Dilema Kebijakan Luar Negeri SBY Melawan

Dilema Kebijakan Luar Negeri SBY
Melawan Terorisme
Oleh:

EVITA
NIM: 13/355879/PSP/4813
Email: liem.evita@gmail.com

Kebijakan luar negeri di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dalam memberantas aksi terorisme menunjukan kondisi yang sangat dilematis terutama
pasca tragedi Bom Bali II. Kondisi dilematis tersebut diakibatkan oleh langkah SBY:
apakah harus mandiri atau bekerjasama dengan pihak luar dalam menyelesaikan aksi
terorisme di Indonesia. Selain itu, pengeboman di depan Kedutaan Australia di Jakarta,
Hotel J. W Marriot, beberapa tempat ibadah serta aksi terror bom lainnya telah banyak
memakan korban dan meninggalkan luka bagi kerukunan antar umat beragama di
Indonesia dimana kondisi ini semakin memperparah situasi dilematis tersebut. Situasi ini
mendorong SBY untuk mengkaji sistem keamanan yg harus dilakukan oleh Indonesia baik
dalam negeri maupun luar negeri. Dan juga mengambil pilihan yang sulit antara lain
dengan bekerjasama dengan negara-negara besar lainnya untuk membantu menangani
teroris dengan resiko membiarkan banyaknya campur tangan dalam bidang keamanan
masuk mencampuri kedaulatan Indonesia, atau berupaya sendiri menangani aksi terorisme

di dalam negeri Indonesia dengan resiko efisiensi yang kurang optimal mengingat
terorisme yang bersifat transnasional crime dan diperkirakan membutuhkan biaya
operasional yang cukup besar.

1

Tulisan ini mendiskusikan serta menganalisa “Dilema kebijakan SBY dalam
pemberantasan terorisme”, dalam hal ini melihat SBY mengimplementasikan kebijakan
luar negerinya untuk mengatasi kejahatan terorisme terkait dengan ‘politik luar negeri
Indonesia yang “bebas aktif” khususnya dalam prinsip politik luar negeri “melaksanakan
ketertiban dunia serta melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Nilainilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 45 ini menjadi nilai-nilai penting untuk
dijadikan sebagai prinsip dasar acuan pengambilan keputusan dalam menghadapi dilemma
kebijakan luar negeri SBY dalam memberantas terorisme. Tulisan ini menggunakan
pendekatan “psychology approach” untuk memudahkan dan mengajak pembaca
memahami kebijakan yang diambil oleh SBY dengan latar belakang psikologisnya sebagai
pemegang tertinggi kekuasaan eksekutif negara Indonesia yang tengah berkembang
menjadi negara maju dengan ancaman rawan terorisme.
Melihat dinamika terorisme pasca aksi pengeboman, pemimpin bangsa harus selalu
waspada, presiden harus memiliki keberanian memelihara integritas diri sebagai negara
berdaulat dalam pemberantasan kejahatan teroris serta melakukan peningkatan pengawasan

dan evaluasi berkelanjutan. Pemberlakuan Undang Undang no 15 tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Terorisme, cukup efektif di Indonesia. Sayangnya, jaminan kepastian
hukum bukan sekedar adanya UU ini, tetapi juga tindak lanjut oleh aparat keamanan
penegak hukum khususnya Densus 88, Tim Anti Teroris yang terdiri dari Polri dan TNI.
Sebelum lebih jauh menelaah peran SBY dalam pemerintahan, jauh hari, sebelum
SBY mejadi presiden, SBY telah beberapa kali dipercaya menjabat sebagai menteri yaitu
pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Pemerintahan Megawati. Terlebih
ketika bertugas menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam Kabinet Gotong
Royong dalam masa pemerintaham Megawati Soekarno Putri. Beliau pada saat itu dikenal
luas di dunia internasional karena mempimpin upaya- upaya Indonesia memerangi
terorisme. Latar belakang kehidupannya yang lekat dalam bidang militer membuatnya
sangat cermat dan hati-hati dalam membuat kebijakan menyoal pertahanan dan keamanan
baik dalam lingkup nasional dan internasional. Berikut adalah salah satu kutipan dari
pernyataan tentang terorisme Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato
kenegaraan serta keterangan pemerintah atas RUU APBN 2009 beserta nota keuangannya
2

di Gedung DPR/MPR RI Jakarta pada hari Jumat 15 Agustus 2008. “Negara kita belum
aman dari aksi aksi terorisme. Keberhasilan aparat polisi menemukan sejumlah bahan
peledak dan bom rakitan di Palembang, Sumatera Selatan beberapa waktu lalu tidak boleh

mengendurkan kewaspadaan. Mereka ini secara langsung membahayakan generasi muda
bangsa.”
Pada era Presiden SBY, dengan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri,
sebagian orang melihat bahwa kehandalan aparat penegak hukum dan Densus 88 telah
berdampak positif. Secara berkesinambungan

aparat keamanan dan penegak hukum

mampu menangkap dan memenjarakan teroris. Juga menekan ruang gerak teroris di
berbagai daerah menjadi lebih sempit. Sehingga suasana keamanan dan ketertiban secara
nasional berangsur-angsur menjadi lebih luas
Namun banyak pula yang beranggapan bahwa upaya Pemerintah menanggulangi
kejahatan terorisme, baik secara internal maupun internasional, sesungguhnya masih jauh
dari standar ekspektasi yang diinginkan. Teror bom bunuh diri atau suicide selain memakan
korban jiwa dan korban luka tetapi juga sebagai aksi kejahatan yang lengah dari
pengawasan aparat keamanan seperti Polri, TNI, dan Badan Intelejen. Teror bom lanjutan
pada masa SBY ini membuktikan tidak adanya strategi pencegahan dan penanggulangan
terror bom secara komprehensif. Kebijakan pemerintah RI terhadap pencegahan dan
penanggulangan kejahatan terorisme ini tidak akomodatif. Terorisme yang selama ini
dipandang kejahatan luar biasa (extraordinary crime) atau musuh umat manusia (gui

human gensis) ditangani dengan cara penanggulangan yang biasa. SBY yang banyak
mendapat bantuan dari pihak asing, atau Amerika dan Australia dalam hal ini, sepertinya
terlalu lemah akan ketegasannya terhadap intervensi asing.
Melihat sikap SBY, ada pula terlihat kecenderungan pemerintah menyepelekan
infomasi dari sumber asing. Sejak bulan Juli 2005 Presiden SBY telah menerima informasi
intelejen dari sumber asing. SBY telah melakukan koordinasi dengan jajaran aparat
keamanan khususnya Densus 88, TNI dan Polri untuk meningkatkan pengawasan
keamanan menjadi lebih ketat. Gerak dan tindak pemerintahan SBY dalam menindak
terorisme dinilai kurang greget dan sangat lamban. Terkait dengan opini beberapa
pengamat politik seperti Tjipta Lesmana mengungkapkan tentang pola komunikasi
3

beradasarkan sudut wataknya bahwa kepemimpinannya penuh keraguan dan kebimbangan.
SBY adalah seorang yang selalu berupaya berada di jalur hukum, khususnya konstitusi
selalu merasa takut apabila ada ketentuan perundang-undangan yang dilanggar.1
Sikap lamban yang dinilai banyak orang sebagai bentuk keragu-raguan dan
kebimbangan SBY dalam menangani informasi asing ini memiliki segi positif dan
negative. SBY memiliki kekhawatiran informasi yang diterimanya tidak valid sehingga
dapat menimbulkan kepanikan nasional sehingga SBY merasa perlu mengkaji lebih dalam
kebenaran informasi tersebut, sedangkan segi negatifnya adalah kinerja SBY dikatakan

lamban dalam bereaksi terhadap ancaman terorime yang dampaknya bisa membahayakan
masyarakat Indonesia sendiri.
Secara keseluruhan berbagai aksi terror bom di Indonesia, nampak bahwa
Indonesia menjadi salah satu sasaran aksi jaringan terorisme internasional dan para
pelakunya melakukan tindakan perekrutan anggotanya dari bagian masyarakat Indonesia. 2
Di bawah pemerintahan SBY, pemberantasan terorisme menjadi dilematis diantaranya
adalah apakah SBY harus menyelesaikan sendirian atau bekerja sama dengan negara lain.
Dalam kondisi ini SBY merasa instrument dalam negeri yang menangani masalah
terorisme dalam hal ini Badan Intelejen Negara (BIN) tidak optimal, oleh karena itu
kondisi dilematis ini mendorong SBY untuk bekerja sama dengan Amerika Serikat.
Sebagai wujud dari kerjasama ini, maka dibentuklah Densus 88 sebagai alat untuk
memberantas terorisme. Namun, dalam kondisi ini SBY masih saja mengalami pilihan
dilematis antara memaksimalkan kinerja Densus 88 atau menyerahkan masalah terorisme
kepada Badan Keamanan Internasional yang mengurusi masalah terorisme. Oleh karena itu
menjadi relevan membahas sedikit latar belakang mengenai Densus 88.
Pada masa pemerintahan SBY dibentuk Detasemen Khusus 88 atau yang lebih
akrab disebut Densus 88 pada tanggal 26 Agustus 2004. Densus 88 dirancang sebagai unit
antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan ancaman teroris dari ancaman
bom hinga penyanderaan serta keanggotaannya terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan
1 Tjipta Lesmana, 2009, Dari SoekarnoSampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa, Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, hal 356.
2 Departemen Pertahanan Republik Indonesia. 2007. Strategi Pertahanan Negara. Jakarta : Departemen
Pertahan Republik Indonesia. Hal 25

4

peledak dan penjinak bom, serta unit pemukul yang memiliki keahlian sebagai penembak
jitu. Fungsinya melakukan penangkapan kepada personel maupun sekelompok orang yang
dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan
keamanan negara RI. Densus 88 dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat dan dilatih
langsung oleh instruktrur dari CIA, FBI dan U.S Secret Service. Dalam pembentukan
maupun operasional Densus 88, terdapat bantuan yang signifikan dari Pemerintah Amerika
Serikat dan Australia.3
Demi memerangi terorisme, SBY terbilang getol meningkatkan kerjasama dengan
pemerintah AS dalam upaya pemberantasan terorisme. Selain itu dilakukan pula sejumlah
kerjasama dengan Inggris dan Jerman merujuk pada UU Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme pasal 43. Dalam masa kepemimpinannya, SBY berperan aktif dalam berbagai
forum internasional yang membahas penanggulangan terorisme seperti UN Counter
Terrorism Committee Executive Directorate dan UN Counter Terrorism Implementation
Task Force. Dengan terlibat lebih jauh dalam aktivitas penyelenggaraan lokakarya,

pertukaran data intelijen, persiapan ratifikasi, dan penyusunan legislasi nasional
pemberantasan terorisme.4 Dari 12 Konvensi Internasional tentang pencegahan dan
penindakan kejahatan terorisme, Indonesia meratifikasi 3 konvensi antara lain: Tokyo
Convention tahun 1963 mengenai pelanggaran dan setiap kejahatan yang dilakukan di atas
pesawat terbang. Namun, adanya kontradiksi sikap Indonesia menolak agenda AS untuk
ikut terlibat dalam Perang Irak menjadi sebuah pertanyaan sikap Indonesia yang kurang
konsekuen dalam memberantas terorisme. Di satu pihak Indonesia menyatakan berada di
pihak AS dalam memberantas terorisme dan menerima berbagai bantuan dari Amerika
dalam bidang keamanan namun di pihak lain Indonesia menolak bahkan tidak setuju
dengan penyerangan AS terhadap Irak. Sehingga menimbulkan adanya persepsi bahwa
Indonesia bersikap pragmatis dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya.
Menurut Wibowo sikap Indonesia yang mengambang semacam ini memang dapat
dijustifikasi dengan prinsip “bebas” dan “aktif” yaitu tidak terikat dengan kekuatan
3 Dokumen Badan Inteljen Negara.
4 Prihandono Wibowo. 2013. “Refleksi Prinsip Bebas Aktif : Ambiguitas Posisi Indonesia dalam Menyikapi
War On Terrorism” Proceding Seminar Refleksi 65 Tahun Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif,
Yogyakarta: Institute of International Studies. Universitas Gadjah Mada. hal 99.

5


manapun dan aktif dalam menjaga perdamaian dunia.5 Dalam hal ini mengingat bahwa
“anti penjajahan” dan “menjaga perdamaian dunia” termasuk dalam prinsip politik luar
negeri RI.6 Namun, dalam hal ini sikap Indonesia sangat pragmatis dengan “mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengorbankan kerugian seminimal mungkin”.
Hal ini sangat relevan apabila dikaitkan dengan pembahasan di kelas Seminar Kebijakan
Luar Negeri Indonesia mengenai salah satu definisi politik luar negeri yaitu adalah
kebijakan sebuah negara yang ditujukan kepada negara lain atau masyarakat internasional
yang diformulasikan dari dalam negeri dengan tujuan mengambil keuntungan sebanyakbanyaknya dari luar untuk kepentingan sebanyak banyaknya ke dalam negeri.
Bahkan presiden SBY dalam pidato resmi kenegaraannya meyampaikan ucapan
terima kasih kepada jajaran TNI Polri serta Densus 88 atas keberhasilan mereka meringkus
pelaku terorisme di Indonesia yang juga menjadi buronan pelaku terorisme luar negeri.
Dalam pidatonya tanggal 8 Agustus 2009, presiden mengunkapkan apresisasinya terhadap
keberhasilan Densus 88 dalam meringkus pelaku terorisme. Beliau juga mengatakan
bahwa operasi akan dilakukan oleh aparat jajaran kepolisian dan pihak lainnya, juga agar
kepolisisan menjalanakan tugas dengan sebaik-baiknya, tetap menegakkan norma-norma
hukum dan demokrasi. Presiden berharap, semua mata rantai dari aksi-aksi terorisme ini
akan terungkap secara keseluruhan.7
Menyikapi sikap SBY terhadap setiap operasi Densus 88, SBY nampaknya
menemui dilemma, disatu pihak SBY terlihat perlu bekerjaama dengan pihak Amerika
Serikat untuk membertantas terorisme, namun di pihak lain kerjasama ini dilihat oleh

sebagain besar masyarakat Indonesia sebagai bentuk lemahnya sikap SBY dalam
memerangi terorisme dalam negeri. Terlebih lagi masyarakat melihat bahwa, dalam operasi
Densus 88 banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya ketika adanya
kasus eksekusi terorisme yang ditembak mati di tempat, dan pelanggaran ham lainnya
5 Ibid., hal. 101
6 Siti Muti’ah Setiawati, 2013. “Relevansi Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif Dalam Arsitektur
Perubahan Tatanan Politik Internasional”, Proceding Seminar Refleksi 65 Tahun Politik Luar Negeri
Indonesia Bebas Aktif, Yogyakarta: Institute of International Studies. Universitas Gadjah Mada. hal 12.
7 Biro Pers dan Media Rumah Tangga Kepresidenan, “Pidato Keterangan Presiden Tentang Penangkapan
Teroris oleg Densus 88 (Pidato Presiden, 8 Agustus 2009)”,
http://www.indonesia.go.id/in/pidato/presiden/339, diakses pada 4 Maret 2014 pukul 08.00 WIB pagi.

6

adalah bahwa dalam proses setelah eksekusi tersebut, otopsi dilakukan dan tersangka
dilaporkan kehilangan salah satu bagian tubuhnya.8
Beberapa kasus terorisme yang telah terjadi sepatutnya menjadi pelajaran berharga
bagi pemerintah Indonesia. Terutama dalam menerapkan kebijakan hubungan diplomasi
degna negara-negara tetangga khususnya Malaysia dan Singapura. Pelaku teror bom di
Indonesia, umumnya telah mengenyam kehidupan sosial keagamaan di Malaysia, sejak

mereka kembali dari Kamp kamp Afghanistan pada tahun 1980an. Dr. Azhari, Noordin M.
Top warga Malaysia yang memberikan kontribusi signifikan bagi lahirnya kader-kader
teroris.
Pelaku teroris benar-bnar semula nir-kriminal. Fakta menunjukkan bahwa Amrozzi,
Mukhlas, dan Imam Samudra yang talah dieksekusi mati, pelaku teroris tidak pernah
dijumpai melakkan pencurian, pembunuhan, pemalsuan, pemerkosaan, dan perampokan
(ordinary crime). Mereka justru orang- orang ideologis dan sangat kuat dan patuh pada
ajaran agamanya. Akan tetapi, dalam diri mereka dijumpai seringkali memiliki sikap
menutup diri dari kelaziman masyarakat. Pemikiran dan sikap yang sempit, nekat dan
kurangnya rasa kemanusiaan (uncivilized) sangat tidak masuk akal. Tempat keramaian,
kantor pemerintahan atau kedutaan asing, pusat perbelanjaan, bahkan tempat ibadah
menjadi target sasarn aksi terorisme. Kerugian berupa materi maupun korban jiwa orangorang biasa tak berdosa tanpa ada perasaan iba dan kasihan. Target terorisme seringkali
dikaitkan dengan status sosial ekonomi pelaku tak menentu, struktur sosial kepemimpinan
paternalistic merupakan fakta- fakta dugaan negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris,
Perancis, Australia, sebagai penyebab ketidakadilan dunia dapat dipahami, jika mereka
dengan mudah terperosok pemikiran dan perbuatannya menjadi amoral dan asusila. 9
Penanggulangan kejahatan terorisme sudah seharusnya menjadi sorotan utama
pemerintah Indonesia dengan mempertimbangkan beberapa hal untuk menjaga kerukunan
antar umat beragama dan perdamaian antara negara tetangga maupun lintas benua.
Pemerintah Indonesia harus berupaya mencegah terjadinya ruang kosong penegakan

8 VOA Islam, ”Congkel Mata Korban, Densus 88 Terlibat Penjualn Organ Manusia?”, http://www.m.voaislam.com/news/intelijen/2014/01/06/28509/densu-88-terlibat-penjualan-organ-manusia/
9 Jwahir Thontowi, 2009, Penegakkan Hukum dan Diplomasi Pemerintahan SBY, Yoyakata: Penerbit Leuika,
hal, 149.

7

hukum yang tidak berkeadilan, terorisme sebagai fenomena global timbul akibat peran
negara yang mengabaikan keadilan masyarakat lemah. Selain itu pemerintah Indonesia
perlu menindak tegas atas penyebarluasan informasi yang potensif dapat merusak
hubungan harmonis kerukunan antara umat beragama. Penghinaan dan pelecehan atas
identitas Islam seperti kepada jilbab maupun kitab suci Al Quran serta gambar kartun Nabi
Muhammad telah dijadikan objek penistaan di internet seperti di negara negara Barat.
Terkait dengan penanganan terprisme oleh Densus 88 yang seringkali berujung tembak
mati di tempat pelaku teror, menimbulkan banyak gejolak dalam negeri.
Pada akhirnya, untuk mengurangi kejahatan ini, sudah sepantasnya SBY
meneknkan pentingnya pendekatan kesejahteraan dan kemakmuran selain keamanan dan
pertahanan. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan pembangunan yang bertumpu pada
kemandirian integritas kedaulatan negara. Tugas SBY menjadi berat dan serius ketika
dugaan keterlibatan oknum yang menjadi actor intelektual benar adanya. Kewajiban
membongkar mafia kejahatan terorisme yang menjadikan kelompok garis keras tameng
bagi upaya menutupi pelaku yang sesungguhnya menjadi tugas utama. Adanya dugaan
tersebut mengisyaratkan tewasnya Azahari bukan berarti tenggelamnya ancaman teror
melainkan sebuah tantangan juga bagi pemerintahan SBY agar dapat memberdayakan
secara optimal kinerja aparat keamanan, intelejen Densus 88, TNI dan Polri.
Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa Politik Luar Negeri Indonesia
mengenai keikutsertaannya dalam agenda “war on terrorism” masih sesuai dengan prinsipprinsip politik luar negeri Indonesia, hal itu juga sebagai bentuk fleksibilitas terhadap
pelaksanaan politik luar negeri “bebas” dan “aktif”

dalam hal ini Indonesia telah

berpartisipasi dalam menciptakan perdamaian dunia dengan memerangi terorisme baik ke
dalam maupun luar negeri. Meskipun dalam melaksanakan kebijakan tersebut masih ada
beberapa kendala yang dihadapi, Presiden SBY tetap konsisten mengimplementasikan
kebijakannya untuk memerangi terorisme di Indonesia.

8

Daftar Pustaka
Lesmana, Tjipta, 2009, Dari SoekarnoSampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Setiawati, Siti Muti’ah, 2013, “Relevansi Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif Dalam
Arsitektur Perubahan Tatanan Politik Internasional”, Proceding Seminar Refleksi
65 Tahun Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif, Yogyakarta: Institute of
International Studies, Universitas Gadjah Mada.
Thontowi, Jwahir, 2009, Penegakkan Hukum dan Diplomasi Pemerintahan SBY, Yoyakata:
Penerbit Leuika, hal, 149.
Wibowo, Prihandono, 2013, “Refleksi Prinsip Bebas Aktif : Ambiguitas Posisi Indonesia
dalam Menyikapi War On Terrorism” Proceding Seminar Refleksi 65 Tahun Politik
Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif, Yogyakarta: Institute of International Studies.
Universitas Gadjah Mada.
Departemen Pertahanan Republik Indonesia, 2007, Strategi Pertahanan Negara, Jakarta :
Departemen Pertahan Republik Indonesia.
Biro Pers dan Media Rumah Tangga Kepresidenan, “Pidato Keterangan Presiden Tentang
Penangkapan Teroris oleg Densus 88 (Pidato Presiden, 8 Agustus 2009)”,
http://www.indonesia.go.id/in/pidato/presiden/339, diakses pada 4 Maret 2014
pukul 08.00 WIB pagi.
VOA Islam, ”Congkel Mata Korban, Densus 88 Terlibat Penjualn Organ Manusia?”,
http://www.m.voa-islam.com/news/intelijen/2014/01/06/28509/densu-88-terlibatpenjualan-organ-manusia/

9