Analisis Penatalaksanaan Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

(1)

ANALISIS PENATALAKSANAAN PROGRAM

PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS PARU DENGAN

STRATEGI DOTS DI PUSKESMAS DESA LALANG

KECAMATAN MEDAN SUNGGAL

TAHUN 2015

SKRIPSI

OLEH:

MUHAMMAD MANSUR

NIM. 111000060

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

ANALISIS PENATALAKSANAAN PROGRAM

PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS PARU DENGAN

STRATEGI DOTS DI PUSKESMAS DESA LALANG

KECAMATAN MEDAN SUNGGAL

TAHUN 2015

Skripsi ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH

MUHAMMAD MANSUR

NIM : 111000060

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ANALISIS

PENATALAKSANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN

TUBERKULOSIS PARU DENGAN STRATEGI DOTS DI PUSKESMAS

DESA LALANG KECAMATAN MEDAN SUNGGAL TAHUN 2015” ini

beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, September 2015 Yang membuat pernyataan


(4)

(5)

ABSTRAK

Penyakit Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksi menular yang berdampak luas terhadap kualitas hidup dan mengancam keselamatan jiwa manusia. Sejak tahun 1995, Indonesia menerapkan program pemberantasan TB paru melalui pengobatan TB paru dengan Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang dapat memutuskan rantai penularan penyakitnya. Jumlah penderita TB paru BTA positif di Puskesmas Desa Lalang pada tahun 2014 sebanyak 42 orang dengan angka kesembuhan 59,52%. Hal ini berarti angka kesembuhan di Puskesmas Desa Lalang belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam tentang penatalaksanaan program TB paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi. Informan dalam penelitian ini berjumlah 7 orang, yang terdiri dari 1 orang staf Penanggulangan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan, Kepala Puskesmas Desa Lalang, Petugas TB paru di Puskesmas Desa Lalang, 2 orang pasien TB, 2 orang PMO. Analisa data dengan Miles dan Huberman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penatalaksanaan program TB paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang belum berjalan maksimal. Hal ini dilihat dari kualitas petugas TB paru masih kurang dalam upaya penemuan kasus serta pelatihan kepada pasien TB dalam menampung dahak, penemuan kasus TB paru dilakukan secara pasif dengan menunggu pasien datang berobat, kurangnya pengetahuan pasien dalam menampung dahak yang benar sehingga terjadi kesalahan hasil diagnosa ketika dahak diperiksa secara mikroskopis oleh petugas.

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan agar selalu memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program TB paru secara khusus dan berkelanjutan serta menyediakan alokasi dana kepada petugas TB di puskesmas dalam upaya penjaringan, penemuan kasus dan penyuluhan. Petugas TB paru puskesmas agar melakukan penemuan kasus TB paru secara aktif ke rumah-rumah, dan memberikan penyuluhan kepada pasien mengenai penyakit TB dan pengobatannya.


(6)

ABSTRACK

Pulmonary tuberculosis disease is a contagious infection affect widely to the quality of life and threaten the safety of human soul. Since 1995, Indonesia implement a program of pulmonary tuberculosis eradiction through pulmonary tuberculosis treatment with DOTS strategy (Directly Observed Treatment Shortcourse) which can break the chain of transmisssion of the illness. Number of patients in Desa Lalang Puskesmas with pulmonary tuberculosis BTA positive in 2014 as many as 42 people with 59,52% cure rate. This means that the cure rate at Desa Lalang Puskesmas has not reached the target is at least 85%.

This research was a qualitative research that aimed to see more clearly and deeply about the management of pulmonary tuberculosis program with DOTS strategy at Desa Lalang Puskesmas. Methods of data collection was done by in-depth interviews and observation. Informants in this research amounted to 7 peoples, consisting of employee for Health Problems Tackling at Health Department city of Medan, Head of Desa Lalang Puskesmas, pulmonary tuberculosis officer in Desa Lalang Puskesmas, 2 patients with TB, 2 people of PMO. Analysis of data used Miles and Huberman.

The results showed that the management of pulmonary tuberculosis program with DOTS strategy at Desa Lalang Puskesmas not running optimally. It is seen from the quality of personnel is still lacking in the pulmonary tuberculosis case finding effort and training to accommodate patients with TB in sputum, pulmonary tuberculosis case finding carried passively by waiting patients came with medical treatment, lack of knowledge of the patients in the sputum accommodate the correct diagnosis so that an error occurred when sputum examined microscopically by officer.

Based on the results of the research, expected to Medan City Health Department in order to constantly monitor and evaluate the implementation of programs specifically pulmonary tuberculosis and sustainable and provides for the allocation of funds to the officers of TB in public health center in an effort to crawl, case finding and counseling. Officers pulmonary tuberculosis in order to perform the invention of active pulmonary tuberculosis cases to homes and provide counseling to patients about pulmonary tuberculosis disease and its treatment.


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Muhammad Mansur

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/09 Juni 1993

Agama : Islam

Anak ke : 2 dari 5 bersaudara

Alamat Rumah : Dusun III Sidorejo Desa Manunggang Jae, Kec. Padang Sidimpuan Tenggara

Nama Ayah : Peltu Purn. H. Muhasim Suku Bangsa Ayah : Jawa

Nama Ibu : Nurliah S.Pdi Suku Bangsa Ibu : Banjar Riwayat Pendidikan :

1. Tahun 1998-1999 : TK Kartika Yonkav 6/Serbu Medan 2. Tahun 1999-2005 : SD Negeri 065011 Medan

3. Tahun 2005-2008 : MTs Ponpes Baharuddin Tapsel 4. Tahun 2008-2011 : MAS Ponpes Baharuddin Tapsel

5. Tahun 2011-2015 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Riwayat Organisasi :

1. Tahun 2012-2013 : Departemen PA HMI Komisariat FKM USU

2. Tahun 2012-2013 : Wakil Sekretaris Umum HMI Komisariat FKM USU 3. Tahun 2014-2015 : Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan HMI


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Penatalaksanaan Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Dalam penyusunan ini mulai dari awal hingga akhir penulis banyak memperoleh bimbingan, dukungan, bantuan, saran dan kritik dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak dr. Heldy B.Z., MPH, selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan kritik, saran dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini.

3. Ibu Siti Khadijah Nasution, SKM, M.Kes, selaku Dosen pembimbing I dan Ketua Penguji yang telah banyak membimbing, meluangkan waktu, memberikan pengarahan, dukungan, dan saran dalam penyelesaian skripsi ini.


(9)

4. Ibu dr. Rusmalawaty, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Penguji I yang telah banyak meluangkan waktu, bimbingan, pengarahan, dan saran kepada penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.

5. Bapak dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Penguji III yang telah banyak memberikan kritik, saran dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini. 6. Seluruh dosen dan staf di FKM USU , terutama Departemen AKK yang telah

memberikan bekal ilmu selama perkuliahan.

7. Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.

8. Ibu Hj. Dwi Sophia A, SKM selaku Pegawai Penanggulangan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.

9. Ibu dr. Hj. Rafidah, SpAK selaku Kepala Puskesmas, Ibu Evita Hrp, SKM selaku Kepala Tata Usaha dan Ibu Juwita Rismauli M, AMK selaku Petugas TB Paru di Puskesmas Desa Lalang yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.

10. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Peltu Purn. H. Muhasim dan Ibunda Nurliah S.Pdi yang senantiasa memberikan do’a, kasih sayang, semangat, serta dukungan kepada penulis selama ini.

11. Keluarga penulis tersayang Abangku Miftahurrahman, S.Sos.I, dan adik-adikku Abdul Ghoffar, Abdul Ghofur, dan Syahrun Mubarok dan seluruh keluarga besar penulis yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.


(10)

12. Sahabat-sahabatku Agung, Aisyah, Kurnia, Irmayanti, Halid, Ikhsan, Ridwan, Sawal, Samuel, Nur asiah, Imam, Mina terima kasih untuk motivasi dan bantuannya.

13. Bang Putra, Kak Magda, Kak Adel, Kak Siti, Kak Eci, Rovy, dan Bang Harry yang telah memberikan semangat, bantuan dan dukungan kepada penulis. 14. Teman-teman seperjuangan di FKM USU, Adib, Berkah, Joen, Gio, Abkar,

Rizal, Iron, Freddy, Eko, Jonri, Lenni, Juliana, Bayu, Asih, Nisa, Kak Nur, Lamtiur, Ervina, Geby, Nuansa, Fannisa

15. Haris, Widnas, Wahana, Lindra, Dwi, Debi, Utet, Ali, Bayu, dan adik -adik pengurus HMI Komisariat FKM USU periode 2014-2015 yang telah banyak memberikan ilmu serta dukungan kepada penulis.

16. Seluruh keluarga besar IKBAPEMBA Pondok Pesantren Baharuddin.

17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu, memberikan semangat, dukungan dan do’a selama ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, Agustus 2015


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1Tuberkulosis Paru (TB Paru) ... 11

2.1.1 Pengertian ... 11

2.1.2 Cara Penularan ... 12

2.1.3 Risiko Penularan TB Paru ... 13

2.1.4 Gejala-Gejala TB Paru ... 13

2.2Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) ... 14

2.2.1 Pengertian ... 14

2.2.2 Upaya Kesehatan Masyarakat ... 15

2.3Program Penanggulangan TB Paru ... 15

2.3.1 Rencana Global Pengendalian TBC ... 15

2.3.2 Program Nasional Penanggulangan TB Indonesia ... 17

2.3.3 Strategi DOTS (Directly Observed Treatments Shortcourse) ... 18

2.4Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ... 22

2.5Efek Samping OAT ... 23

2.6Tatalaksana Penderita TB Paru ... 25

2.6.1 Penemuan Penderita TB Paru ... 25

2.6.2 Diagnosis TB Paru ... 28

2.6.3 Klasifikasi Penyakit TB Paru ... 30

2.6.4 Tipe Penderita TB Paru ... 33

2.6.5 Pengobatan TB Paru ... 33

2.6.6 Pengawasan Menelan Obat ... 36

2.6.7 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Paru ... 37

2.6.8 Evaluasi Pengobatan ... 42


(12)

BAB III METODE PENELITIAN ... 46

3.1Jenis Penelitian ... 46

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

3.2.1 Lokasi ... 46

3.2.2 Waktu Penelitian ... 47

3.3Informan Penelitian ... 47

3.4Metode Pengumpulan Data ... 47

3.4.1 Data Primer ... 47

3.4.2 Data Sekunder ... 48

3.5Triangulasi ... 48

3.6Teknik Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 49

4.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 49

4.1.1 Letak Geografis ... 49

4.1.2 Demografis ... 49

4.1.3 Sumber Daya Kesehatan ... 50

4.2Karakteristik Informan ... 50

4.3 Wawancara Program Penanggulangan TB Paru Dengan Strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang Tahun 2015 ... 52

4.3.1 Pernyataan Informan tentang Komitmen Politis dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 52

4.3.2 Pernyataan Informan tentang Kerjasama dalam Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 53

4.3.3 Pernyataan Informan tentang Jumlah dan Pekerjaan Petugas TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 53

4.3.4 Pernyataan Informan tentang Pelatihan Petugas dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 54

4.3.5 Pernyataan Informan tentang Pelayanan yang Dilakukan Oleh Petugas Kesehatan di Puskesmas Desa Lalang ... 55

4.3.6 Pernyataan Informan tentang Penyuluhan Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 56

4.3.7 Pernyataan Informan tentang Sumber Pendanaan dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 57

4.3.8 Pernyataan Informan tentang Sarana dan Prasarana yang Diperlukan dalam Pelaksanaan Program TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 58

4.3.9 Pernyataan Informan tentang Alur Pemeriksaan Penderita TB Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang ... 59

4.3.10 Pernyataan Informan tentang Diagnosa Penderita TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 61

4.3.11 Pernyataan Informan tentang Pengobatan TB Paru Dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang Diawasi Oleh PMO di Puskesmas Desa Lalang ... 63


(13)

4.3.12 Pernyataan Informan tentang Tugas Pengawas Menelan Obat

(PMO) di Puskesmas Desa Lalang ... 65

4.3.13 Pernyataan Informan tentang Ketersediaan OAT di Puskesmas Desa Lalang ... 65

4.3.14 Pernyataan Informan tentang Pencatatan dan Pelaporan yang Dilakukan dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 66

4.3.15 Pernyataan Informan tentang Sistem Pemantauan dan Evaluasi yang Dilakukan dalam Penatalaksanaan Program TB Paru dengan DOTS ... 67

4.3.16 Pernyataan Informan tentang Tantangan Internal maupun Eksternal dalam Pelaksanaan Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 68

4.3.17 Pernyataan Informan tentang Strategi dalam Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 69

4.4 Rangkuman Hasil Wawancara Informan Tentang Penatalaksanaan Program Penanggulangan TB Paru dengan Strategi DOTS ... 70

BAB V PEMBAHASAN ... 73

5.1 Masukan (Input) ... 73

5.1.1Komitmen Politis ... 73

5.1.2Tenaga Kesehatan ... 75

5.1.3Sarana dan Prasarana ... 78

5.1.4Pendanaan ... 79

5.2 Proses (Procces) ... 81

5.2.1 Diagnosis TB ... 82

5.2.2 Pengobatan TB dengan OAT yang Diawasi Oleh PMO ... 85

5.2.3 Kesinambungan Ketersediaan Obat ... 89

5.2.4 Pencatatan dan Pelaporan dalam Monitoring dan Evaluasi ... 90

5.3 Keluaran (Output) ... 93

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

6.1 Kesimpulan ... 95

6.2 Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... xiv LAMPIRAN

Pedoman Wawancara

Surat Izin penelitian dari FKM USU

Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Medan Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1 Jumlah Penderita TB Paru per Wilayah Unit Pelayanan

Kesehatan (UPK) di Kota Medan Tahun 2014 ... 6 Tabel 4.1 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah

Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 49 Tabel 4.2 Data Sarana Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Desa

Lalang Tahun 2014 ... 50 Tabel 4.3 Data Tenaga Kesehatan Puskesmas Desa Lalang Tahun

2014 ... 50 Tabel 4.4 Karakteristik Informan ... 51 Tabel 4.5 Matriks Pernyataan Informan tentang Komitmen Politis

dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 52 Tabel 4.6 Matriks Pernyataan Informan tentang Kerjasama dalam

Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 53 Tabel 4.7 Matriks Pernyataan Informan tentang Jumlah dan Pekerjaan

Petugas TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 53 Tabel 4.8 Matriks Pernyataan Informan tentang Pelatihan Petugas

dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 54 Tabel 4.9 Matriks Pernyataan Informan tentang Pelayanan yang

Dilakukan Oleh Petugas Kesehatan di Puskesmas Desa Lalang ... 55 Tabel 4.10 Matriks Pernyataan Informan tentang Penyuluhan Program

Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 56 Tabel 4.11 Matriks Pernyataan tentang Sumber Pendanaan dalam

Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 57 Tabel 4.12 Matriks Pernyataan Informan tentang Sarana dan Prasarana

yang Diperlukan dalam Pelaksanaan Program TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 58 Tabel 4.13 Matriks Pernyataan Informan tentang Alur Pemeriksaan

Penderita TB Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang ... 59 Tabel 4.14 Matriks Pernyataan Informan tentang Diagnosa Penderita

TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 61 Tabel 4.15 Matriks Pernyataan Informan tentang Pengobatan TB Paru

Dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Puskesmas Desa Lalang ... 63 Tabel 4.16 Matriks Pernyataan Informan tentang Tugas Pengawas


(15)

Tabel 4.17 Matriks Pernyataan Informan tentang Ketersediaan OAT di Puskesmas Desa Lalang ... 65 Tabel 4.18 Matriks Pernyataan Informan tentang Pencatatan dan

Pelaporan yang dilakukan dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 66 Tabel 4.19 Matriks Pernyataan Informan tentang Sistem Pemantauan

dan Evaluasi yang dilakukan dalam Penatalaksanaan Program TB Paru dengan DOTS ... 67 Tabel 4.20 Matriks Pernyataan Informan tentang Tantangan Internal

maupun Eksternal dalam Pelaksanaan Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 68 Tabel 4.21 Matriks Pernyataan Informan tentang Strategi dalam

Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Desa Lalang ... 69 Tabel 4.22 Matriks Rangkuman Hasil Wawancara Informan tentang

Penatalaksanaan Program Penanggulangan TB Paru dengan Strategi DOTS ... 70


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Bagan Alur Diagnosis TB Paru ... 30 Gambar 2.2 Fokus Penelitian ... 43


(17)

ABSTRAK

Penyakit Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksi menular yang berdampak luas terhadap kualitas hidup dan mengancam keselamatan jiwa manusia. Sejak tahun 1995, Indonesia menerapkan program pemberantasan TB paru melalui pengobatan TB paru dengan Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang dapat memutuskan rantai penularan penyakitnya. Jumlah penderita TB paru BTA positif di Puskesmas Desa Lalang pada tahun 2014 sebanyak 42 orang dengan angka kesembuhan 59,52%. Hal ini berarti angka kesembuhan di Puskesmas Desa Lalang belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam tentang penatalaksanaan program TB paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi. Informan dalam penelitian ini berjumlah 7 orang, yang terdiri dari 1 orang staf Penanggulangan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan, Kepala Puskesmas Desa Lalang, Petugas TB paru di Puskesmas Desa Lalang, 2 orang pasien TB, 2 orang PMO. Analisa data dengan Miles dan Huberman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penatalaksanaan program TB paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang belum berjalan maksimal. Hal ini dilihat dari kualitas petugas TB paru masih kurang dalam upaya penemuan kasus serta pelatihan kepada pasien TB dalam menampung dahak, penemuan kasus TB paru dilakukan secara pasif dengan menunggu pasien datang berobat, kurangnya pengetahuan pasien dalam menampung dahak yang benar sehingga terjadi kesalahan hasil diagnosa ketika dahak diperiksa secara mikroskopis oleh petugas.

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan agar selalu memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program TB paru secara khusus dan berkelanjutan serta menyediakan alokasi dana kepada petugas TB di puskesmas dalam upaya penjaringan, penemuan kasus dan penyuluhan. Petugas TB paru puskesmas agar melakukan penemuan kasus TB paru secara aktif ke rumah-rumah, dan memberikan penyuluhan kepada pasien mengenai penyakit TB dan pengobatannya.


(18)

ABSTRACK

Pulmonary tuberculosis disease is a contagious infection affect widely to the quality of life and threaten the safety of human soul. Since 1995, Indonesia implement a program of pulmonary tuberculosis eradiction through pulmonary tuberculosis treatment with DOTS strategy (Directly Observed Treatment Shortcourse) which can break the chain of transmisssion of the illness. Number of patients in Desa Lalang Puskesmas with pulmonary tuberculosis BTA positive in 2014 as many as 42 people with 59,52% cure rate. This means that the cure rate at Desa Lalang Puskesmas has not reached the target is at least 85%.

This research was a qualitative research that aimed to see more clearly and deeply about the management of pulmonary tuberculosis program with DOTS strategy at Desa Lalang Puskesmas. Methods of data collection was done by in-depth interviews and observation. Informants in this research amounted to 7 peoples, consisting of employee for Health Problems Tackling at Health Department city of Medan, Head of Desa Lalang Puskesmas, pulmonary tuberculosis officer in Desa Lalang Puskesmas, 2 patients with TB, 2 people of PMO. Analysis of data used Miles and Huberman.

The results showed that the management of pulmonary tuberculosis program with DOTS strategy at Desa Lalang Puskesmas not running optimally. It is seen from the quality of personnel is still lacking in the pulmonary tuberculosis case finding effort and training to accommodate patients with TB in sputum, pulmonary tuberculosis case finding carried passively by waiting patients came with medical treatment, lack of knowledge of the patients in the sputum accommodate the correct diagnosis so that an error occurred when sputum examined microscopically by officer.

Based on the results of the research, expected to Medan City Health Department in order to constantly monitor and evaluate the implementation of programs specifically pulmonary tuberculosis and sustainable and provides for the allocation of funds to the officers of TB in public health center in an effort to crawl, case finding and counseling. Officers pulmonary tuberculosis in order to perform the invention of active pulmonary tuberculosis cases to homes and provide counseling to patients about pulmonary tuberculosis disease and its treatment.


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan bagian utama dari misi pemerintah dalam dimensi pembangunan manusia dan masyarakat yang menghasilkan manusia - manusia Indonesia unggul dengan meningkatkan kecerdasan otak dan kesehatan fisik melalui pendidikan, kesehatan dan perbaikan gizi serta merupakan misi kelima untuk mencapai pembangunan kesehatan yang berkeadilan. Hal ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Dalam RPJMN tersebut, salah satu misi pemerintah adalah mewujudkan kualitas hidup masyarakat Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera (BPPN, 2014).

Status derajat kesehatan dan asupan gizi masyarakat sebagai sasaran pembangunan kesehatan yang pertama menggambarkan prioritas yang akan dicapai dalam pembangunan kesehatan. Sasaran tersebut dikembangkan menjadi sasaran-sasaran yang lebih spesifik, termasuk sasaran angka kesembuhan penyakit Tuberkulosis (TB) (Kemenkes RI, 2011).

TB merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat ini masih tinggi kasusnya di masyarakat. TB berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. TB merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. TB dapat diderita oleh siapa saja, orang dewasa atau anak-anak dan dapat mengenai seluruh


(20)

organ tubuh kita, walaupun yang banyak diserang adalah organ paru (WHO, 2014).

Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) dalam Global Tuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir ini. Insidens TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun 2010-2011. Diperkirakan pada tahun 2011 insidens kasus TB mencapai 8,7 juta dan 990.000 orang meninggal karena TB. Secara global diperkirakan insidens TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus dengan riwayat pengobatan. Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang. Sebagian besar kasus ditemukan di Asia Tenggara, Afrika dan wilayah pasifik barat.

Berdasarkan laporan WHO dalam Global Tuberculosis Report 2014, Indonesia menempati urutan kelima terbesar di dunia sebagai penyumbang penderita TB setelah negara India, Cina, Nigeria, dan Pakistan. Tingkat resiko terkena penyakit TB di Indonesia berkisar antara 1,7% hingga 4,4%. Secara nasional, TB dapat membunuh sekitar 67.000 orang setiap tahun, setiap hari 183 orang meninggal akibat penyakit TB di Indonesia (Kemenkes RI, 2013).

Dilihat dari kondisi tersebut, diperlukan adanya upaya program penanggulangan penyakit TB. Sejak tahun 1995, Program Pemberantasan TB telah dilaksanakan secara bertahap di Puskesmas dengan penerapan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO. Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan Gerakan Terpadu Nasional


(21)

(GERDUNAS) TB yang dibentuk oleh pemerintah pada tanggal 24 maret 1999, maka pemberantasan penyakit TB telah berubah menjadi program penanggulangan TB Paru. Ada lima komponen dalam strategi DOTS yaitu:

1. Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB nasional. 2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

3. Pengobatan TB dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO).

4. Kesinambungan persediaan OAT.

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru (Kemenkes RI, 2014).

Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi DOTS yang mampu mengendalikan penyakit TB karena dapat memutuskan rantai penularan penyakitnya. Meskipun Program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai target angka penemuan dan angka kesembuhan, namun penatalaksanaan TB di sebagian besar puskesmas, rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan strategi DOTS dan penerapan standar pelayanan berdasarkan International Standards for Tubercolusis Care (ISTC) (Kemenkes RI, 2013).

Jumlah penemuan kasus yang dicapai Indonesia dalam menanggulangi TB hingga saat ini mengalami penurunan. Angka penemuan kasus baru TB paru BTA (+) pada tahun 2013 yang ditemukan sebanyak 196.310 kasus (81%), pada tahun sebelumnya kasus baru TB paru BTA (+) yang ditemukan sebesar 202.301 kasus (84%). Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah. Kasus baru


(22)

BTA (+) di tiga provinsi tersebut hampir sebesar 40% dari jumlah kasus di Indonesia. Keberhasilan pengobatan TB pada tahun 2013 meningkat menjadi 90,5% dibandingkan pada tahun 2012 yaitu sebesar 90,2% pada kelompok penderita TB (Kemenkes RI, 2014).

Kesuksesan dalam penanggulangan TB adalah dengan menemukan penderita dan mengobati penderita sampai sembuh. WHO menetapkan target global Case Detection Rate (CDR) atau penemuan kasus TB sebesar 70% dan Cure Rate (CR) atau angka kesembuhan pengobatan sebesar 85%. Angka kesembuhan menunjukkan persentasi pasien TB paru BTA (+) yang sembuh setelah selesai masa pengobatan diantara pasien TB paru BTA (+) yang tercatat (Kemenkes RI, 2011).

Kesembuhan pengobatan TB dapat dicapai dengan keteraturan dan kepatuhan berobat bagi setiap penderita. Paduan obat anti tuberkulosis jangka pendek dan penerapan pengawasan minum obat merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita. Obat yang dikonsumsi baik tetapi bila penderita tidak berobat dengan teratur maka umumnya hasil pengobatan akan mengecewakan. Selain itu, obat yang diberikan beberapa macam sekaligus serta pengobatannya memakan waktu lama setidaknya 6 bulan sehingga penderita banyak yang putus obat dan mengakibatkan resisten terhadap obat yang telah di konsumsi sebelumnya. Penyebabnya adalah kurangnya perhatian pada tuberkulosis dari berbagai pihak terkait, sehingga program penanggulangan TB di berbagai tempat menjadi sangat lemah (Dinkes Sumut, 2010).


(23)

Jumlah kasus TB paru BTA (+) di Sumatera Utara pada tahun 2008, kasus TB paru sekitar 14.158 kasus dan mengalami peningkatan menjadi 17.026 kasus pada tahun 2009 (Dinkes Sumut, 2010). Pada tahun 2012 juga mengalami peningkatan sebesar 17.459 kasus (82,57%) namun pada tahun 2013 terjadi penurunan menjadi 15.414 kasus (72,29%) (Dinkes Sumut, 2014).

Kasus TB Paru di Kota Medan tahun 2013 secara klinis terjadi peningkatan dari tahun 2012. Angka penemuan TB pada tahun 2012 yaitu sebesar 21.079 kasus dengan 3.037 kasus TB Paru BTA (+), sedangkan pada tahun 2013 ditemukan sebesar 26.330 kasus dengan 2.894 kasus TB Paru BTA (+) dimana seluruhnya mendapatkan penanganan pengobatan dengan kesembuhan 2.163 orang (74,74%) serta angka keberhasilan pengobatan sebesar 79,03%. Selain itu, dari 39 puskesmas yang ada di Kota Medan terdapat 1.729 penderita TB Paru BTA (+). Dari 1.729 penderita TB Paru BTA (+) sebanyak 1.616 penderita (87,67%) diberikan pengobatan (Profil Dinkes Kota Medan, 2014).

Dari data Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2014, terdapat 11 Puskesmas yang mengalami kesembuhan di bawah 85% dari 39 Puskesmas yang ada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan. Kesebelas puskesmas tersebut antaranya Puskesmas Desa Lalang dengan angka kesembuhan 59,52%, Puskesmas Sunggal dengan angka kesembuhan 73,53%, Puskesmas Simalingkar dengan angka kesembuhan 82,93%, Puskesmas Kedai Durian dengan angka kesembuhan 83,33%, Puskesmas Tegal Sari dengan angka kesembuhan 78,57%, Puskesmas Medan Denai dengan angka kesembuhan 78,72%, Puskesmas Bromo dengan angka kesembuhan 84%, Puskesmas Kota Matsum dengan angka kesembuhan


(24)

80,95%, Puskesmas Medan Area Selatan dengan angka kesembuhan 72,73%, Puskesmas Bestari dengan angka kesembuhan 76,92%, Puskesmas Rantang dengan angka kesembuhan 71,43%.

Adapun jumlah penderita TB Paru per Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) di Kota Medan Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 1.1

Tabel 1.1 Jumlah Penderita TB Paru per wilayah Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) di Kota Medan Tahun 2013

No. Puskesmas BTA (+) Diobati Kesembuhan %

1 Tuntungan 9 8 88,89

2 Simalingkar 41 34 82,93

3 Medan Johor 80 76 95

4 Kedai Durian 36 30 83,33

5 Amplas 69 68 98,55

6 Dea Binjei 26 26 100

7 Tegal Sari 28 22 78,57

8 Medan Denai 47 37 78,72

9 Bromo 25 21 84

10 Desa Lalang 42 25 59,52

11 Sunggal 34 25 73,53

12 Kota Matsum 21 17 80,95

13 Sukaramai 37 36 97,30

14 Medan Area Selatan 22 16 72,73

15 Teladan 143 143 100

16 Pasar Merah 43 43 100

17 Simpang Limun 43 42 97,67

18 Kampung Baru 52 50 96,15

19 Polonia 29 27 93,10

20 Padang Bulan 56 54 96,43

21 PB. Selayang 72 72 100

22 Helvetia 90 88 97,78

23 Bestari 13 10 76,92

24 Darussalam 30 30 100

25 Rantang 28 20 71,43

26 Glugur Kota 5 4 80

27 Pulo Brayan 3 3 100

28 Sei Agul 32 32 100

29 Glugur Darat 31 31 100

30 Sentosa Baru 66 66 100

31 Mandala 53 53 100


(25)

33 Medan Deli 82 78 95,12

34 Titi Papan 22 21 95,45

35 Medan Labuhan 5 4 80

36 Pekan Labuhan 33 30 90,91

37 Martubung 45 45 100

38 Terjun 64 62 96,88

39 Belawan 113 110 97,35

Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2014

Data diatas menunjukkan bahwa angka kesembuhan penderita TB Paru terendah terdapat di Puskesmas Desa Lalang. Jumlah penderita TB Paru BTA (+) yang diobati di Puskesmas tersebut pada tahun 2014 sebanyak 42 penderita. Dari 42 penderita, jumlah penderita yang dinyatakan sembuh hanya 25 penderita (59,52%). Hal ini menunjukkan angka kesembuhan penderita TB belum mencapai target yang ditetapkan yaitu sebesar 85%. Sedangkan angka penemuan kasus di Puskesmas Desa lalang pada tahun 2013 sekitar 92 kasus dengan BTA (+) sebesar 23 kasus (Profil Dinkes Kota Medan, 2014).

Penelitian Simamora (2004), menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB adalah pengetahuan penderita tentang pengobatan TB, ada tidaknya PMO, efek samping obat, perilaku petugas kesehatan, persepsi pasien terhadap penyuluhan kesehatan dan jarak antara rumah dengan fasilitas pelayanan kesehatan. Hasil penelitian lainnya, Nukman (Permatasari, 2005), faktor yang memengaruhi keberhasilan TB paru adalah: a) faktor sarana yang meliputi tersedianya obat yang cukup dan kontiniu, edukasi petugas kesehatan, dan pemberian obat yang adekuat, b) faktor penderita yang meliputi pengetahuan, kesadaran dan tekad untuk sembuh, dan kebersihan diri, c) faktor keluarga dan lingkungan masyarakat.


(26)

Penelitian Hasibuan (2011), menunjukkan bahwa kepatuhan penderita, dukungan keluarga/PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab memiliki hubungan dengan tingkat kesembuhan pengobatan TB paru. Penelitian Amiruddin (2006) menunjukkan bahwa terdapat 3 variabel yang memengaruhi terjadinya kesembuhan dalam pengobatan penderita TB paru di Kota Ambon yakni Pengawas Minum Obat (PMO), kepatuhan berobat penderita TB paru dan efek samping obat.

Berdasarkan survei pendahuluan penulis di Puskesmas Desa Lalang dapat diketahui bahwa Puskesmas Desa Lalang merupakan kategori puskesmas satelit, artinya puskesmas tersebut tidak memiliki fasilitas laboratorium sendiri, dan hanya membuat sediaan apus dahak dan difiksasi saja, kemudian sampel dahak di kirim ke Puskesmas Helvetia sebagai Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM). Selain itu, petugas penyakit menular terutama bagian TB paru telah mendapatkan pelatihan penanggulangan TB paru dan telah menerapkan program penanggulangan TB dengan strategi DOTS, namun angka penemuan suspek kasus TB paru masih kurang dan angka kesembuhan yang dicapai masih tidak sesuai target yang diharapkan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) juga selalu tersedia untuk pasien TB paru di puskesmas dan setiap penderita memiliki kartu identitas penderita agar penderita tidak mangkir ke tempat lain.

Diketahui juga dari pernyataan penderita TB yaitu kurangnya motivasi berobat baik motivasi yang berasal dari individu itu sendiri maupun dari luar dirinya. Salah satu penyebabnya adalah karena penderita merasa lelah dan bosan


(27)

dalam menjalani pengobatan serta kurangnya pengawasan dalam meminum obat TB paru sehingga penderita TB tidak tuntas dalam pengobatannya.

Untuk menanggulangi hal tersebut, maka program TB paru di prioritaskan terhadap peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk menuntaskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman Tuberkulosis di masyarakat dengan strategi DOTS atau pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari, terutama pada 2 atau 3 bulan pengobatan pertama.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis penatalaksanaan program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang, Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu walaupun seluruh puskesmas di Wilayah Kota Medan telah melaksanakan program penanggulangan TB Paru dengan Strategi DOTS, namun angka penemuan kasus masih rendah serta angka kesembuhan di Puskesmas Desa Lalang masih sangat rendah dan jauh dari capaian target yang telah di tetapkan oleh WHO.


(28)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penatalaksanaan program penanggulangan TB Paru pada penderita dengan strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang, Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada stakeholder dalam hal ini bagi Dinas Kesehatan Kota Medan mengenai penanggulangan penyakit TB Paru.

2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Desa Lalang dalam melaksanakan program penanggulangan TB Paru dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada penderita TB Paru.

3. Sebagai bahan informasi dan pengembangan wawasan keilmuan bagi peneliti lain, khususnya mengenai penanggulangan TB Paru.

4. Sebagai tambahan informasi dalam pengembangan kajian dan ilmu di bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru (TB Paru)

2.1.1 Pengertian

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang bersifat kronis (menahun) dan sudah lama menjadi permasalahan kesehatan di dunia. Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis yang dalam istilah Latin disebut Mycobacterium tuberculosis. Kuman penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh ilmuan Jerman yang bernama Robert Koch dan dipublikasikan kepada masyarakat ilmiah pada tanggal 24 Maret 1882. Penyakit tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan, akan tetapi kuman tersebut ditularkan dari seseorang ke orang lain dan menyerang organ paru-paru manusia (Aditama, 2002).

Secara umum, sifat kuman tuberkulosis memiliki ukuran panjang 1 – 10  dan lebar 0,2 – 0,6  dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, tidak meiliki selubung, tetapi memiliki lapisan luar yang tebal dan terdiri dari lipoid. Bakteri ini memiliki sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap pewarnaan dan tidak akan luntur dengan bahan kimia apapun termasuk asam alkohol sehingga sering disebut Basil Tahan Asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik, kuman ini juga tahan dalam keadaan kering dan bersifat dorman dan aerob. Kuman ini akan mati pada pemanasan 600C selama 30 menit, dan dengan kadar alkohol 70 – 95% selama 15 – 30 detik, bakteri ini tahan selama 1 – 2 jam di


(30)

udara terutama ditempat yang lembab dan gelap, namun kuman tuberkulosis tidak tahan terhadap sinar ultraviolet langsung ataupun aliran udara (Kunoli, 2013).

2.1.2 Cara Penularan

Sumber penularan penyakit adalah dari penderita TB Paru pada BTA (+). Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nucle). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru-parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, maka akan semakin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak telihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Kemenkes RI, 2014).


(31)

2.1.3 Risiko Penularan TB Paru

Risiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA (+) memberikan risiko penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA (-). Risiko setiap tahunnya ditunjukkan dengan (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1 %, berarti diantara 1000 penduduk terdapat sepuluh orang terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1 – 3 %. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes RI, 2009).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan meningkatnya risiko penularan pasien TB Paru, antara lain :

- Lokasi penyakitnya (di paru, saluran napas atau laring).

- Terdapatnya batuk atau tenaga yang mendorong kuman tersebut keluar. - Dahak BTA positif.

- Terdapatnya kavitas paru.

- Pasien tidak menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau bersin (Kemenkes RI, 2012).

2.1.4 Gejala – Gejala TB Paru

Gejala TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik (Aditama, 2002).

a. Gejala sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam tidak tinggi selama lebih satu bulan, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan


(32)

b. Sedangkan gejala repiratorik atau gejala saluran pernafasan adalah batuk. Batuk bisa berlangsung secara terus-menerus selama 3 minggu atau lebih. Hal ini terjadi apabila sudah melibatkan brochus. Gejala respiratorik lainnya adalah batuk produktif sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa dahak (sputum). Kadang gejala respiratorik ini ditandai dengan batuk berdarah disebabkan karena pembuluh darah pecah, akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Apabila kerusakan sudah meluas, timbul sesak nafas dan apabila pleura sudah terkena, maka disertai pula dengan rasa nyeri pada dada.

Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2.2 Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS)

2.2.1 Pengertian

Puskesmas menurut Kepmenkes RI No. 75 Tahun 2014 adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.


(33)

2.2.2 Upaya Kesehatan Masyarakat

Upaya kesehatan masyarakat yang dilaksanakan oleh puskesmas menurut Kemenkes RI (2014), adalah :

1. Pelayanan promosi kesehatan. 2. Pelayanan kesehatan lingkungan.

3. Pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana. 4. Pelayanan gizi.

5. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit

2.3Program Penanggulangan TB Paru

2.3.1 Rencana Global Pengendalian TBC

STOP TB Partnership (The Partnership) merupakan gerakan global yang dimulai pada tahun 2000 dengan tujuan untuk mempercepat aksi sosial dan politik dalam upaya menghentikan penyebaran TB paru di seluruh dunia. Visi The Partnership adalah dunia bebas TBC. Visi ini akan dicapai melalui empat misinya, yaitu :

1. Menjamin bahwa setiap penderita TBC mempunyai akses yang efektif terhadap diagnosis, pengobatan dan penyembuhan.

2. Menghentikan penularan TBC.

3. Mengurangi ketidak adilan beban sosial dan ekonomi TBC.

4. Mengembangkan dan melaksanakan strategi preventif, diagnosis dan pengobatan yang baru untuk menghentikan TBC.


(34)

1. Pada tahun 2005, setidaknya 70% yang terinfeksi TBC dapat didiagnosis dengan DOTS dan 85% diantaranya dinyatakan sembuh. Persentase ini selanjutnya dipertahankan atau ditingkatkan sampai dengan tahun 2015. 2. Beban global penyakit TBC (prevalensi dan kematian) pada tahun 2015 akan

berkurang 50% dari tahun 1990.

3. TBC bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat global pada tahun 2050.

Selain itu, The Partnership juga mempunyai komitmen untuk mencapai target MDG yang relevan untuk TBC yaitu: “to have halted and begun to reverse the incident of TB” pada tahun 2015. Dalam waktu 10 tahun, akan diterapkan strategi ganda, yaitu akselerasi pengembangan dan penggunaan peralatan yang lebih baik, dan pelaksanaan strategi baru WHO untuk mengendalikan TBC, menggunakan DOTS dan ISTC.

Rencana Global 2006-2015 menerapkan enam elemen utama dalam strategi baru WHO untuk menghentikan TBC. Strategi tersebut adalah :

1. Menerapkan dan memperkuat ekspansi DOTS yang berkualitas, meningkatkan penemuan kasus dan angka kesembuhan melalui pendekatan yang berfokus pada penderita agar pelayanan DOTS yang berkualitas dapat menjangkau seluruh penderita, khususnya kelompok masyarakat yang miskin dan rentan.

2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya, dengan cara memperluas kegiatan TB/HIV bersama, DOTS-Plus dan pendekatan lain yang relevan.


(35)

3. Memberikan kontribusi terhadap penguatan sistem kesehatan dengan bekerjasama dengan program dan pelayanan kesehatan lainnya, misalnya dalam memobilisasi sumber daya manusia dan finansial untuk melaksanakan dan mengevaluasi hasilnya dan dalam menyampaikan dan mempelajari pencapaian dalam program pengendalian TBC.

4. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan swasta, dengan cara memperluas pendekatan berbasis public-private mix (PPM) dengan menggunakan ISTC.

5. Melibatkan penderita TBC dan masyarakat agar memberikan kontribusi dalam pelayanan yang efektif.

6. Memberdayakan dan meningkatkan penelitian untuk obat, diagnosis dan vaksin baru serta meningkatkan kinerja program (Depkes RI, 2006).

2.3.2 Program Nasional Penanggulangan TB Indonesia

Berdasarkan Kemenkes RI (2014), strategi nasional dalam penanggulangan TB Paru di Indonesia antara lain :

a. Visi

“Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan” b. Misi

1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat dan madani dalam pengendalian TB.

2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.


(36)

4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik. c. Tujuan

Tujuan dalam pengendalian TB Paru adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. d. Target

Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun. Pada RPJMN 2015-2019 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100.000 penduduk dari 297 menjadi 245, Persentase kasus baru TB paru BTA (+) yang ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru BTA (+) yang disembuhkan dari 85% menjadi 88%. Target utama pengendalian TB pada tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1 - 2% per tahun menjadi 3 - 4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > 4 - 5% pertahun. Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidens sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidens tahun 2015.

2.3.3 Strategi DOTS (Directly Observed Treatments Shortcourse)

Berdasarkan pendapat Permatasari (2005) Strategi DOTS merupakan strategi penanggulangan TB paru nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60%. Dengan strategi DOTS diharapkan angka


(37)

kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB paru BTA (+) yang ditemukan.

Strategi DOTS adalah pengawasan langsung pengobatan jangka pendek dengan keharusan setiap pengelola program tuberkulosis untuk memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan penderita dengan pemeriksaan mikroskop. Kemudian setiap penderita harus di observasi (observed) dalam menelan obatnya, setiap obat yang ditelan pasien harus di depan seorang pengawas. Pasien juga harus menerima pengobatan (treatment) yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dengan penyediaan obat yang cukup. Kemudian setiap pasien harus mendapat obat yang baik, artinya pengobatan jangka pendek (short course) standard yang telah terbukti ampuh secara klinis. Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang membuat program penanggulangan tuberkulosis mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (Aditama, 2002).

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan penyakit TB (Kemenkes RI, 2014). Tujuan dari pelaksanaan DOTS adalah untuk menjamin kesembuhan bagi penderita penyakit TB paru, mencegah penularan, mencegah resistensi obat, mencegah putus berobat dan segera mengatasi efek samping obat jika timbul, yang pada akhirnya dapat


(38)

menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis di dunia (Sari, 2001). Strategi DOTS mempunyai lima komponen :

6. Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB Nasional Komitmen politik pemerintah dalam mendukung pengawasan tuberkulosis adalah penting terhadap keempat unsur lainnya untuk dijalankan dengan baik. Komitmen ini seyogyanya dimulai dengan keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai perioritas utama dalam program kesehatan. Untuk mendapatkan dampak yang memadai maka harus dibuat program nasional yang menyeluruh yang diikuti dengan pembuatan buku petunjuk (guideline) yang menjelaskan bagaimana DOTS dapat diimplementasikan dalam sistem kesehatan umum yang ada, dan diperlukan dukungan pendanaan dalam hal sarana, prasarana dan peralatan serta tenaga pelaksana yang terlatih untuk dapat mewujudkan program menjadi kegiatan nyata di masyarakat.

7. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis sputum adalah metode yang paling efektif untuk penyaringan terhadap tersangka tuberkulosis paru. WHO merekomendasikan strategi pengawasan tuberkulosis, dilengkapi dengan laboratorium yang berfungsi baik untuk mendeteksi dari mulai awal, tindak lanjutan dan menetapkan pengobatannya. Pemeriksaan mikroskopis ini merupakan pendekatan penemuan kasus secara pasif yang merupakan cara paling efektif dalam menemukan kasus tuberkulosis. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks, dengan kriteria-kriteria yang jelas yang dapat diterapkan di masyarakat.


(39)

8. Pengobatan TB dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO)

Pemberian obat yang diawasi secara langsung, atau dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy), pasien diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, dimana obat yang diberikan harus sesuai standar. Dalam aturan pengobatan tuberkulosis jangka pendek yang berlangsung selama 6 bulan dengan menggunakan kombinasi obat anti TB yang adekuat. Pemberian obat harus berdasarkan apakah pasien diklasifikasikan sebagai kasus baru atau kasus lanjutan/kambuh, dan seyogyanya diberikan secara gratis kepada seluruh pasien tuberkulosis.

Pengawasan pengobatan secara langsung sangat penting selama tahap pengobatan intensif (2 bulan pertama) untuk meyakinkan bahwa obat dimakan dengan kombinasi yang benar dan jangka waktu yang tepat. Dengan pengawasan pengobatan secara langsung, pasien tidak memikul sendiri tanggung jawab akan kepatuhan penggunaan obat. Para petugas pelayanan kesehatan, petugas kesehatan masyarakat, pemerintah dan masyarakat semua harus berbagi tanggung jawab dan memberi banyak dukungan kepada pasien untuk melanjutkan dan menyelesaikan pengobatannya. Pengawas pengobatan bisa jadi siapa saja yang berkeinginan, terlatih, bertanggung jawab, dapat diterima oleh pasien dan bertanggung jawab terhadap pelayanan pengawasan pengobatan tuberkulosis.

9. Kesinambungan persediaan OAT

Jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu, sangat diperlukan guna keteraturan pengobatan. Masalah utama dalam hal ini


(40)

adalah perencanaan dan pemeliharaan sediaan obat pada berbagai tingkat daerah. Maka dari itu diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik, seperti misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang ditangani pada waktu lalu (untuk memperkirakan kebutuhan), data akurat sediaan di masing-masing gudang yang ada, dan lain-lain.

10. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru

Sistem pencatatan dan pelaporan digunakan untuk sistematika evaluasi kemajuan pasien dan hasil pengobatan. Sistem ini terdiri dari daftar laboratorium yang berisi catatan dari semua pasien yang diperiksa sputumnya, kartu pengobatan pasien yang merinci penggunaan obat dan pemeriksaan sputum lanjutan. Setiap pasien tuberkulosis yang diobati harus mempunyai kartu identitas penderita yang telah tercatat di catatan tuberkulosis yang ada di kabupaten. Kemanapun pasien ini pergi, dia harus menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan pengobatannya dan tidak sampai tercatat dua kali (WHO, 1999).

2.4Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Menurut Kemenkes RI (2014), OAT yang digunakan dalam program penanggulangan TB dengan DOTS terdiri dari :

1. Isoniasid / INH (H)

Isoniasid bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang.


(41)

Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.

2. Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama unuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.

3. Pirasinamid (Z)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.

4. Etambutol (E)

Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.

2.5Efek Samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek samping yang merugikan atau berat. Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat segera diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak


(42)

Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mengambil obat. Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat pada kartu pengobatannya.

Efek samping ringan OAT antara lain tidak nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan seperti rasa terbakar di telapak kaki atau tangan, warna kemerahan pada air seni (urine), dan mengalami flu sindrom (demam, menggigil, lemas, sakit kepala, nyeri tulang). Sedangkan efek samping berat OAT adalah bercak kemerahan kulit dengan atau tanpa rasa gatal, gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan, bingung, mual, muntah, gangguan penglihatan, purpura, renjatan (syok), gagal ginjal akut, penurunan produksi urine. Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan tambahan untuk menghilangkan keluhannya. Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasilitas pelayanan kesehatan rujukan guna penatalaksanaan lebih lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit (Kemenkes RI, 2014).


(43)

2.6Tatalaksana Penderita TB Paru

2.6.1 Penemuan Penderita TB Paru

Penemuan pasien tuberkulosis bertujuan mendapatkan pasien TB dengan melakukan kegiatan mulai dari penjaringan terhadap pasien TB, pemeriksaan fisik dan laboratorium, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten dalam melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Menurut Depkes RI (2009), penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke Unit Pelayanan Kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat.

1. Strategi Penemuan Pasien TB

Strategi dalam menemukan penderita TB paru menurut Kemenkes RI (2014), antara lain :

a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi terdampak TB dan populasi rentan.

b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.


(44)

c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan dengan dukungan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.

d. Melibatkan semua fasilitas kesehatan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan.

e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:

1. Kelompok khusus yang rentan atau berisiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV, DM dan malnutrisi

2. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko tinggi terjadinya penularan TB, seperti lapas/rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh dan lain-lain

3. Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB 4. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat

f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan dan gejala yang sama dengan gejala TB.

2. Pemeriksaan Dahak (sputum)

a. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu – Pagi - Sewaktu (SPS) :


(45)

- S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.

- P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

- S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

b. Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal :

- Pasien TB ekstra paru. - Pasien TB anak.

- Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.

Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.


(46)

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi kuman tuberkulosis terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu / Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan obat. Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi (Kemenkes RI, 2014).

2.6.2 Diagnosis TB Paru

Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil pemeriksaan yang dilakukannya pada pasien itu. Kedua, hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan basil tahan asam (BTA) dan/atau basil tuberkulosis secara pembiakan/kultur. Ketiga, hasil pemeriksaan rontgen dada yang akan memperlihatkan gambaran paru orang yang diperiksanya. Selain ketiga patokan utama ini kadang-kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari hasil pemeriksaan darah atau pemeriksaan tambahan yang lain (Aditama, 1994). a. Diagnosis TB Paru

- Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu pemeriksaan dahak sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

- Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB BTA. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui


(47)

pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

- Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

b. Diagnosis TB Ekstra Paru

Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain (Depkes RI, 2009).


(48)

Gambar 2.1 Bagan Alur Diagnosis TB paru

2.6.3 Klasifikasi Penyakit TB Paru

Untuk menentukan klasifikasi penyakit TB paru, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014) :

a. Berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit

1. TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.


(49)

1. TB paru BTA positif

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) hasilnya BTA positif.

- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran TB.

- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. TB paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit

1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.


(50)

2. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

- TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, ulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. - TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,

peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

d. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pasien tuberkulosis berdasarkan hasil uji kepekaan dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dapat diklasifikasikan berupa :

- Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja

- Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan - Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan

Rifampisin (R) secara bersamaan

- Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)

- Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).


(51)

2.6.4 Tipe Penderita TB Paru

Menurut Kemenkes RI (2014), klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu :

1. Baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kambuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4. Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Pindahan (Transfer in) adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Lain-lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.6.5 Pengobatan TB Paru

Menurut Kemenkes RI (2014), pengobatan TB adalah salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Tujuan


(52)

produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian akibat kuman TB, mencegah terjadinya kekambuhan TB, menurunkan angka penularan TB, dan mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat. Pengobatan TB meliputi 2 tahapan, yaitu :

1. Tahap awal

Pada tahapan awal, pengobatan diberikan kepada pasien selama setiap hari dengan maksud untuk menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien secara efektif dan meminimalisir pengaruh dari kuman yang mungkin sudah resisten pada semua pasien baru. Pada tahap ini obat harus diberikan selama 2 bulan dengan pengawasan langsung oleh PMO. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyakit, daya penularan sudah menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.

2. Tahap Lanjutan

Pengobatan pada tahap lanjutan merupakan hal yang penting untuk membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh total dan mencegah terjadinya kekambuhan.

Pengobatan pada penderita TB dengan memadukan obat anti tuberkulosis yang direkomendasihkan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease) dalam Penanggulangan Nasional

Penanggulangan TB di Indonesia menurut Kemenkes RI (2014) dibagi menjadi dua kategori, antara lain :


(53)

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Enthambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : a. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis. b. Pasien TB paru terdiagnosis klinis

c. Pasien TB ekstra paru

2. Kategori 2 : (2HRZES) / (HRZE) / 5(HRE)3

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E) dan suntikan sterptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Enthambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Paduan OAT Kategori 1 dan Kategori 2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien dan paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Sedangkan paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.


(54)

Paduan OAT ini disediakan program DOTS untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT-KDT sebelumnya (pengobatan ulang), seperti :

a. Pasien kambuh.

b. Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya.

c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

2.6.6 Pengawasan Menelan Obat

Untuk menjamin keteraturan pengobatan maka diperlukan adanya Pengawasan Minum Obat (PMO). PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita TB dalam meminum obatnya secara teratur dan tuntas. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Kemenkes RI, 2014).

Persyaratan PMO menurut Kemenkes RI (2014) adalah :

1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. 3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.


(55)

4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.

Adapun tugas PMO menurut Kemenkes RI (2014) adalah :

1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan.

2.6.7 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Paru

a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB Paru

Menurut Kemenkes RI (2014), pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang


(56)

Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.

Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan hasil pengobatan :

1. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :

- Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis pengobatan tahap lanjutan

- Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5 dan Akhir Pengobatan)

2. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :

a. Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1) :

- Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.


(1)

yang telah ditetapkan sehingga program penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Desa Lalang dinyatakan belum maksimal. 6.2 Saran

A. Pemerintah Daerah Kota Medan

Diharapkan kepada Pemda Kota Medan agar:

1. Meningkatkan komitmen melalui kerjasama dengan pihak-pihak terkait (Instansi kesehatan, Kecamatan, Pihak swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi kesehatan, Organisasi keagamaan) dalam mencapai keberhasilan program penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS.

B. Dinas Kesehatan Kota Medan

Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan agar:

1. Meningkatkan pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan program penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS di setiap wilayah puskesmas secara khusus dan berkelanjutan.

2. Menyediakan alokasi pendanaan program kepada petugas puskesmas di Kota Medan secara efisien dalam upaya penjaringan suspek, penemuan kasus, dan penyuluhan.

3. Meningkatkan kinerja tenaga kesehatan di Puskesmas Desa Lalang dengan memberikan pelatihan secara kontiniu terhadap petugas TB paru.

C. Puskesmas Desa Lalang


(2)

1. Meningkatkan koordinasi lintas sektor dan lintas program dengan baik untuk mendukung pelaksanaan program penanggulangan TB paru di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang.

2. Menjalin kerjasama dengan bidang promosi kesehatan puskesmas dalam melakukan penyuluhan secara aktif kepada masyarakat sehingga masyarakat memiliki kesadaran dan pengetahuan dalam mencegah terjadinya penyakit TB paru.

3. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang ada agar dapat meningkatkan manajemen dalam pelaksanaan program.

D. Petugas TB Paru Puskesmas Desa Lalang

1. Harus aktif dalam melakukan penemuan kasus TB paru sehingga penemuan kasus TB paru dapat ditingkatkan.

2. Memberikan penyuluhan mengenai penanggulangan TB paru kepada pasien TB agar dapat patuh dalam menjalani pengobatan sesuai pedoman pelaksanaan pengobatan TB paru, serta memberikan pelatihan kepada pasien TB paru cara mengeluarkan dahak yang benar. 3. Jangan menunda pengiriman slide dahak ke PRM dalam pemeriksaan

dahak secara mikroskopis.

4. Meningkatkan hubungan yang harmonis dengan komunikasi yang baik kepada penderita TB paru agar pasien TB selalu berobat dan tidak mangkir ke tempat lain.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Tjandra Y. 1994. Tuberkulosis Paru: Masalah dan Penanggulangannya. UI Press. Jakarta.

. 2002. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi & Masalahnya. Edisi IV. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta.

Amiruddin, Ridwan. 2006. Faktor Resiko Kegagalan Konversi Pada Penderita TB Paru BTA Positif di Kota Ambon Tahun 2006. Ambon.

BPPN. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Jakarta.

Budiman, Hary. 2012. Analisis Pelaksanaan Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial dalam Pengendalian Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Padang Tahun 2011. Jurnal. Prodi IKM Pascsarjana Universitas Andalas. Padang.

Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

2006. Kerangka Kerja Strategi Pengendalian TBC Indonesia 2006-2010. Jakarta.

______________________. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan No. 364/Menkes/SKA/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta.

Dinas Kesehatan Kota Medan. 2014. Profil Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2013. Medan.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2010. Laporan TB Paru Bid. P2 & PL Tahun 2010. Medan.

. 2014. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013. Medan.

Hasibuan, Indah D. 2011. Pengaruh Kepatuhan dan Motivasi Penderita TB Paru Terhadap Tingkat Kesembuhan Dalam Pengobatan Di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011. Skripsi, FKM USU. Medan.


(4)

Herdiansyah, Haris. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Sosial. Salemba Humanika. Jakarta.

Hernanto, Lilik. 2001. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pemeriksaan Mikroskopis Dahak Penderita Tuberkulosis Paru dalam Strategi DOTS di Puskesmas Kabupaten Blora. Tesis. IKM UNDIP. Semarang.

Juliani, Arni; A. Dian; Ansar, Jumriani. 2012. Evaluasi Program Imunisasi Puskesmas di Kota Makassar Tahun 2012. Jurnal. FKM Universitas Hasanuddin. Makassar.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis Di Indonesia 2011. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB DI Indonesia 2010-2014. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

. 2012. Modul Pelatihan Pemeriksaan Dahak Mikroskopis TB. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta.

. 2014. Kepmenkes RI No. 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta.

. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta.

Kunoli, Firdaus J. 2013. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. TIM, Jakarta.

McMahon, Rosemary. 1999. Manajemen Pelayanan Kesehatan Primer. ECG. Jakarta.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT remaja Rosdakarya. Bandung.

Murti, Bhisma; Santoso; Sumardiyono; Sutisna, Endang. 2010. Evaluasi Program Pengendalian Tuberkulosis Dengan Strategi DOTS Di Eks Karesidenan Surakarta. FK UNS. Surakarta.


(5)

Permatasari, A. 2005. Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS. Bagian Paru. FK USU. Medan.

Puri, Nomi A. 2010. Hubungan Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) dengan Kesembuhan Pasien TB paru Kasus Baru Strategi DOTS. Tesis Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Salim, I. 2002. Persepsi Penderita TB Paru Terhadap Pelaksanaan Tugas Pengawas Menelan Obat (PMO) Tahun 2002. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sari, Ami. 2001. Pengalaman Pelaksanaan DOTS DI Puskesmas. Temu Ilmiah Respirologi. Surakarta.

Simamora, J. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Depok. Penelitian Kesehatan Vol. 3, No. 1. 2002. Depok.

Sutimbuk, Dedek; Mawarni; Kartika, L.R.W. 2012. Analisis Kinerja Penanggung Jawab Program TB Puskesmas Kabupaten Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia.

Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 Tentang Tenaga Kesehatan.

Wahab, Irwana. 2002. Penggunaan Strategi DOTS dalam Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Padang Bulan Selayang Tahun 2002. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan. WHO. 1999. Tuberculosis (TB): The Five Elements of DOTS.

http://www.who.int/tb/dots/whatisdots/en/. diakses tanggal 15 April 2015.

. 2012. WHO Report 2011: Global Tuberculosis Control. WHO Press. Perancis.

. 2014. Global Tuberculosis Report 2014. WHO Press. Prancis. Wibowo. 2008. Manajemen Kinerja. Rajagrafindo Persada. Jakarta.


(6)