Analisis Penatalaksanaan Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru (TB Paru) 2.1.1 Pengertian

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang bersifat kronis (menahun) dan sudah lama menjadi permasalahan kesehatan di dunia. Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis yang dalam istilah Latin disebut Mycobacterium tuberculosis. Kuman penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh ilmuan Jerman yang bernama Robert Koch dan dipublikasikan kepada masyarakat ilmiah pada tanggal 24 Maret 1882. Penyakit tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan, akan tetapi kuman tersebut ditularkan dari seseorang ke orang lain dan menyerang organ paru-paru manusia (Aditama, 2002).

Secara umum, sifat kuman tuberkulosis memiliki ukuran panjang 1 – 10  dan lebar 0,2 – 0,6  dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, tidak meiliki selubung, tetapi memiliki lapisan luar yang tebal dan terdiri dari lipoid. Bakteri ini memiliki sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap pewarnaan dan tidak akan luntur dengan bahan kimia apapun termasuk asam alkohol sehingga sering disebut Basil Tahan Asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik, kuman ini juga tahan dalam keadaan kering dan bersifat dorman dan aerob. Kuman ini akan mati pada pemanasan 600C selama 30 menit, dan dengan kadar alkohol 70 – 95% selama 15 – 30 detik, bakteri ini tahan selama 1 – 2 jam di


(2)

udara terutama ditempat yang lembab dan gelap, namun kuman tuberkulosis tidak tahan terhadap sinar ultraviolet langsung ataupun aliran udara (Kunoli, 2013).

2.1.2 Cara Penularan

Sumber penularan penyakit adalah dari penderita TB Paru pada BTA (+). Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nucle). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru-parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, maka akan semakin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak telihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Kemenkes RI, 2014).


(3)

2.1.3 Risiko Penularan TB Paru

Risiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA (+) memberikan risiko penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA (-). Risiko setiap tahunnya ditunjukkan dengan (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1 %, berarti diantara 1000 penduduk terdapat sepuluh orang terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1 – 3 %. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes RI, 2009).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan meningkatnya risiko penularan pasien TB Paru, antara lain :

- Lokasi penyakitnya (di paru, saluran napas atau laring).

- Terdapatnya batuk atau tenaga yang mendorong kuman tersebut keluar. - Dahak BTA positif.

- Terdapatnya kavitas paru.

- Pasien tidak menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau bersin (Kemenkes RI, 2012).

2.1.4 Gejala – Gejala TB Paru

Gejala TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik (Aditama, 2002).

a. Gejala sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam tidak tinggi selama lebih satu bulan, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.


(4)

b. Sedangkan gejala repiratorik atau gejala saluran pernafasan adalah batuk. Batuk bisa berlangsung secara terus-menerus selama 3 minggu atau lebih. Hal ini terjadi apabila sudah melibatkan brochus. Gejala respiratorik lainnya adalah batuk produktif sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa dahak (sputum). Kadang gejala respiratorik ini ditandai dengan batuk berdarah disebabkan karena pembuluh darah pecah, akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Apabila kerusakan sudah meluas, timbul sesak nafas dan apabila pleura sudah terkena, maka disertai pula dengan rasa nyeri pada dada.

Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2.2 Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) 2.2.1 Pengertian

Puskesmas menurut Kepmenkes RI No. 75 Tahun 2014 adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.


(5)

2.2.2 Upaya Kesehatan Masyarakat

Upaya kesehatan masyarakat yang dilaksanakan oleh puskesmas menurut Kemenkes RI (2014), adalah :

1. Pelayanan promosi kesehatan. 2. Pelayanan kesehatan lingkungan.

3. Pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana. 4. Pelayanan gizi.

5. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit

2.3Program Penanggulangan TB Paru 2.3.1 Rencana Global Pengendalian TBC

STOP TB Par tnership (The Partnership) merupakan gerakan global yang dimulai pada tahun 2000 dengan tujuan untuk mempercepat aksi sosial dan politik dalam upaya menghentikan penyebaran TB paru di seluruh dunia. Visi The Partnership adalah dunia bebas TBC. Visi ini akan dicapai melalui empat misinya, yaitu :

1. Menjamin bahwa setiap penderita TBC mempunyai akses yang efektif terhadap diagnosis, pengobatan dan penyembuhan.

2. Menghentikan penularan TBC.

3. Mengurangi ketidak adilan beban sosial dan ekonomi TBC.

4. Mengembangkan dan melaksanakan strategi preventif, diagnosis dan pengobatan yang baru untuk menghentikan TBC.

Target yang ditetapkan The Partnership sebagai tonggak pencapaian utama adalah :


(6)

1. Pada tahun 2005, setidaknya 70% yang terinfeksi TBC dapat didiagnosis dengan DOTS dan 85% diantaranya dinyatakan sembuh. Persentase ini selanjutnya dipertahankan atau ditingkatkan sampai dengan tahun 2015. 2. Beban global penyakit TBC (prevalensi dan kematian) pada tahun 2015 akan

berkurang 50% dari tahun 1990.

3. TBC bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat global pada tahun 2050.

Selain itu, The Partnership juga mempunyai komitmen untuk mencapai target MDG yang relevan untuk TBC yaitu: “to have halted and begun to reverse the incident of TB” pada tahun 2015. Dalam waktu 10 tahun, akan diterapkan strategi ganda, yaitu akselerasi pengembangan dan penggunaan peralatan yang lebih baik, dan pelaksanaan strategi baru WHO untuk mengendalikan TBC, menggunakan DOTS dan ISTC.

Rencana Global 2006-2015 menerapkan enam elemen utama dalam strategi baru WHO untuk menghentikan TBC. Strategi tersebut adalah :

1. Menerapkan dan memperkuat ekspansi DOTS yang berkualitas, meningkatkan penemuan kasus dan angka kesembuhan melalui pendekatan yang berfokus pada penderita agar pelayanan DOTS yang berkualitas dapat menjangkau seluruh penderita, khususnya kelompok masyarakat yang miskin dan rentan.

2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya, dengan cara memperluas kegiatan TB/HIV bersama, DOTS-Plus dan pendekatan lain yang relevan.


(7)

3. Memberikan kontribusi terhadap penguatan sistem kesehatan dengan bekerjasama dengan program dan pelayanan kesehatan lainnya, misalnya dalam memobilisasi sumber daya manusia dan finansial untuk melaksanakan dan mengevaluasi hasilnya dan dalam menyampaikan dan mempelajari pencapaian dalam program pengendalian TBC.

4. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan swasta, dengan cara memperluas pendekatan berbasis public-private mix (PPM) dengan menggunakan ISTC.

5. Melibatkan penderita TBC dan masyarakat agar memberikan kontribusi dalam pelayanan yang efektif.

6. Memberdayakan dan meningkatkan penelitian untuk obat, diagnosis dan vaksin baru serta meningkatkan kinerja program (Depkes RI, 2006).

2.3.2 Program Nasional Penanggulangan TB Indonesia

Berdasarkan Kemenkes RI (2014), strategi nasional dalam penanggulangan TB Paru di Indonesia antara lain :

a. Visi

“Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan” b. Misi

1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat dan madani dalam pengendalian TB.

2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.


(8)

4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik. c. Tujuan

Tujuan dalam pengendalian TB Paru adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. d. Target

Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun. Pada RPJMN 2015-2019 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100.000 penduduk dari 297 menjadi 245, Persentase kasus baru TB paru BTA (+) yang ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru BTA (+) yang disembuhkan dari 85% menjadi 88%. Target utama pengendalian TB pada tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1 - 2% per tahun menjadi 3 - 4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > 4 - 5% pertahun. Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidens sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidens tahun 2015.

2.3.3 Strategi DOTS (Directly Observed Treatments Shortcourse)

Berdasarkan pendapat Permatasari (2005) Strategi DOTS merupakan strategi penanggulangan TB paru nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60%. Dengan strategi DOTS diharapkan angka


(9)

kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB paru BTA (+) yang ditemukan.

Strategi DOTS adalah pengawasan langsung pengobatan jangka pendek dengan keharusan setiap pengelola program tuberkulosis untuk memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan penderita dengan pemeriksaan mikroskop. Kemudian setiap penderita harus di observasi (observed) dalam menelan obatnya, setiap obat yang ditelan pasien harus di depan seorang pengawas. Pasien juga harus menerima pengobatan (treatment) yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dengan penyediaan obat yang cukup. Kemudian setiap pasien harus mendapat obat yang baik, artinya pengobatan jangka pendek (short course) standard yang telah terbukti ampuh secara klinis. Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang membuat program penanggulangan tuberkulosis mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (Aditama, 2002).

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan penyakit TB (Kemenkes RI, 2014). Tujuan dari pelaksanaan DOTS adalah untuk menjamin kesembuhan bagi penderita penyakit TB paru, mencegah penularan, mencegah resistensi obat, mencegah putus berobat dan segera mengatasi efek samping obat jika timbul, yang pada akhirnya dapat


(10)

menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis di dunia (Sari, 2001). Strategi DOTS mempunyai lima komponen :

6. Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB Nasional Komitmen politik pemerintah dalam mendukung pengawasan tuberkulosis adalah penting terhadap keempat unsur lainnya untuk dijalankan dengan baik. Komitmen ini seyogyanya dimulai dengan keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai perioritas utama dalam program kesehatan. Untuk mendapatkan dampak yang memadai maka harus dibuat program nasional yang menyeluruh yang diikuti dengan pembuatan buku petunjuk (guideline) yang menjelaskan bagaimana DOTS dapat diimplementasikan dalam sistem kesehatan umum yang ada, dan diperlukan dukungan pendanaan dalam hal sarana, prasarana dan peralatan serta tenaga pelaksana yang terlatih untuk dapat mewujudkan program menjadi kegiatan nyata di masyarakat.

7. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis sputum adalah metode yang paling efektif untuk penyaringan terhadap tersangka tuberkulosis paru. WHO merekomendasikan strategi pengawasan tuberkulosis, dilengkapi dengan laboratorium yang berfungsi baik untuk mendeteksi dari mulai awal, tindak lanjutan dan menetapkan pengobatannya. Pemeriksaan mikroskopis ini merupakan pendekatan penemuan kasus secara pasif yang merupakan cara paling efektif dalam menemukan kasus tuberkulosis. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks, dengan kriteria-kriteria yang jelas yang dapat diterapkan di masyarakat.


(11)

8. Pengobatan TB dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO)

Pemberian obat yang diawasi secara langsung, atau dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy), pasien diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, dimana obat yang diberikan harus sesuai standar. Dalam aturan pengobatan tuberkulosis jangka pendek yang berlangsung selama 6 bulan dengan menggunakan kombinasi obat anti TB yang adekuat. Pemberian obat harus berdasarkan apakah pasien diklasifikasikan sebagai kasus baru atau kasus lanjutan/kambuh, dan seyogyanya diberikan secara gratis kepada seluruh pasien tuberkulosis.

Pengawasan pengobatan secara langsung sangat penting selama tahap pengobatan intensif (2 bulan pertama) untuk meyakinkan bahwa obat dimakan dengan kombinasi yang benar dan jangka waktu yang tepat. Dengan pengawasan pengobatan secara langsung, pasien tidak memikul sendiri tanggung jawab akan kepatuhan penggunaan obat. Para petugas pelayanan kesehatan, petugas kesehatan masyarakat, pemerintah dan masyarakat semua harus berbagi tanggung jawab dan memberi banyak dukungan kepada pasien untuk melanjutkan dan menyelesaikan pengobatannya. Pengawas pengobatan bisa jadi siapa saja yang berkeinginan, terlatih, bertanggung jawab, dapat diterima oleh pasien dan bertanggung jawab terhadap pelayanan pengawasan pengobatan tuberkulosis.

9. Kesinambungan persediaan OAT

Jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu, sangat diperlukan guna keteraturan pengobatan. Masalah utama dalam hal ini


(12)

adalah perencanaan dan pemeliharaan sediaan obat pada berbagai tingkat daerah. Maka dari itu diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik, seperti misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang ditangani pada waktu lalu (untuk memperkirakan kebutuhan), data akurat sediaan di masing-masing gudang yang ada, dan lain-lain.

10. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru

Sistem pencatatan dan pelaporan digunakan untuk sistematika evaluasi kemajuan pasien dan hasil pengobatan. Sistem ini terdiri dari daftar laboratorium yang berisi catatan dari semua pasien yang diperiksa sputumnya, kartu pengobatan pasien yang merinci penggunaan obat dan pemeriksaan sputum lanjutan. Setiap pasien tuberkulosis yang diobati harus mempunyai kartu identitas penderita yang telah tercatat di catatan tuberkulosis yang ada di kabupaten. Kemanapun pasien ini pergi, dia harus menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan pengobatannya dan tidak sampai tercatat dua kali (WHO, 1999).

2.4Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Menurut Kemenkes RI (2014), OAT yang digunakan dalam program penanggulangan TB dengan DOTS terdiri dari :

1. Isoniasid / INH (H)

Isoniasid bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang.


(13)

Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.

2. Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama unuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.

3. Pirasinamid (Z)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.

4. Etambutol (E)

Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.

2.5Efek Samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek samping yang merugikan atau berat. Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat segera diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak diperlukan.


(14)

Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mengambil obat. Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat pada kartu pengobatannya.

Efek samping ringan OAT antara lain tidak nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan seperti rasa terbakar di telapak kaki atau tangan, warna kemerahan pada air seni (urine), dan mengalami flu sindrom (demam, menggigil, lemas, sakit kepala, nyeri tulang). Sedangkan efek samping berat OAT adalah bercak kemerahan kulit dengan atau tanpa rasa gatal, gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan, bingung, mual, muntah, gangguan penglihatan, purpura, renjatan (syok), gagal ginjal akut, penurunan produksi urine. Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan tambahan untuk menghilangkan keluhannya. Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasilitas pelayanan kesehatan rujukan guna penatalaksanaan lebih lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit (Kemenkes RI, 2014).


(15)

2.6Tatalaksana Penderita TB Paru 2.6.1 Penemuan Penderita TB Paru

Penemuan pasien tuberkulosis bertujuan mendapatkan pasien TB dengan melakukan kegiatan mulai dari penjaringan terhadap pasien TB, pemeriksaan fisik dan laboratorium, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten dalam melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Menurut Depkes RI (2009), penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke Unit Pelayanan Kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat.

1. Strategi Penemuan Pasien TB

Strategi dalam menemukan penderita TB paru menurut Kemenkes RI (2014), antara lain :

a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi terdampak TB dan populasi rentan.

b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.


(16)

c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan dengan dukungan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.

d. Melibatkan semua fasilitas kesehatan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan.

e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:

1. Kelompok khusus yang rentan atau berisiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV, DM dan malnutrisi

2. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko tinggi terjadinya penularan TB, seperti lapas/rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh dan lain-lain

3. Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB 4. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat

f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan dan gejala yang sama dengan gejala TB.

2. Pemeriksaan Dahak (sputum)

a. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu – Pagi - Sewaktu (SPS) :


(17)

- S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.

- P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

- S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

b. Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal :

- Pasien TB ekstra paru. - Pasien TB anak.

- Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.

Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.


(18)

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi kuman tuberkulosis terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu / Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan obat. Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi (Kemenkes RI, 2014).

2.6.2 Diagnosis TB Paru

Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil pemeriksaan yang dilakukannya pada pasien itu. Kedua, hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan basil tahan asam (BTA) dan/atau basil tuberkulosis secara pembiakan/kultur. Ketiga, hasil pemeriksaan rontgen dada yang akan memperlihatkan gambaran paru orang yang diperiksanya. Selain ketiga patokan utama ini kadang-kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari hasil pemeriksaan darah atau pemeriksaan tambahan yang lain (Aditama, 1994). a. Diagnosis TB Paru

- Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu pemeriksaan dahak sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

- Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB BTA. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui


(19)

pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

- Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

b. Diagnosis TB Ekstra Paru

Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain (Depkes RI, 2009).


(20)

Gambar 2.1 Bagan Alur Diagnosis TB paru

2.6.3 Klasifikasi Penyakit TB Paru

Untuk menentukan klasifikasi penyakit TB paru, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014) :

a. Berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit

1. TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.


(21)

1. TB paru BTA positif

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) hasilnya BTA positif.

- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran TB.

- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. TB paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit

1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.


(22)

2. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

- TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, ulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. - TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,

peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

d. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pasien tuberkulosis berdasarkan hasil uji kepekaan dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dapat diklasifikasikan berupa :

- Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja

- Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan - Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan

Rifampisin (R) secara bersamaan

- Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)

- Resistan Rifa mpisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).


(23)

2.6.4 Tipe Penderita TB Paru

Menurut Kemenkes RI (2014), klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu :

1. Baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kambuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4. Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Pindahan (Transfer in) adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Lain-lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.6.5 Pengobatan TB Paru

Menurut Kemenkes RI (2014), pengobatan TB adalah salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Tujuan dalam pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan pasien dan memperbaiki


(24)

produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian akibat kuman TB, mencegah terjadinya kekambuhan TB, menurunkan angka penularan TB, dan mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat. Pengobatan TB meliputi 2 tahapan, yaitu :

1. Tahap awal

Pada tahapan awal, pengobatan diberikan kepada pasien selama setiap hari dengan maksud untuk menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien secara efektif dan meminimalisir pengaruh dari kuman yang mungkin sudah resisten pada semua pasien baru. Pada tahap ini obat harus diberikan selama 2 bulan dengan pengawasan langsung oleh PMO. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyakit, daya penularan sudah menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.

2. Tahap Lanjutan

Pengobatan pada tahap lanjutan merupakan hal yang penting untuk membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh total dan mencegah terjadinya kekambuhan.

Pengobatan pada penderita TB dengan memadukan obat anti tuberkulosis yang direkomendasihkan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) dalam Penanggulangan Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menurut Kemenkes RI (2014) dibagi menjadi dua kategori, antara lain :


(25)

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Enthambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : a. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis. b. Pasien TB paru terdiagnosis klinis

c. Pasien TB ekstra paru

2. Kategori 2 : (2HRZES) / (HRZE) / 5(HRE)3

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E) dan suntikan sterptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Enthambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Paduan OAT Kategori 1 dan Kategori 2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien dan paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Sedangkan paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.


(26)

Paduan OAT ini disediakan program DOTS untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT-KDT sebelumnya (pengobatan ulang), seperti :

a. Pasien kambuh.

b. Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya.

c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

2.6.6 Pengawasan Menelan Obat

Untuk menjamin keteraturan pengobatan maka diperlukan adanya Pengawasan Minum Obat (PMO). PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita TB dalam meminum obatnya secara teratur dan tuntas. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Kemenkes RI, 2014).

Persyaratan PMO menurut Kemenkes RI (2014) adalah :

1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. 3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.


(27)

4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.

Adapun tugas PMO menurut Kemenkes RI (2014) adalah :

1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan.

2.6.7 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Paru a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB Paru

Menurut Kemenkes RI (2014), pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.


(28)

Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.

Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan hasil pengobatan :

1. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :

- Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis pengobatan tahap lanjutan

- Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5 dan Akhir Pengobatan)

2. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :

a. Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1) :

- Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.


(29)

- Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan). Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat.

- Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5).

b. Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 2) :

- Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur? Apabila tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur. - Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR (Multi drug

resistan).

- Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR.

- Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5).


(30)

- Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis pengobatan selesai diberikan.

- Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR.

- Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR.

- Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1), pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.

- Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap upaya Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.


(31)

Menurut Kemenkes RI (2014), dalam hasil pengobatan pasien TB dibagi 6 kriteria, antara lain :

1. Sembuh, yaitu pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.

2. Pengobatan lengkap, yaitu pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.

3. Gagal, yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT.

4. Meninggal, yaitu pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau sedang dalam pengobatan.

5. Putus berobat (loss to follow-up), yaitu pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.

6. Tidak dievakuasi, yaitu pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.


(32)

2.6.8 Evaluasi Pengobatan

Evaluasi penderita dalam melakukan pengobatan meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, efek samping obat secara klinik, serta evaluasi peraturan berobat (Aditama, 2002).

1. Evaluasi klinik

a. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan.

b. Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.

c. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik. 2. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 bulan pengobatan)

a. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. b. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik :

- Sebelum pengobatan dimulai

- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) - Pada akhir pengobatan

c. Bila ada fasilitas biakan maka dilakukan pemeriksaan biakan. 3. Evaluasi radiologik (0 - 2 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: a. Sebelum pengobatan

b. Setelah 2 bulan pengobatan c. Pada akhir pengobatan


(33)

Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

5. Evalusi keteraturan berobat

a. Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut.

b. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

2.7 Fokus Penelitian

Pada prinsipnya keberhasilan penatalaksanaan program pengobatan tuberkulosis dengan strategi DOTS dapat diukur melalui indikator masukan (input), proses (process), dan luaran (output). Oleh karena itu fokus penelitian dapat disusun sebagai berikut :

Gambar 2.2 Fokus Penelitian Input :

1. Komitmen politis 2. Tenaga Kesehatan 3. Sarana dan

prasarana 4. Pendanaan

Proses : 1. Diagnosis TB melalui

pemeriksaan dahak secara mikroskopis

2. Pengobatan TB dengan OAT yang diawasi oleh PMO

3. Kesinambungan ketersediaan obat

4. Pencatatan dan pelaporan dalam monitoring dan evaluasi Output : Implementasi program penanggulangan TB paru


(34)

Berdasarkan gambar diatas, dapat dirumuskan definisi fokus penelitian sebagai berikut :

1. Masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dalam penatalaksanaan program pengobatan tuberkulosis paru dengan strategi DOTS agar dapat berjalan dengan baik, meliputi : Komitmen politis, Tenaga Kesehatan, Sarana dan Prasarana, Pendanaan.

a. Komitmen politis adalah keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas penting atau utama dalam program kesehatannya, termasuk dukungan dana.

b. Tenaga kesehatan adalah petugas kesehatan yang terlibat dalam penanggulangan TB Paru dan telah mendapatkan pelatihan dalam penanggulangan tuberkulosis serta menerapkan strategi DOTS dalam penatalaksanaan program pengobatan tuberkulosis paru meliputi dokter puskesmas, petugas paru dan petugas laboratorium.

c. Sarana dan prasarana termasuk didalamnya yaitu : tersedianya OAT, peralatan untuk pemeriksaan laboratorium (pot dahak, kaca sediaan, foto toraks), formulir pencatatan dan pelaporan untuk menunjang keberhasilan pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS.

d. Pendanaan adalah adanya materi dalam bentuk uang yang digunakan untuk pelaksanaan penanggulangan TB Paru.

2. Proses (process) adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, meliputi : Diagnosis TB (penemuan penderita TB Paru, pemeriksaan BTA (+), klasifikasi penyakit dan tipe


(35)

pasien), pengobatan TB Paru dengan pengawasan menelan obat, ketersediaan OAT, pencatatan dan pelaporan untuk pemantauan serta hasil pengobatan TB. 3. Keluaran (output) adalah hasil dari suatu penatalaksanaan program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS, diharapkan cakupan penemuan kasus meningkat serta semua penderita TB Paru dapat ditangani dan sembuh sehingga tidak menularkan ke orang lain.


(1)

- Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis pengobatan selesai diberikan.

- Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR.

- Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR.

- Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1), pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.

- Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap upaya Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.


(2)

Menurut Kemenkes RI (2014), dalam hasil pengobatan pasien TB dibagi 6 kriteria, antara lain :

1. Sembuh, yaitu pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.

2. Pengobatan lengkap, yaitu pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.

3. Gagal, yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT.

4. Meninggal, yaitu pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau sedang dalam pengobatan.

5. Putus berobat (loss to follow-up), yaitu pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.

6. Tidak dievakuasi, yaitu pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.


(3)

2.6.8 Evaluasi Pengobatan

Evaluasi penderita dalam melakukan pengobatan meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, efek samping obat secara klinik, serta evaluasi peraturan berobat (Aditama, 2002).

1. Evaluasi klinik

a. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan.

b. Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.

c. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik. 2. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 bulan pengobatan)

a. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. b. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik :

- Sebelum pengobatan dimulai

- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) - Pada akhir pengobatan

c. Bila ada fasilitas biakan maka dilakukan pemeriksaan biakan. 3. Evaluasi radiologik (0 - 2 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: a. Sebelum pengobatan

b. Setelah 2 bulan pengobatan c. Pada akhir pengobatan


(4)

Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

5. Evalusi keteraturan berobat

a. Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut.

b. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

2.7 Fokus Penelitian

Pada prinsipnya keberhasilan penatalaksanaan program pengobatan tuberkulosis dengan strategi DOTS dapat diukur melalui indikator masukan (input), proses (process), dan luaran (output). Oleh karena itu fokus penelitian dapat disusun sebagai berikut :

Gambar 2.2 Fokus Penelitian Input :

1. Komitmen politis 2. Tenaga Kesehatan 3. Sarana dan

prasarana 4. Pendanaan

Proses : 1. Diagnosis TB melalui

pemeriksaan dahak secara mikroskopis

2. Pengobatan TB dengan OAT yang diawasi oleh PMO

3. Kesinambungan ketersediaan obat

4. Pencatatan dan pelaporan dalam monitoring dan evaluasi Output : Implementasi program penanggulangan TB paru


(5)

Berdasarkan gambar diatas, dapat dirumuskan definisi fokus penelitian sebagai berikut :

1. Masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dalam penatalaksanaan program pengobatan tuberkulosis paru dengan strategi DOTS agar dapat berjalan dengan baik, meliputi : Komitmen politis, Tenaga Kesehatan, Sarana dan Prasarana, Pendanaan.

a. Komitmen politis adalah keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas penting atau utama dalam program kesehatannya, termasuk dukungan dana.

b. Tenaga kesehatan adalah petugas kesehatan yang terlibat dalam penanggulangan TB Paru dan telah mendapatkan pelatihan dalam penanggulangan tuberkulosis serta menerapkan strategi DOTS dalam penatalaksanaan program pengobatan tuberkulosis paru meliputi dokter puskesmas, petugas paru dan petugas laboratorium.

c. Sarana dan prasarana termasuk didalamnya yaitu : tersedianya OAT, peralatan untuk pemeriksaan laboratorium (pot dahak, kaca sediaan, foto toraks), formulir pencatatan dan pelaporan untuk menunjang keberhasilan pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS.

d. Pendanaan adalah adanya materi dalam bentuk uang yang digunakan untuk pelaksanaan penanggulangan TB Paru.

2. Proses (process) adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, meliputi : Diagnosis TB (penemuan penderita TB Paru, pemeriksaan BTA (+), klasifikasi penyakit dan tipe


(6)

pasien), pengobatan TB Paru dengan pengawasan menelan obat, ketersediaan OAT, pencatatan dan pelaporan untuk pemantauan serta hasil pengobatan TB. 3. Keluaran (output) adalah hasil dari suatu penatalaksanaan program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS, diharapkan cakupan penemuan kasus meningkat serta semua penderita TB Paru dapat ditangani dan sembuh sehingga tidak menularkan ke orang lain.