FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUD
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
STRUKTUR MODAL PERUSAHAAN SEKTOR PROPERTI
DAN REAL ESTAT YANG TERDAFTAR DI BEI TAHUN 20092013
Diajukan oleh:
Agust Hendra Silaban – 1206316761
Arie Pangestu Gazali – 1206316824
Frenda Nic Qomar Ernanto – 1206317266
Khaliful Azhar – 1206317543
Muhammad Septianniko Prasetio – 1206317713
Ratna Emilia - 1206317865
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI EKSTENSI AKUNTANSI
JAKARTA
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan sensus yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tahun
2010, penduduk Indonesia berjumlah 237 juta jiwa, naik 31 juta jiwa apabila
dibandingkan pada tahun 2000. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
memprediksi Indonesia akan menikmati bonus demografi pada tahun 2020 dan
2030, dimana rasio ketergantungan akan sangat rendah (sekitar 44 persen), dengan
jumlah penduduk diperkirakan menjadi 268 juta jiwa dan 293 juta jiwa untuk
masing-masing tahun tersebut. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat
dimaksud tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah lahan yang dibutuhkan
untuk penyediaan kebutuhan primer, yaitu perumahan.
Tingginya demand dan rendahnya supply menyebabkan booming pada
sektor industri properti dan real estat. Setiap tahunnya, sektor ini mampu
bertumbuh di atas 7%. Ditambah lagi, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat menargetkan pembangunan 450.000 unit
perumahan per tahun untuk mengatasi kekurangan (backlog) yang saat ini sudah
mencapai 15.000 unit rumah. Tidak heran, pihak asing juga tertarik untuk
berinvestasi pada sektor ini. Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian
Perindustrian, terdapat 678 proyek real estat yang berasal dari Foreign Direct
Investment (FDI) yang masuk ke Indonesia dalam kurun waktu 2010 sampai
dengan tahun 2014, dengan total nilai proyek sebesar US$2.546,6 juta selama
kurun waktu tersebut.
Bisnis properti dan real estat sendiri dimulai dari survei lokasi. Langkah
selanjutnya adalah pengecekan peruntukan lahan dengan memperhatikan
Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Garis
Sempadan Jalan (GSJ), dan Garis Sempadan Bangunan (GSB). Berikutnya,
developer meneliti status lahan sebelum kemudian mengajukan izin pembebasan
lahan. Proses pembebasan lahan sendiri memakan waktu dan biaya yang tidak
kecil. Jika lahan sudah dibebaskan, proses berikutnya adalah mengurus Izin
Mendirikan Bangunan dengan menyertakan site-plan. Proses selanjutnya adalah
1
Universitas Indonesia
2
pemasaran yang biasanya “dibarengi” dengan proses konstruksi. Panjangnya
proses yang diperlukan sebelum properti dan real estat siap untuk diserahkan ke
tangan konsumen tentunya membutuhkan modal yang sangat besar. Dari uraian
sebelumnya, proses pembebasan lahan dan konstruksi merupakan dua proses yang
paling banyak membutuhkan dana.
Besarnya dana yang dibutuhkan oleh sektor ini untuk dapat beroperasi
menarik perhatian Penulis. Dana tersebut dapat berasal dari internal perusahaan
maupun dari eksternal, berupa penerbitan surat utang maupun saham. Dalam
pencarian dan penggunaan sumber dana untuk membiayai kegiatan dan proses
konstruksi dimaksud, tentunya faktor leverage perusahaan menjadi penting untuk
dilihat. Frank dan Goyal (2009) menilai median industry leverage, market-tobook assets ratio, tangibility, profits, log of assets, dan inflasi merupakan faktor
yang paling dominan dalam menentukan market leverage, sedangkan firm size,
market-to-book ratio, dan inflasi tidak cukup reliable dalam menentukan book
leverage di Amerika. Chang, Chen, dan Liao (2014) menambahkan growth, state
control, dan pengaruh pemegang saham terbesar sebagai faktor yang dapat
memengaruhi struktur modal di China. Sementara Jong, Kabir, dan Nguyen
(2008) yang melakukan penelitian berdasar global dataset dari 42 negara
membedakan pengaruh langsung dan tidak langsung dari faktor-faktor tersebut
terhadap leverage effect perusahaan, dengan menambahkan beberapa faktor lain
seperti tingkat pajak, risiko, maupun pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan hal-hal di atas, penulis mengajukan penelitian yang berjudul
“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal Perusahaan Sektor
Properti dan Real Estat yang Terdaftar di BEI Tahun 2009-2013”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penelitian ini
menggunakan 7 (tujuh) variabel independen yaitu firm size, profitability, firm
growth, asset tangibility, dan tingkat pajak sebagai variabel yang menggambarkan
karakteristik perusahaan serta tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai
variabel faktor makroekonomi. Variabel-variabel tersebut merupakan variabelvariabel yang diduga mempengaruhi struktur modal perusahaan sebagaimana
Universitas Indonesia
3
telah dibuktikan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya. Sedangkan, untuk
variabel dependen adalah struktur modal perusahaan yang dalam penelitian ini
diukur dengan leverage.
Selanjutnya, dari variabel-variabel tersebut disusun 7 (tujuh) pertanyaan
pokok dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apakah terdapat pengaruh ukuran perusahaan (firm size) terhadap struktur
modal perusahaan sektor properti dan real estat?
2. Apakah terdapat pengaruh profitabilitas (profitability) terhadap struktur modal
perusahaan sektor properti dan real estat?
3. Apakah terdapat pengaruh pertumbuhan perusahaan (firm growth) terhadap
struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat?
4. Apakah terdapat pengaruh tangibilitas aset (asset tangibilit)y terhadap struktur
modal perusahaan sektor properti dan real estat?
5. Apakah terdapat pengaruh tingkat pajak terhadap struktur modal perusahaan
sektor properti dan real estat?
6. Apakah terdapat pengaruh tingkat inflasi terhadap struktur modal perusahaan
sektor properti dan real estat?
7. Apakah terdapat pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap struktur modal
perusahaan sektor properti dan real estat?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh ukuran perusahaan (firm size) terhadap struktur modal
perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
2. Menganalisis pengaruh profitabilitas (profitability) terhadap struktur modal
perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
3. Menganalisis pengaruh pertumbuhan perusahaan (firm growth) terhadap
struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
4. Menganalisis pengaruh tangibilitas aset (asset tangibility) terhadap struktur
modal perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
5. Menganalisis pengaruh tingkat pajak terhadap struktur modal perusahaan
sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
6. Menganalisis pengaruh tingkat inflasi terhadap struktur modal perusahaan
sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
7. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap struktur modal
perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
Universitas Indonesia
4
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan melihat pengaruh dari karakteristik perusahaan yang
bersifat company-specific dan faktor makroekonomi terhadap struktur modal
perusahaan properti dan real estat. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi:
1. Pengembangan ilmu pengetahuan yaitu penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat lebih mengingat selain faktor-faktor yang bersifat
company specific yang akan diuji pengaruhnya terhadap struktur modal
perusahaan, penelitian ini juga melibatkan variabel indikator makroekonomi.
2. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator di bidang pasar modal untuk
dapat mengetahui sejauh mana karakteristik perusahaan dan faktor
makroekonomi mempengaruhi struktur modal perusahaan properti dan real
estat sehingga pengambilan kebijakan di sektor tersebut dapat lebih efektif
terkait dengan struktur permodalannya.
3. Para pengusaha/emiten sektor properti dan real estat sebagai bahan kajian dan
analisis atas struktur modalnya sehingga dapat menempuh langkah-langkah
antisipatif atau korektif atas operasional perusahaan dalam mencapai
sasarannya.
4. Para Peneliti, untuk dapat melengkapi berbagai penelitian terdahulu tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan.
5. Bagi Penulis, untuk menambah wawasan mengenai konsep hubungan antara
karakteristik
perusahaan
yang
bersifat
company-specific
dan
faktor
makroekonomi terhadap struktur modal perusahaan.
1.5. Sistematika Pembahasan
Skripsi akan disusun dengan sistematika pembahasan sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan gambaran umum tentang penelitian.
Penjelasan tersebut mencakup uraian mengenai latar belakang
penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
BAB II
serta sistematika pembahasan.
TINJAUAN PUSTAKA
Universitas Indonesia
5
Bab ini akan menguraikan teori-teori serta penelitian-penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya yang melandasi permasalahan yang akan
BAB III
dibahas dalam penelitian dan pengembangan hipotesis.
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini akan secara terinci menggambarkan kerangka pemikiran,
metode pemilihan sampel, model penelitian beserta operasionalisasi
BAB IV
variabel, serta pengolahan data atas sumber data yang telah ada.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menjabarkan deskripsi data hasil penelitian dengan
melaporkan hasil penelitian, pengujian hipotesis, dan pembahasan atas
BAB V
penelitian yang telah dilakukan.
SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menyajikan simpulan yang diperoleh dan hasil penelitian dan
akan mengusulkan beberapa saran yang dirasa perlu untuk perbaikan
dalam penelitian selanjutnya.
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Properti dan Real Estat
2.1.1. Definisi Properti dan Real Estat
Definisi properti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
“harta berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yg
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dr tanah dan/atau bangunan
yg dimaksudkan; tanah milik dan bangunan”
Menurut Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat nomor
05/KPTS/BK4PN/1995 tanggal 23 Juni 1995 :
“Properti (real property) adalah tanah hak dan atau bangunan
permanent yang menjadi objek pemilik dan pembangunan”
Menurut Standar Penilaian Indonesia (SPI) 2007, pengertian real properti
adalah hak perseorangan atau badan untuk memiliki, dalam arti menguasai tanah
dengan suatu hak atas tanah, misalnya hak milik atau hak guna bangunan berikut
pengembangan yang melekat padanya. Misalnya tanah, bangunan dan sarana
pelengkapnya.
Dari
definisi-definisi
tersebut,
properti
merupakan
istilah
yang
menyangkut hubungan hukum antara objek dengan subjek yakni adanya hak atau
kepemilikan atas tanah dan semua benda yang menyatu di atasnya.
Oxford English Dictionary online mendefinisikan real estat sebagai berikut :
"property consisting of land and the buildings on it, along with its
natural resources such as crops, minerals, or water; immovable
property of this nature; an interest vested in this (also) an item of real
property; (more generally) buildings or housing in general. Also: the
business of real estate; the profession of buying, selling, or renting land,
buildings or housing."
Dari definisi tersebut, real estat merupakan istilah yang melekat kepada objek
yakni properti yang terdiri dari tanah dan semua benda yang menyatu di atasnya.
2.1.2. Perkembangan Sektor Properti dan Real Estat di indonesia
Bisnis di sektor properti menunjukkan peningkatan pada beberapa tahun
belakangan ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pembangunan hunian,
perumahan, apartemen, gedung perkantoran, dan pertokoan. Peningkatan tersebut
6
Universitas Indonesia
7
didorong oleh meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal, peningkatan
kebutuhan akan tempat usaha, maupun keinginan masyarakat untuk berinvestasi
di bidang properti.
Data Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) menunjukkan bahwa
penyaluran kredit properti yakni kredit yang diberikan kepada kontraktor untuk
pembangunan perkantoran, perhotelan, rumah, dan pertokoan, kredit real estat,
serta kredit kepada perorangan untuk kepemilikan serta pemugaran rumah sampai
dengan Triwulan 2014 (data November 2014) mencapai Rp.584,04 triliun.
Gambar 2.1
Perkembangan Kredit Properti Bank Umum
Sumber: Bank Indonesia, Survei Perkembangan Properti Komersil Triwulan IV-2014
Grafik di atas menunjukkan perkembangan kredit properti bank umum di
Indonesia mulai tahun 2011 sampai dengan bulan November 2014 yang terus
mengalami peningkatan.
Bursa Efek Indonesia menggolongkan sektor properti dan real estat ke
dalam kategori industry jasa. Sektor properti dan real estat kemudian dibagi
menjadi dua sub sektor yakni sub sektor Properti dan Real Estat dan sub sektor
Konstruksi Bangunan.
Universitas Indonesia
8
2.2.
Karakteristik Industri Sektor Properti dan Real Estat
2.2.1. Gambaran Umum Aktivitas Industri
Aktivitas pengembangan subsektor industri Real Estate adalah kegiatan
perolehan tanah untuk kemudian dibangun perumahan dan atau bangunan
komersial dan atau bangunan industri. Bangunan tersebut dimaksudkan untuk
dijual atau disewakan, sebagai satu kesatuan atau secara eceran (retail). Aktivitas
pengembangan ini juga mencakup perolehan kapling tanah untuk dijual tanpa
bangunan. Secara spesifik, aktivitas subsektor industri Real Estate lebih mengarah
pada kegiatan pengembangan perumahan konvensional berikut sarana pendukung
berupa fasilitas umum dan fasilitas sosial. Di sisi lain, aktivitas subsektor industri
properti lebih mengarah pada kegiatan pengembangan bangunan hunian vertikal
(antara lain apartemen, kondominium, rumah susun), bangunan komersial (antara
lain perkantoran, pusat perbelanjaan) dan bangunan industri. Dari segi
pengelolaan, subsektor industri Real Estate cenderung lebih bebas karena adanya
pemindahan hak kepemilikan dari pengembang kepada pemilik bangunan
(penghuni pemukiman) sehingga pemeliharaan dan pengelolaan bangunan
diserahkansepenuhnya kepada pemilik yang bersangkutan, sedangkan subsektor
industri propertilebih memiliki ketergantungan dalam hal pemeliharaan dan
pengelolaan bangunan miliknya. Dari segi pendapatan, pendapatan subsektor
industri Real Estate diperoleh dari penjualan dan peningkatan harga tanah,
sedangkan pendapatan subsektor industri properti berasal dari penjualan,
penyewaan, pengenaan service charge, dan lain-lain.
2.2.2. Risiko Industri
Siklus operasi normal perusahaan pengembang pada umumnya lebih dari
satu tahun dan dipengaruhi oleh faktor ketidakpastian yang cukup tinggi. Banyak
risiko yang mungkin timbul dalam aktivitas subsektor industri Real Estate, di
antaranya adalah :
1. Risiko Keberadaan Tanah
Risiko atas keberadaan tanah yang dikembangkan dapat disebabkan oleh :
a. Kelangkaan tanah
Universitas Indonesia
9
b. Ketergantungan
pada
kebijakan
pemerintah
dalam
pengembangan
perumahan masyarakat.
2. Risiko Gugatan Hukum
Dalam proses pembebasan tanah, kemungkinan akan timbul sanggahansanggahan atas keabsahan hak atas tanah, antara lain disebabkan karena
Indonesia menganut sistem negatif untuk sistem pendaftaran tanah. Untuk
mengurangi timbulnya sengketa tanah, dalam melakukan pembebasan tanah
perusahaan subsektor industri Real Estate harus bertindak hati-hati dengan
meneliti kebenaran dan keaslian dokumen-dokumen tanah pada instansi yang
berwenang serta wajib mengadakan pemeriksaan fisik tanah.
3. Peraturan Pihak Terkait
Industri Real Estate memiliki posisi yang strategis berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan pelaku bisnis serta keterkaitannya
dengan masalah lingkungan dan politik sehingga menjadi obyek regulasi.
Keberadaan dan perubahan dalam regulasi ini akan secara langsung
mempengaruhi operasi industri.
4. Risiko berfluktuasinya nilai tukar rupiah
Sebagaimana dalam industri lain, perusahaan memiliki risiko mengalami
kerugian atas transaksi valuta asing (misal : pembelian peralatan untuk
pembangunan dan bahan baku dalam valuta asing secara kredit) yang terjadi
karena perubahan naiknya kurs valuta asing.
5. Risiko Pemogokan atau kerusuhan (riot)
Terjadinya pemogokan atau kerusuhan (riot) dapat terjadi antara lain karena
ketidakpuasan karyawan terhadap kompensasi yang diterima, kondisi
perekonomian, atau kondisi politik yang tidak stabil.
6. Risiko leverage (leverage risk)
Risiko-risiko yang terkait pada kewajiban perusahaan karena pendanaan yang
berasal dari luar perusahaan (external financing).
7. Risiko tidak tertagihnya piutang (accounts receivable risk)
Risiko yang muncul karena rendahnya kolektibilitas piutang. Risiko ini terkait
langsung pada subsektor industri Real Estate karena sistem penjualan pada
subsektor industri Real Estate umumnya dilakukan secara kredit.
Universitas Indonesia
10
8. Risiko Bencana Alam
Terjadinya bencana alam dapat menyebabkan nilai wajar dari persediaan
perusahaan mengalami penurunan.
.
2.3.
Teori Struktur Modal
Struktur modal merupakan kombinasi utang jangka panjang dan ekuitas
perusahaan (Gitman dan Zutter, 2012). Struktur modal terkait dengan cara
perusahaan memenuhi kebutuhan pendanaannya. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut, struktur modal suatu perusahaan berasal dari 2 (dua) sumber utama yaitu
sumber internal dan sumber eksternal (utang dan ekuitas). Perbedaan utama dari
sumber modal perusahaan yang berupa utang dan ekuitas terletak pada hak suara
relatif, klaim atas pendapatan dan aset, maturity, dan perlakuan pajak. Perbedaanperbedaan dimaksud dapat diikhtisarkan dalam tabel berikut:
Tabel 2.1
Perbedaan Karakteristik antara Utang dan Ekuitas
Karakteristik
Utang
Ekuitas
Hak suara
Tidak ada
Ada
Klaim atas pendapatan Lebih
didahulukan Subordinat
terhadap
dan aset
dibandingkan pemegang utang
Maturity
Perlakuan Pajak
ekuitas
Ada
Beban bunga
Tidak ada
menjadi Bukan pengurang
pengurang
Sumber: Gitman dan Zutter, 2012, p.267
Terdapat beberapa teori yang mendasari penelitian-penelitian terkait
struktur modal, antara lain teori Modigliani-Miller, teori Trade Off, dan teori
Pecking Order.
2.3.1. Teori Modigliani-Miller
Teori mengenai struktur modal modern diperkenalkan oleh Franco
Modigliani dan Merton Miller (1958) melalui artikel berjudul The Cost of
Capital, Corporation Finance, and The Theory of Investment yang diterbitkan
oleh The American Economic Review pada Juni 1958. Dalam artikel tersebut,
Modigliani dan Miller membuktikan bahwa nilai suatu perusahaan (firm value)
Universitas Indonesia
11
tidak dipengaruhi oleh struktur modalnya (Brigham dan Ehrhardt, 2012). Asumsi
yang digunakan dalam studi Modigliani dan Miller tersebut adalah:
1) Tidak ada biaya broker
2) Tidak ada pajak
3) Tidak ada biaya kebangkrutan
4) Investor dapat meminjam dengan tingkat bunga yang sama dengan
perusahaan
5) Semua investor memiliki informasi yang sama dengan manajemen tentang
peluang investasi perusahaan di masa depan
6) EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang
Salah satu asumsi yang digunakan di atas adalah ketiadaan pajak. Dalam
praktiknya ketiadaan pajak ini sulit ditemukan atau diterapkan sehingga pada
tahun 1963, Modigliani dan Miller menerbitkan artikel Corporate Income Taxes
and the Cost of Capital: A Correction. Dalam artikel dimaksud, Modigliani dan
Miller membuktikan bahwa dalam hal terdapat pajak, maka nilai perusahaan akan
meningkat. Peraturan perpajakan memperbolehkan pembayaran beban bunga
sebagai deductible expense sedangkan pembayaran dividen bukan merupakan
faktor pengurang. Perlakukan yang berbeda ini menimbulkan kecenderungan
penggunaan utang dalam struktur modal perusahaan karena utang dapat berfungsi
sebagai shield atas laba perusahaan sehingga nilai perusahaan meningkat.
2.3.2. Teori Trade-Off
Brigham dan Ehrhardt (2012) menjelaskan bahwa salah satu asumsi yang
digunakan dalam teori Modigliani dan Miller adalah tidak adanya biaya
kebangkrutan. Namun demikian, dalam hal terjadi kebangkrutan dimaksud, biaya
yang dibutuhkan sangat mahal, antara lain biaya akuntansi, biaya hukum,
termasuk biaya untuk mempertahankan supplier, customer, dan karyawan. Selain
itu, kebangkrutan sering memaksa perusahaan untuk menjual aset-asetnya di
bawah harga jika perusahaan beroperasi dalam kondisi normal. Kebangkrutan ini
terutama dapat terhadi jika perusahaan memiliki tingkat utang yang besar (highly
leveraged) dalam struktur modalnya.
Universitas Indonesia
12
Kondisi di atas mendorong lahirnya teori trade-off. Menurut trade-off
teory yang diungkapkan oleh Myers (1984), rasio utang yang optimal bagi
perusahaan ditentukan melalui adanya trade off antara biaya dan manfaat dari
penggunaan utang, dengan menganggap bahwa aset perusahaan dan rencana
investasi tetap. Dalam teori ini, perusahaan akan mensubstitusi utang dengan
ekuitas atau ekuitas dengan utang hingga nilai perusahaan maksimal.
Penentuan struktur modal yang optimal menurut teori trade-off
memperhatikan beberapa faktor seperti pajak, biaya keagenan (agency cost), dan
biaya kesulitan keuangan (cost of financial distress). Tingkat utang yang optimal
dapat tercapai jika manfaat dari penghematan pajak (tax shield) seimbang dengan
biaya kesulitan keuangan (terjadi trade-off).
2.3.3. Teori Pecking Order
Teori Pecking Order menyatakan bahwa perusahaan mempunyai uruturutan preferensi (hierarki) dalam pendanaannya. Dalam Brealey, Myers, dan
Allen (2011) teori Pecking Order menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1)
Perusahaan lebih memilih menggunakan sumber dana internal daripada
eksternal.
2)
Perusahaan menyesuaikan target dividennya dengan peluang investasi. Di
sisi lain, perusahaan mencoba menghindari perubahan dalam pembayaran
dividen secara drastis.
3)
Terdapat kebijakan deviden yang sticky. Kebijakan dividen ini,
digabungkan dengan fluktuasi keuntungan dan kesempatan investasi yang
tidak bisa diprediksi, menyebabkan arus kas yang diterima perusahaan lebih
besar daripada pengeluaran investasi perusahaan pada saat-saat tertentu dan di
saat yang lain, arus kas yang diterima perusahaan lebih kecil daripada
pengeluaran investasinya. Jika arus kas masuk lebih besar, perusahaan akan
membayar utang atau membeli surat berharga. Sebaliknya, jika arus kas
masuk lebih kecil, perusahaan akan menggunakan kas atau menjual surat
berharga yang dimiliki.
4)
Jika pendanaan eksternal diperlukan, pertama kali perusahaan akan
memilih sekuritas yang paling aman, yaitu utang dengan tingkat risiko
Universitas Indonesia
13
terendah. Setelah itu, perusahaan akan memilih yang lebih beresiko antara
lain sekuritas hybrid seperti obligasi konversi dan terakhir saham biasa
sebagai last resort.
Pecking order theory tidak menetapkan target struktur modal atau
kombinasi utang-ekuitas, namun menjelaskan urut-urutan pendanaan. Pecking
Order theory menjelaskan bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang
tinggi cenderung memiliki tingkat utang yang rendah. Hal tersebut bukan karena
target rasio utang dari perusahaan yang rendah melainkan karena perusahaan
memerlukan sumber pendanaan eksternal yang lebih sedikit.
2.4.
Penelitian Terdahulu
Jong et al (2008) melakukan penelitian secara cross country (42 negara)
atas faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan tahun 19972001
dengan
jumlah
perusahaan
sebanyak
11.845
perusahaan.
Dalam
penelitiannya dimaksud, Jong et al (2008) mempergunakan 2 kelompok variabel
independen yaitu firm-specific dan country–specific yang akan diuji pengaruhnya
terhadap variabel dependen yaitu leverage. Untuk faktor firm-specific, digunakan
variabel tangibilitas aset, risiko perusahaan, ukuran perusahaan, beban pajak,
pertumbuhan perusahaan, profitabilitas, dan likuiditas perusahaan. Untuk faktor
country-specific digunakan variabel efisiensi sistem hukum, aturan hukum,
legalitas, tingkat korupsi, penegakan hukum, perlindungan terhadap kreditor,
perkembangan pasar obligasi, perkembangan pasar saham, perlindungan terhadap
pemegang saham, sistem keuangan bank dan pasar, formasi modal, dan
pertumbuhan GDP.
Penelitian Jong et al (2008) menyimpulkan bahwa faktor-faktor seperti
tangibilitas aset, ukuran perusahaan, risiko, profitabilitas, dan pertumbuhan
perusahaan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal dalam
model cross-country. Hanya terdapat sedikit negara yang menunjukkan hasil yang
inkonsisten dengan teori. Sedangkan untuk faktor-faktor country-specific, Jong etl
al (2008) menemukan bahwa faktor pertumbuhan GDP, perkembangan pasar
obligasi, dan perlindungan kreditor merupakan faktor-faktor yang secara
signifikan mempengaruhi struktur modal perusahaan.
Universitas Indonesia
14
Degryse et al (2012) juga melakukan penelitian mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi struktur modal dengan sampel perusahaan Small and
Medium Enterprise (SME) di Belanda periode 2003-2005. Variabel dependen
yang digunakan Degryse et al (2012) meliputi ukuran perusahaan, asset
tangibility, aset intangible, net debtors, ROA, pertumbuhan aset perusahaan,
tingkat pajak efektif, dan tingkat depresiasi. Penelitian tersebut menemukan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan SME di
Belanda konsisten dengan teori pecking order. SME di Belanda mempergunakan
profitabilitas untuk mengurangi tingkat utang dan SME yang memiliki
pertumbuhan yang tinggi akan menambah jumlah utangnya karena kebutuhan
pendanaan yang besar.
Penelitian Koksal dan Orman (2014) menguji faktor-faktor yang
mempengaruhi struktur modal atas perusahaan non keuangan yang terdaftar di
bursa Turki periode 1996-2009. Koksal dan Orman (2014) mempergunakan
variabel
independen
pertumbuhan
ukuran
perusahaan,
perusahaan,
risiko
industri,
profitabilitas,
beban
pajak,
tangibilitas
tingkat
aset,
inflasi,
pertumbuhan GDP, dan arus modal. Penelitian Koksal dan Orman (2014)
membuktikan hasil yang sejalan dengan teori trade-off . Walaupun teori trade off
mampu menjelaskan lebih baik daripada teori pecking order, penggunaan teori
pecking order menurut Koksal dan Orman baik digunakan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor struktur modal untuk perusahaan-perusahaan yang ukurannya relatif
lebih kecil.
2.5.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal
Dengan mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh Koksal dan
Orman (2014), struktur modal dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan
perhitungan leverage. Perhitungan leverage tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Leverage=
Total Debt
Total Asset
Penggunaan leverage tersebut dapat secara signifikan mempengaruhi nilai
perusahaan dengan mempengaruhi tingkat risk dan return (Gitman dan Zutter,
2012).
Universitas Indonesia
15
Berdasarkan Gitman dan Zutter (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi
kebijakan struktur modal perusahaan antara lain:
1. Stabilitas pendapatan
Perusahaan yang memiliki pendapatan yang lebih stabil (volatilitasnya
tidak terlalu jauh) dapat lebih aman mengambil kebijakan tingkat leverage
yang tinggi. Penggunaan leverage yang optimal akan mampu memaksimalkan
tingkat return yang diterima perusahaan.
2. Cash flow
Dalam menentukan kebijakan struktur modal, suatu perusahaan harus
mempertimbangkan kemampuannya untuk menggenerate cash flow sehingga
dapat memenuhi kewajiban-kewajiban perusahaan.
3. Preferensi manajemen
Struktur modal perusahaan dapat dipengaruhi juga oleh tingkat risiko yang
bersedia ditanggung manajemen. Manajemen memiliki batasan-batasan risiko
yang dapat diterima jika perusahaan menambah jumlah utangnya.
4. Penilaian risiko eksternal
Perusahaan harus mempertimbangkan dampak dari keputusan struktur
modal perusahaan berupa penerbitan saham atau penambahan jumlah utang
kepada investor dan pemberi pinjaman. Selain itu, perusahaan juga harus
mempertimbangkan dampak keputusan tersebut terhadap harga saham
perusahaan dan rating risiko atas kemampuan perusahaan dalam membayar
kembali pinjamannya.
5. Timing
Kondisi ekonomi secara makro dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan
terkait struktur modal. Pada saat suku bunga tinggi, perusahaan lebih memilih
menerbitkan ekuitas. Sebaliknya, pada saat suku bunga pinjaman rendah,
perusahaan cenderung memperoleh pendanaan dengan melakukan pinjaman.
Selanjutnya, mengacu kepada penelitian Koksal dan Orman (2014), faktorfaktor yang mempengaruhi leverage perusahaan sebagai indikator pengukuran
struktur modal yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
2.5.1. Ukuran Perusahaan
Universitas Indonesia
16
Teori trade-off memprediksi bahwa terdapat hubungan yang positif antara
ukuran perusahaan dan leverage karena perusahaan besar lebih terdiversifikasi
dan memiliki risiko kebangkrutan yang rendah. Di sisi lain, teori pecking order
memprediksi hubungan negatif antara ukuran perusahaan dan leverage karena
perusahaan besar cenderung lebih mudah menerbitkan ekuitas dibandingkan
perusahaan berskala kecil.
Jong et al (2008) meneliti tentang struktur modal secara cross-country,
termasuk Indonesia, dan menemukan hasil bahwa firm size berpengaruh positif
terhadap leverage perusahaan. Hasil serupa juga ditunjukkan oleh penelitian yang
dilakukan Degryse et al (2012). Penelitian yang dilakukan oleh Koksal dan
Orman (2014) juga menunjukkan kesesuaian dengan teori trade-off bahwa ukuran
perusahaan berpengaruh positif terhadap leverage.
2.5.2. Profitabilitas Perusahaan
Teori trade off memprediksi bahwa terdapat hubungan positif antara
profitabilitas perusahaan dan leverage karena perusahaan yang lebih profitable
memiliki risiko kebangkrutan yang rendah dan cenderung menggunakan utang
untuk mendapatkan manfaat pengurangan pajaknya. Sedangkan, teori pecking
order memprediksi hubungan negatif antara profitabilitas perusahaan dengan
leverage dengan pertimbangan bahwa perusahaan yang lebih profitable cenderung
menggunakan sumber pendanaan internal daripada eksternal.
Penelitian yang dilakukan Jong et al (2008) dengan pendekatan crosscountry membuktikan bahwa secara umum profitabilitas perusahaan berpengaruh
negatif terhadap leverage. Jong et al (2008) menjelaskan hal ini konsisten dengan
teori pecking order bahwa perusahaan akan menggunakan retained earning-nya
telebih dahulu sebelum beralih ke utang atau ekuitas. Sebelumnya, Deesomsak et
al (2004) meneliti struktur modal perusahaan-perusahaan di 4 negara Asia-Pasifik,
yaitu Thailand, Malaysia, Australia, dan Singapura dan memperoleh hasil bahwa
profitabilitas berpengaruh negatif terhadap leverage. Hasil serupa juga
ditunjukkan dalam penelitian Koksal dan Orman (2014).
2.5.3. Tangibilitas Aset
Universitas Indonesia
17
Teori trade off memprediksi terdapat hubungan positif antara asset
tangibility dengan leverage. Hal ini didasarkan bahwa tangible asset lebih mudah
dijadikan sebagai jaminan utang. Namun, teori pecking order memprediksi bahwa
hubungan antara tangibility dan leverage adalah negatif. Hal ini disebabkan
tingkat asimetri informasi untuk tangible asset tergolong rendah sehingga
memudahkan perusahaan menerbitkan ekuitas.
Hasil penelitian dari Koksal dan Orman (2014) mendukung teori trade-off
bahwa terdapat hubungan positif antara asset tangibility dan leverage. Penelitian
yang dilakukan oleh Huang dan Song (2006) atas struktur modal perusahaanperusahaan di China juga menunjukkan hasil serupa.
2.5.4. Pertumbuhan Perusahaan
Teori trade off memprediksi terdapat hubungan negatif antara firm growth
dengan
leverage.
Perusahaan
yang
mempunyai
peluang
pertumbuhan
sebagaimana tercermin dalam kepemilikan intangible asset cenderung memiliki
tingkat utang yang rendah karena intangible asset tidak dapat dijadikan pinjaman
utang. Sebaliknya, teori pecking order mengasumsikan terdapat hubungan positif
antara firm growth dengan leverage karena sumber dana internal tidak mencukupi
untuk investasi perusahaan sehingga perusahaan meningkatkan jumlah utangnya.
Penelitian yang dilakukan Chen (2004) dan Tong dan Green (2005) atas
struktur modal perusahaan-perusahaan di China mendapatkan hasil hubungan
positif antara firm growth dengan leverage sehingga sejalan dengan teori peckingorder. Namun, hasil berbeda didapatkan dari penelitian Deesomsak et al (2004)
yang menunjukkan terdapat hubungan negatif antara firm growth dengan leverage
di negara Thailand, Malaysia, dan Singapura sedangkan hubungan positif antara
firm growth dengan leverage terjadi di Australia.
2.5.5. Tingkat Pajak
Teori trade off memprediksi terdapat hubungan positif antara tingkat pajak
dengan leverage karena peraturan perpajakan mengizinkan pembayaran bunga
utang sebagai deductible expense. Penelitian yang dilakukan Koksal dan Orman
(2014) memperoleh hasil yang sejalan dengan teori trade-off dimaksud.
Universitas Indonesia
18
2.5.6. Inflasi
Data empiris menunjukkan bahwa dalam teori trade off diprediksi bahwa
tingkat inflasi memiliki hubungan positif dengan tingkat leverage (Koksal dan
Orman, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Koksal dan Orman (2014)
menunjukkan hasil yang mendukung teori tersebut.
2.5.7. Pertumbuhan Ekonomi
Koksal dan Orman (2014) menyatakan bahwa dalam lingkungan dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kelangkaan atas tangible aset
perusahaan relatif terhadap peluang investasi yang tersedia berdampak pada
penurunan nilai yang lebih besar ketika perusahaan mengalami kesulitan
keuangan. Oleh karena itu, trade off theory memprediksi terdapat hubungan
negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan leverage. Sebaliknya, teori pecking
order memprediksi hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan leverage
karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi memerlukan kebutuhan pendanaan
eksternal yang besar bagi perusahaan.
2.6.
Pengembangan Hipotesis
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan
sebagaimana telah diuraikan pada bagian 2.4, hipotesis yang dikembangkan dan
akan diuji dalam penelitian ini meliputi:
1.
Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Leverage Perusahaan
Perusahaan besar memiliki ketahanan atas kondisi ekonomi atau keuangan
yang buruk karena perusahaan tersebut lebih mudah dalam mencari
pendanaan dengan masuk ke pasar modal dibandingkan perusahaan kecil.
Kemudahan memperoleh pendanaan tersebut mengakibatkan leverage
perusahaan besar lebih tinggi dibandingkan perusahaan kecil. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Jong et al (2008), Degryse et al (2012), dan Koksal dan
Orman (2014) menunjukkan adanya hubungan positif antara ukuran
Universitas Indonesia
19
perusahaan dengan tingkat leverage. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis
pertama yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:
H1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan
2.
Pengaruh Profitabilitas terhadap Leverage Perusahaan
Perusahaan yang profitable mmapu menggenerate penggunaan asetasetnya secara lebih baik dalam tujuannya mencapai laba. Dari laba yang
dihasilkannya
tersebut,
perusahaan
cenderung
menggunakan
sumber
pendanaan internal daripada eksternal sehingga leverage perusahaan lebih
rendah. Penelitian yang dilakukan Jong et al (2008) dan Koksal dan Orman
(2014) menghasilkan simpulan yang sejalan dengan teori tersebut sehingga
hipotesis kedua yang diuji dalam penelitian ini adalah:
H2: Profitabilitas berpengaruh negatif terhadap leverage perusahaan
3.
Pengaruh Tangibilitas Aset terhadap Leverage Perusahaan
Aset berwujud lebih mudah dijadikan sebagai jaminan pengembalian
utang daripada aset tidak berwujud. Semakin banyak suatu aset berwujud
dimiliki perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan
tersebut untuk menambah jumlah utangnya menurut teori trade-off. Hal ini
telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Huang dan Song
(2006) dan Koksal dan Orman (2014). Berdasarkan hal tersebut, hipotesis
ketiga yang diuji adalah:
H3: Tangibilitas aset berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan
4.
Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadap Leverage Perusahaan
Peluang pertumbuhan perusahaan dapat diidentifikasi dengan kepemilikan
aset tak berwujud perusahaan tersebut, seperti royalti dan hak paten. Namun
demikian, menurut teori trade off, intangible aset bukanlah aset yang mudah
digunakan sebagai jaminan utang. Dengan demikian, perusahaan yang
memiliki kesempatan pertumbuhan lebih tinggi dengan mempunyai
intangible asset memiliki kecenderungan tingkat utang yang rendah. Hal ini
telah dibuktikan dalam penelitian Deesomsak et al (2004) untuk negara
Thailand, Malaysia, dan Singapura. Namun, hasil berbeda ditunjukkan oleh
Universitas Indonesia
20
penelitian Chen (2004) dan Tong dan Green (2005) bahwa terdapat pengaruh
positif antara pertumbuhan perusahaan dan tingkat leverage. Dengan
demikian, hipotesis keempat dirumuskan:
H4: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh terhadap leverage perusahaan
5.
Pengaruh Tingkat Pajak terhadap Leverage Perusahaan
Peraturan pajak memperkenankan beban bunga utang sebagai pengurang
kewajiban pembayaran pajak. Penelitian Koksal dan Orman (2014)
menyimpulkan hasil yang mendukung hal tersebut bahwa terdapat pengaruh
positif antara tingkat pajak dengan leverage perusahaan. Berdasarkan hal
tersebut, hipotesis kelima dirumuskan:
H5: Tingkat pajak berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan
6.
Pengaruh Tingkat Inflasi terhadap Leverage Perusahaan
Berdasarkan data empiris dan hasil penelitian Koksal dan Orman (2014)
ditunjukkan bahwa tingkat inflasi mempunyai hubungan positif dengan
leverage. Dengan demikian, hipotesis keenam dinyatakan:
H6: Tingkat inflasi berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan
7.
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Leverage Perusahaan
Koksal dan Orman (2014) mengemukakan bahwa dalam situasi
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kelangkaan atas tangible asset relatif
terhadap peluang investasi yang tersedia berdampak pada penurunan nilai
yang lebih besar ketika perusahaan mengalami kesulitan keuangan.
Berdasarkan hal tersebut, hipotesis ketujuh dinyatakan:
H7: Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap leverage
perusahaan
Hipotesis di atas dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
Tabel 2.2
Variabel Penelitian dan Prediksi Hipotesis
Uraian
Predicted Sign
Variabel Dependen
Universitas Indonesia
21
Leverage
Variabel Independen
Firm Size
+
Profitability
+
Asset Tangibility
+
Firm Growth
?
Tingkat Pajak
+
Tingkat Inflasi
+
Economic Growth
-
Sumber: Olahan penulis
Universitas Indonesia
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
STRUKTUR MODAL PERUSAHAAN SEKTOR PROPERTI
DAN REAL ESTAT YANG TERDAFTAR DI BEI TAHUN 20092013
Diajukan oleh:
Agust Hendra Silaban – 1206316761
Arie Pangestu Gazali – 1206316824
Frenda Nic Qomar Ernanto – 1206317266
Khaliful Azhar – 1206317543
Muhammad Septianniko Prasetio – 1206317713
Ratna Emilia - 1206317865
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI EKSTENSI AKUNTANSI
JAKARTA
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan sensus yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tahun
2010, penduduk Indonesia berjumlah 237 juta jiwa, naik 31 juta jiwa apabila
dibandingkan pada tahun 2000. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
memprediksi Indonesia akan menikmati bonus demografi pada tahun 2020 dan
2030, dimana rasio ketergantungan akan sangat rendah (sekitar 44 persen), dengan
jumlah penduduk diperkirakan menjadi 268 juta jiwa dan 293 juta jiwa untuk
masing-masing tahun tersebut. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat
dimaksud tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah lahan yang dibutuhkan
untuk penyediaan kebutuhan primer, yaitu perumahan.
Tingginya demand dan rendahnya supply menyebabkan booming pada
sektor industri properti dan real estat. Setiap tahunnya, sektor ini mampu
bertumbuh di atas 7%. Ditambah lagi, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat menargetkan pembangunan 450.000 unit
perumahan per tahun untuk mengatasi kekurangan (backlog) yang saat ini sudah
mencapai 15.000 unit rumah. Tidak heran, pihak asing juga tertarik untuk
berinvestasi pada sektor ini. Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian
Perindustrian, terdapat 678 proyek real estat yang berasal dari Foreign Direct
Investment (FDI) yang masuk ke Indonesia dalam kurun waktu 2010 sampai
dengan tahun 2014, dengan total nilai proyek sebesar US$2.546,6 juta selama
kurun waktu tersebut.
Bisnis properti dan real estat sendiri dimulai dari survei lokasi. Langkah
selanjutnya adalah pengecekan peruntukan lahan dengan memperhatikan
Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Garis
Sempadan Jalan (GSJ), dan Garis Sempadan Bangunan (GSB). Berikutnya,
developer meneliti status lahan sebelum kemudian mengajukan izin pembebasan
lahan. Proses pembebasan lahan sendiri memakan waktu dan biaya yang tidak
kecil. Jika lahan sudah dibebaskan, proses berikutnya adalah mengurus Izin
Mendirikan Bangunan dengan menyertakan site-plan. Proses selanjutnya adalah
1
Universitas Indonesia
2
pemasaran yang biasanya “dibarengi” dengan proses konstruksi. Panjangnya
proses yang diperlukan sebelum properti dan real estat siap untuk diserahkan ke
tangan konsumen tentunya membutuhkan modal yang sangat besar. Dari uraian
sebelumnya, proses pembebasan lahan dan konstruksi merupakan dua proses yang
paling banyak membutuhkan dana.
Besarnya dana yang dibutuhkan oleh sektor ini untuk dapat beroperasi
menarik perhatian Penulis. Dana tersebut dapat berasal dari internal perusahaan
maupun dari eksternal, berupa penerbitan surat utang maupun saham. Dalam
pencarian dan penggunaan sumber dana untuk membiayai kegiatan dan proses
konstruksi dimaksud, tentunya faktor leverage perusahaan menjadi penting untuk
dilihat. Frank dan Goyal (2009) menilai median industry leverage, market-tobook assets ratio, tangibility, profits, log of assets, dan inflasi merupakan faktor
yang paling dominan dalam menentukan market leverage, sedangkan firm size,
market-to-book ratio, dan inflasi tidak cukup reliable dalam menentukan book
leverage di Amerika. Chang, Chen, dan Liao (2014) menambahkan growth, state
control, dan pengaruh pemegang saham terbesar sebagai faktor yang dapat
memengaruhi struktur modal di China. Sementara Jong, Kabir, dan Nguyen
(2008) yang melakukan penelitian berdasar global dataset dari 42 negara
membedakan pengaruh langsung dan tidak langsung dari faktor-faktor tersebut
terhadap leverage effect perusahaan, dengan menambahkan beberapa faktor lain
seperti tingkat pajak, risiko, maupun pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan hal-hal di atas, penulis mengajukan penelitian yang berjudul
“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal Perusahaan Sektor
Properti dan Real Estat yang Terdaftar di BEI Tahun 2009-2013”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penelitian ini
menggunakan 7 (tujuh) variabel independen yaitu firm size, profitability, firm
growth, asset tangibility, dan tingkat pajak sebagai variabel yang menggambarkan
karakteristik perusahaan serta tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai
variabel faktor makroekonomi. Variabel-variabel tersebut merupakan variabelvariabel yang diduga mempengaruhi struktur modal perusahaan sebagaimana
Universitas Indonesia
3
telah dibuktikan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya. Sedangkan, untuk
variabel dependen adalah struktur modal perusahaan yang dalam penelitian ini
diukur dengan leverage.
Selanjutnya, dari variabel-variabel tersebut disusun 7 (tujuh) pertanyaan
pokok dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apakah terdapat pengaruh ukuran perusahaan (firm size) terhadap struktur
modal perusahaan sektor properti dan real estat?
2. Apakah terdapat pengaruh profitabilitas (profitability) terhadap struktur modal
perusahaan sektor properti dan real estat?
3. Apakah terdapat pengaruh pertumbuhan perusahaan (firm growth) terhadap
struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat?
4. Apakah terdapat pengaruh tangibilitas aset (asset tangibilit)y terhadap struktur
modal perusahaan sektor properti dan real estat?
5. Apakah terdapat pengaruh tingkat pajak terhadap struktur modal perusahaan
sektor properti dan real estat?
6. Apakah terdapat pengaruh tingkat inflasi terhadap struktur modal perusahaan
sektor properti dan real estat?
7. Apakah terdapat pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap struktur modal
perusahaan sektor properti dan real estat?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh ukuran perusahaan (firm size) terhadap struktur modal
perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
2. Menganalisis pengaruh profitabilitas (profitability) terhadap struktur modal
perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
3. Menganalisis pengaruh pertumbuhan perusahaan (firm growth) terhadap
struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
4. Menganalisis pengaruh tangibilitas aset (asset tangibility) terhadap struktur
modal perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
5. Menganalisis pengaruh tingkat pajak terhadap struktur modal perusahaan
sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
6. Menganalisis pengaruh tingkat inflasi terhadap struktur modal perusahaan
sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
7. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap struktur modal
perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
Universitas Indonesia
4
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan melihat pengaruh dari karakteristik perusahaan yang
bersifat company-specific dan faktor makroekonomi terhadap struktur modal
perusahaan properti dan real estat. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi:
1. Pengembangan ilmu pengetahuan yaitu penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat lebih mengingat selain faktor-faktor yang bersifat
company specific yang akan diuji pengaruhnya terhadap struktur modal
perusahaan, penelitian ini juga melibatkan variabel indikator makroekonomi.
2. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator di bidang pasar modal untuk
dapat mengetahui sejauh mana karakteristik perusahaan dan faktor
makroekonomi mempengaruhi struktur modal perusahaan properti dan real
estat sehingga pengambilan kebijakan di sektor tersebut dapat lebih efektif
terkait dengan struktur permodalannya.
3. Para pengusaha/emiten sektor properti dan real estat sebagai bahan kajian dan
analisis atas struktur modalnya sehingga dapat menempuh langkah-langkah
antisipatif atau korektif atas operasional perusahaan dalam mencapai
sasarannya.
4. Para Peneliti, untuk dapat melengkapi berbagai penelitian terdahulu tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan.
5. Bagi Penulis, untuk menambah wawasan mengenai konsep hubungan antara
karakteristik
perusahaan
yang
bersifat
company-specific
dan
faktor
makroekonomi terhadap struktur modal perusahaan.
1.5. Sistematika Pembahasan
Skripsi akan disusun dengan sistematika pembahasan sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan gambaran umum tentang penelitian.
Penjelasan tersebut mencakup uraian mengenai latar belakang
penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
BAB II
serta sistematika pembahasan.
TINJAUAN PUSTAKA
Universitas Indonesia
5
Bab ini akan menguraikan teori-teori serta penelitian-penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya yang melandasi permasalahan yang akan
BAB III
dibahas dalam penelitian dan pengembangan hipotesis.
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini akan secara terinci menggambarkan kerangka pemikiran,
metode pemilihan sampel, model penelitian beserta operasionalisasi
BAB IV
variabel, serta pengolahan data atas sumber data yang telah ada.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menjabarkan deskripsi data hasil penelitian dengan
melaporkan hasil penelitian, pengujian hipotesis, dan pembahasan atas
BAB V
penelitian yang telah dilakukan.
SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menyajikan simpulan yang diperoleh dan hasil penelitian dan
akan mengusulkan beberapa saran yang dirasa perlu untuk perbaikan
dalam penelitian selanjutnya.
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Properti dan Real Estat
2.1.1. Definisi Properti dan Real Estat
Definisi properti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
“harta berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yg
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dr tanah dan/atau bangunan
yg dimaksudkan; tanah milik dan bangunan”
Menurut Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat nomor
05/KPTS/BK4PN/1995 tanggal 23 Juni 1995 :
“Properti (real property) adalah tanah hak dan atau bangunan
permanent yang menjadi objek pemilik dan pembangunan”
Menurut Standar Penilaian Indonesia (SPI) 2007, pengertian real properti
adalah hak perseorangan atau badan untuk memiliki, dalam arti menguasai tanah
dengan suatu hak atas tanah, misalnya hak milik atau hak guna bangunan berikut
pengembangan yang melekat padanya. Misalnya tanah, bangunan dan sarana
pelengkapnya.
Dari
definisi-definisi
tersebut,
properti
merupakan
istilah
yang
menyangkut hubungan hukum antara objek dengan subjek yakni adanya hak atau
kepemilikan atas tanah dan semua benda yang menyatu di atasnya.
Oxford English Dictionary online mendefinisikan real estat sebagai berikut :
"property consisting of land and the buildings on it, along with its
natural resources such as crops, minerals, or water; immovable
property of this nature; an interest vested in this (also) an item of real
property; (more generally) buildings or housing in general. Also: the
business of real estate; the profession of buying, selling, or renting land,
buildings or housing."
Dari definisi tersebut, real estat merupakan istilah yang melekat kepada objek
yakni properti yang terdiri dari tanah dan semua benda yang menyatu di atasnya.
2.1.2. Perkembangan Sektor Properti dan Real Estat di indonesia
Bisnis di sektor properti menunjukkan peningkatan pada beberapa tahun
belakangan ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pembangunan hunian,
perumahan, apartemen, gedung perkantoran, dan pertokoan. Peningkatan tersebut
6
Universitas Indonesia
7
didorong oleh meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal, peningkatan
kebutuhan akan tempat usaha, maupun keinginan masyarakat untuk berinvestasi
di bidang properti.
Data Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) menunjukkan bahwa
penyaluran kredit properti yakni kredit yang diberikan kepada kontraktor untuk
pembangunan perkantoran, perhotelan, rumah, dan pertokoan, kredit real estat,
serta kredit kepada perorangan untuk kepemilikan serta pemugaran rumah sampai
dengan Triwulan 2014 (data November 2014) mencapai Rp.584,04 triliun.
Gambar 2.1
Perkembangan Kredit Properti Bank Umum
Sumber: Bank Indonesia, Survei Perkembangan Properti Komersil Triwulan IV-2014
Grafik di atas menunjukkan perkembangan kredit properti bank umum di
Indonesia mulai tahun 2011 sampai dengan bulan November 2014 yang terus
mengalami peningkatan.
Bursa Efek Indonesia menggolongkan sektor properti dan real estat ke
dalam kategori industry jasa. Sektor properti dan real estat kemudian dibagi
menjadi dua sub sektor yakni sub sektor Properti dan Real Estat dan sub sektor
Konstruksi Bangunan.
Universitas Indonesia
8
2.2.
Karakteristik Industri Sektor Properti dan Real Estat
2.2.1. Gambaran Umum Aktivitas Industri
Aktivitas pengembangan subsektor industri Real Estate adalah kegiatan
perolehan tanah untuk kemudian dibangun perumahan dan atau bangunan
komersial dan atau bangunan industri. Bangunan tersebut dimaksudkan untuk
dijual atau disewakan, sebagai satu kesatuan atau secara eceran (retail). Aktivitas
pengembangan ini juga mencakup perolehan kapling tanah untuk dijual tanpa
bangunan. Secara spesifik, aktivitas subsektor industri Real Estate lebih mengarah
pada kegiatan pengembangan perumahan konvensional berikut sarana pendukung
berupa fasilitas umum dan fasilitas sosial. Di sisi lain, aktivitas subsektor industri
properti lebih mengarah pada kegiatan pengembangan bangunan hunian vertikal
(antara lain apartemen, kondominium, rumah susun), bangunan komersial (antara
lain perkantoran, pusat perbelanjaan) dan bangunan industri. Dari segi
pengelolaan, subsektor industri Real Estate cenderung lebih bebas karena adanya
pemindahan hak kepemilikan dari pengembang kepada pemilik bangunan
(penghuni pemukiman) sehingga pemeliharaan dan pengelolaan bangunan
diserahkansepenuhnya kepada pemilik yang bersangkutan, sedangkan subsektor
industri propertilebih memiliki ketergantungan dalam hal pemeliharaan dan
pengelolaan bangunan miliknya. Dari segi pendapatan, pendapatan subsektor
industri Real Estate diperoleh dari penjualan dan peningkatan harga tanah,
sedangkan pendapatan subsektor industri properti berasal dari penjualan,
penyewaan, pengenaan service charge, dan lain-lain.
2.2.2. Risiko Industri
Siklus operasi normal perusahaan pengembang pada umumnya lebih dari
satu tahun dan dipengaruhi oleh faktor ketidakpastian yang cukup tinggi. Banyak
risiko yang mungkin timbul dalam aktivitas subsektor industri Real Estate, di
antaranya adalah :
1. Risiko Keberadaan Tanah
Risiko atas keberadaan tanah yang dikembangkan dapat disebabkan oleh :
a. Kelangkaan tanah
Universitas Indonesia
9
b. Ketergantungan
pada
kebijakan
pemerintah
dalam
pengembangan
perumahan masyarakat.
2. Risiko Gugatan Hukum
Dalam proses pembebasan tanah, kemungkinan akan timbul sanggahansanggahan atas keabsahan hak atas tanah, antara lain disebabkan karena
Indonesia menganut sistem negatif untuk sistem pendaftaran tanah. Untuk
mengurangi timbulnya sengketa tanah, dalam melakukan pembebasan tanah
perusahaan subsektor industri Real Estate harus bertindak hati-hati dengan
meneliti kebenaran dan keaslian dokumen-dokumen tanah pada instansi yang
berwenang serta wajib mengadakan pemeriksaan fisik tanah.
3. Peraturan Pihak Terkait
Industri Real Estate memiliki posisi yang strategis berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan pelaku bisnis serta keterkaitannya
dengan masalah lingkungan dan politik sehingga menjadi obyek regulasi.
Keberadaan dan perubahan dalam regulasi ini akan secara langsung
mempengaruhi operasi industri.
4. Risiko berfluktuasinya nilai tukar rupiah
Sebagaimana dalam industri lain, perusahaan memiliki risiko mengalami
kerugian atas transaksi valuta asing (misal : pembelian peralatan untuk
pembangunan dan bahan baku dalam valuta asing secara kredit) yang terjadi
karena perubahan naiknya kurs valuta asing.
5. Risiko Pemogokan atau kerusuhan (riot)
Terjadinya pemogokan atau kerusuhan (riot) dapat terjadi antara lain karena
ketidakpuasan karyawan terhadap kompensasi yang diterima, kondisi
perekonomian, atau kondisi politik yang tidak stabil.
6. Risiko leverage (leverage risk)
Risiko-risiko yang terkait pada kewajiban perusahaan karena pendanaan yang
berasal dari luar perusahaan (external financing).
7. Risiko tidak tertagihnya piutang (accounts receivable risk)
Risiko yang muncul karena rendahnya kolektibilitas piutang. Risiko ini terkait
langsung pada subsektor industri Real Estate karena sistem penjualan pada
subsektor industri Real Estate umumnya dilakukan secara kredit.
Universitas Indonesia
10
8. Risiko Bencana Alam
Terjadinya bencana alam dapat menyebabkan nilai wajar dari persediaan
perusahaan mengalami penurunan.
.
2.3.
Teori Struktur Modal
Struktur modal merupakan kombinasi utang jangka panjang dan ekuitas
perusahaan (Gitman dan Zutter, 2012). Struktur modal terkait dengan cara
perusahaan memenuhi kebutuhan pendanaannya. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut, struktur modal suatu perusahaan berasal dari 2 (dua) sumber utama yaitu
sumber internal dan sumber eksternal (utang dan ekuitas). Perbedaan utama dari
sumber modal perusahaan yang berupa utang dan ekuitas terletak pada hak suara
relatif, klaim atas pendapatan dan aset, maturity, dan perlakuan pajak. Perbedaanperbedaan dimaksud dapat diikhtisarkan dalam tabel berikut:
Tabel 2.1
Perbedaan Karakteristik antara Utang dan Ekuitas
Karakteristik
Utang
Ekuitas
Hak suara
Tidak ada
Ada
Klaim atas pendapatan Lebih
didahulukan Subordinat
terhadap
dan aset
dibandingkan pemegang utang
Maturity
Perlakuan Pajak
ekuitas
Ada
Beban bunga
Tidak ada
menjadi Bukan pengurang
pengurang
Sumber: Gitman dan Zutter, 2012, p.267
Terdapat beberapa teori yang mendasari penelitian-penelitian terkait
struktur modal, antara lain teori Modigliani-Miller, teori Trade Off, dan teori
Pecking Order.
2.3.1. Teori Modigliani-Miller
Teori mengenai struktur modal modern diperkenalkan oleh Franco
Modigliani dan Merton Miller (1958) melalui artikel berjudul The Cost of
Capital, Corporation Finance, and The Theory of Investment yang diterbitkan
oleh The American Economic Review pada Juni 1958. Dalam artikel tersebut,
Modigliani dan Miller membuktikan bahwa nilai suatu perusahaan (firm value)
Universitas Indonesia
11
tidak dipengaruhi oleh struktur modalnya (Brigham dan Ehrhardt, 2012). Asumsi
yang digunakan dalam studi Modigliani dan Miller tersebut adalah:
1) Tidak ada biaya broker
2) Tidak ada pajak
3) Tidak ada biaya kebangkrutan
4) Investor dapat meminjam dengan tingkat bunga yang sama dengan
perusahaan
5) Semua investor memiliki informasi yang sama dengan manajemen tentang
peluang investasi perusahaan di masa depan
6) EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang
Salah satu asumsi yang digunakan di atas adalah ketiadaan pajak. Dalam
praktiknya ketiadaan pajak ini sulit ditemukan atau diterapkan sehingga pada
tahun 1963, Modigliani dan Miller menerbitkan artikel Corporate Income Taxes
and the Cost of Capital: A Correction. Dalam artikel dimaksud, Modigliani dan
Miller membuktikan bahwa dalam hal terdapat pajak, maka nilai perusahaan akan
meningkat. Peraturan perpajakan memperbolehkan pembayaran beban bunga
sebagai deductible expense sedangkan pembayaran dividen bukan merupakan
faktor pengurang. Perlakukan yang berbeda ini menimbulkan kecenderungan
penggunaan utang dalam struktur modal perusahaan karena utang dapat berfungsi
sebagai shield atas laba perusahaan sehingga nilai perusahaan meningkat.
2.3.2. Teori Trade-Off
Brigham dan Ehrhardt (2012) menjelaskan bahwa salah satu asumsi yang
digunakan dalam teori Modigliani dan Miller adalah tidak adanya biaya
kebangkrutan. Namun demikian, dalam hal terjadi kebangkrutan dimaksud, biaya
yang dibutuhkan sangat mahal, antara lain biaya akuntansi, biaya hukum,
termasuk biaya untuk mempertahankan supplier, customer, dan karyawan. Selain
itu, kebangkrutan sering memaksa perusahaan untuk menjual aset-asetnya di
bawah harga jika perusahaan beroperasi dalam kondisi normal. Kebangkrutan ini
terutama dapat terhadi jika perusahaan memiliki tingkat utang yang besar (highly
leveraged) dalam struktur modalnya.
Universitas Indonesia
12
Kondisi di atas mendorong lahirnya teori trade-off. Menurut trade-off
teory yang diungkapkan oleh Myers (1984), rasio utang yang optimal bagi
perusahaan ditentukan melalui adanya trade off antara biaya dan manfaat dari
penggunaan utang, dengan menganggap bahwa aset perusahaan dan rencana
investasi tetap. Dalam teori ini, perusahaan akan mensubstitusi utang dengan
ekuitas atau ekuitas dengan utang hingga nilai perusahaan maksimal.
Penentuan struktur modal yang optimal menurut teori trade-off
memperhatikan beberapa faktor seperti pajak, biaya keagenan (agency cost), dan
biaya kesulitan keuangan (cost of financial distress). Tingkat utang yang optimal
dapat tercapai jika manfaat dari penghematan pajak (tax shield) seimbang dengan
biaya kesulitan keuangan (terjadi trade-off).
2.3.3. Teori Pecking Order
Teori Pecking Order menyatakan bahwa perusahaan mempunyai uruturutan preferensi (hierarki) dalam pendanaannya. Dalam Brealey, Myers, dan
Allen (2011) teori Pecking Order menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1)
Perusahaan lebih memilih menggunakan sumber dana internal daripada
eksternal.
2)
Perusahaan menyesuaikan target dividennya dengan peluang investasi. Di
sisi lain, perusahaan mencoba menghindari perubahan dalam pembayaran
dividen secara drastis.
3)
Terdapat kebijakan deviden yang sticky. Kebijakan dividen ini,
digabungkan dengan fluktuasi keuntungan dan kesempatan investasi yang
tidak bisa diprediksi, menyebabkan arus kas yang diterima perusahaan lebih
besar daripada pengeluaran investasi perusahaan pada saat-saat tertentu dan di
saat yang lain, arus kas yang diterima perusahaan lebih kecil daripada
pengeluaran investasinya. Jika arus kas masuk lebih besar, perusahaan akan
membayar utang atau membeli surat berharga. Sebaliknya, jika arus kas
masuk lebih kecil, perusahaan akan menggunakan kas atau menjual surat
berharga yang dimiliki.
4)
Jika pendanaan eksternal diperlukan, pertama kali perusahaan akan
memilih sekuritas yang paling aman, yaitu utang dengan tingkat risiko
Universitas Indonesia
13
terendah. Setelah itu, perusahaan akan memilih yang lebih beresiko antara
lain sekuritas hybrid seperti obligasi konversi dan terakhir saham biasa
sebagai last resort.
Pecking order theory tidak menetapkan target struktur modal atau
kombinasi utang-ekuitas, namun menjelaskan urut-urutan pendanaan. Pecking
Order theory menjelaskan bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang
tinggi cenderung memiliki tingkat utang yang rendah. Hal tersebut bukan karena
target rasio utang dari perusahaan yang rendah melainkan karena perusahaan
memerlukan sumber pendanaan eksternal yang lebih sedikit.
2.4.
Penelitian Terdahulu
Jong et al (2008) melakukan penelitian secara cross country (42 negara)
atas faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan tahun 19972001
dengan
jumlah
perusahaan
sebanyak
11.845
perusahaan.
Dalam
penelitiannya dimaksud, Jong et al (2008) mempergunakan 2 kelompok variabel
independen yaitu firm-specific dan country–specific yang akan diuji pengaruhnya
terhadap variabel dependen yaitu leverage. Untuk faktor firm-specific, digunakan
variabel tangibilitas aset, risiko perusahaan, ukuran perusahaan, beban pajak,
pertumbuhan perusahaan, profitabilitas, dan likuiditas perusahaan. Untuk faktor
country-specific digunakan variabel efisiensi sistem hukum, aturan hukum,
legalitas, tingkat korupsi, penegakan hukum, perlindungan terhadap kreditor,
perkembangan pasar obligasi, perkembangan pasar saham, perlindungan terhadap
pemegang saham, sistem keuangan bank dan pasar, formasi modal, dan
pertumbuhan GDP.
Penelitian Jong et al (2008) menyimpulkan bahwa faktor-faktor seperti
tangibilitas aset, ukuran perusahaan, risiko, profitabilitas, dan pertumbuhan
perusahaan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal dalam
model cross-country. Hanya terdapat sedikit negara yang menunjukkan hasil yang
inkonsisten dengan teori. Sedangkan untuk faktor-faktor country-specific, Jong etl
al (2008) menemukan bahwa faktor pertumbuhan GDP, perkembangan pasar
obligasi, dan perlindungan kreditor merupakan faktor-faktor yang secara
signifikan mempengaruhi struktur modal perusahaan.
Universitas Indonesia
14
Degryse et al (2012) juga melakukan penelitian mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi struktur modal dengan sampel perusahaan Small and
Medium Enterprise (SME) di Belanda periode 2003-2005. Variabel dependen
yang digunakan Degryse et al (2012) meliputi ukuran perusahaan, asset
tangibility, aset intangible, net debtors, ROA, pertumbuhan aset perusahaan,
tingkat pajak efektif, dan tingkat depresiasi. Penelitian tersebut menemukan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan SME di
Belanda konsisten dengan teori pecking order. SME di Belanda mempergunakan
profitabilitas untuk mengurangi tingkat utang dan SME yang memiliki
pertumbuhan yang tinggi akan menambah jumlah utangnya karena kebutuhan
pendanaan yang besar.
Penelitian Koksal dan Orman (2014) menguji faktor-faktor yang
mempengaruhi struktur modal atas perusahaan non keuangan yang terdaftar di
bursa Turki periode 1996-2009. Koksal dan Orman (2014) mempergunakan
variabel
independen
pertumbuhan
ukuran
perusahaan,
perusahaan,
risiko
industri,
profitabilitas,
beban
pajak,
tangibilitas
tingkat
aset,
inflasi,
pertumbuhan GDP, dan arus modal. Penelitian Koksal dan Orman (2014)
membuktikan hasil yang sejalan dengan teori trade-off . Walaupun teori trade off
mampu menjelaskan lebih baik daripada teori pecking order, penggunaan teori
pecking order menurut Koksal dan Orman baik digunakan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor struktur modal untuk perusahaan-perusahaan yang ukurannya relatif
lebih kecil.
2.5.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal
Dengan mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh Koksal dan
Orman (2014), struktur modal dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan
perhitungan leverage. Perhitungan leverage tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Leverage=
Total Debt
Total Asset
Penggunaan leverage tersebut dapat secara signifikan mempengaruhi nilai
perusahaan dengan mempengaruhi tingkat risk dan return (Gitman dan Zutter,
2012).
Universitas Indonesia
15
Berdasarkan Gitman dan Zutter (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi
kebijakan struktur modal perusahaan antara lain:
1. Stabilitas pendapatan
Perusahaan yang memiliki pendapatan yang lebih stabil (volatilitasnya
tidak terlalu jauh) dapat lebih aman mengambil kebijakan tingkat leverage
yang tinggi. Penggunaan leverage yang optimal akan mampu memaksimalkan
tingkat return yang diterima perusahaan.
2. Cash flow
Dalam menentukan kebijakan struktur modal, suatu perusahaan harus
mempertimbangkan kemampuannya untuk menggenerate cash flow sehingga
dapat memenuhi kewajiban-kewajiban perusahaan.
3. Preferensi manajemen
Struktur modal perusahaan dapat dipengaruhi juga oleh tingkat risiko yang
bersedia ditanggung manajemen. Manajemen memiliki batasan-batasan risiko
yang dapat diterima jika perusahaan menambah jumlah utangnya.
4. Penilaian risiko eksternal
Perusahaan harus mempertimbangkan dampak dari keputusan struktur
modal perusahaan berupa penerbitan saham atau penambahan jumlah utang
kepada investor dan pemberi pinjaman. Selain itu, perusahaan juga harus
mempertimbangkan dampak keputusan tersebut terhadap harga saham
perusahaan dan rating risiko atas kemampuan perusahaan dalam membayar
kembali pinjamannya.
5. Timing
Kondisi ekonomi secara makro dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan
terkait struktur modal. Pada saat suku bunga tinggi, perusahaan lebih memilih
menerbitkan ekuitas. Sebaliknya, pada saat suku bunga pinjaman rendah,
perusahaan cenderung memperoleh pendanaan dengan melakukan pinjaman.
Selanjutnya, mengacu kepada penelitian Koksal dan Orman (2014), faktorfaktor yang mempengaruhi leverage perusahaan sebagai indikator pengukuran
struktur modal yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
2.5.1. Ukuran Perusahaan
Universitas Indonesia
16
Teori trade-off memprediksi bahwa terdapat hubungan yang positif antara
ukuran perusahaan dan leverage karena perusahaan besar lebih terdiversifikasi
dan memiliki risiko kebangkrutan yang rendah. Di sisi lain, teori pecking order
memprediksi hubungan negatif antara ukuran perusahaan dan leverage karena
perusahaan besar cenderung lebih mudah menerbitkan ekuitas dibandingkan
perusahaan berskala kecil.
Jong et al (2008) meneliti tentang struktur modal secara cross-country,
termasuk Indonesia, dan menemukan hasil bahwa firm size berpengaruh positif
terhadap leverage perusahaan. Hasil serupa juga ditunjukkan oleh penelitian yang
dilakukan Degryse et al (2012). Penelitian yang dilakukan oleh Koksal dan
Orman (2014) juga menunjukkan kesesuaian dengan teori trade-off bahwa ukuran
perusahaan berpengaruh positif terhadap leverage.
2.5.2. Profitabilitas Perusahaan
Teori trade off memprediksi bahwa terdapat hubungan positif antara
profitabilitas perusahaan dan leverage karena perusahaan yang lebih profitable
memiliki risiko kebangkrutan yang rendah dan cenderung menggunakan utang
untuk mendapatkan manfaat pengurangan pajaknya. Sedangkan, teori pecking
order memprediksi hubungan negatif antara profitabilitas perusahaan dengan
leverage dengan pertimbangan bahwa perusahaan yang lebih profitable cenderung
menggunakan sumber pendanaan internal daripada eksternal.
Penelitian yang dilakukan Jong et al (2008) dengan pendekatan crosscountry membuktikan bahwa secara umum profitabilitas perusahaan berpengaruh
negatif terhadap leverage. Jong et al (2008) menjelaskan hal ini konsisten dengan
teori pecking order bahwa perusahaan akan menggunakan retained earning-nya
telebih dahulu sebelum beralih ke utang atau ekuitas. Sebelumnya, Deesomsak et
al (2004) meneliti struktur modal perusahaan-perusahaan di 4 negara Asia-Pasifik,
yaitu Thailand, Malaysia, Australia, dan Singapura dan memperoleh hasil bahwa
profitabilitas berpengaruh negatif terhadap leverage. Hasil serupa juga
ditunjukkan dalam penelitian Koksal dan Orman (2014).
2.5.3. Tangibilitas Aset
Universitas Indonesia
17
Teori trade off memprediksi terdapat hubungan positif antara asset
tangibility dengan leverage. Hal ini didasarkan bahwa tangible asset lebih mudah
dijadikan sebagai jaminan utang. Namun, teori pecking order memprediksi bahwa
hubungan antara tangibility dan leverage adalah negatif. Hal ini disebabkan
tingkat asimetri informasi untuk tangible asset tergolong rendah sehingga
memudahkan perusahaan menerbitkan ekuitas.
Hasil penelitian dari Koksal dan Orman (2014) mendukung teori trade-off
bahwa terdapat hubungan positif antara asset tangibility dan leverage. Penelitian
yang dilakukan oleh Huang dan Song (2006) atas struktur modal perusahaanperusahaan di China juga menunjukkan hasil serupa.
2.5.4. Pertumbuhan Perusahaan
Teori trade off memprediksi terdapat hubungan negatif antara firm growth
dengan
leverage.
Perusahaan
yang
mempunyai
peluang
pertumbuhan
sebagaimana tercermin dalam kepemilikan intangible asset cenderung memiliki
tingkat utang yang rendah karena intangible asset tidak dapat dijadikan pinjaman
utang. Sebaliknya, teori pecking order mengasumsikan terdapat hubungan positif
antara firm growth dengan leverage karena sumber dana internal tidak mencukupi
untuk investasi perusahaan sehingga perusahaan meningkatkan jumlah utangnya.
Penelitian yang dilakukan Chen (2004) dan Tong dan Green (2005) atas
struktur modal perusahaan-perusahaan di China mendapatkan hasil hubungan
positif antara firm growth dengan leverage sehingga sejalan dengan teori peckingorder. Namun, hasil berbeda didapatkan dari penelitian Deesomsak et al (2004)
yang menunjukkan terdapat hubungan negatif antara firm growth dengan leverage
di negara Thailand, Malaysia, dan Singapura sedangkan hubungan positif antara
firm growth dengan leverage terjadi di Australia.
2.5.5. Tingkat Pajak
Teori trade off memprediksi terdapat hubungan positif antara tingkat pajak
dengan leverage karena peraturan perpajakan mengizinkan pembayaran bunga
utang sebagai deductible expense. Penelitian yang dilakukan Koksal dan Orman
(2014) memperoleh hasil yang sejalan dengan teori trade-off dimaksud.
Universitas Indonesia
18
2.5.6. Inflasi
Data empiris menunjukkan bahwa dalam teori trade off diprediksi bahwa
tingkat inflasi memiliki hubungan positif dengan tingkat leverage (Koksal dan
Orman, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Koksal dan Orman (2014)
menunjukkan hasil yang mendukung teori tersebut.
2.5.7. Pertumbuhan Ekonomi
Koksal dan Orman (2014) menyatakan bahwa dalam lingkungan dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kelangkaan atas tangible aset
perusahaan relatif terhadap peluang investasi yang tersedia berdampak pada
penurunan nilai yang lebih besar ketika perusahaan mengalami kesulitan
keuangan. Oleh karena itu, trade off theory memprediksi terdapat hubungan
negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan leverage. Sebaliknya, teori pecking
order memprediksi hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan leverage
karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi memerlukan kebutuhan pendanaan
eksternal yang besar bagi perusahaan.
2.6.
Pengembangan Hipotesis
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan
sebagaimana telah diuraikan pada bagian 2.4, hipotesis yang dikembangkan dan
akan diuji dalam penelitian ini meliputi:
1.
Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Leverage Perusahaan
Perusahaan besar memiliki ketahanan atas kondisi ekonomi atau keuangan
yang buruk karena perusahaan tersebut lebih mudah dalam mencari
pendanaan dengan masuk ke pasar modal dibandingkan perusahaan kecil.
Kemudahan memperoleh pendanaan tersebut mengakibatkan leverage
perusahaan besar lebih tinggi dibandingkan perusahaan kecil. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Jong et al (2008), Degryse et al (2012), dan Koksal dan
Orman (2014) menunjukkan adanya hubungan positif antara ukuran
Universitas Indonesia
19
perusahaan dengan tingkat leverage. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis
pertama yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:
H1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan
2.
Pengaruh Profitabilitas terhadap Leverage Perusahaan
Perusahaan yang profitable mmapu menggenerate penggunaan asetasetnya secara lebih baik dalam tujuannya mencapai laba. Dari laba yang
dihasilkannya
tersebut,
perusahaan
cenderung
menggunakan
sumber
pendanaan internal daripada eksternal sehingga leverage perusahaan lebih
rendah. Penelitian yang dilakukan Jong et al (2008) dan Koksal dan Orman
(2014) menghasilkan simpulan yang sejalan dengan teori tersebut sehingga
hipotesis kedua yang diuji dalam penelitian ini adalah:
H2: Profitabilitas berpengaruh negatif terhadap leverage perusahaan
3.
Pengaruh Tangibilitas Aset terhadap Leverage Perusahaan
Aset berwujud lebih mudah dijadikan sebagai jaminan pengembalian
utang daripada aset tidak berwujud. Semakin banyak suatu aset berwujud
dimiliki perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan
tersebut untuk menambah jumlah utangnya menurut teori trade-off. Hal ini
telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Huang dan Song
(2006) dan Koksal dan Orman (2014). Berdasarkan hal tersebut, hipotesis
ketiga yang diuji adalah:
H3: Tangibilitas aset berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan
4.
Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadap Leverage Perusahaan
Peluang pertumbuhan perusahaan dapat diidentifikasi dengan kepemilikan
aset tak berwujud perusahaan tersebut, seperti royalti dan hak paten. Namun
demikian, menurut teori trade off, intangible aset bukanlah aset yang mudah
digunakan sebagai jaminan utang. Dengan demikian, perusahaan yang
memiliki kesempatan pertumbuhan lebih tinggi dengan mempunyai
intangible asset memiliki kecenderungan tingkat utang yang rendah. Hal ini
telah dibuktikan dalam penelitian Deesomsak et al (2004) untuk negara
Thailand, Malaysia, dan Singapura. Namun, hasil berbeda ditunjukkan oleh
Universitas Indonesia
20
penelitian Chen (2004) dan Tong dan Green (2005) bahwa terdapat pengaruh
positif antara pertumbuhan perusahaan dan tingkat leverage. Dengan
demikian, hipotesis keempat dirumuskan:
H4: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh terhadap leverage perusahaan
5.
Pengaruh Tingkat Pajak terhadap Leverage Perusahaan
Peraturan pajak memperkenankan beban bunga utang sebagai pengurang
kewajiban pembayaran pajak. Penelitian Koksal dan Orman (2014)
menyimpulkan hasil yang mendukung hal tersebut bahwa terdapat pengaruh
positif antara tingkat pajak dengan leverage perusahaan. Berdasarkan hal
tersebut, hipotesis kelima dirumuskan:
H5: Tingkat pajak berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan
6.
Pengaruh Tingkat Inflasi terhadap Leverage Perusahaan
Berdasarkan data empiris dan hasil penelitian Koksal dan Orman (2014)
ditunjukkan bahwa tingkat inflasi mempunyai hubungan positif dengan
leverage. Dengan demikian, hipotesis keenam dinyatakan:
H6: Tingkat inflasi berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan
7.
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Leverage Perusahaan
Koksal dan Orman (2014) mengemukakan bahwa dalam situasi
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kelangkaan atas tangible asset relatif
terhadap peluang investasi yang tersedia berdampak pada penurunan nilai
yang lebih besar ketika perusahaan mengalami kesulitan keuangan.
Berdasarkan hal tersebut, hipotesis ketujuh dinyatakan:
H7: Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap leverage
perusahaan
Hipotesis di atas dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
Tabel 2.2
Variabel Penelitian dan Prediksi Hipotesis
Uraian
Predicted Sign
Variabel Dependen
Universitas Indonesia
21
Leverage
Variabel Independen
Firm Size
+
Profitability
+
Asset Tangibility
+
Firm Growth
?
Tingkat Pajak
+
Tingkat Inflasi
+
Economic Growth
-
Sumber: Olahan penulis
Universitas Indonesia