PERILAKU AKTOR DALAM IMPLEMENTASI PROGRA

PERILAKU AKTOR DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN
LANGSUNG SEMENTARA MASYARAKAT 2013
KABUPATEN SITUBONDO
Prabowo Ramadan
Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, Malang
E-mail: dark.brink@yahoo.co.id

Abstract : Research is entitled with “Behaviour Actor in The Implementation of The Program
Assistance Direct Temporary Society in 2013 Situbondo Distric” method of research is qualitative
descriptive approach. Data collection technique includes interview, observation and documentary
study. Research attempts to understand behaviour actor in the implementation oh the program
assistance direct temporary society in 2013 Situbondo Distric. Goverment policy in increasing fuel
prices make some poor communities especially in Situbondo feeling burdened. Government policy
to help poor families in the program BLSM 2013 to overcome it need to be explored further in the
implementation stage. Program Implementation BLSM 2013 in Situbondo is quite smooth, the actors
involved namely as Situbondo BPS Situbondo District as assesors receiver, Pos Indonesia Situbondo
District as a solvent fund, and the village chief in Situbondo District as a recipient of the data verifier
program BLSM 2013 in Situbondo and TKSK Situbondo District that serves as a facilitator between
Pos Indonesia Situbondo and Village Chief. In substance, there are some obstacles in its
implementation due to the behavior of the actors in the implementation stage Program BLSM 2013
in Situbondo District violated rules, it begins from the data collection process is not on target

recipients, less harmonious relationship between the institution and didn’t of the verification
recipients process program BLSM 2013 in Situbondo District by the village chief.

Keywords : Behaviour, Actor, Policy, and BLSM
Abstrak : Penelitian yang berjudul “Interaksi Aktor dalam Implementasi Program Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat tahun 2013 Kabupaten Situbondo” merupakan penelitian
yang menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan
data dilakukan melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Penelitian ini dimaksudkan
untuk mengetahui perilaku aktor dominan yang terlibat dalam implementasi Program BLSM 2013
di Kabupaten Situbondo. Kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM membuat beberapa
masyarakat miskin khususnya di Kabupaten Situbondo merasa terbebani. Adanya kebijakan
pemerintah untuk membantu keluarga miskin dalam Program BLSM 2013 untuk menanggulangi hal
tersebut perlu ditelaah lebih lanjut dalam tahap implementasinya. Implementasi Program BLSM
2013 di Kabupaten Situbondo terbilang cukup lancar, para aktor yang terlibat yaitu BPS Kabupaten
Situbondo sebagai pendata penerima, Pos Indonesia Kabupaten Situbondo sebagai pencair dana, dan
Kepala Desa di Kabupaten Situbondo sebagai pemverifikasi data penerima Program BLSM 2013 di
Kabupaten Situbondo serta TKSK Kabupaten Situbondo yang berfungsi sebagai fasilitator antara
Pos Indonesia Kabupaten Situbondo dan Kepala Desa. Secara substansi, dalam implementasinya
ada beberapa kendala yang dikarenakan perilaku para aktor dalam tahap implementasi Program
BLSM 2013 di Kabupaten Situbondo menyalahi aturannya, hal ini dimulai dari proses pendataan

penerima yang tidak tepat sasaran, hubungan yang kurang harmonis antar lembaga, dan tidak
dilakukannya proses verifikasi penerima Program BLSM 2013 di Kabupaten Situbondo oleh para
kepala desa.

Kata Kunci : Perilaku, Aktor, Kebijakan, dan BLSM.

Pendahuluan
Di dalam visi pembangunan nasional
periode 2010-2014, ada salah satu visi yaitu
meningkatkan kinerja perekonomian agar
mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan
kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat,
visi tersebut merupakan visi lanjutan dari
periode sebelumnya. Untuk mewujudkan visi
tersebut, misi pembangunan nasional adalah
mewujudkan Indonesia yang sejahtera
dengan salah satu pokok sasarannya adalah
menurunkan tingkat kemiskinan. Dalam
menangani kemiskinan tersebut, pemerintah
mempunyai dua strategi utama untuk

menurunkan tingkat kemiskinan, diantaranya
yaitu :
1. Meningkatkan pendapatan rakyat
2. Menurunkan beban hidup penduduk
miskin
Terkait dengan strategi kedua tersebut, di
pertengahan tahun 2013 pemerintah
membuat kebijakan dengan memberikan
bantuan dana kompensasi BBM secara
langsung kepada keluarga/rumah tangga
miskin yaitu BLSM 2013. BLSM 2013
merupakan bantuan dana tunai sebesar Rp.
150.000 perbulan selama empat bulan dari
bulan juli 2013. Bantuan ini didasarkan pada
kebijakan pemerintah yang menaikkan harga
BBM (khususnya bensin dan solar) di bulan
juni tahun 2013. Kebijakan Pemerintah
dalam menurunkan tingkat kemiskinan yaitu
BLSM tidak akan efektif apabila salah
sasaran pada penerimanya.

BLSM adalah bantuan yang diberikan
kepada rumah tangga miskin sebagai
kompensasi akibat kenaikan harga BBM,
tujuannya untuk mengurangi beban hidup
masyarakat miskin dari kenaikan harga-harga
terutama kebutuhan pokok masyarakat
setelah kenaikan BBM tersebut.
Salah satu kabupaten di Jawa Timur,
tepatnya di Kabupaten Situbondo, merupakan
salah satu kabupaten yang tingkat
kemiskinannya relatif tinggi. Menurut data
BPS, tahun 2009 saja jumlah rumah tangga
miskin mencapai 213.620 rumah tangga
miskin. Kalaupun diprosentase jumlahnya
49,42% dari total rumah tangga yang ada.
Meskipun sudah dilakukan upaya untuk
menanggulangi
kemiskinan,
tingkat
penurunan kemiskinan dengan pertumbuhan


penduduk tidak berbanding. Meski angka
kemiskinan turun sekitar 1% fakta dilapangan
pertumbuhan penduduk juga semakin pesat.
Tingginya tingkat kemiskinan di Kabupaten
Situbondo juga terbukti dari Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal, Kabupaten
Situbondo ini merupakan binaan dari
Kementerian PDT tersebut.
Kondisi kemiskinan di Situbondo juga
bisa dilihat kondisi rumah yang dihuni. Data
yang dihimpun menyebutkan, Rumah Tidak
Layak Huni (RTLH) warga hingga akhir
2011 tercatat sebanyak 68 ribu unit. Bupati
Situbondo Dadang Wigiarto mengatakan,
“jumlah RTLH bisa bertambah menyusul
terjadinya bencana puting beliung yang
merusak puluhan rumah. Rumah-rumah yang
rusak itu kebanyakan semi permanen”.
Dijelaskan kembali jika kemampuan

anggaran baik dari kabupaten, serta bantuan
anggaran provinsi, maupun dari pusat, hanya
bisa membangun 1.500 rumah.
BLSM 2013 yang merupakan bantuan
tunai untuk rumah tangga miskin, disambut
dengan antusias oleh masyarakat. Banyak
dari mereka yang menerima bantuan bisa
dibilang terbantu dengan bantuan tersebut,
meski mereka beranggapan jika bantuan
tersebut masih kurang dan tidak dapat
memenuhi kebutuhannya selama dua bulan
kedepan. Penggunaannya pun beragam,
diantaranya yaitu dalam pendidikan dan
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Disisi lain, Segelintir masyarakat justru
menilai BLSM tidak mendidik dan cenderung
membuat rakyat malas. Mereka khawatir
BLSM akan membuat masyarakat menjadi
tergantung pada kompensasi.
Dalam pelaksanaan Program BLSM 2013

di Kabupaten Situbondo, masih banyak
mendapatkan kendala. Di daerah Kabupaten
Situbondo sendiri, salah satu kendalanya
yaitu masih banyak rumah tangga miskin
yang layak menerima bantuan tetapi tidak
mendapatkan bantuan, begitu juga sebaliknya
sehingga membuat pelaksanaannya menjadi
terhambat.
Berdasarkan penjelasan yang sudah
dipaparkan diatas, maka pembahasan
mengenai
“Perilaku
Aktor
dalam
Implementasi Program BLSM 2013 di

Kabupaten Situbondo” dirasa perlu untuk
diteliti lebih dalam dan cermat. Mengingat
tujuan Program BLSM sendiri adalah
mengurangi beban hidup rumah tangga

miskin akibat adanya kenaikan harga BBM .
Perilaku para aktor yang terlibat pada
Program BLSM 2013 ini perlu dikaji lebih
dalam yang diharapkan mampu mengatasi
persoalan dalam kerjasama antar lembaga
pada proses implementasi mendatang.
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
bahan pertimbangan dalam perbaikan dan
pembenahan kebijakan selanjutnya serta
sebagai bahan evaluasi dalam membuat
kebijakan. Maka penelitian ini patut untuk
diperdalam dan menarik untuk dipahami serta
diamati lebih jauh.
Tinjauan Pustaka
Di dalam suatu penelitian, perlu adanya
alat/instrumen untuk dijadikan acuan agar
suatu penelitian dapat dianalisis. Dalam
penelitian yang berjudul “Perilaku Aktor
dalam Implementasi Program Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat 2013

Kabupaten Situbondo” menggunakan Teori
Implementasi Kebijakan Grindle dan
Perilaku Pelaksana Kebijakan Menurut
Anderson.
Model Implementasi Kebijakan Menurut
Grindle
Dalam suatu tatanan pemerintah,
kebijakan merupakan hal umum yang
terdapat dalam pemerintahan. Kebijakan
sendiri dibuat bukan hanya untuk bahan
bacaan atau pajangan semata, tetapi harus di
implementasikan. Menurut Grindle yang
dikutip oleh Haedar Akib (2010),
implementasi merupakan proses umum
tindakan administratif yang dapat diteliti
pada tingkat program tertent. Proses
Implementasi baru akan dimulai apabila
tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program
kegiatan telah tersusun dan dana telah siap
dan disalurkan untuk mencapai sasaran.

Selanjutnya Grindle menyatakan jika
implementasi
kebijakan
sesungguhnya
tidaklah sekedar bersangkut paut dengan
mekanisme penjabaran keputusan-keputusan
politik ke dalam prosedur-prosedur rutin
lewat saluran birokrasi, melainkan lebih dari
itu, implementasi kebijakan menyangkut
konflik, keputusan dan siapa yang
memperoleh apa dari suatu kebijakan.
Wibawa (1994, h21) sendiri menyatakan

bahwa implementasi kebijakan merupakan
tindakan yang dilakukan oleh (organisasi)
pemerintah dan swasta baik secara individu
maupun secara kelompok yang dimaksudkan
untuk mencapai tujuan. Definisi Kebijakan
Grindle ini akan sejalan dengan pernyataan
Wibawa jika pemahamannya diarahkan pada

lokus dan fokus dimana kebijakan
diimplementasikan.
Dalam operasionalisasi implementasi
kebijakan, penulis menggunakan konsep dan
model kebijakan menurut Marilee S. Grindle
(1994, h22). Implementasi menurut model
Grindle ini adalah sebagai berikut :
“Implementasi kebijakan yang didasarkan
oleh isi kebijakan dan konteksnya. Ide dasar
ini
muncul
setelah
kebijakan
ditransformasikan menjadi program aksi
maupun proyek individual dan biaya telah
disediakan maka implementasi kebijakan
dilaksanakan.”
Proses implementasi sendiri baru akan
dimulai apabila tujuan dan sasaran telah
ditetapkan, program kegiatan telah tersusun
dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk
mencapai sasaran. Model implementasi
kebijakan yang diperkenal oleh Grindle ini
sebagai proses administrasi dan politik.
Model
ini
menggambarkan
proses
pengambilan keputusan yang dilakukan
beragam aktor, dimana keluaran akhirnya
ditentukan ditentukan oleh baik materi
program yang telah dicapai maupun melalui
interaksi para pembuat keputusan dalam
konteks politik administratif. Proses politik
dapat terlihat melalui proses pengambilan
keputusan yang melibatkan berbagai aktor
kebijakan, sedangkan proses administrasi
terlihat melalui proses umum mengenai aksi
administratif yang dapat diteliti pada tingkat
program tertentu.
Ada dua faktor fundamental yang ada dalam
teori Grindle, yakni isi kebijakan (content of
policy) dan konteks kebijakan (context of
policy). Faktor isi kebijakan (content of
policy) ini diataranya yaitu : (a) Sejauh mana
kepentingan kelompok sasaran atau target
termuat dalam isi kebijakan, (b) Jenis
manfaat yang diterima oleh target sasaran, (c)
Sejauh mana perubahan yang diinginkan oleh
kebijakan dalam suatu program yang
bertujuan mengubah sikap dan perilaku target
sasaran relatif, (d) Apakah letak sebuah
program sudah tepat, (e) Apakah sebuah
kebijakan telah menyebutkan secara rinci

siapa pelaksananya, (f) Sumber daya yang
disebutkan apakah sebuah program didukung
oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan
faktor konteks kebijakan (context of policy)
itu meliputi (a) Seberapa besar kekuatan,
kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh
para aktor yang terlibat dalam implementasi
kebijakan, (b) Karakteristik institusi dan
rezim yang sedang berkuasa, (c) Tingkat
kepatuhan dan responsivitas sasaran.
Dua faktor diatas merupakan dua sudut
pandang terhadap implementasi kebijakan,
konten kebijakan yang lebih mengarah pada
ilmu administrasi sedangkan konteks
kebijakan lebih mengarah pada ilmu politik.
Dikutip oleh Mulyono, Mazmanian dan
Sabatier sependapat dengan konteks
kebijakan Grindle, badan-badan administratif
tidak hanya dipengaruhi oleh perintah atau
mandat resmi yang berasal dari badan
pemerintah, tetapi juga oleh tekanan-tekanan
dari kelompok kepentingan, intervensi
lembaga legislatif dan oleh beberapa faktor
lain di dalam lingkungan politik mereka.
Nilai-nilai Perilaku Pelaksana Kebijakan
Menurut Anderson
Berkaitan dengan sifat dan karakteristik
kepentingan publik dalam tahap pelaksanaan
kebijakan yang sudah dirumuskan, penting
untuk memahami peranan dan motivasi
masing-masing aktor yang ada dalam
perumusan kebijakan. Setiap aktor yang
terlibat tentu saja berupaya untuk mengejar
orientasinya, baik yang bersifat individual
mapun kelembagaan. Dalam kondisi inilah
seringkali konflik kepentingan terjadi, tidak
hanya didalam arena perumusan kebijakan,
tetapi juga dalam tahap pelaksanaannya.
Menurut Konsepsi Anderson (2014), ada
nilai-nilai perilaku yang memungkinkan
menjadi pedoman perilaku para pembuat
kebijakan itu dapat dikelompokkan menjadi 4
(empat) kategori, yaitu (a) Nilai-nilai politik,
Pembuat keputusan mungkin melakukan
penilaian atas alternatif kebijaksanaan yang
dipilihnya dari sudut pentingnya alternatifalternatif itu bagi partai politiknya atau bagi
kelompok-kelompok klien dari badan atau
organisasi yang dimpimpinnya. Keputusankeputusan yang lahir dari tangan para
pembuat keputusan seperti ini bukan mustahil
dibuat demi keuntungan politik dan
kebijaksanaan dengan demikian akan dilihat
sebagai instrumen untuk memperluas
pengaruh-pengaruh politik atau untuk

mencapai tujuan dan kepentingan partai
politik atau tujuan dari kelompok
kepentingan yang bersangkutan, (b) Nilainilai organisasi, Para pembuat keputusan,
khususnya birokrat (sipil atau militer),
mungkin dalam mengambil keputusan
dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi
dimana ia terlibat di dalam organisasi,
semisal
badan-badan
administrasi
menggunakan berbagai bentuk ganjaran dan
sanksi dalam usahanya untuk memaksa para
anggotanya menerima dan bertindak sejalan
dengan nilai-nilai yang telah digariskan oleh
organisasi.
Sepanjang nilai-nilai semacam itu ada,
orang-orang
yang
bertindak
selaku
pengambil keputusan dalam organisasi itu
memungkinkan akan dipedomani oleh
pertimbangan-pertimbangan semacam itu
sebagai perwujudan dari hasrat untuk melihat
organisasinya tetap lestari, untuk tetap maju
atau untuk memperlancar program-program
dan kegiatan-kegiatannya atau untuk
mempertahankan kekuasaan dan hak-hak
istimewa yang selama ini dimiliki, selanjut
(c) Nilai –nilai pribadi, Hasrat untuk
melindungi atau memenuhi kesejahteraan
atau kebutuhan fisik atau kebutuhan
finansial, reputasi diri, atau posisi historis
kemungkinan juga digunakan oleh para
pembuat keputusan sebagai kriteria dalam
pengambilan keputusan. Misalnya para
politisi yang menerima uang suap untuk
membuat
keputusan
tertentu
yang
menguntungkan si pemberi uang suap,
misalnya sebagai hadiah pemberian perizinan
atau penandatangan kontrak pembangunan
proyek tertentu jelas mempunyai kepentingan
pribadi dalam benaknya, yang terakhir yaitu
(d) Nilai-nilai kebijaksanaan, Dari beberapa
nilai diatas yang mungkin bisa dibuat
anggapan jika para pengambil keputusan
politik semata-mata hanya dipengaruhi oleh
pertimbangan-pertimbangan-pertimbangan
demi keuntungan politik, organisasi atau
pribadi. Sebab para pembuat keputusan
mungkin pula bertindak atas persepsi mereka
terhadap kepentingan umum atau keyakinan
tertentu mengenai kebijaksanaan negara apa
yang sekiranya secara moral tepat dan benar.
Metodelogi Penelitian
Metode yang digunakan adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan deskriptif
kualitatif. Lokasi penelitian yaitu di
Kabupaten Situbondo. Data primer diperoleh

melalui wawancara dan data sekunder
diperoleh dengan mencari dokumendokumen yang mendukung penelitian.
Adapun yang menjadi fokus penelitian adalah
: (1) Proses Implementasi Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat 2013 di Kabupaten
Situbondo, (2) Perilaku para aktor yang
terlibat di dalam proses implementasi
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
2013 di Kabupaten Situbondo.
Analisis data menggunakan metode
analisis model interaktif menurut Miles dan
Huberman yang dikutip Sugiyono (2011,
h248) dengan tiga alur kegiatan yaitu reduksi
data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan.
Pembahasan
Implemetasi
Bantuan
Sementara
Masyarakat
Kabupaten Situbondo

Langsung
2013
di

Dalam tahap implementasinya, secara
prosedural, BPS Kabupaten Situbondo
merupakan aktor yang mendata penerima
Program BLSM 2013 di Kabupaten
Situbondo dengan kriteria kemiskinan yang
dimilikinya. Dalam tahap pendataan ini, BPS
Kabupaten Situbondo merekrut beberapa
individu di tiap desa sebanyak 3-5 orang
melalui BPS yang ada di tiap-tiap kecamatan
yang kemudian dibekali pemahaman oleh
BPS Kabupaten Situbondo tentang mendata
keluarga miskin. Seperti yang dipaparkan
oleh Insaf Santoso selaku Kasi Sosial Badan
Pusat Statistik Kabupaten Situbondo yang
menyatakan : “di tiap kecamatan kami punya
1 orang dari BPS, mereka kamis tugaskan
untuk mencari orang yang layak di tiap desa.
tiap desa kami memerlukan 3-5 orang
pendata. Kami melatih mereka selama 3 hari”
Dari pernyataan diatas, BPS Kabupaten
Situbondo melatih mereka yang direkrut
selama tiga hari agar dapat menentukan siapa
saja yang berhak mendapatkan bantuan
Program BLSM 2013 di Kabupaten
Situbondo berdasarkan kriteria rumah tangga
miskin yang ada. Namun fakta dilapangan,
ada
beberapa
pendata
yang
menyalahgunakan kuasanya sebagai pendata
yang memasukkan data pribadinya untuk
mendapatkan bantuan dari Program BLSM
2013 di Kabupaten Situbondo. terbukti dari
beberapa pernyataan dimana fenomena

tersebut terjadi, diantaranya yaitu pernyataan
Bugis selaku penerima Program BLSM 2013
di Kabupaten Situbondo yang menyatakan
“Munaji (Pendata) orang pesisir itu juga
dapat”
Senada dengan peryataan diatas, Nurhaliq
selaku TKSK Kecamatan Bungatan dan
Mlandingan juga menyatakan :
“Tetangga saya yang mendata dari
program tersebut, dia dan saudaranya
menerima bantuan tersebut, dalam hal
ekonomi mereka bisa dibilang mampu, tetapi
ada yang punya anak banyak tapi dan kondisi
ekonominya dibawah mereka, malah tidak
dapat. tidak hanya disitu, di beberapa desa
juga demikian, jadi istilahnya tidak tepat
sasaran. Tujuan dari bantuannya kan jadi
tidak ada.”
Dari beberapa pernyataan diatas, terbukti
jika adanya tidak tepat sasaran dalam
penerima Program BLSM 2013 di Kabupaten
Situbondo
disebabkan
adanya
penyelewengan kekuasaan yang dilakukan
oleh para pendata rekrutan BPS Kabupaten
Situbondo.
Dari hasil pendataan tersebut kemudian
diolah kembali oleh TNP2K. Pemilihan
penerima program bantuan yang telah
dilakukan oleh TNP2K kemudian disahkan
oleh Kemensos.
Data penerima hasil pengesahan tersebut
kemudian dikirimkan pada Pos Indonesia
Kabupaten Situbondo. Dalam tahap ini, Pos
Indonesia
Kabupaten
Situbondo
menyerahkan data-data penerima Program
BLSM 2013 pada Kepala Desa berdasarkan
daerahnya untuk disosialisasikan pada
penerima agar penerima datang pada saat
pelaksanaan pencairan dana. Seperti
pernyataan Saleh Hartadi selaku Kepala Desa
Selomukti yang menyatakan ”Kami (para
kepala desa) mendapat data-data para
penerima BLSM sesuai desa. dari data
tersebut,
kami
diinstruksikan
untuk
mengumpulkan
para
penerima
agar
memberitahu terkait hal tersebut.”
Dalam tahap ini seharusnya pihak desa
memverifikasi data tersebut sudah benar atau
tidak dan menyerahkannya pada TKSK untuk
diteruskan pada Pos Indonesia Kabupaten
Situbondo. Tetapi fakta dilapangan hal ini
tidak dilakukan semua desa, agar tidak ada

kecemburuan sosial yang akan dialami pada
Kepala Desa. Fakta ini dipaparkan sendiri
oleh Kepala Desa Selomukti yaitu Saleh
Hartadi dalam pernyataanya yaitu “Kami
(para kepala desa) sepakat untuk tidak
memverifikasinya. Kekhawatiran kami kalau
diverifikasi, penerima yang kami coret dan
diganti baru. Belum tentu yang baru dapat
bantuan.”
Disisi lain, motif tidak dilakukannya
verifikasi oleh pihak desa karena pendata
yang direkrut oleh BPS tingkat kecamatan,
salah satunya merupakan orang yang
berpihak pada Kepala Desa saat proses
pemilihan Kepala Desa. Jadi Kepala Desa
tidak dapat menggunakan otoritasnya karena
hal tersebut. Informasi ini didapat oleh
penulis disalah satu perbincangan ibu-ibu
yang yang dinyatakan oleh ibu X berbunyi
“Iye, Jereng aruwa orengnga Pak Tenggi
Saleh (Iya, dia kan orangnya Pak Saleh)”
Secara prosedural, dari laporan yang
diterima Pos Indonesia Kabupaten Situbondo
terhadap laporan verifikasi dari TKSK,
kemudian dilanjutkan pada pengesahan yang
akan dilakukan oleh Kemensos, karena
waktunya yang terlalu sedikit dan tidak
semuanya disahkan, maka pihak Pos
Indonesia
Kabupaten
Situbondo
menggunakan kuasanya untuk mensahkan
semua hasil verifikasi dari TKSK. Tahap
yang terakhir yaitu penyerahan KPS dan dana
pada penerima yang akan dibagikan tiap desa
di Kabupaten Situbondo.
Perilaku Aktor dalam Implementasi
Bantuan
Langsung
Sementara
Masyarakat 2013 di Kabupaten Situbondo

Kekusaan, kepentingan dan strategi
aktor yang terlibat di dalam implementasi
kebijakan tersebut. Di dalam proses
implementasi Program BLSM 2013 di
Kabupaten Situbondo, kepentingan dari
pendata penerima Program BLSM 2013
Kabupaten Situbondo yang dengan
sengaja menyalahgunakan kekuasaanya
untuk mendapatkan dana tunai dari
Program BLSM 2013 yang dicanangkan
oleh pemerintah untuk keluarga miskin
tidak dapat berjalan dengan baik.
Pendata Program BLSM 2013
Kabupaten Situbondo yang salah satunya
merupakan Tim Sukses dari Kepala Desa

dalam Pilkades sebelumnya membuat
Kepala Desa tidak dapat memverifikasi
data penerima karena salah satu penerima
Program BLSM 2013 Kabupaten
Situbondo adalah pendata itu sendiri
beserta saudara-saudaranya.
Strategi yang digunakan dalam tahap
pembagian KPS yang dilakukan oleh
Kepala
Desa
Selomukti
dengan
menggunakan
sistem
loket
agar
menghemat waktu dapat berjalan dengan
baik.
Karakteristik lembaga dan rezim yang
sedang
berkuasa
pada
proses
implementasi kebijakan. Lembaga yang
berkuasa pada proses implementasi
Program BLSM 2013 di Kabupaten
Situbondo adalah Pos Indonesia
Kabupaten Situbondo, BPS Kabupaten
Situbondo, Dinas Sosial Kabupaten
Situbondo. dan Kepala Desa yang ada di
Kabupaten Situbondo. Dalam hal ini, Pos
Indonesia
Kabupaten
Situbondo
merupakan sebuah persero yang
lembaganya sendiri tidak terikat pada
pemerintah namun dalam proses
implementasinya tetap bertanggung
jawab pada pemerintah dalam kelancaran
implementasi Program BLSM 2013 di
Kabupaten Situbondo, sedangkan BPS
Kabupaten Situbondo bertugas sebagai
pendata dan Dinas Sosial Kabupaten
Situbondo dan Kepala Desa Kabupaten
Situbondo
merupakan
lembaga
kepemerintahan
yang
tugas
dan
fungsinya dalam implementasi Program
BLSM 2013 di Kabupaten Situbondo
yaitu mendampingi dan mendukung Pos
Indonesia Kabupaten Situbondo dalam
kelancaran proses implementasi.
Tingkat kepatuhan dan daya tanggap
pada pelaksana kebijakan. Dapat terlihat
pada beberapa pernyataan sumber data,
ada perbedaan pada tingkat kepatuhan
dan daya tanggap diatara para aktor
pelaksana kebijakan.
Pos Indonesia Kabupaten Situbondo
dalam beberapa pernyataan, mengatakan
jika Dinas Sosial Kabupaten Situbondo
kurang bertanggung jawab dalam proses

implementasi Program BLSM 2013 di
Kabupaten Situbondo karena seharusnya
mereka yang membuat laporan akhir
tentang proses implementasi Program
BLSM 2013 di Kabupaten Situbondo.
Namun menurut penulis, seharusnya
yang membuat laporan terkait hal
tersebut adalah Pos Indonesia Kabupaten
Situbondo sendiri, karena dalam
beberapa poin Instruksi Dalam Negeri
No.
541/3150/SJ
Tahun
2013
menyatakan jika laporan hal terkait
tersebut dapat diberikan oleh Pos.
Faktanya dilapangan, penulis mendapat
laporan akhir tersebut dari Dinas Sosial
Kabupaten Situbondo.
Dinas Sosial Kabupaten Situbondo
dalam proses implementasi Program
BLSM 2013 di Kabupaten Situbondo
yang menurut Pos Indonesia Kabupaten
Situbondo kurang berkoordinasi dengan
mereka. Menurut Pos Indonesia
Kabupaten Situbondo yang berperan baik
dalam kelancaran implementasi tersebut
adalah TKSK. Namun faktanya, Dinas
Sosial Kabupaten Situbondo sudah
berkoordinasi dengan baik dengan Pos
Indonesia Kabupaten Situbondo dalam
proses implementasi tersebut. Kurangnya
informasi Pos Indonesia Kabupaten
Situbondo terkait dengan TKSK yang
merupakan bagian dari Dinas Sosial
Kabupaten Situbondo merupakan salah
satu kendala dalam proses implementasi.
Sehubungan dengan tingkat kepatuhan
dan daya tanggap yang dinyatakan
Grindle, Dinas Sosial Kabupaten
Situbondo melalui TKSK sudah
melakukan tugas dan fungsinya yang
berdasar pada Inpres No. 5 Tahun 2013
dan Instruksi Dalam Negeri No.
541/3150/SJ Tahun 2013.
Pendata
keluarga
miskin
di
Kabupaten Situbondo hasil rekrutan BPS
tingkat kecamatan tidak patuh terhadap
kriteria-kriteria keluarga miskin yang
digunakan BPS untuk mendata penerima
Program BLSM 2013 Kabupaten
Situbondo yang berakibat pada tidak
tepatnya sasaran penerima Program
BLSM 2013 Kabupaten Situbondo.

Secara prosedural, beberapa Kepala
Desa di Kabupaten Situbondo tidak
melaksanakan proses verifikasi penerima
Program BLSM 2013 pada daerahnya
masing-masing.
beberapa aktor juga melakukan nilai-nilai
pribadi dalam membuat keputusan, dimana
menurut Anderson nilai ini merupakan hasrat
untuk
melindungi
atau
memenuhi
kesejahteraan atau kebutuhan fisik atau
kebutuhan finansial, reputasi diri atau posisi
historis dalam membuat keputusan. Dari
analisis diatas dapat diketahui jika pendata
program BLSM 2013 dan para kepala desa
melakukan nilai-nilai pribadi yang disebut
oleh Anderson. Pendata program BLSM
2013 menyalahgunakan kuasanya untuk
mendapatkan dana bantuan dari program
BLSM 2013 beserta saudara-saudaranya,
sedangkan para Kepala Desa dengan tidak
melakukan verifikasi para penerima program
BLSM 2013 agar tidak mendapat
kecemburuan sosial, dimana salah satu atau
lebih dari penerima merupakan orang dari
Kepala Desa pada saat Pilkades sebelumnya.
Kesimpulan
1. Secara Prosedural, proses implementasi
Program BLSM 2013 di Kabupaten
Situbondo cukup bagus. Namun secara
subtansi, ada beberapa aktor yang tidak
melakukan proses implementasi dengan
baik, diataranya yaitu pendata rekrutan
BPS tingkat kecamatan yang berakibat
pada tidak tepatnya sasaran. Pendata
tersebut juga merupakan tim sukses
kepala desa yang membuat kepala desa
tidak dapat melakukan otoritasnya untuk
melakukan verifikasi penerima BLSM
2013 di Kabupaten Situbondo.
2. Kurangnya informasi mengenaiTKSK
yang merupakan bagian dari Dinas Sosial
Kabupaten Situbondo yang diterima oleh
Pos Indonesia Kabupaten Situbondo
sehingga mengakibatkan salah prasangka
dari Pos Indonesia Kabupaten Situbondo
jika Dinas Sosial Kabupaten Situbondo
kurang berkoordinasi dan kurang ikut
andil dalam proses implementasi Program
BLSM 2013 di Kabupaten Situbondo.
3. Pelemparan Tanggung jawab dari Pos
Indonesia Kabupaten Situbondo pada
Dinas Sosial Kabupaten Situbondo
mengenai pembuatan laporan akhir proses
implementasi Program BLSM 2013 di

Kabupaten Situbondo yang pada
kenyataanya bahwa dalam Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 541/3150/SJ
tahun 2013 disebutkan jika pembuatan
laporan tersebut dilakukan oleh Pos
Indonesia.
Rekomendasi
Dalam rangka meningkatkan kelancaran
proses implementasi Program BLSM 2013 di
Kabupaten Situbondo terkait dengan
interaksi aktor yang terlibat dalam
pelaksanaan, diperlukan hal-hal sebagai
berikut : (1) Adanya aturan yang jelas
terhadap siapa saja pelaksana kegiatan dalam
proses implementasi program BLSM 2013 di

daerah, (2) Program BLSM 2013 yang
notabenenya merupakan program lanjutan
dari Program BLT 2005 dan 2008 harus
ditetapkan secara undang-undang, karena
masih mungkin program bantuan seperti ini
digunakan kembali di masa mendatang, (3)
Dalam kriteria dan data keluarga miskin yang
dapat menerima program bantuan harus
diupdate setiap jangka waktu yang
diperlukan. Karena kondisi ekonomi
masyarakat tidak selalu sama dalam beberapa
dekade terakhir, (4) Pemilihan pendata dalam
program semacam BLSM 2013 perlu melihat
latar belakang dari pendata agar tidak adanya
keberpihakan pada penerima program
bantuan.

Daftar Pustaka
Abdul, Wahab, Solichin. 2011. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang : UMM Press.
Budiardjo, Miriam. 2007. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Kencana, Syafie, Inu. 2010. Pengantar Ilmu Pemerintah. Bandung : Refika Aditama.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan,
Strategi dan Peluang. Jakarta : Erlangga
Remi, Styastia Remi dan Tjiptoharijanto, Prijono. 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di
Indonesia (Suatu Analisis Awal). Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Soehartono, Irawan. 2008. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Soetrisno, Lukman dan Faras, Umaya. 1995. Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan dan
Kemiskinan. Yogyakarta : PT. Tiara Kencana
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : ALFABETA,
cv.
Suharto, Edi. 2004. Analisis Kebijakan Sosial Model dan Panduan Praktis. Bandung : STKS
Press.
Wibawa, Samudra. 1994. Kebijakan Publik : Proses dan Analisis. Jakarta : Intermedia.