Eksekusi Jaminan Fidusia Sebagai Pelunasan Utang Debitur (Studi Pada PT. Bank BNI Cabang Meulaboh, Aceh)

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA
SEBAGAI JAMINAN KREDIT

A. Tinjauan Umum Kredit
1. Pengertian kredit
Kredit pada saat sekarang ini bukanlah suatu hal yang baru lagi ditengahtengah masyarakat. Kredit saat ini telah menjadi suatu model perjanjian yang
lazim bagi masyarakat, terutama dalam hal jual beli. Dengan kata lain, jual beli
yang dilakukan pada masa sekaran ini banyak yang dilakukan dengan
menggunakan metode kredit. Kredit ini semakin lama semakin berkembang dan
pada akhirnya dalam masyarakat kemudian menimbulkan salah satu sistem
pembayaran yang populer di masyarakat yaitu kartu kredit.
Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin, yaitu Cradere
yang berarti kepercayaan. Misalkan, seorang nasabah debitur yang memperoleh
kredit dari bank adalah tentu seseorang yang mendapatkan kepercayaan dari bank,
hal ini menunjukan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada
nasabah adalah kepercayaan. 9
Munurut Munir Fuady, adapun yang dimaksud dengan perkreditan
adalah:10
“ suatu penyediaan uang atau yang dipersamakan denganya, yang didasari
atas perjanjian pinjam meminjam antara pihak kreditur (bank,

perusahaan atau perseorangan) dengan pihak debitur (peminjam), yang
9

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.57
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis (Menata Bisnis Modern di Era Global), PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.111
10

17
Universitas Sumatera Utara

18

mewajibkan pihak debitur untuk melunasi hutangnya dengan jangka
waktu tertentu, dimana sebagai imbalan jasanya, kepada pihak kreditur
(pemberi pinjaman) diberikan hak untuk mendapatkan bunga, imbalan,
atau pembagian hasil keuntungan selama masa kredit tersebut
berlangsung.”
Berdasarkan pendapat Munir Fuady tersebut, maka yang menjadi elemenelemen yuridis dari suatu pemberian kredit adalah sebagai berikut:11
a. adanya kesepakatan antara debitur dengan pihak kreditur, yang disebut dengan

perjanjian kredit;
b. adanya para pihak, yaitu pihak kreditur dan pihak debitur;
c. adanya kesanggupan atau janji untuk membayar utang;
d. adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit dengan pembayaran kredit.
Sementara pengertian kredit berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 11
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, disebutkan bahwa:
“ Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu, yang diserta dengan pemberian
bunga.”
Berdasarkan pemaparan pengertian kredit yang telah diuraikan di atas, ada
beberapa hal yang perlu ditegaskan mengenai arti kredit itu sendiri, pertama,
kredit bukanlah hibah dan juga bukanlah jual beli, hal ini dikarenakan hibah
adalah perbuatan cuma-cuma, jadi kredit tidak termasuk dalam artian ini, juga
bukan termasuk jual beli karena di dalam jual beli pihak penjual menyerahkan
barang dan pembeli membayar sejumlah uang. Kedua, kredit bukanlah merupakan

11


Ibid.,hlm.111

Universitas Sumatera Utara

19

perjanjian tukar menukar, sebab kredit adalah penyediaan uang untuk dipinjamkan
kepada penerima kredit, dimana pada hakikatnya tidak ada persetujuan antara
pemberi kredit dengan penerima kreditsekalipun di satu pihak yang diberikan
adalah dana dan di pihak lain yang diberikan adalah jaminan. Ketiga, kredit
merupakan perjanjian pinjam uang yang didasarkan pada kepercayaan akan akan
kemampuan ekonomi penerima kredit, dimana hal ini dapat dilihat dri pengertian
kredit yang digariskan oleh Undang-Undang Perbankan, dimana didalamnya
terdapat unsur kewajiban untuk mengembalikan pinjaman, atau secara lebih luas
dapat juga diartikan kewajiban untuk memenuhi perikatan, juga pemenuhan
kewajiban pengembalian pinjaman yang sama artinya dengan kemampuan
memenuhi prestasi suatu perikatan.12
2. Unsur-unsur kredit
Unsur esensial dari kredit bank adalah adanya kepercayaan dari bank

sebagai kreditur terhadap nasabah peminjam sebagai debitur. Kepercayaan
tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk
memperoleh kredit bank oleh debitur antara lain: jelasnya tujuan peruntukan
kredit, adanya benda jaminan atau agunan.13
Menurut Hasanudin Rahman sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Kadir
Muhammad, mengemukakan bahwa dengan menunjuk ketentuan Pasal 1 Angka

12
Mariam Darus Badruldzaman, Beberapa Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kredit
Bank Dengan Jaminan Hyphoteek Serta Hambatan-hambatanya Dalam Praktik di Medan,
Penerbit Alumni, Bandung, 1978, hlm.21
13
Hermansyah, Loc.Cit

Universitas Sumatera Utara

20

(12) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Mengemukakan
bahwa 4 (empat) unsur kredit sebagai berikut:14

a. Kepercayaan
Setiap pemberian kredit dilandasi oleh keyakinan bank bahwa kredit tersebut
akan dibayar kembali debitur sesuai dengan jangka waktu yang telah
diperjanjikan
b. Waktu
Antara pemberian kredit oleh bank dengan pembayaran kembali oleh debitur
tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, melainkan dipisahkan oleh
tenggang waktu
c. Risiko
Setiap pemberian kredit jenis apapun akan terkandung resiko dalam jangka
waktu antara pemberian kredit dan pembayaran kembali, hal ini berarti
semakin tinggi jangka waktu kredit yang diberikan, semakin tinggi pula resiko
kredit yang diberikan tersebut
d. Prestasi
Setiap kesepakatan yang terjadi antara bank dengan debitur mengenai
pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan
kontra prestasi
Berdasarkan pendapat tadi maka dapat diketahui bahwa selain unsur
kepercayaan yang merupakan unsur yang penting dalam pemberian kredit masih
ada lagi unsur-unsur lain yang mendukung seperti misalnya waktu, resiko, serta

14

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm.294-295

Universitas Sumatera Utara

21

prestasi. Sehingga

dengan adanya

unsur-unsur tadi

diharapkan bahwa

kemungkinan untuk terjadinya kredit macet dapat diperkecil.
3. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok
Pemberian kredit pada umumnya dilakukan oleh pihak bank sebagai

kreditur karena pendapatan dan kuntungan suatu bank lebih banyak bersumber
dari pemberian kredit kepada debitur. Setiap kredit yang telah disepakati oleh
kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian yaitu
perjanjian kredit.
Perjanjian kredit itu sendiri pada hakekatnya berakar pada perjanjian
pinjam meminjam sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata.
Sedangkan di dalam Pasal 1 Ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Perjanjian kredit yang dibuat dengan akta di bawah tangan maupun dengan
akta notaris pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (Standard
Contract), dimana pada praktiknya perjanjian baku ini telah disediakan atau telah
dirancang isi atau klausula perjanjianya oleh pihak bank sebagai kreditur
sedangkan pihak debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. 15
Perjanjian kredit sendiri mempunyai fungsi yang sangat penting dalam
pemberian kredit oleh kreditur baik pengelolahanya maupun pelaksanaan kredit

15


Hermansyah, Op.Cit., hlm.71

Universitas Sumatera Utara

22

itu sendiri. Adapun fungsi dari suatu perjanjian kredit itu sendiri adalah bahwa
perjanjian kredit itu berfungsi sebagai perjanjian pokok, dimana dalam artian
bahwa perjanjian kredit ini akan diikuti oleh perjanjian tambahan seperti misalnya
perjanjian jaminan kebendaan dan perjanjian pokok ini juga menentukan ada dan
berakhirnya perjanjian tambahan.
Adanya perjanjian kebendaan yang mengikuti perjanjian kredit sebagai
perjanjian pokok bertujuan agar dana kredit yang sudah dikucurkan oleh pihak
bank dapat lebih terjamin pengembalianya serta untuk mengantisipasi terjadinya
wanprestasi yang dilakukan oleh pihak debitur, oleh karena itulah tentunya pihak
bank sebagai kreditur dalam memberikan kredit harus disertai oleh jaminan atau
agunan, dimana pemberian jaminan ini dilakukan melalui suatu perjanjian
tambahan yaitu perjanjian kebendaan yang bertujuan untuk mengikatkan benda
yang dijaminkan.16

4. Bentuk-bentuk jaminan dalam perjanjian kredit
Pemberian kredit dalam praktiknya, ternyata tidak cukup hanya didasarkan
pada keyakinan atau kepercayaan kepada pihak debitur, akan tetapi perlu disertai
jaminan berupa barang, dimana hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya wanprestasi atau kemacetan dalam pengembalian
kredit.17
Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan menyatakan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung
resiko, sehingga dalam pelaksanaanya bank harus memperhatikan asas-asas
16

Herowati Poesoko, Dinamikan Hukum Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan,
Asswaja Presindo, Yogyakarta, 2013, hlm.112
17
Abdulkadir Muhammad, Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara

23


perkreditan yang sehat untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian
kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi utangnya sesuai yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang
harus diperhatikan oleh bank. Sehingga untuk memperoleh keyakinan tersebut
sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur.
Berdasarkan Pasal 8 tersebut dapat diketahui bahwa jaminan mempunyai
peranan penting untuk menghindari resiko dalam pemberian kredit, dimana
apabila kredit yang diberikan itu memang benar-benar mengalami kemacetan
sampai kepada pihak debitur sudah tidak mampu lagi membayar hal ini tentunya
akan menyebabkan kerugian bagi pihak bank. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi keadaan tersebut diharapkan jaminan dapat mengkover kerugian
yang dialami oleh pihak bank dengan cara melakukan eksekusi terhadap jaminan
tersebut.
Jaminan kredit sendiri dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam 2 (dua)
bentuk yaitu:18
1. Jaminan Materiil (Kebendaan)
Jaminan ini memberikan ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak
mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan
mengikuti benda yang bersangkutan. Adapun bentuk-bentuk jaminan

kebendaan ini antara lain:
a. Gadai (Pand), yang diatur dalam Bab 20 Buku ke II KUH Perdata;
18

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raj Grafindo Persada,
Jakarta, 2008, hlm.23

Universitas Sumatera Utara

24

b. Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku ke II KUH Perdata;
c. Credietverband, yang diatur dalam Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana
yang telah dirubah dengan Stb. 1937 Nomor 190;
d. Jaminan Fidusia, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999;
e. Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996.
2. Jaminan Immateril (Perorangan)
Jaminan ini berbeda dengan jaminan kebendaan, dimana pada jaminan ini
tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, akan tetapi
hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin
pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Adapun bentuk-bentuk jaminan
perorangan ini antara lain:
a. Penanggungan (Borg), adalah orang lain yang dapat ditagih;
b. Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; dan
c. Perjanjian garansi.

B. Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Kredit
1. Pengertian jaminan fidusia
Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata ”fides” yang berarti
kepercayaan, sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan (hukum) antara debitur

Universitas Sumatera Utara

25

(pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan yang
berdasarkan kepercayaan. 19
Jaminan fidusia sendiri sudah mulai dikenal dan diberlakukan dalam
masyarakat hukum romawi. Pada jaminan fidusia sendiri ada 2 bentuk jaminan
fidusia yaitu fidusia cum creditore dan fidusia cum amico, dimana keduanya
timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan
penyerahan hak atau in iure cessio, dimana dalam bentuk yang pertama atau
lengkapnya fiducia cum creditore contracta yang berarti janji kepercayaan yang
dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan
atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan atas utangnya dengan
kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut
kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas.20
Fidusia sendiri merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa
Indonesia, dimana undang-undang yang khusus mengatur tentang hal ini yaitu
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 juga menggunakan istilah ”fidusia”,
dengan demikian istilah ”fidusia” sudah merupakan istilah resmi dalam dunia
hukum kita, akan tetapi terkadang dalam bahasa Indonesia untuk istilah fidusia ini
disebut juga dengan istilah ”penyerahan hak milik secara kepercayaan”. Pada
terminologi Belanda istilah fidusia sering disebut dengan istilah lengkapnya
berupa ”fiduciare eigendom overdracht”, sedangkan dalam bahasa Inggris secara
lengkap sering disebut dengan istilah” fiduciary transfer of ownership”.

19

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,
Bandung, 2004, hlm 119
20
Ibid.,hlm.120

Jaminan Fidusia,

Raja Garfindo Persada,

Universitas Sumatera Utara

26

Pengertian fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia pada Pasal 1 Angka 1 menyatakan bahwa fidusia adalah
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikanya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda.
Pengertian jaminan fidusia sendiri menurut ketentuan Pasal 1 Angka 2,
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyatakan
bahwa:
” Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak,
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebankan hak tanggungan
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia
terhadap kreditur lainya.”
Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas memperjelas bahwa ada
perbedaan antara fidusia dengan jaminan fidusia, dimana fidusia sendiri
merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah
jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia, hal ini menunjukan bahwa pranata
jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia merupakan pranata jaminan fidusia yang diatur dalam
fidusia cum creditore.21
2. Karakteristik jaminan fidusia
Sebagai suatu perjanjian accesoir (perjanjian ikutan), perjanjian jaminan
fidusia memiliki karakteristik sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
21

Ibid., hlm. 130

Universitas Sumatera Utara

27

Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, dimana adapun yang menjadi
karakteristik dari pada suatu jaminan fidusia adalah sebagai berikut:22
a. Memberikan kedudukan yang mendahului kepada kreditur penerima fidusia
terhadap kreditur lainya (Pasal 27 Undang-Undang Fidusia). Penerima fidusia
memiliki hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda
yang menjadi objek jaminan fidusia pada kantir pendaftaran fidusia. Hak
yang didahulukan

yang dimaksud adalah hak penerima fidusia untuk

mengambil pelunasan piutangnya atau hasil eksekusi benda yang menjadi
objek jaminan fidusia.
b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek itu berada
(droit de suite) (Pasal 20 Undang-Undang Fidusia). Jaminan fidusia tetap
mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun
benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi
objek jaminan fidusia.
c. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga mengikat kepada
pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak
yang berkepentingan (Pasal 6 dan Pasal 11 Undang-Undang Fidusia). Untuk
memenuhi asas spesialitas dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Fidusia,
maka akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat:
1) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
2) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
3) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
22

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm.160-175

Universitas Sumatera Utara

28

4) Nilai penjaminan, dan;
5) Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Asas pubilisitas sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang
Fidusia adalah untuk memberikan kepastian hukum sebagaimana yang termuat
dalam Pasal 11 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang mewajibkan benda
yang dibebani dengan jaminan fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran
Fidusia yang terletak di Indonesia, kewajiban ini bahkan tetap berlaku
meskipun kebendaan yang dibebani dengan jaminan fidusia berada diluar
wilayah Republik Indonesia.23
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Pasal 29 Undang-Undang Fidusia)
Eksekusia jaminan fidusia didasarkan pada sertifikat jaminan fidusia, sertifikat
jaminan fidusia diterbitkan dan diserahkan oleh Kantor Pertanahan Fidusia
kepada penerima jaminan fidusia memuat tanggal yang sama dengan tanggal
penerima pendaftaran jaminan fidusia, sertifikat jaminan fidusia merupakan
salinan dari buku daftar fidusia, memuat catatan tentang hal-hal yang
dinyatakan dalam pendaftaran jaminan fidusia.24
Dalam hal debitur atau pemberi fidusia cidera janji, pemberi fidusia wajib
menyerahkan objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi.
Eksekusi dapat dilaksanakan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial oleh
penerima fidusia, dalam artian bahwa eksekusi dapat langsung dilaksanakan,
ataupun melalui lembaga parate eksekusi penjualan objek jaminan fidusia atas
kekuasaanya sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
23
24

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit.,hlm.139
Ibid.,hlm.123-124

Universitas Sumatera Utara

29

dari hasil penjualan, apabila eksekusi yang akan dilakukan melalui penjualan
di bawah tangan, maka haruslah dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi
dan penerima fidusia.
3. Objek dan subjek jaminan fidusia
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia, maka yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak
yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, peralatan
mesin dan kendaraan bermotor. Namun oleh karena guna memenuhi kebutuhan
masyarakat yang terus berkembang, maka dengan diberlakukanya UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia ini, objek jaminan fidusia diberi
pengertian yang lebih luas, yaitu:25
a. Benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan
b. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani dengan hak
tanggungan.
Adapun yang dimaksud dengan bangunan yang tidak dibebani hak
tanggungan disina dalam kaitanya dengan bangunan rumah susun. Ketentuan
mengenai objek jaminan fidusia adalah diatur pada Pasal 1 Angka 2, dan
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 Angka 4 dan Pasal 3, serta
penjabaranya lebih lanjut dalam Pasal 9 Undang-Undang Fidusia.
Mengenai subjek jaminan fidusia adalah para pihak yaitu pemberi fidusia
dan penerima fidusia. Pemberi fidusia atau debitur adalah orang perorangan
ataupun juga korporasi pemilik benda yang dijadikan objek fidusia, sedangkan
25

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, CV. Alfabeta, Bandung, 2003,

hlm.211

Universitas Sumatera Utara

30

adapun yang dimaksud dengan korporasi dalam hal ini adalah suatu badan usaha
yang berbadan hukum atau badan usaha yang bukan berbadan hukum, dimana
untuk membuktikan bahwa benda yang menjadi objek jaminan fidusia milik sah
pemberi fidusia, maka harus dilihat etrlebih dahulu bukti-bukti kepemilikan
benda-benda jaminan tersebut. Sedangkan penerima fidusia atau kreditur adalah
orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayaranya
dijamin dengan jaminan fidusia. Sedangkan yang dimaksud korporasi adalah bada
usaha yang berbadan hukum yang memiliki usaha dibidang pinjam-meminjam
uang seperti perbankan.26
4. Proses penerbitan jaminan fidusia
Proses penerbitan jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dilaksanakan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu
tahap pembebanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 UndangUndang Fidusia, dan tahap pendaftaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11
Ayat 1 Undang-Undang Fidusia.
Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Fidusia
menyatakan bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta
notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Berdasarkan
bunyi ketentuan Pasal 5 Ayat 1 tadi, maka dapat diketahui bahwa sesungguhnya
tidak mensyaratkan adanya ”keharusan” atau ”kewajiban” pembebanan benda
dengan jaminan fidusia dituangkan dalam bentuk akta notaris, sehingga dapat
ditafsirkan bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia diperbolehkan tidak

26

Ibid.,hlm.212

Universitas Sumatera Utara

31

dituangkan dalam akta notaris. Ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Fidusia
ini tidaklah bersifat memaksa, karena tidak mencantumkan kata “harus” atau
“wajib” di depan kata-kata ”dibuat dengan akta notaris”, maupun dengan
menyebutkan akibat hukumnya kalau tidak dibuat dengan akta notaris.27
Menurut Tan Kamello, alasan mengapa Undang-Undang Fidusia
menetapkan bentuk perjanjian jaminan fidusia dengan akta notaris adalah:28
a. Akta notaris adalah akta otentik sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna;
b. Objek jaminan fidusia pada umumnya adalah benda bergerak;
c. Undang-Undang melarang adanya fidusia ulang.
Namun demikian, Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Fidusia bisa kita
tafsirkan, bahwa terhitung sejak berlakunya Undang-Undang Fidusia, untuk
pelaksanaan pemberi hak-hak dari pemberi dan penerima fidusia sebagai yang
disebutkan dalam Undang-Undang Fidusia, harus dipenuhi syarat bahwa jaminan
itu haruslah dituangkan dalam akta notaris, sehingga hal ini tidak sama dengan
mengatakan bahwa semua jaminan fidusia yang tidak dituangkan dalam bentuk
akta notaris, yang dibuat setelah berlakunya Undang-Undang Fidusia tidak
berlaku, sebab bisa saja terhadap jaminan fidusia seperti itu berlaku ketentuanketentuan tidak tertulis dan yurisprudensi yang selama ini berlaku.29
Pasal 37 Ayat (3) Undang-Undang Fidusia mengatakan jika dalam jangka
waktu 60 hari, jaminan fidusia yang lama tidak disesuaikan dengan Undang-

27

J. Satrio, Op.Cit.,hlm.200
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, PT.
Alumni, Bandung, 2004, hlm.187
29
Ibid.,hlm.188
28

Universitas Sumatera Utara

32

Undang Fidusia, maka jaminan itu bukanlah merupakan hak agunan atas
kebendaan sebagiamana dimaksud dalam Undang-Undang Fidusia. Dengan
demikian, akta notaris dalam hal ini merupakan syarat materiil berlakunya
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Fidusia atas perjanjian penjaminan
fidusia yang ditutup para pihak dan merupakan alat bukti.30
Setelah tahapan pembebanan dilaksanakan maka tahap selanjutnya
berdasarkan Pasal 11 Ayat 1 Undang-Undang Fidusia adalah tahap pendaftaran,
dimana Pasal 11 Ayat 1 tersebut menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia wajib didaftarkan.
Adapun tata cara pendaftaran jaminan fidusia yang dilakukan oleh
penerima fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia sehubungan adanya permohonan
pendaftaran jaminan fidusia oleh penerima fidusia, diatur lebih lanjut berdasarkan
PP Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran jaminan Fidusia, adalah
sebagai berikut:
a. Permohonan pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau
wakilnya dengan melampirkan pernyataan jaminan fidusia yang memuat:
1) Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia yang meliputi nama,
agama, tempat tinggal/tempat kedudukan, tempat dan tanggal lahir, jenis
kelamin, status perkawinan dan pekerjaan;
2) Tanggal dan nomor akta jaminan, nama dan tempat kedudukan notaris
yang membuat akta jaminan fidusia;
3) Data perjanjian pokok;

30

Ibid.,hlm. 188-189

Universitas Sumatera Utara

33

4) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
5) Nilai penjaminan;
6) Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia
Pejabat pendaftaran jaminan fidusia setelah menerima permohonan tersebut
memeriksa kelengkapan persyaratan permohonan, namu apabila tidak lengkap
harus langsung dikembalikan berkas permohonan tersebut.
b. Apabila sudah lengkap pejabat pendaftaran fidusia memberikan sertfikat
jaminan fidusia dan menyerahkan kepada pemohon yang dilakukan pada
tanggal yang sama dengan tanggal pencatatan permohonan pendaftaran
jaminan fidusia
c. Apabila terdapat kekeliruan penulisan dalam sertifikat jaminan fidusia, dalam
waktu 60 hari setelah menerima sertifikat jaminan fidusia pemohon
memberitahu kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan sertifikat
perbaikan. Sertifikat jaminan fidusia ini memuat tanggal yang sama dengan
tanggal sertifikat semula.
Didaftarkanya jaminan akta perjanjian fidusia, maka Kantor Pendaftaran
Fidusia akan mencatat akta jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia dan kepada
kreditur diberikan sertifikat jaminan fidusia. Saat pendaftaran akta pembebanan
fidusia adalah melahirkan jaminan fidusia bagi pemberi fidusia, memberikan
kepastian kepada kreditur lain mengenai benda yang telah dibebani dengan
jaminan fidusia dan memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditur dan

Universitas Sumatera Utara

34

untuk memenuhi asas publisitas karena Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk
umum.31
Apabila terjadi perubahan atas data yang tercantum dalam sertifikat
jaminan fidusia, maka penerima fidusia wajib mengajukan permohonan
pendaftaran atas perubahan tersebut ke Kantor Pendaftaran Fidusia, selain itu hal
yang sangat menguntungkan bagi kreditur penerima jaminan fidusia adalah bahwa
sertifikat jaminan fidusia mengandung kata-kata yang disebut dengan irah-irah
”DEMI KEADILAN YANG BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 Ayat 1 Undang-Undang Fidusia.
5. Hapusnya jaminan fidusia
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang jaminan Fidusia, jaminan fidusia
ini merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian dasar yang menerbitkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sebagai suatu
perjanjian accesoir, perjanjian jaminan fidusia ini hapus demi hukum, apabila
utang dari perjanjian pokok yang menjadi sumber lahirnya perjanjian jaminan
fidusia atau utang yang dijamin dengan jaminan fidusia hapus, disamping itu,
Pasal 25 Undang-Undang Fidusia menyatakan secara tegas bahwa jaminan fidusia
hapus karena:
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan jaminan fidusia;
b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia; atau
c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

31

Purwahid Patrick dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, Fakultas
Hukum UNDIP, Semarang, 2001, hlm. 41

Universitas Sumatera Utara

35

Sesuai dengan sifat ikutan dari jaminan fidusia, maka adanya jaminan
fidusia tergantung dari piutang yang dijamin pelunasanya, sehingga apabila
piutang tersebut hapus karena hapusnya utang karena pelepasan, maka dengan
sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan akan menjadi hapus, hapusnya
utang ini antara lain dibuktikan dengan bukti pelunasan atau bukti hapusnya utang
berupa keterangan yang dibuat oleh kreditur.
Apabila hapusnya hutang karena musnahnya benda yang menjadi objek
jaminan fidusia, maka klaim asuransi akan menjadi pengganti jaminan fidusia
tersebut. Dalam hal penerima fidusia mengenai hapusnya jaminan dan Kantor
Pendaftaran Fidusia menerbitkan hak yang menyatakan sertifikat jaminan fidusia
tidak berlaku lagi.
Hapusnya jaminan fidusia perlu diikuti dengan roya atau pencoretan
terhadap catatan fidusia dalam buku daftar fidusia yang ada di Kantor Pendaftaran
Fidusia, hal ini dilakukan agar untuk menghindari jangan sampai secara yuridis
fidusia sudah hapus, akan tetapi secara administratif fidusia masih ada karena
masih tercatat dalam buku daftar fidusia. Apabila pihak kreditur tidak mau
mengajukan roya kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, maka pihak debitur dapat
mengajukan permohonan untuk meroya fidusia ke Pengadilan Negeri dan
berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan supaya
Kantor Pendaftaran Fidusia melakukan roya terhadap jaminan fidusia dan barulah
Kantor Pendaftaran Fidusia melakukan pencoretan fidusia tersebut.32

32

Gatot Supramono, Op.Cit.,hlm.249-251

Universitas Sumatera Utara