DI SETIAP SAAT TUHAN SELALU MEMBERKATI
DI SETIAP SAAT, TUHAN SELALU MEMBERKATI!!!
Judul di atas sedang ku renungkan dengan merefleksikan segala pengalaman hidup yang
dilalui secara pribadi maupun bersama pribadi-pribadi yang lain … LUAR BIASA …
Pada saat di mana secara hitam di atas putih, berikut dengan nota-nota dan hasil rekam
yang disodorkan … seolah-olah semuanya adalah pahit … menyesakkan … memilukan
… tapi … di “sebelah” itu semua … ada KEAJAIBAN!!!
Saat ini sedang kurasakan karena suatu peristiwa, suatu pengalaman … Dari pengalaman
ini … ku runtut waktu ke waktu … melihat pengalaman-pengalaman di dalamnya,
ternyata … DI SETIAP SAAT, TUHAN SELALU MEMBERKATI!
PUJI TUHAN … ALLELUIA !!!
Jadi, pada suatu ketika, adikku di Jakarta mengeluh karena kerepotan mengurus anjinganjing yang tadinya adalah hadiah dari Maria.
Jadi ceritanya, Maria yang adalah seorang dog lovers berniat membantu sahabatnya di
Magelang yang mendapat ancaman dari tetangga rumahnya ketika anjing di rumahnya
melahirkan. Tetangganya mengancam, jika anak-anak anjing ini tidak segera dibuang,
rumah mereka akan dibakar.
Akhirnya, Maria mencari orang untuk merawat anak-anak anjing turunan Kintamani-Coli
ini.
Sebelum ke orang lain, karena dia melihat anak-anak ini sangat unyu-unyu, saying kalau
diberikan ke orang lain yang tidak dia kenal, Maria menelpon bapakku, menawarinya
untuk merawatnya.
Serta merta bapakku setuju, bahkan meminta jantan dan betina. Katanya, bapak pengen
yang betina, sedangkan yang jantan akan ditempatkan di Jakarta, menemani adikku.
Akhirnya, sepasang anak anjing, jantan dan betina kami kirimkan ke kampong halaman,
ke rumah bapakku yang sudah siap tempatnya.
Dalam perjalanan waktu, ternyata kesulitan melanda bapakku, dengan keadaan mirip di
Magelang, yaitu ancaman dari tetangga yang tidak suka dengan anjing.
Padahal anjing cuma hidup di dalam halaman rumah sendiri, tidak pernah ke luar pagar.
Oleh karenanya, kedua anak anjing yang sudah ABG ini dikirim ke Jakarta, ke tempat
adikku, tepat pada saat syukuran rumah adikku yang baru dihuni di sana.
Kami pun datang ke Jakarta untuk berdoa mengucap syukur atas kehidupan adikku
sehingga bisa mendirikan rumah di daerah Jakarta. Selain itu, kami ingin melihat “anakanak” kami yang dibawa Maria dari Magelang cuma dengan menggunakan sepeda motor
bebek sambil berhujan-hujan ria …
Padahal … Magelang Semarang itu bukan cuma 10 – 20 Km. …
Tapi demi keselamatan anak-anak anjing itu dan permintaan bapakku, Maria melaluinya
dengan penuh cinta … ☺
Ternyata …
Selang beberapa minggu setelah kedatangan kami … di saat kami sudah kembali ke kota
asal …
ada telpon dari Jakarta … dari adikku …,”Ini Mbak … udah lahir 1 … sepertinya, si Vi
masih mau melahirkan lagi …”
WAH!!!
Dan itu terjadi sekitar jam 1 pagi !!!
Dan si Vi …anak betina yang tadi diceritakan … melahirkan lagi 3 anak sehingga total 4
anak dengan seekor betina saja ada di antara ketiga saudara jantannya … he he he …
Akhirnya di minggu-minggu berikutnya … kegalauan melanda adikku lagi … karena
HARUS MEMELIHARA 4 MAKHLUK YANG RAJIN MELAKUKAN KERIBUTAN
… Ha ha ha haaaaaaa … ribut oleh gonggongan mereka … xixixixixiiiiii ….
Tentu saja, sekalipun belum ada yang mengancam …adikku sebagai makhluk social,
merasa hal itu adalah sesuatu yang harus diatasi.
Dengan segala usaha tawar sana tawar sini … akhirnya kami putuskan, untuk memelihara
si Vi dan 2 anaknya, soalnya anak satunya lagi yang betina sudah diminta A Mamat
untuk dipelihara anaknya yang masih sekolah SD.
Jadi, di rumah adikku masih tinggal sang bapak baru anak-anak yang namanya si Bob dan
anaknya 1 ekor yang jantan.
Untuk mengambil si Vi, sang induk, dan kedua anaknya tentu saja kami harus ke Jakarta
lagi.
Puji Tuhan, … ada rejeki untuk melakukan itu semua.
13 Juni lalu kami ke Jakarta dengan membawa sebuah kandang anjing yang kami pinjam
pada salah seorang dog lover di grupnya Maria.
Tibalah kami di Jakarta …
Oh My God!!!
Si Vi kok kurus sekaliiiiii … kakinya merah-merah …
Padahal adikku bilang, dia makannya banyak juga … duuuh … tapi kok seperti yang
sedang sakit …
Terus anak-anaknya … duuuuh …
Yang jantan botak semua … kecuali yang betina. Tapi si betina bibit-bibit kebotakannya
terlihat juga …
Apa akibat mereka nenen/menyusu pada si Vi ya?
Kalau kami perhatikan, si Vi membiarkan anak-anaknya yang jantan menyusu
kepadanya, tapi sering menghardik anaknya yang betina untuk menyusu.
Jadi, si anak betina kalau mau menyusu suka ngumpet-ngumpet kalau saudarasaudaranya yang lain udah menutupi pandangan emaknya … he he …
Semua anak si Vi gendut – gendut semua … si Vi seperti disedot anak-anaknya hingga
kurus kering … duuuuh … kok bisa ya … ???
Ok deh … ga masalah … kami akan merawatnya penuh kasih di kampong.
Semoga nanti dia cocok dengan makanan yang bisa kami sediakan.
Sembari ke Jakarta, kami menyempatkan diri mengunjungi kakaknya Maria yang sudah
bertahun-tahun tidak bersua.
Judulnya sih mau menyerahkan pigura-pigura milik kakaknya.
Tapi sebenarnya … pengen ketemuan … he he …
Syukurlah, … hal itu bisa terlaksana.
Setelah sehari sebelumnya ketemu hanya sebentar, karena sang kakak hendak pergi, kami
kembali ke sana bersama adikku sewaktu kami berniat pergi ke gereja.
Sampai akhirnya … ke gereja hanya menjadi niatan saja … he he … karena yang lebih
penting kan … suasana penuh cinta kasih … penuh kasih saying … :D … Ya ngga? Ya
ngga??? :-D
Di saat itu disampaikanlah hati ke hati segala situasi yang dijalani Maria dan keluarga
kakaknya. Selain itu, mulai dibukakan pintu untuk mengurus warisan yang terutama
menjadi tanggung jawab Maria menempatinya, walaupun sebenarnya hal itu terasa sangat
berat bagi Maria yang notabene penghasilannya tidak setara dengan kebutuhan.
Namun yang lebih penting dari itu semua adalah … Kakak ipar Maria menawari
pembuatan kartu BPJS kesehatan bagi Maria, karena memang selalu gagal dalam
pekerjaan karena masalah kesehatannya.
Setelah segala hal selesai dicurhatkan dan diselesaikan di Jakarta ... akhirnya kami
pulang.
Sepanjang perjalanan anak-anak anjing melaluinya dengan tenang ... tapi tidak dengan
induknya.
Tampak sekali dia loyo karena sakit dan kecapekan.
Waktu di rest area di Cirebon dia diajak turun ... duuuuuh ... kakinya sampai gemeter ...
berkali-kali muntah di jalan. Mulutnya mengaga terus dengan lidah yang tegang ... Duh ...
Vi ... sabar ya ... kita masih jalan beberapa jam lagi ... :’(
Akhirnya kami berjalan lagi ... dan sampailah kami di rumah tercinta. ☺
Kami bawa masuk si Vi dan anak-anaknya masih di dalam kandang, ... karena di sana
sudah ada 6 ekor lagi yang pasti menyambutnya ... xixixixiiiiiiii ... :-D
He he he ... kira-kira sekitar setengah jam ke enam penjaga rumah melihat pendatang
baru di dalam kandang ... xixixixiiiiii ...
Akhirnya ... setelah kelihatan stabil ... ku buka pintu kandangnya dan kami biarkan
penghuni baru ke luar dengan sendirinya ...
Tentu saja mereka diendus – endus lebih serius oleh penghuni lama ... terutama para
pejantan terhadap si Vi ... xixixixiiiii ... :-D ...
Dasar ...
Yah ... sekalipun si Vi sedang lemah dan terlihat kurus kering dan berwarna merah akibat
gatal ... pejantan-pejantan rumah tidak jijik untuk mengendus-endusnya ... terutama pada
bagian itu ... N A K A L !!!
Xixixixiiiii ... :-D ... namanya juga makhluk hidup ... :-D ... berjenis ini ... tentu saja ... :D
...
Akhirnya ... hari-hari berikutnya kami memiliki 9 sahabat manusia ... dengan fokus
perawatan pada 3 ekor di antaranya ... ☺
Dari hari ke hari kemudian ... kami mencoba merawat si Boju, Bajak anak-anak si Vi dan
induknya.
Periode pertama, kami bawa dengan boncengan naik motor si Boju dan Bajak dulu ke
dokter hewan.
Kata si dokter,”Kemungkinan besar kena demodec.”
“Apa itu demodec Dok?” tanyaku.
“Semacam jamur,”katanya. Diberinyalah kami resep dengan ongkos berobat
Rp.50.000,00.
Keesokan harinya kami bawa si Vi, sang induk, ke dokter.
“Sesuai perkiraan, anak-anaknya tertular si Vi sehingga botak. Dipisahkan aja si Vi sama
anak-anaknya, supaya mereka ga nenen terus.”
“Ok Dok ...”
Diberinyalah kami resep dengan ongkos berobat seharga Rp.100.000,00.
Total pemeriksaan dan pembelian obat mereka (ditambah beberapa obat untuk Maria
karena sedang terkena flu akibat kecapekan) Rp.300.000,00.
Setelah obat habis, perubahan belum terlalu kentara bagi si Vi dan anak-anaknya.
Maka, si dokter kami undang ke rumah, karena jika kami harus datang ke tempat
prakteknya cukup repot seperti pemeriksaan pertama.
Akhirnya si dokter datang.
Yang pertama dia periksa adalah si Vi.
Berhubung leher si Vi terlihat sangat merah-merah, si dokter mengeluarkan tabung yang
isinya disemprotkan ke lehernya si Vi. Warna obat itu ungu.
Kata dokter,”Warna ini baru hilang setelah 3 hari.”
Lalu, karena saya yang memegang si Vi waktu disemprot, dan tangan saya terkena, saya
bilang juga,”Berarti saya juga tangannya berwarna selama 3 hari.”
Kata dokter,”Iya, kalo ga pernah mandi dan cuci tangan.” ... hahahahahahaaaaaaaaa ....
Karena si Bajak yang paling parah, setelah dikontrol sang dokter, dia mendapat obat
dengan dosis yang cukup tinggi.
Dokternya sampai wanti-wanti,”Kalau setelah makan obat ini si Bajak muntah, tolong
hentikan ya.”
“Ya Dok,”jawab kami.
Boju dan si Vi kondisinya hampir serupa, sehingga obat yang diberikan sama.
Hm ... biar ke rumah, tentu pengobatan si dokter memerlukan biaya pemeriksaan dan beli
obat yang habis hingga Rp.200.000,00.
Terus dari waktu ke waktu kami memantau perkembangan mereka.
Khususnya si Vi ... lumayan, terlihat perkembangannya setelah pemeriksaan ke dua.
Sekarang dia tidak merah-merah lagi. Bulunya sudah menutupi seluruh kakinya.
Juga, karena kami sering memisahkan dia dengan anak-anaknya, anak-anaknya jadi
mengerti, bahwa mereka sudah disapih... xixixiiiiii ... :-D
Jadi, kalau mereka disatukan di satu tempat, anak-anak ini tidak cepet-cepet mencari
puting emaknya. Apabila saya melihat mereka mendekati puting emaknya, langsung saya
tendang dengan lembut. Akhirnya mereka mereka mengerti ... mereka udah ga boleh
nenen lagi ... waktunya si Vi untuk mengisi tubuhnya yang udah kurus kering ... he he ...
Cuma si Boju dan Bajak terutama belum terlalu kentara.
Tapi sepertinya si botak mereka sedikit demi sedikit sudah menghilang.
Tapi ga terlalu kentara.
Apalagi si Bajak ... bukan cuma botak kepalanya, tapi juga bulu badannya sepertinya
rontok parah juga. Padahal udah dikasih obat dosis tinggi.
Hmmmm ...
Kami putuskan, untuk merawat Boju & Bajak biasa aja, tanpa pemeriksaan dan resep
dokter lagi. Kami coba penuhi kebutuhan makan mereka, yang memang ga boleh makan
ayam. Semoga, penyakit mereka bisa mereka atasi dengan antibodi mereka sendiri.
Setiap 2 kali seminggu kami mandikan mereka dengan teratur. Terakhir kami belikan talk
anti jamur, semoga bermanfaat.
Hmmmm ...
Sebelum talk itu kami gunakan untuk mereka ... hmmmmm ... Maria terserang sakit
keras. Sejak hari Minggu doi muntah-muntah ... Selera makannya blas ngga ada
karenanya.
Duuuh ... saya bingung.
Di hari Senin, kami pergi ke Klinik Selaras, tempat berobat dengan menggunakan kartu
BPJS yang dibuatkan oleh kakak Maria sewaktu kami ke Jakarta.
Kami ingin meminta surat rujukan ke rumah sakit untuk dicek USG, karena setiap bulan
Maria selalu mengalami masalah muntah ketika menstruasi.
Namun, masalah muntah sekarang jauh lebih parah daripada bulan-bulan yang lalu.
Pemeriksaan di sana hanya bersifat wawancara.
Dokter sama sekali tidak menyentuh pasien.
Jangan harap stetoskop menempel ke tubuh kita, periksa tekanan darah hanya dilakukan
pada kali pertama kami periksa.
Dulu kami pernah menggunakan kesempatan periksa dengan kartu BPJS baru.
Di sana kami memeriksakan perut Maria yang bermasalah karena sulit BAB, gigi yang
bermasalah, dan telinga.
Waktu itu Maria sempat dicek tekanan darahnya oleh perawat di sana.
Namun pada pertemuan-pertemuan berikutnya, pemeriksaan tekanan darah itu tidak
pernah dilakukan lagi.
Bertemu dokter keluarga dengan kartu BPJS ini sifatnya cuma wawancara saja.
Memang untuk yang terakhir ini, dokter sempat meminta Maria memperlihatkan
lidahnya.
Katanya,”Waaah ... lidahnya terlihat putih. Sepertinya bukan masalah menstruasi ini, tapi
Ibu terkena gejala typhus.”
Jawab Maria,”Tapi Dok, setiap bulan saya pasti muntah-muntah kalau menstruasi. Tapi
muntahan sekarang jauh lebih sering daripada bulan-bulan lalu. Maka, saya curiga ada
yang ga beres dengan alat reproduksi saya.”
Akhirnya sang dokter memberikan surat rujukan ke Rumah Sakit Daerah Ketileng.
Namun selain daripada itu, dia juga memberika resep obat untuk mengobati
pencernaannya.
Obat dimakan apabila sudah makan ... Waduuuuh ... Padahal selera makan sedang tidak
ada dan sesudah makan pasti muntah.
Yah, saya coba sediakan makanan yang dia senangi. Saya bawa dia beli tomyam
kesukaan dia. Ku ajak dia ke Java Mall, ke Istana Mie. Kebetulan waktu kedatangan kami
bertepatan dengan orang yang sedang berbuka puasa, di sana ramaaaaaaaai sekali
tempatnya.
Awalnya kami kebagian di tempat duduk yang posisinya sangat sempit.
Tapi syukurlah, ada pelanggan yang sudah selesai makan, dan kami memilih tempat
mereka ... di suatu sudut ruangan.
Sembari menunggu, doi terlihat pucat sekali.
Sesekali dia merebahkan kepala berbantal lengan di meja. Lemeeeeees banget.
Tiba-tiba meja sebelah beralih pelanggan. Yang datang 2 gadis remaja dan seorang
pemuda imut. Yang gadis-gadis ini ribuuuuuuut banget ngobrolnya, ga lihat sekeliling.
Akhirnya Maria ga tahan lagi ...
Tiba-tiba dia menundukkan kepala dan mencari kantong plastik.
Muntahlah di sana.
Xixixixiiiiiii ... rombongan baru ini akhirnya pindah ... :-D
Ga lihat-lihat sekeliling ada yang sakit ... hmf ... anak muda ... anak muda ...
Akhirnya Maria bisa makan juga ... walau dengan porsi separuh ... Sisanya dibungkus aja
dan kami berikan ke sahabat manusia di rumah ...
Lalu Maria makan obat yang tadi diberikan oleh dokter.
Dia bilang,”Duh ... pahit!”
“Yah ... ga apa-apa ... yang penting dirimu menjadi sehat.”
Sayangnya, sebelum oleh-oleh untuk sahabat manusia itu dibagikan ... setibanya di rumah
Maria muntah dan muntah lagi melebihi apa yang tadi dimasukkan di tempat makan ...
hiksss ... :’(
Jadi obat-obatnya juga keluar ... :’(
Akhirnya kami berusaha istirahat ... tidur menyambut hari esok hendak ke RSUD
Ketileng.
Ku tahu, sekali dua kali Maria muntah sepanjang tidurnya ...hiksss ... :’(
Pagi pun tiba.
Saya tahu, karena Maria sepanjang malam tidak istirahat karena selalu muntah, tentu dia
tidak kuat pergi ke rumah sakit sendirian.
Maka saya sms atasan dan rekan-rekan kerja saya, bahwa saya tidak bisa masuk kerja
karena keadaan darurat.
Mereka memaklumi dan akhirnya kami bisa pergi ke rumah sakit yang dituju.
Alamaaaaaaaak ...
Tiba di rumah sakit kira-kira jam 8 pagi. Di sana sudah penuh sekali ruang daftarnya!
Mungkin ada 300 orang di dalamnya.
Saya coba sedikit membantu Maria untuk mendaftar ... kasihan dia ... matanya sudah
sangat sayu kecapekan muntah semalaman ...
Akhirnya, setelah mendapat panggilan, kami berjalan ke poli kandungan sekitar jam
11.00 WIB.
Kami melihat begitu banyak personel berseragam putih, sepertinya mahasiswamahasiswa kedokteran yang sedang KOAS di dalamnya, sekitar 5 orang yang selalu stand
by di sana dan ada banyak lagi yang ke luar masuk ruang itu. Hiruk pikuk sekali.
Terus terang, sebagai pasien, hal ini sangat tidak nyaman.
Terlebih mau cek USG, disarankan tidak pipis sebelum cek dilakukan.
BAYANGKAN!!! Sejak pagi hingga siang TIDAK BOLEH PIPIS ... Betapanya ... :’(
Sedangkan di sana ... jadi bahan percobaan anak-anak kedokteran, karena seharusnya
pasien dirawat dalam sekali perjalanan, ini malah disuruh antri yang kedua kalinya untuk
ketemu dokter yang sesungguhnya. BARU DIPERIKSA JAM 14.00 WIB!!!
Gile aje ... sumprit deh nih rumah sakit ... orang sakit jadi tambah sakit. >
Ya sudahlah ...
Sekarang pokoknya Maria sudah selesai di USG. Ke luar dari kamar USG, dia membawa
resep dokter dan selembar foto kira-kira seukuran 10 cm x 10 cm tentang hasil USG-nya.
O EM JI ...
Katanya, dokter menyarankan dia kembali lagi pada saat menstruasi bulan depan.
Sewaktu kami di apotek untuk mengambil obat, saya bertanya kepada Maria,”Ia, tadi
dibilangin ngga sama dokternya, sudah diberi obat oleh dokter keluarga BPJS kemarin?
Jangan sampai dirimu makan obat double dosis.”
“Wah ... belum ik ... Coba deh tolong balik lagi ke poli tadi untuk bertanya sama
dokternya.”
Akhirnya saya kembali lagi ke sana. Di sana tidak bertemu dengan dokter yang bertugas
karena dia sedang sibuk dengan pasiennya. Maka saya bertanya tentang hal tersebut
kepada susternya. Jawab susternya,”Obat dari dokter kemarin tidak usah diteruskan
makannya, karena sebenarnya sama dengan obat dari kami. Ini obat untuk pencernaan.”
“Ooooh ... ternyata obat yang sangat lama ditunggu itu untuk pencernaan juga toh ...
hmmmm ... dari jam 8 pagi ga pipis sampai jam 2 sore cuma dikasih obat yang
sama,”hatiku ngedumel mendengar hal itu.
Tapi ok lah ... salah satu badai sudah berlalu.
Yang penting sekarang urusan rumah sakit sudah beres, tinggal tunggu obat.
Akhirnya obat segera bisa diterima dengan baik, dengan normal, tidak seperti keadaan di
ruang daftar atau di poli kandungan tadi ...
Akhirnya kami bisa pulang juga. ☺
Tentu saja kami mampir beli makan dulu, karena sejak pagi kami belum makan.
Kami menemukan warung soto kudus di tengah perjalanan ... lumayan ...
Kami tambah gembira, karena motto warung ini adalah: NO VETSIN.
Motto ini adalah motto kami jika memasak sesuatu.
Tidak bertambah enak yang ada bertambah resiko jika menggunakan vetsin dan
sebangsanya ... he he ...
Akhirnya kami makan.
Yang di awalnya semangat, karena rasa lapar yang begitu melanda, tapi Maria akhirnya
cuma bisa habis setengah porsi. Hm ... sedih sekali melihatnya.
“Ya udah ... ga apa-apa ... sekarang ada obat yang mau dimakan?” tanyaku.
“Iya ada ... saya makan obat aja ah,”katanya.
“Yo ... monggo,” kataku sambil melanjutkan memakan sisa makananku.
Akhirnya tiba waktunya pulang ke rumah. Sekitar 15 menit perjalanan dari warung tadi
menuju ke rumah berboncengan naik motor bebek.
Perjalanan lancar, tidak ada kendala terlalu berarti. Puji Tuhan, Maria boleh segera
beristirahat.
Namun sangat menyedihkan ... :’(
Setibanya di rumah, belum membuka pintu pagar, Maria muntah lagi ... :’(
Langsung para sahabat manusia mendatangi pagar melihat “Mimi”nya muntah-muntah.
Nampak sekali wajah mereka sedih melihatnya ...
Seperti biasa ... muntahannya mengeluarkan semua yang tadi dimakan ... malah
sepertinya lebih banyak lagi ... :’(
Hm ... Ya sudahlah ... pintu pagar dibuka ... Kami masuk disambut para sahabat ...
dengan hati yang tidak menentu.
Akhirnya kami membersihkan diri. Semua pakaian bekas dari rumah sakit kami
masukkan ke dalam mesin cuci untuk dicuci besok, karena kalau sekarang sudah hampir
malam. Harga listrik kan lebih tinggi daripada kalau siang hari. ☺
Berkali-kali Maria muntah seperti sebelumnya. Entah apa lagi yang bisa dia keluarkan,
karena sepertinya semua makanan sudah dikeluarkan.
“Tetap banyak minum, ya Ia. Supaya ngga dehidrasi,”kataku.
“Iya ...” jawabnya lirih.
Sampai sekitar 1 jam kemudian ... dia berkata ...
“Saya sudah ga tahan lagi ... badanku panas rasanya.”
Saya yang seharian tadi mengantar dia ke rumah sakit pembelajaran anak-anak
kedokteran, langsung berkata,”Ok ... Yuk sekarang kita ke Rumah Sakit Elisabeth.
Semoga di sana dirimu bisa dirawat lebih baik.”
Segeralah kami berangkat ke Rumah Sakit Elisabeth, sekitar jam 10 malam.
Setelah parkir di tempat parkiran motor, kami berdua berjalan menuju ke ruang IGD.
Lumayan jauh juga sih ... kadang-kadang hati saya berpikir, seandainya ada tempat
parkiran motor di dekat IGD ... bukan cuma membolehkan mobil yang boleh parkir ...
Setibanya di ruang IGD, Maria langsung ditangani oleh suster perawat yang berjaga
malam itu.
Dia langsung disuruh tidur di ruang periksa dan gordinnya ditutup, sehingga saya tidak
melihat proses pemeriksaannya.
Kata Maria, di sana suhu tubuhnya diperiksa sembari ditanya apa keluhannya.
Keluhannya ya tentu saja panas dan muntah-muntah, sambil menyampaikan prediksi
dokter keluarga BPJS, bahwa kemungkinan Maria terkena typhus.
Akhirnya giliran dokter memeriksa Maria. Melihat hasil pemeriksaan standar, sepertinya
si dokter setuju kalau Maria terkena typhus.
“Karena kondisi ini belum emergency Mbak, maka dipersilakan, mau pulang atau rawat
inap. Tapi, kalau rawat inap, tidak bisa menggunakan fasilitas BPJS karena belum
termasuk emergency,”sang dokter berkata demikian kepadaku.
Saya berpikir keras malam itu, sebaiknya bagaimana. Kalau pulang lagi, saya sendiri
tidak bisa merawatnya dan di rumah tidak ada siapa-siapa. Kalau rawat inap, harus bayar
sendiri. Tapi ga apa-apalah, yang penting ada asupan untuk Maria walau lewat infus.
Sejak Minggu ga ada makanan yang masuk.
Jadi yang terbaik MEMANG HARUS RAWAT INAP!!!
Lalu saya berkata kepada dokter tersebut,”Dok, rawat inap saja. Soalnya di rumah tidak
ada yang merawatnya. Kalau harus bayar sendiri, itu tanggung jawab saya.”
Akhirnya dipersiapkan segala kebutuhan rawat inap. Saya pergi ke bagian administrasi
rawat inap, dan para suster IGD mempersiapkan kebutuhan infus dan lain-lain.
Setelah administrasi rawat inap selesai dilakukan, saya kembali ke ruang IGD.
Di sana Maria diperiksa kadar gulanya.
Pada pemeriksaan pertama, si suster bertanya,”Mbak, pernah ada riwayat sakit gula,
ngga?”
“Dari orang tuaku ngga ada, Ter. Yang ada adalah kanker, darah tinggi dan jantung.”
Akhirnya, suster-suster itu memeriksa sekali lagi, tapi hasil pemeriksaan tetap
menunjukkan angka yang sama.
“Mbak, gula darah Mbak 320. Tinggi sekali.”
Lalu mereka laporan ke dokter yang tadi memeriksa.
Sang dokter langsung membuat keputusan dan berkata kepadaku,”Mbak, segera cek ke
administrasi rawat inap. Ada kamar untuk fasilitas BPJS tidak. Saudara Mbak memang
harus segera dirawat. Ini sudah masuk kondisi emergency!”
Segera saya berlari ke ruang administrasi rawat inap.
Cek punya cek di sana, ternyata kartu BPJS Maria adalah kelas 1, dan kamar kelas 1
sudah habis.
Mereka menginformasikan, kalau mau menggunakan fasilitas BPJS harus naik kelas,
tidak bisa turun kelas. Jadi harus masuk kelas VIP yang harga kamar per harinya di atas
Rp.600ribu. Sedangkan obat yang diberikan juga standar BPJS, tidak bisa lebih.
Nanti yang ditanggung BPJS hanya separuh biaya penggunaan rawat.
Misalnya perawatan membutuhkan biaya Rp.7juta, mungkin yang ditanggung BPJS
hanya Rp.3 juta, sisanya harus dibayar oleh pasien.
Hmmmmmm ... ,”Ya sudahlah Mbak, tolong siapkan ruang kelas III. Pelayanan
kesehatan sama kan Mbak?” tanyaku.
“Tentu saja sama, dokter dan obatnya sama,”kata petugas administrasi tadi sambil
tersenyum.
Akhirnya saya kembali ke ruang IGD.
“Dok, terpaksa saya ambil kelas III bayar mandiri saja, soalnya kelas 1 sebagai kelas
yang sesuai sudah penuh.”
“Oh penuh yah ...,”suster-suster penjaga menimpali.
Akhirnya, disiapkanlah keperluan rawat inap Maria di Kamar Vincentius No. 108.
Bukan tanpa pikiran lain saya memutuskan itu.
Saya tahu, saya bukan apa-apa dan tidak punya apa-apa.
Tapi, saya tidak bisa membiarkan Maria jatuh dalam kesakitan yang begitu rupa seperti
sekarang.
Soal biaya, biarlah itu urusan besok. Yang penting Maria ditangani dulu.
Setelah beres semuanya, akhirnya saya pamit pulang pada Maria, karena saya harus
bekerja di hari selanjutnya. Beberapa pesan dari Maria minta disiapkan, misalnya
keperluan mandi dan baju pengganti.
Sampai di rumah jam 2 pagi. Mandi sebentar, lalu tidur dulu sejenak, menyusun tenaga.
Jam 5 pagi bangun, mandi, menyiapkan segala sesuatu yang Maria perlukan, lalu
meluncurlah saya ke rumah sakit lagi.
Setelah barang-barang yang diminta Maria diserahkan, saya berangkat kerja naik motor
dengan jarak tempuh kira-kira 40Km ...
Tuhan ... mohon perlindunganmu sepanjang perjalanan ... soalnya lelah melanda tubuhku
...
Di tempat kerja, saya bekerja seperti biasanya.
Di kala ada waktu senggang, saya mampir ke tempat pimpinan, dan minta maaf sekali
lagi, karena kemarin mendadak saya minta izin menemani saudara ke rumah sakit.
Syukurlah beliau mengerti dan bertanya,”Lalu, di mana sekarang saudaramu?”
“Di rumah sakit Elisabeth, Pak,”jawabku. Lalu ku ceritakan kronologi kejadian
kepadanya sehingga Maria ada di Elisabeth.
“Coba nanti kamu temui pastor parokimu, untuk meminta bantuan pembiayaan rumah
sakit itu.”
“Ya Pak,”jawabku ...
Sayang, pekerjaan rumah dan kebutuhanku ke rumah sakit membuatku belum sempat
menemui Pastor Paroki ... sampai sekarang.
Sore hari pulang kerja, saya langsung meluncur ke rumah, mandi dan memberi makan
sahabat-sahabat manusia. Setelah itu, saya menyiapkan perkakas, entah baju kerja, laptop,
dll untuk saya bawa besok langsung dari rumah sakit, karena saya akan menginap di sana.
Akhirnya saya bisa menemani Maria di rumah sakit.
Berhubung saya juga harus mempersiapkan diri untuk tetap bekerja keesokan harinya,
saya pamit tidur pada Maria. Saya tidur di teras depan kamar, di atas kursi panjang.
Lumayan ... kepala saya bisa direbahkan di sana.
Keesokan harinya saya bangun dan mandi.
Wow ... airnya di sana air hangat. Lumayan, ... memberi kelonggaran buat sel-sel tubuhku
yang jenuh setelah kedinginan semalaman. He he ...
Saya salut pada rumah sakit ini yang benar-benar memberikan kenyamanan kepada
pasiennya, sekalipun kelas terendah yang ditempati.
Di dalam kamar ada AC, ada tivi LCD, kamar mandi bersih, dan airnya hangat. Serasa di
hotel. He he ...
Sebelum berangkat kerja, saya bertanya dulu ke kantor perawat di Unit Vincentius
tentang biaya yang sudah dihabiskan untuk merawat Maria.
Katanya Rp.3.200.000,00.
Kalau besok ada perkembangan lebih baik, kemungkinan lusa sudah boleh pulang.
Dengan informasi itu, saya meluncur ke tempat kerja lagi.
Jujur, saya cukup sulit untuk fokus dalam pekerjaan. Syukurlah, pekerjaan tidak terlalu
harus fokus, karena sebentar lagi libur lebaran. Jadi, banyak pekerjaan yang sudah
diselesaikan dan karena saya berhubungan dengan penjualan, para konsumen tidak terlalu
banyak seperti sebelumnya.
Jadi, ada sedikit sela waktu saya untuk mencari dana untuk pengobatan Maria.
Kebetulan, saya sudah menjadi anggota koperasi perusahaan. Kabarnya ada dana bantuan
pinjaman bagi karyawan yang memiliki saudara yang sakit. Maka saya pergunakan
kesempatan ini sebaik-baiknya.
Dengan dibimbing oleh rekan kerja yang sudah menjadi anggota koperasi sebelumnya,
maka saya mengisi formulir pengajuan pinjaman.
Saya ajukan Rp.5.000.000,00, dengan mempertimbangkan biaya yang sudah digunakan
Maria per hari ini, seperti tadi pagi saya tanyakan ke bagian perawatan Vincentius.
Akhirnya saya datang ke koperasi. Banyak kolega-kolega lain saya temui di sini.
Kebanyakan mereka mau menabung, tapi ada juga yang mengambil tabungan. Hebat.
Beberapa saat kemudian, saya bertemu dengan petugas bagian peminjaman, Pak Marjo.
Setelah diproses Pak Marjo, ternyata saya hanya bisa meminjam Rp.2.000.000,00, sebab
saya belum menjadi pegawai tetap.
“Yah syukurlah ... dapat pinjaman 2 juta juga ... lumayan, daripada tidak sama
sekali,”hatiku tetap mensyukurinya.
Setelah surat persetujuan peminjaman diterima, baru besok harinya saya bisa mengambil
uangnya di bank koperasi.
Sepulang dari koperasi, saya kembali ke rekan kerja yang tadi membimbing saya, dan
menceritakan hasilnya. Beliau berkata,”Wah, Mbak, sebenarnya hal ini sudah
diperkirakan pimpinan tadi. Beliau tadi bertanya kepada saya, si Prima bisa ngga ya dapat
pinjaman segitu. Coba deh Mbak Prima ketemu beliau, siapa tahu beliau ada solusi lain.”
“Oh ya Pak? Wah, terima kasih Pak. :-D,” hatiku gembira sekali menjawabnya.
Akhirnya saya menemui pimpinan dan dengan sabar beliau mempersilakan saya
menceritakan hasilnya.
Jawabnya,”Coba panggil bagian keuangan ke sini!”
“Ya Pak,” jawabku.
Lalu saya memanggil bagian keuangan untuk menemui pimpinan.
Pimpinan berkata,”Si Prima sedang dalam masalah. Dia sudah pergi ke koperasi, tapi
hasilnya seperti ini. Kamu bisa pinjamkan Rp.3juta ngga? Nanti pembayarannya boleh
potong gaji, boleh potong premi, ya kan Prim?”
“Ya Pak,”jawabku.
Kata kepala bagian keuangan,”Ya Pak bisa.”
Akhirnya saya kembali lagi ke ruang bagian keuangan untuk mengambil uang Rp.3juta
yang dipinjamkan kantor.
Setelah menerima uangnya, saya haturkan terima kasih ke bagian keuangan,”Pak, terima
kasih.”
Kata bapak itu,”He he ... bilang terima kasih sama pimpinan.”
“Ya Pak.”
Lalu saya masuk ke ruang pimpinan dan bilang,”Terima kasih” secara terbata-bata dan
bapak pimpinan mengangguk-anggukkan kepala. Saya langsung ke kamar mandi.
SAYA MENANGIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIS DI SANA ...
Terharu sekali ... saya yang bukan apa-apa tapi dikasihi oleh banyak orang di kantorku.
Terima kasih Tuhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan ...
Akhirnya saya pulang dengan damai.
Saya menggabungkan sisa uang THRku dengan Rp.3juta tadi, lumayan, ada Rp.5juta.
Lalu saya titipkan ke bagian administrasi rumah sakit, supaya kalau Maria sudah
waktunya ke luar, pembayaran sudah beres.
Malam itu saya tidur di rumah sakit lagi. Jadi petang saya sudah di sana.
Ternyata Maria kedatangan teman-teman SMPnya he he ...
Selain itu ...
Kakak sulungnya juga datang berkunjung!!! Puji Tuhan ...
Saya lihat, permasalahan demi permasalahan itu ada hikmah di dalamnya ...
Dengan permasalahan sahabat manusia di Jakarta ... akhirnya bisa membuat Maria
ngobrol ama kakak perempuannya di sana bahkan bisa dapat kartu BPJS.
Dengan sakitnya Maria, kakak sulungnya datang berkunjung disertai istrinya yang adalah
kakak iparnya ...
Puji Tuhan ...
Kami percaya kepadamu ya Bapa ... KehendakMu adalah yang terbaik bagi kami.
Saya percaya, sekalipun sekarang sedang kelimpungan mencari dana untuk biaya kontrol
dan lain-lain ...pasti ada jalan untuk bisa memenuhi kebutuhan itu.
Puji Tuhan ... Amin.
Jawa Tengah, 31 Juli 2014
Prima.
Judul di atas sedang ku renungkan dengan merefleksikan segala pengalaman hidup yang
dilalui secara pribadi maupun bersama pribadi-pribadi yang lain … LUAR BIASA …
Pada saat di mana secara hitam di atas putih, berikut dengan nota-nota dan hasil rekam
yang disodorkan … seolah-olah semuanya adalah pahit … menyesakkan … memilukan
… tapi … di “sebelah” itu semua … ada KEAJAIBAN!!!
Saat ini sedang kurasakan karena suatu peristiwa, suatu pengalaman … Dari pengalaman
ini … ku runtut waktu ke waktu … melihat pengalaman-pengalaman di dalamnya,
ternyata … DI SETIAP SAAT, TUHAN SELALU MEMBERKATI!
PUJI TUHAN … ALLELUIA !!!
Jadi, pada suatu ketika, adikku di Jakarta mengeluh karena kerepotan mengurus anjinganjing yang tadinya adalah hadiah dari Maria.
Jadi ceritanya, Maria yang adalah seorang dog lovers berniat membantu sahabatnya di
Magelang yang mendapat ancaman dari tetangga rumahnya ketika anjing di rumahnya
melahirkan. Tetangganya mengancam, jika anak-anak anjing ini tidak segera dibuang,
rumah mereka akan dibakar.
Akhirnya, Maria mencari orang untuk merawat anak-anak anjing turunan Kintamani-Coli
ini.
Sebelum ke orang lain, karena dia melihat anak-anak ini sangat unyu-unyu, saying kalau
diberikan ke orang lain yang tidak dia kenal, Maria menelpon bapakku, menawarinya
untuk merawatnya.
Serta merta bapakku setuju, bahkan meminta jantan dan betina. Katanya, bapak pengen
yang betina, sedangkan yang jantan akan ditempatkan di Jakarta, menemani adikku.
Akhirnya, sepasang anak anjing, jantan dan betina kami kirimkan ke kampong halaman,
ke rumah bapakku yang sudah siap tempatnya.
Dalam perjalanan waktu, ternyata kesulitan melanda bapakku, dengan keadaan mirip di
Magelang, yaitu ancaman dari tetangga yang tidak suka dengan anjing.
Padahal anjing cuma hidup di dalam halaman rumah sendiri, tidak pernah ke luar pagar.
Oleh karenanya, kedua anak anjing yang sudah ABG ini dikirim ke Jakarta, ke tempat
adikku, tepat pada saat syukuran rumah adikku yang baru dihuni di sana.
Kami pun datang ke Jakarta untuk berdoa mengucap syukur atas kehidupan adikku
sehingga bisa mendirikan rumah di daerah Jakarta. Selain itu, kami ingin melihat “anakanak” kami yang dibawa Maria dari Magelang cuma dengan menggunakan sepeda motor
bebek sambil berhujan-hujan ria …
Padahal … Magelang Semarang itu bukan cuma 10 – 20 Km. …
Tapi demi keselamatan anak-anak anjing itu dan permintaan bapakku, Maria melaluinya
dengan penuh cinta … ☺
Ternyata …
Selang beberapa minggu setelah kedatangan kami … di saat kami sudah kembali ke kota
asal …
ada telpon dari Jakarta … dari adikku …,”Ini Mbak … udah lahir 1 … sepertinya, si Vi
masih mau melahirkan lagi …”
WAH!!!
Dan itu terjadi sekitar jam 1 pagi !!!
Dan si Vi …anak betina yang tadi diceritakan … melahirkan lagi 3 anak sehingga total 4
anak dengan seekor betina saja ada di antara ketiga saudara jantannya … he he he …
Akhirnya di minggu-minggu berikutnya … kegalauan melanda adikku lagi … karena
HARUS MEMELIHARA 4 MAKHLUK YANG RAJIN MELAKUKAN KERIBUTAN
… Ha ha ha haaaaaaa … ribut oleh gonggongan mereka … xixixixixiiiiii ….
Tentu saja, sekalipun belum ada yang mengancam …adikku sebagai makhluk social,
merasa hal itu adalah sesuatu yang harus diatasi.
Dengan segala usaha tawar sana tawar sini … akhirnya kami putuskan, untuk memelihara
si Vi dan 2 anaknya, soalnya anak satunya lagi yang betina sudah diminta A Mamat
untuk dipelihara anaknya yang masih sekolah SD.
Jadi, di rumah adikku masih tinggal sang bapak baru anak-anak yang namanya si Bob dan
anaknya 1 ekor yang jantan.
Untuk mengambil si Vi, sang induk, dan kedua anaknya tentu saja kami harus ke Jakarta
lagi.
Puji Tuhan, … ada rejeki untuk melakukan itu semua.
13 Juni lalu kami ke Jakarta dengan membawa sebuah kandang anjing yang kami pinjam
pada salah seorang dog lover di grupnya Maria.
Tibalah kami di Jakarta …
Oh My God!!!
Si Vi kok kurus sekaliiiiii … kakinya merah-merah …
Padahal adikku bilang, dia makannya banyak juga … duuuh … tapi kok seperti yang
sedang sakit …
Terus anak-anaknya … duuuuh …
Yang jantan botak semua … kecuali yang betina. Tapi si betina bibit-bibit kebotakannya
terlihat juga …
Apa akibat mereka nenen/menyusu pada si Vi ya?
Kalau kami perhatikan, si Vi membiarkan anak-anaknya yang jantan menyusu
kepadanya, tapi sering menghardik anaknya yang betina untuk menyusu.
Jadi, si anak betina kalau mau menyusu suka ngumpet-ngumpet kalau saudarasaudaranya yang lain udah menutupi pandangan emaknya … he he …
Semua anak si Vi gendut – gendut semua … si Vi seperti disedot anak-anaknya hingga
kurus kering … duuuuh … kok bisa ya … ???
Ok deh … ga masalah … kami akan merawatnya penuh kasih di kampong.
Semoga nanti dia cocok dengan makanan yang bisa kami sediakan.
Sembari ke Jakarta, kami menyempatkan diri mengunjungi kakaknya Maria yang sudah
bertahun-tahun tidak bersua.
Judulnya sih mau menyerahkan pigura-pigura milik kakaknya.
Tapi sebenarnya … pengen ketemuan … he he …
Syukurlah, … hal itu bisa terlaksana.
Setelah sehari sebelumnya ketemu hanya sebentar, karena sang kakak hendak pergi, kami
kembali ke sana bersama adikku sewaktu kami berniat pergi ke gereja.
Sampai akhirnya … ke gereja hanya menjadi niatan saja … he he … karena yang lebih
penting kan … suasana penuh cinta kasih … penuh kasih saying … :D … Ya ngga? Ya
ngga??? :-D
Di saat itu disampaikanlah hati ke hati segala situasi yang dijalani Maria dan keluarga
kakaknya. Selain itu, mulai dibukakan pintu untuk mengurus warisan yang terutama
menjadi tanggung jawab Maria menempatinya, walaupun sebenarnya hal itu terasa sangat
berat bagi Maria yang notabene penghasilannya tidak setara dengan kebutuhan.
Namun yang lebih penting dari itu semua adalah … Kakak ipar Maria menawari
pembuatan kartu BPJS kesehatan bagi Maria, karena memang selalu gagal dalam
pekerjaan karena masalah kesehatannya.
Setelah segala hal selesai dicurhatkan dan diselesaikan di Jakarta ... akhirnya kami
pulang.
Sepanjang perjalanan anak-anak anjing melaluinya dengan tenang ... tapi tidak dengan
induknya.
Tampak sekali dia loyo karena sakit dan kecapekan.
Waktu di rest area di Cirebon dia diajak turun ... duuuuuh ... kakinya sampai gemeter ...
berkali-kali muntah di jalan. Mulutnya mengaga terus dengan lidah yang tegang ... Duh ...
Vi ... sabar ya ... kita masih jalan beberapa jam lagi ... :’(
Akhirnya kami berjalan lagi ... dan sampailah kami di rumah tercinta. ☺
Kami bawa masuk si Vi dan anak-anaknya masih di dalam kandang, ... karena di sana
sudah ada 6 ekor lagi yang pasti menyambutnya ... xixixixiiiiiiii ... :-D
He he he ... kira-kira sekitar setengah jam ke enam penjaga rumah melihat pendatang
baru di dalam kandang ... xixixixiiiiii ...
Akhirnya ... setelah kelihatan stabil ... ku buka pintu kandangnya dan kami biarkan
penghuni baru ke luar dengan sendirinya ...
Tentu saja mereka diendus – endus lebih serius oleh penghuni lama ... terutama para
pejantan terhadap si Vi ... xixixixiiiii ... :-D ...
Dasar ...
Yah ... sekalipun si Vi sedang lemah dan terlihat kurus kering dan berwarna merah akibat
gatal ... pejantan-pejantan rumah tidak jijik untuk mengendus-endusnya ... terutama pada
bagian itu ... N A K A L !!!
Xixixixiiiii ... :-D ... namanya juga makhluk hidup ... :-D ... berjenis ini ... tentu saja ... :D
...
Akhirnya ... hari-hari berikutnya kami memiliki 9 sahabat manusia ... dengan fokus
perawatan pada 3 ekor di antaranya ... ☺
Dari hari ke hari kemudian ... kami mencoba merawat si Boju, Bajak anak-anak si Vi dan
induknya.
Periode pertama, kami bawa dengan boncengan naik motor si Boju dan Bajak dulu ke
dokter hewan.
Kata si dokter,”Kemungkinan besar kena demodec.”
“Apa itu demodec Dok?” tanyaku.
“Semacam jamur,”katanya. Diberinyalah kami resep dengan ongkos berobat
Rp.50.000,00.
Keesokan harinya kami bawa si Vi, sang induk, ke dokter.
“Sesuai perkiraan, anak-anaknya tertular si Vi sehingga botak. Dipisahkan aja si Vi sama
anak-anaknya, supaya mereka ga nenen terus.”
“Ok Dok ...”
Diberinyalah kami resep dengan ongkos berobat seharga Rp.100.000,00.
Total pemeriksaan dan pembelian obat mereka (ditambah beberapa obat untuk Maria
karena sedang terkena flu akibat kecapekan) Rp.300.000,00.
Setelah obat habis, perubahan belum terlalu kentara bagi si Vi dan anak-anaknya.
Maka, si dokter kami undang ke rumah, karena jika kami harus datang ke tempat
prakteknya cukup repot seperti pemeriksaan pertama.
Akhirnya si dokter datang.
Yang pertama dia periksa adalah si Vi.
Berhubung leher si Vi terlihat sangat merah-merah, si dokter mengeluarkan tabung yang
isinya disemprotkan ke lehernya si Vi. Warna obat itu ungu.
Kata dokter,”Warna ini baru hilang setelah 3 hari.”
Lalu, karena saya yang memegang si Vi waktu disemprot, dan tangan saya terkena, saya
bilang juga,”Berarti saya juga tangannya berwarna selama 3 hari.”
Kata dokter,”Iya, kalo ga pernah mandi dan cuci tangan.” ... hahahahahahaaaaaaaaa ....
Karena si Bajak yang paling parah, setelah dikontrol sang dokter, dia mendapat obat
dengan dosis yang cukup tinggi.
Dokternya sampai wanti-wanti,”Kalau setelah makan obat ini si Bajak muntah, tolong
hentikan ya.”
“Ya Dok,”jawab kami.
Boju dan si Vi kondisinya hampir serupa, sehingga obat yang diberikan sama.
Hm ... biar ke rumah, tentu pengobatan si dokter memerlukan biaya pemeriksaan dan beli
obat yang habis hingga Rp.200.000,00.
Terus dari waktu ke waktu kami memantau perkembangan mereka.
Khususnya si Vi ... lumayan, terlihat perkembangannya setelah pemeriksaan ke dua.
Sekarang dia tidak merah-merah lagi. Bulunya sudah menutupi seluruh kakinya.
Juga, karena kami sering memisahkan dia dengan anak-anaknya, anak-anaknya jadi
mengerti, bahwa mereka sudah disapih... xixixiiiiii ... :-D
Jadi, kalau mereka disatukan di satu tempat, anak-anak ini tidak cepet-cepet mencari
puting emaknya. Apabila saya melihat mereka mendekati puting emaknya, langsung saya
tendang dengan lembut. Akhirnya mereka mereka mengerti ... mereka udah ga boleh
nenen lagi ... waktunya si Vi untuk mengisi tubuhnya yang udah kurus kering ... he he ...
Cuma si Boju dan Bajak terutama belum terlalu kentara.
Tapi sepertinya si botak mereka sedikit demi sedikit sudah menghilang.
Tapi ga terlalu kentara.
Apalagi si Bajak ... bukan cuma botak kepalanya, tapi juga bulu badannya sepertinya
rontok parah juga. Padahal udah dikasih obat dosis tinggi.
Hmmmm ...
Kami putuskan, untuk merawat Boju & Bajak biasa aja, tanpa pemeriksaan dan resep
dokter lagi. Kami coba penuhi kebutuhan makan mereka, yang memang ga boleh makan
ayam. Semoga, penyakit mereka bisa mereka atasi dengan antibodi mereka sendiri.
Setiap 2 kali seminggu kami mandikan mereka dengan teratur. Terakhir kami belikan talk
anti jamur, semoga bermanfaat.
Hmmmm ...
Sebelum talk itu kami gunakan untuk mereka ... hmmmmm ... Maria terserang sakit
keras. Sejak hari Minggu doi muntah-muntah ... Selera makannya blas ngga ada
karenanya.
Duuuh ... saya bingung.
Di hari Senin, kami pergi ke Klinik Selaras, tempat berobat dengan menggunakan kartu
BPJS yang dibuatkan oleh kakak Maria sewaktu kami ke Jakarta.
Kami ingin meminta surat rujukan ke rumah sakit untuk dicek USG, karena setiap bulan
Maria selalu mengalami masalah muntah ketika menstruasi.
Namun, masalah muntah sekarang jauh lebih parah daripada bulan-bulan yang lalu.
Pemeriksaan di sana hanya bersifat wawancara.
Dokter sama sekali tidak menyentuh pasien.
Jangan harap stetoskop menempel ke tubuh kita, periksa tekanan darah hanya dilakukan
pada kali pertama kami periksa.
Dulu kami pernah menggunakan kesempatan periksa dengan kartu BPJS baru.
Di sana kami memeriksakan perut Maria yang bermasalah karena sulit BAB, gigi yang
bermasalah, dan telinga.
Waktu itu Maria sempat dicek tekanan darahnya oleh perawat di sana.
Namun pada pertemuan-pertemuan berikutnya, pemeriksaan tekanan darah itu tidak
pernah dilakukan lagi.
Bertemu dokter keluarga dengan kartu BPJS ini sifatnya cuma wawancara saja.
Memang untuk yang terakhir ini, dokter sempat meminta Maria memperlihatkan
lidahnya.
Katanya,”Waaah ... lidahnya terlihat putih. Sepertinya bukan masalah menstruasi ini, tapi
Ibu terkena gejala typhus.”
Jawab Maria,”Tapi Dok, setiap bulan saya pasti muntah-muntah kalau menstruasi. Tapi
muntahan sekarang jauh lebih sering daripada bulan-bulan lalu. Maka, saya curiga ada
yang ga beres dengan alat reproduksi saya.”
Akhirnya sang dokter memberikan surat rujukan ke Rumah Sakit Daerah Ketileng.
Namun selain daripada itu, dia juga memberika resep obat untuk mengobati
pencernaannya.
Obat dimakan apabila sudah makan ... Waduuuuh ... Padahal selera makan sedang tidak
ada dan sesudah makan pasti muntah.
Yah, saya coba sediakan makanan yang dia senangi. Saya bawa dia beli tomyam
kesukaan dia. Ku ajak dia ke Java Mall, ke Istana Mie. Kebetulan waktu kedatangan kami
bertepatan dengan orang yang sedang berbuka puasa, di sana ramaaaaaaaai sekali
tempatnya.
Awalnya kami kebagian di tempat duduk yang posisinya sangat sempit.
Tapi syukurlah, ada pelanggan yang sudah selesai makan, dan kami memilih tempat
mereka ... di suatu sudut ruangan.
Sembari menunggu, doi terlihat pucat sekali.
Sesekali dia merebahkan kepala berbantal lengan di meja. Lemeeeeees banget.
Tiba-tiba meja sebelah beralih pelanggan. Yang datang 2 gadis remaja dan seorang
pemuda imut. Yang gadis-gadis ini ribuuuuuuut banget ngobrolnya, ga lihat sekeliling.
Akhirnya Maria ga tahan lagi ...
Tiba-tiba dia menundukkan kepala dan mencari kantong plastik.
Muntahlah di sana.
Xixixixiiiiiii ... rombongan baru ini akhirnya pindah ... :-D
Ga lihat-lihat sekeliling ada yang sakit ... hmf ... anak muda ... anak muda ...
Akhirnya Maria bisa makan juga ... walau dengan porsi separuh ... Sisanya dibungkus aja
dan kami berikan ke sahabat manusia di rumah ...
Lalu Maria makan obat yang tadi diberikan oleh dokter.
Dia bilang,”Duh ... pahit!”
“Yah ... ga apa-apa ... yang penting dirimu menjadi sehat.”
Sayangnya, sebelum oleh-oleh untuk sahabat manusia itu dibagikan ... setibanya di rumah
Maria muntah dan muntah lagi melebihi apa yang tadi dimasukkan di tempat makan ...
hiksss ... :’(
Jadi obat-obatnya juga keluar ... :’(
Akhirnya kami berusaha istirahat ... tidur menyambut hari esok hendak ke RSUD
Ketileng.
Ku tahu, sekali dua kali Maria muntah sepanjang tidurnya ...hiksss ... :’(
Pagi pun tiba.
Saya tahu, karena Maria sepanjang malam tidak istirahat karena selalu muntah, tentu dia
tidak kuat pergi ke rumah sakit sendirian.
Maka saya sms atasan dan rekan-rekan kerja saya, bahwa saya tidak bisa masuk kerja
karena keadaan darurat.
Mereka memaklumi dan akhirnya kami bisa pergi ke rumah sakit yang dituju.
Alamaaaaaaaak ...
Tiba di rumah sakit kira-kira jam 8 pagi. Di sana sudah penuh sekali ruang daftarnya!
Mungkin ada 300 orang di dalamnya.
Saya coba sedikit membantu Maria untuk mendaftar ... kasihan dia ... matanya sudah
sangat sayu kecapekan muntah semalaman ...
Akhirnya, setelah mendapat panggilan, kami berjalan ke poli kandungan sekitar jam
11.00 WIB.
Kami melihat begitu banyak personel berseragam putih, sepertinya mahasiswamahasiswa kedokteran yang sedang KOAS di dalamnya, sekitar 5 orang yang selalu stand
by di sana dan ada banyak lagi yang ke luar masuk ruang itu. Hiruk pikuk sekali.
Terus terang, sebagai pasien, hal ini sangat tidak nyaman.
Terlebih mau cek USG, disarankan tidak pipis sebelum cek dilakukan.
BAYANGKAN!!! Sejak pagi hingga siang TIDAK BOLEH PIPIS ... Betapanya ... :’(
Sedangkan di sana ... jadi bahan percobaan anak-anak kedokteran, karena seharusnya
pasien dirawat dalam sekali perjalanan, ini malah disuruh antri yang kedua kalinya untuk
ketemu dokter yang sesungguhnya. BARU DIPERIKSA JAM 14.00 WIB!!!
Gile aje ... sumprit deh nih rumah sakit ... orang sakit jadi tambah sakit. >
Ya sudahlah ...
Sekarang pokoknya Maria sudah selesai di USG. Ke luar dari kamar USG, dia membawa
resep dokter dan selembar foto kira-kira seukuran 10 cm x 10 cm tentang hasil USG-nya.
O EM JI ...
Katanya, dokter menyarankan dia kembali lagi pada saat menstruasi bulan depan.
Sewaktu kami di apotek untuk mengambil obat, saya bertanya kepada Maria,”Ia, tadi
dibilangin ngga sama dokternya, sudah diberi obat oleh dokter keluarga BPJS kemarin?
Jangan sampai dirimu makan obat double dosis.”
“Wah ... belum ik ... Coba deh tolong balik lagi ke poli tadi untuk bertanya sama
dokternya.”
Akhirnya saya kembali lagi ke sana. Di sana tidak bertemu dengan dokter yang bertugas
karena dia sedang sibuk dengan pasiennya. Maka saya bertanya tentang hal tersebut
kepada susternya. Jawab susternya,”Obat dari dokter kemarin tidak usah diteruskan
makannya, karena sebenarnya sama dengan obat dari kami. Ini obat untuk pencernaan.”
“Ooooh ... ternyata obat yang sangat lama ditunggu itu untuk pencernaan juga toh ...
hmmmm ... dari jam 8 pagi ga pipis sampai jam 2 sore cuma dikasih obat yang
sama,”hatiku ngedumel mendengar hal itu.
Tapi ok lah ... salah satu badai sudah berlalu.
Yang penting sekarang urusan rumah sakit sudah beres, tinggal tunggu obat.
Akhirnya obat segera bisa diterima dengan baik, dengan normal, tidak seperti keadaan di
ruang daftar atau di poli kandungan tadi ...
Akhirnya kami bisa pulang juga. ☺
Tentu saja kami mampir beli makan dulu, karena sejak pagi kami belum makan.
Kami menemukan warung soto kudus di tengah perjalanan ... lumayan ...
Kami tambah gembira, karena motto warung ini adalah: NO VETSIN.
Motto ini adalah motto kami jika memasak sesuatu.
Tidak bertambah enak yang ada bertambah resiko jika menggunakan vetsin dan
sebangsanya ... he he ...
Akhirnya kami makan.
Yang di awalnya semangat, karena rasa lapar yang begitu melanda, tapi Maria akhirnya
cuma bisa habis setengah porsi. Hm ... sedih sekali melihatnya.
“Ya udah ... ga apa-apa ... sekarang ada obat yang mau dimakan?” tanyaku.
“Iya ada ... saya makan obat aja ah,”katanya.
“Yo ... monggo,” kataku sambil melanjutkan memakan sisa makananku.
Akhirnya tiba waktunya pulang ke rumah. Sekitar 15 menit perjalanan dari warung tadi
menuju ke rumah berboncengan naik motor bebek.
Perjalanan lancar, tidak ada kendala terlalu berarti. Puji Tuhan, Maria boleh segera
beristirahat.
Namun sangat menyedihkan ... :’(
Setibanya di rumah, belum membuka pintu pagar, Maria muntah lagi ... :’(
Langsung para sahabat manusia mendatangi pagar melihat “Mimi”nya muntah-muntah.
Nampak sekali wajah mereka sedih melihatnya ...
Seperti biasa ... muntahannya mengeluarkan semua yang tadi dimakan ... malah
sepertinya lebih banyak lagi ... :’(
Hm ... Ya sudahlah ... pintu pagar dibuka ... Kami masuk disambut para sahabat ...
dengan hati yang tidak menentu.
Akhirnya kami membersihkan diri. Semua pakaian bekas dari rumah sakit kami
masukkan ke dalam mesin cuci untuk dicuci besok, karena kalau sekarang sudah hampir
malam. Harga listrik kan lebih tinggi daripada kalau siang hari. ☺
Berkali-kali Maria muntah seperti sebelumnya. Entah apa lagi yang bisa dia keluarkan,
karena sepertinya semua makanan sudah dikeluarkan.
“Tetap banyak minum, ya Ia. Supaya ngga dehidrasi,”kataku.
“Iya ...” jawabnya lirih.
Sampai sekitar 1 jam kemudian ... dia berkata ...
“Saya sudah ga tahan lagi ... badanku panas rasanya.”
Saya yang seharian tadi mengantar dia ke rumah sakit pembelajaran anak-anak
kedokteran, langsung berkata,”Ok ... Yuk sekarang kita ke Rumah Sakit Elisabeth.
Semoga di sana dirimu bisa dirawat lebih baik.”
Segeralah kami berangkat ke Rumah Sakit Elisabeth, sekitar jam 10 malam.
Setelah parkir di tempat parkiran motor, kami berdua berjalan menuju ke ruang IGD.
Lumayan jauh juga sih ... kadang-kadang hati saya berpikir, seandainya ada tempat
parkiran motor di dekat IGD ... bukan cuma membolehkan mobil yang boleh parkir ...
Setibanya di ruang IGD, Maria langsung ditangani oleh suster perawat yang berjaga
malam itu.
Dia langsung disuruh tidur di ruang periksa dan gordinnya ditutup, sehingga saya tidak
melihat proses pemeriksaannya.
Kata Maria, di sana suhu tubuhnya diperiksa sembari ditanya apa keluhannya.
Keluhannya ya tentu saja panas dan muntah-muntah, sambil menyampaikan prediksi
dokter keluarga BPJS, bahwa kemungkinan Maria terkena typhus.
Akhirnya giliran dokter memeriksa Maria. Melihat hasil pemeriksaan standar, sepertinya
si dokter setuju kalau Maria terkena typhus.
“Karena kondisi ini belum emergency Mbak, maka dipersilakan, mau pulang atau rawat
inap. Tapi, kalau rawat inap, tidak bisa menggunakan fasilitas BPJS karena belum
termasuk emergency,”sang dokter berkata demikian kepadaku.
Saya berpikir keras malam itu, sebaiknya bagaimana. Kalau pulang lagi, saya sendiri
tidak bisa merawatnya dan di rumah tidak ada siapa-siapa. Kalau rawat inap, harus bayar
sendiri. Tapi ga apa-apalah, yang penting ada asupan untuk Maria walau lewat infus.
Sejak Minggu ga ada makanan yang masuk.
Jadi yang terbaik MEMANG HARUS RAWAT INAP!!!
Lalu saya berkata kepada dokter tersebut,”Dok, rawat inap saja. Soalnya di rumah tidak
ada yang merawatnya. Kalau harus bayar sendiri, itu tanggung jawab saya.”
Akhirnya dipersiapkan segala kebutuhan rawat inap. Saya pergi ke bagian administrasi
rawat inap, dan para suster IGD mempersiapkan kebutuhan infus dan lain-lain.
Setelah administrasi rawat inap selesai dilakukan, saya kembali ke ruang IGD.
Di sana Maria diperiksa kadar gulanya.
Pada pemeriksaan pertama, si suster bertanya,”Mbak, pernah ada riwayat sakit gula,
ngga?”
“Dari orang tuaku ngga ada, Ter. Yang ada adalah kanker, darah tinggi dan jantung.”
Akhirnya, suster-suster itu memeriksa sekali lagi, tapi hasil pemeriksaan tetap
menunjukkan angka yang sama.
“Mbak, gula darah Mbak 320. Tinggi sekali.”
Lalu mereka laporan ke dokter yang tadi memeriksa.
Sang dokter langsung membuat keputusan dan berkata kepadaku,”Mbak, segera cek ke
administrasi rawat inap. Ada kamar untuk fasilitas BPJS tidak. Saudara Mbak memang
harus segera dirawat. Ini sudah masuk kondisi emergency!”
Segera saya berlari ke ruang administrasi rawat inap.
Cek punya cek di sana, ternyata kartu BPJS Maria adalah kelas 1, dan kamar kelas 1
sudah habis.
Mereka menginformasikan, kalau mau menggunakan fasilitas BPJS harus naik kelas,
tidak bisa turun kelas. Jadi harus masuk kelas VIP yang harga kamar per harinya di atas
Rp.600ribu. Sedangkan obat yang diberikan juga standar BPJS, tidak bisa lebih.
Nanti yang ditanggung BPJS hanya separuh biaya penggunaan rawat.
Misalnya perawatan membutuhkan biaya Rp.7juta, mungkin yang ditanggung BPJS
hanya Rp.3 juta, sisanya harus dibayar oleh pasien.
Hmmmmmm ... ,”Ya sudahlah Mbak, tolong siapkan ruang kelas III. Pelayanan
kesehatan sama kan Mbak?” tanyaku.
“Tentu saja sama, dokter dan obatnya sama,”kata petugas administrasi tadi sambil
tersenyum.
Akhirnya saya kembali ke ruang IGD.
“Dok, terpaksa saya ambil kelas III bayar mandiri saja, soalnya kelas 1 sebagai kelas
yang sesuai sudah penuh.”
“Oh penuh yah ...,”suster-suster penjaga menimpali.
Akhirnya, disiapkanlah keperluan rawat inap Maria di Kamar Vincentius No. 108.
Bukan tanpa pikiran lain saya memutuskan itu.
Saya tahu, saya bukan apa-apa dan tidak punya apa-apa.
Tapi, saya tidak bisa membiarkan Maria jatuh dalam kesakitan yang begitu rupa seperti
sekarang.
Soal biaya, biarlah itu urusan besok. Yang penting Maria ditangani dulu.
Setelah beres semuanya, akhirnya saya pamit pulang pada Maria, karena saya harus
bekerja di hari selanjutnya. Beberapa pesan dari Maria minta disiapkan, misalnya
keperluan mandi dan baju pengganti.
Sampai di rumah jam 2 pagi. Mandi sebentar, lalu tidur dulu sejenak, menyusun tenaga.
Jam 5 pagi bangun, mandi, menyiapkan segala sesuatu yang Maria perlukan, lalu
meluncurlah saya ke rumah sakit lagi.
Setelah barang-barang yang diminta Maria diserahkan, saya berangkat kerja naik motor
dengan jarak tempuh kira-kira 40Km ...
Tuhan ... mohon perlindunganmu sepanjang perjalanan ... soalnya lelah melanda tubuhku
...
Di tempat kerja, saya bekerja seperti biasanya.
Di kala ada waktu senggang, saya mampir ke tempat pimpinan, dan minta maaf sekali
lagi, karena kemarin mendadak saya minta izin menemani saudara ke rumah sakit.
Syukurlah beliau mengerti dan bertanya,”Lalu, di mana sekarang saudaramu?”
“Di rumah sakit Elisabeth, Pak,”jawabku. Lalu ku ceritakan kronologi kejadian
kepadanya sehingga Maria ada di Elisabeth.
“Coba nanti kamu temui pastor parokimu, untuk meminta bantuan pembiayaan rumah
sakit itu.”
“Ya Pak,”jawabku ...
Sayang, pekerjaan rumah dan kebutuhanku ke rumah sakit membuatku belum sempat
menemui Pastor Paroki ... sampai sekarang.
Sore hari pulang kerja, saya langsung meluncur ke rumah, mandi dan memberi makan
sahabat-sahabat manusia. Setelah itu, saya menyiapkan perkakas, entah baju kerja, laptop,
dll untuk saya bawa besok langsung dari rumah sakit, karena saya akan menginap di sana.
Akhirnya saya bisa menemani Maria di rumah sakit.
Berhubung saya juga harus mempersiapkan diri untuk tetap bekerja keesokan harinya,
saya pamit tidur pada Maria. Saya tidur di teras depan kamar, di atas kursi panjang.
Lumayan ... kepala saya bisa direbahkan di sana.
Keesokan harinya saya bangun dan mandi.
Wow ... airnya di sana air hangat. Lumayan, ... memberi kelonggaran buat sel-sel tubuhku
yang jenuh setelah kedinginan semalaman. He he ...
Saya salut pada rumah sakit ini yang benar-benar memberikan kenyamanan kepada
pasiennya, sekalipun kelas terendah yang ditempati.
Di dalam kamar ada AC, ada tivi LCD, kamar mandi bersih, dan airnya hangat. Serasa di
hotel. He he ...
Sebelum berangkat kerja, saya bertanya dulu ke kantor perawat di Unit Vincentius
tentang biaya yang sudah dihabiskan untuk merawat Maria.
Katanya Rp.3.200.000,00.
Kalau besok ada perkembangan lebih baik, kemungkinan lusa sudah boleh pulang.
Dengan informasi itu, saya meluncur ke tempat kerja lagi.
Jujur, saya cukup sulit untuk fokus dalam pekerjaan. Syukurlah, pekerjaan tidak terlalu
harus fokus, karena sebentar lagi libur lebaran. Jadi, banyak pekerjaan yang sudah
diselesaikan dan karena saya berhubungan dengan penjualan, para konsumen tidak terlalu
banyak seperti sebelumnya.
Jadi, ada sedikit sela waktu saya untuk mencari dana untuk pengobatan Maria.
Kebetulan, saya sudah menjadi anggota koperasi perusahaan. Kabarnya ada dana bantuan
pinjaman bagi karyawan yang memiliki saudara yang sakit. Maka saya pergunakan
kesempatan ini sebaik-baiknya.
Dengan dibimbing oleh rekan kerja yang sudah menjadi anggota koperasi sebelumnya,
maka saya mengisi formulir pengajuan pinjaman.
Saya ajukan Rp.5.000.000,00, dengan mempertimbangkan biaya yang sudah digunakan
Maria per hari ini, seperti tadi pagi saya tanyakan ke bagian perawatan Vincentius.
Akhirnya saya datang ke koperasi. Banyak kolega-kolega lain saya temui di sini.
Kebanyakan mereka mau menabung, tapi ada juga yang mengambil tabungan. Hebat.
Beberapa saat kemudian, saya bertemu dengan petugas bagian peminjaman, Pak Marjo.
Setelah diproses Pak Marjo, ternyata saya hanya bisa meminjam Rp.2.000.000,00, sebab
saya belum menjadi pegawai tetap.
“Yah syukurlah ... dapat pinjaman 2 juta juga ... lumayan, daripada tidak sama
sekali,”hatiku tetap mensyukurinya.
Setelah surat persetujuan peminjaman diterima, baru besok harinya saya bisa mengambil
uangnya di bank koperasi.
Sepulang dari koperasi, saya kembali ke rekan kerja yang tadi membimbing saya, dan
menceritakan hasilnya. Beliau berkata,”Wah, Mbak, sebenarnya hal ini sudah
diperkirakan pimpinan tadi. Beliau tadi bertanya kepada saya, si Prima bisa ngga ya dapat
pinjaman segitu. Coba deh Mbak Prima ketemu beliau, siapa tahu beliau ada solusi lain.”
“Oh ya Pak? Wah, terima kasih Pak. :-D,” hatiku gembira sekali menjawabnya.
Akhirnya saya menemui pimpinan dan dengan sabar beliau mempersilakan saya
menceritakan hasilnya.
Jawabnya,”Coba panggil bagian keuangan ke sini!”
“Ya Pak,” jawabku.
Lalu saya memanggil bagian keuangan untuk menemui pimpinan.
Pimpinan berkata,”Si Prima sedang dalam masalah. Dia sudah pergi ke koperasi, tapi
hasilnya seperti ini. Kamu bisa pinjamkan Rp.3juta ngga? Nanti pembayarannya boleh
potong gaji, boleh potong premi, ya kan Prim?”
“Ya Pak,”jawabku.
Kata kepala bagian keuangan,”Ya Pak bisa.”
Akhirnya saya kembali lagi ke ruang bagian keuangan untuk mengambil uang Rp.3juta
yang dipinjamkan kantor.
Setelah menerima uangnya, saya haturkan terima kasih ke bagian keuangan,”Pak, terima
kasih.”
Kata bapak itu,”He he ... bilang terima kasih sama pimpinan.”
“Ya Pak.”
Lalu saya masuk ke ruang pimpinan dan bilang,”Terima kasih” secara terbata-bata dan
bapak pimpinan mengangguk-anggukkan kepala. Saya langsung ke kamar mandi.
SAYA MENANGIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIS DI SANA ...
Terharu sekali ... saya yang bukan apa-apa tapi dikasihi oleh banyak orang di kantorku.
Terima kasih Tuhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan ...
Akhirnya saya pulang dengan damai.
Saya menggabungkan sisa uang THRku dengan Rp.3juta tadi, lumayan, ada Rp.5juta.
Lalu saya titipkan ke bagian administrasi rumah sakit, supaya kalau Maria sudah
waktunya ke luar, pembayaran sudah beres.
Malam itu saya tidur di rumah sakit lagi. Jadi petang saya sudah di sana.
Ternyata Maria kedatangan teman-teman SMPnya he he ...
Selain itu ...
Kakak sulungnya juga datang berkunjung!!! Puji Tuhan ...
Saya lihat, permasalahan demi permasalahan itu ada hikmah di dalamnya ...
Dengan permasalahan sahabat manusia di Jakarta ... akhirnya bisa membuat Maria
ngobrol ama kakak perempuannya di sana bahkan bisa dapat kartu BPJS.
Dengan sakitnya Maria, kakak sulungnya datang berkunjung disertai istrinya yang adalah
kakak iparnya ...
Puji Tuhan ...
Kami percaya kepadamu ya Bapa ... KehendakMu adalah yang terbaik bagi kami.
Saya percaya, sekalipun sekarang sedang kelimpungan mencari dana untuk biaya kontrol
dan lain-lain ...pasti ada jalan untuk bisa memenuhi kebutuhan itu.
Puji Tuhan ... Amin.
Jawa Tengah, 31 Juli 2014
Prima.