TEORI RESEPSI DALAM PANDANGAN PARA AHLI
TEORI RESEPSI
DALAM PANDANGAN PARA AHLI SASTRA
@ersaja
PENDAHULUAN
Teori resepsi merupakan aliran dalam penelitian sastra
yang semenjak tahun 1960-an menggeser fokus dari
teks (aliran egosentris atau gerakan otonomi) ke arah
pembaca. Dalam arti luas, istilah resepsi dipergunakan
bagi setiap aliran dalam penelitian sastra yang
mempelajari bagaimana karya-karya sastra diterima
oleh pembaca. Cara penerimaan dapat bersifat
psikologis maupun sosiologis.
Dalam arti sempit, penelitian resepsi sinonim dengan
mazhab Konstanz yang meneruskan penelitian
fenomenologi (Ingarden), strukturalisme Praha
(Mukarovsky), dan hermeneutika (Gadamer). Teori
resepsi dapat dibedakan dua aliran, yaitu sejarah
resepsi yang dipelopori oleh Hans Robert Jauss dan
estetika resepsi (Wirkungsestetik, estetik pengolahan)
yang dikenalkan oleh Wolfgang Iser (Hartoko dan
Rahmanto, 1986:117).
Dalam pandangan Jauss, penelitian resepsi didasarkan
pada perombakan sejarah sastra. Ia tidak lagi
memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra,
melainkan bagaimana sebuah karya diterima waktu
terbit pertama kalinya dan seterusnya. Karena antara
masa silam dan masa kini perlu diadakan dialog, lagi
pula untuk menjembatani jarak antara masa kini dan
sebuah teks lama, Jauss memperkenalkan pengertian
horison harapan (istilah Hartoko cakrawala harapan)
yang dapat menjadikan pengalaman literer
(penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca)
objek penelitian.
Horison harapan seorang pembaca ditentukan
berdasarkan komponen-komponen berikut : (i)
pengetahuan mengenai kesenian (poetika) dan jenisjenis sastra, (ii) pengetahuan mengenai lingkungan
historis-literer, (iii) pengetahuan mengenai perbedaan
antara fakta dan fiksi, (iv) perbedaan antara bahasa
puitis dan bahasa sehari-hari (Hartoko dan Rahmanto,
1986:117-118).
Menurut Jauss, penilaian oleh pembaca terjadi
berdasarkan komunikasi antara teks dan
horison harapan si pembaca. Bila harapan tadi
diperluas karena adanya norma-norma baru
(jarak estetis), maka karya itu dinilai sebagai
seni yang sungguh-sungguh. Bila tidak, maka
karya itu termasuk sastra picisan.
Selain itu, Jauss menekankan, bahwa sebuah
karya sastra harus didekati baik secara
diakronis (tempatnya dalam sejarah sastra)
maupun secara sinkronis. Akhirnya, sejarah
sebuah karya sastra harus dihubungkan dengan
sejarah umum. Dengan demikian, dapat dapat
diteliti apakah dan bagaimana pengalaman
literer mempengaruhi pengalaman hidup serta
tindak praktis seorang pembaca dan
sebaliknya.
Pengerian horison harapan oleh Mandelkov diperinci
lebih lanjut, menjadi harapan mengenai seorang
pengarang, mengenai karya itu sendiri, dan mengenai
jenis sastra. Teori resepsi dikritik oleh para peneliti
Marxis karena kurang memperhatikan diferensiasi
sosiologis dan secara berat sebelah menekankan
kriteria pembaharuan (lawan mimesis). Kemungkinan
untuk secara praktis menerapkan sejarah resepsi agak
terbatas. Perlu dibedakan antara resepsi riil dan resepsi
ilmiah hipotetis (Hartoko dan Rahmanto, 1986:118).
Dalam teori resepsi, Iser memandang hubungan
individual antara teks dan pembaca. Maksudnya bukan
pembaca kongkret individual, melainkan unsur-unsur di
dalam teks yang mengakibatkan komunikasi. Iser juga
memperkenalkan istilah “Unbestimmheit”
(ketidaktentuan) yang dipinjam dari Ingarden. Setiap
unsur yang tidak tentu merangsang pembaca.
Kemudian konsep itu diubah dengan konsep “tempat
kosong”, yaitu segala sesuatu yang oleh pengarang
tidak diperinci.
Faktor lain yang mempengaruhi proses bacaan
adalah ‘negasi”, penyangkalan; ini terjadi bila
beberapa modul untuk menafsirkan kenyataan
diragukan atau bila karya-karya sastra
diparodikan. Selain itu, pengarang dapat
memakai macam-macam akal (fokalisasi yang
berganti-ganti, flashback) guna menciptakan
suatu dunia khayalan, tidak eksplisit dengan
kata-kata, melainkan hanya dengan
menimbulkan kesan saja.
Gejala ini oleh Iser disebut “negativitas”.
Penelitian tentang resepsi juga dapat dilakukan
secara eksperimental dan empiris, misalnya
dengan mengadakan angket di antara pembaca
(Hartoko dan Rahmato, 1986:118-119).
Menurut Jaus, sejarah sastra selama 150 tahun
terakhir menunjukkan tanda-tanda yang
menurun. Tujuan sejarah sastra menjadi hilang.
Bukan rahasia lagi bahwa para filolog lebih
merasa bangga terhadap diri mereka sendiri
dalam menempatkan penyajian secara
tradisional kesusastraan nasional mereka dalam
suatu periode, dan secara keseluruhan dalam
kuliah-kuliah tentang sejarah pendekatanpendekatan sistematik lain.
Hasil ilmiah menawarkan suatu gambaran yang
berhubungan, di antaranya, proyek-proyek
kolektif dalam bentuk buku pegangan,
ensiklopedia, dan serangkaian interpretasi yang
dikumpulkan yang telah melahirkan sejarah
kesusastraan sebagai bentuk sejarah yang
tidak sungguh-sungguh.
Pada dasarnya, kumpulan-kumpulan
pseudohistoris ini jarang dihasilkan dari insiatif
para sarjana, tetapi lebih banyak dihasilkan dari
aksi sebagian penerbit yang resah. Sebaliknya,
ilmu pengetahuan yang serius melahirkan
monograf dalam jurnal-jurnal ilmiah dan
mencontohkan standar yang lebih tegas
tentang metode kritis kesusastraan
menyangkut daya, retorika, filologi tekstual,
semantik, puisi, morfologi, filologi historis,
sejarah motif, dan aliran.
Jurnal-jurnal ilmiah filologis saat ini tidak bisa
dipungkiri merupakan bagian yang baik yang
masih terisi dengan artikel-artikel yang memuat
pendekatan historis kesusastraan. Kritik teori
sastra sangat jarang melihat persoalan apa pun
secara jelas.
Sejarah sastra, dari bentuk yang paling tepat, berusaha
untuk menghindarkan diri dari dilema rangkaian fakta
yang menyerupai sejarah dengan menyusun materinya
sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan umum,
aliran untuk disajikan dalam rubrik-rubrik karya individu
dalam suatu rangkaian yang krono-logis.
Dalam bentuk ekskursis, biografi pengarang dan
penilaian terhadap oeuvrenya yang muncul pada
sebagian tempat kejadian, atau sejarah sastra
menyusun materinya secara unilinear menurut
kronologi penulis besar dan mengevaluasinya sesuai
dengan skema “kehidupan dan karya”. Bentuk kedua
lebih tepat dengan aturan-aturan penulis klasik;
pertama kali lebih sering ditemukan dalam sastra
modern yang harus berjuang menghadapi kesulitan
dalam membuat pilihan dari daftar penulis dan karyakarya yang jarang dapat diteliti (Jauss, 1983:3-4).
Keberhasilan sejarah sastra abad ke-20 jatuh-bangun
dengan keyakinan bahwa ide atau gagasan tentang
individualitas nasional merupakan “bagian yang tidak
tampak dari setiap fakta”, dan gagasan ini merupakan
“bentuk sejarah” yang dapat direpresentasikan dalam
serangkaian karya sastra. Lebih lanjut, keyakinan ini
lenyap sehingga benang yang menghubungkan
kejadian-kejadian itu harus juga lenyap, kesusastraan
masa lalu dan masa sekarang terceraikan dalam
lingkup penilaian yang terpisah, dan pemilihan,
penentuan, serta penilaian fakta-fakta kesusastraan
menjadi masalah.
Perubahan terhadap positivisme, pada dasarnya,
dikondisikan oleh krisis ini. Sejarah sastra positif
diyakini dapat melahirkan kebaikan bagi keperluannya
jika meminjam metode-metode ilmu pengetahuan alam
yang pasti. Representasi kesusastraan dalam sejarah
imanennya dan dalam hubungannya dalam sejarah
pragmatis bersandar di luar kepentingan sejarah ide
dan konsep, di samping itu, juga di luar kepentingan
penelitian tradisi yang dikembangkan bagi kepentingan
aliran Warburg.
Perbedaan antara pertimbangan-pertimbangan historis
dan estetis dari kesusastraan tidak banya tercakup di
sini dibanding pertimbangan-pertimbangan yang telah
ada dalam teori sastra, Bendetto Croce’s dengan
pembagian puisi dan nonpuisi yang diakui dalam ad
absurdum, Antagonisme antara kesusastraan murni
dan kesusastraan yang terkait waktu hanya dapat
diselesaikan ketika estetika dasarnya dipersoalkan.
Dalam hal ini, diakui bahwa perbedaan antara kreasi
dan imitasi hanya mewarnai kesusastraan pada periode
seni humanis, meskipun demikian, tidak selalu dapat
menjangkau kesusastraan modern atau bahkan
kesusastraan abad pertengahan. Sosiologi sastra dan
metode karya yang imanen dengan sendirinya terpisah
dari pendekatan-pendekatan aliran positif dan idealis.
Hal ini jelas terlihat dalam teori-teori sastra yang
berlawanan antara Marxis dan Formalis yang harus
berdiri di tengah-tengah penelitian kritis prahistoris
terhadap studi sastra kontemporer. Kedua aliran
berusaha dengan cara yang berbeda, memecahkan
persoalan tentang bagaimana fakta sastra yang
terpisah atau karya sastra yang tampak otonom dapat
dihasilkan dalam suatu koherensi historis sastra, dan
selanjutnya dipahami secara produktif sebagai proses
sosial atau sebagai momen perkembangan sastra.
Bentuk provokasi pertama dari teori sastra Marxis, yang
juga selalu diperbaharui, adalah bahwa teori ini
menolak sejarah mereka sendiri dalam seni dan
bentuk-bentuk hubungan antara kesadaran etik,
agama, atau metafisika. Sejarah sastra, seperti halnya
sejarah seni, tidak selalu mempertahankan
“penampilannya yang independen” ketika seseorang
menyadari bahwa produksinya menunjukkan produksi
materi dan praktik sosial manusia, bahkan produksi
artistik merupakan bagian dari “proses kehidupan riil”
yang menentukan sejarah usaha atau perkembangan
manusia (Jauss, 1983:8-10).
Teori refleksi ortodoks berhubungan dengan
cara dari tugas sejarah sastra dialektikmaterialistik yang murni, dan cara penyelesaian
persoalan korelasi tentang bagaimana
seseorang menentukan keberhasilan dan
pengaruh bentuk-bentuk sastra yang
independen dari praktik kemanusiaan yang
objektif. Dimensi-dimensi spesifik bagi
historisitas sastra menjadi berkurang.
Karya yang penting, karya yang menunjukkan
arah baru dalam kesusastraan, dikelilingi oleh
hasil karya yang tidak dapat diteliti dan
berhubungan dengan harapan-harapan
tradisional atau citra realitas, dengan demikian,
di dalam indeks sosialnya menjadi tidak kurang
bernilai dibanding karya pembaruan yang
sering kali dipahami beberapa saat kemudian.
Hubungan dialektik antara produk karya baru dan
reproduksi karya lama dapat dipahami melalui teori
refleksi ketika hubungan ini tidak menekankan
homogenitas kontemporer dalam kesalahan
representasi temporal terhadap ketentuan-ketentuan
harmonisasi kondisi-kondisi sosial dan fenomena sastra
yang mewarnainya.
Historisitas kesusastraan yang disembunyikan oleh
klasikismie estetika Marxis ortodoks juga diabaikan
karena memberikan interpretasi dialektik terhadap
konsep refleksi. Pandangan bahwa esensi historis dari
suatu karya seni tidak hanya besandar pada fungsi
ekspresif dan representasinya, tapi juga dalam
pengaruhnya harus memiliki dua konsekuensi bagi
dasar sejarah sastra yang baru. Hubungan suatu karya
dengan karya lain menghasilkan interaksi antara karya
itu dengan manusia serta koherensi karya-karya historis
di antara karya-karya tersebut harus dilihat sebagai
hubungan timbal balik antara produksi dan penerimaan
(Jauss, 1983:11-15).
Dari perspektif dilema pengulangan antara teori sastra
formalis dan teori sastra Marxis, dapat dilihat
konsekuensi yang tidak dapat disimpulkan dari masingmasing teori. Jika pada satu sisi perkembangan sastra
dapat dipahami dalam sistem perubahan historis, dan
pada sisi lain sejarah pragmatis dapat dipahami dalam
hubungan kondisi-kondisi sosial yang menyerupai
proses, maka ada kemungkinan untuk menempatkan
“seri sastra” dan “seri nonsastra” ke dalam suatu
hubungan yang memahami hubungan antara sastra
dan sejarah tanpa menekan sastra.
Dalam usaha menjembatani perbedaan antara sejarah
sastra, pendekatan sejarah, dan pendekatan estetis,
Jauss memulainya pada poin dimana kedua aliran
tersebut berhenti. Metode-metode yang mereka susun
dimaksudkan untuk memahami fakta sastra dalam
suatu lingkungan tertutup; dalam suatu estetika
produksi dan representasi. Dalam mengambil langkah
ini, mereka menghilangkan sastra dari dimensi yang
tidak dapat dihilangkan termasuk dalam karakter
estetisnya, begitu juga dalam fungsi sosialnya, yaitu
dimensi penerimaan dan pengaruhnya.
Estetika Marxis ortodoks memperlakukan pembaca
tidak berbeda dengan penulis: ia mencari kedudukan
sosialnya atau berusaha untuk mengenalkannya dalam
struktur masyarakat yang diwakili. Aliran Formalis
memerlukan pembaca hanya sebagai subjek yang
mengikuti petunjuk-petunjuk dalam teks guna
membedakan suatu bentuk atau temuan dari suatu
prosedur.
Dalam hal ini, diasumsikan bahwa pembaca memiliki
pemahaman teoretis dari para ahli filologis yang dapat
mencerminkan sarana artistik yang telah diketahui
mereka. Sebaliknya, aliran Marxis menyamakan
pengalaman spontan pembaca dengan kepentingan
ilmiah dari meterialisme historis yang akan
menemukan hubungan antara superstruktur dan dasardasar dalam literatur (Jauss, 1983:18-19).
Perspektif estetik penerimaan menjadi mediasi antara
penerimaan pasif dan pemahaman aktif, pengalaman
yang bersifat normatif bagi norma-norma dan produksi
baru. Jika sejarah litaratur dilihat dengan cara ini,
dalam batas-batas dialog antara karya dan audiens
yang membentuk kontinuitas, maka perbedaan antara
aspek historis dan estetisnya juga diberikan mediasi
secara kontinu.
Hubungan sastra dan pembaca memiliki implikasi
estetis dan juga historis. Implikasi estetis bersandar
pada fakta bahwa penerimaan pertama terhadap suatu
karya oleh pembaca mencakup pengujian terhadap
nilai estetisnya dibanding karya-karya yang telah
dibaca sebelumnya. Implikasi historis yang nyata dari
hubungan ini adalah bahwa pemahaman pembaca
pertama akan didukung dan diperkaya dalam suatu
rangkaian penerimaan dari satu generasi ke generasi
yang lain, dengan cara ini kepentingan historis dari
suatu karya akan diputuskan dan nilai estetisnya
menjadi jelas (Jauss, 1983:19-20).
PANDANGAN RAMAN SELDEN
Raman Selden membuka diskusi tentang teori resepsi
dengan pernyataan bahwa abad ke-20 merupakan era
pemberontakan terhadap kepastian objektif ilmu
pengetahuan abad ke-19. Selden memaparkan
pandangan para filosof seperti Eisntein, Kuhn, dan
Gestalt tentang perubahan orientasi ilmu pengetahuan.
Teori relativitas Einstein sendiri melemparkan keraguan
terhadap kepercayaan bahwa pengetahuan objektif
secara sederhana adalah sebuah penumpukan fakta
yang keras dan progresif. Kuhn mengatakan bahwa apa
yang muncul sebagai “fakta” dalam ilmu pengetahuan
tergantung pada rangka referensi yang dibawa
pengamat ilmu pengetahuan terhadap objek
pemahaman.
Psikologi Gestalt menyatakan bahwa pikiran manusia
tidak memahami benda-benda di dunia sebagai
pecahan dan kepingan yang tidak berhubungan, tetapi
sebagai konfigurasi unsur tema, atau keseluruhan yang
terorganisasi dan berarti.
Dari pandangan filosofis tersebut di atas memunculkan
pertanyaan, bagaimanakah penekanan modern ini pada
peranan aktif penelitian mempengaruhi teori sastra.
Selden menyodorkan model komunikasi linguistik
Jacobson.
Jacobson berpendapat bahwa wacana sastra berbeda
dengan jenis-jenis wacana yang lain sebab ia
mempunyai suatu “perangkat pesan”; sebuah sajak
adalah tentang dirinya sendiri (bentuknya, citraannya,
arti sastranya) sebelum tentang penyair, pembaca,
atau dunia. Jika kita menolak formalisme dan memilih
perspektif pembaca atau penikmat, pandangan
Jacobson tentang model komunikasi linguistik berubah.
Dari
sudut ini kita dapat berkata bahwa
sajak tidak mempunyai keberadaan nyata
sampai sajak itu dibaca; artinya hanya
dapat dibicarakan oleh para pembacanya.
Kata berbeda dalam interpretasi hanya
karena cara kita membaca berbeda.
Pembacalah yang menerapkan kode yang
ditulis penyair untuk menyampaikan
pesan dan cara pengaktualan ini, dengan
kata lain, apa yang akan tetap hanya
potensi yang mempunyai makna. Dalam
proses interpretasi, penerima sering
secara aktif terlibat dalam penyusunan
arti.
DALAM PANDANGAN PARA AHLI SASTRA
@ersaja
PENDAHULUAN
Teori resepsi merupakan aliran dalam penelitian sastra
yang semenjak tahun 1960-an menggeser fokus dari
teks (aliran egosentris atau gerakan otonomi) ke arah
pembaca. Dalam arti luas, istilah resepsi dipergunakan
bagi setiap aliran dalam penelitian sastra yang
mempelajari bagaimana karya-karya sastra diterima
oleh pembaca. Cara penerimaan dapat bersifat
psikologis maupun sosiologis.
Dalam arti sempit, penelitian resepsi sinonim dengan
mazhab Konstanz yang meneruskan penelitian
fenomenologi (Ingarden), strukturalisme Praha
(Mukarovsky), dan hermeneutika (Gadamer). Teori
resepsi dapat dibedakan dua aliran, yaitu sejarah
resepsi yang dipelopori oleh Hans Robert Jauss dan
estetika resepsi (Wirkungsestetik, estetik pengolahan)
yang dikenalkan oleh Wolfgang Iser (Hartoko dan
Rahmanto, 1986:117).
Dalam pandangan Jauss, penelitian resepsi didasarkan
pada perombakan sejarah sastra. Ia tidak lagi
memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra,
melainkan bagaimana sebuah karya diterima waktu
terbit pertama kalinya dan seterusnya. Karena antara
masa silam dan masa kini perlu diadakan dialog, lagi
pula untuk menjembatani jarak antara masa kini dan
sebuah teks lama, Jauss memperkenalkan pengertian
horison harapan (istilah Hartoko cakrawala harapan)
yang dapat menjadikan pengalaman literer
(penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca)
objek penelitian.
Horison harapan seorang pembaca ditentukan
berdasarkan komponen-komponen berikut : (i)
pengetahuan mengenai kesenian (poetika) dan jenisjenis sastra, (ii) pengetahuan mengenai lingkungan
historis-literer, (iii) pengetahuan mengenai perbedaan
antara fakta dan fiksi, (iv) perbedaan antara bahasa
puitis dan bahasa sehari-hari (Hartoko dan Rahmanto,
1986:117-118).
Menurut Jauss, penilaian oleh pembaca terjadi
berdasarkan komunikasi antara teks dan
horison harapan si pembaca. Bila harapan tadi
diperluas karena adanya norma-norma baru
(jarak estetis), maka karya itu dinilai sebagai
seni yang sungguh-sungguh. Bila tidak, maka
karya itu termasuk sastra picisan.
Selain itu, Jauss menekankan, bahwa sebuah
karya sastra harus didekati baik secara
diakronis (tempatnya dalam sejarah sastra)
maupun secara sinkronis. Akhirnya, sejarah
sebuah karya sastra harus dihubungkan dengan
sejarah umum. Dengan demikian, dapat dapat
diteliti apakah dan bagaimana pengalaman
literer mempengaruhi pengalaman hidup serta
tindak praktis seorang pembaca dan
sebaliknya.
Pengerian horison harapan oleh Mandelkov diperinci
lebih lanjut, menjadi harapan mengenai seorang
pengarang, mengenai karya itu sendiri, dan mengenai
jenis sastra. Teori resepsi dikritik oleh para peneliti
Marxis karena kurang memperhatikan diferensiasi
sosiologis dan secara berat sebelah menekankan
kriteria pembaharuan (lawan mimesis). Kemungkinan
untuk secara praktis menerapkan sejarah resepsi agak
terbatas. Perlu dibedakan antara resepsi riil dan resepsi
ilmiah hipotetis (Hartoko dan Rahmanto, 1986:118).
Dalam teori resepsi, Iser memandang hubungan
individual antara teks dan pembaca. Maksudnya bukan
pembaca kongkret individual, melainkan unsur-unsur di
dalam teks yang mengakibatkan komunikasi. Iser juga
memperkenalkan istilah “Unbestimmheit”
(ketidaktentuan) yang dipinjam dari Ingarden. Setiap
unsur yang tidak tentu merangsang pembaca.
Kemudian konsep itu diubah dengan konsep “tempat
kosong”, yaitu segala sesuatu yang oleh pengarang
tidak diperinci.
Faktor lain yang mempengaruhi proses bacaan
adalah ‘negasi”, penyangkalan; ini terjadi bila
beberapa modul untuk menafsirkan kenyataan
diragukan atau bila karya-karya sastra
diparodikan. Selain itu, pengarang dapat
memakai macam-macam akal (fokalisasi yang
berganti-ganti, flashback) guna menciptakan
suatu dunia khayalan, tidak eksplisit dengan
kata-kata, melainkan hanya dengan
menimbulkan kesan saja.
Gejala ini oleh Iser disebut “negativitas”.
Penelitian tentang resepsi juga dapat dilakukan
secara eksperimental dan empiris, misalnya
dengan mengadakan angket di antara pembaca
(Hartoko dan Rahmato, 1986:118-119).
Menurut Jaus, sejarah sastra selama 150 tahun
terakhir menunjukkan tanda-tanda yang
menurun. Tujuan sejarah sastra menjadi hilang.
Bukan rahasia lagi bahwa para filolog lebih
merasa bangga terhadap diri mereka sendiri
dalam menempatkan penyajian secara
tradisional kesusastraan nasional mereka dalam
suatu periode, dan secara keseluruhan dalam
kuliah-kuliah tentang sejarah pendekatanpendekatan sistematik lain.
Hasil ilmiah menawarkan suatu gambaran yang
berhubungan, di antaranya, proyek-proyek
kolektif dalam bentuk buku pegangan,
ensiklopedia, dan serangkaian interpretasi yang
dikumpulkan yang telah melahirkan sejarah
kesusastraan sebagai bentuk sejarah yang
tidak sungguh-sungguh.
Pada dasarnya, kumpulan-kumpulan
pseudohistoris ini jarang dihasilkan dari insiatif
para sarjana, tetapi lebih banyak dihasilkan dari
aksi sebagian penerbit yang resah. Sebaliknya,
ilmu pengetahuan yang serius melahirkan
monograf dalam jurnal-jurnal ilmiah dan
mencontohkan standar yang lebih tegas
tentang metode kritis kesusastraan
menyangkut daya, retorika, filologi tekstual,
semantik, puisi, morfologi, filologi historis,
sejarah motif, dan aliran.
Jurnal-jurnal ilmiah filologis saat ini tidak bisa
dipungkiri merupakan bagian yang baik yang
masih terisi dengan artikel-artikel yang memuat
pendekatan historis kesusastraan. Kritik teori
sastra sangat jarang melihat persoalan apa pun
secara jelas.
Sejarah sastra, dari bentuk yang paling tepat, berusaha
untuk menghindarkan diri dari dilema rangkaian fakta
yang menyerupai sejarah dengan menyusun materinya
sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan umum,
aliran untuk disajikan dalam rubrik-rubrik karya individu
dalam suatu rangkaian yang krono-logis.
Dalam bentuk ekskursis, biografi pengarang dan
penilaian terhadap oeuvrenya yang muncul pada
sebagian tempat kejadian, atau sejarah sastra
menyusun materinya secara unilinear menurut
kronologi penulis besar dan mengevaluasinya sesuai
dengan skema “kehidupan dan karya”. Bentuk kedua
lebih tepat dengan aturan-aturan penulis klasik;
pertama kali lebih sering ditemukan dalam sastra
modern yang harus berjuang menghadapi kesulitan
dalam membuat pilihan dari daftar penulis dan karyakarya yang jarang dapat diteliti (Jauss, 1983:3-4).
Keberhasilan sejarah sastra abad ke-20 jatuh-bangun
dengan keyakinan bahwa ide atau gagasan tentang
individualitas nasional merupakan “bagian yang tidak
tampak dari setiap fakta”, dan gagasan ini merupakan
“bentuk sejarah” yang dapat direpresentasikan dalam
serangkaian karya sastra. Lebih lanjut, keyakinan ini
lenyap sehingga benang yang menghubungkan
kejadian-kejadian itu harus juga lenyap, kesusastraan
masa lalu dan masa sekarang terceraikan dalam
lingkup penilaian yang terpisah, dan pemilihan,
penentuan, serta penilaian fakta-fakta kesusastraan
menjadi masalah.
Perubahan terhadap positivisme, pada dasarnya,
dikondisikan oleh krisis ini. Sejarah sastra positif
diyakini dapat melahirkan kebaikan bagi keperluannya
jika meminjam metode-metode ilmu pengetahuan alam
yang pasti. Representasi kesusastraan dalam sejarah
imanennya dan dalam hubungannya dalam sejarah
pragmatis bersandar di luar kepentingan sejarah ide
dan konsep, di samping itu, juga di luar kepentingan
penelitian tradisi yang dikembangkan bagi kepentingan
aliran Warburg.
Perbedaan antara pertimbangan-pertimbangan historis
dan estetis dari kesusastraan tidak banya tercakup di
sini dibanding pertimbangan-pertimbangan yang telah
ada dalam teori sastra, Bendetto Croce’s dengan
pembagian puisi dan nonpuisi yang diakui dalam ad
absurdum, Antagonisme antara kesusastraan murni
dan kesusastraan yang terkait waktu hanya dapat
diselesaikan ketika estetika dasarnya dipersoalkan.
Dalam hal ini, diakui bahwa perbedaan antara kreasi
dan imitasi hanya mewarnai kesusastraan pada periode
seni humanis, meskipun demikian, tidak selalu dapat
menjangkau kesusastraan modern atau bahkan
kesusastraan abad pertengahan. Sosiologi sastra dan
metode karya yang imanen dengan sendirinya terpisah
dari pendekatan-pendekatan aliran positif dan idealis.
Hal ini jelas terlihat dalam teori-teori sastra yang
berlawanan antara Marxis dan Formalis yang harus
berdiri di tengah-tengah penelitian kritis prahistoris
terhadap studi sastra kontemporer. Kedua aliran
berusaha dengan cara yang berbeda, memecahkan
persoalan tentang bagaimana fakta sastra yang
terpisah atau karya sastra yang tampak otonom dapat
dihasilkan dalam suatu koherensi historis sastra, dan
selanjutnya dipahami secara produktif sebagai proses
sosial atau sebagai momen perkembangan sastra.
Bentuk provokasi pertama dari teori sastra Marxis, yang
juga selalu diperbaharui, adalah bahwa teori ini
menolak sejarah mereka sendiri dalam seni dan
bentuk-bentuk hubungan antara kesadaran etik,
agama, atau metafisika. Sejarah sastra, seperti halnya
sejarah seni, tidak selalu mempertahankan
“penampilannya yang independen” ketika seseorang
menyadari bahwa produksinya menunjukkan produksi
materi dan praktik sosial manusia, bahkan produksi
artistik merupakan bagian dari “proses kehidupan riil”
yang menentukan sejarah usaha atau perkembangan
manusia (Jauss, 1983:8-10).
Teori refleksi ortodoks berhubungan dengan
cara dari tugas sejarah sastra dialektikmaterialistik yang murni, dan cara penyelesaian
persoalan korelasi tentang bagaimana
seseorang menentukan keberhasilan dan
pengaruh bentuk-bentuk sastra yang
independen dari praktik kemanusiaan yang
objektif. Dimensi-dimensi spesifik bagi
historisitas sastra menjadi berkurang.
Karya yang penting, karya yang menunjukkan
arah baru dalam kesusastraan, dikelilingi oleh
hasil karya yang tidak dapat diteliti dan
berhubungan dengan harapan-harapan
tradisional atau citra realitas, dengan demikian,
di dalam indeks sosialnya menjadi tidak kurang
bernilai dibanding karya pembaruan yang
sering kali dipahami beberapa saat kemudian.
Hubungan dialektik antara produk karya baru dan
reproduksi karya lama dapat dipahami melalui teori
refleksi ketika hubungan ini tidak menekankan
homogenitas kontemporer dalam kesalahan
representasi temporal terhadap ketentuan-ketentuan
harmonisasi kondisi-kondisi sosial dan fenomena sastra
yang mewarnainya.
Historisitas kesusastraan yang disembunyikan oleh
klasikismie estetika Marxis ortodoks juga diabaikan
karena memberikan interpretasi dialektik terhadap
konsep refleksi. Pandangan bahwa esensi historis dari
suatu karya seni tidak hanya besandar pada fungsi
ekspresif dan representasinya, tapi juga dalam
pengaruhnya harus memiliki dua konsekuensi bagi
dasar sejarah sastra yang baru. Hubungan suatu karya
dengan karya lain menghasilkan interaksi antara karya
itu dengan manusia serta koherensi karya-karya historis
di antara karya-karya tersebut harus dilihat sebagai
hubungan timbal balik antara produksi dan penerimaan
(Jauss, 1983:11-15).
Dari perspektif dilema pengulangan antara teori sastra
formalis dan teori sastra Marxis, dapat dilihat
konsekuensi yang tidak dapat disimpulkan dari masingmasing teori. Jika pada satu sisi perkembangan sastra
dapat dipahami dalam sistem perubahan historis, dan
pada sisi lain sejarah pragmatis dapat dipahami dalam
hubungan kondisi-kondisi sosial yang menyerupai
proses, maka ada kemungkinan untuk menempatkan
“seri sastra” dan “seri nonsastra” ke dalam suatu
hubungan yang memahami hubungan antara sastra
dan sejarah tanpa menekan sastra.
Dalam usaha menjembatani perbedaan antara sejarah
sastra, pendekatan sejarah, dan pendekatan estetis,
Jauss memulainya pada poin dimana kedua aliran
tersebut berhenti. Metode-metode yang mereka susun
dimaksudkan untuk memahami fakta sastra dalam
suatu lingkungan tertutup; dalam suatu estetika
produksi dan representasi. Dalam mengambil langkah
ini, mereka menghilangkan sastra dari dimensi yang
tidak dapat dihilangkan termasuk dalam karakter
estetisnya, begitu juga dalam fungsi sosialnya, yaitu
dimensi penerimaan dan pengaruhnya.
Estetika Marxis ortodoks memperlakukan pembaca
tidak berbeda dengan penulis: ia mencari kedudukan
sosialnya atau berusaha untuk mengenalkannya dalam
struktur masyarakat yang diwakili. Aliran Formalis
memerlukan pembaca hanya sebagai subjek yang
mengikuti petunjuk-petunjuk dalam teks guna
membedakan suatu bentuk atau temuan dari suatu
prosedur.
Dalam hal ini, diasumsikan bahwa pembaca memiliki
pemahaman teoretis dari para ahli filologis yang dapat
mencerminkan sarana artistik yang telah diketahui
mereka. Sebaliknya, aliran Marxis menyamakan
pengalaman spontan pembaca dengan kepentingan
ilmiah dari meterialisme historis yang akan
menemukan hubungan antara superstruktur dan dasardasar dalam literatur (Jauss, 1983:18-19).
Perspektif estetik penerimaan menjadi mediasi antara
penerimaan pasif dan pemahaman aktif, pengalaman
yang bersifat normatif bagi norma-norma dan produksi
baru. Jika sejarah litaratur dilihat dengan cara ini,
dalam batas-batas dialog antara karya dan audiens
yang membentuk kontinuitas, maka perbedaan antara
aspek historis dan estetisnya juga diberikan mediasi
secara kontinu.
Hubungan sastra dan pembaca memiliki implikasi
estetis dan juga historis. Implikasi estetis bersandar
pada fakta bahwa penerimaan pertama terhadap suatu
karya oleh pembaca mencakup pengujian terhadap
nilai estetisnya dibanding karya-karya yang telah
dibaca sebelumnya. Implikasi historis yang nyata dari
hubungan ini adalah bahwa pemahaman pembaca
pertama akan didukung dan diperkaya dalam suatu
rangkaian penerimaan dari satu generasi ke generasi
yang lain, dengan cara ini kepentingan historis dari
suatu karya akan diputuskan dan nilai estetisnya
menjadi jelas (Jauss, 1983:19-20).
PANDANGAN RAMAN SELDEN
Raman Selden membuka diskusi tentang teori resepsi
dengan pernyataan bahwa abad ke-20 merupakan era
pemberontakan terhadap kepastian objektif ilmu
pengetahuan abad ke-19. Selden memaparkan
pandangan para filosof seperti Eisntein, Kuhn, dan
Gestalt tentang perubahan orientasi ilmu pengetahuan.
Teori relativitas Einstein sendiri melemparkan keraguan
terhadap kepercayaan bahwa pengetahuan objektif
secara sederhana adalah sebuah penumpukan fakta
yang keras dan progresif. Kuhn mengatakan bahwa apa
yang muncul sebagai “fakta” dalam ilmu pengetahuan
tergantung pada rangka referensi yang dibawa
pengamat ilmu pengetahuan terhadap objek
pemahaman.
Psikologi Gestalt menyatakan bahwa pikiran manusia
tidak memahami benda-benda di dunia sebagai
pecahan dan kepingan yang tidak berhubungan, tetapi
sebagai konfigurasi unsur tema, atau keseluruhan yang
terorganisasi dan berarti.
Dari pandangan filosofis tersebut di atas memunculkan
pertanyaan, bagaimanakah penekanan modern ini pada
peranan aktif penelitian mempengaruhi teori sastra.
Selden menyodorkan model komunikasi linguistik
Jacobson.
Jacobson berpendapat bahwa wacana sastra berbeda
dengan jenis-jenis wacana yang lain sebab ia
mempunyai suatu “perangkat pesan”; sebuah sajak
adalah tentang dirinya sendiri (bentuknya, citraannya,
arti sastranya) sebelum tentang penyair, pembaca,
atau dunia. Jika kita menolak formalisme dan memilih
perspektif pembaca atau penikmat, pandangan
Jacobson tentang model komunikasi linguistik berubah.
Dari
sudut ini kita dapat berkata bahwa
sajak tidak mempunyai keberadaan nyata
sampai sajak itu dibaca; artinya hanya
dapat dibicarakan oleh para pembacanya.
Kata berbeda dalam interpretasi hanya
karena cara kita membaca berbeda.
Pembacalah yang menerapkan kode yang
ditulis penyair untuk menyampaikan
pesan dan cara pengaktualan ini, dengan
kata lain, apa yang akan tetap hanya
potensi yang mempunyai makna. Dalam
proses interpretasi, penerima sering
secara aktif terlibat dalam penyusunan
arti.