PENGARUH PENGGUNAAN MODUL DAN METODE CER

PENGARUH PENGGUNAAN MODUL DAN METODE CERAMAH TERHADAP
HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA PESERTA DIDIK KEJAR PAKET B
DI KABUPATEN BARRU
Oleh: Djonny Pabisa
ABSTRAK
Pendidikan kesetaraan pada pendidikan luar sekolah khususnya Paket B setara SMP
menggunakan bahan belajar yang disusun dalam bentuk modul. Kenyataan menunjukkan bahwa
pengajaran program paket B yang selama ini secara substansial harus menggunakan modul yang telah
disediakan, ternyata lebih banyak dilakukan dengan menggunakan metode ceramah atau metode
konvensional. Oleh karena itu, penulis menganggap penting untuk melakukan suatu penelitian yang
difokuskan pada pengaruh penggunaan modul dan metode ceramah terhadap hasil belajar matematika
pada peserta didik Kejar Paket B di Kabupaten Barru. Penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif
dengan memakai model treatment posttest-only control group design. Populasi adalah peserta didik
Kejar Paket B yang dibina PPLS dan SKB Kabupaten Barru. Penentuan sampel menggunakan teknik
purposive sampling. Penetapan kelompok yang diteliti diambil dari anggota sampel dengan
menggunakan teknik simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tes
hasil belajar matematika Paket B kelas II dan data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan
teknik analisis statistik deskriptif dan teknik analisis statistik inferensial, yaitu anavar satu arah dan uji
lanjut scheffe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) hasil belajar matematika Paket B kelas II
untuk kelompok peserta didik yang diajar dengan menggunakan modul maupun yang diajar dengan
menggunakan metode ceramah masing-masing berada pada kualifikasi sedang. Hasil belajar

matematika Paket B kelas II untuk kelompok peserta didik yang diajar dengan menggunakan metode
konvensional berada pada kualifikasi rendah dan (2) terdapat perbedaan hasil belajar matematika Paket
B kelas II antara kelompok peserta didik yang diajar dengan menggunakan modul, metode ceramah,
dan metode konvensional.
Kata Kunci: Modul, Metode Ceramah, Hasil Belajar, Paket B.

PENDAHULUAN
Pendidikan non formal atau lebih
dikenal dengan sebutan pendidikan luar
sekolah diselenggarakan bagi masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah,
dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam
rangka mendukung pendidikan sepanjang
hayat. Pendidikan luar sekolah berfungsi
mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan
sikap dan kepribadian profesional. Peserta
didik pendidikan luar sekolah adalah warga

masyarakat yang tidak pernah sekolah, putus
sekolah, anak usia dini, dan pencari kerja yang
perlu bekal keterampilan dan ingin
meningkatkan kemampuan atau keterampilan
profesionalnya untuk meningkatkan kualitas
hidupnya di masa depan (Depdikbud, 1995).
Pendidikan luar sekolah dapat dikelompokkan

menjadi tiga bidang pendidikan yang integral
(Depdiknas, 2000), yaitu: (1) pendidikan
keaksaraan, (2) pendidikan dasar, dan
(3) pendidikan berkelanjutan.
Pendidikan
kesetaraan
pada
pendidikan luar sekolah khususnya pendidikan
dasar (paket A setara SD dan Paket B setara
SMP) menggunakan bahan ajar yang disusun
dalam bentuk modul-modul berdasarkan
tingkat kesetaraan dari setiap

mata
pelajaran. Proses pembelajaran pada Kejar
Paket B seharusnya dapat dibedakan dengan
proses pendidikan yang berlangsung pada jalur
pendidikan formal, meskipun kurikulumnya
dianggap setara dengan kurikulum SMP
(Depdiknas, 2003b). Penggunaan modul dalam
pembelajaran tidak terlepas dari sistem tutorial
yang dianut oleh pendidikan luar sekolah yang
pada dasarnya memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk dapat belajar
sendiri sesuai dengan kemampuan belajarnya

2

masing-masing dan menempatkan peran tutor
sebatas melaksanakan bimbingan, memberi
bantuan, mengarahkan, dan menggerakkan
peserta didik (Ahmadi dan Prasetya, 1997).
Kenyataan di lapangan menunjukkan

bahwa penggunaan modul dalam pengajaran
pada Kejar Paket B masih sangat minimal dan
lebih banyak didominasi oleh pengajaran
dengan menggunakan metode ceramah.
Pengajaran program paket B secara substansial
harus menggunakan modul yang disediakan,
ternyata lebih banyak dilakukan dengan
menggunakan metode ceramah (Dinas
Pendidikan Nasional, 2003). Kenyataan ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
Rifa’i (2002) yang menemukan bahwa sekitar
75 persen peserta didik paket B di Propinsi
Jawa Tengah menyukai metode ceramah
digunakan sebagai metode pengajaran pada
program paket B, sedangkan sisanya 25 persen
menyukai metode kerja kelompok. Utsman
(2002) menemukan fakta dalam penelitian
yang dilakukannya, bahwa metode yang
digunakan tutor dalam proses pembelajaran
paket B di Jawa Tengah secara umum masih

menggunakan metode ceramah. Belajar
dengan sistem modul sulit untuk dilaksanakan
meskipun modul yang tersedia cukup.
Penggunaan metode ceramah ini dilakukan
karena sebagian besar tutor berasal dari guru
sekolah formal, sehingga belum banyak
mengenal metode-metode pengajaran yang
sering diterapkan pada pendidikan luar
sekolah. Selain itu, pengelola kegiatan belajar
paket B dalam proses pembelajaran secara
umum menggunakan metode dan teknik yang
sama dengan pembelajaran pada sekolahsekolah formal dan mereka kurang memahami
tentang metode dan proses pembelajaran pada
program Kejar Paket B.
Penggunaan
metode
ceramah
potensial terjadi dalam pengelolaan kegiatan
belajar paket B disebabkan juga oleh persoalan
klasik pada pendidikan luar sekolah yang

sering terabaikan, yaitu: (1) modul-modul
pelajaran paket B masih dibiarkan menumpuk
di gudang buku Dinas Pendidikan dan Sanggar
Kegiatan Belajar (SKB), (2) para tutor
dibiarkan mengajar matematika hanya dengan
metode ceramah, walaupun modul sudah
dimiliki,
(3) kurangnya peran pengelola
dan tutor dalam mengoptimalkan pemanfaatan
modul oleh peserta didik sebagai upaya

menunjang peningkatan kemampuan belajar
mereka,
(4) pelatihan-pelatihan yang
diselenggarakan untuk para tutor masih belum
mampu memberikan bantuan dalam mengatasi
kesulitan penggunaan modul paket B, dan
(5) mata pelajaran seperti matematika banyak
diajarkan oleh Pamong Belajar atau tutor yang
kurang kompeten di bidangnya.

Pengajaran dengan menggunakan
modul secara teori memiliki banyak perbedaan
bila dibandingkan dengan bentuk pengajaran
menggunakan metode ceramah (Nasution,
2000). Adanya perbedaan tersebut diduga juga
memberi indikasi adanya perbedaan pada hasil
belajar peserta didik pada program paket B.
Berdasarkan
uraian
di
atas,
permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana
gambaran hasil belajar matematika peserta
didik yang diajar matematika paket B dengan
menggunakan modul, metode ceramah, dan
metode konvensional pada Kejar Paket B kelas
II di Kabupaten Barru? dan (2) apakah
terdapat perbedaan hasil belajar matematika
peserta didik

kelompok yang diajar
matematika paket B dengan menggunakan
modul, metode ceramah, dan metode
konvensional?.
Tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah: (1) Untuk mendapatkan
gambaran hasil belajar matematika peserta
didik yang diajar matematika paket B dengan
menggunakan modul, metode ceramah, dan
metode konvensional pada Kejar Paket B kelas
II di Kabupaten Barru dan (2) untuk
mengungkap ada atau tidak ada perbedaan
hasil belajar matematika peserta didik
kelompok yang diajar matematika paket B
dengan
menggunakan
modul,
metode
ceramah, dan metode konvensional pada Kejar
Paket B kelas II di Kabupaten Barru.

Manfaat yang diperoleh dari hasil
penelitian ini adalah: (1) dapat membantu tutor
untuk menetapkan pilihan yang tepat dalam
penggunaan metode pembelajaran matematika
pada Kejar Paket B guna meningkatkan hasil
belajar matematika peserta didik, (2)
membantu tutor dan pelaksana teknis
pendidikan luar sekolah lainnya untuk dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pengelolaan sistem pembelajaran matematika
paket B dengan menggunakan modul, metode
ceramah, atau metode konvensional pada

3

Kejar Paket B,
(3) sebagai bahan masukan
bagi penyelenggara pelatihan calon tutor dan
penyelenggara program paket B untuk dapat
meningkatkan sikap, pengetahuan, dan

keterampilan di dalam pengelolaan, pelatihan,
dan pembelajaran yang menggunakan modul,
metode ceramah, dan metode konvensional,
(4) sebagai bahan masukan bagi semua pihak
yang berkecimpung pada bidang pendidikan
luar sekolah untuk dapat memilih pola
pengajaran yang tepat, sehingga dapat
membantu meningkatkan kualitas lulusan
paket B, dan (5) sebagai bahan masukan dalam
usaha meningkatkan pengelolaan sistem
pembelajaran program paket B oleh Sub Dinas
Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan, Sanggar Kegiatan Belajar,
penilik luar sekolah, tenaga lapangan
pendidikan masyarakat, dan mitra teknis
pendidikan luar sekolah lainnya yang ada di
Kabupaten Barru.
TINJAUAN PUSTAKA
Paket B adalah program pendidikan
alternatif yang dimaksudkan untuk dapat

melayani pendidikan anak-anak berusia 13-15
tahun yang kurang beruntung sebagai akibat
putus
sekolah,
keterbatasan
ekonomi,
cakrawala berpikir yang sempit dari orang tua
tentang
pendidikan,
atau
perolehan
kesempatan belajar yang tidak ada. Menurut
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di
dalam Utsman (2002) menjelaskan bahwa
Paket B adalah salah satu bentuk pendidikan
yang dilaksanakan pada jalur luar sekolah
dengan maksud untuk dapat memberikan
pelayanan
pendidikan
kepada
warga
masyarakat yang putus sekolah dan kurang
beruntung agar mereka dapat memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama. Peserta didiknya adalah masyarakat
yang berusia 13 sampai dengan 15 tahun, lulus
SD atau sederajat yang karena sesuatu hal
tidak dapat melanjutkan ke SMP, putus SMP
yang disebabkan oleh berbagai faktor, dan
lulusan paket A.
Kesetaraan yang dimaksud pada
program Paket B pada dasarnya berkaitan
dengan pengakuan kualitas lulusan satuan
pendidikan (Depdiknas, 2003b). Kesetaraan
dalam hal ini diartikan: (1) materi pokok atau
materi inti yang diberikan di SMP juga

diberikan pada program Paket B, (2)
kurikulum SMP menjadi sumber atau dasar
dalam penyusunan modul program paket B,
dengan demikian materi SLTP tersebut
menjadi dasar untuk pengembangan materi
pembelajaran dalam program Paket B, dan (3)
lulusan program paket B mendapat ijasah yang
mempunyai pengakuan yang sama dengan
lulusan SMP.
Kegiatan belajar paket B pada
prinsipnya tidak dilaksanakan oleh lembaga
persekolahan, tetapi dilaksanakan oleh
Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) atau Sub
Dinas Pendidikan Luar Sekolah melalui
koordinasi Penilik Luar Sekolah sebagai
institusi formal. Lembaga-lembaga informal
dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat
juga diberikan kewenangan untuk mengelola
kegiatan belajar paket B sebagai mitra teknis.
Kegiatan pembelajaran dilakukan dalam
bentuk Kejar (kelompok belajar) yang
anggotanya berkisar 15 – 40 orang dalam satu
kelompok yang dibina oleh Pamong Belajar
dan beberapa tutor. Bahan belajar paket B
adalah
modul-modul
yang
disusun
berdasarkan kurikulum SLTP tahun 1994 yang
telah
dipersiapkan
oleh
Departemen
Pendidikan Nasional melalui Direktorat
Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda serta
Direktorat Pendidikan Masyarakat serta bahan
belajar keterampilan dan pelengkap lainnya
yang disusun berdasarkan muatan lokal.
Penggunaan
modul
termasuk dalam pola pengajaran
mandiri yang menekankan pada
berkembangnya kemampuan belajar
individual. Menurut Nasution (2000),
pengajaran individual dipandang
sebagai reaksi terhadap pengajaran
klasikal (metode ceramah) dengan
kelas yang terlampau besar dan padat
sehingga guru atau tenaga pengajar
tidak dapat memberikan bantuan
individual. Menurut Suryosubroto
(1983), modul adalah satu unit
program belajar mengajar terkecil
yang secara terperinci menggariskan:
(1) tujuan instruksional yang akan
dicapai,
(2) topik yang akan
dijadikan pangkal proses belajar
mengajar, (3) pokok-pokok materi
yang akan dipelajari, (4) peranan
guru dalam proses belajar mengajar,

4

(5) alat-alat dan sumber yang akan
dipergunakan, (6) kegiatan-kegiatan
belajar yang harus dilakukan dan
dihayati
peserta
didik
secara
berurutan, (7) lembaran kerja yang
harus diisi oleh peserta didik, dan
(8) evaluasi yang akan dilaksanakan.
Russel (1973) menjelaskan bahwa
modul adalah suatu paket belajar
mengajar berkenaan dengan satu unit
bahan pelajaran. Modul dapat
dipelajari di mana saja dan dengan
modul, peserta didik dapat mencapai
taraf tuntas dengan belajar secara
individual.
Modul
dirancang
sedemikian rupa agar memungkinkan
peserta didik dapat belajar sendiri
seoptimal mungkin sehingga peserta
didik dapat belajar sesuai dengan
kemampuan belajarnya masingmasing.
Suryosubroto
(1983)
menegaskan
bahwa
dengan
menggunakan modul sebagai suatu
sistem
penyampaian pengajaran
memungkinkan peserta didik untuk
dapat belajar sendiri tanpa terlalu
bergantung pada tenaga pengajar
yang selama ini selalu bertugas
sebagai
penyampai
informasi.
Soedijarto di dalam Ali (2002)
mengemukakan bahwa modul sebagai
unit
terkecil yang direncanakan
dan ditulis secara sistematis dan
operasional terdiri dari:
(1)
rumusan TIK, (2) deskripsi isi
pengajaran yang harus dipelajari, (3)
daftar alat-alat pelajaran yang akan
digunakan, (4) kegiatan belajar yang
harus dilakukan dalam bentuk teks
bacaan dan petunjuk yang harus
diikuti serta lembaran
kerja
yang berisi tugas-tugas yang harus
diselesaikan, (5) kunci lembaran
jawaban, (6) lembaran evaluasi dalam
bentuk tes atau tugas, (7) kunci
evaluasi, dan
(8) petunjuk
penggunaan modul oleh tenaga
pengajar.
Penggunaan modul yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah
suatu proses belajar mengajar
matematika paket B yang menjadikan

modul sebagai sumber belajar yang di
dalamnya terdapat lembar kegiatan
peserta didik, lembaran kerja, kunci
lembaran kerja, lembaran tes atau
tugas, dan kunci lembaran tes atau
tugas, dengan ciri-ciri pengajaran:
(1) bahan pelajaran disajikan secara
individual sehingga setiap peserta
didik dapat mempelajari sebagian
atau seluruh bahan pelajaran menurut
waktu yang diinginkan masingmasing, (2) berorientasi pada
kegiatan peserta didik dengan
pengajaran kepada peserta didik
secara individual, (3) bahan-bahan
dalam modul dipelajari menurut
urutan tertentu,
(4) peserta didik
dapat bertanya kepada tutor maupun
teman yang dianggap lebih tahu bila
mengalami kesulitan memahami
bahan-bahan dalam modul, dan (5)
tutor dapat memberikan bantuan
kepada
peserta
didik
dalam
mempelajari bahan-bahan dalam
modul secara individual atau bila
peserta didik mengalami kesulitan
belajar dengan modul-modulnya
melalui tatap muka secara langsung.
Metode ceramah dapat
dipandang sebagai suatu cara
penyampaian
pelajaran
dengan
melalui penuturan. Ali (2002)
mengemukakan bahwa dalam metode
ceramah komunikasi yang terjadi
antara guru dan peserta didik pada
umumnya searah. Metode ceramah
adalah suatu bentuk penyampaian
materi secara lisan dengan maksud
memberitahu, menjelaskan prinsipprinsip, konsep-konsep, dan/atau
menuliskan
rumus-rumus
tanpa
memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mengulang
kembali apa yang diperlihatkan guru,
nanti setelah selesai, peserta didik
baru diberi kesempatan untuk
berpikir dan mengulang dengan
pertanyaan yang bersifat ingatan.
Hasibuan dan Moedjiono
(1999) menjelaskan bahwa metode
ceramah adalah cara penyampaian
bahan pelajaran dengan komunikasi
lisan yang pelaksanaannya ekonomis

5

dan
efektif
untuk
keperluan
penyampaian
informasi
dan
pengertian. metode ceramah tidak
cocok digunakan untuk situasi
pembelajaran: (1) untuk bahan yang
kompleks, terinci, dan abstrak, (2)
kalau keterlibatan peserta didik
penting bagi pencapaian tujuan, dan
(3) bila tingkat kemampuan dan
pengalaman peserta didik kurang.
Untuk mengefektifkan penggunaan
metode ceramah, menurut Surakhmad
dalam Suriani (1993) hal-hal yang
perlu dilakukan oleh pendidik adalah:
(1) merumuskan tujuan khusus yang
hendak dipelajari oleh peserta didik
secara jelas,
(2) menyelidiki
apakah metode ceramah benar-benar
merupakan metode yang sesuai pada
tempatnya, (3) menyusun bahan
ceramah yang benar-benar perlu
diceramahkan, (4) pengertian yang
dapat dijelaskan dengan uraian
tertentu
harus ditetapkan
sebelumnya,
(5)
menangkan
perhatian
peserta
didik
dan
mengarahkannya pada pokok yang
akan diceramahkan,
(6)
mengusahakan menanam pengertian
yang jelas, dan (7) mengadakan
rencana
penilaian
dengan
menentukan teknik dan prosedur
penilaian
yang
tepat
untuk
mengetahui tercapai tidaknya tujuan
khusus yang telah dirumuskan.
Penggunaan
metode
ceramah yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah mengajarkan
pelajaran matematika paket B kepada
peserta didik secara lisan di depan
kelas dengan ciri-ciri: (1) tujuan dan
topik yang akan diajarkan dijelaskan
oleh tutor, (2) definisi dan rumus
diberikan, dikerjakan, dan dijelaskan
dengan singkat sebagai contoh lalu
tutor memerintahkan apa yang akan
dikerjakan
oleh peserta didik dan
bagaimana menyimpulkannya, (3)
dapat diselingi dengan tanya jawab,
(4) pada akhir pertemuan, tutor
menjelaskan
kembali
rumusanrumusan yang penting, dan (5) tutor
memberikan tugas rumah. Materi

pembelajaran berpedoman pada Garis
Besar Program Pengajaran (GBPP)
paket B yang disusun berdasarkan
kurikulum
Sekolah
Menengah
Pertama (SMP) tahun 1994 yang
diterbitkan
oleh
Proyek
Pengembangan Pendidikan Luar
Sekolah (PLS) Pusat, Direktorat
Jenderal Pendidikan Luar Sekolah,
Pemuda, dan Olahraga (PLSPO),
Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan, dengan pokok bahasan:
(1) kuadrat suatu bilangan, (2) akar
kuadrat suatu bilangan, dan (3)
teorema Pythagoras.
Wardani
(2002)
mengemukakan bahwa ciri khas dari
pengajaran bentuk konvensional
adalah: (1) pengajar tetap sebagai
sumber utama dalam proses belajar
dan mengajar yang sementara
berlangsung,
(2) Informasi
yang diterima oleh peserta didik
ditentukan oleh pengajar, dan (3)
pengajaran masih berfokus pada
penghafalaan suatu rumus atau
konsep. Wen (2003) menjelaskan
bahwa ciri pengajaran dengan metode
konvensional adalah pencapaian
kurikulum sangat bergantung pada
kemampuan
pengajar
dalam
menyelesaikan bahan ajar dalam
kurun waktu tertentu. Pengajar berada
di bawah tuntutan menyelesaikan
bahan ajar, sehingga dapat berakibat
pada
ketidakpedulian
pengajar
terhadap
keadaan peserta didik
dalam memahami dan menguasai
bahan pelajaran yang telah diajarkan.
Depdiknas (2003a) mengemukakan 5
pola dalam pengajaran dengan
metode
konvensional,
yaitu:
(1) pengajaran menyandarkan kepada
hafalan-hafalan,
(2)
pemilihan
informasi-informasi sebagai bahan
pengajaran ditentukan oleh pengajar,
(3) pengajaran cenderung berfokus
pada satu disiplin tertentu, (4)
memberikan
sekumpulan
informasi/bahan pelajaran kepada
peserta didik sampai pada waktu
dibutuhkan, dan (5) penilaian hasil
belajar hanya dilakukan melalui

6

kegiatan
akademik
berupa
ulangan/ujian.
Penggunaan
metode
konvensional yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah metode yang
sementara digunakan oleh tutor
dalam mengajarkan matematika paket
B kepada peserta didik yang dapat
dilakukan dengan satu atau berbagai
macam pendekatan dalam bentuk
ceramah, penugasan, diskusi, tanya
jawab, dan mengerjakan soal-soal
yang
telah
disediakan
untuk
mencapai tujuan pengajaran.
Dalam belajar dihasilkan
berbagai macam tingkah laku yang
berlainan, seperti pengetahuan, sikap,
keterampilan, kemampuan, informasi,
dan nilai. Bloom sebagaimana dikutip
oleh
Degeng
(1989)
mengklasifikasikan hasil belajar
menjadi 3 domain atau ranah, yaitu
ranah kognitif, psikomotor, dan sikap.
Ranah kognitif, menaruh perhatian
pada pengembangan kapabilitas dan
keterampilan
intelektual;
ranah
psikomotor
berkaitan
dengan
kegiatan-kegiatan manipulatif atau
keterampilan motorik; dan ranah
sikap
berkaitan
dengan
pengembangan perasaan, sikap, nilai,
dan emosi yang dipelajari (baru).
Selanjutnya Bloom dalam Sulistyono
(2003) mengklasifikasi ranah kognitif
menjadi
enam
aspek
yaitu:
pengetahuan
(knowledge),
pemahaman
(comprehension),
penerapan (application), analisis
(analysis), sintesis (synthesis), dan
penilaian (evaluation).
Hasil belajar sesungguhnya
merupakan
perilaku
berupa
pengetahuan, keterampilan, sikap,
informasi, dan atau strategi kognitif
yang baru dan diperoleh peserta didik
setelah
berinteraksi
dengan
lingkungan dalam suatu suasana atau
kondisi pembelajaran. Pengetahuan,
keterampilan, sikap, informasi dan
atau strategi kognitif tersebut adalah
baru, bukan yang telah dimiliki
peserta didik sebelum memasuki

kondisi atau situasi pembelajaran
dimaksud.
Menjadi kesimpulan, yang
dimaksud hasil belajar matematika
dalam penelitian ini adalah hasil
interaksi antara peserta didik dengan
materi pelajaran matematika paket B
selama
proses
pembelajaran
dilaksanakan
oleh peneliti pada
ranah kognitif sehingga dapat
menjadi
gambaran
tingkat
penguasaan peserta didik terhadap
topik bahasan yang diberikan selama
penelitian ini berlangsung, meliputi:
(1) ingatan, (2) pemahaman, (3)
penerapan,
dan
(4)
lain-lain
(gabungan analisis, sintesis, dan
evaluasi).
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten
Barru, yaitu pada Kejar Paket B yang dibina
oleh Dinas Pendidikan dan Sanggar Kegiatan
Belajar (SKB) dengan jenis penelitian
kuantitatif yang memakai model treatment
posttest-only control group design. Variabelvariabel yang diteliti adalah: (1) metode
pengajaran sebagai variabel bebas terdiri atas:
penggunaan modul diberi simbol X 1, metode
ceramah diberi simbol X2, dan metode
konvensional diberi simbol X3 dan (2) hasil
belajar matematika Paket B sebagai variabel
terikat terdiri atas: hasil belajar dengan
menggunakan modul diberi simbol Y1, metode
ceramah diberi simbol Y2, dan metode
konvensional diberi simbol Y3. Populasi dalam
penelitian adalah seluruh peserta didik pada
Kejar Paket B yang sampai penelitian ini
dilaksanakan masih berstatus aktif mengikuti
kegiatan belajar mengajar. Penentuan sampel
dilakukan dengan menggunakan teknik
purposive sampling, selanjutnya pengambilan
anggota sampel mempergunakan teknik acak
sederhana.
Dalam penelitian ini digunakan
instrumen tes hasil belajar matematika Paket B
yang disusun sendiri oleh peneliti dan sebelum
digunakan terlebih dahulu dilakukan ujicoba.
Berdasarkan hasil ujicoba dapat diketahui
bahwa soal yang dinyatakan valid sebanyak 32
butir soal dan soal yang dinyatakan tidak valid
sebanyak 16 butir soal dengan nilai reliabilitas
sebesar 0,848.

7

Data hasil pengukuran dianalisis
dengan menggunakan teknis analisis statistik
deskriptif dan teknik analisis statistik
inferensial, yaitu anavar satu arah dan uji
lanjut scheffe.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Sekitar 8 persen peserta didik pada
kelompok yang diajar dengan menggunakan
modul mendapatkan skor dengan kualifikasi
rendah, sedangkan peserta didik yang
mendapatkan skor dengan kualifikasi sedang
sebanyak
92 persen. Skor terendah
yang diperoleh peserta didik adalah 9 dan skor
tertinggi adalah 20. Rata-rata (mean) skor data
hasil pengukuran adalah 15,75. Skor
ratarata yang diperoleh menunjukkan bahwa hasil
belajar matematika Paket B peserta didik
tergolong berada pada kualifikasi sedang.
Sebanyak 33 persen
peserta didik yang
memperoleh nilai di bawah rata-rata dan
sebanyak 50 persen peserta didik yang
memperoleh nilai di atas rata-rata.
Sebesar 25 persen peserta didik pada
kelompok yang diajar dengan menggunakan
metode ceramah mendapatkan skor dengan
kualifikasi rendah, peserta didik yang
mendapatkan nilai dengan kualifikasi sedang
sebanyak 50 persen, dan sebanyak 25 persen
peserta didik yang mendapatkan skor dengan
kualifikasi tinggi. Skor terendah yang
diperoleh peserta didik pada kelompok yang
diajar dengan menggunakan metode ceramah
adalah 9 dan skor tertinggi adalah 23. Skor
Rata-rata (mean) data hasil pengukuran adalah
15,5. Skor rata-rata yang diperoleh
menunjukkan bahwa hasil belajar matematika
Paket B tergolong berada pada kualifikasi
sedang. Peserta didik yang memperoleh nilai
di bawah rata-rata sekitar 58 persen dan
peserta didik yang memperoleh nilai di atas
rata-rata sebanyak 33 persen.
Skor
rata-rata
hasil
belajar
matematika Paket B kelas II pada kedua
kelompok
eksperimen
secara
statistik
dinyatakan tidak berbeda (masing-masing
berada pada kualifikasi sedang) diduga sebagai
akibat: (1) tutor yang mengajar berlatar
belakang
pendidikan
matematika
(S1
matematika) sehingga dapat dimengerti bila
dalam proses belajar mengajar, materi
pelajaran dapat diajarkan secara tuntas dan (2)

tutor yang mengajar pada kedua kelompok
eksperimen
menguasai
dengan
baik
penggunaan modul dan penggunaan metode
ceramah dalam pengajaran matematika Paket
B kelas II. Pada penggunaan metode ceramah,
peserta didik menunjukkan keaktifan dengan
ikut serta bersama-sama tutor dalam
menjelaskan atau menyebutkan sesuatu.
Keaktifan itu juga ditunjukkan dengan
keberanian anak maju ke depan untuk
mengerjakan soal-soal yang ditanyakan tutor
di papan tulis. Pada penggunaan modul,
Peserta didik sangat baik dalam merespon
petunjuk-petunjuk yang diberikan tutor.
Peserta didik tidak begitu mempersoalkan
bentuk penampilan modul. Peserta didik hanya
sering mengeluhkan adanya kesalahankesalahan jawaban pada contoh-contoh soal
dan pada kunci jawaban. Keluhan ini selalu
disampaikan kepada peneliti selama kegiatan
belajar mengajar berlangsung dan peneliti
mengajak peserta didik untuk sama-sama
membetulkannya.
Sebanyak 60 persen peserta didik
pada kelompok yang diajar dengan
menggunakan
metode
konvensional
mendapatkan skor dengan kualifikasi rendah,
sedangkan peserta didik yang mendapatkan
skor dengan kualifikasi sedang sebesar 40
persen. Skor terendah yang diperoleh peserta
didik adalah 4 dan skor tertinggi adalah 15.
Skor rata-rata (mean) data hasil pengukuran
adalah 9,6. Skor rata-rata yang diperoleh
menunjukkan bahwa hasil belajar matematika
Paket B tergolong berada pada kualifikasi
rendah. Peserta didik yang memperoleh nilai
di bawah rata-rata sekitar 47 persen dan
peserta didik yang memperoleh nilai di atas
rata-rata sebanyak 20 persen.
Hasil belajar yang rendah ini diduga
sebagai akibat: (1) kemampuan peserta didik
yang memang lemah dalam menyerap materi
pelajaran yang diajarkan oleh tutor, sehingga
berdampak pada sulitnya peserta didik dalam
mengembangkan materi pelajaran yang telah
diterimanya, (2) materi pelajaran yang
diajarkan oleh tutor tidak tuntas dan tutor
matematika pada kelompok kontrol belum
terlatih dan belum memiliki keterampilan yang
baik dalam memilih dan menggunakan
berbagai metode secara bervariasi dalam
mengajarkan matematika Paket B kelas II, dan
(3) latar belakang pendidikan tutor yang tidak

8

sejalan dengan mata pelajaran yang diajarkan
dan tidak dimilikinya buku acuan atau bahan
bacaan yang dapat dijadikan sebagai pegangan
bagi peserta didik untuk dapat mengulang,
berlatih, dan mengembangkan materi pelajaran
yang telah dipelajarinya. Peserta didik
bergantung sepenuhnya pada bahan pelajaran
yang telah diajarkan secara terbatas oleh tutor.
Pengolahan
data
hasil
pengukuran menunjukkan bahwa
nilai Fhitung sebesar 10,7 ternyata lebih
besar dari nilai Ftabel pada = 0,05
atau F(0,95;2:36)= 3,26 bahkan sampai
pada nilai Ftabel dengan = 0,01 atau
F(0,99;2:36)= 5,25. Hal ini berarti bahwa
terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara hasil belajar
matematika Paket B pada ketiga
kelompok peserta didik yang diajar
matematika
Paket
B
dengan
menggunakan
modul,
metode
ceramah, dan metode konvensional
pada Kejar Paket B kelas II di
Kabupaten Barru Propinsi Sulawesi
Selatan. Dengan kata lain, H0 ditolak
dan H1 diterima.
Hasil penghitungan untuk
menentukan signifikansi perbedaan
hasil belajar dari ketiga kelompok
dengan menggunakan Scheffe test
dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
Tabel. Hasil hitung Scheffe test
Ftabel= F(1Kelompok

;2;38)

F’= (k1)Ftabel
Fhitung

=
0,0
5

=
0,0
1

=
0,0
5

=
0,01

Modul VS
Ceramah

3,2
5

5,2
1

6,5
0

10,4
2

0,0237

Modul VS
Konvensional

3,2
5

5,2
1

6,5
0

10,4
2

15,9183
*)

5,2
1

6,5
0

10,4
2

14,6504
*)

Ceramah
3,2
VS
5
Konvensio
nal
Keterangan:

k=3;

*) sangat signifikan

Berdasarkan
Tabel
menunjukkan
bahwa:
(1)

di
atas,
pengajaran

matematika Paket B dengan menggunakan
modul memberi pengaruh yang sama baiknya
(tidak berbeda) dengan pengajaran matematika
Paket B yang menggunakan metode
ceramah pada Kejar Paket B kelas II di
Kabupaten Barru (karena Fhitung lebih kecil dari
F’), (2) pengajaran matematika Paket B
dengan menggunakan modul memberi
pengaruh yang lebih baik (sangat signifikan)
bila
dibandingkan
dengan
pengajaran
matematika Paket B yang menggunakan
metode konvensional pada Kejar Paket B kelas
II di Kabupaten Barru (karena Fhitung lebih besar
dari F’), dan (3) pengajaran matematika Paket
B dengan menggunakan metode ceramah
memberi pengaruh yang lebih baik (sangat
signifikan)
bila
dibandingkan
dengan
pengajaran matematika Paket B yang
menggunakan metode konvensional pada
Kejar Paket B kelas II di Kabupaten Barru
(karena Fhitung lebih besar dari F’).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat
dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: (1)
hasil belajar matematika Paket B kelas II
untuk kelompok peserta didik yang diajar
dengan menggunakan modul dan hasil belajar
kelompok peserta didik yang diajar dengan
menggunakan metode ceramah masing-masing
berada pada kualifikasi sedang. Hasil belajar
matematika Paket B kelas II untuk kelompok
peserta didik yang diajar dengan menggunakan
metode konvensional berada pada kualifikasi
rendah, (2) terdapat perbedaan antara hasil
belajar matematika Paket B kelas II pada
ketiga kelompok peserta didik yang diajar
dengan
menggunakan
modul,
metode
ceramah, dan metode konvensional. Hasil
belajar kelompok peserta didik yang diajar
dengan menggunakan modul lebih baik bila
dibandingkan dengan hasil belajar kelompok
peserta didik yang diajar dengan menggunakan
metode konvensional. Hal ini berarti bahwa
pengajaran matematika Paket B dengan
menggunakan modul memberi pengaruh yang
lebih baik bila dibandingkan dengan
pengajaran matematika Paket B yang
menggunakan metode konvensional. Hasil
belajar kelompok peserta didik yang diajar
dengan menggunakan metode ceramah lebih
baik bila dibandingkan dengan hasil belajar

9

kelompok peserta didik yang diajar dengan
metode konvensional. Hal ini berarti bahwa
pengajaran matematika Paket B dengan
menggunakan metode ceramah memberi
pengaruh yang lebih baik bila dibandingkan
dengan pengajaran matematika Paket B yang
menggunakan metode konvensional. Hasil
belajar kelompok peserta didik yang diajar
dengan menggunakan modul dianggap sama
baiknya dengan hasil belajar kelompok peserta
didik yang diajar dengan menggunakan
metode ceramah, walaupun skor rata-rata dari
kelompok peserta didik yang diajar dengan
menggunakan modul lebih besar dari skor
rata-rata dari kelompok peserta didik yang
diajar dengan menggunakan metode ceramah.
Berdasarkan kesimpulan tersebut,
dapat dikemukakan saran sebagai berikut:
(1) dalam rangka memperbaiki dan
meningkatkan hasil belajar peserta didik pada
Kejar Paket B, maka salah satu alternatif yang
dapat dilakukan adalah penggunaan modul
dalam proses belajar mengajar yang dilakukan
sesuai dengan prosedural pengajaran modul
yang benar. Oleh karena itu, Dinas Pendidikan
dalam hal ini Sub Dinas Pendidikan Luar
Sekolah, baik di tingkat Propinsi maupun
Kabupaten/Kota perlu: (a) mengfokuskan
penyelenggaraan pelatihan bagi tutor Kejar
Paket B pada pelatihan mata pelajaran dan
cara penggunaan modul sebagai metode
belajar
mengajar,
(b)
mengupayakan
pemenuhan rasio modul 1:1 atau sekurangkurangnya 1:2 dalam arti satu modul untuk
satu atau dua peserta didik Kejar Paket B, (c)
melakukan pendistribusian modul secara
merata sehingga modul-modul tersebut dapat
diterima oleh setiap kelompok belajar (Kejar)
Paket B yang ada di wilayahnya, (d)
menegaskan kepada tutor Kejar Paket B agar
mulai membiasakan diri menggunakan modul
dalam
melaksanakan
kegiatan
belajar
mengajar berdasarkan prosedural pengajaran
modul yang benar, dan (e) merevisi dan
menyempurnakan kembali modul matematika
Paket B yang telah diterbitkan dan digunakan
pada hampir semua Kejar Paket B agar dapat
lebih menarik, fungsional, dan terhindar dari
kesalahan-kesalahan, (2) penggunaan metode
ceramah dalam pembelajaran Paket B oleh
tutor sebaiknya dilakukan bila para tutor sudah
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
baik sehingga memungkinkan peserta didik

dapat menyerap materi pelajaran lebih banyak
sesuai tuntutan kurikulum Paket B yang
berlaku, dan (3) penggunaan metode
konvensional dalam pembelajaran Paket B
sebaiknya dilakukan bila para tutor telah
menguasai dengan baik materi pembelajaran
yang akan diajarkan dan telah terlatih
menggunakan berbagai metode atau teknik
pendekatan secara bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Prasetya, Joko Try. 1997.
Strategi Belajar Mengajar – SBM untuk
Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK.
Bandung: Pustaka Setia
Ali, Muhammad. 2002. Guru dalam Proses
Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Degeng, I Nyoman S. 1989. Ilmu Pengajaran,
Taksonomi Variabel. Jakarta: Depdikbud
Ditjen Dikti
Depdikbud. 1995. Program Pendidikan Luar
Sekolah. Jakarta: Dirjen PLSPO
Depdiknas.
2000.
“Rencana
Strategis
Pembangunan Bidang Pendidikan Luar
Sekolah Tahun 2000-2004”. Fortal
Informasi Pendidikan Indonesia. Online.
(http://www.Depdiknas.Go.Id). Diakses
30 Januari 2005.
__________. 2003a. Pembelajaran dan
Pengajaran
Kontekstual.
Jakarta:
Dikdasmen
__________.
2003b.
Pedoman
Penyelenggaraan Program Paket B
Setara SLTP. Jakarta: Diktentis
Dinas
Pendidikan
Nasional.
2003.
Pengembangan Model Pembelajaran
Paket B Setara SLTP Mata Pelajaran
Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia.
Manado: BPKB
Hasibuan & Moedjiono. 1999. Proses Belajar
Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Nasution, S. 2000. Berbagai pendekatan
dalam Proses Belajar & Mengajar.
Jakarta: Bumi Aksara
Rifa’i, Ahmad. 2002. Penyelenggaraan Wajib
Belajar 9 Tahun Bagi Anak-Anak
Kurang Beruntung di Jawa Tengah.
Semarang: Universitas Negeri Semarang

10

Russel, James D. 1973. Modular Instruction,
Minneapolis.
Minessota:
Burgess
Publishing Company
Sulistyono, T. 2003. Wawasan Pendidikan.
Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen
Suriani. 1993. Studi Eksperimen tentang
Metode Demonstrasi dan Metode
Ceramah dalam Pengajaran Pokok
Lingkaran pada Siswa Kelas I SMA
Negeri Camba Kabupaten Maros.
Laporan
Penelitian.
Tidak
dipublikasikan. Ujung Pandang: IKIP
Suryosubroto. 1983. Sistem Pengajaran
dengan Modul. Jogjakarta: Bina Aksara
Utsman. 2002. Potensi Kelompok Belajar
Paket B untuk Menunjang Wajib Belajar
9 Tahun. Disampaikan dalam rangka
Widya Karya PLSP Dirjen PLSP
Departemen
Pendidikan
Nasional.
Jakarta: 15 Agustus
Wardani, Sri. 2002. Strategi Pembelajaran
yang
Kontekstual/Realistik
dalam
Pembelajaran Matematika. Jakarta:
Depdiknas
Wen, S. 2003. Masa Depan Pendidikan.
Jakarta: Lucky Publisher