FILSAFAT TUBUH DALAM OLAHRAGA kajian

TUBUH DALAM OLAHRAGA: ANTARA SUBJEK DAN OBJEK

Abstract
The Subjectivity of the body is the main theme of this paper, which would be
compared and analyzed with the concept of the body as the object. It was
implemented as a reconstruction philosophical base of sports science. The “tree” of
sports science will re-root based on these result.
Keywords: Body, Sport, Subjectivity of the Body, Body as The Object

A. Tubuh dalam Lintasan Pemikiran
Literatur (Barat) tentang filsafat olahraga, dalam pengamatan Klause V. Meier
(dalam Pramono, 2014) sebagian berkutat pada penyelidikan antropologis tentang
hakikat dan struktur manusia, terutama persoalan tubuh dan jiwa yang diterapkan atau
dimanifestasikan ke dalam bidang olahraga. Sayangnya, usaha-usaha penelitian
filsafat tentang permasalahan kebertubuhan dan olahraga acapkali menghasilkan
eksposisi yang penuh dengan ungkapan-ungkapan yang ngawur, penegasanpenegasan yang lemah, dan penyimpulan yang tidak mendukung dan keliru.
Penulis juga sempat menulis makalah tentang bagaimana peresapan nilai-nilai
kebertubuhan ke dalam reinterpretasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu kesimpulan dari
makalah tersebut mengerucut pada nilai-nilai kemanusiaan khas Indonesia dan juga
refleksinya yang terakomodir nilai-nilai kemanusiaan, untuk melihat hubungan
subjek dan objek dengan lebih empatik. Pada dasarnya, objek adalah subjek pada

dirinya sendiri (Pramono, 2011).
Beberapa abad setelah Seneca menyatakan “mens sana in corpore sano” (dalam
tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat), Ludwig Wittgenstein dalam
Philosophical Investigations menyatakan juga kalimat semakna, dan bahkan lebih
ekstensif-intensif dan tegas tentang hal tersebut: “tubuh manusia merupakan
gambaran terbaik tentang jiwa manusia” (Noerbai, 2000: 10; Shusterman, 2008: vi).
Setidaknya, dari pernyataan kedua tokoh lintas jaman ini, bisa ditangkap adanya

mozaik pemikiran serius bagaimana manusia patut menghargai tubuh, sebagaimana
menghargai jiwa.
Pasi Falk (1993: 1) menegaskan, bahwa tubuh manusia menempati peran
ambigu dan paradoksal dalam kategorisasi kultural. Peran “dobel” tubuh dapat
dirumuskan dalam sejumlah oposisi biner: tubuh sekaligus adalah yang sama dan
yang lain, subjek dan objek, interior dan eksterior. Atau, dari sudut pandang
eksperimen, tubuh bergerak antara kehadiran dan ketidakhadiran.
Penegasan Falk tersebut mengandaikan persoalan yang sama untuk jiwa dalam
hal kategorisasi kultural: jiwa tidak seruwet tubuh. Bisa dikatakan, semua manusia
secara pribadi mengalami situasi setiap saat, bahwa jiwa adalah aku. Tidak ada
oposisi biner di situ. Meskipun jiwa acapkali juga diposisikan sebagai objek
pemikiran/penelitian, namun bisa dipastikan tak satupun pemikir/peneliti yang

menulis

dengan

jujur

bahwa

saat

memposisikan

jiwanya

sebagai

objek

pemikiran/penelitiannya, dia sedang membuat garis demarkasi antara dia dengan
jiwanya. Hal yang berbeda ketika dia memposisikan tubuhnya sebagai objek

pemikiran/penelitian, ada garis demarkasi antara dia dengan tubuhnya yang secara
tegas bisa dilihat dari perlakuan-perlakuan yang merefleksikan objektivitas tubuh
(memperlakukan tubuh sebagai objek). Jawaban yang paling mudah disuguhkan
adalah bahwa proses kerja berpikir termasuk wilayah jiwa, tubuh hanya medianya.
Dengan contoh kalimat, “aku menyadari jiwaku” bisa dibalik menjadi “jiwaku
menyadari aku”, namun tidak untuk “aku menyadari tubuhku”. Letak kesadaran,
bukan di tubuh, sehingga tubuh seolah-olah sudah pasti hanya bisa menjadi objek
kesadaran. Itulah yang paling mudah memahamkan seseorang bahwa tubuh adalah
objek, sedangkan jiwa bisa sebagai subjek dan objek tergantung konteksnya.
Pandangan kontemporer terhadap tubuh, sebagaimana kajian-kajian yang sudah
ada, dihantui suatu paradoks. Dalam upaya membahas tubuh, peneliti/pemikir segera
berhadapan

dengan

permasalahan

bahasa

yang


lazim

digunakan

dalam

menggambarkan pengalaman manusia tentang tubuhnya. Kesulitan ini terungkap
ketika sebagai manusia individual, Aku secara bersamaan menyebut “memiliki”
(having) tubuh, dan juga secara fundamental tak terelakkan merasa Aku “adalah”

(am) tubuh. Persoalan having dan being ini dipergunakan secara bersamaan sesuai
konteks dan diterima begitu saja sebagai ekspresi eksistensi manusia yang bertubuh.
Jaman sekarang, menyebut “aku memiliki tubuh” lebih mengemuka dalam kehidupan
sosial – khususnya di peradaban Barat kapitalis (O’loughlin, 2006). Hal ini tak bisa
dielakkan manakala gelombang produksi-konsumsi telah meletakkan tubuh dalam
posisi sentral yang berkaitan dengan persoalan menjual, membeli, manajemen
persepsi, dan sebagainya yang menguatkan masalah kepemilikan manusia atas
kebertubuhannya.
Zaner (1964) mengawali ulasannya tentang kebertubuhan dalam diskusi

kefilsafatan, dengan mempersoalkan kesadaran, suatu refleksi tentang bagaimana
kesadaran yang berhubungan dengan dunia secara absolut, dapat menempati karakter
transendensi, dan bagaimana menjadi membumi. Kesadaran dapat “membumi” hanya
karena menubuh (mengambil bentuk sebagai tubuh) sebagai bagian dunia. Sejauh
dunia dipahami sebagai alam material, kesadaran harus mengambil bagian dari
transendensi alam material. Kesadaran dengan demikian mengambil karakteristik
keberadaan “di sini dan sekarang” dengan cara relasi eksperiensial terhadap
keberadaan ragawi yang menubuhkannya. Kebertubuhan dari kesadaran dalam dunia
ini, oleh Zaner ditekankan sebagai animate organism (organisme hidup). Signifikansi
dari organisme hidup ini dalam mengkonstitusikan realitas objektif, pada tahapan
pertamanya oleh Merleau-Ponty disebut dengan “le corps propre” (tubuhnya sendiri,
tubuh hidup).
Istilah kebertubuhan (embodiment) dalam tulisan ini diadopsi dari Kate Cregan
(2006) yang dipergunakan untuk mewakili pengalaman mental dan fisis dari
eksistensi tubuh, yang menjadi kondisi posibilitas keterjalinan seseorang dengan
orang lain dan dengan dunia. Kebertubuhan ini dialami secara beragam melintasi
sejarah, formasi sosial kemasyarakatan, dan budaya-budaya.
Richard Shusterman (2008) berbicara tentang kesadaran bertubuh secara luas
dan mendalam. Dalam kata pengantar bukunya, Shusterman menggiring pembaca
pada suatu argumen negatif tentang kesadaran bertubuh, yang dikatakannya memberi

kesan sebagai keresahan yang menjadi sasaran sesuatu yang jahat. Dia mencontohkan

pernyataan Saint Paul bahwa “nothing good dwells in me, that is, in my flesh”.
Kesadaran bertubuh, daripada sebagai pernyataan kenikmatan, lebih cocok
difokuskan pada pengalaman rasa sakit:
We can easily appreciate, however, why artists would focus on beautifying
the body’s external form and why philosophers would find body
consciousness a disconcerting matter and prefer to think of mind. As bodies
are the clearest expression of human mortality, imperfection, and weakness
(including moral frailties), so body consciousness, for most of us, primarily
means feelings of inadequacy, our falling far short of the reigning ideals of
beauty, health, and performance – a point that also indicates that body
consciousness is always more than consciousness of one’s own body alone.
Moreover, despite its share of intense pleasures, body consciousness is
perhaps most acutely and firmly focused in experiences of pain (Shusterman,
2008: xi).
Pengalaman rasa nikmat atau rasa sakit merupakan kerja mental yang menjadi
cakupan psikologi. Sebagai catatan saja, berbeda dengan aspek fisik, tubuh dalam
kerangka teoritis dan empiris psikologis, hingga saat ini cenderung diabaikan. Hal ini
tak lepas dari pengaruh dualisme Cartesian bahwa hal-hal seperti emosi, sosialitas,

dan kognisi terpisah dari tubuh, sebagaimana program dalam software komputer yang
harus dipelajari terpisah dari hardwarenya (Overton, Mueller, dan Newman, 2008:
xv). Tentang psikologi tubuh, tulisan Ron Kurtz and Hector Prestera berjudul The
Body Reveals: An Illustrated Guide To The Psychology Of The Body memadai untuk
dijadikan referensi wajib. Di situ diperkenalkan apa yang bisa disingkap melalui
struktur, postur, dan fisiognomi tubuh seseorang. Dengan pemahaman yang tepat,
tubuh berbicara jelas, menyingkap karakter dan cara berada seseorang dalam dunia.
Menyingkap kepribadian trauma masa lalu dan masa kini, ekspresi dan
ketidakekspresian perasaan (Kurtz and Prestera, 1976).
Masih banyak bidang-bidang lain yang fokusnya pada analisis investigatif
kebertubuhan yang dapat dipergunakan sebagai peta pemikiran tubuh kontemporer
non-fisis/biologis. Selain psikologi tubuh di atas, bidang-bidang seperti sosiologi
[misalnya tulisan Sue Scott, Body Matters: Essays on the Sociology of the Body
(2005)], kebudayaan [misalnya The Future of Flesh: Cultural Survey of The Body
(2009) dengan Zoe Detsi-Diamanti, Katerina Kitsi-Mitakou,and Effie Yiannopoulou

sebagai editornya, bahkan Victoria Pitts Taylor menjadi editor untuk Cultural
Encyclopedia of The Body (2008)], atau pendidikan [misalnya tulisan Marjorie
O’loughlin, Embodiment and Education: Exploring Creatural Existence (2006)].
Tulisan O’Loughlin (2006) mengkaji tubuh dengan mengkarakterisasikan berbagai

pemikiran di bidang pendidikan yang menyuguhkan tubuh dalam relasi wacananya
dengan kekuasaan yang memungkinkan perbedaan hasil jika pendapat subjektif kuasa
pendidikan terkait ras, etnis, kelas, dan jender juga membedakannya dalam proses
pendidikan. Demikian juga dengan analisis pos-strukturalis dalam hal analisis
kurikulum yang menggarisbawahi adanya produksi pendidikan yang subjektif melalui
karakter rejim kekuasaan institusional (bisa dibandingkan dengan preferensi ideologis
kementerian pendidikan dan kebudayaan di Indonesia dengan kurikulum 2013).
Dalam hal pedagogi tubuh, bidang ini sudah dirambah oleh penulis yang
sekaligus pedansa, Sherry Shapiro. Dalam tulisannya yang merupakan kelanjutan dari
disertasi doktoralnya, Shapiro (2005: xvii) mengangkat tema tubuh dalam kaitannya
dengan persoalan-persoalan pedagogi, seni, dan perubahan sosial-politik. Gugatan
keterasingan (alienation) Shapiro terhadap cara pandangnya sendiri sebagai pedansa
yang saat ditanya salah satu profesor penguji disertasinya: “apa yang kamu pikirkan
tentang tubuhmu?”, Shapiro menjawab lugas: “kami pedansa tidak memikirkan tubuh
kami sendiri”. Keterasingan terhadap tubuh inilah yang kemudian memicunya untuk
mengeksplorasi pedagogi dan politik tubuh dalam arti praksis-kritis.
Berbagai tulisan yang menyiratkan menyeruaknya kesadaran bertubuh sebagai
tema yang up to date dalam wacana akademis, mensyaratkan pemahaman yang
diterima secara universal tentang tubuh. Hal ini bukan dalam arti kontraproduktif
terhadap pengembangan berbagai wacana tubuh untuk kembali pada kedalaman basis

konsep filosofisnya, namun lebih dalam arti kepentingan rekonstruksi konsepsional
yang berlandaskan pada suatu sistem kesadaran kebertubuhan yang setepat-tepatnya
dalam kerangka kemaslahatan umat manusia. Tidak perlu menunggu analisis ilmiah
yang rumit, untuk menyadari bahwa tubuh adalah objek berbagai kepentingan besar
maupun kecil mulai dari kepentingan riset ilmiah, industri kosmetik, olahraga, hingga
militer sebagaimana beberapa tulisan lintas bidang di atas.

Pertanyaan paling awal, dasar, dan universal untuk mengkonstruksi pemahaman
tubuh adalah: “apakah tubuh itu?”, struktur pertanyaan yang mengingatkan pada
pertanyaan ontologis. Persoalan ontologi bukan persoalan tentang bagaimana
mengetahui objek, tetapi kodrat dari sesuatu objek, suatu persoalan yang sedemikian
universal dan mendasar yang tidak bisa disederhanakan dalam berbagai cara, dengan
sekedar objek-objek “fisik”. Persoalan ontologi, dengan demikian melampaui
pembahasan fakta fisis. Tubuh yang dikaji dalam ontologi, berarti tubuh bukan dalam
kerangka karakter fisik individualnya, namun dalam makna kodrat universalitas dan
kodrat mendasarnya. Kodrat universal yang dimaksud, adalah bahwa instansi tubuh
individual digeneralisir sedemikian rupa sehingga mencakup konsep tubuh secara
umum. Kodrat mendasar, dengan demikian berarti konsep tubuh yang dilihat dalam
prinsip-prinsip fundamentalnya.
Oxford English Dictionary mendefinisikan tubuh sebagai “kerangka atau

struktur fisik atau material manusia atau hewan; seluruh organisme material ini dilihat
sebagai sebuah entitas organik”. Tubuh, dengan demikian, disepakati sebagai suatu
entitas material dengan ciri khas ke-material-annya (misalnya berada dalam ruang
dan waktu, atau berkeluasan). Tubuh adalah unsur lahiriah manusia, unsur daging
yang bisa diindera. Opini yang muncul terhadap pendefinisian tubuh seperti rumusan
di atas beraneka ragam. Namun setidaknya, satu hal yang tentu semua orang sepakat,
satu-satunya entitas yang mampu berpikir tentang tubuh, pasti juga memiliki jiwa
(Synnott, 2003: 23).
Manusia adalah tubuh sekaligus jiwa. Tanpa jiwa ia bukanlah manusia,
melainkan hanya mesin biologis. Tanpa tubuh manusia juga tidak menjadi manusia,
karena ia hanya entitas imaterial yang mengambang tanpa basis empiris. Argumentasi
hubungan tubuh-jiwa dalam tradisi filsafat memang berada pada rentang “semesta
rohani” (idealisme) hingga “semesta jasmani” (materialisme). Apapun orientasi
pemikiran yang terbangun dari argumen-argumen di antara kedua rentang tersebut,
kehadiran tubuh dan jiwa secara bersama dalam diri manusia, bisa dirasakan setiap
orang secara natural.

Tubuh manusia sebagaimana tubuh makhluk hidup lain, di satu sisi, merupakan
bagian dari dunia eksternal. Untuk menjadi tuan atas tubuhnya sendiri, setiap
makhluk hidup harus bertindak tidak hanya sesuai dengan apa yang “cenderung”

dilakukan tubuhnya, tetapi apa yang “harus” dilakukannya. Hal ini merupakan
kecakapan yang hanya mungkin dimiliki oleh manusia. Hanya manusialah yang
mampu mempertimbangkan apa yang sungguh-sungguh baik untuk membentuk dan
menjadikan tubuhnya. Hanya manusia yang bisa memaksakan pikiran terhadap tubuh.
Pikiran-pikiran manusia memiliki banyak tingkatan dan fungsi, merentang dari atensi
ke komitmen. Manusia menggunakan pikirannya untuk mendikte apa yang dilakukan
tubuhnya (Weiss, 1969: 40-41).
Oleh karena peneliti (dan orang lain) bisa menceritakan proses tubuh dan
pikiran sebagaimana disebutkan di atas, maka dalam arti sederhana baik tubuh
maupun jiwa, sebenarnya sama-sama bisa diposisikan sebagai objek di suatu konteks
tertentu. Kadar frekuensi, signifikansi, dan/atau intensitas pemosisiannyalah yang
menarik minat berbagai bangunan filsafat maupun ilmu-ilmu khusus untuk
mengeksplorasinya. Pemosisian tersebut secara filosofis, bergerak antara objektivitas
tubuh dan subjektivitas tubuh.

B. Problem Tubuh dan Jiwa
Herbert Feigl menggambarkan persoalan tubuh-jiwa sebagai “sekelompok tekateki yang ruwet – beberapa diantaranya saintifik, yang lain epistemologis …semantis,
dan pragmatis” (Feigl, 1967). Refleksi terhadap debat ini seolah seperti yang
diparodikan Feigl: meskipun sebagian besar penulis menegaskan betapa pentingnya
permasalahan ini, namun semuanya menawarkan interpretasi yang bisa sangat
berbeda tentang apa sesungguhnya permasalahan ini. Sebagian berpendapat bahwa ini
secara mendasar merupakan permasalahan sebab-akibat, masalah interaksi kausalitas
antara fenomena mental dan tubuh. Sementara yang lain menganggap sebagai upaya
penjelasan: eksplanasi macam apa yang dapat diberikan oleh fenomena mental yang
konsisten dengan konsepsi dunia yang disuguhkan ilmu kontemporer? Beberapa yang
menonjol, ciri-ciri khusus dari pikiran, intensionalitas dan kesadaran, adalah hal

utama yang (diklaim) ilmu-ilmu kontemporer tidak memiliki catatan yang memadai
tentangnya, dan setidaknya dalam hal kesadaran, permasalahan dalam memberikan
penjelasan tentangnya kadang kala berputar-putar tanpa jalan keluar.
Konsepsi-konsepsi

berbeda

ini

cenderung

diikuti

alasan

kemunculan

permasalahan tersebut: sebagian menyebut bahwa permasalahan itu muncul didasari
asumsi bahwa tubuh dan jiwa terpisah (dualisme). Asumsi ini mensyaratkan bahwa
penjelasan bagaimana penyebab mental itu dimungkinkan, jika tubuh dan jiwa
terpisah.
Berbagai pendirian “keras kepala” tentang problem tubuh dan jiwa, telah
memunculkan berbagai pandangan filsafat. Persoalan pokok yang seringkali
terumuskan tatkala perdebatan filosofis sekitar problem pikiran-tubuh adalah
rumusan yang bermaksud untuk mengurai relasi metafisik antara yang mental
dan yang fisikal sehingga pada level yang paling mendasar, terdapat dua jenis
jawaban, bahwa yang mental “adalah” fisikal (Monisme) atau bahwa yang mental
“adalah bukan” yang fisikal (Dualisme). Pada tulisan Syamsuddin tentang hal itu
(2006: 296), fisikalisme diajukan sebagai salah satu varian posisi ontologis terkait
permasalahan tubuh dan jiwa. Meskipun demikian bisa dikatakan bahwa fisikalisme
sebagai aliran yang berpendirian bahwa secara fundamental dunia sepenuhnya fisik
bukanlah solusi persoalan tubuh dan jiwa ini, namun justru merupakan salah satu
bagian permasalahannya, walaupun fisikalisme (atau materialisme ilmiah) ini juga
disebut sebagai salah satu paradigma debat kontemporer tentang permasalahan tubuh
dan jiwa, selain paradigma Aristotelian dan paradigma Cartesian (Crane dan Sarah,
2000: 1-2).
Pandangan dari asumsi-asumsi fisikalis menegaskan bahwa dunia itu seutuhnya
fisis, sehingga sulit dipahami bagaimana fenomena mental (khususnya subjektivitas
dan kesadaran) tepat bersesuaian dengan dunia (Crane dan Sarah, 2000: 1).
Sebenarnya pandangan fisikalis di atas bisa ditarik relasi latar belakang pemikirannya
hingga sekitar abad 6-5 sebelum masehi. Para filsuf pra-Sokrates saat itu (misalnya
Phythagoras dan Herakleitos), lazimnya memandang jiwa sebagai semesta tubuh (the
soul is bodily). Hal ini menjelaskan absennya permasalahan relasi tubuh dan jiwa di

jaman itu. Tubuh dan jiwa tidak dipikirkan berbeda secara radikal, perbedaannya
hanya

dialamatkan

pada

kadar

properti

seperti

kehalusan

dan

gerakan

(http://plato.stanford.edu/entries/ancient-soul).
Sementara
sesungguhnya

itu,
adalah

aliran

idealisme

mental,

mengemukakan

pernyataan

yang

bahwa

status

berkebalikan

fisik

dengan

materialisme/fisikalisme. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa dunia fisik adalah
dunia empiris, dan dengan demikian hal ini merupakan hasil pengalaman kolektif
intersubjektif. Idealisme berasal dari kata idea, dari bahasa Yunani Kuno idein (ἰδεῖν)
yang berarti “melihat”. Idealisme dipahami untuk merepresentasi dunia seharusnya,
tidak seperti pragmatisme yang fokus pada dunia yang ada saat ini dan di sini
(http://dictionary.reference.com/browse/idealism).
Idealisme metafisis merupakan doktrin ontologis yang berpandangan bahwa
realitas itu sendiri tidak memiliki eksistensi material (incorporeal), atau dialami pada
tingkat hakikinya Lebih dari itu, di antara kalangan idealis sendiri tak ada
kesepakatan dalam hal aspek-aspek mental apa yang lebih mendasar. Idealisme
platonik menyebut abstraksi sebagai yang lebih mendasar dalam realitas daripada
yang lain, sementara idealisme subjektif dan fenomenalis cenderung menganggap
pengalaman inderawi yang lebih mendasar daripada penalaran abstrak. Idealisme
epistemologis merupakan pandangan yang lebih lemah yang menganggap bahwa
realitas hanya dapat dipahami melalui ide-ide, bahwa hanya pengalaman
psikologislah

yang

dapat

dipahami

oleh

pikiran

(Klein,

2011:

http://www.philosophos.com/knowledge_base/archives_12/philosophy_questions_12.
html).
Kalangan idealis subjektif seperti George Berkeley merupakan anti-realis dalam
arti dunia bebas-pikiran, sementara kaum idealis transendental seperti Immanuel Kant
termasuk golongan yang sangat skeptis terhadap dunia seperti itu, mengafirmasi
idealisme epistemologis, bukan metafisis. Kant mendefinisikan idealisme sebagai
“penegasan bahwa kita tak pernah pasti apakah semua dugaan pengalaman luar kita
itu bukan sekedar imajinasi”. Kant menyatakan dalam Critique of Pure Reason
bahwa menurut idealisme, “realitas objek-objek eksternal tidak memiliki bukti-bukti

kuat. Sebaliknya, realitas objek pemikiran internal kita...jelas dengan sendirinya
melalui kesadaran”. Namun demikian tidak semua kaum idealis membatasi yangnyata atau yang-diketahui dari pengalaman subjektif langsung. Kaum idealis objektif
membuat pernyataan tentang dunia trans-empiris, namun secara tegas menolak jika
dunia ini diceraikan dari atau didahulukan secara ontologis dari yang-mental. Dengan
demikian Plato dan Gottfried Leibniz mengiyakan bahwa realitas objektif dan dapat
diketahui itu mentransendensi kesadaran objektif – penolakan terhadap idealisme
epistemologis – namun mengemukakan bahwa realitas ini berdasarkan pada entitas
ideal, suatu bentuk idealisme metafisis. Tak satupun dari kedua idealis metafisis itu
sepakat terhadap hakikat yang-ideal; bagi Plato, entitas-entitas fundamental itu adalah
bentuk-bentuk abstrak non-mental, sementara bagi Leibniz entitas itu adalah mental
primitif

(proto-mental)

dan

monade

konkrit

(Klein,

2011:

http://www.philosophos.com/knowledge_base/archives_12/philosophy_questions_12.
html).
Idealisme klasik seperti idealisme monistik beranggapan bahwa kesadaran,
bukan materi, sebagai yang mendasar dari semua keberadaan. Disebut monis/mono,
karena hanya satu jenis keberadaan di semesta dan idealis karena beranggapan bahwa
satu hal yang menjadi kesadarannya. Plato dengan “idea”-nya menggambarkan
bentuk-bentuk ideal sebagai keberadaan universal yang bebas dari hal-hal partikular.
Plato beranggapan bahwa materi itu riil meskipun fana dan tidak sempurna, dan
dipersepsi secara langsung oleh jiwa rasional. Dengan demikian Plato adalah dualis
metafisis dan epistemologis (posisi yang berusaha dihindari idealisme modern),
meskipun Simone Klein menyebut “Idea”-nya sebagai "the earliest representative of
metaphysical

objective

idealism"

(Klein,

2011:

http://www.philosophos.com/knowledge_base/archives_12/philosophy_questions_12.
html).
Berbagai pemahaman ontologis tentang realitas berujung pada pokok-pokok
aliran yang kesemuanya memiliki argumen sendiri-sendiri, yang terkadang saling
bersinggungan atau sebaliknya saling bertentangan satu dengan yang lain, tentang
bagaimana mendefinisikan hakikat realitas. Aliran-aliran “besar” seperti idealisme

atau materialisme, pada gilirannya memunculkan aliran-aliran dalam ontologi
filosofis yang beragam sesuai konteks pembicaraan. Hal ini belum termasuk jika
memperbincangkan realitas dari sudut pandang epistemologi, yang juga “berakar,
berbatang, berdahan, bercabang, dan beranting” paham yang mengikuti berbagai
argumentasinya. Tidak bisa dipungkiri, persoalan tubuh dan jiwa ini menempati
posisi abadi yang dipersoalkan sepanjang keberadaan filsafat dengan berbagai
argumen dan alirannya hingga saat ini. Problem tubuh dan jiwa menyeruak kokoh
sebagai problem filsafat abadi, karena tidak ada kesepakatan bagaimana membangun
secara memuaskan, suatu gambaran besar yang utuh dari perpaduan tubuh dan jiwa.
Tesis penulis (2003) salah satu hasilnya adalah mengetengahkan tentang konsep
filosofis tubuh, berangkat dari negeri asal mula lahirnya filsafat, yakni Yunani Kuno.
Yunani Kuno memuja tubuh. Patung, lukisan, dan keramik mereka yang terbuat dari
batu, cat, dan tanah liat merayakan indahnya postur tubuh manusia yang telanjang.
Perlombaan Olimpiade di lereng suci Gunung Olimpus, merayakan kekuatan dan
kekuasaan tubuh. Mereka tampaknya memiliki sikap yang sangat fleksibel terhadap
seks, terutama di Athena yang dilegalkan oleh lysistrata. Orang Yunanilah yang
pertama-tama mengembangkan teori mengenai kecantikan (Pramono, 2003: 24).
Ketelanjangan bagi orang Yunani waktu itu adalah metafor untuk “keberanian yang
telanjang”. Jadi, proses pengetahuan sejati adalah proses penyingkapan objek,
penelanjangan, tersingkapnya seluruh bagian. Puncak pengetahuan adalah theoria,
yaitu memandang dengan teliti dan tepat. Makna antropologis tubuh masa Yunani
Kuno oleh karenanya, ketelanjangan berada dalam satu kerangka metafisika dengan
pengutamaan jiwa (Bambang, dalam Kalam, 2000: 28).
Synnott (2003: 24) mencatat satu hal penting, bahwa meskipun kebudayaan
Yunani berpusat pada tubuh dan memuja tubuh “ideal”, namun tidak ada konsensus
filsafati mengenai tubuh. Teori tentang hubungan tubuh dan jiwa bermacam-macam,
mulai dari yang sangat mengutamakan jiwa sampai dengan yang mementingkan
tubuh. Beberapa aliran tersebut adalah sebagai berikut.
1. Hedonisme, di mana penciptanya, Aristippus (435-366 SM) menegaskan bahwa
“kesenangan tubuh jauh lebih baik daripada kesenangan jiwa”.

2. Epikureanisme, lawan dari hedonisme. Epikuros (341-270 SM) pendiri madzab
Epikureanisme menyatakan dengan tegas: “kita menyebut kesenangan sebagai
alfa dan omega bagi kehidupan yang diberkati. Kesenangan adalah kebaikan kita
yang pertama-tama, dan tertinggi”. Bagi kaum Epikurean, (kesenangan) jiwa
lebih baik dari (kesenangan) tubuh.
3. Orfisme yang didirikan salah satu pahlawan Yunani, meyakini dari kisah
pembunuhan Dionysus oleh Titan, bahwa tubuh harus dianggap sebagai makam
jiwa. Kehidupan Orfik ditujukan untuk mengembangkan “kodrat Ilahi” melalui
asketisme: pantang daging, anggur, dan hubungan seksual (Synnott, 2003: 24-25).
Filsafat soma-sema ini (tubuh = makam) meskipun tidak populer, namun
mempengaruhi beberapa filsuf utama pada masa-masa berikutnya seperti Pythagoras,
Sokrates, dan Plato, dan kemudian Neoplatonisme dan Kristianitas.
1. Sokrates (466-399 SM) menggambarkan jiwa sebagai “tawanan yang tidak
berdaya, dengan tangan dan kaki dirantai, dipaksa untuk melihat realitas tidak
secara langsung, melainkan hanya melalui jeruji-jeruji penjara”. Tubuh merupakan
‘perangkap’ jiwa, sebuah ‘rintangan’ dan sebuah ‘kelemahan, yang terus menerus
memotong, mengganggu, memecah belah dan mencegah kita untuk memperoleh
secuil kebenaran… Ia memperbudak dan membelenggu kita… Sesungguhnya
tubuh adalah ‘makam’ (kuburan) jiwa (Plato, 1963: 66, 47-50, 437). Tubuh dan
jiwa tidak hanya terpisah, namun juga bertentangan.
2. Plato (427-348 SM) mempertahankan dualismenya dengan mengatakan bahwa
“jiwa sungguh-sungguh lebih unggul daripada tubuh… tubuh tidak lebih daripada
bayang-bayang yang terus menjaga kita untuk tetap utuh… Hanya di dalam
kematian saja ‘jiwa… dibebaskan dari keinginan-keinginan dan nafsu jahat
tubuh’” (Plato, 1963: 1503, 4661). Namun Plato tidak seluruhnya menyangkal
tubuh. Ia juga mengatakan bahwa tubuh molek adalah jalan pertama menuju
Keindahan Absolut dan Tuhan. Ini berarti, menurutnya tubuh dapat mendekatkan
manusianya kepada Tuhan, atau menjauhkannya. Tubuh yang indah dapat
menginspirasikan para filsuf, atau sebaliknya merintangi, mencemari dan
membelenggu filsuf yang sama (Synnott, 2003: 26-27).

3. Aristoteles (384-322 SM), bekas murid Plato, sangat tertarik kepada tubuh, dan
menolak dualisme Plato dan negativisme tubuh. Ia mendefinisikan jiwa sebagai
‘prinsip kehidupan’, dan menggambarkannya sebagai ‘bentuk istimewa dari tubuh
yang hidup’. Tidak ada yang satu tanpa yang lain. Tetapi ia menyetujui Plato
bahwa jiwa lebih unggul daripada – dan memerintah – tubuh. Bisa dikatakan,
dalam filsafat Aristoteles masih terdapat dualisme (meski tanpa negativisme)
ketika menegaskan bahwa manusia harus merawat tubuh ‘demi kebaikan jiwa’,
dan bahwa ‘akal lebih dari apapun dalam membentuk manusia’ (Synnott, 2003:
27).
Menurut A.N. Whitehead, sejarah filsafat Eropa adalah catatan kaki Plato.
Tampaknya ini benar sejauh berkaitan dengan filsafat tubuh; karena dua pandangan
mengenai tubuh yang bersaing ini – dualis melawan monis, idealis melawan
materialis, negatif melawan positif – tetap ada dalam filsafat barat. Pada kubu
idealisme, kaum Stoik mengembangkan dualisme dan idealisme Plato, begitu pula
dengan asketisisme Kristen. Selain itu dualisme turut mempengaruhi banyak pemikir
yang berbeda seperti Agustinus dan Descartes. Sedangkan kubu materialisme diusung
dari Hedonisme dan Epikurianisme, melalui Marxisme, menuju eksistensialisme
kontemporer (Synnott, 2003: 27-28).
Pada masa Kekaisaran Roma, Stoisisme merupakan filsafat yang dominan, dan
memberikan pengaruh yang sangat kuat atas pemikiran Kristen selama tahun-tahun
pembentukannya. Di abad 65 SM, Seneca misalnya, mengemukakan konsep tubuh
yang meninggikan dualisme dan idealisme Plato: “Alam telah melingkupi jiwa kita
dan memberikan tubuh sebagai mantelnya”. Meskipun demikian, Seneca tidak terlalu
menolak tubuh, berbeda dengan filsuf Romawi di abad 1 M, Epiktetus, yang lebih
negatif: dia menggambarkan tubuh sebagai kotoran, penyakit, dan sesuatu yang rusak.
Markus Aurelius juga mengafirmasi konsep tubuh seperti itu Namun kebanyakan
orang Roma juga masih menghargai tubuh, setidaknya terekam dari Ptolemius
(astronom) yang membayangkan tubuh sebagai sebuah kosmos. Demikian juga
orang-orang Cyrenaik yang menunjukkan kesenangan atas tubuh fisik dan seks pada
khususnya, sesuatu yang ditentang kaum Stoik (Synnott, 2003: 29). Setiap periode

jaman, Yunani Kuno, Romawi, Kristen, tampaknya memiliki relasi “cinta-benci”
dengan tubuh.
Di Kristianitas, tubuh terkadang dilihat sebagai bait Allah, namun juga sebagai
musuh. Hal ini nampak misalnya pada aspek-aspek pengajaran Paulus bahwa tubuh
memang rusak namun mulia, dikuasai namun disucikan, disalibkan namun
dimuliakan, menjadi musuh namun menjadi juga bait dan anggota tubuh kristus
(Synnott, 2003: 34). Ajaran Islam1 tidak jauh berbeda dengan Kristen ini sejauh
menyangkut konsep tubuh. Dilihat dari aspek ibadah, puasa merupakan contoh
langsung pengekangan terhadap tubuh sekaligus penyucian terhadapnya. Demikian
juga dengan wudhu (syarat sah sholat dengan melakukan serangkaian ritual
pembasuhan tubuh), yang mencerminkan penghargaan atas tubuh fisik untuk diangkat
ke kesucian spiritual.
Tubuh sekuler dan privat menyeruak sebagai tema besar masa Renaisans.
Sedangkan tubuh sebagai mesin adalah konsep kunci sejak Descartes hingga masa
modern yang sekaligus melandasi sebagian besar proyek pemikiran dan rekayasa
saintifik-teknologis masa modern. Ini dilanjutkan di abad 20 dengan melihat tubuh
sebagai mekanika, diselingi dengan konsep unggul ras dalam kebertubuhan Nazi
Jerman dan berbagai mosaik kebertubuhan di berbagai kultur yang berbeda. Akhirnya
muncul konsep tubuh sebagai diri, yang diusung filsafat eksistensialisme, misalnya
Sartre: “Aku adalah tubuhku yang menunjukkan isi siapakah aku” (Synnott, 2003: 41,
47, 55, 61, 64).
Filsafat tubuh setelah masa-masa Yunani Kuno bergantian antara pandangan
yang monistik dengan dualistik, antara yang idealistik dengan yang materialistik,
antara yang mengutamakan jiwa dengan yang mengutamakan tubuh. Di sini bisa
ditemukan aliran idealisme dan materialisme di masa-masa Romawi, arus pemikiran
Yahudi, di masa dominasi gereja atau di masa renaissance, dan juga di jaman modern.
Belum lagi kekayaan tersembunyi pemikiran di daerah Asia tentang tubuh yang pada

1

Penulis masih belum (sempat) menemukan ulasan filosofis Islam terhadap konsep tubuh ini. Tentu
saja, ini menjadi tantangan intelektual (dan personal) bagi penulis.

awal-awal abad ke-21 ini menjadi fenomena tersendiri (lihat misalnya: Capra, 1997;
Chopra, 1996).
Konstruksi-konstruksi politis dan filsafati mengenai tubuh tumbuh bersamaan
dengan konstruksi-konstruksi ilmiah. Perkembangan mutakhir dalam ilmu kedokteran
telah mendorong konstruksi atas tubuh menjadi lebih mekanistik dan materialistik,
lebih dari yang dibayangkan Descartes. Dari ilmu kedokteran, bergelombanglah
paradigma-paradigma terbaru: tubuh plastis (dapat dibentuk dan dipilih berdasar
kebutuhan), bionik (organ-organ buatan seperti mata elektronik), dan holistik
(penekanan konteks total pikiran-tubuh). Synnott (2003: 69) menyimpulkan beberapa
ciri tubuh kontemporer berdasar paradigma terbaru tersebut:
1. tubuh merupakan sesuatu yang komunal (dengan bagian-bagian yang dapat
diganti-ganti, bahkan dengan organ binatang);
2. tubuh direkayasa (terutama rekayasa genetika, seperti kloning);
3. tubuh dipilih (dari katalog bank sperma dan ovum).
Pemahaman kontemporer tentang tubuh salah satunya datang dari fisika
kuantum, yang pada dasarnya memberi tekanan besar pada aspek subjektivitas.
Dalam pandangan ini, realitas adalah medan kuantum, medan transformasi yang terus
menerus mengalir, di mana setiap partikel padat sesungguhnya adalah gerakan energi,
di mana tubuh seperti halnya segala sesuatu di alam ini terus menerus dibuat baru
setiap detik. Tubuh padat yang dialami hanyalah realitas yang paling dangkal. Tubuh
adalah sesuatu yang mengalir dan ditenagai oleh kecerdasan kosmik yang telah
bekerja jutaan tahun. Setiap sel dalam tubuh itu hanyaklah sebuah terminal kecil yang
sesungguhnya terkait pada komputer intelejensi kosmik itu. Jadi tubuh, kendati pada
dirinya sendiri merupakan totalitas khas, ia dibentuk, dihidupi, dan diperbarui terus
menerus oleh jalinan energi kosmik yang cerdas dan kreatif. Dalam konteks ini tubuh
berbentuk sekaligus tak berbentuk, “ada” sekaligus “menjadi”, beridentitas sekaligus
senantiasa berubah, hasrat sekaligus nalar, dan sebagainya. Pemikiran macam ini
agaknya layak dijelajahi lebih lanjut (Bambang, dalam Kalam, 2000: 31 dan 42).
Paradigma-paradigma terbaru muncul di akhir abad 20 dan awal abad 21
dengan tubuh plastis, bionik, holistik, yang mengiringi konstruksi-konstruksi politis

dan filosofis berbarengan dengan konstruksi-konstruksi ilmiah, khususnya dunia
kedokteran (Synnott, 2003: 66). Tidak diragukan lagi, redefinisi kebertubuhan ini
akan terus berlanjut seiring perkembangan kesadaran bertubuh dalam konsep filosofis
maupun ekstensifikasi dan intensifikasi ilmu-ilmu khusus. Relasi “cinta-benci” atau
“positif-negatif” dengan tubuh, masih diprediksi fluktuatif seiring dengan
perkembangan pemikiran, kultur, dan sains kontemporer.
Kebudayaan kontemporer, dikatakan oleh Shusterman (2008: xi), sedang dan
semakin menderita dalam tiga hal: problem perhatian (attention),

perangsangan

berlebih (overstimulation), dan ketegangan mental (stress). Tiga hal ini menjebak
dunia ke dalam serangan wabah ketidakpuasan personal dan sosial yang berasal dari
citra-citra tubuh yang menipu. Shusterman kemudian mengajukan kesadaran tubuh
(body consciousness) sebagai obat kondisi sedemikian tadi, dan melaluinya wawasan,
performa, dan kesenangan bisa meningkat. Penelitian ini adalah salah satu upaya ke
arah kesadaran tubuh tersebut.

C. Filsafat Tubuh dalam Olahraga
Literatur (Barat) tentang filsafat olahraga, dalam pengamatan Klause V. Meier
(dalam Morgan dan Meier (eds.), 1995: 89) sebagian berkutat pada penyelidikan
antropologis tentang hakikat dan struktur manusia, terutama persoalan tubuh dan jiwa
yang diterapkan atau dimanifestasikan ke dalam bidang olahraga. Sayangnya, masih
menurut Meier, usaha-usaha penelitian filsafat tentang permasalahan kebertubuhan
dan olahraga acapkali menghasilkan eksposisi yang penuh dengan ungkapanungkapan yang ngawur, penegasan-penegasan yang lemah, dan penyimpulan yang
tidak mendukung dan keliru.
Beberapa

pemikir

kontemporer

mengangkat

dan

membangkitkan

isu

penghargaan atas tubuh dan olahraga dengan berpijak pada eksplorasi filosofis
terhadap tradisi kultural dan fenomena keolahragaan sepanjang sejarah. Salah satunya
adalah seorang filsuf modern yanog secara radikal menggugat prinsip-prinsip
pemikiran sosial (terutama moralitas) tradisional dengan merujuk tradisi kultural di
Yunani Kuno, yakni Nietzsche (Pramono, 2003: 58).

Bukan tempatnya di sini untuk mengeksplorasi secara sistematis pemikiran
Nietzsche, namun keterkaitannya dengan penghargaan intelektual atas “tradisi
kebertubuhan” relevan untuk disinggung sebagai contoh dan referensi menuju
kehidupan kultural Yunani Kuno dalam relevansinya dengan tubuh dan olahraga. Di
samping itu, kelahiran olimpiade modern sebagai representasi keolahragaan
internasional yang berakar dari jaman Yunani Kuno dan juga mewakili nilai-nilai
penghargaan atas tubuh, dalam bagian berikut ini juga akan dideskripsikan dan
dianalisis secara kritis.
Barangkali dianggap ganjil apa yang dinyatakan Pindar (dalam Pramono, 2003:
58), bahwa olahraga itu “keramat”, dan bahwa situs agama mencakup juga stadion
tempat pertandingan atletik berlangsung selama perayaan keagamaan. Mitos dan
agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang membantu
perkembangan kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan budaya dasar.
Keduanya juga merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensi keduniaan, dan bukan
sebagai kerajaan transenden dari pembebasan. Nuansa keduniawian tampak pula pada
ekspresi

naratif

tentang

kehidupan,

rentang

luas

pengalaman

manusiawi,

situasionalnya dan suka dukanya. Manifestasi kesakralan terwujud dalam prestasi dan
kekuasaan duniawi, kecantikan visual dan campuran dari daya-daya persaingan yang
berpengaruh pada situasi kemanusiaan.
Budaya Yunani Kuno juga sepenuhnya bersifat agon, persaingan. Puisi-puisi
Homer dan Hesiod menampilkan konflik dan kekuatan-kekuatan yang bersaing.
Wajah realitas Yunani Kuno juga mewujud dalam kekuatan-kekuatan yang bersaing
ini: atletik, keindahan fisik, kerajinan tangan, seni-seni visual, nyanyian, tarian,
drama dan retorika (Crowell, 1998: 7).
Signifikansi agon dapat lebih dipahami dari pandangan tentang kepahlawanan
ideal. Dalam Iliad-nya Homer, keberadaan manusia secara esensial adalah mortal dan
terarah pada takdir negatif melampaui kendali manusia. Kematian dapat mencapai
kompensasi istimewa: keduniawian, kejayaan dan kemasyhuran melalui pengambilan
resiko dan pengkonfrontasian kematian pada medan perang, melalui pengujian
keberanian manusia melawan ksatria lain dan kekuatan nasib. Hal terpenting di sini

adalah bahwa makna keutamaan terhubung dengan batas-batas dan resiko. Dapat
digeneralisir – dalam Iliad itu – bahwa tanpa kemungkinan untuk kalah atau gagal,
kemenangan atau keberhasilan tak akan berarti apa-apa (Hatab, dalam Pramono,
2003: 59).
Atletik (olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut dengan atletik untuk
kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting dalam dunia Yunani Kuno. Kata
atletik berasal dari kata athlos yang berarti konflik atau perjuangan, dan dapat secara
langsung diasosiasikan dengan persaingan, di mana kompetisi di tengah-tengah
kondisi keterbatasan niscaya membangkitkan makna dan keutamaan. Apa yang
membedakan kontes atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa
atletik menampilkan dan mengkonsentrasikan elemen-elemen duniawi dalam
penampilan fisik dan keahlian, keindahan tubuh, dan hal-hal khusus dari tontonan
dramatis (Pramono, 2003: 60).
Kontes atletik, seperti yang tampak dalam Iliad, menunjukkan penghargaan
yang tinggi masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikan sebagai
semacam ritual agama dan terorganisir dalam mana kompetisi-kompetisi fisik
ditampilkan sebagai analog mimetic (secara menghibur) dari penjelasan agama – baik
tentang nasib dan kepahlawanan – dan sebagai penjelmaan rinci signifikansi kultural
agon (Pramono, 2003: 60).
Sekarang, signifikansi olahraga menurun di dunia Yunani, justru dengan
datangnya statemen-statemen filsafat sebagai kompetitor kultural. Nilai penting dari
tubuh dan aksi secara bertahap dikalahkan oleh tekanan pada pikiran dan refleksi
intelektual. Ketertarikan terhadap transendensi spiritual dan tertib alam menggeser
pengaruh mitos-mitos dan religi seperti dijelaskan di atas. Meskipun Plato dan
Aristoteles mengusung nilai penting latihan fisik dalam pendidikan, namun mereka
memulai sebuah revolusi intelektual yang meremehkan nilai penting kultural
keolahragaan. “Remeh” justru karena keterkaitan erat olahraga dengan tubuh, aksi,
perjuangan, kompetisi, dan prestasi kemenangan (Pramono, 2003: 60).
Dalam salah satu frase ulasan ilmiahnya, Hatab mengatakan bahwa Nietzsche
melewatkan hal penting dalam pemikirannya: dia seharusnya melihat pertandingan

atletik sebagai ekspresi filsafatnya sendiri dan sebagai satu bagian penting
kebudayaan (Pramono, 2003: 61). Hatab mendasarkan pernyataannya ini pada dua
hal.
a. Tema-tema penting yang diajukan Nietzsche seperti will to power, sublimation,
embodiment, spectacle dan play terarah pada aktivitas atletik dan aktivitas
olahraga.
b. Di dunia Yunani Kuno yang sering dirujuk Nietzsche, olahraga tidak hanya
populer, tetapi juga menempati nilai penting dalam kebudayaan yang tak pernah
ditemui dalam kebudayaan lain.
Namun demikian, bisa dipahami mengapa Nietzsche melewatkan olahraga sebagai
hal vital dalam pemikirannya. Selain karena fokus pemikiran dan kegiatan Nietzsche
tidak mengarah pada olahraga, di abad 19 itu Jerman tidak begitu menekankan
pengorganisasian olahraga (Pramono, 2003: 61).
Konsep-konsep sentral dan fundamental Nietzsche yang memberi tengara kuat
bahwa olahraga menempati posisi kultural yang penting, dan juga mendasari alasan
orang begitu menikmati pertandingan olahraga, di antaranya adalah kehendak untuk
berkuasa, sublimasi, perwujudan, pertunjukan dan permainan. Hatab (dalam
Pramono, 2003: 62) mengulas pandangan Nietzsche tersebut dalam sebuah kerangka
yang radikal, dan dia menegaskan bahwa perspektif Nietzsche tentang tema-tema
tersebut merupakan perspektif filsafati mendalam dan sekaligus ekspresif.
Perspektif naturalistik Nietzsche ini menjelaskan mengapa banyak orang
menyukai permainan dan menyaksikan pertandingan olahraga, dan kenapa hal-hal
tersebut dapat dianggap memiliki nilai dan manfaat yang besar. Pertunjukan atletik
adalah penampilan dan proses produksi makna kultural yang penting. Ini dapat dilihat
dari efek kesehatan dan pengembangan keahlian fisik. Selain itu, pertunjukan
olahraga juga dapat dipahami sebagai tontonan publik yang mendramatisir
keterbatasan dunia yang hidup, prestasi teatrikal dari keadaan umat manusia,
pengejaran, perjuangan-perjuangan sukses dan gagal. Dari sudut pandang
pengembangan sumber daya manusia, sudah jelas bahwa olahraga dapat menanamkan

kebajikan-kebajikan tertentu dalam keikutsertaan disiplin, kerja tim, keberanian, dan
intelegensi praktis (Pramono, 2003: 62).
Konsekuensi dari semua itu, permainan olahraga cukup “serius” untuk diangkat
ke tingkat penghargaan budaya yang lebih tinggi, sehingga filsafat mau tak mau harus
berani mengkaji ulang “tradisinya” sendiri yang menekankan jiwa atas tubuh,
harmoni atas konflik, dan mengakui bahwa olahraga memiliki kandungan nilai-nilai
fundamental bagi keberadaan manusia. Begitulah, di dunia Yunani Kuno, lokus asal
muasal pemikiran filsafat Barat, olahraga tak hanya populer, tetapi menempati
penghargaan kultural terhormat (Pramono, 2003: 63).
Meskipun demikian, bukan berarti filsafat selalu mengabaikan tubuh
sebagaimana didengungkan sebagian besar pembela somatik (tubuh). Tubuh justru
mendesak dengan kehadirannya yang amat kuat (meskipun dalam arti negatif) dalam
persistensi filsafat pikiran. Citra negatif ini – sebagai penghuni penjara, gangguan,
sumber kesalahan, dan korupsi – direfleksikan dan diperkuat oleh prasangka idealistik
dan pengabaian pengembangan somatik yang ditampilkan umumnya filsuf Barat (dan
juga para filsuf non-Barat).
Shusterman (2008: ix) memperhatikan bahwa filsafat (kuno) dipraktekkan
sebagai jalan hidup kebertubuhan dengannya bidang-bidang kajian somatik dibentuk
sebagai bagian pentingnya, bahkan ketika kajian-kajian itu kadang-kadang
mengasumsikan ciri penghukuman tubuh dalam filsafat di mana jiwa dan pikiran
diupayakan meraih kebebasan dan kekuatan melalui penyangatan asketisme somatik.
Plotinos misalnya, sedemikian merasa “termalukan dengan ‘ada’-nya tubuh” dan
berjuang keras mentransendensikan hal tersebut dengan tidak hanya dengan
pembatasan super drastisnya, namun bahkan “abstain menggunakan kamar mandi”.
Pernyataan Socrates dalam Memoirs of Socrates-nya Xenophon, bisa
diketengahkan sebagai semangat penting penghargaan kultural terhadap “olah tubuh”,
yang diwakili secara strategis melalui olahraga:
Lagipula, memalukan membiarkan dirimu menua dalam sia-sia sebelum
melihat bagaimana kamu mengembangkan kecantikan dan kekuatan maksimal
tubuh; dan kamu tidak memiliki pengalaman ini jika kamu adalah orang yang

lalai dan abai, karena hal-hal seperti ini umumnya tidak terjadi dengan
sendirinya (dalam Shusterman, 2008: vi).
Frase “tidak terjadi dengan sendirinya” dalam uraian Socrates tersebut
berimplikasi pada penafsiran dominan tentang pentingnya olahraga sebagai aktivitas
dominan dari “olah tubuh”. Namun demikian, Crowell (1998: 113) dengan
mengeksplorasi secara mendalam fenomena olahraga sebagai tontonan dan
permainan, mengungkap sisi-sisi buramnya: brutalitas, agresifitas, dan “merusak
kesehatan”. Dalam hal yang terakhir, olahraga disebutnya sebagai alat alamiah untuk
“war on drugs”, olahraga ditampilkan sebagai alternatif pengobatan ketika para
praktisi terkemuka menemukan obat-obatan sebagai bagian alami dari gaya hidup
atlit olahraga.
Apabila di jaman Yunani Kuno atlitnya mendemonstrasikan atletik dengan
keahlian yang langsung berimplikasi pada keseharian si atlit, di mana nilai-nilai
keksatriaan dimunculkan, pada atlit sekarang keberanian sedemikian otonomnya,
sehingga yang menampak adalah demonstrasi ketidakbermaknaan kecakapan.
Tontonan

menawarkan

individu-individu

yang

mengkonsentrasikan

seluruh

keberadaannya, ke dalam satu permasalahan. Individu-individu tersebut meniru apa
yang oleh Nietzsche disebut “inverse cripples” (ketimpangan terbalik), di mana
keberadaan manusia “kurang segala sesuatunya kecuali untuk satu hal yang mereka
terlalu banyak memilikinya – keberadaan manusia yang adalah tak lain daripada mata
besar, mulut besar, perut besar, segalanya serba besar” (Crowell, 1998: 115). Ini bisa
secara pintas lalu diamati pergeseran nilai antara olimpiade kuno dengan olimpiade
modern.
Olahraga merupakan bagian dari atau salah satu segi dari sejarah peradaban
manusia. Dalam kehidupan manusia primitif dijumpai hal-hal yang dapat
dikualifikasikan sebagai olahraga. Mereka memerlukan fisik yang kuat serta tangguh
untuk melawan segala macam tantangan hidup. Orang Yunani Purba sebagai bagian
dari kisah peradaban besar umat manusia tak luput dari tuntutan alam ini. Mereka
adalah bangsa yang indah, berkat keindahan alamnya. Keindahan sempurna baginya
adalah harmoni dan keseimbangan. Manusia yang sempurna bagi mereka adalah

manusia harmonis, seimbang badani dan rohani. Maka pendidikan Athena di masa
lalu juga ditujukan ke arah pembentukan manusia harmoni, yang tersedia dalam
Gymnastik dan Musik. Gymnastik pada saat itu meliputi pendidikan dan
pengembangan badani yang sempurna, teristemewa terdiri atas gerak-gerak badani
yang kini ada dalam olahraga atletik. Sedangkan musik tak terbatas pada seni suara
saja, melainkan juga merangkum segenap santapan rohani yang meliputi dasar-dasar
pelajaran sekolah, aneka rupa kesenian, filsafat dan ilmu pengetahuan. Berkat
pendidikan seperti ini, tak heran bila peradaban besar di Yunani Kuno dikenang
orang, bukan hanya sebagai asal muasal kelahiran filsafat, namun juga karena
kebudayaannya secara umum (Pramono, 2003: 64-5).
Hidup orang Yunani Kuno dipengaruhi oleh tradisi kultural Agon (persaingan),
idee (paham) yang bercirikan kompetisi, keinginan untuk melebihi orang lain baik
jasmaniah maupun rohaniah. Olimpiade merupakan tempat persaingan yang sungguhsungguh dilegalkan (konsisten dengan moto olimpiade: citius, altius, fortius – lebih
cepat, lebih tinggi, lebih kuat). Olahraga elit modern paralel dengan olahraga Yunani
Kuno. Tetapi juga terdapat perbedaan penting antara keduanya: satu karakteristik
penting yang membedakan adalah kepercayaan terhadap kemajuan yang kontinu, dan
hasrat untuk rekor baru (Young, 1984: 102).
Segi positif dari Olimpiade Kuno adalah bahwa perlombaan itu memupuk sifatsifat kejujuran atau sportivitas. Orang Yunani Kuno menyebut sifat-sifat utama
dengan istilah Aidos (keksatriaan), yang berarti perasaan hormat terhadap yang
berasal dari dewata, terhadap sesama, dan terhadap diri sendiri. Selain kejujuran,
sifat-sifat utama itu meliputi sifat takzim, sopan, beradab. Sifat utama lain, yang
muncul dari permainan olimpiade adalah damai dan persatuan. Suku-suku bangsa
yang senantiasa bertikai pada pergelaran olimpiade itu bersatu dalam damai.
Permainan olimpiade merupakan peninggalan kebudayaan Yunani Kuno yang dapat
dianggap sebagai buah tradisi pendidikan Yunani Kuno. Selain berfungsi sebagai
misi penyerasi pertumbuhan ideal badani dan rohani, olahraga dalam olimpiade masa
itu untuk mengundang perdamaian sebagai alat untuk gencatan senjata Zeus
(Pramono, 2003: 65-6).

Sedemikian pentingnya pendidikan ke arah tubuh yang ideal, sehingga
pergelaran Olimpiade itu sendiri dipersembahkan sebagai bukti bakti kepada
Mahadewa Zeus, hadiahnyapun sekadar karangan mahkota dafnah (cabang daun
zaitun) yang meskipun sederhana, namun merupakan cita-cita tertinggi bagi orang
Yunani untuk memperebutkannya di bawah kaki dewata. Di hadapan altar Zeus,
Penghukum Sumpah menerima sumpah para pemain untuk tidak curang. Api suci
yang berasal dari nyala tangkai dafnah menandai permulaan lomba. Orang yang cacat
secara hukum dilarang ikut, dan perempuan sama sekali dilarang melihat dan
diancam mati bila melanggar (Pramono, 2003: 66-7).
Selama lebih dari sepuluh abad, permainan ini hidup terus dan mencapai
puncaknya dengan diikuti kemenangan di medan perang orang Yunani Kuno yang
bersatu menghadapi Parsi di Marathon dan Salamis. Di masa itulah Pheidias
membuat patung cemerlang Zeus yang hingga kini tak tertandingi kesempurnaannya.
Saat itu pula Pindaros dan Homeros mendendangkan lirik syair-syairnya. Tetapi
setelah itu, tibalah masa dekadensi dengan masuknya olahraga nafkah (olahraga yang
tak lagi memperebutkan piala seperti mahkota dafnah, tetapi sudah bergeser dengan
tujuan mencari sensasi-sensasi dan nominal uang). Agama Kristen menimpakan
pukulan penghabisan atas Olimpiade dengan pelarangan permainan itu oleh Kaisar
Theodosios Besar tahun 394 M, atas nama perlawanan dan pembasmian kebiasaankebiasaan “menyembah berhala” (Pramo