POLITIK AGAMA DAN KONTESTASI KEKUASAAN N

Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011
Hlm. 130 – 147

POLITIK, AGAMA DAN KONTESTASI KEKUASAAN NAHDLATUL
WATHAN DI ERA OTONOMI DAERAH LOMBOK, NTB
Saipul Hamdi
Staf Pengajar Prodi Manajemen Lingkungan, Politeknik Pertanian Negeri Samarinda

ABSTRACT
This article explores the changes on political orientation in the conflict-prone Nahdlatul
Wathan organization since the onset of decentralization and regional autonomy. Regional
autonomy has given rise to changes not only at structural level, but also at cultural level, and
consequently is demanding a more visible role of local religious and traditional leaders in the
process of democratization and development in the region. The article examines the role of
Nahdlatul Wathan’s figures in local and national politics since regional autonomy has been
implemented. By looking at how they managed to win strategic positions in the local
government elections in 2008, the article asks what factors led to their success and what
media were used. The fragile internal politics in Nahdlatul Wathan are examined to assess
how the influence of power can resolve internal and external conflicts currently facing the
organization. The Data is based on field work using qualitative approaches including

interviews, focus-group discussions and participant-observation conducted in Lombok during
2008-2010.
Kata Kunci : Nahdlatul Wathan, regional autonomy, political re-orientation, and
religious-political figures
PENDAHULUAN
Penerapan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah melahirkan
perubahan besar di daerah baik dalam bidang politik, demokrasi, pembangunan, dan ekonomi
(Avonious, 2004: 2-3). Meskipun terdapat banyak kendala dan persoalan yang timbul dalam
proses pelaksanaan otonomi daerah, namun partisipasi masyarakat di bidang-bidang tersebut
semakin meningkat. Agen-agen lokal seperti tokoh agama dan tokoh adat yang dulunya
mengalami marginalisasi dan diskriminasi politik oleh kelompok „penguasa‟ kini telah
memperoleh kembali hak-hak politiknya (Haris, 2007:19-20).
Picard (2005:114-116) dan Haris (2007:18-19) memandang bahwa otonomi daerah
berpotensi melahirkan kelompok penguasa baru yang akan memperkuat sikap primordialisme
kedaerahan. Kelompok adat dan tokoh-tokoh Ormas yang memiliki basis massa besar adalah
kelompok yang sangat diuntungkan dengan otonomi daerah. Dengan modal sosial dan modal
simbolik yang dimiliki oleh Ormas Islam dan kelompok adat memudahkan para tokohnya
menduduki jabatan publik di pemerintahan baik pada wilayah eksekutif maupun legislatif

Saipul Hamdi


(Woodward, 2011:27). Organisasi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Nahdaltul
Wathan (selanjutnya disebut NW) adalah sederet Ormas Islam yang menggapai kesuksesan
khususnya di bidang politik dan pembangunan. NW misalnya akhir-akhir ini sangat dominan di
ranah politik setelah berhasil mengantarkan para tokohnya pada posisi-posisi strategis di
pemerintahan seperti posisi gubernur, bupati, dan lain sebagainya. Keberhasilan ini berdampak
positif terhadap NW dan sekaligus menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi terbesar di
Lombok yang dapat memainkan peran penting di daerah.
NW merupakan organisasi sosial keagamaan lokal terbesar di Lombok. NW didirikan oleh
Tuan Guru Haji (TGH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid atau yang lebih dikenal Maulana
Syaikh di Pancor, Lombok Timur 1953 (Nu‟man, 1999:47; Baharuddin, 2007:105). Secara
ideologi NW lebih dekat dengan NU daripada Muhammadiyah. NW yang bergerak pada tiga
bidang (pendidikan, sosial dan dakwah), tidak menutup diri dengan hiruk pikuk dunia politik.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa politik sangat kental mewarnai perjalanan NW. Para tokoh
NW terjun ke dunia politik sejak masa Orde Lama (Noor et al, 2004:245;
Baharuddin&Rasmianto, 2004:91; Hamdi, 2011:145).
Pada masa Orde Lama TGH. Zainuddin berafiliasi dengan partai Masyumi, dan setelah
partai ini dibubarkan Sukarno dia bergabung di Parmusi. Ketika Suharto mengambil kendali
kepemimpinan, TGH. Zainuddin mengubah orientasi politiknya dengan ikut bergabung ke
Golkar. Perubahan orientasi politik dari religius ke nasionalis yang dilakukan TGH. Zainuddin

pada masa transisi Orde Lama ke Orde Baru memperlihatkan kelonggaran dan fleksibilitas visi
dan konstruksi identitas politik NW. Hubungan NW dengan partai Golkar di awal-awal cukup
mesra, tetapi dalam perjalanannya ketegangan dan konflik mewarnai hubungan mereka. Konflik
NW dengan Golkar memuncak pada pemilu 1982 ketika NW secara simbolik mendukung Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) (Hamdi, 2011:146).
Sejak kasus NW yang mendukung PPP di Pemilu 1982, diskriminasi politik terhadap tokohtokoh NW terus berlangsung hingga masa reformasi 1998. Pada masa reformasi inilah perubahan
besar terjadi. NW kembali memiliki kebebasan menentukan pilihan afiliasi politiknya, tanpa ada
tekanan dari luar. NW mengalami konflik dan perpecahan karena perebutan kekuasaan yang
melibatkan keluarga TGH. Zainuddin setelah dia wafat tahun 1997 (Hadi, 2010:65-66; Hamdi,
2011:167). Konflik NW telah melahirkan dualisme kepemimpinan yaitu NW Pancor dan NW
Anjani. Perpecahan dan konflik ini juga ikut mempengaruhi perubahan orientasi politik NW yang
berafiliasi ke partai politik yang berbeda. Pada Pemilu 1999 NW Anjani bergabung bersama
Golkar, sedangkan NW Pancor bergabung dengan Partai Daulat Rakyat (PDR). Pada Pemilu
2004 dan 2009 NW Pancor berafiliasi dengan PBB, dan NW Anjani bergabung dengan PBR
(Hamdi, 2011:148).
Melalui partai politik masing-masing kedua kubu NW; Anjani dan Pancor telah mencapai
prestasi yang membanggakan. Kedua kubu NW berhasil menempatkan wakil mereka di DPR RI,
dan menguasai kursi di DPRD tingkat I dan II. Prestasi lain yang dicapai NW dalam bidang
Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011


131

Politik, Agama dan Kontestasi Kekuasaan Nahdlatul Wathan di Era Otonomi Daerah Lombok, NTB

politik adalah memenangkan kursi gubernur NTB dan bupati Lombok Timur pada Pilkada 2008.
Keberhasilan NW ini menunjukkan bagaimana NW memainkan peran penting di bidang politik
pada tingkat lokal dan nasional. Khususnya pada tingkat lokal pasca kemenangan pada Pilkada
2008 dominasi NW semakin kuat. Terkait dengan tingkat partisipasi dan kesuksesan elit-elit NW,
artikel ini akan fokus melihat peran dan partisipasi tokoh-tokoh NW di bidang politik dan faktor
serta media apa saja yang digunakan sehingga mampu berhasil memenangkan Pilkada 2008 untuk
dua posisi sekaligus yaitu gubernur NTB dan bupati Lombok Timur. Artikel ini juga akan
menginvestigasi pengaruh kekuasaan NW terhadap proses rekonsiliasi konflik.
Selayang Pandang Organisasi Nahdlatul Wathan
NW merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di Lombok yang menganut ideologi
ahlussunnah wal jamaah. Meskipun tidak ada data statistik mengenai jumlah warga NW, namun
diperkirakan mencapai 60-80% dari penduduk Lombok. Sedangkan ummat Islam yang lain
berafiliasi ke NU, Muhammadiyah, Wahabi, Salafi, Tariqat Ta‟limat, Ahmadiyah, dan Tariqat
Qadiriyah wa Naqshabandiyah (Hamdi & Smith, 2011: 4-5). Terdapat perbedaan dengan NU dan
Muhammadiyah yang telah menasional, NW didirikan khusus untuk pemberdayaan masyarakat

lokal suku Sasak.
NW didirikan oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada 1 Maret 1953 di desa
Pancor, Selong, Lombok Timur. Istilah NW bukan pertama kali datang dari TGH. Zainuddin.
Istilah ini pernah dipopulerkan oleh Kyai Wahab Hasbullah dan Kiai Mansur sebagai nama
sebuah pergerakan melawan penjajah Belanda pada 1916 (Ridwan, 2010: 6). Walaupun nama
kedua organisasi ini sama tetapi secara organisatoris tidak ada ikatan sejarah. Kata NW diambil
dari penggalan nama madrasah yang beliau dirikan tahun 1937 yaitu Madarasah Nahdlatul
Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) (Nu‟man, 1999:48; Yusuf, 1967:31). Pada tahun 1934 TGH.
Zainuddin kembali dari Mekkah dan mendirikan Ponpes Al-Mujahidin yang menjadi cikal bakal
organisasi NW (Noor et al., 2004:180).
NW bergerak dalam tiga bidang yaitu pendidikan, sosial dan dakwah. Di bidang pendidikan
NW telah mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Sekarang NW
telah memiliki lebih dari 800 cabang madrasah yang tersebar di berbagai penjuru desa di pulau
Lombok. NW juga memiliki tujuh perguruan tinggi yaitu 1 buah di Mataram dan 6 buah di
Lombok Timur (Nu‟man, 1999:87). Pasca wafatnya TGH. Zainuddin pada tahun 1997, NW
mengalami konflik dan perpecahan internal yang melibatkan kedua putrinya; Siti Rauhun dan Siti
Raihanun. Mereka terjebak perebutan kepemimpinan menggantikan posisi TGH. Zainuddin
sebagai pemimpin organisasi. Konflik mengalami puncak setelah Muktamar NW ke- 10 di Praya
1998, dimana Raihanun memenangkan kursi ketua umum PB NW di Muktamar ini, tetapi tidak
diterima oleh kubu Rauhun. Setelah itu NW menganut dualisme kepemimpinan yaitu, NW Anjani

(pro Raihanun) dan NW Pancor (pro Rauhun) (Hamdi & Smith, 2011:6-8). Konflik dan
perpecahan ini sangat mewarnai relasi NW dengan dunia politik. Kedua kubu selalu

132

Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Saipul Hamdi

berseberangan dalam kebijakan politiknya sehingga konflik mengalami perluasan ruang ke ranah
politik.
Perubahan (Re)-orientasi Politik NW Pasca Otonomi Daerah
Kejatuhan Suharto pada tahun 1998 yang disertai dengan perubahan sistem pemerintahan
ke desentralisasi dan otonomi daerah menjadi berkah tersendiri bagi Ormas-ormas Islam yang
memiliki basis massa besar seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan termasuk NW. Mereka dapat
berpartisipasi kembali pada ranah politik dan memainkan peran penting karena memiliki berbagai
modal (ekonomi, sosial kultural dan simbolik). Sebagian besar tokoh Ormas berperan sebagai
pendiri atau pengurus partai politik (Ridwan, 2010:335; Abdillah, 1999:14-15).
Ikatan sejarah yang begitu kuat antara Ormas Islam dengan dunia politik praktis sejak masa

Orde Lama telah melahirkan tradisi dan budaya politik praktis di lingkungan Ormas. Sulit untuk
memisahkan dengan jelas „batasan‟ antara Ormas dengan politik praktis. Lahirnya partai Masyumi,
Parmusi, PNU, dan lain-lain di era 1950-an dan PKB, PAN, PKS, PBB, PBR dan PKNU di era
reformasi merupakan representasi dari Ormas-ormas Islam (Mujani, 1999:195-196). Partai-partai
ini lahir dari gagasan para tokoh Ormas.
Di internal NW sendiri tidak ada upaya para tokohnya untuk mendirikan sebuah partai
politik. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor misalnya, munculnya konflik di tubuh NW ketika
masa transisi kepemimpinan setelah pendiri NW wafat tahun 1997 (Saprudin, 2005:1;
Smith&Hamdi, 2009:16-17; Hadi, 2010:65). Selain itu faktor sumber daya manusia yang masih
minim dan keterbatasan jumlah massa yang relatif kecil jika ditarik ke level nasional. Begitu juga
dengan akses kekuasaan yang begitu jauh membuat NW kesulitan berkembang di tingkat
nasional, ia lebih dominan di tingkat lokal (Hamdi, 2011:2). Sebagai kelompok mayoritas di
Lombok bisa saja tokoh NW membentuk partai lokal seperti di Aceh.
Meski tidak mendirikan partai politik, tokoh-tokoh NW berperan aktif pada politik praktis.
Mereka berafiliasi ke partai politik yang sesuai dengan platform dan visi-misi organisasi. Seperti
yang sudah disinggung pada latar belakang di atas bahwa keterlibatan NW di dunia politik telah
berlangsung lama sejak masa Sukarno. Pendiri NW, TGH. Zainuddin menduduki posisi penting
di partai Masyumi dan Parmusi, kemudian di Golkar setelah Suharto memegang kendali
pemerintahan (Noor et al, 2004:245). Perubahan iklim sosial-politik di era reformasi dan otonomi
daerah mendorong NW mengkaji kembali pilihan afiliasi partai politik sebelumnya. Sebelum

membahas lebih jauh perubahan orientasi politik NW pasca otonomi daerah, terlebih dahulu akan
dikupas sejarah hubungan NW dengan politik pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Ini sangat
penting dalam rangka memahami keterlibatan NW dan pilihan-pilihan ideologis kepartaiannya.
Menurut penulis, TGH. Zainuddin tidak pernah mempersoalkan antara ideologi Islam dengan
nasionalis di dalam berpartai, sebaliknya dia mampu beradaptasi dengan kedua ideologi itu.
Keterlibatan NW pada ranah politik praktis teridentifikasi ketika TGH. Zainuddin memulai
karir politiknya sebagai pengurus partai Masyumi. Potensi besar TGH. Zainuddin menyebabkan
Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

133

Politik, Agama dan Kontestasi Kekuasaan Nahdlatul Wathan di Era Otonomi Daerah Lombok, NTB

dia diangkat sebagai ketua Badan Penasehat Masyumi untuk daerah Lombok Pada 1952 (Noor et
al., 2004:246). Dia tetap bertahan di Masyumi walaupun NU menyatakan keluar dari Masyumi
karena konflik kepentingan. Pada 1955 dia terpilih menjadi anggota Konstituante RI hasil
pemilihan umum pertama periode 1955-1959. Setelah Sukarno membubarkan Masyumi 1960
karena dinilai terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI), TGH. Zainuddin beralih ke Parmusi (Noor et al, 2004:247).

Ketika Suharto muncul di pentas politik nasional, NW ikut mengubah haluan politiknya
yakni bergabung dengan Sektariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sekber Golkar yang
terdiri dari 7 Kino yakni Kosgoro, Soski, MKGR, Hankam, Gakari, Organisasi Profesi dan
Gerakan Pembangunan untuk Menghadapi Pemilu 1971 sepakat melebur menjadi partai politik
(Ricklef, 2005:545). Dukungan NW ke Golkar setidaknya dilatarbelakangi oleh dua faktor:
pertama, Golkar merupakan partai Orde Baru yang dinilai berjasa menumpas gerakan komunisme
di Indonesia. Keberhasilan ini paling tidak bagi NW adalah sebuah kemaslahatan bagi kaum
Muslimin sehingga perlu didukung. Kedua, Golkar dapat mengakomodir aspirasi politik NW pada
waktu itu. Pada Pemilu 1971 TGH. Zainuddin terpilih sebagai anggota MPR dari Golkar dan di
Pemilu 1982 terpilih sebagai anggota MPR RI dari Fraksi Utusan Daerah (Noor et al, : 2004:247248).
Hubungan NW dengan Golkar tidak selalu harmonis, gesekan-gesekan antara elit kerap
terjadi. Tokoh NW seringkali dikecewakan oleh petinggi Golkar karena tidak menepati janji
politiknya. Akan tetapi NW tidak pernah secara tegas menyatakan keluar dari partai Golkar. Pada
Pemilu 1982 misalnya, NW secara simbolik tidak lagi mendukung Golkar dan cenderung ke PPP
(Hamdi, 2011:131). Sikap politik tokoh NW menuai kecaman dari Golkar. Selain itu kebijakan ini
juga menimbulkan konflik di kalangan internal elit-elit NW karena mereka dihadapkan pada
pilihan yang dilematis yaitu, tetap di Golkar atau keluar dengan konsekuensi mereka akan di-recall
dari posisi anggota dewan. Jika memilih Golkar mereka harus keluar dari NW. Sebagian besar
tokoh NW keluar dari Golkar dan sebagian tetap di Golkar. Di antara tokoh NW yang terkena
dampak konflik politik ini yaitu TGH. Zainal Abidin dari Sakra, TGH. Sakaki dari Lombok Barat,

TGH. Zaini dari Padamara, dan TGH. Najamuddin dari Praya (Hadi, 2010:72; Hamdi, 2011:131).
Di era reformasi keberadaan NW sangat dipertimbangkan oleh partai-partai politik
nasional. Namun afiliasi politik NW mengalami perpecahan karena NW sedang dalam konflik
internal. Seperti yang telah disinggung di atas bahwa setelah TGH. Zainuddin wafat tahun 1997,
dan Muktamar 1998, NW terpecah menjadi dua kubu yaitu, NW Anjani dan NW Pancor (Smith
& Hamdi, 2009:1-3; Hadi, 2010:75-76; Hamdi, 2011:4). Sebelumnya hanya ada satu NW yang
berpusat di Pancor. Konflik ini menimbulkan kompetisi dan rivalitas yang sangat kuat antara
kedua kubu tidak hanya terkait dengan isu pendidikan, sosial dan dakwah, tetapi juga dalam
bidang politik. Kedua kubu NW memiliki afiliasi partai politik yang berbeda-beda.
Konsekuensinya ketika momentum politik datang seperti Pemilu, Pilkada dan Pilpres maka
gesekan antara jamaah NW tidak dapat dihindari (Hamdi, 2011:136-137; Hamdi, 2011:9-10).

134

Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Saipul Hamdi

Pada Pemilu 1999 kubu NW Pancor bergabung ke Partai Daulat Rakyat (PDR) pimpinan

Adi Sasono, sementara kubu NW Anjani tetap bersama Golkar (Hadi, 2010:81; Hamdi, 2011:135136). Pada Pemilu 2004 kedua kubu mengubah haluan politiknya, kubu NW Pancor berafiliasi ke
PBB pimpinan Yuzril Ihza Mahendra, sedangkan kubu Anjani bergabung ke PBR yang didirikan
oleh KH. Zainuddin, MZ (Hadi, 2010:81; Hamdi, 2011:135-136).
Adapun hasil kedua kubu dalam perolehan suara pada Pemilu 2004 hampir berimbang.
Kedua kubu berhasil mengantarkan kadernya sebagai anggota DPR RI di pusat. Kubu NW
Pancor mengantarkan TGKH. Zainul Majdi atau yang dikenal dengan Tuan Guru Bajang atau
„Bajang‟, sedangkan NW Anjani diwakili oleh Lalu Gede Syamsul Mujahidin. Berikut adalah tabel
suara sah partai politik di NTB,
Tabel 1.
Perolehan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu 2004 di Provinsi NTB

No.
1.
2.
3.
4.
5.

Partai Politik
Partai Golongan Karya
Partai Bulan Bintang
Partai Bintang Reformasi
Partai Persatuan Pembangunan
PDI Perjuangan

DPRD II
Kabupaten
103.008
96.848
68.802
45.823
32.775

Suara Sah
DPRD I
Provinsi
71.374
81.397
59.098
38.216
24.120

DPRD
Pusat
94.060
112.278
69.300
44.323
30.223

Sumber: BPS Lombok Timur, 2006.
Pada Pemilu 2009 kubu NW Pancor jauh lebih dominan daripada Anjani baik di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota. Di tingkat provinsi PBB (7.06%), dan PBR (3.95%). Adapun di
urutan pertama adalah Golkar (15.72%), Demokrat (11.75%), dna PKS (7.22%). Sedangkan di
tingkat kabupaten Lombok Timur kedua kubu NW masih cukup dominan PBB (11.11%), dan
PBR (8.61%). Mereka masih di bawah Demokrat (15.81%) dan Golkar (13.97%) (Http://kpudntbprov.go.id, diakses tanggal 1 November 2001). Meskipun meraih suara yang signifikan namun
kedua partai afiliasi politik NW (PBB dan PBR) tidak mencapai batas minimal „parliamentary
threshold‟ 2.5%. Dengan demikian mereka tidak memiliki wakil di DPR RI. Persoalan baru ini
mendorong tokoh kedua kubu NW bergabung dengan partai besar.
Pada bulan April 2011 kubu NW Pancor meninggalkan PBB dan menyeberang ke
Demokrat. Bajang, Ketua Umum PB NW Pancor dan gubernur NTB, terpilih secara aklamasi
sebagai Ketua DPD Partai Demokrat periode 2011-2015 dalam Musda II Partai Demokrat NTB
yang berlangsung di Grand Legi Hotel Mataram. Setelah terpilih, Bajang mengungkapkan rasa
syukur diberi kepercayaan untuk memimpin Demokrat. Dalam ceramahnya Bajang melihat ada

Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

135

Politik, Agama dan Kontestasi Kekuasaan Nahdlatul Wathan di Era Otonomi Daerah Lombok, NTB

dua alasan kenapa dia memilih pindah ke Demokrat yaitu, visi partai Demokrat yang nasionalis
dan religius. Bajang mengatakan, visi ini sangat cocok bagi NTB dan Indonesia ke depan. Selain
itu budaya politik sopan santun yang dikembangkan Demokrat. Bajang apresiatif dengan politik
santun dan hal itulah yang paling mendasar mengapa dirinya meninggalkan PBB dan merapat ke
Demokrat.
Tarik ulur justru terjadi di kubu NW Anjani yang berencana bergabung dengan partai
Gerindra. Rencana ini ditentang oleh pengurus pusat PBR yang lebih memilih bergabung dengan
PAN. Pengurus pusat PBR mengancam untuk me-recall anggota dewan dari NW Anjani yang
menyeberang ke partai selain PAN. Sementara kubu NW Anjani merasa berat ke PAN karena
dinilai partai Muhammadiyah. Ideologi NW yang berbeda dengan Muhammadiyah menjadi
kendala utama kubu NW Anjani bergabung ke PAN. Hingga sekarang masih terjadi proses
negosiasi antara pengurus pusat dengan pengurus wilayah yang didominasi oleh tokoh-tokoh NW
Anjani.
Membangun Kekuasaan di Tengah Konflik Internal: Kasus Pilkada 2008
Kesuksesan NW dalam bidang politik pasca otonomi daerah tidak hanya pada wilayah
legislatif, tetapi juga eksekutif. Pada tataran eksekutif NW telah mencetak sejarah baru
memenangkan kontestasi politik pada Pilkada 2008 untuk posisi gubernur dan bupati (Hamdi,
2011:136; Hamdi, 2011:10). Kemenangan ini memiliki makna khusus bagi tokoh dan jamaah NW
karena diperoleh dengan perjuangan yang tidak kenal lelah. Tidak banyak orang yang
memprediksi jika NW mampu melewati tantangan yang berat ini, dimana mereka harus
berhadapan dengan rival kuat dari eksternal dan internal. Musuh terbesar berasal dari internal
NW, kubu NW Anjani mendukung salah satu calon dari luar NW. Pilkada 2008 sarat dengan
muatan konflik NW karena isu ini dijadikan komoditas politik oleh tokoh-tokoh NW dan para
calon lainnya (Hamdi, 2011:150).
Sebelum menganut sistem Pilkada langsung NW belum pernah mencalonkan kadernya
sebagai kepala daerah. Pemerintahan selama ini dipegang oleh orang dari luar NW. Jamaah NW
lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok luar untuk kepentingan politik. Pemerintah lokal
(gubernur dan bupati) tidak pernah netral di dalam melihat persoalan konflik NW, malah
menjadikan konflik NW sebagai alat melanggengkan kekuasaan. Salah satu tokoh NW Najmul
Akhyar mengatakan, ada ketakutan dari „tokoh luar NW‟ melihat NW bersatu karena dapat
mengancam kepentingan politik dan ekonomi mereka (Hamdi, 2011:299). Jika NW bersatu tidak
mungkin dapat ditandingi kekuatannya karena hampir dapat dipastikan jamaah NW akan
mendukung dan taat kepada mereka. Dengan demikian pihak pemerintah harus memihak salah
satu kubu NW untuk memancing kecemburuan dan memanaskan suasana antara elit NW. Pada
masa bupati Syahdan (1999-2003) dia lebih condong ke NW Pancor, berbeda dengan bupati Ali
Bin Dachlan (2003-2008) yang lebih condong ke kubu NW Anjani (Hamdi, 2011:297).

136

Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Saipul Hamdi

Pada tahun 2008 untuk pertama kali provinsi NTB melaksanakan Pilkada langsung untuk
mengisi kursi gubernur NTB dan Bupati Lombok Timur. NW yang memiliki basis massa besar
ibarat gadis yang sangat laku. Banyak calon yang berusaha meminang dan menawarkan koalisi
baik di kubu Pancor maupun di Anjani. Merespon tawaran-tawaran itu langkah lebih maju
diambil kubu NW Pancor dengan mencalonkan salah satu tokoh terbaik mereka yaitu ketua
umum PB NW Pancor, TGKH. Zainul Majdi atau Bajang sebagai calon gubernur NTB dan
Sukiman Azmi sebagai bupati Lombok Timur. Pencalonan Bajang dilakukan melalui negosiasi
yang panjang penuh pertimbangan karena terkait dengan posisinya sebagai Tuan Guru dan Ketua
Umum PB NW. Sebagian jamaah NW khawatir ketika Bajang masuk di ranah politik praktis
sebagai Cagub akan merusak namanya sebagai tokoh agama, dan tentunya akan berpengaruh pada
esksistensi NW. Kekhawatiran lain adalah ketika Bajang mengahadapi suatu kasus dan didemo
dengan cacian, hinaan dan cibiran, maka berpotensi menimbulkan konflik dengan „jamaah NW‟
karena ketidaksiapan mereka melihat Bajang diperlakukan seperti itu.
Pada awalnya Bajang tidak mau dicalonkan sebagai Cagub karena merasa tidak mempunyai
cukup pengalaman mengelola birokrasi di pemerintahan. Dorongan dan dukungan yang besar
dari berbagai pihak kepada Bajang dan izin restu dari ibunda Ummi Siti Rauhun memantapkan
langkah Bajang sebagai Cagub. Pencalonan Bajang sebagai gubernur dan Azmi sebagai bupati
Lombok Timur didukung oleh dua partai yaitu PBB dan PKS. PKS menetapkan Bajang sebagai
calon mereka dan kader PKS sebagai calon wakilnya yaitu Badrul Munir. Begitu juga dengan
Cabup Lombok Timur Azmi (calon dari NW Pancor) juga didukung oleh PKS berpasangan
dengan Syamsul Lutfi (kakak kandung Bajang) (Hamdi, 2011:150).
Kubu NW Anjani mendukung calon dari luar NW yaitu Lalu Srinata berpasangan dengan
Husni Jibril sebagai Cagub dan Cawagub, sedangkan Moch. Ali Bin Dahlan berpasangan dengan
Gaffar Ismail sebagai Cabup dan Cawabup Lombok Timur. Kedua calon ini adalah incumbent.
Srinata berasal dari golongan aristokrat sedangkan Ali adalah kader NU yang dikenal dekat
dengan NW Anjani. Srinata didukung oleh koalisi partai besar yaitu Golkar, PDIP, PBR, dan
partai Patriot. Sedangkan Ali didukung oleh Golkar, PBR, Patriot, PKB, dan PPP (Hamdi, 2011:
150). Beberapa alasan kubu NW Anjani mendukung calon ini atau luar NW yaitu, pertama,
persoalan konflik internal NW. NW Anjani tidak mengakui eksistensi kepengurusan NW Pancor.
Jika mendukung calon mereka sama artinya dengan mendukung keberadaan mereka. Kedua,
trauma kekerasan yang dialami oleh elit dan jamaah NW Anjani ketika berhadapan dengan elit
dan jamaah NW Pancor. Ketiga, sebagai calon incumbent Srinata dan Ali adalah calon kuat sehingga
tidak sulit untuk mengalahkan calon lain. Selain alasan tersebut NW Anjani juga mempunyai misi
khusus mengalahkan calon NW Pancor supaya tidak naik. Upaya-upaya tersebut dapat dilihat dari
black campaign oleh tokoh NW Anjani terhadap Bajang.
Konflik NW yang telah masuk pada ranah politik telah membuat situasi politik lebih panas
dan kontra produktif di kalangan jamaah NW. Sementara jamaah NW yang dikenal loyal terhadap
pimpinan dihadapkan pada pilihan yang serba dilematis, apakah mengikuti kebijakan organisasi
Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

137

Politik, Agama dan Kontestasi Kekuasaan Nahdlatul Wathan di Era Otonomi Daerah Lombok, NTB

atau harus memilih sesuai dengan hati nurani. Terdapat dua kecenderungan yang muncul di
kalangan jamaah NW yaitu sebagian mengikuti kebijakan organisasi dan sebagian memilih
independen. Adapun wacana yang berkembang di kalangan jamaah NW terkait dengan Cagub
dan Cabup dari NW terbagi menjadi tiga kelompok; kelompok pertama, mendukung kedua calon
baik Cagub dan Cabup. Kelompok kedua, medukung Cagub saja dan tidak Cabup karena mereka
menilai Cabup incumbent Ali Bin Dachlan sudah memimpin dengan baik. Kelompok ketiga,
mendukung Cabup saja, tetapi tidak Cagub karena adanya kekhawatiran jika Bajang naik akan
merusak reputasinya.
Jadwal Pilkada Cagub dan Cabup dilaksanakan secara serentak yaitu bulan Juli 2008. Begitu
juga dengan jadwal kampanye dilaksanakan bersamaan walaupun tempat dan harinya berbeda.
Karena didukung oleh partai yang sama maka calon dari kedua kubu NW seringkali melakukan
kampanye gabungan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengorganisiran massa. Situasi
kampanye calon NW selalu „panas‟ karena kuatnya gesekan dan aura konflik. Terlebih jika
keduanya berkampanye melewati kantor pusat masing-masing, di mana massa saling berhadaphadapan. Aksi saling ejek, saling lempar dan perkelahian tidak dapat dihindari.
Kampanye calon dari NW termasuk kampanye yang paling ramai, emosional dan atraktif
karena kedua kubu NW menggunakan media agama yaitu pengajian sebagai alat kampanye.
Penggunaan media agama pengajian sebagai alat kampanye karena dinilai sangat efektif untuk
melakukan indoktrinisasi dan pengajian telah menjadi salah satu tradisi dakwah dan media
silaturrahmi di antara warga NW. Biasanya pengajian dilakukan secara harian, mingguan, bulanan
dan tahunan keliling ke tempat-tempat jamaah di seluruh penjuru desa pulau Lombok. Pengajian
inilah yang menjadi investasi besar Bajang sebelum terpilih jadi gubernur, dia sangat terkenal
melalui pengajian-pengajiannya di masyarakat. Penulis melihat adanya peran politik agama yang
dimainkan oleh semua calon termasuk calon dari kubu NW.
Kubu NW Anjani menggunakan wacana konflik dan kekerasan di setiap kampanye,
berbeda dengan kubu NW Pancor yang justeru mengembangkan wacana islah atau rekonsiliasi di
kampanye mereka. Elit-elit NW Anjani lebih banyak mencela, menghina dan menjelekkan calon
dari NW Pancor ketika berkampanye di pengajian, sementara kubu NW Pancor lebih memilih
politik santun mengajak pada perdamaian, persatuan, solidaritas dan kekompakan. Pilihan wacana
kampanye yang dilakukan oleh kubu NW Pancor berdampak positif bagi perolehan suara dan
jamaah NW. Secara umum kesadaran mulai tumbuh di kalangan elit dan jamaah NW, banyak
tokoh-tokoh NW Anjani menyatakan dukungannya terhadap pencalonan Bajang (Cagub) dan
Azmi (Cabup). Bajang dipandang mampu memimpin NTB dan menyelesaikan konflik NW. Dia
juga dianggap orang yang tepat menggantikan tokoh kharismatik TGH. Zainuddin yang tidak lain
adalah kakeknya. Bajang dikenal memiliki gaya orasi dan ceramah agama yang sangat bagus dan
berpikir progresif, moderat, inklusif tanpa harus meninggalkan ideologi NW.
Kedua pasangan Cagub dan Cabup dari kubu NW Pancor akhirnya memenangkan pesta
demokrasi Pilkada 13 Juli 2008. Khususnya Bajang mampu memenangkan kursi gubernur dengan

138

Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Saipul Hamdi

raihan suara mutlak. Dari empat pasang Cagub, Bajang memperoleh suara 847.976 (38.84%), dan
urutan kedua adalah calon dari kubu NW Anjani sebanyak 581.123 (27.395), dari total suara sah
2.187.893. Sedangkan pasangan Cabup Lombok Timur, Azmi memenangkan kursi bupati dengan
raihan suara 278. 355 (49. 91%) dan di urutan kedua juga dari kubu NW Anjani Ali Bin Dahlan
dengan prolehan suara 255.962 (45,90) (Http://www.kpudntbprov.go.id, diakses tanggal 1
November 2011). Untuk lebih detailnya lihat tabel perolehan Cagub berikut ini,
Tabel 2.
Daftar Nama Calon dan Hasil Pilkada Gubernur NTB 2008
No. Urut
1.
2.
3.
4.

Nama Calon Gubernur
Ir. H. Nanang Samodra KA., M.Sc.
Muhammad Jabir, SH., MH.
KH. M. Zainul Madjdi, MA.
Ir. H. Badrul Munir, MM.
Drs. H. Lalu Serinata
H.M. Husni Djibril, B.Sc.
DR. H. Zaini Arony, M.Pd.
Nurdin Ranggabarani, SH., MH
Jumlah suara sah
Suara tidak sah

Jumlah Suara
370.919
847.976
581.123
387.875
2.187.893
84.235

Sumber: KPU Provinsi NTB
Membuka Tabir Keberhasilan Politik NW Pada Pilkada 2008: Kontestasi Wacana,
Legitimasi Agama dan Kharisma Kepemimpinan
Keberhasilan NW pada Pilkada Cagub dan Cabup Lombok Timur 2008 menyimpan
banyak rahasia dan teka-teki yang perlu ditafsirkan dan diesksplorasi secara ilmiah. Masyarakat
bertanya-tanya bagaimana kubu NW Pancor memenangkan Pilkada 2008 di dua kategori
sekaligus yaitu Cagub NTB dan Cabup Lombok Timur. Padahal kandidat lawan mereka adalah
calon-calon kuat berasal dari incumbent yang memiliki pengalaman politik jauh lebih matang.
Apalagi mereka didukung oleh partai-partai besar hasil koalisi.
Kontestasi politik yang anggun namun penuh emosional menguras energi yang cukup
dalam telah diperlihatkan oleh para kontestan khususnya calon-calon dari kedua kubu NW yang
sama-sama kuat. NW Anjani dan Pancor tidak memiliki perbedaan yang mendasar, hanya faktor
kekuasaanlah yang memaksa mereka untuk berpisah. Oleh karena itu pola-pola kampanye dan
media yang mereka gunakan hampir sama yaitu media agama, namun kenapa hasilnya berbeda?
Sub judul ini akan membahas faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemenangan kubu
NW Pancor dan kekalahan kubu NW Anjani pada Pilkada Cagub dan Cabup di tahun 2008. Dari
Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

139

Politik, Agama dan Kontestasi Kekuasaan Nahdlatul Wathan di Era Otonomi Daerah Lombok, NTB

fakta dan data di lapangan penulis melihat banyak faktor yang ikut mempengaruhi kemenangan
kubu NW Pancor di antaranya adalah, Pertama, konstruksi wacana sebagai materi kampanye.
Kubu NW Pancor menggunakan wacana islah atau rekonsiliasi sebagai materi kampanye,
sedangkan kubu NW Anjani menggunakan wacana konflik dan kekerasan. Di setiap kampanye
Bajang selalu mewacanakan islah dan pentingnya persatuan kembali elit dan jamaah NW seperti
zaman TGH. Zainuddin. Bajang mengajak kubu NW Anjani dan orang-orang yang tidak
menginginkan keluarga TGH. Zainuddin dan organisasi NW bersatu harus mengoreksi diri dan
membuka jalan dialog mencari solusi permasalahan yang ada. Bagi Bajang konflik dan perpecahan
NW adalah kecelakaan sejarah bagi kaum nahdliyin yang tidak perlu terjadi kedua kalinya.
Berbeda dengan elit-elit NW dari kubu Anjani yang menggunakan wacana konflik di dalam
kampanye. Konflik NW dijadikan sebagai komoditas politik oleh tokoh NW Anjani dengan
tujuan supaya masyarakat tidak mendukung dan memilih Bajang yang dinilai bertanggung jawab
atas konflik dan perpecahan NW. Penulis menilai bahwa pilihan wacana konflik oleh NW Anjani
tidak lagi relevan dengan kondisi lapangan di masyarakat, dimana masyarakat sedang dalam
proses rekonsiliasi terutama di tingkat keluarga. Sebagai catatan konflik dan kekerasan antara
jamaah NW mengalami puncak pada tahun 2002 yang menelah korban jiwa dan harta dari kedua
belah pihak. Masyarakat sangat trauma dengan konflik tersebut, bahkan banyak di antara mereka
harus berpisah dengan keluarga, kerabat, teman dan kolega karena berbeda mazhab NW-nya. Di
sinilah letak kelemahan elit-elit NW Anjani yang tidak jeli dan tidak mampu mengakomodir
aspirasi jamaah NW yang menginginkan kehidupan harmonis dan „normal‟ supaya dapat
memenuhi kebutuhan ekonomi mereka dengan cara menyatukan kembali jamaah NW.
Kedua, pengaruh keturunan „TGH. Zainuddin‟. Bajang adalah keturunan langsung dan darah
daging pendiri NW TGH. Zainuddin, yaitu cucu dari anak pertamanya Siti Rauhun. Keturunan
TGH. Zainuddin mendapat tempat khusus di kalangan jamaah NW. Mereka sangat dihormati,
dihargai dan dikeramatkan seperti keluarga Nabi karena faktor kekeramatan TGH. Zainuddin.
Artinya keluarga TGH. Zainuddin memiliki stratifikasi sosial yang lebih tinggi, dan paling tinggi di
komunitas NW. Jika diberi pilihan untuk memilih keluarga TGH. Zainuddin dengan orang lain
maka masyarakat akan mendukung keturunan TGH. Zainuddin meskipun dia biasa-biasa saja,
apalagi jika dia mampu maka sulit bagi calon lain bersaing merebut hati jamaah NW. Kesuksesan
Cabup Lombok Timur misalnya dari kubu NW Pancor tidak lepas dari faktor Syamsul Lutfi yang
menjadi Cawabup yang tidak lain adalah kakak kandung Bajang.
Ketiga, kharisma. Bajang termasuk salah satu pemimpin agama yang dikenal kharismatik. Dia
diyakini orang yang tepat menggantikan kakeknya sebagai pemimpin NW dibanding dengan
saudara sepupunya yang lain dan dialah yang mewarisi keilmuan dan kharisma kakeknya. Bagi
jamaah NW melihat Bajang sama dengan melihat TGH. Zainuddin. Keempat, modal agama dan
modal budaya yang dimiliki Bajang. Bajang adalah sosok yang memiliki pengetahuan agama yang
luas. Dia menghabiskan waktu studi di Universitas Al-Azhar Kairo hingga memperoleh gelar S3
summa cum laude. Dengan skill orasi dan ceramahya yang sangat atraktif Bajang sangat populer di

140

Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Saipul Hamdi

Lombok. Modal inilah yang mendorong orang kagum dan mencintainya. Kelima, keterbukaan
dengan kelompok lain. Kehadiran Bajang telah membawa perubahan besar di kalangan jamaah
NW karena membawa wacana-wacana baru yang lebih moderat, inklusif, dialogis dan toleran.
Wacana ini sangat ‘taboo’ bagi jamaah NW. Dampaknya hubungan NW dengan organisasi lain
sangat terbatas bahkan seringkali menimbulkan gesekan-gesekan. Bajang yang hadir dengan sosok
baru tersebut lebih diterima oleh kelompok luar termasuk dari kalangan NU dan Muhammadiyah.
Ketika Pilkada dukungan lintas organisasi dan lintas agama sangat membantu Bajang meraih
kesuksesan. Keenam, popularitas. Jauh sebelum Pilkada 2008 Bajang sangat populer tidak hanya di
kalangan jamaah NW tetapi juga di Lombok melalui dakwah dan pengajian-pengajian keagamaan.
Ketujuh, kerja keras partai pendukung, PKS dan PBB. Faktor PKS sangat penting di dalam
pemenangan Bajang dan Cabup Lombok Timur. PKS mensosialisasikan Cagub dan Cabup secara
door to door, meskipun di basis massa pendukung calon lain. PKS juga sangat antisipasitf dengan
money politic dan serangan fajar yang dilakukan calon lain. Kedelapan, salah satu rival berat Bajang
terkena kasus korupsi. Lalu Srinata yang didukung oleh kubu NW Anjani dan partai-partai besar
sedang tersandung kasus korupsi sehingga menurunkan tingkat elektabilitasnya.
Dampak Kekuasaan ‘ NW Bajang’ terhadap Rekonsiliasi NW
Setelah memenangkan Pilkada Cagub dan Cabup 2008, nama NW semakin populer dan
sangat dipertimbangkan di ranah politik khususunya di Lombok, NTB. Kemenangan ini menjadi
titik awal dan modal penting bagi kader-kader NW untuk lebih percaya diri ikut bertarung dan
berpartisipasi di dalam pemerintahan. Realitas politik lokal menunjukkan bahwa langkah dan
kesuksesan Bajang di dalam kontestasi kekuasaan diikuti oleh kader-kader NW lain. Misalnya,
pada Pilkada 2009 di Lombok Barat, tokoh NW Zaini Arony berhasil memenangkan kursi bupati
priode 2009-2014. Arony tercatat sebagai salah satu pengurus di jajaran struktural PB NW pro
Pancor. Najmul Akhyar, salah satu tokoh NW juga berhasil menjadi pemenang pada Pilkada 2010
di Lombok Utara untuk posisi wakil bupati.
Salah satu alasan pencalonan Bajang sebagai gubernur adalah supaya dapat menyelesaikan
konflik dan perpecahan NW. Dia menilai bahwa dengan jalan ikhtiar politik inilah dia memiliki
modal besar untuk membuka kran dan menegosiasikan kembali proses rekonsiliasi NW (Hamdi,
2011:9-10; Hamdi dan Smith, 2011:10-12). Selama ini Bajang seringkali dipandang sebelah mata
oleh NW kubu Anjani yang merasa sebagai kelompok NW yang sah karena memenangkan kursi
ketua PB NW pada Muktamar Praya 1998. Selain itu NW Anjani juga mengklaim sebagai kubu
yang memiliki massa lebih besar. Kondisi inilah yang mempersulit langkah Bajang merekonstruksi
langkah dan strategi resolusi konflik NW. Maka untuk melihat komitmen, konsistensi dan
pengaruh kekuasaan Bajang dalam menyatukan NW pasca menjadi gubernur akan dibahas dalam
sub judul ini. Hal ini sangat penting untuk melihat relasi kekuasaan dengan proses rekonsiliasi dan
resolusi konflik.

Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

141

Politik, Agama dan Kontestasi Kekuasaan Nahdlatul Wathan di Era Otonomi Daerah Lombok, NTB

Janji politik Bajang selama kampanye untuk menyatukan NW terus dilakukan, walaupun
hasilnya belum kelihatan selama dua tahun kepemimpinannya sebagai gubernur. Berbagai
pendekatan telah dilakukan termasuk pendekatan kekeluargaan, agama dan pendekatan politik
untuk mencapai resolusi dan mendialogkan akar persoalan yang memicu konflik NW (Hamdi,
2011:352-354; Hamdi dan Smith, 2011:10-11). Pendekatan kekeluargaan misalnya belum mampu
menggugah kesadaran para aktor yang terlibat konflik untuk duduk bersama membicarakan
langkah dan strategi penyatuan kembali NW. Justru „keluarga‟ dijadikan sebagai pangkal persoalan
NW karena gagal melakukan sharing kekuasaan khususnya di kalangan keturunan TGH.
Zainuddin. (Hamdi, 2011:11). Begitu juga dengan pendekatan politik selalu kandas karena
kuatnya kepentingan pribadi dan kelompok di masing-masing kubu NW. Ketika mencalonkan
Bajang sebagai Cagub dan Sukiman sebagai Cabup Lombok Timur, kubu NW Pancor
mewacanakan koalisi dengan NW Anjani dalam sharing kekuasaan di pemerintahan. Asal
mendukung Bajang, NW Anjani ditawari posisi bupati atau wakil bupati Lombok Timur. Tawaran
ini tidak pernah direspon oleh kubu NW Anjani, mereka lebih tertarik mencalonkan orang lain di
luar NW. Segala yang berbau NW Pancor tidak pernah ditanggapi serius oleh kubu NW Anjani
dan mereka mencoba menutup segala peluang dan akses kubu Pancor termasuk dalam bidang
politik dan kekuasaan.
Upaya rekonsiliasi atau islah tidak pernah berhenti dilakukan oleh Bajang meskipun
kenyataanya islah NW mendekati hukum „mustahil‟. Di tengah kebuntuan jalan islah NW, secara
mengejutkan pada tahun 2010 tiba-tiba kedua tokoh NW mengumumkan adanya kesepakatan
islah (Hamdi, 2011:10-12). Proses islah NW diinisiasi oleh para elit NW dari kedua kubu melihat
adanya peluang besar untuk bekerja sama dalam bidang politik. NW Pancor menawarkan bantuan
politik kepada NW Anjani yang mencalonkan putra Raihanun yaitu TGH. Lalu Gede Muhammad
Ali Wira Sakti Amir Murni sebagai Cabup Lombok Tengah. Tawaran bantuan dan kerja sama
politik oleh kubu NW Pancor akhirnya diterima oleh kubu NW Anjani demi kesuksesan Sakti.
Kubu NW Anjani membutuhkan suara NW untuk memenangkan Pilkada tersebut. Jika suara
NW pecah sulit bagi Sakti untuk meraih kemenangan karena harus berhadapan dengan dua lawan
politik ekternal dan internal NW.
Untuk merealisasikan ide islah tersebut elit-elit NW dari Pancor terus bergerak melakukan
lobi kepada tokoh kunci NW yaitu Siti Raihanun. Mawardi, Sekjen PB NW Pancor diberikan
tugas bertemu dan berbicara dengan Raihanun. Pertemuan Mawardi dengan Raihanun
membuahkan hasil yang positif, dia sangat merespon niat baik dan tawaran dari kubu Pancor.
Bajang sendiri bersyukur dengan diterimanya tawaran islah ini dan berusaha mempertemukan
keluarga besar TGH. Zainuddin secepatnya. Sebelum kedua putri TGH. Zainuddin bertemu
terlebih dahulu diadakan tablig akbar di Praya Lombok Tengah yang mempertemukan Sakti
dengan Syamsul Lutfi, yang didampingi oleh masing-masing pengurus NW. Inilah untuk pertama
kalinya cucu TGH. Zainuddin bertemu dalam satu panggung setelah berpisah selama 13 tahun.

142

Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Saipul Hamdi

Pertemuan kedua cucu TGH. Zainuddin ditindak lanjuti dengan pertemuan kedua putrinya;
Siti Rauhun dan Siti Raihanun. Keduanya merupakan tokoh kunci di dalam konflik NW, mereka
terlibat konflik pasca ayah mereka wafat tahun 1997. Keduanya tidak pernah bertemu selama 13
tahun sejak 1997-2010 setelah terlibat konflik dan perpecahan. Mereka bertemu di makam TGH.
Zainuddin di Pancor yang didampingi oleh anak-anak mereka dan elit-elit NW. Setelah berzikir
dan berdoa di depan makam, mereka selanjutnya berkunjung ke rumah Rauhun. Mereka kembali
berzikir dan berdoa sebagai ucapan rasa syukur. Mereka kemudian pergi berbicara di dalam kamar
yang diikuti hanya oleh keluarga TGH. Zainuddin.
Pertemuan keluarga ini disosialisasikan dan dipublikasikan oleh berbagai media cetak dan
elektronik. Kubu NW Pancor membuat baliho besar yang berisi foto keluarga TGH. Zainuddin
yang di pajang di depan lingkungan pesantren NW Pancor. Bajang juga mengadakan pawai islah
keliling dari Lombok Timur hingga Mataram sebagai bagian dari sosialisasi islah (Hamdi, 2011:1012). Selain itu mereka juga mengundang keluarga NW Anjani dan tokoh yang lain untuk
melakukan hiziban dan zikir bersama di pesantren Pancor. Secara bergantian kubu Anjani juga
mengundang tokoh-tokoh NW Pancor berkunjung ke Anjani (Hamdi, 2011:10-12). Bersatunya
keluarga besar TGH. Zainuddin memiliki makna simbolik bahwa NW telah bersatu karena akar
persoalannya adalah konflik keluarga. Jika keluarga TGH. Zainuddin bersatu kembali, maka para
pendukungnya secara otomatis akan mengikutinya, meskipun dalam pertemuan itu mereka tidak
membahas mekanisme islah organisasi.
Pada putaran pertama Pilkada 2010 Lombok Tengah Sakti mampu mengungguli enam
calon bupati yang lain dengan prolehan suara 24.71%, disusul urutan kedua adalah Maiq Meres
dengan suara 21.83%, Jari 19.94%, Suke 19.33%, Sudi 5.38 dan Tarzan 0.57%. Karena tidak ada
pasangan yang memperoleh suara di atas 30%, maka pertarungan dilanjutkan dengan putaran
kedua untuk dua calon yang memperoleh 20% ke atas yaitu Sakti dan Maiq Meres. Kemenangan
Sakti membuat heboh masyarakat karena dia tidak diunggulkan. Pada Pilkada sebelumnya di
tahun 2005 Sakti pernah mencalonkan diri sebagai Cawabup dan berada di posisi paling buncit.
Penulis melihat bahwa pengaruh islah NW memiliki peran yang sangat penting mendongkrak
perolehan suara Sakti. Di beberapa kesempatan kampanye Sakti kedua putri TGH. Zainuddin
(Rauhun dan Raihanun) ikut berkampanye untuk menarik massa supaya memilih Sakti. Bahkan
pada acara Hultah yang ke 75 di tahun 2010 di Pancor Bajang mengundang Raihanun selaku
ketua umum PB NW Anjani dan anaknya Sakti untuk hadir. Itulah momen bersejarah lain selama
proses islah NW dan untuk pertama kalinya kubu NW Anjani hadir. Bajang dalam ceramahnya
mengatakan „Tidak ada salahnya saya mendukung saudara saya untuk terus maju, kalau sudah
maju, tidak ada kata-kata mundur‟.
Pada putaran kedua Pilkada Lombok Tengah 2010, di luar dugaan Sakti kalah telak dari
Maiq Meres. Maiq Meres memperoleh suara sebanyak 269.981 (59.3%) dan Sakti 185.680 (40.7%)
(Http://www.antaramataram.com, diakses tanggal 1 November 2011). Kekalahan Sakti ternyata
berdampak besar terhadap proses rekonsiliasi NW yang telah berjalan. Pasca kekalahan itu proses
Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

143

Politik, Agama dan Kontestasi Kekuasaan Nahdlatul Wathan di Era Otonomi Daerah Lombok, NTB

islah tersendat-sendat, bahkan tidak ada gaung islah yang muncul di kalangan elit-elit NW. Kedua
kubu NW segan untuk membicarakan islah secara organisasi karena masih larut dalam kesedihan
pasca kekalahan Pilkada. Kedua kubu NW menjalankan organisasi seperti biasa, tetap memakai
dualisme kepemimpinan. Informasi yang kurang bagus muncul terkait dengan kekalahan sakti,
dimana sebagian elit NW Anjani mengklaim kubu Pancor tidak serius dan tidak maksimal
membantu pemenangan Sakti. Berbeda dengan kubu NW Pancor yang merasa telah berbuat
maksimal membantu kesuksesan sakti, bahkan mereka membatu secara finansial. Kubu Pancor
tidak dapat memendam kekecewaan mereka setelah mengetahui kekalahan Sakti, meskipun
demikian mereka bisa menerima kekalahan tersebut.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa Bajang pada dasarnya telah berhasil memenuhi
janjinya untuk mewujudkan islah NW setelah menjadi gubernur. Apapun alasan dan momentum
yang digunakan, bersatunya kedua putri TGH. Zainuddin yaitu Rauhun dan Raihanun adalah
prestasi terbesar yang dilakukan Bajang dalam sejarah NW. Setelah Bajang berkuasa NW Anjani
tidak pernah lagi melakukan diskrimiansi terhadap dirinya, bahkan dia sangat diterima di
komunitas NW Anjani. Walaupun hingga sekarang belum sempat terjadi proses komunikasi
lanjutan rekonsilaisi NW secara struktural, namun secara kultural dan simbolik NW telah bersatu.
Penulis memandang bahwa rekonsiliasi NW secara struktural hanya tinggal menunggu waktu
seiring berkembangnya komunikasi yang lebih terbuka dan intens antara jamaah NW.

KESIMPULAN
Nahdlatul Wathan merupakan salah satu Ormas Islam lokal di Lombok yang memiliki
tradisi dan budaya politik yang sangat kuat. Keterlibatan NW dalam bidang politik telah lama
terbangun sejak kemunculannya di awal-awal masa kejayaan partai Masyumi. Identitas politik NW
selalu berubah-ubah sesuai dengan perubahan arus politik nasional, terkadang religius dan
terkadang nasionalis. NW sangat fleksibel dan terbuka dengan perubahan-perubahan yang terjadi
sehingga NW tidak memiliki identitas politik yang jelas.
Perubahan orientasi politik NW dapat dilihat dalam beberapa kasus mulai dari pembubaran
Masyumi oleh Sukarno, dimana NW beralih ke Parmusi. Setelah Suharto berkuasa NW ikut
bergabung ke partai Golkar. Di era otonomi daerah perubahan besar terjadi di internal NW
dengan terus melakukan re-orientasi politik dengan berafiliasi ke partai-partai baru yang lebih
menjanjikan. Situasi NW yang mengalami konflik dan perpecahan pasca wafatnya TGH.
Zainuddin tahun 1997 memiliki pengaruh besar terhadap arah kebijkan politik NW. NW yang
terbagi menjadi dua kubu (NW Pancor dan Anjani) memilih afiliasi partai politik yang berbedabeda. Segragasi dan perpecahan ini memperluas wilayah konflik tidak hanya terkait status
kepemimpinan, tetapi juga ranah politik.
Prestasi politik terbesar NW di era otonomi daerah adalah memenangkan Pilkada gubernur
dan bupati Lombok Timur di tahun 2008. Kemenangan ini adalah sejarah baru dalam karir politik

144

Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Saipul Hamdi

NW karena berhasil melewati tantangan yang ekstra berat berhadapan unsur internal dan
eksternal. NW Anjani mendukung calon dari luar NW dan berusaha menjegal langkah politik
Bajang dengan membawa-bawa isu konflik NW ke ranah politik praktis. Tentu banyak faktor
yang ikut memberikan kontribusi kemenangan Bajang seperti faktor keturunan, kharisma, politik
agama, modal sosial, modal budaya dan lain-lain.
Keberhasilan ini juga memperkuat identitas politik NW sebagai kelompok mayoritas di
Lombok yang perlu dipertimbangkan kekuatannya. NW secara pelan-pelan dapat menjadi
penguasa di seluruh daerah di Lombok dengan terpilihnya kader-kader NW sebagai kepala
daerah. Meskipun kekuasaan Bajang belum mampu menyatukan NW secara struktural
keorganisasian, tetapi secara kultural dia telah berhasil.
SARAN
Penulis menyarankan bahwa satu-satunya jalan menyelesaikan konflik NW adalah dengan
sharing kekuasaan yang lebih besar di luar NW. Kenapa tokoh-tokoh NW harus sibuk dengan
kekuasaan yang terbatas di NW, sementara kekuasaan yang lebih besar di luar NW dapat dicapai
melalui kerja sama-kerja sama politik. Apa yang telah dilakukan Bajang dan tokoh-tokoh NW
yang menjadikan Pilkada Lombok Tengah sebagai media rekonsiliasi NW semestinya harus
dilanjutkan pada momentum-momentum politik yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. 1999. Islam Politik dan Islam Struktural. Dalam Hamid Basyaib dan Hamid
Abidin (ed), http//www.books.google.co.id, Tokoh Ormas Islam Mendirikan Partai Politik di
Indonesia, diunduh pada tanggal 1 November 2011.
Avonius, Leena. 2004. Reforming Wetu Telu: Islam, Adat and the Promises of Regionalism in Post-New
Order Lombok. Yliopistopaino: Helsinki.
Baharuddin. 2007. Nahdlatul Wathan & Perubahan Sosial. Yogyakarta: Genta Press.
Baharuddin dan Rasmianto. 2004. Maulana Lentera Kehidupan Umat. Malang: Mintra Insan
Cendekia.
BPS Provinsi NTB. 2008. NTB dalam Angka. Mataram: BPS NTB
BPS Lombok Timur. 2006. Lombok Timur dalam Angka. BPS Lombok Timur
Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta: LKiS.
Hadi, Abdul. 2010. Charismatic Leadership and Tradisional Islam in Lombok: History and Conflict in

Jurnal Review Politik
Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

145

Politik, Agama dan Kontestasi Kekuasaan Nahdlatul Wathan di Era Otonomi Daerah Lombok, NTB

Nahdlatul Wathan. Master Tesis. Australian National University.
Hamdi, S. & Bianca J. Smith. 2011. Sisters, Civilian Armies and Islam in Conflict: Questioning
„reconciliation‟ in Nahdlatul Wathan, Lombok. Contemporary Islam: Dynamics of Muslim Life.
DOI: 10.1007/s11562-011-0168-5.
Hamdi, Saipul. 2011. Reproduksi Konflik dan Kekuasaan dalam Organisasi Nahdlatul Wathan (NW) di
Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Disertasi S3. Universitas Gadjah Mada
---------------------- 2011. Politik Islah: Re-Negosiasi Islah, Konflik dan Kekuasaan dalam
Nahdlatul Wathan di Lombok Timur. Kawistara, vol 1, No 1: 1-14.
Haris, Syamsuddin. 2007. Desentralisasi & Otonomi Daerah. Jakarta: Lippi Press
Mujani, Saiful. 1999. Fraksi Reformasi. Dalam Hamid Basyaid dan Hamid Abidin (eds)
http://www. books.google.co.id, diunduh tanggal 1 November 2011.
Noor, Mohammad et al. 20