Sahabat Senandika

Yayasan Spiritia

No. 50, Januari 2007

Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha

Laporan Kegiatan
10th Bangkok Symposium
on HIV Medicine, 17-19
Januari 2007
Oleh: Chris Green
Hari Pertama:
Pada sambutan utama, Prof Gita Ramli
mengutarakan ‘ABC’ harus diluaskan menjadi A-I.
‘C’ harus diluaskan dari ‘Condom’ dan ‘Counseling
& Testing’ untuk menambah ‘Circumcision (sunat)’.
‘D’ = ‘Diaphragm’ (diafragma) untuk melindungi
leher rahim atas dari HIV. ‘E’ menunjukkan
kebutuhan akan ‘Exposure prophylaxis (profilaksis
pra- dan pascapajanan). ‘F’ adalah ‘Femalecontrolled microbicides (mikrobisida dikendalikan

perempuan)’. ‘G’ adalah ‘Genital tract infection
control (pencegahan infeksi pada saluran kelamin)’.
‘H’ = ‘HSV-2 suppressive treatment (pengobatan
penekan HSV-2)’, dan ‘I’ adalah ‘Immunization
(imunisasi)’ atau vaksin. Pencegahan versi ini tidak
teknologi tinggi, dan tentu tidak 100 persen efektif,
tetapi penggunaan sinergistik, membutuhkan
keterlibatan komunitas dan masing-masing tidak
dapat berjalan sendiri.
Dr. Andrew Hill dari Universitas Liverpool,
Inggris, membahas kombinasi NRTI/NNRTI lini
pertama. Pendapat dia adalah, dengan
menyesuaikan dosis obat lini pertama saat ini, biaya
rejimen baku di banyak negara saat ini dapat
dikurangi dengan manfaat lagi karena efek samping
dapat dikurangi, dan efektivitas tidak dikurangi.
Yang paling menarik adalah usulannya untuk
mengurangi dosis EFV menjadi 200mg 1x sehari.
Prof Robert Murphy menyampaikan dua
presentasi mengenai mulai ART, dalam penyakit

lanjut dan perkembangan yang akan terdampak di
rangkaian terbatas sumber daya. “Kita tahu harus
mulai sebelum menjadi terlalu sakit, tetapi kita tidak
tahu kapan terlambat.” Ada beberapa subkelompok yang sulit: perempuan hamil, daerah
endemis TB, koinfeksi dengan HBV/HCV, HIV
pada pekerja seks, dan bila pasangan tidak

terinfeksi. Prof Murphy sangat optimis mengenai
penyediaan obat baru di rangkaian terbatas sumber
daya. “Produsen berjanji akan menyediakan obat
baru secara luas di seluruh dunia secepat mungkin”,
dengan harga terjangkau, terutama Merck untuk
MK0518 integrase inhibitor dan Tibotec TMC125
NNRTI yang kemungkinan akan keluar tahun ini.
Dua-duanya sangat manjur dan akan memudahkan
ART. Juga MK0518 dapat dipakai bersamaan
dengan rifampisin.
Prof. Diana Gibb membahas pengobatan untuk
anak. Pertama dia menekankan pentingnya
profilaksis kotrimoksazol untuk semua anak terlahir

dari ibu HIV-positif - alasan kematian separuh
anak yang meninggal pada usia di bawah 6 bulan
adalah PCP. Semakin banyak ARV tersedia versi
pediatrik padat (pil); tablet Kaletra kemungkinan
akan segera tersedia dengan dosis 100/25mg.
Rejimen empat obat mungkin lebih baik untuk
anak, mungkin dengan cara ‘induction’, dengan
‘maintenance’ (rumatan) dengan rejimen 3 NRTI.
Efek samping mungkin masalah lebih kecil pada

Daftar Isi

Laporan Kegiatan

1

10th Bangkok Symposium on HIV
Medicine, 17-19 Januari 2007

1


Pengetahuan adalah kekuatan

5

Pengobatan antiherpes mengurangi
viral load HIV dalam darah dan kelamin
perempuan yang tidak memakai ART
5
Suplemen Seng tidak memperbaiki diare
terkait HIV pada orang dewasa
7

Tips
Tips untuk Odha

7
7

Tanya Jawab


8

Tanya Jawab

8

Positive Fund

8

Laporan keuangan Positive Fund

8

Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.

anak; lipodistrofi jarang dialami. Namun mungkin
masalah lebih besar pada remaja, yang harus

dibedakan dari anak kecil dan dari orang dewasa.
Kesimpulan: “bila diobati, anak berpotensi hidup
lebih lama dengan obat dibandingkan orang
dewasa.”
Prof. Jintanat membahas terapi berdenyut
(structured treatment interruption/STI) pascaSMART (penelitian besar yang dianggap ‘gagal’).
Setelah menganalisis hasil penelitian Staccato,
Trivacan dan SMART, dia mengaku bahwa ada
risiko berhenti ART sementara, tetapi risiko lebih
besar pada SMART karena CD4 dibiarkan turun
sampai 250 dan waktu tidak memakai ART sampai
17 bulan. Lagi pula, biaya dibuktikan lebih rendah
kalau berhenti dibandingkan memakai obat terusmenerus, dan biaya menghadapi masalah akibat
pemberhentian masih lebih rendah daripada biaya
ART yang dihemat. Tetapi sebaiknya tidak
menunggu sampai CD4 turun menjadi 250;
sebaiknya berhenti dengan CD4 di atas 500, dan
mulai lagi dengan CD4 350-400, dengan membatasi
waktu berhenti jangan lebih dari enam bulan.
Dr. Victor Valcour dari Universitas Hawaii

membahas masalah neurologis terkait HIV dan
ART. Dia menunjukkan bahwa masalah kerusakan
kognitif lebih sering terjadi pada usia muda (0-14
tahun) dan tua (di atas 60). Tanda utama yang
menunjukkan akan terjadi masalah demensia dalam
era pasca-ART: viral load yang tinggi di cairan
tulang belakang; IDU; jumlah CD4 pernah sangat
rendah; diabetes +/- resistansi insulin; dan amiloid
yang rendah di cairan tulang belakang. Dia
menyimpulkan bahwa, walaupun saat ini masalah
neurologis cenderung menurun pasca-ART, ada
kemungkinan kita akan melihat semakin banyak
efek samping neurologis setelah orang sudah
mamakai ART belasan atau puluhan tahun.
Hari Kedua:
Prof. Sharon Lewin dari Universitas Monash di
Australia mempresentasi topik ‘Determinants of
CD4 T-cell loss and recovery in HIV infection.’
Topik ini agak bersifat ilmiah, dan tidak mudah
dipahami oleh saya. Mungkin yang menarik adalah

bahwa, walau setelah ART dimulai, viral load turun
cepat dengan pola yang serupa untuk semua orang,
ada perbedaan yang cukup besar dalam peningkatan
pada jumlah CD4 setelah mulai ART. Ada yang

2

cepat naik, sementara ada yang sangat pelan;
masalah ini dapat sangat membingungkan orang
dengan peningkat yang pelan pada CD4-nya. Hal
ini karena masalah induk (‘host’) dan faktor virus
(ada tipe virus yang lebih ganas, dan koinfeksi virus,
terutama dengan CMV) yang tidak dapat diubah,
tetapi juga ada faktor yang dapat diubah, seperti
pilihan rejimen ART dan (potensi) terapi
imunomodulator.
Presentasi ‘Constructing a regimen in patients
with failure of first line therapy (membentuk
rejimen untuk pasien yang gagal terapi lini
pertama)’ oleh Prof Kiat menyampaikan banyak

informasi penting, tetapi sulit ditangkap. Dia
membahas semua mutasi yang dapat terjadi dan
dampaknya pada pilihan terapi lanjutan. Dua hal
yang menarik: pendapat bahwa mungkin
monoterapi dengan PI yang di-boost (Kaletra,
saquinavir/r atau indinavir/r) mungkin akan
menjadi alternatif yang efektif untuk mereka
dengan virus yang resistan terhadap banyak NRTI
dan semua NNRTI. Dan juga ada informasi bahwa
resistansi terhadap tenofovir (TDF) dapat
diakibatkan oleh ABC, d4T atau ddI, bukan hanya
oleh TDF sendiri.
‘The goals of salvage therapy in highly treatment
experienced patients (Tujuan terapi penyelamatan
pada pasien yang sudah memakai kebanyakan
ARV)’ oleh Prof Jonathon Shapiro dari National
Hemophilia Center di Israel membahas bagaimana
membentuk rejimen untuk orang yang sudah gagal
terapi dengan 2-3 rejimen termasuk NRTI, NNRTI
dan PI. Walaupun ‘berpengalaman’ dengan hampir

semua jenis obat yang tersedia, kebanyakan pasien
akan tetap mendapatkan manfaat secara klinis dari
ART dan sebaiknya ART tidak dihentikan total. Hal
ini terutama benar untuk pasien dengan penyakit
lanjut atau jumlah CD4 yang sangat rendah. Pasien
yang sebaiknya berhenti ART jarang ditemukan,
terutama mereka yang mulai ART dengan CD4
yang sangat tinggi, mereka yang mengalami
toksisistas gawat, dan penghentian sementara yang
singkat yang diamati secara ketat. Resistansi
terhadap kebanyakan golongan (selain NNRTI)
tidak mutlak.
Prof. Greg Dore dari Universitas New South
Wales membahas ‘Hepatitis virus kronis’: Bila ada
obat, apakah dapat disembuhkan?’. Tujuan utama
presentasi ini adalah perkembangan baru untuk

Sahabat Senandika No. 50

terapi HCV dan HBV. Ada banyak jenis obat baru

dari dua golongan yang sedang ditelitikan untuk
mengobati HCV: “dengan HCV, kita sekarang
dalam keadaan serupa dengan HIV pada
pertengahan 1990-an.” Obat baru akan bekerja
lebih cepat dengan efek samping jauh lebih ringan,
dan harga lebih murah. HBV akan diobati dengan
terapi kombinasi, juga dengan beberapa jenis obat
baru, juga dengan harga lebih murah. Kesan utama
saya adalah bahwa mungkin ada baik untuk
menunda terapi hepatitis kalau bisa, dan menunggu
terapi baru. Tetapi dibutuhkan advokasi seperti
yang dulu dilakukan untuk ARV agar obat hepatitis
dapat lebih terjangkau.
Beberapa bulan yang lalu, diumumkan bahwa
vaksin terhadap HPV sudah disetujui di AS.
Graham Leggatt, salah satu pencipta vaksin
tersebut dari Universitas Queensland,
menggambarkan cara kerja vaksin tersebut. Ada
ratusan jenis virus human papiloma (HPV), tetapi
ada dua penyebab utama kanker leher rahim:
HPV16 and HPV18. Ada dua macam vaksin: satu
hanya efektif terhadap HPV 16 dan 18, yang lain
juga efektif terhadap HPV 6 dan 11 yang
menyebabkan kutil kelamin. Vaksinasi
membutuhkan tiga suntikan dalam jangka waktu
enam bulan. Vaksinasi sebaiknya dilakukan pada
perempuan sebelum terpajan melalui hubungan
seks, jadi pada usia cukup muda (9 tahun?).
Efektivitasnya hebat: 100 persen! Efek samping
ringan saja. Vaksin tidak terapeutik. Belum ada data
mengenai penggunaannya oleh laki-laki. Harga di
Australia: 460 dolar Australia untuk tiga suntikan.
Namun karena ada HPV macam lain yang dapat
menyebabkan kanker leher rahim, walaupun lebih
jarang, tes Pap smear tetap dibutuhkan.
Prof Thanyawee menyampaikan presentasi yang
menarik berjudul ’Pencegahan penularan HIV dari
ibu-ke-bayi: Berat, ringan atau menengah,’ yang
membahas penggunaan ARV untuk PMTCT. Dia
menilai AZT jangka pendek dan nevirapine dosis
tunggal (sdNVP) sebagai ’ringan’; AZT jangka
pendek + sdNVP, AZT + 3TC, dan AZT + 3TC +
sdNVP sebagai ’menengah’; dan AZT + 3TC +
sdNVP, serta AZT + 3TC + PI sebagai ’berat’.
Versi ringan sangat efektif untuk mencegah
penularan, dengan kombinasi dengan AZT lebih
baik daripada sdNVP. Namun ada tantangan

Januari 2007

dengan penggunaan sdNVP, terutama resistansi
terhadap NVP oleh ibu dan/atau anak. Yang
terbaik adalah ART biasanya untuk ibu, tetapi EFV
tidak boleh dipakai, dan ruam/hepatotoksisitas
NVP dapat menjadi masalah bila CD4-nya di atas
250, jadi alternatif adalah ART dengan PI. Bila
Kaletra dipakai sebagai PI-nya, takaran harus
ditingkatkan selama triwulan ketiga sampai dua
minggu setelah melahirkan. Sebagai jawaban pada
pertanyaan, Prof Thanyawee menjelaskan bahwa
pedoman PMTCT di AS hanya mengusulkan bedah
sesar bila viral load ibu terbukti di atas 1000 saat
persalinan.
Hari ketiga:
Presentasi buka hari berjudul ‘Global
Epidemiology of HIV-1 (Epidemiologi Global
HIV-1)’ disampaikan oleh Dr Francine McCutchan.
Saya takut presentasi ini akan sangat ilmiah, tetapi
ternyata menarik dan juga sangat relevan. Dr
McCutchan membahas sub-tipe HIV yang paling
umum, dan di mana di dunia sub-tipe tersebut
ditemukan, serta bagaimana bentuk rekombinasi
dibangun dan disebarluaskan. “HIV-1 adalah
patogen manusia yang paling bervariasi secara
genetik, karena replikasi sangat cepat, bermutasi
cepat, dan dapat rekombinasi.” Dia juga membahas
cara untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi
dengan dua virus yang berbeda (infeksi ganda).
Ternyata 5 persen IDU di beberapa daerah di
Thailand terinfeksi ganda. Jelas semua hal ini
berimplikasi untuk perkembangan vaksin, tetapi
pada kesimpulan, Dr McCutchan membahas
implikasi pada terapi dan pencegahan, antara lain:
infeksi ganda dapat mengakibatkan viral load yang
lebih tinggi, penyakit berkembang lebih cepat, dan
kegagalan terapi karena tertular dengan virus yang
resistan; dan mungkin pencegahan infeksi ulang
untuk mereka yang sudah terinfeksi HIV harus
menjadi unsur penting dari strategi keseluruhan
untuk mengendalikan epidemi global.
Prof David Burger menyampaikan presentasi
tentang farmakokinetik nevirapine dalam praktek
klinis. Dia menjawab lima pertanyaan. 1) Apakah
pasien dapat memakai NVP bersamaan dengan
rifampisin (RIF)? Kesimpulan: NVP takaran baku
tetap pilihan untuk pasien yang menerima RIF.

3

Namun yang menarik, kalau RIF dipakai sebelum
NVP, NVP tidak harus dimulai dengan dosis
separuh, atau mungkin hanya untuk satu minggu,
karena tingkat NVP dalam darah pada awal
dikurangi oleh metabolisme RIF. 2) Kalau pasien
ganti EFV dengan NVP, apakah NVP harus
dimulai dengan takaran separuh? Jawaban: tidak. 3)
Apakah takaran optimal untuk anak? Jawaban:
jangan dibawah 300mg/m2/hari; WHO sedang
membentuk tabel yang menunjukkan takaran yang
diusulkan untuk setiap berat badan, akan segera
diterbitkan. 4) Bagaimana berhenti penggunaan
rejimen NVP + NRTI? Kita tidak tahu jawaban
terbaik; ada tiga alternatif: berhenti semuanya
bersama dengan risiko resistansi terhadap NVP;
berhenti NVP dulu, teruskan NRTI 7-14
(kemungkinan 7 hari cukup) dengan risiko
resistansi terhadap NRTI; atau (mungkin terbaik)
ganti NVP dengan PI (Kaletra?) untuk 7-14 hari,
terus hentikan semuanya (risiko toksisitas akibat
PI). “Mulai NVP adalah seperti mengendarai mobil
tanpa mengetahui bagaimana mengeremnya” dan 6)
(tidak ada waktu untuk pertanyaan 5) Apakah aman
pakai NVP waktu hamil? Ya, tetapi... masalah
toksisitas bila CD4 di atas 250, dan bila tidak akan
diteruskan, bagaimana berhentinya (lihat
pertanyaan 4). Akhirnya Prof Berger mengaku
bahwa walau NVP sudah dipakai sepuluh tahun,
masih ada pertanyaan yang belum dapat dijawab
secara penuh.
Prof Peter Reiss membahas risiko kardiovaskular
(CVD) terkait HIV, dan cara menangani. Presentasi
cukup rumit, tetapi kesimpulannya mengenai cara
mencegah dan menangani risiko tersebut cukup
sederhana: Menilai risiko sebelum mulai ART
(pakai algoritme); mengenal mereka dengan risiko
tinggi terhadap CVD (risiko CAD dalam sepuluh
tahun di atas 10-20 persen); menghadapi faktor
risiko yang diketahui (mis: merokok); memilih ART
secara bijaksana (hindari resistansi insulin dan
dislipidemia); coba memulihkan resistansi insulin/
dislipidemia bila ada (sulit!); dan coba hindari
berhenti ART (terkait dengan CAD seperti
ditunjukkan oleh penelitian SMART). Bila risiko
rendah terhadap CVD, dapat diabaikan, dan jarang
menjadi masalah pada orang di bawah usia kuranglebih 50 tahun. Pengaruh pola hidup (terutama
merokok) jauh lebih besar daripada ART.

4

Presentasi berikut oleh Prof Bernard Hirschel
sangat hangat: Sunat atau tidak? Dia membahas
sejarah sunat: sebagai cara mencegah infeksi saluran
kemih pada anak (terbukti sangat efektif); untuk
mencegah IMS (terbukti sangat efektif untuk
beberapa IMS, baik dari perempuan ke laki-laki dan
sebaliknya); dan untuk mencegah HPV dan kanker
kelamin (terbukti efektif pada laki-laki dan
perempuan, walaupun untuk melindungi penis dari
kanker, sunatan harus dilakukan segera setelah
lahir, bukan saat pubertas). Sebagai cara untuk
mencegah penularan HIV, sekarang ada bukti kuat
mengenai efektivitasnya. “Sunat adalah intervensi
yang jauh termurah per kasus infeksi HIV yang
dicegah.”
Dr Mark Boyd menyampaikan presentasi
mengenai penggunaan PI di negara terbatas sumber
daya. Tetapi pada dasarnya, presentasi menanyakan
apakah takaran yang diusulkan oleh produsen
terlalu tinggi, dan sering jawabannya adalah ’ya!’.
Dia membahas hasil uji coba klinis dari beberapa
PI, yang secara jelas menunjukkan bahwa takaran
yang jauh lebih rendah sama atau lebih efektif,
dengan efek samping (dan harga) jauh lebih rendah.
Misalnya, uji coba klinis Kaletra menujukkan bawha
takaran 200/100 lebih efektif untuk menekankan
replikasi virus dibandingkan takaran baku yang dua
kali lipat lebih tinggi (400/100). Lagi pula, uji coba
ini dilakukan pada orang kulit putih dengan berat
badan rata-rata 82kg, jadi untuk orang Asia, takaran
lebih rendah lebih masuk akal lagi. Keadaan yang
sama ditemukan untuk atazanavir (hasil dengan
takaran 200mg qd serupa dengan hasil dengan
400mg qd yang saat ini baku). Untuk indinavir/r,
efektivitas dengan takaran 400/100 bid serupa
dengan takaran baku 800/100 bid, dengan efek
samping jauh lebih rendah. Keadaan dengan
saquinavir juga sama. Jelas dampak penyesuaian
takaran ini dapat berdampak besar pada anggaran
yang harus disediakan untuk ART. Sayangnya saat
ini tidak ada alternatif yang efektif untuk ritonavvir
sebagai boster; itrakonazol dapat dipakai, tetapi
lebih mahal daripada ritonavir. Mungkin 50mg
ritonavir cukup, tetapi kapsul terkecil adalah 100mg,
dan alternatif (sirop) rasanya sangat buruk (”seperti
minum muntah”).
Adalah menarik bahwa Simposium ini mengenai
pengobatan HIV dimulai dengan presentasi utama
yang membahas pencegahan, dan ternyata juga

Sahabat Senandika No. 50

ditutup dengan presentasi mengenai pencegahan,
yang menekankan pentingnya kita memadukan P
(prevention) dengan CST.
Presentasi akhir ini berjudul ”Pencegahan positif
untuk orang positif” disampaikan oleh Prof John
Kaldor dari UNSW. Prof Kaldor menggambarkan
sejarah dan dasar pemikiran untuk pencegahan
untuk Odha, terutama dari sisi dokter. ”Ada
potensi untuk manfaat buat dokter dan pasien:
kepatuhan, viral load lebih rendah, penularan
dikurangi, dan perkembangan resistansi dikurangi.”
Strategi yang dibahas untuk dokter termasuk:
perawatan medis - menahan viral load yang rendah
dan kesehatan secara umum; dukungan psikososial
dan konseling - menghadapi kebutuhan pribadi,
hubungan dan sosial; layanan spesialis lain kesehatan seksual, penggunaan narkoba/alkohol;
dan keterlibatan kelompok sebaya. Walaupun belum
ada penelitian yang membuktikan efektivitas, ada
cukup banyak bukti anekdotal. Namun bukti yang
ada dari negara maju menunjukkan bahwa layanan
harus sangat individu dengan sepuluh sesi/20 jam
selama tiga bulan, jadi investasi cukup besar.
Akhirnya Prof Kaldor mengulang bahwa asas
petunjuk adalah baku: bukti klinis; kesehatan dan
hak asasi manusia; dan pertimbangan klinis. Setelah
presentasi, Prof Kaldor ngobrol dengan Caroline
dan saya agar dapat usulan dan kritik, karena dia
semakin tertarik dengan masalah ini, tetapi
mengaku bahwa topik ini juga cukup peka dan
harus dibahas secara hati-hati. Kesan saya
keseluruhan adalah bahwa Simposium tetap baik
dan praktis, walau ada beberapa sesi yang terlalu
ilmiah/dalam. Sayangnya waktu untuk pertanyaan
pada sesi pleno sangat terbatas (biasanya tidak ada
waktu), tetapi sebaliknya, pada lokakarya, dengan
ada kesempatan untuk interaksi dengan peserta,
ternyata hanya sedikit peserta siap buka mulutnya.
Seperti saya janji, saya akan coba membuat laporan
lebih dalam untuk dimuat pada situs web Spiritia
dalam beberapa hari. Memang banyak informasi
yang disampaikan sangat penting buat kita di
Indonesia, tetapi juga ada yang harus dibahas lebih
dalam, seperti kesempatan untuk mengurangi
takaran ARV, dengan potensi untuk menghemat
dana dan mengurangi efek samping (paling penting
untuk AZT dan d4T!).

Januari 2007

Pengetahuan
adalah kekuatan
Pengobatan antiherpes
mengurangi viral load HIV
dalam darah dan kelamin
perempuan yang tidak
memakai ART
Michael Marco & Michael Carter,
16 Agustus 2006
Pengobatan antiherpes setiap hari mengurangi
viral load HIV dalam darah dan cairan vagina
secara berarti pada perempuan yang tidak memakai
terapi antiretroviral (ART). Hal ini diungkapkan
pada Konferensi AIDS Internasional ke 16 di
Toronto, Kanada pada 15 Agustus 2006. Para
peneliti dari Prancis beranggap bahwa hasil
penemuan mereka dapat memberikan dampak
penting pada pencegahan HIV.
Penelitian epidemiologi dan biologi telah
mengusulkan terdapat kaitan antara infeksi kelamin
akibat virus herpes simpleks-2 (HSV-2) dengan
penularan HIV. Infeksi HSV-2 dapat meningkatkan
jumlah virus yang keluar dari vagina dan barangkali
akan membuat seseorang koinfeksi HIV dan
HSV-2 lebih mungkin menularkan HIV pada
pasangan seksualnya. Namun demikian, hubungan
sebab akibat ini belum pernah terbukti dalam
penelitian pada manusia. Hingga saat ini, tidak
pernah dilakukan uji coba klinis secara acak pada
Odha yang menggunakan terapi anti-HSV-2.
Oleh karena itu, peneliti dari ANRS melakukan
dua uji coba secara acak, percobaan dikontrol
plasebo di Burkina Faso untuk membuktikan
konsep. Tujuan adalah untuk memastikan apakah
pemakaian terapi anti-HSV-2 valasiklovir (prodrug
valin ester asiklovir) setiap hari, dapat mengurangi
viral load HIV dalam cairan vagina dan darah
perempuan Odha. Penelitian pertama, ANRS
1285a, melibatkan perempuan Odha yang tidak
membutuhkan ART, sementara perempuan dalam
ANRS 1285b memakai ART.

5

Dalam penelitian ANRS 1285a, sebanyak 140
perempuan yang tidak memerlukan ART dibagi
secara diacak untuk menerima 1mg valasiklovir atau
plasebo setiap hari selama tiga bulan. Dua kali
seminggu cairan vagina mereka diambil untuk
mengukur jumlah virus HIV dan HSV-2 yang
keluar. Tes darah juga dilakukan untuk memantau
viral load HIV. Dari 136 perempuan dengan data
yang dapat dianalisis, para peneliti menetapkan
bahwa frekuensi dan jumlah virus HIV yang keluar
dan viral load HIV menurun kurang lebih 0,510 log
dengan terapi valasiklovir. Juga terjadi penurunan
yang bermakna pada jumlah virus HSV-2 yang
keluar dari vagina sebanyak 65 persen dan ulkus
kelamin berkurang 84 persen.
ARNS 1285b mengacak pemberian valasiklovir
atau plasebo pada 60 perempuan pemakai ART.
Jumlah CD4 rata-rata pada kedua kelompok kirakira 230 dan jangka waktu penggunaan ART ratarata 20 minggu. Walaupun tidak ada penurunan
secara berarti pada viral load HIV, namun terjadi
penurunan virus HIV sebanyak 0,7110 log pada
cairan vagina. Selama masa pengobatan, HIV dapat
terdeteksi dalam cairan vagina 23,7 persen
perempuan dibandingkan dengan 8,6 persen
penerima valasiklovir (OR=0,27; 95% CI: 0,1, 1.0;
p=0,05). Dengan demikian, perempuan penerima
valasiklovir mengalami penurunan sebanyak 73
persen dalam kemungkinan mempunyai HIV
terdeteksi dalam cairan vagina dibandingkan dengan
penerima plasebo.
Untuk menemukan HSV-2 pada cairan vagina,
terdapat kecenderungan yang menunjukkan
perbedaan yang berarti di antara kedua kelompok
tersebut. Sejumlah 6,6 persen perempuan penerima
valasiklovir masih memiliki HSV-2 terdeteksi
dibandingkan dengan 9,8 persen perempuan
penerima plasebo (p=0.06). Tidak terdapat
perbedaan berarti yang diamati dalam jumlah ratarata virus HSV-2 yang keluar dari vagina di antara
kedua kelompok tersebut.
Para peneliti memberi beberapa alasan untuk
penemuan mereka. Satu hipotesis adalah bahwa
terapi valasiklovir menurunkan jumlah virus HIV
yang keluar dengan mengurangi viral load pada
perempuan yang tidak memakai ART. Para peneliti
menganggap bahwa ini dapat terjadi karena dampak
dari valasiklovir pada mekanisme kekebalan tubuh;

6

sebuah dampak dari obat tersebut pada sel yang
terinfeksi HIV; atau hambatan pada virus terkait
herpes lain. Para peneliti juga menekankan bahwa
valasiklovir menekan keluarnya virus HSV-2 dari
vagina, sehingga jumlah virus di vagina berkurang.
Mereka mengingatkan bahwa data ini tidak secara
tegas menunjukkan bahwa valasiklovir cukup untuk
mengurangi penularan HIV. Secara bijaksana
mereka berpendapat bahwa hipotesis ini perlu
ditinjau kembali dengan uji coba klinis yang tengah
dilaksanakan, misalnya penelitian yang sedang
dilakukan oleh Connie Cellum dan Jaringan
Percobaan Pencegahan HIV (The HIV Prevention
Trials Network)
Akan tetapi, mereka secara benar menyatakan
bahwa ini adalah uji coba secara acak yang pertama
kali menunjukkan dampak biologis HSV-2 pada
penularan HIV. Demikian halnya, mereka dengan
sangat hati-hati menghimbau untuk terus
mendorong hubungan seks yang aman pada Odha
yang menerima ART, karena ditemukan bahwa
sampai dengan dua per tiga perempuan yang
menerima ART masih mengeluarkan HIV setelah
20 minggu.
Ringkasan: Anti-herpes therapy reduces genital
and plasma HIV viral load in women not taking
HIV therapy
Sumber:
Mayaud P et al. Herpes simplex virus type-2 (HSV-2) suppressive
therapy to reduce genital and plasma HIV-1 RNA: overview of the
ARNS 1285 trials, potential mechanisms for future interventions.
Sixteenth International AIDS Conference, Toronto, abstract TUA0501,
2006.
Nagot N et al. Impact of valacyclovir on genital and plasma HIV-1
RNA: a randomised controlled trial among women taking HAART
(ARNS 1285b). Sixteenth International AIDS Conference, Toronto,
abstract TUPE0402, 2006.

Sahabat Senandika No. 50

Suplemen Seng tidak
memperbaiki diare terkait
HIV pada orang dewasa
New York (Reuters Health) 9 November 2006 –
Laporan dari tim peneliti internasional menyatakan
bahwa pengobatan selama dua minggu dengan
50mg Seng dua kali sehari tidak mengurangi atau
menghilangkan diare pada orang dewasa terinfeksi
HIV.
Penulis menjelaskan bahwa suplemen Seng telah
disarankan untuk mengurangi kejadian serta
keparahan diare pada anak-anak, tetapi tidak jelas
apakah Seng meringankan diare pada orang dewasa
terinfeksi HIV.
Dr. King K. Holmes dari Universitas
Washington, Seattle beserta rekan menyelidiki
kemungkinan apakah tambahan Seng (50mg dua
kali sehari selama dua minggu) dapat
mempengaruhi kelanjutan atau keparahan diare
pada 159 orang dewasa terinfeksi HIV di Peru yang
mengalami diare paling sedikit tujuh hari.
Penemuan ini dilaporkan dalam Journal of
Acquired Immune Deficiency Syndromes edisi
Oktober 2006.
Penulis melaporkan bahwa dibandingkan dengan
pemberian plasebo, suplemen Seng tidak
mengurangi frekwensi diare. Gejala lambung-usus
lain dan demam muncul dengan frekwensi yang
serupa pada kedua kelompok.
Para peneliti berpendapat bahwa, “Pengobatan
yang lebih lama atau pemantauan lebih dari dua
minggu telah menunjukkan manfaat. Akan tetapi
manfaat suplemen Seng terhadap diare pada anakanak menjadi nyata setelah hari ke empat
pemberian suplemen Seng.”
“Penelitian mendatang tentang diare terkait HIV
pada orang dewasa di negara berkembang harus
menilai intervensi antimikroba yang berpotensi
lebih efektif agar mendasari pedoman untuk
algoritme pengobatan antimikroba empiris,”
demikian disimpulkan oleh penulis.
Ringkasan: Zinc Supplements Don’t Improve
HIV-Related Diarrhea in Adults
Sumber: J Acquir Immune Defic Syndr 2006;43:197-201.

Tips
Tips untuk Odha
Kepopuleran (kacang) kedelai di kita bukan saja
karena murah harganya, tetapi juga merupakan
bahan makanan yang cukup efisien, di samping
memang bernilai gizi tinggi. Untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi itu saja, menurut perkiraan
kasar, tiap orang Indonesia rata-rata memerlukan
tidak kurang dari 4 kg tiap tahunnya.
Kedelai juga terkenal di seluruh dunia sebagai
jenis kacang-kacangan yang paling tinggi kadar
proteinnya; kecuali itu macam-macam vitamin pun
banyak terdapat dalam biji kedelai. Jangan anggap
remeh bahan nabati ini karena ia sungguh kaya akan
gizi; bahkan nilai proteinnya nyaris sama dengan
protein hewani.
Berikut ini adalah cara membuat susu kedelai:
• Kedelai direndam air selama 5-10 jam.
Kemudian dibuang airnya.
• Kedelai basah dituangi air mendidih, dengan
perbandingan 9 bagian air dan 2 bagian kedelai.
Temperatur dijaga 80 derajat celcius pada setiap
saat.
• Disaring dengan kain linen putih.
• Blender kacang kedelai kemudian direbus dan
ditambahkan gula secukupnya.
• Susu kedelai yang diperoleh dapat diperlakukan
sebagai susu kedelai segar atau susu kedelai
dalam botol.
Apabila yang diinginkan susu kedelai segar, maka
perlakuan selanjutnya adalah:
• Menjaga susu kedelai tetap sama selama 30-50
menit untuk menghancurkan antrypsin. Soalnya
antrypsin ini dapat menghilangkan trypsin yang
diperlukan untuk mencerna protein.
• Tambahkan gula, aroma, dll.
• Susu kedelai segar ini tahan selama delapan jam.
Tetapi kalau dimasukkan ke dalam lemari es,
susu ini dapat bertahan lebih lama, yaitu 1-5
hari.
Apabila yang diinginkan susu kedelai dalam botol,
maka perlakuan selanjutnya adalah sebagai berikut:
• Tambahkan gula dan beberapa zat gizi mikro
(vitamin dan mineral), dan aroma.
• Masukkan susu kedelai ke dalam botol.
• Lakukan sterilisasi dengan pemanasan selama
12 menit pada temperatur 121 derajat celcius.
• Hasil produk ini bisa bertahan selama 6 bulan.
Sumber: Intisari Seri Kembali ke alam Kumpulan artikel makanan sehat

Januari 2007

7

Tanya Jawab

Positive Fund
Laporan Keuangan Positive Fund

Tanya Jawab
T: Apakah istri saya bisa hamil, kalau dia
menggunakan kombinasi ARV
Stavudin+Hiviral+Efavirenz? Karena yang saya
tahu dia harus mengganti dengan NVP, ada juga
informasi yang saya dapatkan kalau sampai hamil
Efavirenznya aja yang di stop? Saya sangat
membutuhkan jawaban..!!
J: Efavirenz adalah satu-satunya obat
antiretroviral (ARV) yang tidak boleh dipakai oleh
ibu hamil, dan diusulkan tidak dipakai oleh
perempuan yang mungkin bisa jadi hamil.
Alasannya karena terbukti dapat menimbulkan
cacat pada janin, terutama pada triwulan pertama
kehamilan. Kalau perempuan yang memakai
efavirenz ingin hamil, atau ada risiko dapat menjadi
hamil, efavirenz harus diganti (tidak di-stop!).
Biasanya obat pengganti adalah nevirapine, tetapi
bila tidak tahan dengan nevirapine karena efek
samping, alternatif lain adalah Kaletra (protease
inhibitor, biasa dicadangkan untuk lini kedua). Bila
dipakai Kaletra, takaran harus ditingkatkan pada
triwulan ketiga kehamilan sampai dengan dua
minggu setelah melahirkan.
Obat lain (stavudin/d4T dan Hiviral/3TC) tidak
menimbulkan masalah.

Yayasan Spiritia Periode Januari 2007

Saldo aw al 1 Januari 2007

9,058,169

Penerimaan di bulan
Januari 2007

300,000+
___________

Total penerimaan

9,358,169

Pengeluaran selama bulan Januari :
Item

Jumlah

Pengobatan

532,000

Transportasi

0

Komunikasi

0

Peralatan / Pemeliharaan

0

Modal Usaha

0+
__________

Total pengeluaran

532,000-

Saldo akhir Positive Fund
per 31 Januari 2007

8,826,169

Diambil dari rubrik Tanya Jawab di website Spiritia.

Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan oleh

Yayasan Spiritia
dengan dukungan
T H E FORD
AT I ON
DA
FOU N D

Kantor Redaksi:
Jl. Johar Baru Utara V No 17
Jakarta Pusat 10560
Telp: (021) 422 5163 dan (021) 422 5168
Fax: (021) 4287 1866
E-mail: yayasan_spiritia@yahoo.com
Editor:
Caroline Thomas
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk
diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus
mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon).
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum
melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi
dengan dokter.

8

Sahabat Senandika No. 50