PENGARUH TEMPERATUR DAN WAKTU PADA PENGO

PENGARUH TEMPERATUR DAN WAKTU PADA
PENGOLAHAN PEWARNA SINTETIS PROCION
MENGGUNAKAN REAGEN FENTON
Tuty Emilia Agustina*, Muhammad Amir
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Kampus Palembang
Jln. Raya Palembang Prabumulih Km. 32 Inderalaya Ogan Ilir (OI) 30662
Email: tuty_agustina@unsri.ac.id

Abstrak
Kebanyakan indutri tekstil menggunakan pewarna sintetis yang dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan karena air limbah pewarna yang dihasilkannya. Salah satu proses pengolahan pewarna sintetis
yang dihasilkan dari air limbah industri tekstil adalah dengan Advanced Oxidation Processes (AOPs), di
antaranya dengan menggunakan metode reagen Fenton. Agar pengolahannya dapat optimum, maka perlu
diketahui pengaruh dari temperatur dan waktu terhadap pengolahan pewarna sintetis yang menggunakan
metode tersebut. Pada penelitian ini, digunakan pewarna sintetis procion merah dan procion biru dengan
konsentrasi 150 – 250 mg/L, kecepatan pengadukan 200 rpm, reagen Fenton dengan konsentrasi H2O2 80
mM dan FeSO4.7H2O 4 mM, pH 3, waktu pengadukan 0 – 60 menit, dan temperatur 25 – 55 °C. Hasil
yang didapatkan untuk mencapai degradasi warna 100% adalah pada temperatur 55 oC dan waktu
pengadukan 60 menit. Kondisi tersebut selanjutnya diaplikasikan pada limbah cair pewarna kain
jumputan, didapatkan degradasi warna 100 % dan penurunan COD sebesar 66 % yang dicapai dengan
waktu pengadukan 120 menit.

Kata kunci: Pengolahan air limbah, pewarna sintetis Procion, AOPs, reagen Fenton
Abstract
Most of industrial textile nowadays used synthetic dyes that can be harmful to the environment because of
the synthetic dyes wastewater produced from their processes. One of the colored wastewater treatment
processes is Advanced Oxidation Processes (AOPs), Fenton reagent is among the AOPs method utilized.
In order to find the optimum operation condition, it is important to study the effect of temperature and
mixing time on the synthetic dyes treatment by using the reagent Fenton. In this research, Procion Red
and Procion Blue synthetic dyes were used within the concentration of 150 – 250 mg/L, the mixing rate
of 200 rpm, Fenton reagent concentration of H2O2 80 mM and FeSO4.7H2O 4 mM, pH 3, mixing time of
0-60 minutes, and the temperature of 25-55 °C. The color degradation of 100% was achieved at 55 oC and
the mixing time of 60 minutes. That condition then applied to the jumputan wastewater, the color
degradation of 100% and the COD removal of 66% was found after 120 minutes of mixing time.
Key words: Wastewater treatment, Procion synthetic dyes, AOPs, Fenton reagent

Page 54

Jurnal Teknik Kimia No. 3, Vol. 18, Agustus 2012

1.


PENDAHULUAN
Palembang merupakan kota yang
mempunyai industri tekstil yang cukup terkenal.
Salah satunya adalah kain songket dan kain
jumputan yang sangat diminati masyarakat dari
berbagai
daerah
bahkan
mancanegara.
Kebanyakan industri tersebut menggunakan
pewarna sintetis dengan alasan murah, tahan
lama, mudah diperoleh, dan mudah dalam
penggunaannya, tetapi limbah yang dihasilkan
masih berwarna dan sulit terdegradasi. Industri
tersebut sebagian besar merupakan industri
rumah tangga yang umumnya belum memiliki
pengolahan limbah yang cukup baik. Air limbah
yang berasal dari industry tekstil rumah tangga
tersebut merupakan zat warna senyawa organik
dari jenis procion, erionyl, auramin, maupun

rhodamin yang jika dialirkan ke badan perairan
akan mengurangi kadar oksigen terlarut untuk
organisme perairan karena oksigen tersebut
justru digunakan sebagai pengoksidasi senyawa
organik zat warna tersebut (Budiyono, 2008).
Jika limbah cair ini dibuang tanpa
pengolahan terlebih dahulu maka pencemaran
sulit dihindari terutama pencemaran di wilayah
perairan karena limbah cair tersebut masih
banyak mengandung zat warna dan zat
penunjang proses pencelupan. Zat warna ini
dapat mengganggu estetika maupun penetrasi ke
badan air sehingga mengganggu proses
fotosintesis dari tumbuhan air. Penurunan
kualitas
air
yang
ditunjukkan
dengan
meningkatnya kekeruhan air yang disebabkan

adanya polusi zat warna, akan menghalangi
masuknya cahaya matahari ke dasar perairan dan
menganggu keseimbangan proses fotosintesis
serta adanya efek mutagenik dan karsinogenik
dari zat warna tersebut dapat membuatnya
menjadi masalah serius (Agustina, T.E. dan
Badewasta, H., 2009).
Pengolahan limbah menurut Woodard,
2001, dapat dibagi menjadi pengolahan primer,
pengolahan sekunder, dan pengolahan tersier.
Pengolahan primer adalah pengolahan secara
fisik, biasanya dilakukan dengan penyaringan.
Sedangkan pada pengolahan sekunder adalah
pengolahan secara biologi yaitu dengan cara
menguraikan
limbah
dengan
bantuan
mikroorganisme. Untuk limbah yang bersifat
tidak dapat diuraikan secara biologi (nonbiodegradable) akan diolah dengan pengolahan

tersier, contohnya adalah limbah pewarna tekstil.
Menurut Zinkus et. Al, 1998
pengolahan limbah tersier dapat dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya dengan
metoda inceneration, ozone treatment, activated
carbon adsorption, dan air stripping. Metoda
inceneration merupakan metoda yang mahal

Jurnal Teknik Kimia No. 3, Vol. 18, Agustus 2012

dalam penggunaannya. Metoda ozone treatment
hanya menguraikan secara parsial. Sedangkan
metoda activated carbon adsorption dan air
stripping hanya memindahkan senyawa-senyawa
pencemar ke media atau fasa lain. Metoda lain
yaitu advanced oxidation processes (AOP),
menurut Malato et. Al, 2003 memiliki kelebihan
yaitu dapat mendegradasi senyawa-senyawa
berbahaya dalam limbah melalui proses oksidasi
(oxidative degradation).

Menurut Sugiarto, A. T., 2004,
teknologi advanced oxidation processes (AOP)
adalah satu atau kombinasi dari beberapa proses
seperti ozon (O3), hydrogen peroxide, ultraviolet
light, titanium oxide, photo catalyst, sosnolysis,
electron beam, electrical discharges serta
beberapa proses lainnya untuk menghasilkan
hidroksil radikal. Salah satu metodanya adalah
advanced oxidation processes (AOP) dengan
menggunakan reagen fenton.
Oksidasi dengan reagen Fenton
merupakan metode oksidasi yang menggunakan
hydrogen peroksida sebagai pengoksidasinya dan
besi sebagai katalis. Metode ini telah diterapkan
untuk pengolahan berbagai macam limbah
industri yang mengandung senyawaan organic
toksik seperti fenol, formaldehida, BTEX, dan
limbah kompleks dari pestisida, cat, maupun zat
aditif plastik (Stanislaw, L., Monika S., and
Renata Z., 2001).

Penelitian
ini
merupakan
pengembangan dari penelitian yang dilakukan
oleh Agustina dkk, 2011, mengenai pengolahan
air limbah pewarna sintetis dengan menggunakan
reagen fenton. Pada penelitian tersebut
digunakan pewarna sintetis Procion Red
(Reactive Red 2) dan Procion Blue (Reactive
Blue 4) sebagai model dengan konsentrasi 150250 mg/L, kecepatan pengaduk divariasikan 100250 rpm, sedangkan konsentrasi reagen Fenton
dijaga tetap. Dari hasil penelitian didapatkan
degradasi warna Procion Red dan Procion Blue
berturut-turut sebesar 98% dan 89% dalam
waktu 30 menit pada penggunaan kecepatan
optimum pengadukan sebesar 200 rpm. Pada
penelitian ini dilakukan pengembangan dari
penelitian sebelumnya yaitu adanya variasi dari
temperatur dan waktu. Sehingga diharapkan akan
didapat temperatur dan waktu yang optimum
dalam pengolahan limbah pewarna sintetis

menggunakan reagen fenton dimana dipakai
kecepatan pengadukan 200 rpm.
Penggunaan zat warna akan meningkat
seiring dengan permintaan konsumen akan bahan
tekstil, makanan dan obat-obatan. Salah satu
proses penting dalam tahap penyempurnaan
bahan tekstil adalah proses pewarnaan. Akan

Page 55

tetapi, proses pewarnaan ini membawa dampak
serius bagi lingkungan. Pada tinjauan ini akan
dibahas mengenai zat warna dan proses
perombakan menggunakan reagen Fenton.
Zat Warna
Warna merupakan spectrum tertentu
yang terdapat didalam suatu cahaya sempurna
berwarna putih. Identitas suatu warna ditentukan
oleh panjang gelombang cahaya tersebut.
Sebagai contoh warna biru yang memiliki

panjang gelombang 460 nm. Radiasi yang
tersebar secara merata akan tampak sebagai
cahaya putih dan yang akan terurai dalam warnawarna spectrum bias dengan adanya penyaringan
oleh prisma yang dipersepsikan sebagai sinar
foton (Koko, 2011).
Molekul
zat
warna
merupakan
gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan
kromofor sebagai pembawa warna dan
auksokrom sebagai pengikat warna dengan serat.
zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam
pembentukan zat warna adalah senyawa
aromatik antara lain senyawa hidrokarbon
aromatik dan turunannya, fenol dan turunannya
serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang
mengandung nitrogen (Rahmawati, I., 2011).
Gugus
kromofor

adalah
gugus
yang
menyebabkan molekul menjadi berwarna. Gugus
auksokrom terdiri dari dua golongan, yaitu
golongan kation dan golongan anion.
Zat warna dapat digolongkan menurut
sumber diperolehnya yaitu zat warna alam dan
zat warna sintetik. Van Croft menggolongkan zat
warna berdasarkan pemakaiannya, misalnya zat
warna yang langsung dapat mewarnai serat
disebutnya sebagai zat warna substantif dan zat
warna yang memerlukan zat-zat pembantu
supaya dapat mewarnai serat disebut zat reaktif.
Kemudian Henneck membagi zat warna menjadi
dua bagian menurut warna yang ditimbulkannya,
yakni zat
warna monogenetik apabila
memberikan hanya satu warna dan zat warna
poligenatik apabila dapat memberikan beberapa

warna. Penggolongan zat warna yang lebih
umum dikenal adalah berdasarkan konstitusi
(struktur molekul) dan berdasarkan aplikasi (cara
pewarnaannya) pada bahan, misalnya didalam
pencelupan dan pencapan bahan tekstil, kulit,
kertas dan bahan-bahan lain. Penggolongan lain
yang biasa digunakan terutama pada proses
pencelupan dan pencapan pada industri tekstil
adalah penggolongan berdasarkan aplikasi (cara
pewarnaan). Zat warna tersebut dapat
digolongkan sebagai zat warna asam, basa, direk,
dispersi, pigmen, reaktif, solven, belerang,
bejana dan lain-lain (Christie, R.M., 2001).

Page 56

Jenis yang paling banyak digunakan
saat ini adalah zat warna reaktif dan zat warna
dispersi. Hal ini disebabkan produksi bahan
tekstil dewasa ini adalah serat sintetik seperti
serat polamida, poliester dan poliakrilat. Bahan
tekstil sintetik ini, terutama serat poliester,
kebanyakan hanya dapat dicelup dengan zat
warna dispersi. Demikian juga untuk zat warna
reaktif yang dapat mewarnai bahan kapas dengan
baik (Sunarto, 2008).
Menurut Budiyono, 2008, jenis zat
warna ada dua, yaitu zat warna alam dan zat
warna sintetis.
Zat warna alam adalah zat warna yang berasal
dari alam, baik yang berasal dari tanaman,
hewan, maupun bahan metal.. Zat warna dari
tumbuhan yang biasanya digunakan antara lain:
indigofera (warna biru), Sp Bixa orrellana
(warna orange purple), Morinda citrifolia (warna
kuning). Zat warna yang berasal dari hewan
adalah Kerang (Tyran purple), Insekta
(Ceochikal), dan Insekta warna merah (Loe). Zat
warna sintesis adalah zat warna buatan dengan
bahan dasar buatan, misalnya: Hirokarbon
Aromatik dan Naftalena yang berasal dari
batubara. Hampir semua zat warna yang
digunakan dalam industri batik merupakan zat
warna sintetik, karena zat warna jenis ini mudah
diperoleh dengan komposisi yang tetap,
mempunyai aneka warna yang banyak, mudah
cara pemakaiannya dan harganya relatif tidak
tinggi. Zat pewarna kimia tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi tujuh bahan warna
yaitu: Napthol, Indigosol, Rapide, Ergan Soga,
Kopel Soga, Chroom Soga, dan Procion.
Zat Pewarna Sintetis Procion
Zat warna reaktif pertama kali
diproduksi tahun 1956. Zat warna jenis ini pada
aplikasinya akan sulit dihilangkan karena adanya
ikatan kovalen yang kuat antara atom karbon dari
zat warna dengan atom O, N, atau S dari gugus
hidroksi, amino atau thiol dari polimer. Zat
warna reaktif mempunyai berat molekul yang
relatif kecil. Keuntungan zat warna reaktif adalah
spektra absorpsinya runcing dan jelas,
strukturnya relatif sederhana, dan warnanya lebih
terang (Hunger, K., 2003). Zat warna reaktif
yang sering digunakan pada industri batik antara
lain Procion, Cibracon, Drimaren, dan Lavafix,
yang dapat mengadakan reaksi substitusi dengan
serat dan membentuk ikatan ester, dan zat warna
Remazol, Remalan, dan Prima zin, yang dapat
mengadakan yang dapat mengadakan reaksi adisi
dengan serat dan membentuk ikatan eter.
Advanced Oxidation Processes (AOPs)

Jurnal Teknik Kimia No. 3, Vol. 18, Agustus 2012

Advanced Oxidation Processes (AOPs)
merupakan sistem yang didasarkan pada sifat
oksidatif yang sangat kuat dari radikal hidroksil
(OH*). Radikal OH* merupakan oksidator kedua
terkuat setelah fluorin (F2), sehingga dapat
menguraikan hampir semua senyawa organik.
Radikal ini dapat terbentuk dari kombinasi antara
hydrogen peroksida dengan ion fero (Fe2+) yang
biasa disebut sebagai reagen Fenton (Hudaya, T.
dkk., 2011).
Saat ini, metode AOPs merupakan
metoda terapan yang paling banyak diteliti serta
dicoba untuk mengolah berbagai jenis limbah
cair, termasuk air limbah yang mengandung
pewarna. Reagen Fenton, sebagai salah satu dari
metode ini, adalah metode yang paling efektif
untuk penyisihan zat pewarna pada pengolahan
limbah cair dari berbagai industri tekstil yang
bersifat pencemar, beracun, dan sulit terurai
(Shofian, M., 2005).
Prosedur AOPs ini sangat berguna
untuk membersihkan bahan-bahan biologis
beracun atau non-degradable seperti aromatik,
pestisida, konstituen minyak, dan senyawa
organik yang mudah menguap dalam air limbah.
Bahan kontaminan dikonversi untuk sebagian
besar menjadi senyawa anorganik stabil seperti
air, karbon dioksida, dan garam yang akan
mengalami mineralisasi. Tujuan dari pemurnian
air limbah dengan cara AOPs adalah
pengurangan kontaminan kimia dan toksisitas
sedemikian rupa sehingga air limbah dapat
dibersihkan kembali untuk digunakan lagi atau
setidaknya
menjadi
pengolahan
limbah
konvensional (Bismo, S., 2006).
Reagen Fenton
Reagen Fenton merupakan larutan dari
hydrogen peroksida dan katalis besi yang
digunakan untuk oksidasi kontaminan atau air
limbah. Reagen Fenton ini dapat digunakan
untuk merusak komponen organic seperti
trichloroethylene (TCE) dan tetrachloroethylene
(PCE). Fe(II) dioksidasi oleh hydrogen peroksida
menjadi Fe(III), radikal OH* dan anion OH-.
Pada reaksi ini keberadaan Fe(II) adalah sebagai
katalis. Besi (II) sulfat merupakan jenis senyawa
besi yang dipakai dalam reagen fenton. Hidrogen
peroksida merupakan oksidator kuat tetapi pada
konsentrasi rendah 0.1 % kinetika reaksinya
terlalu lambat untuk mendegradasi kontaminan.
Sehingga perlu penambahan Fe(II) untuk
meningkatkan kekuatan oksidasi peroksida
hingga dihasilkan radikal baru dan rantai reaksi
dimulai. Reaksi oksidasi peroksida terkatalisis
besi ini biasanya dijalankan pada pH 3-5 yang
disebut sebagai “Fenton Chemistry” dan

Jurnal Teknik Kimia No. 3, Vol. 18, Agustus 2012

kombinasi reagen besi dengan peroksida yang
disebut sebagai ”Fenton Reagent”.
Reaksi
fenton
sekarang
banyak
digunakaan dalam kegiatan penanganan air
limbah, tanah dan lumpur terkontaminasi dengan
beberapa aplikasi sebagai berikut:
Destruksi polutan organic
Penurunan sifat racun
Peningkatan biodegradasi
Penghilangan BOD/COD
Penghilangan warna dan bau
Destruksi resin pada lumpur terkontaminasi
radioaktif
Kombinasi antara hydrogen peroksida
dengan Fe(II) merupakan reagen fenton yang
memiliki kemampuan oksidasi tinggi. Reaksi
oksidasi ini merupakan reaksi kompleks yang
melibatkan dekompisisi H2O2 dengan bantuan
Fe(II). Mekanisme reaksinya dimulai dengan
[18] Fe2+ menginisiasi reaksi dan mengkatalisis
reaksi dekomposisi H2O2 hingga dihasilkan
radikal hidroksil (HO*). Radikal yang terbentuk
bereaksi dengan cepat dalam lingkungan air.
Beberapa metode Fenton telah dikenal.
Modifikasi seringkali terletak pada penambahan
Fe3+ daripada Fe2+ dan penambahan berlebih
H2O2 dibandingkan dengan jumlah besi yang
digunakan. Pada sistem Fe3+/H2O2, ion Fe2+
diproduksi kembali dan juga dihasilkan radikal
HO* (sebaik radikal lain dalam reaksi oksidasi
dan reduksi senyawa organic). Reaktifitas
oksidator dan reduktor dihasilkan pada rekasi
inisiasi system Fe3+/H2O2. Reaksi fenton pada
perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni
radikal HO*, besi(II), radikal organik dan
kondisi reaksi. Jika ada beberapa faktor yang
ekstrim dapat menghasilkan dekomposisi
hydrogen peroksida yang tidak efektif yang
kemudian dapat mengurangi efisiensi oksidasi
senyawa organic. Efektifitas maksimum dari
proses degradasi bergantung pada hubungan
stoikiometri antara Fe2+, RH dan Fe3+.
Dekomposisi H2O2 akan berlangsung lebih cepat
pada perbandingan Fe2+/H2O2 adalah "≥ 2"
(Neyens, E & Baeyens, 2003). Penambahan
jumlah H2O2 dan Fe2+ dari optimum akan
menyebabkan penurunan efek pembersihan. Hal
ini dikarenakan reaksi antara H2O2 dan Fe2+ dan
produksi OH*. Dalam hal ini H2O2 dan Fe2+ akan
bertindak sebagai penyapu radikal, sehingga
radikal OH* yang dihasilkan akan turun.
Kondisi optimum untuk reagen fenton
telah diamati pada pH 3-5. Pada pH lebih rendah
efektifitas penghilangan kontaminan akan
menurun karena dekomposisi H2O2. Pada pH <
3, konsentrasi ion H+ terlalu tinggi yang
menyebabkan ion hydrogen sebagai aseptor

Page 57

utama radikal OH*
Koscielniak, 1999).

(Barbusinki,

K.

&
Gambar 1. Grafik hubungan waktu dan
degradasi warna procion merah pada
konsentrasi 150 mg/L.

2. METODELOGI
Penelitian ini dilakukan dalam tiga
tahap. Tahap pertama adalah penentuan kondisi
optimum pengolahan limbah pewarna sintetis,
Tahap kedua adalah menentukan temperatur dan
waktu optimum. Tahap ketiga adalah aplikasi
pada limbah pewarna kain jumputan. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan konsentrasi
pewarna sintetis 150 – 250 mg/L, reagen Fenton
dengan konsentrasi H2O2 80 mM dan FeSO4 7
H2O 4 mM, nilai pH 3, lama waktu pengadukan
1 jam, dan kecepatan putaran pengadukan 200
rpm dengan temperatur 25 – 55 oC.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari
hasil
penelitian
pengaruh
temperatur dan waktu dalam pengolahan limbah
pewarna sintetis menggunakan reagen fenton
yang dilakukan di Laboratorium Jurusan Teknik
Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya, didapatkan
data berupa nilai absorbansi dari masing-masing
sampel sebelum dan sesudah pengolahan. Nilai
absorbansi tersebut selanjutnya dimasukkan
kedalam perasamaan berikut:

Gambar 2. Grafik hubungan waktu dan
degradasi warna procion merah pada
konsentrasi 200 mg/L.

Persamaan ini digunakan untuk
mengetahui persen degradasi warna dari masingsampel, dimana Aawal adalah nilai absorbansi
sampel pada kondisi awal dan Aakhir adalah nilai
absorbansi sampel pada waktu tertentu.
Gambar 3. Grafik hubungan waktu dan
degradasi warna procion merah pada
konsentrasi 250 mg/L.

Page 58

Jurnal Teknik Kimia No. 3, Vol. 18, Agustus 2012

Gambar 4. Grafik hubungan waktu dan
degradasi warna procion biru pada
konsentrasi 150 mg/L.

Gambar 5. Grafik hubungan waktu dan
degradasi warna procion biru pada
konsentrasi 200 mg/L.

Gambar 6. Grafik hubungan waktu dan
degradasi warna procion biru pada
konsentrasi 250 mg/L.
Untuk penggunaan konsentrasi procion
biru 150 mg/L, pada waktu 30 menit dan
temperatur 55°C sudah dicapai degradasi warna
100%, seperti dapat dilihat pada gambar 4.
Begitu juga untuk penggunaan konsentrasi
procion biru 200 mg/L dan penggunaan
konsentrasi procion biru 250 mg/L pada waktu
30 menit dan temperatur 55°C sudah dicapai
degradasi warna 100%. Seperti dapat dilihat pada
gambar 5 dan gambar 6.
Dari percobaan ini dapat diambil
kesimpulan bahwa semakin tinggi temperatur,
maka akan semakin cepat terjadi degradasi
warna. Hal ini dikarenakan dengan adanya

Jurnal Teknik Kimia No. 3, Vol. 18, Agustus 2012

kenaikan suhu maka dapat mempercepat reaksi
yang mengakibatkan naiknya energi kinetic
partikel zat sehingga memungkinkan semakin
banyaknya tumbukan efektif yang menghasilkan
perubahan. Gulkaya et. al juga melaporkan
bahwa efisiensi oksidasi naik dengan naiknya
temperature dari 25 ke 50°C (Gulkaya et.al.,
2006).
Semakin lama waktu juga akan sangat
mempengaruhi proses. Karena semakin lama
waktu proses yang digunakan maka semakin
banyak proses untuk terjadi tumbukan.
Hasil percobaan ini menunjukkan
bahwa pewarna sintetis procion merah dan
procion biru memberikan hasil yang hampir
sama mengenai pengaruh waktu dan temperature
terhadap degradasi warna menggunakan reagen
fenton. Ini menunjukkan bahwa reagen fenton
dapat bekerja optimal bila diaplikasikan dalam
pengolahan limbah cairan pewarna sintetis.
Untuk aplikasi limbah, digunakan
kecepatan pengadukan 200 rpm, temperatur
55°C, dan waktu proses selama 60 menit dengan
rentang waktu pengambilan sampel untuk analisa
absorbansi warna yaitu pada menit awal, menit
ke-30, dan menit ke-60.

Gambar 7. Grafik hubungan waktu dan
degradasi warna limbah kain jumputan.
Seperti yang dapat dilihat pada gambar
7, menunjukkan semakin lama waktu proses,
maka persen degradasi warnanya menjadi
semakin besar. Ini menunjukkan adanya
pengaruh dari waktu yang digunakan sangat
berpengaruh pada pengolahan limbah pewarna
tersebut. Tentunya disamping pengaruh dari
waktu, temperatur pengadukan juga ikut dalam
mempengaruhi proses absorbansi tersebut.
Dianalisa juga kandungan COD yang
mengalami penurunan sebesar 66% yaitu dari
659 mg/L menjadi 225 mg/L dan mengalami
peningkatan nilai pH dari 5 menjadi 7. Hal ini
menunjukkan bahwa reagen fenton dapat

Page 59

diaplikasikan dalam pengolahan limbah cair
pewarna kain sintetis seperti limbah cair kain
jumputan.

4.

KESIMPULAN

1. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi
temperatur, maka semakin besar persen
degradasi warna yang dicapai. Dalam
pengolahan air limbah pewarna sintetis
dengan menggunakan reagen fenton ini
didapatkan kondisi optimum untuk pengaruh
temperatur adalah 55°C.
2. Hasil penelitian menunjukkan semakin lama
waktu pengadukan, maka semakin besar
persen degradasi warna yang dicapai. Dalam
pengolahan air limbah pewarna sintetis
dengan menggunakan reagen fenton ini
didapatkan kondisi optimum untuk waktu
pengadukan yaitu 60 menit.
3. Hasil pengujian reagen fenton terhadap
limbah kain jumputan dengan temperatur
55°C, waktu pengadukan 60 menit dengan
kecepatan pengadukan 200 rpm, didapatkan
penurunan COD sebesar 66%. Dan degradasi
warna 100% terjadi pada waktu pengadukan
selama 120 menit.

DAFTAR PUSTAKA
Agustina, T.E. dan
Badewasta, H., (2009).
Pengolahan limbah cair industri batik cap
khas Palembang dengan proses filtrasi dan
adsorpsi,
Prosiding Seminar Nasional
Teknik Kimia Indonesia 2009, Bandung 1920 Oktober 2009
Agustina, T. E., Nurisman, E., Prasetyowati,
Haryani, N., Cundari, L., Novisa, A., dan
Khristina, O., 2011, Pengolahan Air
Limbah
Pewarna
Sintetis
Dengan
Mengunakan Reagen Fenton , Prosiding
Seminar Nasional Avoer ke-3 Tahun 2011,
Palembang, 26-27 Oktober 2011
Barbusinki, K. & Koscielniak, 1999, Aerobic
Sludge Digestion In The Presence Of
Chemical Oxidation Agents. Part II:
Fenton’s Reagent, Institute a Water and
Waste Water Engineering, Silesion
Technical University, Poland.
Bismo, S., 2006, Teknologi Radiasi Sinar Ultra Ungu (UV) Dalam Rancang Bangun Proses
Oksidasi Lanjut Untuk Pencegahan

Page 60

Pencemaran Air Dan Fase Gas , Fakultas
Teknik Universitas Indonesia, Jakarta.

Budiyono, 2008, Kriya Tekstil Untuk SMK,
Direktorat Pembinaaan Sekolah Menengah
Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan
Dasar
dan
Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Budiyono, 2008, Kriya Tekstil Untuk SMK,
Direktorat Pembinaaan Sekolah Menengah
Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan
Dasar
dan
Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Christie, R.M., 2001, Colour Chemistry, Royal
Society of Chemistry, Cambridge, Great
Britain.
Gulkaya I, Surucu Gulerman A, Dilek Filiz B.
Importance of H2O2/Fe2+ ratio in Fenton's
treatment of a carpet dyeing wastewater . J.
Hazard. Mater. 2006; 136: 763-769.
Hudaya, T., M. Stefanus, dan Maria A., 2011,
H2O2/UV Photo-oxidation Of Nonbiodegradable DYA Textile-dye Wastewater
In
a
Multi-lamp
Bubble
Column
Photoreactor , Prosiding Seminar Nasional
Teknik Kimia, ISSN 1693 – 4393.
Hunger, K., 2003, Industrial Dyes: Chemistry,
Properties, Applications, Wiley-vch Verlan
GmbH & Co. KGaA, Weinheim, German.
Koko, 2011, Warna Batik, http:// kokobahtiar.
blogspot.com, diunduh pada Oktober 2011.
Malato, S., J. Blanco, A. Campos, J. Caceres, C.
Guillard, J. M. Herrmann, and A. R.
Fernandez-Alba, 2003, Applied Catalysis
B: Environmental, 42. 349 – 357.
Neyens, E & Baeyens, 2003, A Review of
Classical Fenton’s Peroxidation As an
Advanced Oxydation Technique , Journal of
Hazardous Materials, 99. 22 – 50.
Rahmawati, I., 2011, Kimia Asyik Kimia
Menarik, http:// irizlovely.blogspot.com/
2011/08/
industri-bahan-pewarna-danpencelup.html, diunduh pada Oktober 2011.
Shofian, M., 2005, Kesan Perencat Terhadap
Keberkesanan Proses Reagen Fenton
Dalam Mengolah P ewarna Industri Tekstil,
Akademi Tentera Malaysia, Universiti
Teknologi Malaysia.

Jurnal Teknik Kimia No. 3, Vol. 18, Agustus 2012

Sugiarto, A. T., 2004, Pengaruh pH dan
Konsentrasi Zat Warna Pada Penguraian
Zat Warna Remazol Navy Blue Scarlet
Dengan Teknologi AOP , Pusat Penelitian
Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Bandung.
Sunarto, 2008, Teknik Pencelupan dan
Pencapan , Direktorat Pembinaaan Sekolah
Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal
Manajemen
Pendidikan
Dasar
dan
Menengah,
Departemen
Pendidikan
Nasional, Jakarta.

Jurnal Teknik Kimia No. 3, Vol. 18, Agustus 2012

Stanislaw, L., Monika S., and Renata Z., 2001,
Biodegradation,
Decolourisation,
and
Detoxification of Textile Wastewater
Enhanced
by
Advanced
Oxidation
Processes, Journal of Biotechnology, 89.
175 – 184.
Woodard, F., 2001, Industrial Waste Treatment
Handbook, Butterworth Heinemann, Boston
Zinkus, G. A., W. D. Byers, and Doerr W. W.,
1998, Chemical Engineering Program, 94.
19 – 31.

Page 61

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25