KIPRAH AL FARABI DALAM DUNIA FILSAFAT IS

BAB II
KIPRAH AL-FĀRĀBĪ DALAM DUNIA
FILSAFAT ISLAM
A. Riwayat Hidup dan Perjalanan Intelektual Al-Fārābī
Dalam dunia filsafat islam salah satu nama filosof yang terkenal
luas mulai dari negeri timur hingga barat, dengan berbagai bukti
yang tersedia, Al-Fārābī adalah salah satunya. Bernama lengkap
Abū Nasir Muhammad bin Muhammad bin Awzalag bin Turkhān,1
lahir di Wasij, distrik Farāb sekitar 870 M.2 Maka jelaslah dari
tempat tersebut dia mendapatkan nama Al-Fārābī. Di teks-teks Latin
abad pertengahan, dia biasa dikenal dengan Al-Fārābīus atau
Avennasar. 3 Sedangkan dalam bahasa Ibrani, dia sering dikenal
dengan Abī Yesha’.4
Keluarganya merupakan bangsawan dan ayahnya merupakan
orang Persia asli yang bekerja sebagai panglima perang di
pengadilan Turki, karena keadaan keluarganya yang terpandang,
maka pendidikan Al-Fārābī terjamin. 5 Sehingga dirinya tumbuh
menjadi pribadi yang mencintai ilmu. Hingga akhir hayatnya, dia
aktif menulis buku dan berbagai sumbangsih lainnya bagi dunia
pendidikan.
Al-Fārābī sangat terkenal dengan penguasaannya terhadap

berbagai bahasa, cerdas, berpikiran jernih, bersemangat tinggi dan
                                                        
1

Ibn Abu Usaybi’ah, Tabaqāt al-Atbā’ al-Masyhurīn min atbāi asSyām, versi PDF. 
2
Yamani, Antara Al-Fārābī dan Khomeini, (Bandung:Mizan, 2002), 51. 
3
S.M. Musawi, Philosophical Selection from Encyclopedia of Islam,
(Jakarta, ICAS, 2007), 71. 
4
James T. Robinson, Al-Fārābī, Avicenna, and Averroes in Hebrew:
Remarks on The Indirect Transmission of Arabic, Islamic Philosophy in Medieval
Judaism, sebuah essay dalam buku The Judeo-Christian-Islamic Heritage, versi
PDF. 
5
‘Ammar al-Talbi, Al-Fārābī, (Paris: UNESCO: International Bureau of
Education, 2000), 1. 

18 


19 

banyak menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan di masanya.6
Al-Fārābī menempati urutan teratas dalam daftar filosof muslim.
Seluruh sejarawan dan penulis biografi ulama bersepakat
menganggapnya sebagai salah seorang filosof dan pemikir terbesar
sepanjang sejarah islam.7
Bahkan salah satu cerita yang cukup masyhur perihal tulisan AlFārābī yang berupa komentar terhadap Metafisika-nya Aristoteles,
membuat ia mendapat sanjungan tersendiri dari Ibnu Sīnā pada
autobiografinya. Karena tulisan tersbut, Ibnu Sīnā bisa langsung
memahami kitab yang sudah dia baca hingga 40 kali. Dalam buku
Al-Kiyā, Ibnu Sīnā menulis:
“adalah Abu Naṣr Al-Fārābī, dia memiliki pemikiran yang
sangat tinggi. Dan tidak bisa disama-ratakan pada skala
yang sama dengan yang lainnya: dia adalah pendahulu kita
yang paling luar biasa.”8
Pada umurnya yang ke-50, saat dia memasuki masa tua dan
kedewasaan yang penuh, ia pergi menuju Baghdad yang saat itu
merupakan pusat intelektual. Dia bertemu dengan para ilmuwan

yang sebagian besar adalah filosof dan penerjemah. Di sini pula dia
bertemu Abu Bishr Matta, seorang logikawan yang terkenal dan
membuat Al-Fārābī bisa berkumpul dengan para logikawan yang
tinggal di Baghdad. Setelah belajar, ia bahkan dapat melampaui
kemampuan gurunya dalam memahami logika, dan mendapatkan
banyak pencapaian intelektual. Karena hal tersebutlah dia mendapat
julukan “Sang Guru Kedua”.9 Dari Baghdad, menurut sumber yang
                                                        
6

Muhammad Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof
Muslim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 59. 
7
Muhsin Labib, Para Filosof;Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra,
(Jakarta: Al-Huda, 2005), 93. 
8
Ibnu Sina, Al-Kiyâ, diambil dari terjemahan Gutas, Avicenna, 64,
dikutip dari Yahya Michot, Al-Fārābī and His Influence on The Early Avicenna:
The Evidence From The Kitâbal-Mabda’ wa’l-Ma’ad, (Ankara, Elis Yayinlari,
2005), 1. 

9
Ibrahim Madkour, Al-Fārābī dari buku M.M. Sharif, A History of
Muslim Philosohpy, dipublikasikan oleh Books on Islam and Muslim, AlIslam.org, Versi PDF, 218. 

20 

ada, ia pergi ke Konstantinopel. Di Konstantinopel ini, menurut
suatu sumber, dia tinggal selama delapan tahun, mempelajari
seluruh silabus filsafat.10
Salah satu orang yang menceritakan tentang Al-Fārābī, yakni
Ibn Abī Usaybi’ah mengatakan bahwa Al-Fārābī mempelajari
logika dengan Yūhannā bin Haylān. Buku-buku yang dipelajari
antara lain Posterior Analytic-nya Aristoteles, Isagosye-nya
Porphyry, Categories, De Interpretatione, Prior and Posterior
Analytics-nya Aristoteles. Hal ini yang menjadi kemungkinan kuat
apa yang terindikasikan di dalam isi dan pendekatan pada karyakarya logikanya, yang banyak diimbuhi oleh dunia pemikiran
Aristotelianisme.11
Dalam hidupnya, dia banyak mendapat penghormatan dan
penghargaan, terutama karena kemampuan intelektualnya. Salah
satu pekerjaan yang dia geluti, selain menjadi pencari kebenaran

intelektual adalah menjadi hakim. Namun dalam beberapa
kesempatan, dia merasa bahwa pekerjaan tersebut menjauhkannya
dari dunia keilmuan. Sehingga dia berhenti dan lebih memilih gaya
hidup sufi dengan tetap menggeluti berbagai bidang keilmuan.12
Al-Fārābī memiliki keinginan yang mendalam untuk memahami
alam semesta dan manusia, dan untuk mengetahui tentang manusia
melalui gambaran intelektual yang komprehensif mengenai dunia
dan masyarakat, dia mempelajari banyak literatur Yunani Kuno. Di
antaranya yang ia pelajari secara khusus adalah Plato dan
Aristoteles.13
Buku-buku Al-Fārābī yang tercatat oleh berbagai sejarawan
berjumlah kurang lebih 70, dan banyak juga yang menyebutkan
bahwa masih banyak karyanya yang belum dipelajari. Al-Fārābī
                                                        
10

Yamani, Antara Al-Fārābī dan Khomeini, 55. 
Dimitri Gutas dalam artikel berjudul Farabi-I Biography, diakses
lewat http://www.iranicaonline.org/articles/farabi-i pada 15 Agustus 2016, pukul
10.50. 

12
Ibrahim Madkour, Al-Fārābī, 218. 
13
‘Ammar al-Talbi, Al-Fārābī, 1.  
11

21 

banyak menulis artikel-artikel pendek seputar disiplin ilmu yang ia
kuasai, serta buku-bukunya membahas berbagai ilmu baik teori
maupun praktis. Bidang-bidang yang ia kuasai adalah logika,
matematika, musik, filsafat, psikologis dan pendidikan.
Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan dari seluruh
kemampuan yang ia miliki adalah kemampuan bahasa. Beberapa
mengatakan bahwa dia menguasai hampir 70 bahasa. Itu dibuktikan
lewat kemampuannya memahami karya-karya berbahasa Yunani
serta bukti bahwa dia memang menterjemahkan karya-karya
tersebut ke dalam Bahasa Arab. Sedangkan yang diketahui dari
asal-usulnya, dia merupakan keturunan Turki dan hanya mengetahui
bahasa Turki, sedangkan saat datang ke Baghdad, dia belum

memiliki kemampuan terhadap bahasa manapun.14
Akan tetapi dari cara ia memahami dan menggambarkan filsafat,
maka tak ayal bahwa ia memahami bahasanya terlebih dahulu.
Karya-karya Al-Fārābī dapat dibagi ke dalam dua ranah. Ada yang
mengatakan pada logika dan musik, pertimbangan ini karena
bukunya Kitāb al-Musiqā merupakan salah satu traktat musik yang
cukup penting pada abad pertengahan tidak hanya di dunia Islam,
tetapi dunia barat. 15 Sebagian lagi mengatakan bahwa karyanya
dibagi menjadi dua bagian yaitu logika dan ilmu-ilmu lainnya.
Sama juga seperti yang pertama, logika Al-Fārābī merujuk pada
buku Organon milik Aristoteles. Sedangkan kategori yang lainnya
berbicara seputar cabang-cabang lain dari filsafat, seperti
metafisika, etika, matematika dan politik.16
Sebelum menuliskan karya-karyanya yang berhubungan dengan
politik, penulis ingin menyebutkan beberapa karyanya menyangkut
                                                        
14

Dimitri Gutas dalam artikel berjudul Farabi-I Biography, diakses
lewat http://www.iranicaonline.org/articles/farabi-i pada 16 Agustus 2016, pukul

12.24 
15
Therese Anne-Druart, dalam artikel berjudul Al-Fārābī, diakses lewat
http://plato.stanford.edu/entries/Al-Fārābī/ pada 16 Agustus 2016 pada 12.33
dengan sumber yang terpercaya 
16
Ibrahim Madkour, Al-Fārābī dari buku M.M. Sharif, A History of
Muslim Philosohpy, 218 

22 

beberapa disiplin ilmu yang ia geluti secara singkat. Dia memiliki
beberapa karya yang merupakan komentar terhadap karya-karya
Aristoteles, yaitu Syarh Kitâb al-Burhān merupakan komentar
terhadap logika Aristoteles, Syarh Kitāb as-Sama’ wa al-‘Alam
yang merupakan komentar atas kosmologi Aristoteles,17 komentar
bagi Organon yang di dalamnya mengandung rhetoric dan poetics,
Falsafat Aristūtālīs, komentar terhadap Nicomachean Ethics,
Physic, and Metaphysic. Komentar bagi karya Plato Laws dan
Topics.18

Kemudian salah satu kitabnya yang terkenal dalam dunia seni
yaitu Kitāb al-Musiqa al-Kābir. Kitab mengenai musik ini
menjelaskan pendapat Al-Fārābī bahwa prinsip-prinsip dasar musik
didapatkan dari matematika, 19 Kitāb al-Jadal berisi tentang bagaimana cara berdebat. Dalam biografinya yang ditulis Abī
Usaybi‘ah, Al-Fārābī juga menulis Syarh al-Maqālah ats-Tsāniyah
wa ats-Tsāminah min Kitāb al-Jadal li Aristūtālīs. Kitāb Iḥsha’ alUlum yang merupakan ensiklopedia ilmu-ilmu, dalam bahasa
Inggris dikenal sebagai Enumeration of of The Sciences berawal
dengan fokus pada bahasa, tata bahasa, matriks dan lain
sebagainya.20
Kini, kita akan membahas karya-karya politik Al-Fārābī, nama
yang pertama kali muncul adalah Kitāb Arā’ Ahl al-Madīnah alFādhilah, lalu disusul dengan beberapa kitab lain yang
menunjukkan keseriusannya dalam politik. Dalam masa hidupnya
yang cukup lama, Al-Fārābī banyak berteman dan menjadi orang
kepercayaan para raja, seperti Sayf Ad-Daulah yang
                                                        
17

Muhsin Labib, Para Filosof;Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra, 92. 
Miriam Galston, Politics and Exellence;The Political Philosophy of
Al-Fārābī, (New Jersey: Princeton University Press, 1946) 19. 

19
Therese Anne-Druart, dalam artikel berjudul Al-Fārābī, diakses lewat
http://plato.stanford.edu/entries/Al-Fārābī/ pada 17 Agustus 2016 pada 11.59
dengan sumber yang terpercaya. 
20
Therese Anne-Druart, dalam artikel berjudul Al-Fārābī, diakses lewat
http://plato.stanford.edu/entries/Al-Fārābī/ pada 17 Agustus 2016 pada 12.01
dengan sumber yang terpercaya. 
18

23 

memberikannya kepercayaan untuk menjadi penasihatnya. Hal ini
karena Al-Fārābī membuat takjub dengan kemampuannya
memahami bahasa dan mengerti maksud dari sang Raja kala itu.21
Arā’ pertama kali ditulis oleh Al-Fārābī di Baghdad, dia
membawa manuskripnya yang belum selesai hingga ke Damaskus.
Hingga pada tahun 942 kitab ini selesai di Damaskus.22 Namun
dalam catatan Abī Usaybi‘ah, ada sebuah kitab yang berjudul Kitāb
al-Madīnah al-Fādhilah wa al-Madīnah al-Jāhilah wa al-Madīnah

al-Fāsiqah wa al-Madīnah al-Mubadalah wa al-Madīnah adDhāllah, yang dimulai penulisannya di Baghdad, kemudian di bawa
ke Syam pada akhir tahun 330 dan selesai saat berada di
Damaskus.23
Kitab ini tersusun dari 19 bab, bab pertama membahas tentang
as-Syai yang diyakini sebagai Allah dan bagaimana kita
menggambarkannya serta seluk beluk cara untuk mengenal dirinya.
Bab kedua membahas tentang malaikat. Bab ketiga membahas
tentang jiwa-jiwa langit. Bab keempat membahas tentang tubuhtubuh material. Bab kelima membahas tentang materi dan bentuk.
Bab keenam membahas tentang kualitas atau kayfiyah. Bab ketujuh
membahas tentang bagaimana caranya menjelaskan jiwa-jiwa
langit.
Bab kedelapan membahas tentang bagaimana urutan atau cara
terbentuknya materi dari badan alamiah. Bab kesembilan bagaimana
aturan-aturan serta ciri-ciri khusus dari setiap eksistensi yang
berlapis-lapis. Bab kesepuluh membahas tentang manusia dan
fakultas-fakultas dari jiwa manusia. Bab kesebelas berbicara tentang
organ-organ tubuh manusia serta tugasnya masing-masing. Bab
kedua belas berbicara tentang laki-laki dan perempuan.
                                                        
21

John Platts, A new universal biography,containing interesting
accounts, google books, 641.
22
Yamani, Antara Al-Fārābī dan Khomeini, 56. 
23
Ibn Abu Usaybi’ah, Tabaqāt al-Atbā’ al-Masyhurīn min atbāi asSyām, versi PDF. 

24 

Bab ketiga belas berbicara tentang bagaimana inteligible atau
konsep-konsep universal tergambarkan di dalam jiwa rasional. Bab
keempat belas berbicara mengenai fakultas khayal yang ada di
dalam jiwa. Bab kelima belas berbicara bahwa manusia
membutuhkan kerja sama dan asosiasi dalam hidupnya.
Bab keenam belas berbicara tentang pencapaian yang didapat
oleh para penduduk kota utama. Bab ketujuh belas berbicara tentang
kesan-kesan yang didapat oleh para penduduk kota utama. Bab
kedelapan belas dan sembilan belas berbicara tentang detail-detail
dari penolakan dan prinsip-prinsip yang keliru berkenaan dengan
tema-tema yang dibicarakan.24
Buku lain Al-Fārābī yang bertemakan politik adalah Kitāb asSiyāsāt al-Madaniyah , dikenal juga sebagai dasar-dasar eksistensieksistensi.25 Menurut Thérèse Anne-Druart, kitab tersebut menyediakan ekpresi-ekspresi yang paling definitif dari filsafat Al-Fārābī
yang paling matang. 26 Kitab ini juga merupakan kumpulan dari
tema-tema seputar ilmu-ilmu filsafat seperti ketuhanan, alam, jiwa
dan lain sebagainya.27
Karya-karya Al-Fārābī bagaikan sebuah tanda keberhasilan
bagaimana agar pemikiran Neo-Platonisme dan Aristotelianisme
yang merupakan masa jaya filsafat Yunani, dapat masuk dan
beradaptasi dengan budaya timur. Salah satu karya terbaiknya
menunjukkan sistem-bangunan yang matang—dan menjadi tanda
transisi filsafat Yunani menuju dunia Islam—adalah buku asSiyāsāt ini.28
                                                        
24

Abu Nasr Al-Fārābī, Kitāb Arā’ Ahl al-Madīnah al-Fādhilah bagian

daftar isi. 

25

Ibn Abu Usaybi’ah, Tabaqāt al-Atbā’ al-Masyhurīn min atbāi asSyām, versi PDF. 
26
Miriam Galston, Politics and Exellence;The Political Philosophy of
Al-Fārābī, 9. 
27
Abu Nasr Al-Fārābī, as-Siyāsah al-Madaniyah, yang diulas kembali
oleh Ali Bumulham dipublikasikan oleh Dar wa Maktabah al-Hilal versi PDF, 5. 
28
Jon McGinnis dan David C. Reisman, Classical Arabic Philosophy:
an anthology of sources, (Indianapolis: Hackett Publishing, 2007), 54. 

25 

Karya politik lainnya adalah Kitāb Tahsīl al-Sa‘ādah atau The
Attainment of Happines. Dalam buku ini, Al-Fārābī menjelaskan
filsafat lewat sisi-sisinya yang eksoterik, dan menganggapnya
sebagai bagian utama dari agama dari pada bagian filsafat.29 Kitab
ini diyakini ditulis bersamaan dengan Iḥsha al-‘Ulūm pada masamasa tuanya di Baghdad dan kemungkinan selesai di Syria.30
Al-Fārābī kemudian dengan seluruh kiprah dalam dunia
keilmuan menempatkannya sebagai filosof par excellence dan
memiliki pengaruh yang dalam hingga sekarang. Al-Fārābī
meninggal di Aleppo pada 950 M di usianya yang ke 80 tahun.31
B. Filosof Sebelum Al-Fārābī
Al-Fārābī dan sejarah hidupnya merupakan satu bagian penting
untuk mulai mengenal bangunan filsafatnya. Hal lain yang juga
pantas untuk mendapat perhatian adalah filosof-filosof yang
mempengaruhinya dalam hal pemikiran dan sesiapa yang
mendapatkan pengaruh dari pemikirannya tersebut.
Al-Fārābī hidup pada periode sejarah Islam yang dikenal
sebagai “The Renaissance of Islam”. Zaman ini menjadi saksi dari
jatuhnya kepemimpinan Khalifah Abbasiyah, yang terjadi pada
akhir abad 9. Seperti apa yang sudah sering dinyatakan, Al-Fārābī
menjadi pemeran tidak langsung pada masa tersebut untuk kembali
mengembangkan prestasi Yunani dalam bidang keilmuan dan
filsafat.32
Ketertarikan Al-Fārābī dan pendalamannya ditandai dengan
banyaknya kitab milik Aristoteles yang ia kaji, terjemahkan dan
diberi anotasi-anotasi hingga syarḥ-nya secara lengkap. Dalam
                                                        
29

Miriam Galston, Politics and Exellence;The Political
Al-Fārābī, 35. 
30
Miriam Galston, Politics and Exellence;The Political
Al-Fārābī, 4. 
31
Ibn Abu Usaybi’ah, Tabaqāt al-Atbā’ al-Masyhurīn
Syām, versi PDF. 
32
Miriam Galston, Politics and Exellence;The Political
Al-Fārābī, 15. 

Philosophy of
Philosophy of
min atbāi asPhilosophy of

26 

biografi yang diterangkan oleh Abu Usaybi’ah, ada lebih dari 10
kitab yang dia dapat dari menerjemahkan dan memberi catatan bagi
kitab-kitab Aristoteles.33
Terlebih lagi dia mendapat julukan sebagai guru kedua, karena
pengaruh filosof yunani awal itu begitu kental pada dirinya. Dalam
dunia keilmuan, Al-Fārābī mampu membubuhkan nilai-nilai
ketuhanan, ke dalam filsafat yunani yang kecenderungan
pembahasannya pada alam dan manusia saja.
Pada masa awal ketertarikannya pada filsafat, dia mempelajari
seluruh silabus filsafat dan mengimplementasikannya di bangunan
filsafat yang di masa Ibnu Sina kemudian, dikenal dengan
paripatetik. Salah satu kitab Aristoteles yang menjadi rujukan AlFārābī adalah Kitāb Al-Burhān, berisi tentang logika. 34 Dia
mendasarkan berbagai pemikirannya seperti tentang ilmu
pengetahuan alam, psikologi, dan metafisika pada Aristoteles.35
Filosof Yunani lain yang juga mempengaruhi bangunan filsafat
Al-Fārābī adalah Plato, teman baik dan pencatat seluruh perkataan
Sokrates. Plato memang muncul lebih awal dari Aristoteles. Akan
tetapi, pengaruh Aristoteles lebih memberikan pencerahan bagi AlFārābī. Meski begitu, Plato memberikan peran penting dibeberapa
buku Al-Fārābī.
Dalam  ilmu  politik  Al‐Fārābī  sangat  akrab  dengan  Plato 
khususnya  karena  Al‐Fārābī  mengikuti  teori‐teori  politik  Plato 
dari buku Republic dan Laws. Al-Fārābī bahkan menganggap Plato
sebagai imam dari para filosof.36 Salah satunya adalah karakteristik
pemimpin, Plato dan Al-Fārābī sama-sama mengakui bahwa
seorang pemimpin harus memiliki kemampuan berpikir yang baik
                                                        
33

Dalam biografi yang dituliskan oleh Abu Usaybi’ah, banyak sekali
penyebutan kitab-kitab karya Al-Fārābī yang pada judulnya selalu di akhiri
dengan kata li Aristūtālīs atau menurut Aristoteles. 
34
Muhsin Labib, Para Filosof;Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra, 92. 
35
S.M. Musawi, Philosophical Selection from Encyclopedia of Islam,72. 
36
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, (New York:Caravan,
1997),15. 

27 

dan benar.37 Al-Fārābī juga mengidentifikasikan bahwa raja-filosof
milik Plato mencerminkan nabi dan pemberi hukum pada tradisi
Abraham.38
Model pemimpin ideal yang mereka tawarkan tidak jauh
berbeda. Oleh sebab itu, aplikasi filsafat politik mereka menuntut
setiap pemimpin untuk menjadi filosof. Dalam arti bahwa filosof
adalah orang yang mampu memimpin dan menjadi panutan
masyarakat.39
Buku Republic-nya Plato, adalah kitab epistemologi yang juga
berkaitan dengan filsafat sosial, filsafat jiwa dan filsafat politik.40
Pembahasan mengenai kota atau negara 41 dimulai dengan
menjelaskan bahwa mereka layaknya seorang individu, yang
fungsinya terbagi ke dalam tiga aspek yakni sisi hewani, sumber
aksi (the spirited source of action) dan sisi rasional. Maka dari itu
negara juga harus tersusun dari tiga aspek yakni, pekerja dan
pengrajin, tentara dan sang pengatur.42
Plato, berpendapat bahwa dalam sebuah Kota atau Negara, sang
pengatur haruslah seorang filosof yang memahami bentuk-bentuk43
dan oleh karena dia mengetahui hal tersebut, maka dia mengetahui
                                                        
37

Dalam buku Republik, Plato, terjadi perbincangan antar para tokoh
mengenai pemipin yang harus diikuti dan harus dijauhi. Saat sampai pada bagian
ke empat buku, disebutkan bahwa terjadi perbincangan yang berusaha
meyakinkan bahwa filosof layak untuk memipin sebuah kota karena kelebihan
yang dia miliki tidak diragukan kebenarannya, seperti dia dapat menuntun pada
kebenaran. Allan Bloom, The Republic of Plato, (USA: Basic Books, 1991), buku
4, 5 dan 6. 
38
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, (New York:Caravan,
1997), 15. 
39
Anthony Black, Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini, (Jakarta: Serambi, 2001), 133, dijelaskan lebih lanjut oleh Erwin J.
Rosenthal dalam catatan kaki bahwa Al-Fārābī menyamakan “raja-filsuf Platonis
dengan Imam dan pembuat hokum dalam tradisi profetik Islam”. 
40
Donald Palmer, Looking at Philosophy, (New York: Mc Graw Hill,
2001) 65. 
41
Penerjemahan terhadap kata the city atau the republic. 
42
Donald Palmer, Looking at Philosophy, 65. 
43
Forms dengan kapital F. 

28 

apa itu yang baik.44 Kota dengan pemimpin semacam itu adalah
kota yang ideal, dan Al-Fārābī meng-iya-kan pemikiran tersebut.
Di bawah pengaruh Neo-Platonisme, dia menulis buku Kitāb alJamī’ bayna Ra’yi al-Hikmayni Aflātun alilahiyyi wa Aristūtālīs,
atau Book of Agreement between the ideas of the two philosophers,
the divine Plato and Aristotle. Dari judulnya, buku ini berusaha
untuk memberikan penjelasan mengenai pemikiran filsafat dari dua
filosof besar Yunani, Plato dan Aristoteles. Selain itu, buku ini
mencoba untuk mendamaikan filsafat dengan wahyu dalam Islam,
yang merupakan sebuah usaha untuk menggabungkan filsafat
yunani yang cukup berbeda baik dari segi sumber maupun aplikasi
dengan Islam.45 Bagian awal buku ini menceritakan dialog-dialog
serta surat-surat Plato, kemudian memberikan ringkasan bagi subjek
materi dari kedua filosof tersebut. Bagian keuda buku ini lalu
menjelaskan filsafat Aristoteles.46
Dalam ringkasannya tentang filsafat Plato, Al-Fārābī memahami
bahwa pentingnya memahami politik dalam pencarian kebenaran
bagi para filosof, berhubungan dengan pencarian kebenaran tentang
Tuhan, alam, realitas dan manusia.47
Setelah masa hidupnya, Al-Fārābī kemudian tercatat dalam
sejarah sebagai orang yang menjembatani masuknya filsafat Yunani
ke dalam dunia Islam. Namun, ada seseorang sebelum dia yang juga
memainkan peran utama dalam dunia pemikiran Islam. Adalah AlKindi atau Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Sabah bin Imran bin
Isma’īl bin Muhammad al-Ash Qais Al-Kindi, yang lahir pada 801
masehi, 40 tahun sebelum kelahiran Al-Fārābī.

                                                        
44

The good. Donald Palmer, Looking at Philosophy, 66. 
Erwin I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam: An
Introductory Outline, (London: Cambridge University Press, 1962), 122. 
46
Majid Fakhry, Al-Fārābī and The Reconciliation of Plato and
Aristotle, (Pennsylvania:University of Pennsylvania Press, 1965), 471. 
47
Erwin I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam: An
Introductory Outline, 122. 
45

29 

Al-Kindi menerjemahkan buku dari berbagai bahasa seperti
Yunani, Persia, Syria dan Mesir. 48 Jika dilihat dari perjalanan
waktu, dia memang lebih dahulu memasukkan filsafat Yunani pada
dunia Islam. Pada beberapa waktu, dia hidup pada masa
kekhalifahan yang mendukung keilmuan filsafat, namun pada akhir
hayatnya, penguasa menentang pemikiran teologi dan filsafat para
pendahulunya.49
Sampai akhir masa hidupnya, Al-Kindi berhasil memberikan
sumbangsih besar bagi keilmuan Islam. Dalam bidang filsafat, ia
tercatat menulis hampir 250 risalah mengenai filsafat dan sains.50
Kebanyakan dari karyanya menghilang saat Mongol menyerang
Baghdad, dan 25 buku ditemukan ada di museum Istanbul, Turki.51
Namun hal tersebut sangat berarti untuk membuka kemungkinan
lain bagi masyarakat untuk mempelajari lebih lanjut. Hingga
sampailah pada masa Al-Fārābī yang lahir 4 tahun dari wafatnya
Al-Kindi.52
C. Pengaruh Al-Fārābī dalam Perkembangan Filsafat dan
Ilmu Politik
Kiprah Al-Fārābī dalam dunia keilmuan sudah tidak diragukan
lagi, beberapa filosof yang merujuk pada Al-Fārābī adalah filosoffilosof terkemuka dalam lingkarannya. Bahkan sebagian nama
adalah filosof yang menjadi pilar-pilar utama filsafat, salah satunya
Ibn Sīnā.
                                                        
48

Muhsin Labib, Para Filosof;Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra, 77. 
Jon McGinnis dan David C. Reisman, Classical Arabic Philosophy:
an anthology of sources,1, dijelaskan bahwa pada masa hidunya Al-Kindi
berasosiasi dengan Dinasti Abbasiyah khususnya oada masa kekhalifahan alMa’mun (813-833), al-Mu’tasim (833-842) dan al-Wāthiq (842-847), tetapi
kemudian kehilangan pengaruhnya pada akhir masa hidupnya saat khalifah alMutawakkil (842-847) berkuasa. 
50
Jon McGinnis dan David C. Reisman, Classical Arabic Philosophy:
an anthology of sources, 1. 
51
Muhsin Labib, Para Filosof;Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra, 77. 
52
Al-Kindi wafat pada 866 M dan Al-Fārābī lahir pada 870 M. 
49

30 

Kini kita akan membahas secara singkat dan mencukupi
pengaruh pemikiran Al-Fārābī bagi perkembangan filsafat politik.
Salah satunya adalah mengadopsi pemikiran Yunani dan
mengkolaborasikannya dengan nilai-nilai Islam, supaya sesuai
dengan atmosfer masyarakat Islam pada masa itu.
Al-Fārābī dengan pemikirannya yang matang, mampu
mempertemukan ide-ide filsafat Yunani yang selaras dengan
kebutuhan umat, seperti sifat pemimpin beserta karakterkarakternya. Layaknya Plato, Al-Fārābī juga mengatakan bahwa
kebahagiaan dapat diperoleh lewat negara. Akan tetapi negara
dalam pemikiran Al-Fārābī adalah negara ideal yang sempurna
pemerintahannya.53
Setelah Al-Fārābī, perjalanan filsafat diteruskan oleh Abū ‘Alī
Sīnā atau Ibn Sīnā. 54 Filosof ini dianggap memberikan identitas
yang nyata bagi aliran filsafat paripatetik, sebuah nama yang
diambil dari kebiasaan Aristoteles yang suka berjalan berkeliling
saat mengajar murid-murid akademinya, di awal bab ini, telah
memberikan sanjungan yang tinggi pada Al-Fārābī terkait
kemampuannya dalam ilmu filsafat.
Meskipun begitu, Ibn Sīnā tidak terkenal dengan pemikiran
politiknya. Dia sama sekali tidak menulis buku mengenai politik
secara khusus. Tetapi dia membahas kebahagiaan manusia dan
kesempurnaan. 55 Sehingga pengaruh Al-Fārābī hanya diambil
secara umum, khususnya bagian metafisika atau ontologi.
Pemikiran Ibn Sīnā tentang emanasi-pun, adalah perkembangan
yang lebih kompleks namun lengkap daripada Al-Fārābī.56
Komentar Al-Fārābī terhadap metafisika Aristoteles pun
memiliki peran penting bagi lahirnya pemahaman Ibn Sīnā secara
                                                        
53
Yamani, Antara Al-Fārābī dan Khomeini, 33. 
54
Al-Fārābī wafat pada 950 M dan Ibn Sīnā lahir pada 980 M. 
55

Erwin I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam: An
Introductory Outline, 143. 
56
Emanasi Al-Fārābī hanya mengandung satu entitas pada tiap turunan,
sedangkan Emanasi Ibn Sīnā mengandung dua entitas yang menghasilkan pula
dua turunan meskipun hakikatnya satu. 

31 

langsung untuk memahami metafisika Aristotelian. 57 Hal ini
menjadi penting mengingat perkembangan filsafat dalam Islam,
mau tidak mau, harus merujuk pada kerja-kerja awal para filosof
Islam seperti mereka berdua. Dia bahkan layak untuk disebut
sebagai wakil yang mumpuni bagi sekolah dari ilmuwan-filosof,
yang melampaui Al-Kindi. 58 Jasa Al-Fārābī pada Ibnu Sina
kemudian dapat menjadi pertanda bahwa Ibn Sīnā tidak perlu lagi
untuk mengkaji kitab-kitab filsafat, tetapi lebih memperdalam lagi
pemahamannya.59
Pengaruh Al-Fārābī tidak hanya di dunia Islam saja, pada
tradisi lain seperti Yahudi atau Kristen, Al-Fārābī cukup dikenal
karena pemikirannya. Salah satunya adalah Moses Maimonides,
lahir di Kordoba pada 1135, menjadi pemikir yang juga
mempengaruhi dunia pemikiran Katolik serta memiliki buku
tentang cara memandang teologi Yahudi dari kacamata filsafat.60
Maimonides adalah murid, pengikut, sekaligus penerus alMawjūus Al-Fārābī, karena di bawah pengaruhnya-lah karya-karya
Al-Fārābī dikaji. Buku-buku Al-Fārābī yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Ibrani pada masanya adalah Mabādi al-Mawjūdāt
menjadi Hathalot ha-Nimtsa’ot, Tanbih ‘alā Sabil as-Sa’ādah dan
Selected Aphorism.61
Dalam buku Introduction to Moses Maimomides, Al-Fārābī
disanjung karna karya-karyanya.
“Tidak ada karya logika yang patut dipelajari kecuali
hanya milik Abu Naṣr Al-Fārābī: semua hasil tulisannya
mengagumkan. Kita harus mempelajari dan memahami
(karya-karya)nya, karena dia adalah pemikir yang hebat.”
                                                        
57

Seyyed Hossein Naṣr, Three Muslim Sages, 14. 
Seyyed Hossein Naṣr, Three Muslim Sages, 17. 
59
Seyyed Hossein Naṣr, Three Muslim Sages, 20. 
60
Donald Palmer, Looking at Philosophy, 120-121. 
61
James T. Robinson, Al-Fārābī, Avicenna and Averroes in Hebrew:
Remarks on The Indirect Transmission of Arabic-Islamic Philosophy in Medieval
Judaism, sebuah essay dalam buku The Judeo-Chritian-Islamic Heritage, versi
PDF, 61. 
58

32 

Al-Fārābī mempraktekkan filsafat bersamaan dengan
mengajarkan pemikiran politik dan metafisikanya. Mereka
merefleksikan kebutuhan akan pentingnya memperjelas klaim
antara filsafat dan agama. Juga untuk menemukan kedudukan yang
sesuai dalam millennium arab dan islam.62
Filosof lain yang sama-sama memiliki ketertarikan pada
Aristoteles adalah Abul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn
Muhammad Ibn Rusyd, atau yang di Barat dikenal sebagai
Averroës. Lahir pada 1126 di Kordoba, Spanyol. Hanya saja kali
ini, filosof yang menjawab kritikan Al-Ghazali berpendapat bahwa
sebelum dia, baik Al-Fārābī maupun Ibn Sīnā, tidak ada yang
berhasil memahami Aristoteles secara sempurna.63
Ibn Rusyd sama-sama membahas buku Nichomacean Ethics
dari Aristoteles, dan tentu saja secara tidak langsung ia telah
membaca komentar Al-Fārābī terhadap buku tersebut. Oleh karena
itu dia dapat berkata bahwa pemahaman para filosof Islam sebelum
dia tidak pernah sesempurna apa yang sebenarnya ingin
disampaikan oleh Aristoteles.64
Sebagai seorang pemikir yang mengawali perkembangan
filsafat di dunia Islam, Al-Fārābī tidak lepas dari banyaknya
                                                        
62

James T. Robinson, Al-Fārābī, Avicenna and Averroes in Hebrew:
Remarks on The Indirect Transmission of Arabic-Islamic Philosophy in Medieval
Judaism, sebuah essay dalam buku The Judeo-Chritian-Islamic Heritage 
63
Donald Palmer, Looking at Philosophy, 119. 
64
Dalam dunia filsafat Yahudi, Ibn Rusyd adalah filosof par excellence
dan merupakan pemegang otoritas penerus Aristoteles, “For the Jews in Christian
Europe, already by the end of the thirteenth century Averroes was considered the
commentator par excellence and Aristotelian authority without peer.” James T.
Robinson, Al-Fārābī, Avicenna and Averroes in Hebrew: Remarks on The
Indirect Transmission of Arabic-Islamic Philosophy in Medieval Judaism, sebuah
essay dalam buku The Judeo-Chritian-Islamic Heritage, versi PDF, 72. Selain itu
bagi Rosenthal, Ibn Rusyd adalah filosof muslim yang lebih jelas dari pada AlFārābī, atau bahkan Ibn Sīnā, “I begin with te assertion that Ibn Rushd was a
muslim philosopher, and more pronouncedly so than Al-Fārābī or even Ibn Sīnā,
on whose writings his own philosophy dependent, both in what he accepted and
in what he rejected. Erwin I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam:
An Introductory Outline, 177. 

33 

komentar bahkan kritik. Akan tetapi hal itu adalah pertanda dari
kualitas keilmuannya yang luas dan mendapatkan banyak tempat
sebagai kesempatan munculnya pembahasan baru.