SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM HAL P

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM HAL PELAKSAAN DIVERSI

A. Latar Belakang
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia
dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak
memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap
anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati
sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia 1. Setiap anak
mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir
harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Secara hukum negara
Indonesia telah memberikan perlindungan kepada anak melalui berbagai peraturan
perundang-undangan diantaranya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Penanganan kasus anak pelaku tindak pidana dengan jumlah dan
bentuk beragam, diperlukan usaha negara untuk menetapkan undang-undang peradilan
anak yaitu UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Setelah lahirnya UU No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terdapat beberapa perbedaan dalam ketentuan
tentang penanganan kejahatan yang dilakukan oleh anak, yaitu perlakuan khusus terhadap
anak pelaku tindak pidana, diantaranya:
1. Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasihat hukum dan petugas lainnya dalam

sidang anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.
2. Sidang anak dilakukan secara tertutup.
1 Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

3. Hakim sidang anak adalah hakim khusus.
4. Perkara anak diputus oleh hakim tunggal.
5. Adanya peran pembimbing pemasyarakatan dalam sidang perkara anak.
6. Penyidikan terhadap anak nakal dilakukan oleh penyidik khusus.
7. Penyidik wajib memeriksa dalam suasana kekeluargaan dan wajib dirahasiakan.
8. Penahanan

dilakukan

setelah

dengan

sungguh-sungguh

mempertimbangkan


kepentingan anak.
9. Penempatan tahanan anak diruang khusus anak.
10. Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus dipenuhi.
11. Setiap anak sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapat bantuan hukum.2
Negara Indonesia harus berpikir dan mengambil tindakan cepat dan tepat untuk mencari
solusi pemecahan permasalahan dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(selanjutnya disingkat UU SPPA) yang merupakan pergantian terhadap Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak3 telah mengatur secara tegas mengenai Keadilan Restoratif
dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan si anak
dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu sangat diperlukan peran
serta semua pihak dalam mewujudkan hal tersebut. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU SPPA
disebutkan bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersamasama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
2 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 6, 8 ayat (1), 9, 11 ayat (1), 34 ayat (1), 41 ayat (1), 42 ayat
(1) 45 ayat (1, 3, dan 4), dan 51 ayat (1)
3 Berdasarkan ketentuan Pasal 108 UU tersebut baru akan diberlakukan 2 (dua) tahun sejak diundangkan tanggal 30
Juli 2012, berarti UU SPPA akan berlaku pada tanggal 30 Juli 2014.


semula, dan bukan pembalasan. Selanjutnya dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa Sistem
Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan restoratif
yang dimaksud dalam UU SPPA adalah kewajiban melaksanakan Diversi.
Dalam pasal 7 UU SPPA disebutkan bahwa:
-

Ayat (1) “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan
negeri wajib diupayakan diversi”.

-

Ayat (2) “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana
yang dilakukan :
1. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
2. bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.
Oleh karena penerapan diversi merupakan suatu kewajiban, maka menjadi penting bagi

pejabat dalam setiap tingkat pemeriksaan untuk benar-benar memahami bagaimana mekanisme
penerapan diversi tersebut. Dalam tulisan singkat ini, Penulis hanya mencoba untuk mengkaji
bagaimana penerapan Diversi dalam tahap penuntutan dipersidangan, karena undang-undang ini

tidak mengatur secara teknis mengenai penerapan Diversi. Pasal 15 UU SPPA menyatakan
bahwa ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara dan koordinasi
pelaksanaan Diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun hingga saat inipun Peraturan
Pemerintah yang dimaksud belum ada.

B. Isi

Kata diversi berasal dari bahasa inggris Diversion yang berarti “Pengalihan”. Berdasarkan
Pedoman Umum Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, disesuaikan dalam bahasa Indonesia menjadi Diversi4. Menurut Romli Artasasmita,
Diversi yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan
pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan dimuka sidang 5.
Dalam Pasal 1 angka 7 UU SPPA disebutkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara
anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. UU SPPA telah mengatur
tentang Diversi yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi
akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Penggunaan mekanisme diversi tersebut
diberikan kepada para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga lainnya) dalam menangani
pelanggar-pelanggar hukum yang melibatkan anak tanpa menggunakan pengadilan formal.
Penerapan Diversi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak
dalam suatu proses peradilan. Tujuan dari Diversi yang disebutkan dalam pasal 6 UU SPPA yaitu

:
1. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
3. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

4 Setya whyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm.14
5 Ibid

5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Pelaksanaan Diversi juga harus dengan persetujuan anak sebagai pelaku kejahatan, orang tua
atau walinya serta memerlukan kerja sama dan peran masyarakat sehubungan dengan adanya
program, seperti: pengawasan, bimbingan, pemulihan, serta ganti rugi kepada korban. Proses
Diversi wajib memperhatikan: kepentingan korban; kesejahteraan dan tanggung jawab anak;
penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; keharmonisan masyarakat; dan
kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
1. Beberapa Teori Pemidanaan Yang Terkait Dengan Diversi
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa teori pemidanaan dan tujuan sebenarnya
untuk apa pemidanaan itu dijatuhkan. Menurut Wirdjono Prodjodikoro tujuan pemidanaan

adalah untuk memenuhi rasa keadilan6. Dalam hukum pidana, teori pemidanaan dibagi dalam
3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Teori absolut (vergeldingstheorien) yang dianut oleh Immanuel Kant berpandangan
tujuan pemidanaan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan
kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota
masyarakat7.
2. Teori relatif (doeltheorien) dilandasi tujuan (doel) sebagai berikut:
-

Menjerakan dengan penjatuhan hukuman diharapkan pelaku atau terpidana menjadi
jera dan tidak lagi mengulangi perbuatannya dan bagi masyarakat umum dapat

6 Wirdjono Prodjodikkoro, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta. Sinar Grafika. Mei, 2005, Cetakan Pertama, hal. 4
7 Juhaja S Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Pustaka setia, Bandung, 2011, hlm.89

mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan tersebut akan mendapatkan hukuman
yang serupa.
-

Memperbaiki pribadi terpidana dalam perlakuan dan pendidikan yang diberikan

selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan
mengulangi perbuatan dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan
berguna8.

Teori Gabungan/modern (Vereningingstheorien) yang penganutnya adalah Van Bemmelen
dan Grotius yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi
yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan
beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana
dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukurdan ditentukan oleh apa yang
berguna bagi masyarakat9.
Bahwa pada dasarnya Diversi mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan anak, yang
mana nampak dari hal-hal sebagai berikut:
1. Diversi sebagai proses pengalihan dari proses yustisial ke proses non yustisial, bertujuan
menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana yang seringkali menimbulkan
pengalaman yang pahit berupa stigmatisasi (cap negatif) berkepanjangan, dehumanisasi
(pengasingan dari masyarakat) dan menghindarkan anak dari kemungkinan terjadinya
prisionisasi yang menjadi sarana transfer kejahatan terhadap anak.

8 Ibid.
9 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai

Syarat Pemidanaan (Diserati Teori-Teori Pengantar dan Beberapa Komentar), Rangkang Education, Yogyakarta &
Pukap Indonesia, hlm. 102-103

2. Perampasan kemerdekaan terhadap anak baik dalam bentuk pidana penjara maupun
dalam bentuk perampasan yang lain melalaui meknisme peradilan pidana, memberi
pengalaman traumatis terhadap anak, sehingga anak terganggu perkembangan dan
pertumbuhan jiwanya.
3. Dengan Diversi tersebut maka anak terhindar dari penerapan hukum pidana yang dalam
banyak teori telah didalilkan sebagai salah satu faktor kriminogen, berarti juga
menghindarkan anak dari kemungkinan menjadi jahat kembali (residive), menghindarkan
masyarakat dari kemungkinan menjadi korban akibat kejahatan.
4. Dengan Diversi akan memberikan 2 (dua) keuntungan sekaligus terhadap individu anak.
Pertama; anak tetap dapat berkomunikasi dengan lingkungannya sehingga tidak perlu
beradaptasi sosial pasca terjadinya kejahatan. Kedua; anak terhindar dari dampak negatif
prisionisasi yang seringkali merupakan sarana transfer kejahatan10.
2. Penerapan Diversi Dalam Persidangan Anak
Menurut ketentuan Pasal 7 UU SPPA, Diversi hanya dapat dilaksanakan kepada anak yang
diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana (residive). Hal ini sangat perlu diperhatikan untuk memperkecil
potensi pemaksaan dan intimidasi pada semua tahap proses diversi. Seorang anak tidak boleh

merasa tertekan atau ditekan agar menyetujui program-program diversi. Kesepakatan Diversi
harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan
keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak
10 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM
Press, Malang, 2009, hlm.129 sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Drs. Abintoro Prakoso, SH.,MS, Pembaruan
Sistem Peradilan Pidana Anak, Erlangga, Surabaya, 2013, hlm. 222.

pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat. Terkait penerapannya dalam pemeriksaan dipersidangan diatur dalam pasal 52 UU
SPPA yang menyebutkan:


Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara
Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum.



Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh
ketua pengadilan negeri sebagai Hakim.




Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh)
hari.



Proses Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri.



Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim menyampaikan berita
acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat
penetapan.



Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan.

Selanjutnya terkait dengan penahanan, apakah dalam proses diversi penahanan terhadap anak

tetap diperhitungkan? Karena jika demikian maka masa penahanan akan habis dan anak dapat
dikeluarkan demi hukum. Jawabannya tentu tidak! Karena berdasakan ketentuan pasal 7 UU
SPPA secara limitatif telah ditentukan bahwa diversi hanya dapat diterapkan kepada anak yang
diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan

tindak pidana (residive). Ketentuan tersebut apabila dihubungkan dengan syarat penahanan
terhadap anak yang diatur didalam pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) yang menyebutkan bahwa:


Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari
orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan
menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.



Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:

1. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
2. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau
lebih.
5. Dengan demikian jika kembali pada persoalan terkait proses Diversi dan penahanan,
maka dapat dipastikan bahwa proses Diversi hanya dapat dilakukan terhadap anak yang
tidak ditahan, karena anak yang dapat ditahan adalah yang diduga melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih, sedangkan proses
Diversi hanya diterapkan terhadap anak yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7
(tujuh) tahun11. Hal lainnya yang dapat saja terjadi adalah sebagaimana yang diatur
didalam pasal 3 PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa hakim anak wajib mengupayakan
diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan
11 Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a : Ketentuan “pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun” mengacu pada hukum
pidana”.

subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi (gabungan). Misalnya dakwaan
subsidaritas Primair: Pasal 354 ayat (1) KUHP (ancaman penjara 8 tahun), Subsidair:
Pasal 351 ayat (2) KUHP (ancaman penjara 5 tahun), Lebih Subsidair : Pasal 351 ayat (1)
KUHP (ancaman penjara 2 tahun 8 bulan).