LEKSIKON PENGOBATAN TRADISIONAL DALAM BA

LEKSIKON PENGOBATAN TRADISIONAL DALAM BAHASA SUNDA:
KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK
Eneng Reni Nuraisyah Jamil; Junne T. H. Saragih
Universitas Pendidikan Indonesia
reni.erenj@yahoo.com; juneunemanihuruk@yahoo.com
PENDAHULUAN
Nama merupakan kata yang menjadi label bagi setiap makhluk, benda, aktivitas, dan peristiwa di
dunia ini dan nama muncul dalam kehidupan manusia yang kompleks dan beragam (Darheni, 2010: 57;
dalam Sudana, dkk., 2012). Penamaan yang diberikan dalam wujud bunyi bahasa menjadi penanda bahwa
manusia tertarik dan berupaya untuk memahami dan menggali sesuatu yang dirasa kompleks dari
keberagaman realitas yang ada di sekitarnya. Kemampuan manusia tentang penamaan menyiratkan
adanya konsep ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dikuasai manusia sehingga dapat menjadi ukuran
bahwa penguasaan nama-nama tertentu berbanding lurus dengan kemampuan manusia dalam menguasai
konsep ilmu pengetahuan tertentu.
Seiring dengan konteksnya dalam bahasa Sunda, terdapat nama-nama alat, bahan, dan proses yang
berhubungan dengan kesehatan khususnya yang berkaitan dengan pengobatan tradisional dalam
masyarakat Sunda. Fakta bahasa tersebut menjadi salah satu bukti bahwa dalam bahasa Sunda terdapat
warisan budaya dalam bentuk kearifan lokal tentang leksikon-leksikon kesehatan khususnya pengobatan
tradisional. Namun, upaya pewarisan nilai-nilai kearifan lokal tentang kesehatan tersebut memang telah
dianggap menentang arus perkembangan global dan kehadiraannya dianggap tidak populer karena hanya
dapat ditemukan pada beberapa komunitas kecil yang terbatas. Salah satu komunitas tersebut adalah

masyarakat adat Kampung Dukuh di Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut.
Dalam komunitasnya, masyarakat adat Kampung Dukuh dinilai berhasil dalam menjaga harmoni
dengan lingkungan sekitarnya karena selalu mengandalkan alam sebagai penyedia kebutuhan hidup
sehari-hari yang salah satunya sebagai media pengobatan. Namun, muncul kekhawatiran tentang
eksistensi dari situasi harmoni tersebut akan memudar jika tidak ada dukungan dan upaya pemertahanan
dari komunitas dengan skala yang lebih besar dan luas. Oleh sebab itu, kajian tentang leksikon
pengobatan tradisional bahasa Sunda sangat relevan untuk dilakukan, terutama dalam kajian ranah
antropolinguistik.
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS
Disiplin antropolinguistik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari variasi dan
penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi,
sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika bahasa, adat-istiadat, dan pola-pola
kebudayaan lain dari suatu suku bangsa (Sibarani, 2004: 50). Antropolinguistik menitikberatkan pada
hubungan antara bahasa dan budaya di dalam suatu masyarakat. Penelitian antropolinguistik ini
menggunakan kacamata emik dalam mengungkap leksikon-leksikon pengobatan tradisional. Dalam
pendekatan emik, peneliti hanya mengungkap apa yang masyarakat ketahui tentang leksikon pengobatan
tradisional. Sebagai contoh, studi yang dilakukan Murni, dkk. (2012) menungkap bagaimana persepsi,
sikap, dan perilaku masyarakat suku Serawai terhadap pengobatan tradisional yang kini beralih ke
pengobatan modern. Selanjutnya, studi Rahayu, dkk. (2006) mengungkap pemanfaatan tumbuhan obat
oleh masyarakat di Pulau Wawonii dan mendeskripsikan leksikon-leksikon etnobotani yang didasarkan

pada cara pandang masyarakat penutur bahasa di Pulau Wawonii terhadap realitas dunia tumbuhan.
Namun, dalam penelitian ini makna leksikon lebih ditekankan karena didasarkan pada penelitian studi
kebahasaan itu sendiri.
Istilah leksikon berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu lexikon yang berarti ‘kata’, ‘ucapan’, atau
‘cara berbicara’. Istilah leksikon lazim digunakan untuk mewadahi konsep “kumpulan leksem” dari suatu
bahasa, baik kumpulan secara keseluruhan maupun secara sebagian (Chaer, 2007: 2-6). Sementara itu,
dalam KBBI Offline 1.5 leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna
dan pemakaian kata dalam bahasa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa leksikon adalah kekayaan
kata yang dimiliki suatu bahasa.
Setiap sendi kehidupan tentu memiliki leksikon khas yang menyertainya, demikian pula dengan
leksikon bahan, alat, dan proses pengolahan obat maupun proses pengobatan dari leksikon pengobatan

tradisional masyarakat adat Kampung Dukuh. Selain itu, leksikon tersebut juga dapat menunjukkan
pandangan-pandangan hidup orang Sunda seperti manusia harus senantiasa sadar bahwa dirinya hanyalah
sebagian kecil dari alam semesta. Dalam lingkungan keluarga, orang Sunda berpandangan bahwa anak
harus menghormati kedua orang tua. Dalam lingkungan masyarakat luas, orang Sunda berpandangan
bahwa hubungan masyarakat harus dilandasi sikap silih asih, silih asah, dan silih asuh, yaitu saling
mengasihi, saling meningkatkan keterampilan dalam mengejar kebaikan, dan saling mendidik
antarsesama. Sementara itu, dalam lingkungan kekuasaan negara, orang Sunda berpandangan bahwa
keabsahan formal pemerintahan didasarkan atas kepercayaan penguasa negara. Dalam menghadapi

lingkungan alam, orang Sunda harus memelihara dan memanfaatkan alam dengan baik dan digunakan
secukupnya. Orang Sunda memandang Tuhan sebagai penguasa tunggal maka mereka takwa dan percaya
kepada-Nya. Garna (2008: 66) mengungkapkan mulih ka jati mulang ka asal artinya ‘berasal dari Tuhan
dan kembali kepadaTuhan’.
Menurut pandangan Humboldt, relativitas bahasa berarti determinisme bahasa: suatu bahasa secara
mutlak menentukan pola pikir penuturnya. Bapak linguistik modern secara tersirat menungkap pula
kerelatifan bahasa. Saussure menyatakan kerelatifan bahasa tersebut terlihat dari leksikalisasi dan
gramatisasi yang berbeda di setiap bahasa. Begitu pun, bagi Safir dan Whorf. Hipotesis relativitas bahasa
mereka sendiri mempunyai dua versi, yaitu ekstrem dan moderat. Versi ekstrem menyatakan bahwa
bahasa menentukan pola pikir manusia. Bahasa mendeterminasi pola pikir manusia. Pendapat ini banyak
didebat karena pada realitanya justru budaya-budaya bisa dikonvensi ke budaya lain lewat bahasa. Versi
kedua berbunyi lebih lunak, yaitu bahasa memengaruhi pola pikir manusia. Artinya leksikon adalah
jelmaan dari pola-pikir, budaya, atau pandangan akan dunia yang dimiliki masyarakat. Nama yang berupa
kata kerja diartikan sebagai proses budaya, sedangkan nama yang berarti kata benda diartikan sebagai
produk budaya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini memanfaatkan metode kualitatif. Metode ini menerapkan teknik elisitasi (observasi
dan wawancara) yang diharapkan akan lebih efektif dalam penelitian antropolinguistik. Maksudnya,
metode ini dapat membantu mendapatkan data sebanyak mungkin dari proses wawancara, merekam,
pengamatan, dan pencatatan yang melibatkan langsung peneliti dalam berinteraksi bebas dengan

masyarakat. Secara keseluruhan, penelitian ini dilakukan di Kampung Dukuh, Desa Ciroyom, Kecamatan
Cikelet, Kabupaten Garut. Lokasi ini cocok untuk penelitian karena masyarakat minoritas di lokasi
tersebut masih mempertahankan kebudayaan dan nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan dari
leluhurnya khususnya dalam pengobatan tradisional dengan memanfaatkan alam.
Data penelitian ini merupakan data lisan yang dikumpulkan melalui wawancara tak terstruktur
sekaligus direkam ketika berinteraksi dengan masyarakat Kampung Dukuh. Data diperoleh dari empat
orang informan dengan bahasa ibu yaitu bahasa Sunda; dua orang berjenis kelamin laki-laki dan dua
orang berjenis kelamin perempuan berusia 50 s.d. 90 tahun. Pengumpulan data dilakukan selama tiga hari
(11-13 November 2013).
Data yang telah diperoleh sebanyak 87 leksikon: 52 leksikon bahan pengobatan tradisional, 13
leksikon alat pengolah atau pembuatan obat tradisional, dan 22 leksikon proses pengobatan tradisional.
Kemudian, data diolah dengan langkah-langkah berikut: (1) pentranskripsian data hasil rekaman, (2)
pengelompokan atau ketegorisasi data, (3) penafsiran fungsi dari setiap leksikon, (4) penafsiran nilai-nilai
kearifan lokal, dan (4) penyimpulan konsep ilmu pengetahuan tentang kesehatan yang tercermin dalam
leksikon pengobatan tradisional tersebut. Selanjutnya, hasil analisis data akan disajikan dengan
menggunakan metode informal, yakni pemaparan hasil analisis data yang berupa kata-kata atau uraian
biasa tanpa lambang-lambang yang sifatnya teknis seperti fonologi, sintaksis, dan semantik.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Klasifikasi dan Deskripsi Leksikon
Klasifikasi dan deskripsi leksikon dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama, leksikon

berdasarkan bahan pengobatan tradisional. Adapun komposisi penggunaan bahan sebagai berikut: (1)
akar tumbuhan, (2) batang tumbuhan, (3) kulit tumbuhan, (4) daun tumbuhan, (5) bunga tumbuhan, (6)
buah tumbuhan, dan (7) seluruh bagian tumbuhan. Dari 52 leksikon bahan pengobatan tradisional yang
didapat, leksikon bahan pengobatan yang berbahan akar ada 14, yaitu konéng ageung, konéng bodas,
konéng hideung, konéng temen, cikur, jahé, panglai, akar eurih, akar gedang gandul, akar jambé, akar
kawung, akar séréh, bawang bodas, dan bawang beureum. Leksikon bahan pengobatan tradisional yang

mengacu pada bahan yang terbuat dari batang ada 3, yaitu lamé hideung, panglai, dan patrawali.
Leksikon bahan pengobatan tradisional yang mengacu pada bahan yang terbuat dari kulit tumbuhan ada 2,
yaitu lamé hideung dan daluang. Leksikon bahan pengobatan tradisional yang mengacu pada bahan yang
terbuat dari daun ada 19, yaitu daun rinu, daun kumis ucing, daun sembung, daun jarong, daun
tisuk/waru, daun nangka, daun sirsak/manalika, daun papacaran (pacar cai), daun nangka walanda,
babadotan, seureuh, bako, daun dadap héjo, daun minahong, daun afrika, daun alpuket, daun katuk,
daun jambu, dan daun hui. Leksikon bahan pengobatan tradisional yang mengacu pada bahan yang
terbuat dari bunga ada 2, yaitu kembang kingkilaban dan kembang ros. Leksikon bahan pengobatan
tradisional yang mengacu pada bahan yang terbuat dari buah ada 8, yaitu buah rinu, buah haréndong,
cengkéh, buah papacaran (pacar cai), cabé, minyak kalapa, buah sawo, dan uap sangu. Leksikon bahan
pengobatan tradisional yang mengacu pada bahan yang terbuat dari seluruh bagian tumbuhan ada 4, yaitu
jajamu, jukut bintinung, sambel dahu, dan batok. Leksikon bahan pengobatan tradisional yang mengacu
pada bahan yang terbuat dari bahan kimia ada 4, yaitu bétadine, alkohol, rhéumasyl, dan baby oil.

Kedua, leksikon berdasarkan alat pengobatan tradisional. Klasifikasi dan deskripsi dari leksikon
alat ini dikelompokkan menjadi 3, yaitu (1) leksikon alat pengobatan yang terbuat dari logam, (2)
leksikon alat pengobatan yang terbuat dari bagian tumbuhan atau alam (batu dan tanah liat), dan (3)
leksikon alat pengobatan yang terbuat dari bahan tekstil. Pengklasifikasian dan pendeskripsian leksikon
alat ini didasarkan pada keumuman penggunaan leksikon-leksikon alat dalam kegiatan pengobatan
tradisional masyarakat adat Kampung Dukuh. Leksikon alat pengobatan yang terbuat dari logam ada 5,
yaitu gunting, silét, kastrol, téko, dan panci. Leksikon alat pengobatan yang terbuat dari bagian tumbuhan
atau alam (batu dan tanah liat) ada 5, yaitu daluang, bako, halu lumpang, hawu, dan batok. Leksikon alat
pengobatan yang terbuat dari bahan tekstil ada 3, yaitu tali, sarung tangan, dan gelas.
Ketiga, leksikon berdasarkan proses pengobatan tradisional. Klasifikasi dan deskripsi dari leksikon
proses ini dikelompokkan menjadi 2, yaitu (1) leksikon proses pengobatan yang dapat dilakukan oleh diri
sendiri (pribadi) dan (2) leksikon proses pengobatan yang dapat dilakukan dengan bantuan ahli
persalinan/pengobatan (paraji). Pengklasifikasian dan pendeskripsian leksikon proses ini didasarkan pada
keumuman penggunaan leksikon-leksikon proses pengobatan tradisional masyarakat adat Kampung
Dukuh. Leksikon pengobatan yang dapat dilakukan oleh diri sendiri (pribadi) ada 13, yaitu digodog,
dipékprékan, dibulen, dilulur, diparud, digeurus, dipoékeun, ditipung, diwadahan, didéangkeun, diléob,
diréndos, dan diasakan. Leksikon pengobatan yang dapat dilakukan dengan bantuan ahli persalinan
(paraji) ada 9, yaitu dijiad, dikedengkeun, dipungkilkeun, diparangsang, gulinggasahan, negel santen,
ditegel, santen & ngalindih, digedogkeun, diparangsod, dan dileles.
Fungsi Leksikon

Leksikon pengobatan tradisional di Kampung Dukuh memiliki lima fungsi. Pertama, fungsi
individual karena berkaitan dengan kegiatan atau sesuatu yang dikerjakan secara individual. Kaitan
dengan fungsi individual ini tidak lepas dari hubungan leksikon pengobatan tersebut dengan aktivitasnya,
misalnya leksikon sambel dahu dan cocobék dengan bentuk alat yang digunakannya, yaitu batok dan halu
serta dengan langkah-langkah aktivitas proses pembuatanya seperti diréndos atau digeurus, kemudian
dipoékeun, ditipung, dan terakhir diwadahan merupakan cerminan gambaran dari proses pengobatan
tradisional yang dapat dilakukan secara individual atau pribadi.
Kedua, fungsi sosial karena berkaitan dengan kegiatan atau sesuatu yang dikerjakan secara bersama
atau melibatkan pihak luar. Fungsi sosial ini tidak lepas dari hubungan leksikon pengobatan tradisional
tersebut dengan aktivitas atau proses pengobatannya, misalnya leksikon dijiad, dikedengkeun,
dipungkilkeun, diparangsang, guling gasahan, negel santen, ditegel, santen, dan ngalindih, serta
digedogkeun yang muncul karena adanya upaya dari pihak luar yang membantu proses pengobatan, yaitu
paraji (dukun beranak). Leksikon-leksikon tersebut memberikan ruang gerak dalam pengobatan
tradisional untuk dikerjakan secara bersama, yaitu antara pihak yang sedang diobati dengan pihak yang
sedang mengobati.
Ketiga, fungsi keharmonisan alam dan tumbuhan karena leksikon-leksikon pengobatan tradisional
tersebut berasal dari bagian tumbuhan dan hampir semua leksikon bahan dan alat pengobatan tradisional
berkaitan dengan hal-hal yang berasal dari alam seperti tumbuhan, batu, atau tanah liat (lempung) yang
diambil langsung dari hutan atau pun lingkungan sekitar kampung. Pengambilan tiga bahan tersebut
membuat masyarakat berinteraksi dengan alam sekitar, serta lebih peduli untuk menjaga hutan. Begitu

pun, keharmonisan antara manusia dengan alam dan tumbuhan ditunjukkan dengan perilaku masyarakat
yang memanfaatkan berbagai kekayaan alam dengan tidak melupakan timbal balik yang harus masyarakat
berikan terhadap alam, yaitu menjaga dan melestarikan alam, baik hutan atau pun lingkungan sekitar

tempat tinggal masyarakat. Kegiatan kerja sama simbiosis mutualisme antara manusia dengan alam dan
tumbuhan dalam pengobatan tradisional dapat terjalin dengan baik apabila manusia mampu merawat dan
melestarikan keberadaan hidup dari tumbuhan dan alam. Apabila keberadaan alam dan tumbuhan hilang,
kegiatan pengobatan tradisional di Kampung Dukuh pun akan ikut hilang, dan kepunahan kegiatan
pengobatan tradisional tersebut akan mengakibatkan kepunahan pula pada perbendaharaan leksikon
pengobatan tradisional.
Keempat, fungsi ketuhanan dengan lingkungan sekitar karena berkaitan dengan keberadaan alam
yang merupakan hasil penciptaan Tuhan. Hampir semua leksikon bahan dan alat merupakan lesikonleksikon yang berasal dari penamaan dan jenis bahan yang diambil dari alam. Penggunaan leksikonleksikon pengobatan tradisional yang diambil, baik dari nama dan bagian tumbuhan, batu, atau pun tanah
liat (lempung) merupakan bukti penghargaan masyarakat terhadap nikmat alam yang mereka dapatkan
dari Tuhan sehingga dengan cara pemanfaatan, penjagaan, pelestarian, dan penggunaan alam dengan
bijak tersebut dapat menunjukkan bukti rasa syukur masyarakat terhadap keberadaan dan kekuasan Tuhan.
Kelima, fungsi ekonomi karena berkaitan dengan kegiatan pemenuhan dan penghematan kebutuhan
sehari-hari (bersifat ekonomis). Kaitan dengan fungsi ekonomi ini tidak lepas dari hubungan leksikon
pengobatan tradisional dengan penggunaan bahan, alat, dan proses pengobatan. Penggunaan bahan dan
alat dalam pengobatan tradisional masyarakat adat Kampung Dukuh mengacu pada seluruh benda dan
alat yang bisa didapatkan di lingkungan sekitar tempat tinggal atau pun hasil budidaya tanaman. Adapun

bahan atau alat yang digunakan selain dari bahan alam mereka dapatkan dari pasar atau pun warungwarung kecil di sekitar kampung sehingga biaya pengeluaran yang digunakan lebih ringan. Begitu pun,
pada leksikon proses pengobatan yang dapat dilakukan oleh pribadi atau diri sendiri tanpa membutuhkan
bantuan dari pihak luar (paraji, mantri, atau dokter). Keekonomisan tersebut bisa terlihat ketika aktivitas
proses pengobatan tradisional dilakukan secara individual dan tidak membutuhkan bantuan dari ahli
pengobatan sehingga biaya pengobatan yang dikeluarkan tidak mencapai nilai rupiah yang tinggi atau
dapat menekan biaya pengobatan.
Nilai Kearifan Lokal dalam Leksikon
Senada dengan fungsi leksikon, dalam konteks leksikon pengobatan tradisional bahasa Sunda di
masyarakat adat Kampung Dukuh, nilai-nilai kearifan lokal dalam leksikon pengobatan tradisional ini pun
memiliki prinsip harmoni, yaitu prinsip harmoni antarmanusia, dengan alam dan tumbuhan, dan dengan
Tuhan. Masyarakat Kampung Dukuh adalah masyarakat yang masih memegang teguh dan menjaga nilainilai budaya Sunda yang leluhurnya ajarkan. Sebagai contoh dalam perilaku berbahasa, penjagaan
tersebut terlihat dari kesantunan bahasa yang mereka lakukan, baik kepada masyarakat pribumi Kampung
Dukuh atau pun kepada pendatang. Dalam berperilaku, penjagaan tersebut terlihat dari perilaku saling
menolong yang mereka tonjolkan.
Prinsip menjaga keharmonisan tersebut tercermin pula dalam leksikon pengobatan tradisional,
melalui leksikon bahan pengobatan tradisional yang mengacu pada sejumlah tanaman obat yang
dibudidayakan di pekarangan rumah dan hasil dari budidaya tanaman obat tersebut mereka kerap saling
membantu dengan saling memberikan bibit tanaman untuk dibudidayakan kembali atau langsung
memberi hasil budidaya tanaman kepada masyarakat yang membutuhkan. Meskipun masyarakat
Kampung Dukuh kerap melakukan proses bertani atau bercocok tanam, tetapi dalam pembudidayaan

tanaman obat tidak semua masyarakat melakukannya. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan
pengobatan tradisional, mereka akan saling berbagi dengan memberikan hasil budidaya tanaman obat
tersebut. Proses saling membantu ini berlangsung lancar. Artinya, apabila memang ada masyarakat yang
membutuhkan, pengobatan akan diberikan secara sukarela. Tidak ada sifat pemaksaan dari yang meminta
bantuan dan tidak ada pula sifat menahan dari yang memberi. Semua perilaku tersebut mereka landasi
dengan sifat kekeluargaan dan saling tolong-menolong antarmasyarakat.
Masyarakat Kampung Dukuh adalah masyarakat yang religius. Mereka mempunyai kepercayaan
akan Tuhan dan menjalankan ritual agama sebagaimana pemeluk agama yang taat. Mereka pun
menjalankan berbagai perintah dan anjuran yang diajarkan Islam, meskipun perintah dan ajuran tersebut
mereka kombinasikan dengan ajaran dari karuhun atau leluhur. Prinsip tersebut tercermin pula dalam
leksikon pengobatan tradisionalnya. Salah satu media yang digunakan untuk membantu dan menolong
adalah leksikon bahan pengobatan tradisional. Masyarakat Kampung Dukuh memiliki kebiasaan untuk
saling berbagi tanaman obat kepada sesama warga kampung. Terdapat fungsi kearifan dengan Tuhan
karena landasan sifat kekeluargaan dan saling tolong-menolong antarmasyarakat yang secara sukarela
saling berbagi adalah cerminan dari landasan ilahiah/ketuhanan. Masyarakat adat Kampung Dukuh
memiliki kepercayaan bahwa sebuah kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula, apabila tidak oleh

manusia, tetapi pasti oleh Tuhan. Hal tersebut mencerminkan kepercayaan mereka akan pahala/balasan
baik yang diberikan oleh Tuhan.
Masyarakat adat Kampung Dukuh memiliki lima patok penjagaan terhadap tanah leluhur yang

mereka diami, yaitu tutupan, titipan, garapan, cadangan, dan larangan. Papagon (nasihat) tersebut yang
membuat masyarakat sangat menjaga dan memerhatikan keharmonisan mereka dengan alam dan
keberadaan lingkungan alam sekitar. Prinsip keharmonisan dengan alam, dalam kasus ini dengan hutan
dan lingkungan sekitar, tercermin dalam leksikon pengobatan tradisional bahasa Sunda di masyarakat
adat Kampung Dukuh. Hal tersebut ditunjukan oleh leksikon bahan pengobatan tradisional yang mengacu
pada sejenis tanaman-tanaman obat yang diperoleh masyarakat dari hutan sekitar atau pun dari hasil
budidaya tanaman obat di pekarangan rumah (apotek hidup). Ketika ingin membuat bahan pengobatan
tradisional mereka tidak membeli obat jadi dari pasar, tetapi membuat dan meraciknya sendiri. Bahanbahan pembuatannya itu diambil dari hutan ataupun apotek hidup yang mereka miliki di pekarangan
rumah. Mereka mengambil bahan-bahan pengobatan lalu diolah, diracik, dan digunakan sesuai kebutuhan
pengobatan yang akan dilakukan.
Begitu pun, pada penggunaan leksikon alat pengobatan tradisional yang mengacu pada bagian
tumbuhan atau alam yang dijadikan alat dalam proses pengobatan tradisional yang diperoleh masyarakat
dari hutan dan lingkungan sekitar seperti daluang, bako, halu lumpang, hawu dan batok. Nilai kearifan
yang tercermin dari leksikon pengobatan tradisional ini adalah prinsip keharmonisan dengan tumbuhan.
Tumbuhan dalam konteks ini adalah pada penggunaan bagian akar, batang, kulit, daun, bunga, buah, dan
keseluruhan bagian tumbuhan. Hal tersebut bisa terjadi karena beberapa leksikon pengobatan tradisional
tersebut baru dapat berfungsi dan dipakai ketika adanya penggunaan leksikon bahan, alat, dan proses
pengobatan tradisional yang mengacu pada pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan dan alat pengobatan,
khususnya dalam penggunaan dan pemakaian leksikon proses pengobatan tradisional. Leksikon-leksikon
pengobatan tradisional tersebut baru dapat digunakan apabila manusia memiliki keharmonisan dengan
alam dan tumbuhan, artinya manusia tidak sewenang-wenang terhadap keberadaan tumbuhan dan alam
sekitar, manusia harus menjaga, dan melestarikan eksistensi pertumbuhan alam agar tumbuhan yang
digunakan dalam pengobatan tradisional selalu tersedia bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Apabila
tidak ada penjagaan dan pelestarian terhadap keberadaan tumbuhan dan alam, segala pemenuhan
kebutuhan manusia termasuk pemenuhan bahan bagi proses pengobatan tradisional akan berkurang, atau
bahkan hilang, dan hal tersebut akan berakibat pula terhadap kekayaan perbendaharaan leksikon
pengobatan tradisional bahasa Sunda khusunya pada masyarakat adat Kampung Dukuh.
SIMPULAN
Simpulan dari penelitian ini meliputi beberapa hal berikut. Leksikon pengobatan tradisional yang
digunakan dan dipakai dalam aktivitas pengobatan tradisional merupakan sebuah cerminan dari hasil pola
pikir dan pandangan masyarakat tentang konsep ilmu kesehatan serta cerminan karakteristik cara hidup
dan cara berpikir masyarakat tentang konsep ilmu kesehatan. Keberadaan konsep ilmu pengetahuan
tentang kesehatan dalam leksikon pengobatan tradisional merupakan upaya pemeliharaan dan penjagaan
lahiriah terhadap kondisi kesehatan dari penggunaan tumbuhan dan tanaman obat, serta upaya penguatan
batiniah terhadap kepercayaan masyarakat tentang keberadaan dan kuasa Tuhan.
BIBLIOGRAFI
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda.
Sudana, dkk. 2012. “Eksplorasi Nilai Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Leksikon Etnobotani: Kajian
Etnopedagogi di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya”. Laporan Penelitian Hibah Penelitian
Etnopedagogi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Pendidikan
Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.
Juita, Eka, dkk. 2013. “Nama Perkakas Pertanian di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya (Sebuah
Kajian Linguistik Antropologis)”. Laporan Praktikum Mata Kuliah Antropolinguistik, Prodi
Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.
Wierzbicka, Anna. 1997. Understanding Cultures through Their Key Words: English, Russian, Polish,
German, and Japanese. New York: Oxford University Press.
Duranti, Alessandro. 2002. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Kinayati, dkk. 2010. Prinsip-Prinsip Dasar Penelitian Bahasa dan Sastra. Bandung: Nuansa.