TERORISME DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

TUGAS MATA KULIAH
SISTEM HUKUM INDONESIA

‘TERORISME DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA’
(Tugas ini dibuat sebagai salah satu syarat guna mendapatkan nilai dan memenuhi mata kuliah
Sistem Hukum Indonesia)

Disusun oleh:
Lintang Noor Choliq Abduhafi

(14520125)

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN PSIP 8,9
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
YOGYAKARTA
2016

BAB I

Pendahuluan
A. LatarBelakang

Sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari peraturan-peraturan yang saling
berkaitan tidak bertentangan, bersifat kontinu atau terus-menerus, serta
berkesinambungan untuk menjaga keseimbangan tatanan dalam kehidupan masyarakat.
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh
pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk
mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi
pelanggarnya. Hukum adalah sesuatu yang memiliki ranah yang sangat luas, memiliki
banyak aspek dan bersifat abstrak. Untuk itu, terkadang untuk memahami lebih dalam
makna hukum dalam aspek tertentu, akan lebih mudah bila kita menelaahnya dari
beberapa sudut pandang dengan cara mengklasifikasikan berbagai macam aspek yang
terdapat dalam hukum itu sendiri.Hukum di sebuah negara memiliki sebuah sistem
hukum yang saling berkaitan satu sama lain.Dalam suatau sistem hukum pasti ada
bentuk-bentuk hukum yang digunakan dalam menjalankan hukum. Bentuk hukum sendiri
dibedakan menjadi dua yaitu secara tertulis dan tidak tertulis.Bentuk hukum tertulis bisa
kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari yaitu sebuah peraturan perundangan.
Sedangkan bentuk hukum yang tidak tertulis dapat kita jumpai dalam sebuah hukum adat.
Dalam tulisan ini akan membahas tentang terorisme dalam sistem hukum indonesia, yang
sudah diatur dalam Undang-Undang No 15 tentang Terorisme. Kemudian menjelaskan
tentang penyelesaian perkara yang kaitannya dengan lembaga peradilan yang ditunjuk
dalam menyelesaikan perkara terorisme.

B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa masalah yang diangkat dalam makalah
ini adalah,
a. Bagaimana Terorisme dalam Sistem Hukum Indonesia?
b. Bagaimana cara penyelesaian perkara Terorisme dalam kaitannya dengan
peradilan, sesuai dengan undang-undang yang berlaku?
C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui terorisme dalam sistem hukum Indonesia dan mengetahui lembaga
apa yang berwenang dalam menyelesaikan perkara Terorisme.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sistem Hukum Indonesia
Sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari peraturan-peraturan yang saling
berkaitan

tidak

bertentangan,


bersifat

kontinu

atau

terus-menerus,

serta

berkesinambungan untuk menjaga keseimbangan tatanan dalam kehidupan masyarakat.
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh
pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk
mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi
pelanggarnya. Hukum adalah sesuatu yang memiliki ranah yang sangat luas, memiliki
banyak aspek dan bersifat abstrak. Untuk itu, terkadang untuk memahami lebih dalam
makna hukum dalam aspek tertentu, akan lebih mudah bila kita menelaahnya dari
beberapa sudut pandang dengan cara mengklasifikasikan berbagai macam aspek yang
terdapat dalam hukum itu sendiri.
B. Terorisme dalam Hukum Indonesia

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap
peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama di
dunia ini. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan
mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme yang beroperasi
diberbagai Negara telah terkooptasi oleh suatu jaringan terorisme internasional serta
mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama satu sama lain baik dalam aspek
operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung (support infrastructure). 1
Tindak Pidana Terorisme merupakan tindak pidana murni (mala perse) yangdibedakan
dengan administrative criminal law (mala prohibita). Kriminalisasitindak pidana
terorisme sebagai bagian dari perkembangan hokum pidana dapatdilakukan melalui
banyak cara, seperti:
a. Melalui system evolusiberupaamandementerhadappasal-pasal KUHP.
b. Melaui system global melauipengaturan yang lengkapdiluar KUHP
termasukkekhususan hokum acaranya; dan
c. Sistem kompromidalambentukmemasukkanbabbarudalam KUHP
tentang“kejahatanterorisme”
Dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak PidanaTerorisme,
bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematisdengan maksud
untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara denganmembahayakan bagi badan,
1Moch. Faisal Salam, 2005, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung, hlm. 1 .


nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang ataumenimbulkan kerusakan umum
atau suasana teror atau rasa tacit terhadap orangsecara meluas, sehingga terjadi
kehancuran terhadap objek-objek vital yangstrategis, kebutuhan pokok rakyat,
lingkungan

hidup,

moral,

peradaban,

rahasiaNegara,

kebudayaan,

pendidikan,

perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitasumum, atau fasilitas internasional.
Pengertian yang berkaitan dengn terorisme diatas dapat ditarik kesimpulan,

bahwasanya terorisme adalah kekerasan terorganisir, menempatkan kekerasansebagai
kesadaran, metode berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari berbagaipengertian
diatas, menurut pendapat para ahli bahwasanya kegiatan terorisme tidakakan pernah
dibenarkan karena ciri utamanya, yaitu :
a. Aksi

yang

digunakanmenggunakancarakekerasandanancamanuntukmenciptakanketakutan
publik;
b. Ditujukan

kepada

Negara,

masyarakat

atau


individu

atau

kelompok

masyarakattertentu;
c. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga;
d. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat

dukungan

dengancarayangsistematisdanterorganisir.
Berdasarkan bentuknya hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: hukum yang
tertulis dan bentuk hukum yang tidak tertulis. Kedua bentuk hukum tersebut diatas,
adalah bentuk hukum yang sebenarnya telah sangat lazim kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Ketika dihadapkan dengan pertanyaan seperti apa contoh bentuk hokum yang
tertulis dan seperti apa contoh bentuk hokum yang tidak tertulis, maka kita akan serta
merta dapat menjawabnya sebagai peraturan perundang-undangan sebagai bentuk hukum
yang tertulis dan hukum adat sebagai bentuk hukum yang tidak tertulis.

Undang-Undang No 15 tentang Tindak Pidana Terorisme dirasakan telah bekerja
efektif dalam mengurangi kuantitas dan kualitas kejahatan teroris di Indonesia. Sebagai
instrumen hukum nasional, meski terdapat kekurangan UU Terorisme telah berkesesuaian
dengan hukum internasional. Menempatkan kejahatan teroris sebagai kejahatan
internasional (international crime). Karena dapat disejajarkan dengan pembunuhan masal
etnis, agama dan ras (genocide), kejahatan perang (war crimes), kejahatan kemanusiaan
(crime against humanity) dan kejahatan agresi (crime against agression).

Tetapi, dalam proses hukum acara pidananya, seperti penyelidikan dan penyidikan
memiliki perbedaan mendasar. Misalnya, atas dasar prinsip pre-emptive, penangkapan
terhadap tersangka

dilakukan tanpa bukti memadai menjadi tidak melanggar asas

praduga tak bersalah. Tim Densos 88 Anti Teroris, terdiri dari Polri dan TNI telah menjadi
institusi khusus cukup handal. Keterlibatan TNI diatur dalam Pasal 7 UU nomor 34
Tahun 2004 tentang Kedudukan TNI. Oleh karena, terorisme merupakan kejahatan luar
biasa yang membahayakan keutuhan negara, maka TNI ikut serta dalam penanganan
terorisme sebagai salah tugas operasi militer selain perang.
Kejahatan teroris sebagai kejahatan luar biasa dan kejahatan kemanusiaan telah diatur

oleh UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Dilihat dari proses
pembuatannya, bukan saja peraturan ini lahir sebagai respon atas desakan masyarakat
internasional, melalui upaya untuk meratifikasi konvensi internasional tentang terorisme.
Melainkan juga secara sosiologis merupakan terobosan hukum yang ketika itu sangat
dibutuhkan masyarakat dan pemerintah Indonesia. Hal ini terutama terjadi sejak tragedi
bom bunuh diri di Legian Bali yang mengakibatkan masyarakat tak berdosa tewas tanpa
makna. Sesungguhnya banyak pakar Pidana yang beragumentasi bahwa KUHP dapat
dijadikan dasar hukum atas kejahatan teroris. Akan tetapi, dalam kenyataan terbukti
KUHP menjadi tidak berfungsi efektif bagi penegakan hukum di Indonesia. Atas desakan
tersebut, kemudian keluarlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Perpu
No. 1 Tahun 2001, dan Perpu No. 2 Tahun 2001, sebagai cikal bakal bakal lahirnya UU
No. 15 Tahun 2003.
Undang-undang Terorisme pada prinsipnya mengikuti jenis pidana pokok
yangterdapat dalam KUHP, namun pidana tutupan tidak dirumuskan sebagai
ancamandalam undang-undang terorisme. Disamping itu, tindak pidana terorisme
dianggap sebagai tindak pidana yang berat bahkan tidak disepadankan dengan tindak
pidanabiasa. Bahkan banyak dari pasal-pasalnya yang mengancam dengan pidana mati.

Ancaman pidana mati tersebut terumus dalam pasal-pasal sebagai berikut:



Pasal 6 (menggunakankekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan



suasana teror dan korban bersifat massal);
Pasal 8 (kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan);



Pasal 9 (berkaitan dengan senjata api untuk melakukan tindak pidana



terorisme);
Pasal 10 (menggunakan senjata kimia dan komponennya untuk menimbulkan



terorisme);

Pasal 14 (merencanakan/menggerakkan orang lain untuk melakukan



terorisme);
Pasal 15 (permufakatan jahat, percobaan atau pembantuan terhadap tindak
pidanaterorisme).

Meskipun di lihat dari segi prosedural UU No 15 tahun 2003 tetap legitmit, banyak
pihak yang merasakan adanya berbagai kelemahan dalam instrumen hukum terorisme
tersebut. Misalnya, definisi terorisme terlalu luas, terutama dalam kaitannya dengan
penunjukan bahan-bahan kimia yang dapat meledak. Selain itu, apa yang membedakan
kejahatan terorisme dengan peperangan, apakah kondisi perang dan damai dapat
dijadikan unsur pembeda. Siapa yang berhak untuk menjadi institusi pelaksana
pemberantasan teroris dan apakah keteterangan intelijen dapat dipergunakan sebagai
keterangan awal utuk melakukan penyeidiikan.
Apakah UU No 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme termasuk UU
khusus terhadap KUHP atau memiliki kedudukan yang sejajar? Dalam hukum acara
penyidikan kasus terorisme dan kedudukan Datasemen 88, Tim Anti Teror, telah menjadi
institusi khusus yang dibentuk melalui Keputusan Presiden. Sehingga apakah, penyidikan
hanya didasarkan kepada hasil keterangan intelijen, bukan bukti awal, sebagaimana dalam
Hukum Acara Pidana, yaitu asas presumption of innocent tidak bertentangan dengan asas
yang diberlakukan dalam hukum pidana biasa? Asas tempat kejadian pidana (Locus
Delicti), sepertinya dalam kasus teroris tidak dipersoalkan oleh karena setiap negara
memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan peradilan. Padahal, TKP merupakan asas
dimana suatu negara sesungguhnya memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan
proses peradilan.

C. Penyelesaian Perkara Terorisme
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak
pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku. Penyelesaian perkara

tindak pidana terorisme berjalanmenurut Sistem Peradilan Pidana. Dalam usaha
penyelesaian tindak pidana terorisme, ini sudah diatur di dalam UU No 15 Tahun 2003

Tentang Tindak Pidana Terorisme. Pertama yaitu sejak diterimanya laporankepada pejabat
yang berwenang lalu dilakukan penyelidikan, olehPenyidik, kemudian Penyidik POLRI
melakukan penyidikan, seterusnyadisampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP) kepada Penuntut Umum, selanjutnya penyerahan berkas tahap pertama kepada
Penuntut Umum, Penuntut Umum melakukan penelitian terhadap berkas perkara, dan setelah
berkas perkara dinyatakan lengkap kemudian Penyidik menyerahkan berkas tahap kedua
yaitu tersangka dan barang bukti. Penuntut Umum lalu membuat Surat Dakwaan terhadap
Terdakwa lalu melimpahkannya ke Pengadilan NegeriUntuk kepentingan penyidikan dan
penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka
paling lama 6 (enam) bulan.
Akhirnya Pengadilan Negeri menetapkan hari persidangan, pada sidang pertamaPenuntut
Umum membacakan Surat Dakwaan, eksepsi oleh Terdakwa danatau penasihat hukumnya,
putusan sela, pemeriksaan saksi-saksi, ahli, surat, petunjuk dan pemeriksaan Terdakwa.
Setelah Ketua Majelis Hakim sidang dinyatakan cukup, lalu Penuntut Umum membacakan
Tuntutan Pidana, seterusnya Pembelaan, Replik, Duplik dan berakhir dengan Putusan Hakim.
Karena putusan itu tidak berkenan baik bagi Terdakwa maupun Penuntut Umum lalu samasama mengajukan upaya hukum banding dan kasasi, 2 (dua) putusan kasasi telah dieksekusi
sedangkan 1 perkara masih menunggu putusan Mahkamah Agung.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa sistem hukum adalah suatu

kesatuan yang terdiri dari peraturan-peraturan yang saling berkaitan tidak bertentangan,
bersifat

kontinu

atau

terus-menerus,

serta

berkesinambungan

untuk

menjaga

keseimbangan tatanan dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan tindak
pidana terorisme bahwa sistem hukum indonesisa mengatur dalam UU No 15 Tahun 2003
Tentang Tindak Pidana Terorisme. Dalam penyelesaian perkara pidana terorisme
berjalanmenurut Sistem Peradilan Pidana. Pertama yaitu sejak diterimanya laporankepada
pejabat yang berwenang lalu dilakukan penyelidikan, olehPenyidik, kemudian Penyidik
POLRI melakukan penyidikan, seterusnyadisampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP) kepadaPenuntut Umum, selanjutnya penyerahan berkas tahap pertama
kepadaPenuntut Umum, Penuntut Umum melakukan penelitian terhadap berkasperkara, dan
setelah berkas perkara dinyatakan lengkap kemudian Penyidikmenyerahkan berkas tahap
kedua yaitu tersangka dan barang bukti.
Penuntut Umum lalu membuat Surat Dakwaan terhadap Terdakwa lalumelimpahkannya
ke Pengadilan Negeri Semarang. Akhirnya PengadilanNegeri Semarang menetapkan hari
persidangan, pada sidang pertamaPenuntut Umum membacakan Surat Dakwaan, eksepsi oleh
Terdakwa danatau penasihat hukumnya, putusan sela, pemeriksaan saksi-saksi, ahli, surat,
petunjuk dan pemeriksaan Terdakwa. Setelah Ketua Majelis Hakimsidang dinyatakan cukup,
lalu Penuntut Umum membacakan TuntutanPidana, seterusnya Pembelaan, Replik, Duplik
dan berakhir denganPutusan Hakim. Karena putusan itu tidak berkenan baik bagi
Terdakwamaupun Penuntut Umum lalu sama-sama mengajukan upaya hukumbanding dan
kasasi, 2 (dua) putusan kasasi telah dieksekusi sedangkan 1perkara masih menunggu putusan
Mahkamah Agung.
SARAN
Dalam penanganan / penyelesaian perkara tindak pidana terorismehendaknya instansi
Penyidik (POLRI), Penuntut Umum (Kejaksaan) danPengadilan (Hakim) menganggap
perkara tindak pidana terorisme adalahperkara yang didahulukan penyelesaiannya oleh
karena itu janganditunda-tunda.

DAFTAR PUSTAKA
Thontowi, JawahirSH., PHD : Terorisme Dalam Hukum Nasional, September 13, 2009 diakses
pada 18 Februari 2016.
Moch. Faisal Salam, 2005, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung.
Peraturan Pemerintah Pengganti Pengganti Undang‐undang Nomor1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Undang‐Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐
undang Nomor 1 Tahun2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme MenjadiUndang‐
undang.