Sahabat Senandika
Yayasan Spiritia
No. 3, Februari 2003
Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha
Tetap Hidup Dengan Tegar
Oleh Hertin
Di negara Indonesia ini, stigma dan
diskriminasi terhadap mereka yang teinfeksi
HIV beserta kerabatnya masih cukup serius. Ini
terbukti masih amat sedikitnya orang-orang
dengan HIV/AIDS dan keluarganya yang tampil
di depan publik. Syukurlah perkembangan
setahun terakhir menunjukkan sudah mulai ada
beberapa warga Indonesia yang terinfeksi oleh
HIV dan keluarga mereka bersedia muncul.
Strategi untuk lebih banyak melibatkan orangorang dengan HIV/AIDS beserta kerabat
pendukung mereka, terbukti merupakan upaya
ampuh untuk memerangi stigma dan
diskriminasi serta menghambat laju penularan
HIV ke populasi umum. Seperti yang ada di
Gedung Nusantara I DPR pada tanggal 17 – 21
Februari 2003 dipamerkan sejumlah foto-foto
Odha yang didedikasikan untuk Almarhumah
Suzana Murni. Acara launcing pameran foto ini
dibuka oleh Bapak Muhaimin Iskandar selaku
wakil ketua DPR DI dan dihadiri juga oleh
Bapak Menteri Kesehatan Ahmad Sujudi,
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob
Nuwa Wea, Menteri Sosial Bachtiar Chamsah,
serta berbagai undangan lain termasuk selebriti.
Ternyata reaksi para anggota DPR yang hadir
cukup bagus. Mereka mau dan akan mendukung
kegiatan Odha yang berhubungan dengan
pencegahan dan penyebaran informasi tentang
HIV/AIDS yang jelas dan benar. Bila kegiatan
ini dilakukan terus menerus dan jangkaunnya
lebih luas ke masyarakat, mungkin dalam waktu
yang relative singkat, stigma dan diskriminasi
terhadap Odha akan berkurang dan Odha akan
diterima sebagai mana layaknya manusia biasa di
lingkungannya serta seorang Odha tidak
canggung lagi dengan status diagnosanya.
Perjuangan kita masih panjang, tidaklah mudah
merubah image HIV terhadap masyarakat yang
sudah mengakar bahwa HIV adalah penyakit
kutukan atau penyakit orang yang tidak
bermoral. Hanya dengan pendekatan dan
informasi yang benar dan jelas serta
menunjukkan kenyataan yang ada bahwa HIV
adalah masalah virus bukan masalah moral.
Mendanai Pengobatan
AIDS
Oleh Chris W. Green
Artikel berikut dipotong dari artikel yang
lebih panjang oleh Hans P. Binswinger. Beliau
mengetahui dirinya HIV-positif sejak 1986. Pada
1997, Hans mulai memakai terapi antiretroviral.
“Pengobatan ini bukan hanya memungkinkan
saya bertahan hidup, tetapi tetap bekerja di
Bank Dunia,” katanya. “Saya bukti hidup bahwa
mengobati AIDS adalah sangat ekonomis; terapi
Daftar Isi
Tetap Hidup Dengan Tegar
Mendanai Pengobatan AIDS
Ketidaksanggupan Membiayai
Pengobatan AIDS
Kunjungan Lagi di Jakarta dan Makassar
Kunjungan ke Bandung
Sifilis—Penyamar Pandai
Masalah Kesehatan Mental Dialami
oleh 70% Odha
Tanya-Jawab
Tips untuk Orang dengan HIV No. 14
1
1
2
3
4
5
6
6
6
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
tersebut membolehkan saya tetap menghasilkan
pekerjaan dengan harga beberapa kali lebih
besar daripada biaya pengobatan.”
Walaupun artikel ini terbidik pada Afrika,
saya rasa semuanya relevan buat kita di
Indonesia. Justru, saya sudah dengar semua
rintangan dan kekeliruan yang berikut
dinyatakan oleh orang di sini. Ini bahan yang
baik untuk menghadapinya...
Ketidaksanggupan
Membiayai Pengobatan
AIDS
Mitos dan Kenyataan
Oleh Hans P. Binswinger
Ketidaksanggupan untuk membiayai
pengobatan AIDS sangat luas, dan diselimuti
oleh serangkaian rintangan dan kekeliruan yang
dibayangkan. Coba kita menghadapi alasan itu
satu demi satu:
1. Mengobati AIDS tidak ekonomis, karena
biaya lebih besar dibandingkan manfaat
dulu, ini mungkin betul secara rata-rata,
tetapi pernyataan itu tidak pernah betul
untuk semua pasien. Penghasilan para
ilmuwan, entrepreneur dan aktivis yang
terinfeksi HIV selalu lebih berharga
dibandingkan biaya mengobatinya. Tetapi
saat ini dengan biaya pengobatan jatuh lebih
dari 95 persen, biaya ini menjadi lebih
rendah dibandingkan manfaat kehidupan
produktif pasien Afrika rata-rata.
2. Pengobatan tidak efektif-biaya (costeffective) dibandingkan dengan pencegahan
mungkin betul, tetapi memakai efektif-biaya
sebagai standar adalah keliru. Standar yang
benar, bahkan terkait dengan anggapan
ekonomis yang sempit yang mengabaikan
kepentingan moral, adalah untuk mengobati
semua orang jika harga mengobatinya lebih
rendah daripada biaya kemajuan penyakit
dan kematian.
3. Efektif-biaya hanya ukuran yang cocok jika
kita mempunyai anggaran yang terbatas, dan
tidak dapat membiayai semua masalah yang
seharusnya. Namun dalam kasus AIDS,
anggaran tidak cukup hanya karena orang
tidak sanggup membiayai. Jadi orang-orang
lebih baik berhenti bermunafik, dan
mengatakan apa maksud mereka sebetulnya :
bahwa mereka lebih memilih untuk
membiarkan berjuta-juta orang yang
2
berharga meninggal dunia daripada
membiayai.
4. Jangan mulai pengobatan yang mahal jika
kita tidak dapat menjaminkan pengobatan
diteruskan pada tahun-tahun berikut
Pendekatan ini yang dianggap peka
sebetulnya secara tidak langsung
menyatakan bahwa kita ingin memakai
standar etis yang belum pernah dipakai di
Eropa atau Amerika. Pasien miskin dan
bahkan pengguna narkoba di AS
memperoleh obat antiretroviral gratis
waktu mereka dirawat di rumah sakit, dan
tidak seorang pun menanyakan siapa akan
membiayainya setelah mereka selesai
perawatannya. Tidak seorang dokter pun di
Barat akan ragu-ragu mulai insulin untuk
seorang pasien diabetes, walaupun pasien
tersebut tidak mempunyai asuransi.
Pernyataan ini hanya dibikin untuk orang
Afrika.
5. Lagi pula, menaksirkan harga masa depan
adalah sangat sulit: siapa pun yang membuat
taksiran ini dua tahun yang lalu pasti sangat
salah karena dia pasti tidak akan
memikirkan penurunan drastis pada harga
obat baru-baru ini, kecenderungan yang
tampaknya akan diteruskan. Bagaimana pun
juga, walaupun pasien di Afrika tidak dapat
memperoleh pengobatan setelah lima tahun,
mau apa? So what? Sistem kekebalan
tubuhnya sudah sebagian pulih, dan
kemungkinan dia sudah memperoleh
tambahan lebih dari lima tahun masa hidup
selama diobati. Apakah tidak cukup
menambahkan lima tahun lagi yang
produktif pada orang sekarat? Beberapa
tahun yang lalu, pembedahan untuk kanker
yang menambahkan lima tahun pada
kehidupan pasien dianggap berhasil.
Mengapa standarnya lain untuk AIDS?
6. Terapi antiretroviral di Afrika akan
mengakibatkan penyebarluasan virus yang
resistan
Ini sekali lagi standar etis baru.
Kekhawatiran ini tidak pernah
menghentikan pengobatan di Eropa atau
Amerika, di mana pengobatan juga
mengakibatkan resistansi. Beberapa orang
mendesak bahwa orang Afrika lebih
mungkin tidak patuh pada regimen
pengobatan yang rumit dibandingkan orang
Eropa, dan karena itu lebih mungkin
membentuk virus yang resistan terhadap
obat. Namun program percobaan yang
Sahabat Senandika No. 3
7.
8.
9.
10.
nyata di Afrika tidak mendukung anggapan
ini. Satu alasan lagi...
AIDS, seperti Kematian Hitam di Abad
Pertengahan di Eropa, mempunyai sedikit
dampak atau tidak berdampak pada GNP (
Gross National Product ) per kapita
Adalah benar bahwa, waktu Kematian
Hitam membunuh berjuta-juta orang di
Eropa, gaji sebetulnya naik karena
kekurangan buruh. Tetapi apakah ada yang
siap menawarkan ini sebagai alasan untuk
tidak melakukan apa-apa untuk pasien pada
wabah pes yang baru? Lagi pula,
penghasilan per kapita adalah ukuran yang
tidak sangkut paut dalam kasus seperti ini.
Untuk menggambarkan ini,
mempertimbangkan sebuah pesta ulang
tahun yang mengundang banyak anak. Jika
kita membunuh satu anak, setiap anak yang
tinggal akan memperoleh potongan kue
yang lebih besar. Apakah kita berani bilang
bahwa anak itu dalam keadaan lebih baik,
dan mengabaikan kesejahteraan si anak yang
meninggal? Tidak mungkin. Kita harus
berupaya untuk memaksimalkan bukan
ukuran potongan kue, tetapi besarnya kue
sendiri. Kita harus memaksimalkan bukan
GNP per kapita, tetapi GNP sendiri, dengan
menyelamatkan orang yang terinfeksi tetapi
masih produktif. UNAIDS memikirkan
bahwa pada negara dengan prevalensi HIV
20 persen, dampak negatif pada GNP adalah
angka yang mengagetkan yaitu 2,6 persen
per tahun.
Pemerintah-pemerintah tidak mampu
pinjam untuk pengobatan AIDS, mereka
harus menunggu hibah
Betul? Ambil contoh hipotetis. Tahun lalu,
saya pinjam untuk membeli mobil
Mercedes. Tahun ini, putri saya jatuh sakit
dengan leukemia. Jika saya enggan pinjam
untuk membiayai pencangkokan sumsum
tulang untuk dia, apakah Anda tidak akan
menyalahkan saya? Apakah Anda akan
mengatakan bahwa saya harus menunggu
seorang memberi donasi sebelum saya dapat
mengobati putri saya? Apakah adalah etis
agar pemerintah pinjam untuk pendidikan
atau membangun jembatan atau membeli
mobil Mercedes, tetapi tidak untuk
menyelamatkan jiwa?
Jangan mengobati seorang pun di Afrika
sebelum kita dapat mengobati semuanya
Dalil ini tidak pernah disebut secara terus
terang seperti itu. Namum ini ada maksud
Februari 2003
dalam banyak pernyataan, misalnya:
“Orang Afrika tidak memperoleh air
minum yang bersih, buta huruf, tidak tahu
waktu, tidak dapat menjangaku dokter atau
fasilitas tes. Bagaimana kita dapat
mengharapkan orang seperti itu mengikuti
regimen terapi yang rumit?” Masalah
dengan penyamarataan yang luas seperti itu
adalah bahwa di setiap negara Afrika
sedikitnya seperlima penduduk melek
huruf, dan memperoleh air bersih dan
fasilitas kesehatan. Bagaimana kita dapat
menolak pengobatan buat mereka karena
secara umum orang Afrika tidak dapat
memperoleh fasilitas tersebut? Seperlima
orang yang HIV-positif di Afrika berarti
lima sampai tujuh juta jiwa. Alasannya apa
dapat dijaukan untuk tidak mengobatinya?
Satu jiwa adalah satu jiwa adalah satu jiwa.
Mari kita mulai menyelamatkan jiwa satu demi
satu. Kemudian sepuluh demi sepuluh.
Kemudian seratus demi seratus. Akhirnya, kita
akan menjangkau berjuta-juta...
Kunjungan Lagi di Jakarta
dan Makassar
Oleh Babe
[Babe pernah melaksanakan kunjungan ke
daerah Jakarta sebelumnya pada bulan
Desember bersama Andreas. Kunjungan
tersebut sudah dimuat di Senadika pada bulan
Desember. Dan sekarang Babe melakukan
kunjungan lagi bersama Yuni dan Steve Brooker
seorang konsultan AusAID]
Pada 18-21 Januari, Yuni dengan saya
menemani Steve Brooker, seorang konsultan
AusAID untuk perawatan dalam komunitas,
pada beberapa kunjungan di daerah Jakarta. Di
Dinkes DKI, kami ketemu dengan dr. Aida
Fatmi, yang bertanggung jawab untuk kesehatan
masyarakat. Kami membahas keadaan di
Kampung Bali, dan dengar bahwa RS Tarakan,
yang paling dekat pada daerah yang rawan HIV
itu, tidak mau menerima Odha. Dinkes DKI
sudah coba menghadapi masalah ini, agar rumah
sakit ini mengubah kebijakan, tetapi ini sekali
lagi membuktikan bahwa masalah diskriminasi
di Jakarta pun belum diberantas, apa lagi di
daerah. Kami akan bekerja sama dengan Dinkes
dan pihak lain dalam upaya untuk meluruskan
masalah ini.
Kami juga mengunjungi Basecamp Pelita Ilmu
di Kampung Bali. Mungkin teman-teman sudah
3
dengar bahwa sejak ada program Pelita Ilmu di
beberapa kecamatan disekitar Kampung Bali,
119 pengguna narkoba suntikan sudah dites
HIV, dan ternyata 115 positif. Dr. Bambang
Eka, yang dulu di puskesmas Kampung Bali, dan
teman-teman dari Pelita Ilmu sudah berupaya
untuk menghadapi masalah ini, dengan
melibatkan beberapa pengguna narkoba di
daerah itu sebagai petugas outreach dan
pendidik sebaya. Namun ada masalah karena
mereka sering sakit dengan infeksi oportunistik.
Agar upaya ini dapat diteruskan secara efektif,
kita harus berjuang agar aktivis itu diberi
kesempatan untuk memperoleh terapi
antiretroviral.
Kami juga mengunjungi kembali RS Penyakit
Infeksi di Sunter. Kami dengar bahwa RS ini
merawat semakin banyak Odha, 64 pada 2002.
Namun pihak rumah sakit bingung apa yang
mereka dapat melakukan untuk mendukung
pasien itu waktu habis dirawat. Kelihatan kami
di Spiritia harus ambil peranan untuk
membantu Odhanya membentuk kelompok
dukungan sebaya. Yuni akan menindaklanjuti
ini.
Habis dari RS Infeksi, kami ke klinik PKBI
baru di Jatinegara, khusus untuk waria, untuk
ketemu dengan Dr. Maya. Klinik ini baru buka
(sebetulnya waktu itu belum buka resmi), tetapi
sudah menjadi tempat dukungan yang cukup
penting. Mungkin teman-teman sudah tahu
bahwa, pada survei yang dilakukan dengan
bantuan ASA beberap bulan yang lalu, sekitar
60 waria dari 250 yang dites ternyata HIVpositif, walaupun hanya sedikit di antaranya
mengambil hasil dan mengetahui statusnya.
Spiritia diminta memberi bantuan agar mereka
dapat mulai membentuk kelompok dukungan
sebaya juga. Untuk ini, kami harap kami dapat
dibantu oleh Tuti, yang dulu bekerja di BaliPlus,
tetapi sekarang sudah pindah ke Jakarta.
Kunjungan ini sekali lagi mengingatkan kami
bahwa kami tidak boleh melupakan Jakarta;
kebutuhan teman-teman Odha di sini tidak
kalah parah dibanding dengan mereka di kota
lain, dan jumlahnya cukup tinggi.
Pada 21 Januari, kita bertiga (Steve, Yuni sama
saya) berangkat ke Makassar untuk kunjungan
yang cukup padat selama tiga hari/empat malam
di sana. Sebagian dari kunjungan agak resmi,
termasuk pertemuan dengan KPAD Provinsi
Sulsel dan Kota Makassar, dengan Sekretaris
Daerah Sulsel, dan dengan Komisi E DPRD
Sulsel. Tujuan utama kami dalam pertemuan
tersebut adalah untuk membahas masalah
4
perawatan dan dukungan untuk Odha,
termasuk ketersediaan dana untuk terapi
antiretroviral. Tampaknya Bapak Sekda
menarik dengan itu, dan ada harapan mungkin
beliau siap mendukung bantuan untuk dua atau
tiga Odha. Namun ini harus ditindaklanjuti oleh
teman-teman di Makassar.
Sayangnya, pertemuan dengan Komisi E
‘dibajak’ dengan beberapa topik terkait
pencegahan, seperti jumlah PS di Makassar, dan
beberapa masalah lain yang tidak ada kaitan
dengan Odha. Kasihan beberapa teman Odha
dari Makassar yang hadir, dan ada harapan akan
terlibat dalam diskusi. Pelajaran kita adalah
bahwa jika pertemuan seperti itu akan
dilaksanakan, harus dibentuk strategi dan
penyamaan persepsi dengan semua peserta dari
LSM sebelum pertemuannya, dan tujuan harus
jelas pada semua peserta.
Selain pertemuan ‘resmi’, kami juga
mengunjungi RS Labuan Baji dan Wahidi, tetapi
sekali lagi hasilnya tidak begitu jelas. Lebih baik
adalah pembahasan dengan beberap dokter,
termasuk Dr. Dali Amiruddin, dan Dr. Alimin
Maidin, serta Dr. Caroline dari Pare-pare yang
datang secara khusus untuk ngobrol dengan
kami.
Mungkin yang lebih penting adalah
kesempatan buat kami untuk kenal dengan
teman-teman baru, termasuk kunjungan pada
suatu malam ke Taman Karabosi.
Kami sebetulnya semakin prihatin atas
keadaan teman-teman waria di Makassar. Kami
dengar bahwa semakin banyak dalam keadaan
sakit dan meninggal. Walaupun ada banyak
hambatan, kami semua harus cari cara untuk
menghadapi masalah ini, agar sedikitnya mereka
yang sakit dapat dirawat dan didukung. Kami
juga harus berjuang supaya terapi antiretroviral
dapat mulai tersedia untuk teman-teman yang
membutuhkannya.
Kunjungan ke Bandung
Oleh Babe
( Sebelumnya Babe juga pernah melaksanakan
kunjungan bersama Oki dan Susan )
Yuni sama saya mengunjungi Bandung antara
12 hingga 15 Februari, dalam rangka membuat
survei untuk proyek AusAID mengenai
pelayanan buat Odha. Proyek tersebut, yang
dikenal sebagai Indonesia HIV/AIDS
Prevention and Care Project - Phase II, akan
diluaskan untuk melibatkan sedikitnya tiga
provinsi baru, yaitu DKI, Jawa Barat dan Papua.
Sahabat Senandika No. 3
Lagi pula, proyek tersebut akan lebih
mengutamakan perawatan dan dukungan untuk
Odha.
Sebagian besar pertemuan kami di Bandung
adalah dengan organisasi ‘resmi’. Kami pertama
ketemu dengan Komisi Penanggulangan AIDS
Provinsi Jawa Barat, lalu dengan Kepala Dinas
Keshatan (kadinkes) Jabar, dan setelah itu
dengan Komisi E DPRD provinsi. Pada semua
forum itu, kami menawarkan harapan agar
pemerintah daerah dapat menyediakan dana
agar sepuluh Odha di Jabar diberi terapi
antiretroviral. Dalam hal ini, Mbak Yuni sangat
mempengaruhi para hadirin, dengan
menceritakan bagaimana dia mulai memakai
terapi tersebut, dan pengalamannya sejak mulai
memakainya. Sepertinya kami berhasil, dengan
semua pihak menarik dengan penawaran
tersebut. Kadinkes sendiri kelihatan sangat
antusias. Sekarang diperlu tindak lanjut oleh
teman-teman di Bandung, agar harapan ini
dinyatakan.
Kami juga mengunjungi dua rumah sakit,
yaitu RS Hasan Sadikin dan RS Borromeus.
Dua-duanya siap menerima Odha, walaupun
Borromeus ada kebijakan bahwa semua
pengguna narkoba wajib dites HIV waktu
masuk, sadar atau tidak sadar. Sepertinya
kebijakan ini berdasarkan kesalahpahaman
tentang penggunaan kewaspadaan universal,
atau mungkin ketidaksanggupan untuk
menyediakan dana yang dibutuhkan agar
kewaspadaan universal dapat dipakai untuk
secara universal. Di RS Hasan Sadikin, kami
dengan ada keragu-raguan dengan kebijakan
pemerintah yang mengharuskan persetujuan
oleh yang bersangkutan (informed consent)
sebelum pasien dapat dites HIV. Sepertinya
diperlu advokasi lebih lanjut tentang masalah
ini.
Kami sedikit kecewa karena baru berhasil
ketemu dengan Odha dari Bandung pada malam
terakhir kunjugan kita, di Rumah Cemara.
Namum yang menyenangkan, akhirnya kami
dapat makan malam ramai-ramai dengan lima
teman, dan berhasil meluaskan jaringan Spiritia
di Bandung.
Pada hari terakhir, Franklin mengurus
pertemuan dengan wakil dari beberapa LSM di
kantor Yayasan Priangan. Di situ, ada diskusi
yang cukup menarik tentang apa yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan layanan untuk
Odha di Bandung.
Februari 2003
Sifilis—Penyamar Pandai
Oleh Sean R. Hosein, 19 Desember 2002
Laporan dari Kongres Internasional tentang
Terapi Obat untuk Infeksi HIV ke-6, 17-21
November 2002, Glasgow, Skotlandia
Menurut dokter di Glascow, Skotlandia, sifilis
dapat lebih agresif pada orang HIV-positif
dibandingkan orang HIV-negatif. Kesulitan
diagnosis sifilis adalah karena penyakit ini dapat
menirukan gejala banyak penyakti lain.
Para dokter di Gartnavel General Hospital di
Glasgow baru-baru ini melaporkan kasus sifilis
yang luar biasa pada seorang lelaki HIV-positif.
Dia berusia 53 tahun dan mencari bantuan
medis setelah mengalami gejala batuk, sesak
napas, ruam pada tangan, belakang, tapak kaki
dan penis, rasa sakit pada sendinya, dan diare,
semuanya pada jangka waktu lima minggu.
Karena gejala tersebut, dia sudah berhenti
memakai obat antiretroviral dan
kotrimoksazolnya dua minggu sebelum
mengunjungi rumah sakit. Kadar CD4-nya 882
dan viral load 8.500 tiruan. Hasil dari x-ray dada
mengesankan infeksi paru. Contoh darah
diambil untuk dianalisis.
Akibat lamanya gejala dan hasil x-ray dada,
para dokter merespkan antibiotik intravena,
kefotaksim. Kondisinya tidak membaik. Jadi
antibiotik lain, kotrimoksazol, juga diberi secara
intravena, tetapi ini juga tidak begitu
berdampak. Lima hari setelah masuk rumah
sakit, hasil tes darah tersedia, dan itu
mengesankan sifilis. Pengobatan diganti dengan
penisilin G intravena (benzilpenisilin), dan
sebagaimana dia membaik, ini diganti dengan
suntikan pada otot dengan Procaine penisilin G
(Jenacillin). Dokternya mengingatkan bahwa
pada Odha dengan pneumonia bersama dengan
ruam yang mengesankan sifilis, dokter
seharusnya curiga sifilis sebagai penyebab
pneumonia.
Referensi: Currie A, Bodasing N, Winter A, et al. Secondary
syphilis with possible respiratory involvement in an HIV-positive
patient. Sixth International Congress on Drug Therapy in HIV
Infection, 17-21 November 2002, Glasgow. Poster 257.
URL: http://www.catie.ca/aidsinfo.nsf/
0714d2194eb52070852563ab006a5ac9/60e70
a084e4ddafa85256c94007abbff?OpenDocument
5
Masalah Kesehatan Mental
Dialami oleh 70% Odha
Oleh Michael Carter, 25 Oktober
2002
Depresi dan kegelisahan dialami oleh sebagian
yang sangat besar orang yang hidup dengan
HIV. Ini menurut penelitian yang dilaksanakan
oleh International Association of Physicians in
AIDS Care.
Penelitian ini, yang dikajikan pada pertemuan
tahunan Infectious Diseases Society of America
pada 25 Oktober meliputi 130 dokter yang
terlibat dalam pemberian pengobatan HIV, serta
235 Odha. Lebih dari 84 persen dokter yang
disurvei mengatakan bahwa pasien HIVpositifnya ‘sering atau sangat sering’ mengalami
gejala depresi, dan 81 persen dokter menyatakan
pasiennya menunjukkan gejala kegelisahan.
Menurut dokter itu, lebih dari 71 persen
pasiennya mengalami sakit kepala, kelesuan
dan/atau insomnia.
Depresi, kegelisahan dan masalah tidur sering
dilaporkan oleh Odha. 72 persen mengatakan
mereka mengalami depresi, 65 persen
mengalami kegelisahan, 48 persen insomnia.
Tambahan, 43 persen mempunyai gejala
kelesuan dan 40 persen melaporkan kesulitan
untuk memusatkan pikiran dan suasana hati
yang berubah-ubah.
Sebagian sangat besar dokter menghubungkan
masalah psikiatris pasiennya dengan efek
pengobatannya, dengan 84 persen mengatakan
bahwa mereka menganggap HAART (terapi
antiretroviral yang sangat manjur) mempunyai
peranan dalam depresi, kegelisahan dan masalah
kesehatan mental lain. Obat antidepresi
diresepkan oleh 80 persen dokter dan 56 persen
mengatakan mereka siap mengubah pengobatan
pasiennya jika pengobatan tersebut diketahui
mengakibatkan gangguan psikiatris. Dokter
yang menghadiri konferensi didesak untuk
memadukan pemantauan dan pengobatan untuk
kesehatan mental pada perawatan rutin untuk
Odha.
http://www.aidsmap.com/news/newsdisplay2.asp?newsId=1717
Tanya-Jawab
Variasi Kadar CD4
T: Kadar CD4 saya “naik-turun”. Bagaimana
saya menafsirkan jumlah CD4 ini?
J: Kadar CD4 seringkali “naik-turun” karena
cara mengukurnya tidak tidak begitu tepat. Lagi
pula, kadar CD4 bisa berubah karena pengaruh
waktu (jadi contoh darah sebaiknya diambil
pada waktu yang sama). Kadar CD4 juga akan
6
berbeda bila kita merokok sebelum contoh
darah diambil, atau pada saat terserang penyakit
seperti pilek. Variasi laboratorium juga bisa
terjadi pada contoh darah yang sama. Yang
penting adalah kecenderungan jumlahnya.
Dengan ketidakpastian ini, cobalah untuk tidak
terlalu bergantung pada hasil tes CD4 untuk
menghindari “sindrom ketergantungan kadar
CD4”. Ini bisa menjauhkan kita dari banyak
gangguan emosi. (Bicara memang mudah tapi
tidak semudah praktiknya!)
Tips untuk Orang dengan
HIV No. 14
Perempuan dengan HIV lebih rentan terhadap
kanker leher rahim. Semakin dini kanker ini
didiagnosis, semakin mudah diobati. Diagnosis
dilakukan dengan tes yang disebut Pap Smear.
Tes ini biasanya dipakai untuk memeriksakan
leher rahim perempuan. Kain penyeka dirabaraba pada daerah yang ingin diperiksa, untuk
memungut beberapa sel. Sel ini dilumuri pada
kaca dan diperiksa dengan mikroskop. Agar
kanker ini diketahui secara dini, tes Pap ini
sebaiknya dilaksanakan setiap tahun.
Orang yang berhubungan seks melalui dubur
juga rentan terhadap kanker dalam dubur. Tes
ini juga dapat dipakai untuk memeriksa dubur
laki-laki dan perempuan. Mungkin tes ini paling
penting buat waria.
Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan oleh
Yayasan Spiritia
dengan dukungan
T H E FORD
AT I ON
DA
FOU N D
Kantor Redaksi:
Jl Radio IV/10
Kebayoran Baru
Jakarta 12130
Telp: (021) 7279 7007
Fax: (021) 726-9521
E-mail: [email protected]
Editor:
Hertin Setyowati
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk
diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus
mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon).
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum
melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi
dengan dokter.
Sahabat Senandika No. 3
No. 3, Februari 2003
Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha
Tetap Hidup Dengan Tegar
Oleh Hertin
Di negara Indonesia ini, stigma dan
diskriminasi terhadap mereka yang teinfeksi
HIV beserta kerabatnya masih cukup serius. Ini
terbukti masih amat sedikitnya orang-orang
dengan HIV/AIDS dan keluarganya yang tampil
di depan publik. Syukurlah perkembangan
setahun terakhir menunjukkan sudah mulai ada
beberapa warga Indonesia yang terinfeksi oleh
HIV dan keluarga mereka bersedia muncul.
Strategi untuk lebih banyak melibatkan orangorang dengan HIV/AIDS beserta kerabat
pendukung mereka, terbukti merupakan upaya
ampuh untuk memerangi stigma dan
diskriminasi serta menghambat laju penularan
HIV ke populasi umum. Seperti yang ada di
Gedung Nusantara I DPR pada tanggal 17 – 21
Februari 2003 dipamerkan sejumlah foto-foto
Odha yang didedikasikan untuk Almarhumah
Suzana Murni. Acara launcing pameran foto ini
dibuka oleh Bapak Muhaimin Iskandar selaku
wakil ketua DPR DI dan dihadiri juga oleh
Bapak Menteri Kesehatan Ahmad Sujudi,
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob
Nuwa Wea, Menteri Sosial Bachtiar Chamsah,
serta berbagai undangan lain termasuk selebriti.
Ternyata reaksi para anggota DPR yang hadir
cukup bagus. Mereka mau dan akan mendukung
kegiatan Odha yang berhubungan dengan
pencegahan dan penyebaran informasi tentang
HIV/AIDS yang jelas dan benar. Bila kegiatan
ini dilakukan terus menerus dan jangkaunnya
lebih luas ke masyarakat, mungkin dalam waktu
yang relative singkat, stigma dan diskriminasi
terhadap Odha akan berkurang dan Odha akan
diterima sebagai mana layaknya manusia biasa di
lingkungannya serta seorang Odha tidak
canggung lagi dengan status diagnosanya.
Perjuangan kita masih panjang, tidaklah mudah
merubah image HIV terhadap masyarakat yang
sudah mengakar bahwa HIV adalah penyakit
kutukan atau penyakit orang yang tidak
bermoral. Hanya dengan pendekatan dan
informasi yang benar dan jelas serta
menunjukkan kenyataan yang ada bahwa HIV
adalah masalah virus bukan masalah moral.
Mendanai Pengobatan
AIDS
Oleh Chris W. Green
Artikel berikut dipotong dari artikel yang
lebih panjang oleh Hans P. Binswinger. Beliau
mengetahui dirinya HIV-positif sejak 1986. Pada
1997, Hans mulai memakai terapi antiretroviral.
“Pengobatan ini bukan hanya memungkinkan
saya bertahan hidup, tetapi tetap bekerja di
Bank Dunia,” katanya. “Saya bukti hidup bahwa
mengobati AIDS adalah sangat ekonomis; terapi
Daftar Isi
Tetap Hidup Dengan Tegar
Mendanai Pengobatan AIDS
Ketidaksanggupan Membiayai
Pengobatan AIDS
Kunjungan Lagi di Jakarta dan Makassar
Kunjungan ke Bandung
Sifilis—Penyamar Pandai
Masalah Kesehatan Mental Dialami
oleh 70% Odha
Tanya-Jawab
Tips untuk Orang dengan HIV No. 14
1
1
2
3
4
5
6
6
6
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
tersebut membolehkan saya tetap menghasilkan
pekerjaan dengan harga beberapa kali lebih
besar daripada biaya pengobatan.”
Walaupun artikel ini terbidik pada Afrika,
saya rasa semuanya relevan buat kita di
Indonesia. Justru, saya sudah dengar semua
rintangan dan kekeliruan yang berikut
dinyatakan oleh orang di sini. Ini bahan yang
baik untuk menghadapinya...
Ketidaksanggupan
Membiayai Pengobatan
AIDS
Mitos dan Kenyataan
Oleh Hans P. Binswinger
Ketidaksanggupan untuk membiayai
pengobatan AIDS sangat luas, dan diselimuti
oleh serangkaian rintangan dan kekeliruan yang
dibayangkan. Coba kita menghadapi alasan itu
satu demi satu:
1. Mengobati AIDS tidak ekonomis, karena
biaya lebih besar dibandingkan manfaat
dulu, ini mungkin betul secara rata-rata,
tetapi pernyataan itu tidak pernah betul
untuk semua pasien. Penghasilan para
ilmuwan, entrepreneur dan aktivis yang
terinfeksi HIV selalu lebih berharga
dibandingkan biaya mengobatinya. Tetapi
saat ini dengan biaya pengobatan jatuh lebih
dari 95 persen, biaya ini menjadi lebih
rendah dibandingkan manfaat kehidupan
produktif pasien Afrika rata-rata.
2. Pengobatan tidak efektif-biaya (costeffective) dibandingkan dengan pencegahan
mungkin betul, tetapi memakai efektif-biaya
sebagai standar adalah keliru. Standar yang
benar, bahkan terkait dengan anggapan
ekonomis yang sempit yang mengabaikan
kepentingan moral, adalah untuk mengobati
semua orang jika harga mengobatinya lebih
rendah daripada biaya kemajuan penyakit
dan kematian.
3. Efektif-biaya hanya ukuran yang cocok jika
kita mempunyai anggaran yang terbatas, dan
tidak dapat membiayai semua masalah yang
seharusnya. Namun dalam kasus AIDS,
anggaran tidak cukup hanya karena orang
tidak sanggup membiayai. Jadi orang-orang
lebih baik berhenti bermunafik, dan
mengatakan apa maksud mereka sebetulnya :
bahwa mereka lebih memilih untuk
membiarkan berjuta-juta orang yang
2
berharga meninggal dunia daripada
membiayai.
4. Jangan mulai pengobatan yang mahal jika
kita tidak dapat menjaminkan pengobatan
diteruskan pada tahun-tahun berikut
Pendekatan ini yang dianggap peka
sebetulnya secara tidak langsung
menyatakan bahwa kita ingin memakai
standar etis yang belum pernah dipakai di
Eropa atau Amerika. Pasien miskin dan
bahkan pengguna narkoba di AS
memperoleh obat antiretroviral gratis
waktu mereka dirawat di rumah sakit, dan
tidak seorang pun menanyakan siapa akan
membiayainya setelah mereka selesai
perawatannya. Tidak seorang dokter pun di
Barat akan ragu-ragu mulai insulin untuk
seorang pasien diabetes, walaupun pasien
tersebut tidak mempunyai asuransi.
Pernyataan ini hanya dibikin untuk orang
Afrika.
5. Lagi pula, menaksirkan harga masa depan
adalah sangat sulit: siapa pun yang membuat
taksiran ini dua tahun yang lalu pasti sangat
salah karena dia pasti tidak akan
memikirkan penurunan drastis pada harga
obat baru-baru ini, kecenderungan yang
tampaknya akan diteruskan. Bagaimana pun
juga, walaupun pasien di Afrika tidak dapat
memperoleh pengobatan setelah lima tahun,
mau apa? So what? Sistem kekebalan
tubuhnya sudah sebagian pulih, dan
kemungkinan dia sudah memperoleh
tambahan lebih dari lima tahun masa hidup
selama diobati. Apakah tidak cukup
menambahkan lima tahun lagi yang
produktif pada orang sekarat? Beberapa
tahun yang lalu, pembedahan untuk kanker
yang menambahkan lima tahun pada
kehidupan pasien dianggap berhasil.
Mengapa standarnya lain untuk AIDS?
6. Terapi antiretroviral di Afrika akan
mengakibatkan penyebarluasan virus yang
resistan
Ini sekali lagi standar etis baru.
Kekhawatiran ini tidak pernah
menghentikan pengobatan di Eropa atau
Amerika, di mana pengobatan juga
mengakibatkan resistansi. Beberapa orang
mendesak bahwa orang Afrika lebih
mungkin tidak patuh pada regimen
pengobatan yang rumit dibandingkan orang
Eropa, dan karena itu lebih mungkin
membentuk virus yang resistan terhadap
obat. Namun program percobaan yang
Sahabat Senandika No. 3
7.
8.
9.
10.
nyata di Afrika tidak mendukung anggapan
ini. Satu alasan lagi...
AIDS, seperti Kematian Hitam di Abad
Pertengahan di Eropa, mempunyai sedikit
dampak atau tidak berdampak pada GNP (
Gross National Product ) per kapita
Adalah benar bahwa, waktu Kematian
Hitam membunuh berjuta-juta orang di
Eropa, gaji sebetulnya naik karena
kekurangan buruh. Tetapi apakah ada yang
siap menawarkan ini sebagai alasan untuk
tidak melakukan apa-apa untuk pasien pada
wabah pes yang baru? Lagi pula,
penghasilan per kapita adalah ukuran yang
tidak sangkut paut dalam kasus seperti ini.
Untuk menggambarkan ini,
mempertimbangkan sebuah pesta ulang
tahun yang mengundang banyak anak. Jika
kita membunuh satu anak, setiap anak yang
tinggal akan memperoleh potongan kue
yang lebih besar. Apakah kita berani bilang
bahwa anak itu dalam keadaan lebih baik,
dan mengabaikan kesejahteraan si anak yang
meninggal? Tidak mungkin. Kita harus
berupaya untuk memaksimalkan bukan
ukuran potongan kue, tetapi besarnya kue
sendiri. Kita harus memaksimalkan bukan
GNP per kapita, tetapi GNP sendiri, dengan
menyelamatkan orang yang terinfeksi tetapi
masih produktif. UNAIDS memikirkan
bahwa pada negara dengan prevalensi HIV
20 persen, dampak negatif pada GNP adalah
angka yang mengagetkan yaitu 2,6 persen
per tahun.
Pemerintah-pemerintah tidak mampu
pinjam untuk pengobatan AIDS, mereka
harus menunggu hibah
Betul? Ambil contoh hipotetis. Tahun lalu,
saya pinjam untuk membeli mobil
Mercedes. Tahun ini, putri saya jatuh sakit
dengan leukemia. Jika saya enggan pinjam
untuk membiayai pencangkokan sumsum
tulang untuk dia, apakah Anda tidak akan
menyalahkan saya? Apakah Anda akan
mengatakan bahwa saya harus menunggu
seorang memberi donasi sebelum saya dapat
mengobati putri saya? Apakah adalah etis
agar pemerintah pinjam untuk pendidikan
atau membangun jembatan atau membeli
mobil Mercedes, tetapi tidak untuk
menyelamatkan jiwa?
Jangan mengobati seorang pun di Afrika
sebelum kita dapat mengobati semuanya
Dalil ini tidak pernah disebut secara terus
terang seperti itu. Namum ini ada maksud
Februari 2003
dalam banyak pernyataan, misalnya:
“Orang Afrika tidak memperoleh air
minum yang bersih, buta huruf, tidak tahu
waktu, tidak dapat menjangaku dokter atau
fasilitas tes. Bagaimana kita dapat
mengharapkan orang seperti itu mengikuti
regimen terapi yang rumit?” Masalah
dengan penyamarataan yang luas seperti itu
adalah bahwa di setiap negara Afrika
sedikitnya seperlima penduduk melek
huruf, dan memperoleh air bersih dan
fasilitas kesehatan. Bagaimana kita dapat
menolak pengobatan buat mereka karena
secara umum orang Afrika tidak dapat
memperoleh fasilitas tersebut? Seperlima
orang yang HIV-positif di Afrika berarti
lima sampai tujuh juta jiwa. Alasannya apa
dapat dijaukan untuk tidak mengobatinya?
Satu jiwa adalah satu jiwa adalah satu jiwa.
Mari kita mulai menyelamatkan jiwa satu demi
satu. Kemudian sepuluh demi sepuluh.
Kemudian seratus demi seratus. Akhirnya, kita
akan menjangkau berjuta-juta...
Kunjungan Lagi di Jakarta
dan Makassar
Oleh Babe
[Babe pernah melaksanakan kunjungan ke
daerah Jakarta sebelumnya pada bulan
Desember bersama Andreas. Kunjungan
tersebut sudah dimuat di Senadika pada bulan
Desember. Dan sekarang Babe melakukan
kunjungan lagi bersama Yuni dan Steve Brooker
seorang konsultan AusAID]
Pada 18-21 Januari, Yuni dengan saya
menemani Steve Brooker, seorang konsultan
AusAID untuk perawatan dalam komunitas,
pada beberapa kunjungan di daerah Jakarta. Di
Dinkes DKI, kami ketemu dengan dr. Aida
Fatmi, yang bertanggung jawab untuk kesehatan
masyarakat. Kami membahas keadaan di
Kampung Bali, dan dengar bahwa RS Tarakan,
yang paling dekat pada daerah yang rawan HIV
itu, tidak mau menerima Odha. Dinkes DKI
sudah coba menghadapi masalah ini, agar rumah
sakit ini mengubah kebijakan, tetapi ini sekali
lagi membuktikan bahwa masalah diskriminasi
di Jakarta pun belum diberantas, apa lagi di
daerah. Kami akan bekerja sama dengan Dinkes
dan pihak lain dalam upaya untuk meluruskan
masalah ini.
Kami juga mengunjungi Basecamp Pelita Ilmu
di Kampung Bali. Mungkin teman-teman sudah
3
dengar bahwa sejak ada program Pelita Ilmu di
beberapa kecamatan disekitar Kampung Bali,
119 pengguna narkoba suntikan sudah dites
HIV, dan ternyata 115 positif. Dr. Bambang
Eka, yang dulu di puskesmas Kampung Bali, dan
teman-teman dari Pelita Ilmu sudah berupaya
untuk menghadapi masalah ini, dengan
melibatkan beberapa pengguna narkoba di
daerah itu sebagai petugas outreach dan
pendidik sebaya. Namun ada masalah karena
mereka sering sakit dengan infeksi oportunistik.
Agar upaya ini dapat diteruskan secara efektif,
kita harus berjuang agar aktivis itu diberi
kesempatan untuk memperoleh terapi
antiretroviral.
Kami juga mengunjungi kembali RS Penyakit
Infeksi di Sunter. Kami dengar bahwa RS ini
merawat semakin banyak Odha, 64 pada 2002.
Namun pihak rumah sakit bingung apa yang
mereka dapat melakukan untuk mendukung
pasien itu waktu habis dirawat. Kelihatan kami
di Spiritia harus ambil peranan untuk
membantu Odhanya membentuk kelompok
dukungan sebaya. Yuni akan menindaklanjuti
ini.
Habis dari RS Infeksi, kami ke klinik PKBI
baru di Jatinegara, khusus untuk waria, untuk
ketemu dengan Dr. Maya. Klinik ini baru buka
(sebetulnya waktu itu belum buka resmi), tetapi
sudah menjadi tempat dukungan yang cukup
penting. Mungkin teman-teman sudah tahu
bahwa, pada survei yang dilakukan dengan
bantuan ASA beberap bulan yang lalu, sekitar
60 waria dari 250 yang dites ternyata HIVpositif, walaupun hanya sedikit di antaranya
mengambil hasil dan mengetahui statusnya.
Spiritia diminta memberi bantuan agar mereka
dapat mulai membentuk kelompok dukungan
sebaya juga. Untuk ini, kami harap kami dapat
dibantu oleh Tuti, yang dulu bekerja di BaliPlus,
tetapi sekarang sudah pindah ke Jakarta.
Kunjungan ini sekali lagi mengingatkan kami
bahwa kami tidak boleh melupakan Jakarta;
kebutuhan teman-teman Odha di sini tidak
kalah parah dibanding dengan mereka di kota
lain, dan jumlahnya cukup tinggi.
Pada 21 Januari, kita bertiga (Steve, Yuni sama
saya) berangkat ke Makassar untuk kunjungan
yang cukup padat selama tiga hari/empat malam
di sana. Sebagian dari kunjungan agak resmi,
termasuk pertemuan dengan KPAD Provinsi
Sulsel dan Kota Makassar, dengan Sekretaris
Daerah Sulsel, dan dengan Komisi E DPRD
Sulsel. Tujuan utama kami dalam pertemuan
tersebut adalah untuk membahas masalah
4
perawatan dan dukungan untuk Odha,
termasuk ketersediaan dana untuk terapi
antiretroviral. Tampaknya Bapak Sekda
menarik dengan itu, dan ada harapan mungkin
beliau siap mendukung bantuan untuk dua atau
tiga Odha. Namun ini harus ditindaklanjuti oleh
teman-teman di Makassar.
Sayangnya, pertemuan dengan Komisi E
‘dibajak’ dengan beberapa topik terkait
pencegahan, seperti jumlah PS di Makassar, dan
beberapa masalah lain yang tidak ada kaitan
dengan Odha. Kasihan beberapa teman Odha
dari Makassar yang hadir, dan ada harapan akan
terlibat dalam diskusi. Pelajaran kita adalah
bahwa jika pertemuan seperti itu akan
dilaksanakan, harus dibentuk strategi dan
penyamaan persepsi dengan semua peserta dari
LSM sebelum pertemuannya, dan tujuan harus
jelas pada semua peserta.
Selain pertemuan ‘resmi’, kami juga
mengunjungi RS Labuan Baji dan Wahidi, tetapi
sekali lagi hasilnya tidak begitu jelas. Lebih baik
adalah pembahasan dengan beberap dokter,
termasuk Dr. Dali Amiruddin, dan Dr. Alimin
Maidin, serta Dr. Caroline dari Pare-pare yang
datang secara khusus untuk ngobrol dengan
kami.
Mungkin yang lebih penting adalah
kesempatan buat kami untuk kenal dengan
teman-teman baru, termasuk kunjungan pada
suatu malam ke Taman Karabosi.
Kami sebetulnya semakin prihatin atas
keadaan teman-teman waria di Makassar. Kami
dengar bahwa semakin banyak dalam keadaan
sakit dan meninggal. Walaupun ada banyak
hambatan, kami semua harus cari cara untuk
menghadapi masalah ini, agar sedikitnya mereka
yang sakit dapat dirawat dan didukung. Kami
juga harus berjuang supaya terapi antiretroviral
dapat mulai tersedia untuk teman-teman yang
membutuhkannya.
Kunjungan ke Bandung
Oleh Babe
( Sebelumnya Babe juga pernah melaksanakan
kunjungan bersama Oki dan Susan )
Yuni sama saya mengunjungi Bandung antara
12 hingga 15 Februari, dalam rangka membuat
survei untuk proyek AusAID mengenai
pelayanan buat Odha. Proyek tersebut, yang
dikenal sebagai Indonesia HIV/AIDS
Prevention and Care Project - Phase II, akan
diluaskan untuk melibatkan sedikitnya tiga
provinsi baru, yaitu DKI, Jawa Barat dan Papua.
Sahabat Senandika No. 3
Lagi pula, proyek tersebut akan lebih
mengutamakan perawatan dan dukungan untuk
Odha.
Sebagian besar pertemuan kami di Bandung
adalah dengan organisasi ‘resmi’. Kami pertama
ketemu dengan Komisi Penanggulangan AIDS
Provinsi Jawa Barat, lalu dengan Kepala Dinas
Keshatan (kadinkes) Jabar, dan setelah itu
dengan Komisi E DPRD provinsi. Pada semua
forum itu, kami menawarkan harapan agar
pemerintah daerah dapat menyediakan dana
agar sepuluh Odha di Jabar diberi terapi
antiretroviral. Dalam hal ini, Mbak Yuni sangat
mempengaruhi para hadirin, dengan
menceritakan bagaimana dia mulai memakai
terapi tersebut, dan pengalamannya sejak mulai
memakainya. Sepertinya kami berhasil, dengan
semua pihak menarik dengan penawaran
tersebut. Kadinkes sendiri kelihatan sangat
antusias. Sekarang diperlu tindak lanjut oleh
teman-teman di Bandung, agar harapan ini
dinyatakan.
Kami juga mengunjungi dua rumah sakit,
yaitu RS Hasan Sadikin dan RS Borromeus.
Dua-duanya siap menerima Odha, walaupun
Borromeus ada kebijakan bahwa semua
pengguna narkoba wajib dites HIV waktu
masuk, sadar atau tidak sadar. Sepertinya
kebijakan ini berdasarkan kesalahpahaman
tentang penggunaan kewaspadaan universal,
atau mungkin ketidaksanggupan untuk
menyediakan dana yang dibutuhkan agar
kewaspadaan universal dapat dipakai untuk
secara universal. Di RS Hasan Sadikin, kami
dengan ada keragu-raguan dengan kebijakan
pemerintah yang mengharuskan persetujuan
oleh yang bersangkutan (informed consent)
sebelum pasien dapat dites HIV. Sepertinya
diperlu advokasi lebih lanjut tentang masalah
ini.
Kami sedikit kecewa karena baru berhasil
ketemu dengan Odha dari Bandung pada malam
terakhir kunjugan kita, di Rumah Cemara.
Namum yang menyenangkan, akhirnya kami
dapat makan malam ramai-ramai dengan lima
teman, dan berhasil meluaskan jaringan Spiritia
di Bandung.
Pada hari terakhir, Franklin mengurus
pertemuan dengan wakil dari beberapa LSM di
kantor Yayasan Priangan. Di situ, ada diskusi
yang cukup menarik tentang apa yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan layanan untuk
Odha di Bandung.
Februari 2003
Sifilis—Penyamar Pandai
Oleh Sean R. Hosein, 19 Desember 2002
Laporan dari Kongres Internasional tentang
Terapi Obat untuk Infeksi HIV ke-6, 17-21
November 2002, Glasgow, Skotlandia
Menurut dokter di Glascow, Skotlandia, sifilis
dapat lebih agresif pada orang HIV-positif
dibandingkan orang HIV-negatif. Kesulitan
diagnosis sifilis adalah karena penyakit ini dapat
menirukan gejala banyak penyakti lain.
Para dokter di Gartnavel General Hospital di
Glasgow baru-baru ini melaporkan kasus sifilis
yang luar biasa pada seorang lelaki HIV-positif.
Dia berusia 53 tahun dan mencari bantuan
medis setelah mengalami gejala batuk, sesak
napas, ruam pada tangan, belakang, tapak kaki
dan penis, rasa sakit pada sendinya, dan diare,
semuanya pada jangka waktu lima minggu.
Karena gejala tersebut, dia sudah berhenti
memakai obat antiretroviral dan
kotrimoksazolnya dua minggu sebelum
mengunjungi rumah sakit. Kadar CD4-nya 882
dan viral load 8.500 tiruan. Hasil dari x-ray dada
mengesankan infeksi paru. Contoh darah
diambil untuk dianalisis.
Akibat lamanya gejala dan hasil x-ray dada,
para dokter merespkan antibiotik intravena,
kefotaksim. Kondisinya tidak membaik. Jadi
antibiotik lain, kotrimoksazol, juga diberi secara
intravena, tetapi ini juga tidak begitu
berdampak. Lima hari setelah masuk rumah
sakit, hasil tes darah tersedia, dan itu
mengesankan sifilis. Pengobatan diganti dengan
penisilin G intravena (benzilpenisilin), dan
sebagaimana dia membaik, ini diganti dengan
suntikan pada otot dengan Procaine penisilin G
(Jenacillin). Dokternya mengingatkan bahwa
pada Odha dengan pneumonia bersama dengan
ruam yang mengesankan sifilis, dokter
seharusnya curiga sifilis sebagai penyebab
pneumonia.
Referensi: Currie A, Bodasing N, Winter A, et al. Secondary
syphilis with possible respiratory involvement in an HIV-positive
patient. Sixth International Congress on Drug Therapy in HIV
Infection, 17-21 November 2002, Glasgow. Poster 257.
URL: http://www.catie.ca/aidsinfo.nsf/
0714d2194eb52070852563ab006a5ac9/60e70
a084e4ddafa85256c94007abbff?OpenDocument
5
Masalah Kesehatan Mental
Dialami oleh 70% Odha
Oleh Michael Carter, 25 Oktober
2002
Depresi dan kegelisahan dialami oleh sebagian
yang sangat besar orang yang hidup dengan
HIV. Ini menurut penelitian yang dilaksanakan
oleh International Association of Physicians in
AIDS Care.
Penelitian ini, yang dikajikan pada pertemuan
tahunan Infectious Diseases Society of America
pada 25 Oktober meliputi 130 dokter yang
terlibat dalam pemberian pengobatan HIV, serta
235 Odha. Lebih dari 84 persen dokter yang
disurvei mengatakan bahwa pasien HIVpositifnya ‘sering atau sangat sering’ mengalami
gejala depresi, dan 81 persen dokter menyatakan
pasiennya menunjukkan gejala kegelisahan.
Menurut dokter itu, lebih dari 71 persen
pasiennya mengalami sakit kepala, kelesuan
dan/atau insomnia.
Depresi, kegelisahan dan masalah tidur sering
dilaporkan oleh Odha. 72 persen mengatakan
mereka mengalami depresi, 65 persen
mengalami kegelisahan, 48 persen insomnia.
Tambahan, 43 persen mempunyai gejala
kelesuan dan 40 persen melaporkan kesulitan
untuk memusatkan pikiran dan suasana hati
yang berubah-ubah.
Sebagian sangat besar dokter menghubungkan
masalah psikiatris pasiennya dengan efek
pengobatannya, dengan 84 persen mengatakan
bahwa mereka menganggap HAART (terapi
antiretroviral yang sangat manjur) mempunyai
peranan dalam depresi, kegelisahan dan masalah
kesehatan mental lain. Obat antidepresi
diresepkan oleh 80 persen dokter dan 56 persen
mengatakan mereka siap mengubah pengobatan
pasiennya jika pengobatan tersebut diketahui
mengakibatkan gangguan psikiatris. Dokter
yang menghadiri konferensi didesak untuk
memadukan pemantauan dan pengobatan untuk
kesehatan mental pada perawatan rutin untuk
Odha.
http://www.aidsmap.com/news/newsdisplay2.asp?newsId=1717
Tanya-Jawab
Variasi Kadar CD4
T: Kadar CD4 saya “naik-turun”. Bagaimana
saya menafsirkan jumlah CD4 ini?
J: Kadar CD4 seringkali “naik-turun” karena
cara mengukurnya tidak tidak begitu tepat. Lagi
pula, kadar CD4 bisa berubah karena pengaruh
waktu (jadi contoh darah sebaiknya diambil
pada waktu yang sama). Kadar CD4 juga akan
6
berbeda bila kita merokok sebelum contoh
darah diambil, atau pada saat terserang penyakit
seperti pilek. Variasi laboratorium juga bisa
terjadi pada contoh darah yang sama. Yang
penting adalah kecenderungan jumlahnya.
Dengan ketidakpastian ini, cobalah untuk tidak
terlalu bergantung pada hasil tes CD4 untuk
menghindari “sindrom ketergantungan kadar
CD4”. Ini bisa menjauhkan kita dari banyak
gangguan emosi. (Bicara memang mudah tapi
tidak semudah praktiknya!)
Tips untuk Orang dengan
HIV No. 14
Perempuan dengan HIV lebih rentan terhadap
kanker leher rahim. Semakin dini kanker ini
didiagnosis, semakin mudah diobati. Diagnosis
dilakukan dengan tes yang disebut Pap Smear.
Tes ini biasanya dipakai untuk memeriksakan
leher rahim perempuan. Kain penyeka dirabaraba pada daerah yang ingin diperiksa, untuk
memungut beberapa sel. Sel ini dilumuri pada
kaca dan diperiksa dengan mikroskop. Agar
kanker ini diketahui secara dini, tes Pap ini
sebaiknya dilaksanakan setiap tahun.
Orang yang berhubungan seks melalui dubur
juga rentan terhadap kanker dalam dubur. Tes
ini juga dapat dipakai untuk memeriksa dubur
laki-laki dan perempuan. Mungkin tes ini paling
penting buat waria.
Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan oleh
Yayasan Spiritia
dengan dukungan
T H E FORD
AT I ON
DA
FOU N D
Kantor Redaksi:
Jl Radio IV/10
Kebayoran Baru
Jakarta 12130
Telp: (021) 7279 7007
Fax: (021) 726-9521
E-mail: [email protected]
Editor:
Hertin Setyowati
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk
diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus
mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon).
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum
melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi
dengan dokter.
Sahabat Senandika No. 3