baru, oleh karena itu dalam setiap musim tanam, padi
harus selalu ditanam di dalam areal yang sama dengan tanaman lainnya. Ada anggapan bahwa
tanaman lain akan mengalami pertumbuhan dan menghasilkan produk maksimal jika padi juga
ditanam dan bertumbuh secara bersama-sama hingga tiba saat panen nanti.
Pangan yang dikonsumsi sangat bergantung pada apa yang disediakan oleh
alam/lingkungan sekitar tempat tinggal suatu masyarakat. Orang tidak memikirkan makanan

11

dalam istilah energi dan asupan gizi. Hartog, 2006 menyimpulkan bahwa apa yang dikonsumsi
oleh masyarakat pada dasarnya ditentukan oleh empat faktor dasar utama yang saling terkait:


Faktor-faktor geografis seperti iklim, jenis tanah, dataran rendah, dataran tinggi,
pedesaan-perkotaan, dan bagaimana cara (seberapa banyak) ruang yang tersedia untuk
produksi makanan, pemrosesan makanan dan pengangkutan yang terorganisasi.



Faktor waktu, pembangunan sosial-ekonomi, dan perubahan-perubahan alami jangka
panjang dan jangka pendek; apa yang telah kita manfaatkan sebagai makan atau bukan
makanan juga dipengaruhi oleh warisan budaya dari generasi-generasi terdahulu.



Budaya selanjutnya menentukan sikap terhadap makanan terkait dengan apa yang bisa
dimakan atau tidak, dengan siapa, dimana, dan kapan waktunya makan.

Dengan mempertimbangkan ketiga faktor dasar pertama, akses masyarakat atau rumah tangga
pada makanan selanjutnya akan menentukan makanan aktual yang diterima. Demikian halnya
juga dengan masyarakat Yamdena, dengan kultur kebudayaan pertanian yang berkembang secara
alamiah tidak bisa melepaskan padi, ubi dan babi dari kehidupan usahataninya.
Alam Yamdena memang telah menyediakan ketiga jenis pangan ini secara luar biasa.
Varietas padi lokal berupa beras merah, putih dan hitam, dan beragam kultivar tanaman umbian
dijumpai diseluruh kepulauan Yamdena sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan
karbohidrat. Untuk memenuhi kebutuhan protein, masyarakat memperolehnya dari hutan
disekitarnya dengan berburu babi, ataupun hewan lain yang dapat dimakan seperti berbagai jenis
burung, sedangkan dari laut dapat dimanfaatkan berbagai jenis ikan dan hasil laut lainnya.
5.3. Kearifan Lokal
Kesadaran akan pentingnya memelihara keseimbangan lingkungan hidup telah dimiliki
oleh nenek moyang kita sejak lama. Dengan cara berfikir dan tradisinya yang sederhana mereka
mampu menciptakan cara-cara maupun institusi untuk melestarikan lingkungan alamnya. Dalam
perkembangan selanjutnya kondisi ini dikenal dengan istilah kearifan lokal. Kearifan lokal
terbentuk karena adanya hubungan antara masyarakat tradisonal dengan ekosistem disekitarnya.
Mereka memiliki sistem kepercayaan, hukum dan pranata adat, pengetahuan dan cara mengelola
sumberdaya alam secara lokal.
Kebudayaan-kebudayaan tradisonal, khususnya dalam hal pengelolaan sumberdaya alam
telah memiliki prinsip-prinsip konservasi, yaitu ; (1) rasa hormat yang mendorong keselarasan

12

(harmoni) hubungan manusia dengan alam sekitarnya, masyarakat tradisonal lebih condong
memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri ; (2) rasa memiliki yang eksklusif atas
suatu kawasan atau sumberdaya lam sebagai kepemilikan bersama (common property) sehingga
mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya alam ini dari pihak luar;
(3) sistem pengetahuan masyarakat setempat yang memberi kemampuan kepada masyarakat
untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya
alam yang terbatas; (4) daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna
dan hemat sesuai dengan kondisi alam setempat; (5) sistem alokasi dan penegakan aturan adat
yang bisa mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan; dan (6)
mekanisme pemerataan hasil panen yang proporsional atas sumberdaya milik bersama agar dapat
mencegah munculnya kesenjangan yang berlebihan di dalam masyarakat (Nababan, 1995).
Kelembagaan tradisional adalah bagian dari kebudayaan masyarakat
yang telah dilakukan turun temurun secara informal sehingga menjadi
bagian hidup mereka. Di Yamdena kita mengenal sistim arin, yaitu sebuah
sistim yang berhubungan dengan usaha pertanian rakyat. Substansi dari arin
merupakan pola kearifan lokal dalam manajemen usahatani secara bersamasama,

dimana

petani

dapat

merencanakan,

melaksanakan

dan

memanfaatkan kemudian mengevaluasi kegiatan usahataninya. Dalam
sistim arin, tidak ada kesepakatan ataupun aturan tertulis, tetapi nilai-nilai
yang dibangun telah mendarah daging sebagai adat kebiasaan sehingga
dapat mengakibatkan sanksi sosial bagi masyarakat yang melanggarnya.
Nilai sistim arin sebenarnya bermanfaat untuk mempercepat pembangunan
ekonomi petani karena gerakan sosial ini akan mendorong terjadinya
percepatan dalam bidang ekonomi. Misalnya dalam pekerjaan ini, makanan
yang disediakan adalah berasal dari bahan pangan lokal seperti ketupat dari
padi ladang dan makanan rebusan dari umbian dan pisang, dan pangan
hewani yang berasal dari hasil buruan binatang hutan, dengan demikian
kebutuhan terhadap beras dari luar dapat ditekan oleh masyarakat. Dari sisi
manajemen usahatani sistim ini cukup efektif karena pengelolaan tanaman
akan semakin intensif baik ketika dikunjungi oleh penyuluh ataupun tidak.
Jika diadakan penyuluhan, seluruh petani bisa mengikutinya karena letak

13

lahan

yang

saling

berdampingan,

sehingga

frekuensi

penyuluhanpun

mungkin akan bisa ditingkatkan, selain itu masalah keterbatasan tenaga
penyuluh pun dapat diatasi.

SISTIM ARIN
Sistim ini dikenal diseluruh kepulauan Yamdena. Arin adalah lahan
usaha baru yang diusahakan secara bersama-sama oleh masyarakat
dengan sistim perladangan berpindah sehingga dalam jangka waktu
3-4 tahun mereka harus berpindah mencari tempat yang baru,
selanjutnya tempat ini dibiarkan kosong dan mereka akan kembali lagi
untuk mengolahnya pada 5 – 7 tahun kemudian. Sebuah arin dapat
mencapai 100 hektar atau lebih dan dikelola oleh 5-10 kelompok yang
terdiri dari 15-20 orang. Setiap orang mendapatkan luas lahan olahan
dengan ukuran yang sama. Arin yang baru dibuka umumnya
difokuskan pada tanaman padi ladang (padi merah) yang berasnya
berwarna merah, hitam dan putih. Setelah panen padi, lahan usaha
ditanami dengan tanaman pangan dan hortikultura.
Sebelum membuka arin baru, biasanya didahului dengan suatu
pertemuan kampung yang dipimpin oleh kepala kampung dan staf
serta tokoh adat untuk menentukan mangkei (tuan tanah) dan
selanjutnya menentukan lokasi yang akan digarap. Sebelum lahan
digarap, lokasi harus dibersihkan (pameri) tetapi harus didahului
dengan berburu babi hutan dilokasi tersebut. Hal ini dimaksudkan
untuk membersihkan kawasan yang akan digunakan dari
hama/binatang pengganggu yang dapat merusak tanaman padi yang
akan ditanam. Waktu berburu harus disepakati secara bersama,
pekerjaan ini hanya dilakukan oleh kaum laki-laki dan syaratnya
adalah mereka yang berburu harus bebas konflik. Jika ada yang
mempunyai konflik, diyakini akan mengalami kecelakaan pada saat
berburu. Sebagai ungkapan syukur atas hasil buruan yang diperoleh,
diadakan doa bersama oleh pemimpin agama, setelah itu baru
dibagikan kepada semua orang yang berburu, dan kemudian hasil
buruan ini akan dibagikan lagi kepada kerabat/tetangga mereka.
Pameri dilakukan pada bulan Oktober selama 3-7 hari dengan
menggunakan peralatan yang sederhana seperti parang dan kapak
(mancadu). Jika ada pohon-pohon besar seperti torem atau kenari
maka harus digunakan chainsaw supaya lebih cepat selesai dan
pekerjaan lebih ringan.
Kegiatan pameri pada umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki.
Saat pameri dilakukan, harus ada satu pohon besar yang letaknya
ditengah lokasi harus ditinggalkan.
Setelah seluruh lokasi dibersihkan dari belukar, rumput dan
pepohonan lainnya, barulah pohon ini ditebang oleh mangkei. Setelah
pameri lokasi tersebut ditinggalkan selama ± 1 minggu hingga semua
hasil pameri menjadi kering dan siap untuk dibakar. Biasanya
pembakaran lokasi hanya dilakukan dalam 1 hari pada bulan
November, setelah itu pada bulan Desember lahan dibersihkan.
Dalam tahapan ini (pameri - proses pembakaran), mangkei akan
bertindak selaku penjaga lokasi.
Setelah itu tua-tua adat berembuk untuk menentukan kapan
waktu yang tepat untuk menanam padi pada bulan Januari. Mangkei
adalah orang pertama yang harus melakukan penanaman, dan dua

14

Setelah penanaman selesai, orang terakhir yang menanam
yang dikenal dengan
mangapelat akan melaporkan kepada
mangkei, mangkei akan datang ke lokasi untuk berdoa setelah
selesai penanaman. Setela berdoa mereka yang berstatus lolat
terhadap mangkei akan memberikan pemberian wajib berupa 2 buah
ketupat dan pemberian sukarela lainnya (misalnya sopi dan ikan)
kepada mangkei.
Hasil yang baik dari tanaman padi diyakini masyarakat
sebagai akibat dari penghormatan kepada para leluhur. Artinya
dengan menghormati leluhur melalui upacara adat akan membuat
para leluhur menjaga tanaman padi hingga panen nanti. Karena itu
upacara adat menjadi hal yang penting ketika mengawali musim
tanam padi ladang. Semua masyarakat diharapkan untuk mengikuti
upacara ini sebagai rasa hormat terhadap leluhur, sebelumnya lokasi
upacara disiapkan oleh semua masyarakat, laki-laki, perempuan dan
anak-anak,
semuanya
bekerja
bersama-sama.
Perempuan
menyiapkan makanan, utamanya adalah ketupat yang digantung
pada sebuah tiang (bisa juga beberapa tiang) yang telah disiapkan
dengan hiasan. Upacara dimulai dengan tarian seorang gadis remaja
yang didandani pakaian adat. Kemudian ada iringan tarian cakalele
oleh para lelaki.
Sebagian dari para wanita akan tetap melakukan Sebagian
wanita pekerjaan ini (menggantung ketupat) dan sebagian lagi
wanita akan menari diiringi tifa dan gong sebagai ungkapan sukacita,
sambil menunggu kepulangan para lelaki yang sementara berburu
babi di hutan. Jika kaum lelaki yang berburu telah pulang dengan
hasil buruannya, mereka akan langsung bergabung pada lokasi
upacara yang telah ditentukan. Kaum perempuan akan menyambut
mereka dengan nyanyian diringi tifa dan gong. Syairnya dalam
bahasa daerah setempat yang menceritakan tentang kegiatan tanam
padi hingga manfaat padi bagi banyak orang. Hasil buruan berupa 1
ekor babi hutan akan di lepaskan ditengah-tengah lokasi perayaan
upacara, dan larinya diarahkan ke tiang yang sudah digantung
ketupat. Diharapkan ketika binatang buruan ini dilepaskan akan
menyeruduk tiang ketupat, lalu ketupat akan jatuh sehingga banyak
orang menangkapnya untuk kemudian dimakan. Akan tetapi para ibu
yang berjaga-jaga di bawah tiang juga akan tetap menghalanginya
dengan cara menggosok tubuh laki-laki dan wajah laki-laki dengan
arang. Tindakan para ibu ini mencerminkan usaha keras untuk
memperoleh sesuatu (=makanan). Setelah ketupat habis, maka tiang
akan dicabut dan selanjutnya mereka saling menyiram dengan air atau
saling menggosok menggosok arang satu dengan lainnya. Sesama
saudara kandung tidak boleh saling menggosok dengan
arang .

Waktu panen pertama dikenal dengan istilah makan padi baru
dibutuhkan seorang juru bicara dan waktu panen ditentukan
bersama. Juru bicara harus memberikan pengumuman keliling
kampung (tabaos) kepada segenap masyarakat untuk menyiapkan
segala hal yang berhubungan dengan panen pertama seperti kapan
panen dilaksanakan, kapan berburu karena hasilnya akan dimakan
bersama saat makan padi baru atau umlah ketupat yang harus

15

Selain kelembagaan tradisional seperti sistim arin, dikenal juga kelembagaan
ekonomi yang berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi seperti
kelembagaan permodalan, sarana produksi dan pemasaran seperti pada
Gambar 5.2 berikut ini.

Sarana produksi
Sarana permodalan

Pedagan
g
pengump
ul desa

Pedagang
pengumpul
kecamatan dan
di kota Larat

produsen/petani

konsumen pasar Saumlaki

Gambar 5.2 Lembaga pemasaran di Yamdena
Lembaga permodalan maupun sarana produksi tidak menyentuh hingga ke
petani produsen, jangkauannya hanya sebatas pedagang pengumpul di desa
dan kecamatan. Oleh karena itu seluruhn jaringan pemasaran dikuasai oleh
pedagang, yang jelas-jelas mengejar keuntungan individu. Harga ditentukan

16

oleh pedagang sehingga petani tidak memiliki posisi tawar mengakibatkan
petani selalu berada pada pihak yang dirugikan. Pada umumnya petani dari
desa langsung menjual hasil kebunnya di pasar Saumlaki. .Demikian juga
halnya dengan di Larat. Akan tetapi karena ongkos transpor yang mahal,
maka hasil kebun yang hendak dijualpun dalam jumlah terbatas.
Di Wowonda karena usahatani sayuran berkembang dengan sangat
baik, maka petani sayuran menjadi incaran para pedagang pengumpul di
pasar kecamatan/kabupaten. Karena pedagang pengumpul ini sangat
memonopoli pasar, maka petani harus menyerahkan hasil kebunnya untuk
dijual oleh pedagang. Setelah penjualan selesai barulah uang hasil penjualan
diserahkan kepada petani. Pada tahapan ini pedagang telah mengambil
keuntungan dari hasil jual.
5.4. Pola Konsumsi
Beras bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat di wilayah MTB,
karena dari dulu mereka sudah mengonsumsi nasi sebagai bagian dari menu
keluarga, hanya saja jumlah yang dikonsumsi tidak dalam jumlah banyak
karena beras bukan menjadi bahan makanan pokok masyarakat tradisonal.
Seiring dengan perkembangan waktu yang membawa berbagai perubahan
termasuk perubahan pola konsumsi, maka masyarakat mulai beralih ke
beras sebagai menu pokok dalam menu kesehariannya. Beras identik
dengan modernisasi pertanian, sehingga ”nilai” beras menjadi lebih tinggi
dibandingkan dengan bahan pangan pokok yang lain seperti jagung, ketela,
ubi dan pisang. Keadaan ini menimbulkan anggapan dan membentuk pola
pikir yang baru bahwa apabila bahan pangan lokal non beras, maka kondisi
ini ini menjadi gambaran”kemunduran”. Saat ini beras menjadi barang
normal untuk konsumen kota maupun desa.
Konsumsi masyarakat terhadap bahan makanan pokok cukup beragam
antara lain beras, jagung, ketela, ubi dan pisang. Hal ini dapat menunjukkan
pola makan masyarakat yang dapat ditunjukan oleh berapa besar frekuensi
makan yang terjadi secara berulang dalam jangka waktu tertentu. Pola

17

konsumsi masyarakat setempat dapat dikategorikan menjadi 3 pola seperti
pada Gambar 5.1.

Pola 1
Nasi + sayur + ikan
Pola 2
Nasi + Jagung + ketela + pisang + ubi +
ikan

(disajikan bersama dalam

jumlah sedikit)

Pola 3
Substitusi bahan makanan pokok lain +
sayur + ikan

Gambar 5.1 Pola konsumsi RT terpilih
Ketiga pola ini sangat umum dijumpai dalam konsumsi masyarakat
setempat. Pola ke-1 adalah nasi sebagai menu utama ditambah sayur dan
ikan, pola ini digunakan saat persediaan beras masih banyak biasanya pada
awal musim panen padi. Pola ke-2 digunakan ketika masih ada banyak
persediaan bahan makanan. Dalam jumlah sedikit tetapi beragam, menu
sehari-hari dapat terdiri dari beberapa jenis makanan pokok ditambah
dengan sayur dan ikan sebagai nlauknya, sering terjadi saat musim panen.
Pola ke-3 terjadi substitusi nasi dengan bahan pangan lain karena persediaan
beras tidak lagi mencukupi. Pada kondisi ini menu utamanya adalah ketela
dan umbian. Dari semua pola yang ada, beras masih mendominasi konsumsi
harian masyarakat,
diikuti umbian, ketela, jagung dan pisang.
Dari studi kualitatif melalui wawancara mendalam dapat diketahui
bahwa meskipun masyarakat masih menganggap bahwa makanan pokok
mereka adalah ketela dan ubian tetapi beras masih merupakan komoditi
yang ”bernilai” di masyarakat.

18

Boks 5.1 Pergeseran nilai pangan lokal
(kesimpulan FGD)

Kutipan boks 1 sangat jelas memberi
Dari jaman dulu, orang tua
memberikan

gambaran

bahwa

kita sudah makan nasi, ubi,
kasbi (ketela
dan
masyarakat
denganpohon)
kesadaran
patatas (ubi jalar), jagung
sendiri
menentukan
pilihan
untuk menjadikan nasi
dan
juga pisang.
Makanan
ini
selalu ada pada menu rumah
sebagai sumber karbohidrat utama dalam menu
tangga sehari-hari. Seingat
saya sekitar 30 tahun lalu
hariannya.
Pilihan
ini
sangat
ketika PNS mendapat jatah
ditentukan
ciri ciri
organoleptik dari
beras, oleh
orang-orang
mulai
banyak yang makan nasi
makanan
yang memiliki dengan
pengaruh
kuat
dibandingkan
yang
lain, Demikian juga
untukmakanan
diterima lokal
ataupun
ditolak.
karena mereka makan dari
jatah beras
dariberas,
pemerintah
halnya
dengan rasa yang lebih enak, bau yang
yang datangnya dari luar
harum dan dengan tampilan yang berbeda,
daerah. Banyak orang yang
mendapat bagian beras jatah
membuatnya
menjadi
dari familinya yang PNS.
Sampai
satdikonsumsi
ini nasi lebih
menarik
untuk
oleh
banyak dikonsumsi oleh RT
masyarakat.
Sebenarnya
beras
tetapi berasnya
dibeli di
toko bukan
atau kios dengan harga yang
makanan baru bagi masyarakat
mahal merupakan
Rp.8000/kg.
Mengapa ? karena beras di
Yamdena. Beras sudah dikenal sejak jaman

dulu

dan secara turun temurun telah

diusahakan dalam

pertanian

tradisonal. Beras diterima karena
dianggap cocok dengan konsep umum tentang apa yang dapat
dimakan, cocok dengan teknik kuliner lokal, dan tidak memerlukan waktu
yang lama dalam pengolahannya, selain itu dapat menghemat bahan bakar,
karena waktu matangnya tidak terlalu lama. Kebijakan pemerintah untuk
memberikan jatah beras bagi PNS memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap pergeseran pola konsumsi masyarakat yang dirasakan sejak tahun
1970-an.

Mayoritas masyarakat Yamdena masih sangat kental dengan

budaya ”bekerja sebagai PNS”. Anak disekolahkan hingga jenjang pendidikan
tertentu dengan maksud akan mendapat pekerjaan sebagai PNS. Selain

19

target gaji yang akan diperoleh tiap bulan sebagai standar kelayakan
ekonomi, status PNS juga menjadikan mereka sebagai orang yang berhasil,
akses terhadap berbagai kesempatanpun menjadi terbuka luas dan ada
fasilitas PNS yang bisa dinikmati diantaranya adalah ”jatah beras”. Dengan
pola pikir seperti ini, maka lahan PNS menjadi target bagi setiap pencari
kerja. Fasilitas yang diperoleh sebagai PNS tidak saja dinikmati oleh PNS
yang bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh keluarga besarnya.
Misalnya saja, jatah beras yang diperoleh, tidak saja dikonsumsi oleh PNS
tersebut, tetapi bisa juga dibagikan kepada orang tua di kampung atau
keluarga yang lain. Beras untuk kebutuhannya bisa dibeli dengan gajinya
setiap bulan.
Meskipun dengan berubahnya pola konsumsi dan ketergantungan
terhadap beras makin tinggi seperti terungkap pada Box 5.2., namun
masyarakat juga telah mengenal diversifikasi pangan seperti terihat dalam
kutipan pada Box. 5.3 ; 5.4
Box 5.2

Box 5.3

Box

5.4
Kami terbiasa dengan kondisi lahan kering,
tapi disini masih subur, karena hasil
tanaman selalu bagus. Oleh karena itu
kami tidak menggunakan pupuk. Kalau air,
memang kami sangat kesulitan. Apalagi
tanaman padi IR 64, perlu lebih banyak air
daripada padi ladang. Dengan bantuan
Dinas Pertanian saat ini lebih banyak
diusahakan IR 64. Tetapi setiap musim
tanam padi lokal juga masih diusahakan
dalam jumlah sedikit. Bagi kami,padi
merah dan hitam mempunyai nilai yang
sakral karena itu selalu ada dalam
upacara-upacara adat. Padi (lokal) adalah
lambang kehidupan, karena padi menjadi
sumber makanan, jika ingin hidup orang
pasti
harus
makan.
Padi
juga
melambangkan keturunan yang banyak,
kita tanam beberapa benih di satu lobang,
benih tumbuh dan menghasilkan lebih
banyak. Ada anggapan bahwa jika mulai
musim tanam, padi juga harus ditanam
supaya semua tanaman yang lain ”bisa
hidup” karena bertumbuh sama-sama
dengan padi. Sekarang, IR 64 lebih mudah
diolah menjadi beras. Dan beras yang baik
juga sudah banyak dipasaran, maka tiap
bulan kami harus selalu membeli beras,

ADAUT

WUNLAH

Beras hanya diolah
menjadi nasi untuk
dimakan. Kasbi/ ubi
direbus dan dimakan
dengan
sayur
dan
ikan. Kasbi tone (rebusan
kasbi/ubi
yang
dicampur
dengan kelapa parut
dan gula aren) bisa
dimakan pada saat
makan iang/malam
ataupun untuk sarapan
pagi atau minum teh
sore.
Bentuk olahan lain dari
kasbi/ubi
hanya
digoreng atau untuk
dimakan, atau
dibuat keripik untuk
dijual

Umumnya olahan kasbi
dan ubi sama dengan
desa-desa
lain
di
Tanimbar yaitu direbus
dan
selanjutnya
dimakan dengan ikan +
sayur. Khusus untuk
jagung, kami di Wunlah
punya cara yang lain.
Jagung
ditumbuk
hingga
setengah
halus/halus, kemu-dian
disimpan
di
dalam
bambu yang kering.
Maksudnya
supaya
dapat bertahan cukup
lama. Saat diperlukan,
tepung
jagung
ini
kemudian
direbus
dengan
kelapa
parut
atau,

20

5.5. Identifikasi Jenis Padi Lokal di MTB
Dua jenis padi gogo asli dari Maluku Tenggara Barat yang berhasil diidentifikasi oleh BPTP Maluku
yaitu padi ‘hitam’ dan padi ‘merah’. Pengusahaan kedua jenis padi ini mulai jarang dilakukan, karena
kebutuhan beras masyarakat tercukupi dari beras yang yang diperdagangkan di pasar-pasar, toko-toko
maupun bantuan pemerintah daerah. Deskripsi padi hitam dari desa Ilngei (Kecamatan Tanimbar Selatan)
memiliki kesesuaian lahan cocok pada tanah yang mempunyai kandungan bahan organik tinggi dan tidak
toleran terhadap naungan. Keunggulannya adalah tahan terhadap blast yang selama ini menjadi musuh
tanaman padi dan tahan rebah. Deskripsi padi merah dari desa Lorululun (Kecamatan Tanimbar Selatan)
memperlihatkan beberapa keuungulan antara lain jumlah anakan per rumpun bisa mencapai 14 batang,
tahan rebah, dan kadar amilosa tinggi.

Tabel 2. Deskripsi padi ‘hitam’ dari kecamatan Lorulung, Kabupaten MTB
yang ditumbuhkan di BPTP Maluku.
Daerah Asal
Golongan
Umur tanaman
Bentuk tanaman/tinggi tanaman
Anakan produktif
Jumlah Anakan /rumpun
Warna kaki/batang/daun
Muka daun
Posisi daun
Posisi daun bendera
Warna lidah daun
Warna telinga daun
Bentuk gabah
Warna gabah
Warna beras
Jumlah gabah/malai
Kerontokan
Kerebahan
Tekstur nasi
Kadar amilosa
Bobot 1000 butir
Potensi hasil
Ketahanan terhadap
- penyakit
Umur keluar malai
Panjang daun bendera
Lebar daun bendera
Bentuk Anakan
Kesesuaian Lahan

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Desa Ilngei, Kec.Tanimbar Selatan, Kabupaten MTB
Cere
104 hari
Tegak/137 cm
20 batang
22 batang
Hijau
Sedang
Tegak
Tegak
Ungu
Hijau agak kekuningan
Sedang
Coklat kekuningan
Hitam
116 butir
Sulit
Tahan rebah
Pulen
Sedang
27 gram
- t/ha
Tahan terhadap blast
75 hst
47,7 cm
1,94 cm
Kompak
- Tidak sesuai pada tanah berpasir
- Cocok pada tanah yang mempunyai kandungan
bahan organik tinggi
- Tidak toleran terhadap naungan

21
Deskriptor
:
Sumber : BPTP Maluku-Distan, 2007

M.P. Sirappa

Tabel 3. Deskripsi padi ‘merah’ dari kecamatan Lorulung, Kabupaten MTB
yang ditumbuhkan di BPTP Maluku.

Gambar 5.2 . Padi
Hitam / Merah
Umur à 104 / 100 hari
Tinggi à 104 / 131 cm
Anakan/rumpun à 22 / 14
Anakan
produktif
/
rumpun à 20 / 12
Umur keluar malai à 75 /
70 hst
Jumlah gabah/malai à

Daerah asal

:

Golongan
Umur tanaman
Bentuk tanaman
Tinggi tanaman
Anakan produktif
Jumlah Anakan
/rumpun
Warna kaki
Warna batang
Warna daun
Muka daun
Posisi daun
Posisi daun bendera
Warna lidah daun
Warna telinga daun
Bentuk gabah
Warna gabah
Warna beras
Jumlah gabah/malai
Kerontokan
Kerebahan
Tekstur nasi
Kadar amilosa
Bobot 1000 butir
Potensi hasil
Ketahanan terhadap
- penyakit
Umur keluar malai
Panjang daun
bendera
Lebar daun bendera
Bentuk Anakan
Kesesuaian Lahan

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Desa Lorulun, Kec. Wer
Tamrian, Kab. MTB
Cere
100 hari
Tegak
131 cm
12 batang
14 batang
Hijau
Hijau
Hijau
Sedang
Tegak
Tegak
Ungu
Hijau agak kekuningan
Agak Bulat
Kuning Kecoklatan
Merah
117 butir
Sedang – sulit
Tahan Rebah
Tinggi
31 gram
- t/ha
Tahan terhadap blast
70 hst
39 cm

1,98 cm
Agak Berserak
- Tidak sesuai pada tanah
berpasir
- Cocok pada tanah yang
mempunyai kandungan
bahan organik tinggi
- Tidak toleran terhadap
naungan
Deskriptor
: M.P. Sirappa
Sumber : BPTP Maluku-Distan, 2007

22

VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Praktek pertanian tradisonal masih melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Yamdena.
2. Tanaman padi memiliki nilai yang sakral karena berhubungan dengan filosofi hidup bahwa
padi adalah ibu dari segala tanaman.
3. Dengan pandangan sepeti ini maka padi dapat dibudidayakan dalam skala besar untuk
memenuhi kebutuhan pangan sehingga kebutuhan beras tidak lagi dipasok dari luar daerah.
4. Dengan varietas padi unggul lokal yang telah ada, perluasan areal tanam, ditambah dengan
input teknologi budidaya dan pasca panen yang lebih baik, maka diharapkan produksi beras
lokal dapat ditingkatkan.
5. Kearifan lokal yang telah ada dan bernilai positif untuk mempercepat pembangunan
pertanian dapat digunakan untuk mendorong tercapainya target program-program pemerintah.

6.2. Saran
1. Langkah yang terpadu dan sinergis perlu diciptakan oleh pemerintah daerah dalam
mengoptimalkan fungsi dan peran semua komponen yang terlibat di dalam pembangunan.
2. Pemerintah daerah harus proaktif dengan kebijakan yang pro-rakyat sehingga manfaat
pembangunan benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat Yamdena.
3. Faktor transportasi yang menjadi kendala utama, harus mendapat perhatian yang lebih serius
dari pemerintah daerah dengan jalan mengandeng pihak swasta untuk pengelolaan yang lebih
profesional namun tetap di bawah kontrol pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Adjid, Dudung Abdul 1994.“Kebijaksanaan Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan”.
Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor 23-25
Agustus
1993.
Alfons, J.B., M. Pesireron, A.J. Rieuwpassa, R.E. Senewe, dan F. Watkaat.
2003.”Pengkajian
Peningkatan Produktivitas Tanaman Pangan Tradisional di Maluku”. Laporan
Tahunan
BPTP- Maluku Tahun 2003.

23

Amang, Beddu dan M. Husein Sawit. 2001. “Kebijakan Beras dan Pangan Nasional”.
Pelajaran dari
Orde Baru dan Orde Reformasi, IPB. Press Bogor. Edisi Kedua.
Aritonang, Irianton
Yogyakarta

2000.

“Krisis Ekonomi:Akar Masalah Gizi”. Media

Pressindo

Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tenggara Barat. 2004. ”Maluku Tenggara Barat
Dalam Angka Tahun 2007”. BPS Maluku Tenggara. Saumlaki.
Dinas Pertanian Provinsi Maluku, 2004. “ Neraca Bahan Makanan dan Pangan Harapan
Provinsi
Maluku 2004”. Ambon
FAO, 1996. “World Food Summit”. 13-17 November 1996. Rome, Italy : Food and
Agriculture Organization of the United Nations.
Fagi, Achmad M., Irsal Las dan M. Syam. 2002. “Penelitian Padi : Menjawab Ketahanan
Pangan Nasional”. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian.
Hartog Adel P, van Staveren and Inge D Brouwer, 2006. “Food Habits and Consumption in
Developing Countries-Manual for field studies”. Wagenningen publisher. The
Netherlands John van de Ven, 2000 .“Members Only ; Time Sharing Rice Fields and
Food Security Scurity in
a Sumatran Valley, dalam Coping with in security an
underall
perspective on social security in
the third world, editor Frans von
Benda-Beckmann, Keebet von Benda-Beckman dan Hands
Marks, Pustaka
Pelajar Indonesia, Yogyakarta
Manwan, Ibrahim.1994.“Strategi dan Langkah Operasional Penelitian Tanaman Pangan
Berwawasan Lingkungan”. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III.
Jakarta/Bogor 23-25 Agustus 1993.
Mardianto, S. 2001. “Mungkinkan Konsumsi Beras Turun?”. Kompas 3 Juli 2001.
Peraturan Pemerintah P No. 28 tahun 2004. “Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan”
Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002. “Ketahanan Pangan”
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005 – 2009, 2005. “Revitalisasi
Pertanian,
Perikanan ,dan Kehutanan” (pencanangan oleh Presiden pada 11 Juni 2005)
Simatupang, Pantjar.2000. “Anatomi Masalah Produksi Beras Nasional dan Upaya Mengatasinya.
Kumpulan Materi Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan
Kehutanan Tahun 2001 Ke Depan. 9-10 November 2000. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Badan
Litbang Pertanian.
Soekirman. 1997. “Ketahanan Pangan. Konsep, Kebijakan dan Pelaksanaannya”. dalam
Penduduk, Pangan & Ancaman Hantu Malthus. Warta Demografi Tahun ke 27
No.7.