BANTEN DALAM KEMELUT PEMBANGUNAN pdf

BANTEN DALAM KEMELUT PEMBANGUNAN : JALAN TEMPUH PEMBANGUNAN PROVINSI
BANTEN DALAM RANGKA RESOLUSI MENYAMBUT KEPEMIMPINAN BARU
Oleh : Zainal Muttaqin1
Telah berakhir pemilihan Kepala Daerah secara serentak tiga bulan silam, Banten
memiliki Gubernur terpilih yang dilakukan secara Demokratis, meskipun menyisakan
kekecewaan bagi sebagian masyarakat karena perbedaan suara yang tipis. Namun
haruslah kita maklumi, karena itu bagian dari konsekuensi Demokrasi, yang harus
dilakukan saat ini adalah mengawal pemerintahan yang baru agar harapan
masyarakat secara umum dapat terpenuhi melalui visi dan misi yang sudah
dikampanyekan saat pencalonan. Baiknya, sebagai masyarakat Banten, kita tidak
boleh tersekat dikarenakan hanya pada pilihan yang berbeda, tapi harus turut serta
dalam pembangunan, itulah ciri dari masyarakat Demokratis dan Madani.
Dr. Wahidin Halim, M.Si dan Andhika Hazrumy, M.AP. sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten
terpilih wajib melakukan depolarisasi dari pergesekan pasca pemilu. Karena ketidakpuasan sebagian
kalangan jelas akan menghambat pembangunan yang akan dilakukan, karenanya aktifitas menyatukan
berbagai elemen masyarakat dari imbas pemilu jelas akan makin memperbesar sekat apabila tidak
dirangkul. Tujuan yang ingin dicapai pun seperti visi dan misi yang sudah dicanangkan tidak akan
berwujud apabila tanpa peran serta masyarakat. Sedikit mengingatkan kembali, saat kampanye lalu
pasangan terpilih ini mengusung visi banten yang maju, mandiri, berdayasaing, sejahtera dan
berakhlakul karimah, serta misi menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, membangun dan
meningkatkan kualitas infrastruktur, meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan berkualitas,

meningkatkan akses dan pemereataan pelayanan kesehatan berkualitas dan meningkatkan kualitas
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
Seperti pada umumnya, setiap politisi yang mencoba peruntungan dalam pertarungan politik, seperti
pemilihan kepala daerah beberapa waktu lalu misalnya, selalu mengusung visi dan misi yang begitu
muluk, serta program kerja yang begitu brilian, namun tanpa memperhatikan realita sesungguhnya
keadaan masyarakat dan ketersediaan anggaran, sehingga sebagian besar angan-angan surganya tidak
dapat direalisasikan. Sehingga momentum lima tahunan yang dihelat untuk memilih kepala daerah
hanya menjadi rutinitas formalistik belaka, karena belum menyentuh hal-hal substansial, seperti
pembangunan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Jadi jika kita lihat kacamata ilmiah perlu kita
pertanyakan Demokrasi yang tersedia di Indonesia, terutama sekali kondisi banten, mengapa konstruksi
demokrasi tidak berbanding lurus dengan pemakmuran masyarakatnya?
Perlembagaan Demokrasi Formalistik
Masih ingat di benak kita tentunya bagi yang pernah merasakan pemerintahan Orde Baru,
Otoriterianisme dibangun untuk melanggengkan kekuasaan politik yang dikemas dalam bentuk
kekaryaan atau disebut sebuah rezim yang mementingkan kepentingan golongan yang terlibat dalam
program kekaryaan Presiden Suharto pada masa itu (kelompok ini disebut Golongan Karya), sehingga

1

Penulis merupakan Peneliti di YS Institute dan Mahasiswa S2 Program Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana

Universitas Nasional, Jakarta.

walau perlembagaannya berbentuk Demokrasi (Pemilu dan lembaga-lembaga kapital ekonomi) tetapi
sebatas formalitas saja, yang pada akhirnya orang-orang yang berada dalam Golkar lah yang akan
menikmati porsi-porsi politik dan bisnis yang ada. Pada masa itu pemerintahan bersifat sentralistik,
dimana tidak ada hak daerah untuk membangun konstruksi pemerintahan yang disesuaikan dengan
potensi daerah tersebut, selanjutnya pasca rezim Orde Baru barulah perlembagaan politik di daerah
memiliki hak untuk merencanakan program tanpa harus terikat pada pemerintah pusat.
Tahun 1998, merupakan akhir dari riwayat Orde Baru dan awal bangunan reformasi dibentuk, dimana
pembatasan-pembatasan politik yang dilakukan pada masa Orde Baru dihapus, dan dibentuknya
perlembagaan-perlembagaan politik yang jauh lebih demokratis, terbukti pada tahun 1999 pemilu yang
diselenggarakan diikuti 48 Partai Politik, dimana pada rezim sebelumnya hanya diperbolehkan hidup tiga
partai setelah dilakukan Fusi pada tahun 1973 yang dikategorikan menurut ideologinya. Pada masa
Reformasi secara radikal tatanan politik dirubah menjadi sangat demokratis, pers yang sebelumnya
menjadi corong pemerintah pada masa ini hidup secara bebas dengan jaminan kebebasan pers, untuk
mempermudah tata kelola pemerintahan dilakukan desentralisasi dan otonomi daerah (sehingga
pemerintah daerah tidak bergantung pada pemerintah pusat), secara terstruktur model pendidikan
nasional digubah dan kurikulum ditinjau kembali, serta masih banyak lagi tatanan yang berubah secara
drasitis. Yang paling penting dan mencolok ialah, masalah desentralisasi dan pembangunan ekonomi,
dimana pembangunan ekonomi daerah tidak lagi menjadi kesalahan pemerintah pusat jika gagal, akan

tetapi menjadi kesalahan yang dipikul oleh kepala daerahnya.
Pemilihan kepala daerah secara langsung sendiri baru terlaksana setelah keluarnya Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Banten sendiri baru melaksanakan pemilihan
kepala daerah secara langsung pada tahun 2006, dimana kontestasi pada saat itu menghantarkan Ratu
Atut Chosiyah menjadi Gubernur hingga dua periode. Kabar buruknya ialah pemerataan pembangunan
tidak merata ke seluruh lapisan masyarakat Banten dari awal berdirinya pada tahun 2000 hingga kini. Ini
membuktikan perlembagaan politik di Banten tidak turut membangkitkan perlembagaan dalam hal
kemakmuran masyarakatnya, yang terjadi justru penenggelaman pada kesulitan mencari lapangan
pekerjaan, ketimpangan sosial dan ekonomi, ketidakmerataan penyediaan layanan kesehatan,
penyediaan layanan pendidikan yang buruk dan pembangunan infrakstuktur yang tidak selaras antara
perdesaan dan perkotaan. Permasalahan-permasalahan ini menjadi pemicu dari kesenjangan sosial yang
terjadi di Provinsi Banten.
Hadirnya Gubernur Baru pasca pemilihan kepala daerah pada tanggal 15 Februari 2017 lalu, yang
memenangkan Wahidin Halim dan Andhika Hazrumy menjadi tumpuan masyarakat Banten akan
hadirnya kemakmuran dari visi dan misi yang sudah terlanjur menjadi janji, bukan janji manis tentunya
yang diharapkan masyarakat. Masyarakat luas di Banten tentunya menginginkan pilihannya yang
memenangkan pertarungan politik dapat membawa perubahan yang nyata, bukan dari sekedar
formalitas program yang digagas saja, tapi benar-benar dilaksanakan dengan prestasi.
Masalah-Masalah di Banten
Seperti yang kita tahu, bahwa masalah di Banten begitu kompleks dan harus diselesaikan dengan

penyelesaian yang jitu. Mulai dari kesehatan, dimana masalah kesehatan di Banten begitu menjadi
momok. Rumah sakit yang memiliki prestasi baik hanya tersebar di wilayah perkotaan, nyaris tidak
tersedia layanan kesehatan yang baik di wilayah-wilayah pelosok. Masalah lain yang dihadapi ialah
pendidikan, dimana tidak semua lapisan masyarakat dapat mengakses pendidikan yang ditunjang

dengan akses yang baik seperti sarana, prasarana dan tenaga pendidik yang berkualitas. Kemudian
masalah pembangunan infrastruktur mungkin menjadi permasalahan yang kadang membuat
masyarakat geram, karena hal inilah yang dirasakan langsung oleh masyarakat, dimana pembangunan
infrastruktur di Banten masih dapat dikategorikan buruk, lihat saja jalan-jalan yang berada di perdesaan
masih banyak yang jauh dari kategori baik, bahkan di wilayah perkotaan sekalipun. Masalah aset juga
masih menjadi kemelut yang belum terselesaikan sampai saat ini, setelah hampir 17 tahun Provinsi ini
berdiri. Dan masih banyak lagi masalah lainnya.
Pendidikan gratis sembilan tahun, tentunya menjadi angin segar bagi seluruh masyarakat Indonesia yang
menginginkan akses pendidikan, tidak terkecuali bagi masyarakat Banten. Namun kebijakan wajib
belajar sembilan tahun bergulir, tidak lantas membuat pemerintah daerah berbenah untuk membantu
terealisasinya pendidikan yang berkualitas. Mungkin saja sebetulnya pemerintah daerah berupaya untuk
melakukan perbaikan untuk sektor pendidikan, seperti biaya operasional sekolah daerah (BOSDA) yang
dibebankan pada APBD, sebelumnya kebijakan mengenai akses pendidikan SD-SMP digagas pemerintah
pusat melalui biaya operasional sekolah (BOS), jadi BOSDA merupakan dukungan pemerintah daerah
untuk membantu tambahan biaya yang belum dicover oleh BOS. Namun disamping itu, perlu kita lihat

bahwa pembiayaan di sektor pendidikan yang seharusnya minimal dua puluh persen dari APBD, akan
tetapi sampai saat ini masih dibawah angka tersebut. Tahun 2015 saja anggaran pendidikan hanya 3,96
persen dari APBD Banten sehingga menuai kritik dari Mendikbud.
Kemelut pendidikan bukanlah satu-satunya masalah. Banten sendiri memiliki preseden buruk pada
bidang kesehatan setelah terbongkarnya korupsi alat-alat kesehatan yang melibatkan mantan Gubernur
Banten Ratu Atut Chosiyah beberapa tahun silam. Saat ini dapat kita saksikan buruknya pelayanan dan
fasilitas kesehatan di Provinsi Banten, meskipun ada BPJS kesehatan yang hakekatnya dapat mengcover
permasalahan kesehatan masyarakat secara umum, nyatanya tidak semua lapisan masyarakat dapat
mengakses kesehatan secara murah. Di RSUD Serang misalnya, sesuai dari pengalaman pribadi dan
beberapa orang, tenaga kerja di RSUD jauh lebih memperhatikan masyarakat yang berobat tanpa
menggunakan BPJS, kemudian minimnya tenaga kerja professional di hampir seluruh kecamatan di
Provinsi Banten dan yang paling jelas penderita gizi buruk masih tinggi, tahun 2016 terdapat sekitar
1.078 balita menderita gizi buruk, begitu pula angka harapan hidup (AHH) berada pada 69,43 persen, ini
dibawah angka AHH nasional 70,78 persen, sebagaimana yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Banten tahun 2016. Artinya perlu ada penyesuaian demi peningkatan kualitas kesehatan.
Masalah lainnya di Provinsi Banten ialah akses pekerjaan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan
penduduk di Provinsi Banten, sehingga menyebabkan tingginya angka pengangguran. Data BPS tahun
2016 menunjukkan angka pengangguran berada pada 7,95 persen, jauh lebih tinggi dari angka
pengangguran nasional 5,50 persen. Tingginya angka pengangguran dipicu oleh terbatasnya
ketersediaan lapangan kerja, yang seharusnya dapat dijamin oleh pemerintah daerah.

Penunjang pembangunan ekonomi, seperti jalan, transportasi dan bantuan kredit bagi masyarakat yang
kurang mampu sampai saat ini masih menjadi permasalahan serius, dimana jalan raya yang merupakan
faktor pendongkrak perekonomian masih kita jumpai sangat memprihatinkan, misalnya di sekitaran
desa-desa penyangga kawasan ekonomi khusus (KEK) Cibaliung, ruas jalan Tigaraksa – Citeras yang
sebagian besar masih kurang baik, ruas jalan cibadak lebak juga memiliki nasib yang sama, begitu pula
jalan akses ke kawasan wisata religi Banten Lama dan masih banyak lagi infrastruktur jalan yang jauh
dari kata memadai. Selain jalan, penunjang ekonomi lainnya ialah transportasi, yang seharusnya bisa

menghubungkan semua wailayah di Provinsi Banten. Kita ketahui bersama, tidak semua transportasi
yang tersedia dapat menghubungkan semua wilayah di Banten, terutama wilayah-wilayah pelosok,
akhirnya masyarakat harus membayar mahal atas ketiaktersediaannya sarana ini, dimana roda
perputaran perekonomian cenderung mandek bagi masyarakat yang tidak terhubung transportasi.
Bagi masyarakat perdesaan yang paling penting ialah terjaminnya dana usaha, dikarenakan kultur
masyarakat perdesaan di Banten mayoritas bertani dan nelayan (bagi masyarakat pesisir), sehingga
petani maupun nelayan menginginkan adanya dana bergulir yang disediakan pemerintah. Karena dalam
melakukan aktifitasnya, petani dan nelayan membutuhkan akses keuangan yang tidak memberatkan
(saat ini pnjaman Bank dirasa masih memberatkan bagi petani dan nelayan). Apabila merujuk pada data
statistik, lebih dari enam puluh persen petani di Banten berada pada golongan kurang sejahtera, maka
perlu lah kiranya keseriusan sentuhan pemerintah dalam masalah ini.
Masalah transparansi juga masih menjadi perhatian di Provinsi Banten, dimana tingginya

ketidaktransparanan di sebagian besar SKPD Provinsi Banten, sehingga hingga saat ini, clean and good
government belumlah sampai kepada aplikasi yang utuh. Secara teoretis, tata kelola pemerintah yang
baik dan memberikan dampak positif dapat dicapai apabila dilaksanakan dengan terbuka dan akuntabel,
sehingga masyarakat secara umum dapat mengawasi jalannya pemerintahan. Dapat kita jumpai, hampir
di seluruh situs website yang dibuat SKPD tidak berjalan baik, bahkan hampir semua lamannya kosong.
Mengurai Masalah Banten 17 Tahun
Masalah-masalah di atas, tidak lain ialah menggambarkan bagaimana keadaan Provinsi yang
menghadapi usia ke 17 tahun belum dapat bangkit dari segala kelemahan yang ada, padahal jika kita
hubungkan pada potensi, ialah begitu besar harapannya. Banten akan menemui kemajuannya apabila
pemerintahan dikelola dengan serius, yang tidak menjadikan arena demokrasi pemilu sebagai aktifitas
rutin lima tahunan yang tidak berkorelasi dengan peningkatan kapasitas masyarakatnya. Perlu adanya
langkah konkret agar terlepas dari segala kepailitan.
Pertama, Pemerintahan yang bersih dan baik harus dilakukan dengan pemilihan orang-orang yang tepat,
yang dapat mengurusi permasalahan di Provinsi Banten. Artinya, ASN yang menduduki posisinya di
seluruh SKPD harus mengerti atas apa yang ia kerjakan, untuk itu peningkatan kapasitas ASN jagan
hanya dilakukan sekadar formalitas, akan tetapi dilakukan untuk melihat orang-orang berkompetensi
tinggi dalam mengisi jabatannya. Saat ini banyak sekali ASN di Provinsi Banten justru mengabaikan
tugas-tugasnya, sehingga menurut hemat penulis, perlunya evaluasi secara mendasar dari prestasi yang
dilakukan ASN di lingkungan pemerintahan Provinsi Banten.
Secara teoretis, pembangunan infrastruktur akan berjalan dengan efektif apabila tata kelola

pemerintahan diisi oleh orang-orang berintegritas, oleh karena itu evaluasi secara mendasar kepada
para ASN dapat membantu penempatan orang-orang sesuai kompetensinya, sehingga tidak lagi akan
ada salah taksir seperti apa yang terjadi selama ini. Namun hal itu juga tidak akan terwujud apabila
moralitas para pembantu Gubernur juga buruk (angka korupsi di Banten saat ini masih tinggi).
Perlembagaan ekonomi di Provinsi Banten dalam penilaian penulis saat ini masih jauh dari harapan
masyarakat sesungguhnya, dimana akses pembiayaan modal usaha masih dirasakan sulit didapat oleh
masyarakat. Padahal adanya perlembagaan ekonomi bagi masyarakat merupakan hal terpenting dalam
menyokong pembangunan dan kesejahteraan. Penulis teringkat kepada teori ekonomi-politik yang

dibangun oleh Daron Acemoglu dan Robinson baru-baru ini, yang mengatakan dimana perlembagaan
ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah harus memberikan dampak kemakmuran secara merata,
seperti pembiayaan usaha mudah, perlindungan atas kepemilikan, dan jaminan hidup secara aman, itu
akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Secara ideal, Adam Smith pun mengatakan dari sudut
pandang ekonomi-politik, pembangunan dapat dilakukan secara menyeluruh apabila production of
wealth, distribution of wealth dan excange of wealth dilakukan secara utuh dan simultan.
Sejauh ini perlembagaan ekonomi dalam pemerintahan masih berorientasi pada teori ekonomi, padahal
secara konseptual berbeda dengan teori ekonomi-politik. Perlembagaan yang dibangun berdasarkan
konstruksi ekonomi-politik memiliki goal point kemakmuran, akan tetapi konstruksi ekonomi
berorientasi pada salary (penerimaan/keuntungan), maka wajar apabila saat ini pemerintah berhadapan
dengan kegagalan sistem.

Dalam konstruksi ekonomi-politik, produksi, distribusi dan pertukaran merupakan alur yang berputar
untuk kemakmuran. Artinya jika disimulasikan kedalam wilayah perdesaan yang memiliki potensi
pertanian, maka produksi dibidang pertanian harus didukung oleh sarana transportasi, kemudahan
akses komunikasi, terjamin akan ketersediaan pasar dan adanya regulasi yang dapat meningkatkan
produksi hasil pertanian. Hal tersebut akan membantu kemudahan petani dalam mendistribusikan hasil
pertaniannya, sehingga peningkatan taraf ekonomi dapat tercapai. Namun hal tersebut belum cukup,
jika kesejahteraan menjadi ukurannya, karena perlu sarana dan prasarana lainnya untuk menunjang,
yaitu perlu adanya fasilitas kesehatan yang berkualitas, sarana pendidikan yang berkualitas dan layanan
informasi publik yang memadai (baik di Desa maupun Kecamatan), barulah kesejahteraan dalam
kerangka pembangunan ekonomi akan tercapai sesuai target. Pertanyaannya bagaimana mendapatkan
sarana kesehatan dan pendidikan yang berkualitas?
Keberhasilan penyediaan sarana kesehatan bagi pemerintah daerah ialah ketika angka harapan hidup
pada daerah tersebut tinggi, angka kesakitan rendah dan angka kecukupan gizi terpenuhi. Jika tidak
terpenuhi dari tiga indikator tersebut, artinya pemerintah telah gagal memberikan layanan kesehatan.
Cara agar terhindarnya kegagalan pelayanan kesehatan, maka perlu dilakukan langkah-langkah
preventif, yaitu pemerintah menyediakan tenaga-tenaga penyuluh kesehatan lebih banyak untuk terjun
ke masyarakat, agar transfer knowlage bisa mencapai lapisan masyarakat terbawah, penambahan
tenaga-tenaga kesehatan ke wilayah yang sulit dijangkau dan perlengkapan serta teknologi kesehatan
yang memadai agar masyarakat dapat langsung ditangani apabila memiliki gejala kesehatan yang serius.
Sama halnya dengan kesehatan, pendidikan harus menjadi askes utama dalam masyarakat, karena

melalui pendidikan, setiap orang dapat meningkatkan nalarnya berkali-kali lipat daripada yang tidak
mendapatkan pendidikan. Untuk itu pemerintah harus menjamin pendidikan bagi seluruh
masyarakatnya, akan tetapi masalah lain timbul dalam hal ini, yaitu ada sebagian kecil masyarakat
miskin yang apatis terhadap masalah pendidikan, hal itu dapat dijelaskan karena pendidikan tidak dapat
menjamin pekerjaan. Disinilah peran pemerintah daerah akan diuji, apabila masih adanya masyarakat
Banten yang apatis akan pendidikan, sama halnya dengan kegagalan pemerintah menyediakan lapangan
pekerjaan dan pembangunan sumber daya manusia. Jadi pemerintah memang harus menjamin
ketersediaannya pencaharian tersebut, barulah apatisme masyarakat yang memandang pendidikan
tidak penting akan tergugah hatinya, karena ia akan berfikir maka pendidikan lah yang dapat menjamin
ketersediaan penghasilan secara layak.

Pembangunan Berbasis Riset
Secara khusus penulis disini mengungkapkan perlu adanya koordinasi dan rekonsiliasi antara
pemerintah Provinsi dengan Kabupaten/Kota serta melibatkan pihak Kecamatan sampai ke Desa, agar
terjadinya keselarasan program yang utuh, artinya tidak dipahami sepotong-sepotong. Karena sehebat
apaun program yang digagas apabila tidak mendapatkan dukungan pada akar rumput jelas akan menjadi
sia-sia.
Atas usulan dari bawah, maka pemerintah baru akan menemui apa sebetulnya yang masyarakat
inginkan, bukan sebaliknya. Agar program Pemerintah Provinsi Banten dapat terelaisasi tanpa
pemahaman yang sepenggal-sepenggal, perlulah adanya kajian dan penelitian secara langsung. Kajian

dan Penelitian tersebut berguna untuk membangun koordinasi dan rekonsoliasi dengan pemerintah
tingkat kabupaten/kota, sehingga program yang dilaksanakan benar-benar berbasiskan masyarakat.
Pertama, seperti yang sudah penulis ungkap diatas, pertarungan Demokrasi selama ini hanya bersifat
formalistik, sehingga tidak didapatkan koherensi antara pemilu dengan kesejahteraan masyarakat.
Penulis disini ingin menunjukkan perlu adanya kajian secara serius bagaimana sebetulnya Pemilihan
Kepala Daerah berhubungan erat dengan pembangunan ekonomi daerah dan peran aktif masyarakat di
dalamnya, maka selanjutnya riset akan indeks Demokrasi di Provinsi Banten sangat dibutuhkan.
Kedua, dalam membangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan transparansi publik harus dibangun
berdasarkan riset yang mendalam, sehingga peran aktif masyarakat akan ditemukan sebagai bukti
suksesnya program yang digagas. Dengan begitu pemerintah daerah benar-benar tahu langkah yang
harus ditempuh. Kesuksesan program pemerintah akan meningkatkan mutu hidup masyarakatnya dan
menciptakan rasa bahagia akan kepemimpinan kepala daerahnya.
Terakhir, penulis ingin menggambarkan kelayakan perlembagaan ekonomi yang harusnya dibangun.
Perlembagaan ekonomi tersebut harus benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Seperti yang kita
tahu saat ini, secara umum pemerintah memaknai sebuah perlembagaan ekonomi melalui basis-basis
keuangan daerah, seperti : Bank Daerah, Pajak, koperasi-koperasi, dan usaha-usaha daerah. Namun
disini penulis ingin memberikan sedikit gambaran, bahwa perlembagaan ekonomi bukanlah demikian
(hal tersebut dinamakan lembaga perekonomian), perlembagaan ekonomi dari sudut pandang penulis
ialah seluruh aktifitas yang dapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh
masyarakat, yang dapat meningkatkan kelayakan hidup. Artinya segala program pemerintah yang
digagas, perlembagaannya harus tepat, misalnya penggunaan anggaran untuk pendidikan harus
dilakukan betul-betul sesuai dengan harapan masyarakat, pelayanan kesehatan harus benar-benar
memberikan dampak baik pada masyarakat, infrastruktur yang dibangun tidak memakan hak hidup
masyarakat, kredit rakyat tidak membebani masyarakat, pajak yang diberikan secara terbuka
disampaikan kegunaannya dan masih banyak lagi yang lainnya. Maka untuk tercapainya perlembagaan
ekonomi yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, perlu dilakukan kajian ulang atas
perlembagaan yang sudah ada saat ini, artinya harus dilakukan riset agar hal yang dimaksud dapat
dicapai. Melalui riset, segala program yang digagas dapat dipertanggungjawabkan secara akademis,
sehingga hasil kerja yang dicapai bukanlah sebuah kebetulan, akan tetapi koherensi antara basis
keilmuan dan nilai-nilai moral etik penyelenggara dengan semangat masyarakat.
Diakhir tulisan ini penulis mengajukan tesis : pertama, bahwa wealth bagi masyarakat dapat dicapai atas
keaktifan pemerintah dalam mendistribusikan kesejahteraan secara merata. Kedua, pemerintah akan

jauh lebih menghemat anggaran dengan hasil yang memuaskan apabila gagasan program berdasarkan
usul masyarakat. Untuk membuktikan kedua tesis tersebut maka perlu adanya kajian/riset yang
dilakukan secara mendalam mengenai hubungan penyelenggaraan pemerintah dengan kesejahteraan
akan menghasilkan indeks demokrasi, kemudian pelibatan masyarakat akan penyusunan program
pemerintah akan didapatkan tinggi atau rendahnya tingkat interest (kepercayaan) terhadap pemerintah.
Terakhir, penyelenggaraan program berdasarkan usul masyarakat, secara langsung akan
menghubungkan dengan efisiensi anggaran.