PENGARUH DIAMETER LUBANG LUARAN TERHADAP DENSITAS, WAKTU HANCUR DALAM AIR, KETAHANAN IMPAK DAN KAPASITAS PRODUKSI PELLET PUPUK BIOKOMPOSIT LIMBAH KOTORAN SAPI

(1)

PENGARUH DIAMETER LUBANG LUARAN TERHADAP

DENSITAS, KETAHANAN IMPAK DAN KAPASITAS

PRODUKSI PELLET PUPUK BIOKOMPOSIT LIMBAH

KOTORAN SAPI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknik

Oleh :

AHMAD MUSLIM RIFA’I NIM. I 1406518

JURUSAN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA


(2)

commit to user

MOTTO

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan,

maka bersama kesulitan pasti ada kemudahan

(Q.S. Al-Insyirah: 5-6)”

“Berani menghadapi tantangan adalah guru dari teori kesuksesan”


(3)

“Memiliki semangat untuk hidup akan jauh lebih hidup dari pada hanya merasa hidup”

Hidup adalah perjuangan hadapi dengan senyuman

karena hidup ini indah”

Karya ini kupersembahkan kepada:

¾

Bunda dan Ayahku tercinta

terima kasih untuk kasih sayang dan doa yang engkau panjatkan demi puteramu ini, jerih payah dan pengorbananmu akan jadi hal yang takkan sanggup terbalaskan


(4)

commit to user

doa dan kesetiaanmu adalah peyulut api semangat, you are my everything

¾

Kedua Kakakku dan keponakanku serta adikku tersayang

terima kasih dorongan dan keceriaan yang kalian berikan

¾

Keluarga Besar Teknik Mesin UNS


(5)

PENGARUH DIAMETER LUBANG LUARAN TERHADAP

DENSITAS, WAKTU HANCUR DALAM AIR, KETAHANAN IMPAK DAN KAPASITAS PRODUKSI PELLET PUPUK BIOKOMPOSIT LIMBAH

KOTORAN SAPI

AHMAD MUSLIM RIFA’I Teknik Mesin Universitas Sebelas Maret

Intisari

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui densitas, waktu hancur dalam air, ketahanan impak dan kapasitas produksi pupuk pellet biokomposit. Pellet dibuat dengan campuran dari kotoran sapi dengan menggunakan molasses sebagai perekatnya. Komposisi yang digunakan adalah 50 % kotoran sapi dan 50 %

molasses. Variasi yang digunakan adalah diameter lubang output pada mesin pembuat pellet. Proses pembuatannya adalah kotoran sapi dan molasses dicampur terlebih dahulu dengan persentasi yang telah ditentukan, kemudian dimasukkan ke dalam mesin pembuat pellet dengan variasi diameter lubang luaran. Pengujian yang dilakukan meliputi, uji ketahanan impak, uji densitas, uji hancur dalam air, dan kapasitas produksi. Hasil penelitian menunjukan ketahanan impak pupuk pellet biokomposit pada variasi lubang diameter 12 mm, 10mm dan 8 mm cenderung semakin meningkat. Demikian juga untuk waktu kapasitas produksinya. Pada diameter lubang output 12 mm nilainya lebih besar dibandingkan dengan diameter 10 mm dan 8 mm. Untuk nilai densitas, pada variasi diameter lubang output 12 mm, 10 mm dan 8 mm cenderung berbanding terbalik. Pada diameter lubang output 8 mm memiliki nilai densitas yang lebih besar daripada nilai densitas pada diameter lubang output 10 mm dan 12 mm.

Kata Kunci: biokomposit, kotoran sapi, molasses, pellet

EFFECT OF HOLE DIAMETER OUTCOME ON DENSITY, DISINTEGRATION TIME IN WATER, IMPACT RESISTANCE, AND PRODUCTION CAPACITY OF FERTILIZER BIOCOMPOSITE PELLETS


(6)

commit to user

AHMAD MUSLIM RIFA’I

Mechanical Engineering Sebelas Maret University

Abstract

The purpose of this study was to determine the density, when crushed in water, impact resistance and fertilizer production capacity biocomposite pellets. Pellets made with a mixture of cow manure by using molasses as an adhesive. The composition used was 50% cow manure and 50% molasses. The variation used is the output hole diameter on pellet machine. The manufacturing process is the cow manure and molasses mixed in advance with predetermined percentage, then inserted into the pellet machine with output hole diameter variation. Tests conducted included, impact resistance test, density test, tests crushed in water, and production capacity. The result showed resilience impact biocomposites fertilizer pellets on 12 mm diameter hole variation, 10mm and 8 mm tend to increase. Similarly, for the production capacity. At 12 mm diameter hole output value is larger than the diameter of 10 mm and 8 mm. For density values, the variation of the output hole diameter 12 mm, 10 mm and 8 mm tend to be inversely proportional. At the output of 8 mm diameter hole has a value greater density than the density values in the output hole diameter of 10 mm and 12 mm.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, hidayah dan bimbinganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul PENGARUH DIAMETER LUBANG LUARAN TERHADAP DENSITAS,

KETAHANAN IMPAK DAN KAPASITAS PRODUKSI PELLET PUPUK BIOKOMPOSIT LIMBAH KOTORAN SAPI. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana teknik di Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sangat mendalam kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, khususnya kepada :

1. Bapak Zainal Arifin, S.T., M.T. selaku pembimbing I dan Bapak Prof. Dr. Kuncoro Diharjo, S.T., M.T. selaku pembimbing II yang dengan sabar dan penuh pengertian telah memberikan banyak bantuan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dody Ariawan, S.T., M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik UNS.

3. Bapak Eko Prasetya Budiana, S.T., M.T., Bapak Ir. Wijang Wisnu Raharjo, M.T., Bapak Dody Ariawan, S.T., M.T., selaku dosen penguji.

4. Bapak Prof. Dr. Kuncoro Diharjo, S.T., M.T., selaku Dekan Fakultas Teknik UNS.

5. Bapak Bambang Kusharjanta, S.T, M.T. selaku pembimbing akademik. 6. Dosen-dosen Teknik Mesin FT UNS yang telah membuka wacana keilmuan

penulis.

7. Ibu Hj. Daryati dan Bapak H. Damami, S.Pd yang selalu mendo’akan dan menyayangiku

8. Farlina Wahyulistyo, SE yang selalu mendampingiku saat suka dan duka 9. Bapak H. Paryono dan Ibu Sri Wahyuni, terimakasih do’anya

10.Mas Muhson Rifa’i dan Mbak Erna serta si kecil Fadly yang selalu mendukungku dan memberikan keceriaan


(8)

commit to user

11.Anwar Rifa’i yang selalu menyemangatiku 12.Teman-teman mahasiswa Teknik Mesin UNS 13.Seluruh civitas akademika Teknik Mesin UNS

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, bila ada saran, koreksi dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini, akan penulis terima dengan ikhlas dan dengan ucapan terima kasih.

Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berharap skripsi ini dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Surakarta, April 2011


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... ... vi

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... x

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xii

Daftar Lampiran ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Batasan Masalah ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka ... 6

2.2 Landasan Teori ... 10

2.2.1 Komposit dan Komposit Partikel ... 10

2.2.2 Biokomposit ... 11

2.2.3 Perekat (binder) ... 11

2.2.4 Tetes tebu (Molasses) ... 13

2.2.5 Proses Pembuatan Pellet ... 13

2.3 Pengujian Sampel Pellet Pupuk Biokomposit ... 15

2.3.1 Pengujian Densitas ... 15

2.3.2 Pengujian Ketahanan Impak ... 16

2.3.3 Kapasitas Produksi Mesin ... 17

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian ... 18

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

3.3 Bahan Penelitian ... 19

3.4 Peralatan Penelitian ... 20

3.4.1 Mesin Pembuat Pellet ... 20

3.5 Tahap Penelitian ... 21

3.6 Teknik Pelaksanaan ... 22

3.6.1 Proses Pencampuran ... 22

3.6.2 Proses Pembuatan Pellet ... 23

BAB IV. HASIL DAN ANALISA 4.1 Ketahanan Impak Pellet Pupuk Biokomposit ... 24

4.2 Densitas ... 26


(10)

commit to user

BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 29

5.2 Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Kandungan unsur kimia dalam suatu kotoran sapi ... 7 Tabel 2.2 Pengaruh macam-macamperekat ... 12 Tabel 4.1.a Ketahanan Impak Pupuk Pellet Biokomposit ... 24 Tabel 4.1.b Perbandingan Ketahanan Impak Pupuk Pellet Biokomposit

Dengan Kotoran Kambing ... 25 Tabel 4.2 Nilai Densitas Pupuk Pellet Biokomposit ... 26 Tabel 4.3 Kapasitas Produksi Pupuk Pellet Biokomposit ... 27


(12)

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Peternakan sapi milik pondok pesantren Abdurrahman bin Auf ... 2

Gambar 2.1 Konsep mesin pres untuk pembuatan POP ... 9

Gambar 2.2 Alat uji ketahanan impak ... 16

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ... 18

Gambar 3.2 Rawmaterial kotoran sapi kering ... 19

Gambar 3.3 Molasses (tetes tebu) ... 20

Gambar 3.4 Mesin Pembuat Pellet ... 20

Gambar 3.5 Tabung pencampur ... 22

Gambar 3.6 Set up peralatan proses pencampuran ... 22

Gambar 4.1 Kurva hubungan variasi diameter pellet dengan ketahanan impak (IRI) ... 24

Gambar 4.2 Kurva hubungan antara diameter pellet dengan densitas rata-rata ... 26

Gambar 4.3 Kurva hubungan antara diameter pellet dengan besarnya kapasitas produksi pellet pupuk biokomposit ... 28


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Alat Penelitian ... 32

Lampiran 2. Bahan Penelitian ... 33

Lampiran 3. Hasil Pengujian Ketahanan Impak ... 34

Lampiran 4. Data Awal ... 35


(14)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penggunaan pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan semakin berkembang. Dahulu limbah kotoran ternak merupakan salah satu masalah yang berdampak sistemik bagi lingkungan di sekitar area peternakan. Dewasa ini kotoran sapi mulai dikembangkan ke arah energi alternatif dan pemanfaatan pupuk organik. Karena kurangnya pengetahuaan para petani akan pendayagunaan pupuk organik maka para petani lebih memilih pupuk kimiawi yang mudah didapat. Sesuai dengan data Lembaga Penelitian Tanah (LPT) akibat pemakaian pupuk kimiawi, 79% tanah sawah di Indonesia bahan organik (BO) sangat rendah. Kondisi ini memerlukan penyembuhan. Untuk meningkatkan kandungan bahan organik, dibutuhkan tambahan bahan-bahan organik (pupuk organik) berkisar 5-10 ton/hektar. Kebutuhan pupuk organik yang sangat besar memicu peneliti dalam mengkaji dalam usaha menciptakan pupuk organik yang tepat guna.

Berdasarkan peninjauan di lapangan, Pondok Pesantren Abdurrahman bin Auf yang berada di Klaten (Jawa Tengah) memiliki luas lahan kurang lebih mencapai lima hektar. Pondok Pesantren Abdurahman bin Auf memiliki beberapa unit usaha, diantaranya peternakan ayam, peternakan bebek, peternakan angsa, peternakan kambing dan peternakan sapi. Pondok Pesantren memiliki santri sebanyak 120 orang dan 30% diantaranya aktif dalam bidang swadaya peternakan tersebut. Dengan jumlah sapi mencapai 100 ekor, volume kotoran yang dapat dimanfaatkan juga sangat besar. Seekor sapi mampu menghasilkan kotoran padat dan cair sekitar 23,6 kg/hari dan 9,1 kg/hari (Undang, 2002). Jika Pondok Pesantren tersebut memiliki 100 ekor sapi dengan rata-rata kotoran yang dihasilkan adalah 2.360 kg/hari untuk kotoran sapi berwujud padat dan 910 kg/hari untuk kotoran sapi berwujud cair. Sebagian besar kotoran basah sapi dimanfaatkan untuk kepentingan biogas dan pupuk kandang berwujud cair. Namun, beberapa masalah juga timbul dari kotoran sapi pasca biogas yang dinilai cukup potensial jika diteliti lebih lanjut. Peneliti sebelumnya menyatakan bahwa kotoran sapi sisa biogas jauh


(15)

lebih baik dari pada kotoran sapi baru. Gas metan yang terkandung di dalam kotoran sapi tersebut sangat tidak dibutuhkan oleh tanaman pertanian.

Gambar 1.1. Peternakan sapi milik Pondok Pesantren Abdul Rahman Bin Auf Klaten

Beberapa penelitian tentang limbah ternak kotoran sapi semakin banyak mendatangkan manfaat. Selain untuk keperluan biogas, kotoran sapi ini dapat mendatangkan manfaat lain seperti dijadikan pupuk organik untuk keperluan pertanian. Pupuk organik bisa berasal dari kotoran hewan ternak (pupuk kandang) dan bisa pula dari pembusukan dedaunan. Untuk pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan, material penyusun utamanya adalah kotoran sapi dan kambing. Namun, selain mudah didapat dalam aplikasinya kotoran sapi lebih banyak digunakan sebagai bahan dasar pupuk kompos organik. Seiring dengan perkembangan teknologi pupuk organik, banyak berbagai macam bentuk pupuk organik diantaranya adalah:

1. Pupuk Organik Granul (berbentuk bulatan dengan demensi tertentu)

Pupuk dalam bentuk granul mempunyai keunggulan baik pada proses

handling di lapangan (penyebaran) dan proses packing yang cukup baik. Namun, pupuk granul ini memiliki kelemahan pada proses pembuatan yang cukup panjang. Selain itu, pupuk dalam bentuk granul tidak mudah hancur dalam air dan memiliki harga yang cukup mahal.

2. Pupuk Organik Bokhasi (berbentuk box/trapesium dengan dimensi sesuai kebutuhan) pupuk ini sangat mudah dibuat namun dengan mencampurkan kotoran sapi dengan beberapa bahan pendukung seperti, jerami, molasses,


(16)

commit to user

air daun dan lain sebagainya. Kelemahan pupuk organik bokhasi adalah bentuk kurang baik dan proses packing yang sulit.

3. Pupuk Organik Curah (serbuk/powder)

Proses pembuatan pupuk curah yang cukup mudah karena mirip dengan proses pembuatan pupuk bokhasi yang dilanjutkan dengan proses penghancuran (crushing). Pupuk dalam bentuk serbuk memiliki kelemahan pada proses handling di lapangan yang cukup sulit, karena ukuran partikel serbuk yang terlalu kecil dan ringan.

4. Pupuk Organik Cair (berbentuk cair berasal dari urin sapi dan zat lainya) Pupuk dalam bentuk ini sangat baik jika dilihat dari proses hancurnya. Namun kelemahan dari pupuk berbentuk cair adalah kadungan nutrisi yang ada dalam pupuk ini tidak sebanding dengan pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi padat.

5. Pupuk Organik Pelet (berbentuk silinder dan berdimensi sesuai kebutuhan) Bentuk pelet merupakan bentuk baru yang sedang dikembangkan

Sebelumnya beberapa peneliti berusaha menemukan komposisi yang tepat campuran antara kotoran sapi dengan bahan pencampurnya. Namun seiring dengan perkembangan pupuk kompos yang yang berasal dari kotoran sapi diperlukan proses pembuatan pupuk yang lebih efisien dengan memanfaatkan teknologi yang ada, di antaranya dengan menggunakan mesin pellet. Mesin pellet yang digunakan menyerupai mesin pellet yang digunakan untuk membuat pakan ternak. Pupuk yang dibuat ini dinamakan pupuk organik biokomposit, karena tidak menggunakan bahan kimia sehingga bersifat organik. Hal ini sesuai dengan perkembangan teknologi pertanian saat ini yaitu dengan memanfaatkan pupuk organik yang mempunyai dampak lebih bagus daripada pemanfaatan pupuk kiimia. Dimana pengertian dari pupuk organik biokomposit itu sendiri adalah penggabungan dua unsur yang berasal dari biosif menjadi satu antara pupuk kompos limbah biogas dan perekat tetes tebu (binder) dengan persentasi yang ditentukan.


(17)

Limbah kotoran sapi yang ada ternyata berjumlah banyak. Tetapi penangananan limbah tersebut masih terbatas secara konvensional. Hal ini dikarenakan terdapat kendala dalam pengolahannya. Oleh karena itu perlu adanya suatu proses yang tepat dalam menangani limbah ini. Salah satunya adalah dengan dibuatnya pellet pupuk biokomposit dengan bahan limbah kotoran sapi ini. Maka dibuat penelitian ini mengenai pengaruh diameter lubang luaran terhadap densitas, ketahanan impak dan kapasitas produksi pellet pupuk biokomposit.

1.3 Batasan Masalah

Untuk menentukan arah penelitian yang baik, ditentukan batasan masalah sebagai berikut:

a) Pengambilan bahan material kotoran sapi sudah melewati tahap pengomposan mengunakan bakteri STARBIO®.

b) Distribusi partikel limbah kotoran sapi diasumsikan homogen.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

a) Mengetahui besarnya densitas dari pupuk pellet biokomposit b) Mengetahui besarnya ketahanan impak pupuk pellet biokomposit c) Mengetahui besarnya kapasitas produksi pupuk pellet biokomposit

1.5 Manfaat Penelitian

a) Manfaat bagi Mahasiswa: Dapat memahami proses pembuatan, mengetahui fungsi dan menemukan bentuk baru untuk pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi.

b) Manfaat bagi Perguruan Tinggi: Meyakinkan kepada masyarakat/industri akan kemampuan dalam pengembangan teknologi, khususnya teknologi pupuk organik dibidang pertanian.

c) Manfaat bagi Pemerintah: Mengurangi akan keberadaan pupuk tanaman nasional bersubsidi yang membebani negara dengan adanya pupuk organik yang dikembangkan secara swadaya masyarakat.


(18)

commit to user

d) Manfaat dari aspek ekonomi: Harga pupuk organik komersil lebih murah dan dapat dikembangkan secara mandiri.

e) Manfaat bagi tanah/tanaman pertanian: Meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur, dan menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman


(19)

BAB II DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Undang (2002) dalam penelitiannya seekor sapi mampu menghasilkan kotoran padat dan cair 23,6 kg/hari dan 9,1 kg/hari. Seekor sapi muda yang sudah dikebiri akan memproduksi 15-30 kg kotoran/hari. Namun, kotoran sapi yang masih baru tidak dapat langsung dipakai sebagai pupuk tanaman, tetapi harus mengalami proses pengomposan terlebih dahulu. Beberapa alasan mengapa bahan organik seperti kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman antara lain adalah:

a) Bila tanah mengandung cukup udara dan air, penguraian bahan organik berlangsung cepat sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, b) Penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur hara

ke dalam tanah,

c) Struktur bahan organik segar sangat kasar dan dayanya terhadap air kecil, sehingga bila langsung dibenamkan akan mengakibatkan tanah menjadi sangat remah,

d) Kotoran sapi tidak selalu tersedia pada saat diperlukan, sehingga pembuatan kompos merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum digunakan sebagai pupuk.

Iwan (2002) meneliti akan kandungan nitrogen (N), phospor (P) dan kalium (K) dalam kotoran sapi potong tertera pada Tabel 2.1. Hasil analisis laboratorium Lokal Penelitian Sapi Potong dan BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Jawa Timur terhadap kompos organik (hi-grade) produksi Lokal Penelitian Sapi Potong.


(20)

commit to user

Tabel. 2.1. Kandungan unsur kimia dalam suatu kotoran sapi (Iwan, 2002)

Kotoran sapi tidak serta merta langsung bisa digunakan sebagai pupuk tanaman atau campuran media tanam karena masih mengandung gas-gas berbahaya yang bisa mematikan tanaman. Oleh karena itu, penggunaan pupuk kandang harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Tahap pertama kotoran sapi difermentasikan dan dicampur dengan bahan-bahan organik seperti cacahan gedebog pisang atau cacahan rumput. Setelah tercampur ditambah kapur dan difermentasikan kembali selama tiga sampai empat hari sesuai dengan kebutuhan. Jika dalam skala besar biasanya jangka yang diperlukan sekitar 14 sampai 21 hari. Selanjutnaya ditambahkan tepung dedak, tepung jagung, molasses (tetes tebu) dan pemberian starter (bakteri pembusuk). Strater dibuat sendiri di laboratorium tanaman hias. Perkembangan bakteri pembusuk saat ini telah berhasil dibuat dan mengembangkan sebanyak dua belas macam starter diantaranya: DMAZ® (Dekomper MAZ), STARDA® (strater Dahsyat), STARBIO® (Starter bio), STARKO® (Strater komplit), PSBB® (Phosphat solubilizing Bactery Bengkalis-pelarut fospat dari bengkalis) dan lai sebagainya (Windukencana, 2009).

Dalam penelitian ini digunakan kotoran sapi sisa hasil biogas. Pada kotoran ini tidak berbau lagi dikarenakan sudah diberikan bakteri pengurai seperti STARBIO®, buatan dari PT. Lembah Hijau Multifarm Solo. Serbuk pengurai limbah organik (tinja, lemak, rambut, sampah makanan dan lain-lain) yang apabila terkena air berubah menjadi miliaran mikroba yang memangsa kotoran organik dalam septic tank anda serta memangsa bakteri yang mengeluarkan bau tidak sedap. STARBIO® merupakan produk terbaru teknologi canggih yang akan membantu kita mengatasi masalah kotoran ternak, septic tank /saluran limbah dengan cara baru. STARBIO® merupakan mikroba /bakteri yang berfungsi


(21)

menguraikan limbah menjadi bahan asal alami yang tidak berbau. Dalam septic tank, STARBIO® bekerja memangsa endapan isi septic tank yang sudah menahun dan menguraikannya menjadi bahan alami, kembali ke tanah, tanpa bau, beracun, ramah lingkungan (Taufiq, 2008).

Widyawati (2006) menyatakan bahwa fungsi molasses bagi pupuk kompos adalah dapat menghambat kandungan gas metan (CH4) yang terkandung di dalam

kotoran hewan ternak. Kadar metan dalam kotoran hewan merupakan unsur yang paling tidak dibutuhkan oleh tanaman. Selain itu molasses juga berfungsi mengoptimalkan sintesis protein mikroba pada tanah dan juga mampu menyediakan energi tersedia, sumber nitrogen untuk aktivitas dan pertumbuhan mikrobia dalam rumen khususnya bakteri golongan selulolitik dan hemiselulolitik

tercermin dari degradasi serat kasarnya.

Iwan (2002) menyatakan bahwa kotoran sapi dapat dibuat menjadi beberapa jenis kompos yaitu curah, blok, granula dan bokhasi. Kompos sebagai pupuk organik yang berbahan kotoran sapi mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan pupuk anorganik. Selain itu, kompos juga mempunyai prospek dan peluang yang besar untuk dipasarkan secara lebih meluas untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk kimia. Penyediaan kompos organik yang berkelanjutan dan praktis dapat mempermudah petani untuk memanfaatkannya sebagai penyubur tanah dan tanaman pertaniannya.

Isroi (2009) melakukan penelitian tentang macam-macam bentuk pupuk organik. Pupuk organik yang umum dikemas dalam bentuk granul atau dikenal dengan istilah POG (Pupuk Organik Granul). Bentuk granul dipilih karena petani sudah terbiasa dengan pupuk granul. Dalam hal ini petani mengalami masalah karena terbiasa dengan pemakaian pupuk granul yang sudah dilnilai paling sempurna dalam keseharianya. Bentuk granul juga memudahkan untuk aplikasi dan pengemasan. Salah satu kelemahan POG adalah proses produksinya yang cukup sulit. Pembuatan POG minimal harus melewati 7 tahap pembuatan. Setiap tahapan ada tingkat kesulitannya tersendiri.

Isroi (2009) melakukan penelitian tentang perbandingan bentuk pupuk secara fungsional. Keunggulan POP (Pupuk Organik Pelet) bentuk alternatif pupuk organik adalah bentuk pelet. Pelet memiliki keunggulan yang sama dengan POG,


(22)

commit to user

yaitu: kemudahan aplikasi, pengemasan, dan transportasi. Keunggulan yang lain adalah proses pembuatan yang lebih singkat dan mudah.. Tidak adanya pupuk organik yang berbentuk pelet di pasaran merupakan salah satu pemicu utama dari dibentuknya POP ini. Tantangan POP kemungkinan adalah resistensi dari petani. Keunggulan penting POP adalah dari sisi teknik dan biaya produksi. Tahapan produksi POP sangat singkat dan sederhana. Tahapan pentingnya hanya 4 tahap saja. Jadi bisa menghemat sekitar tiga tahap. Tahapan ini juga akan berimbas pada ongkos produksi. Karena tahapannya yang sederhana dan singkat dan relatif murah. Harga POP bisa dibuat murah, kira-kira bisa 30-50% dari harga POG. Berikut adalah tahap-tahap dalam pembuatan POP (Pupuk Organik Pelet):

1. Pengomposan bahan mentah

2. Pencampuran dengan bahan-bahan lain 3. Pembuatan pelet

4. Pengeringan 5. Pengemasan

Adapun peralatan yang dibutuhkan adalah. (Isroi, 2009) : 1. Mesin pelet

2. Pengering (jika perlu) 3. Alat-alat pendukung:

a) Meja conveyor

b) Pisau pemotong pelet


(23)

Sugondo (2000) melakukan penelitian tentang manufaktur pelet, Di mana pelet mentah dapat dibentuk dengan pengepresan uniaksial. Pada proses ini diperlukan bahan pengikat (perekat) dan pelumas (lubricant). Pengikat dimaksudkan untuk menambah daya ikat antar partikel sehingga tidak terjadi keretakan dan laminasi. Pelumas dimaksudkan untuk mengurangi keausan dinding cetakan (die) dan meningkatkan daya geser partikel. Pelumas yang digunakan dalam peletisasi uranium dioksida ialah seng stearat dan tidak digunakan senyawa pengikat lain.

Diposeno (2010) melakukan penelitian tentang variasi campuran antara kotoran sapi dengan molasses. Untuk campuaran terbaik perbandingan antara kotoran sapi dengan molasses yaitu sebesar 50:50, yaitu 50% kotoran sapi dan 50%

molasses.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Komposit dan Komposit Partikel

Zulfia (2008) menyatakan bahwa pengertian komposit merupakan perpaduan dari dua material atau lebih yang memiliki fasa yang berbeda menjadi suatu material baru yang memiliki propertis lebih baik dari keduanya. Jika perpaduan ini terjadi dalam skala makroskopis maka disebut sebagai komposit.

Zulfia (2008) menyatakan bahwa kotoran sapi yang sering digunakan sebagai material komposit adalah kotoran kering yang sudah berbentuk butiran atau berbentuk partikel. Hal ini merupakan perpaduan antar dua partikel yang berbeda antara partikel unsur padat dan kering atau disebut gabungan partikel komposit. Fungsi dari komposit partikel atau komposit yang berbentuk partikel lebih bersifat sebagai penguat (Particulate composites). Interaksi antara partikel dan matrik terjadi tidak dalam skala atomik atau molekular. Partikel seharusnya berukuran kecil dan terdistribusi merata ke segala bidang. Sebagai contoh dari large particle composite: cement sebagai matriks dan sand sebagai partikel atau gravel sebagai matriks dan sand sebagai partikel.


(24)

commit to user

2.2.2 Biokomposit

Harizamrry (2008) melakukan penelitian tentang biokomposit. Biokomposit adalah gabungan dari dua kata bio dan komposit. Bio itu sendiri adalah suatu unsur yang berasal dari bahan-bahan organik. Sedangkan komposit yang berarti suatu material yang terdiri dari dua atau lebih material yang di gabungkan secara makro (digabungkan secara mekanis), membentuk material baru dengan sifat yang lebih baik. Jadi dapat disimpulkan secara umum, biokomposit adalah gabungan dua atau lebih material yang digabungkan secara makro namun material penggabungannya hanya material yang bersifat organik. Hal ini tentunya untuk membentuk material baru yang memiliki sifat lebih baik. Dalam prosesnya pembuatan material biokomposit hampir sama dengan proses pembuatan biomassa namun yang membedakan adalah fungsinya. Biasanya material komposit adalah material yang digunakan untuk komoditas bahan atau material komponen. Sedangkan biomassa biasanya digunakan untuk komoditas bahan bakar pemanfaatan energi alternatif.

2.2.3 Perekat (Binder)

Vest (2003) meneliti tentang pengepresan material padat. Bahwa pada pengepresan (kompaksi) tekanan rendah membutuhkan bahan perekat untuk membantu pembentukan ikatan diantara partikel pada sampel. Penambahan pengikat yang digunakan dalam pengepresan dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu bahan perekat organik dan anorganik. Bahan-bahan perekat organik antara lain:

molasses, coaltar, bitumen, kanji dan resin; sedangkan bahan pengikat anorganik antara lain: tanah liat, semen, lime, dan sulphite liquior.

Ozbayoglu (2003) melakukan penelitian tentang pengaruh macam-macam pengikat pada pengepresan Angouran Smithsonite Fines. Berikut adalah data pengujian pada pengepresan Angouran Smithsonite Fines pada kandungan perekat 5%, kandungan air 6%, tekanan pengepresan 200 kg/cm² dan temperatur pemanassan 100ºC sebagai berikut:


(25)

Tabel. 2.2 Pengaruh macam-macam perekat (Kristanto, 2007).

Binder (%) Crushing Load (kg/sampel)

- Tetes tebu Dextrin Kanji Bentonit Lime Black cement Na Cl Polyvinyl Acetate Peridur XC3 CMC 144 434 561 209 143 141 245 193 218 140 297 266 141

Hinkle dan Rosenthal (2003) menyatakan bahwa fungsi utama perekat dalam proses pengepresan adalah sebagai bahan perekat/pengikat. Dengan adanya perekat, maka sampel yang dihasilkan pemilihan jenis dan kandungan perekat yang tepat akan sangat menentukan kualitas sampel yang akan dibuat. Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam memilih perekat yang akan digunakan sebagai pengikat, antara lain:

a) Kesesuaian antara perekat dengan bahan yang akan diikat.

b) Kemampuan perekat untuk dapat meningkatkan sifat-sifat material pengepresan.

c) Kemudahan untuk memperolehnya. d) Harga murah.


(26)

commit to user

2.2.4 Tetes Tebu (Molasses)

Winoto (2009) manyatakan bahwa, tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis. Perkebunan tebu di Indonesia menempati luas areal + 232 ribu hektar, yang tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo, dan Makassar. Dari seluruh perkebunan tebu yang ada di Indonesia, 50% di antaranya adalah perkebunan rakyat, 30% perkebunan swasta, dan hanya 20% perkebunan negara. Pada tahun 2002 produksi tebu Indonesia mencapai +2 juta ton. Tebu-tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik-pabrik gula. Dalam proses produksi di pabrik gula, ampas tebu dihasilkan sebesar 90% dari setiap tebu yang diproses, gula yang termanfaatkan hanya 5%, sisanya berupa molasses (tetes tebu) dan air.

Molasses merupakan salah satu hasil sampingan pabrik gula yang memiliki sukrosa sekitar 30 % dan gula reduksi sekitar 25 %, berupa glukosa dan fruktosa.

Molasses masih dapat diolah menjadi beberapa produk lain seperti gula cair, penyedap makanan (MSG), alkohol dan dry yeast untuk roti, protein tunggal, pakan ternak, asa citric dan acetic acid alcohol. (Kristanto, 2007).

Selama ini medium fermentasi yang sering digunakan untuk produksi alginat baik oleh bakteri A. Vinelandii maupun P.aerugionosa adalah media sintetis.

Molasses merupakan hasil samping industri gula yang mengandung senyawa

nitrogen, trace element dan kandungan gula yang cukup tinggi terutama kandungan sukrosa sekitar 34% dan kandungan total karbon sekitar 37% (Suastuti, 1998).

2.2.5 Proses Pembuatan Pellet

Proses pengolahan pellet terdiri dari 3 tahap yaitu, (Pujoningsih, 2004): a. Pengolahan Pendahuluan, ditujukan untuk pemecahan dan pemisahan

bahan-bahan pencemar atau kotoran dari bahan-bahan yang akan digunakan.

b. Pembuatan pellet, terdiri atas proses pencetakan, pendinginan dan pengeringan. c. Perlakuan akhir, terdiri dari proses sortasi, pengepakan dan pergudangan

Pada proses pembuatan pellet terdapat proses pengkondisian dimana campuran bahan pakan dipanaskan dengan air dengan tujuan untuk gelatinisasi. Tujuan gelatinisasi yaitu agar terjadi pencetakan antar partikel bahan penyusun sehingga penampakan pellet kompak, durasinya mantap, tekstur dan kekerasannya


(27)

bagus. Gelatinisasi merupakan rangkaian proses yang dimulai dari imbibisi air, pembengkakan granula sampai granula pecah. Pecahnya granula pati disebabkan karena pemanasan melebihi batas pengembangan granula. Penguapan dilakukan dengan bantuan steam boiler yang uapnya diarahkan ke dalam campuran. Apabila pencampuran dilakukan dengan mixer jenis beton molen, proses penguapan dilakukan sambil mengaduk campuran tersebut. Penguapan tidak boleh dilakukan diatas suhu yang diizinkan, yaitu sekitar 800C. Beberapa mesin cetak pellet berkapasitas sedang dan besar mempunyai fasilitas penguapan ini. Jadi, penguapan atau steaming tidak dilakukan pada saat pencampuran, tetapi pada saat pencetakan, (Pujoningsih, 2004).

Pencetakan

Setelah semua bahan baku tercampur secara homogen, langkah selanjutnya adalah mencetak campuran tadi menjadi bentuk pellet. Mesin pencetakan sederhana bisa merupakan hasil modifikasi gilingan daging yang diberi penggerak berupa motor listrik atau motor bakar. Perbedaan mendasar antara mesin pencetak pellet sederhana dan mesin pencetak pellet yang digunakan di industri pakan terletak pada sistem kerja mesin tersebut. Sistem kerja mesin cetak sederhana adalah dengan mendorong bahan pakan campuran di dalam sebuah tabung besi atau baja dengan menggunakan ulir (screw) menuju cetakan (die) berupa pelat berbentuk lingkaran dengan lubang-lubang berdiameter 2-3 mm, sehingga pakan akan keluar dari cetakan tersebut dalam bentuk pellet. Kelemahan sistem ini adalah diperlukan tambahan air sebanyak 10-20% kedalam campuran pakan, sehingga diperlukan pengeringan setelah pencetakan tersebut. Penambahan air dimaksudkan untuk membuat campuran atau adonan pakan menjadi lunak, sehingga bisa keluar melalui cetakan. Jika dipaksakan tanpa menambahkan air ke dalam campuran, mesin akan macet. Di samping itu, pellet yang keluar dari mesin pencetak biasanya kurang padat, (Pujoningsih, 2004).

Pengeringan

Pengeringan pada intinya adalah mengeluarkan kandungan air di dalam pakan menjadi kurang dari 14%. Proses pengeringan perlu dilakukan apabila pencetakan dilakukan dengan mesin sederhana. Jika pencetakan dilakukan dengan


(28)

commit to user

mesin pellet sistem kering, cukup dikering-anginkan saja hingga uap panasnya hilang, sehingga pellet menjadi kering dan tidak mudah berubah kembali ke bentuk tepung. Proses pengeringan bisa dilakukan dengan penjemuran di bawah terik matahari atau menggunakan mesin. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Penjemuran secara alami tentu sangat tergantung kepada cuaca, higienitas atau kebersihan pakan harus dijaga dengan baik, jangan sampai tercemar debu, kotoran dan gangguan hewan atau unggas yang dikhawatirkan akan membawa bibit penyakit. Mesin pengering yang umum digunakan sangat beragam, diantaranya oven pengering. Dalam oven pengering, pellet basah disimpan dalam baki dan oven dipanaskan dengan bantuan kompor minyak tanah, batu bara atau bahan bakar lainnya. Penyimpanan pellet dalam baki tidak boleh terlalu tebal, supaya dihasilkan pengeringan yang merata dan harus sering dibalik supaya tidak gosong. Yang perlu diperhatikan apabila menggunakan alat pengering adalah suhu pemanasan tidak boleh lebih dari 800 C. Pemanasan dengan suhu yang terlalu tinggi akan merusak kandungan nutrisi pakan, serta membuat pakan menjadi terlalu keras, (Pujoningsih, 2004).

2.3 Pengujian Sampel Pellet Pupuk Biokomposit 2.3.1 Pengujian Densitas

Densitas suatu material merupakan perbandingan antara berat dan volume dari material tersebut. Penentuan densitas dapat dilakukan berdasarkan ASTM D1037-99, dengan rumus:

t r F K gr sp 2 Π

= ...(2.1)

Dimana :

sp gr : densitas ( ) F : berat sampel (gr) π : konstanta (3,14) r : jari-jari (mm) t : tinggi sampel (mm)

K : konstanta (1 untuk satuan dalam SI atau 0,061 untuk satuan dalam inch-pound)


(29)

Pengujian ini mangacu pada standard pengujian Fuel Briquettes (ASTM D2677-67T), untuk ketahanan jatuh dari suatu briket dijatuhkan dari ketinggian ± 2 meter dan diamati kerusakannya. Sampel dijatuhkan berulang kali sampai hancur.

(2.2)

Dari rumus ini kita dapat mengambil hasil IRI (Impack Resistance Index)

untuk nilai ambang batas yang dipenuhi adalah sebesar 50 poin, jika dihitung menggunakan rumus IRI hasil dari kesepuluh sampel dapat dikatakan baik jika lebih dari nilai 50 (Physical Testing of Fuel Briquettes ,1989).

20

0

40

Ø3,5

Gambar 2. 2. Alat uji ketahanan impak

2.3.3 Kapasitas Produksi Mesin

Untuk kapasitas produksi mesin pellet dihitung dengan cara besarnya pellet yang dihasilkan dalam satuan waktu tertentu, pada penelitian ini selama satu menit. Setelah satu menit mesin dihentikan kemudian pellet yang dihasilkan ditimbang

IRI = 100 X Average Number of Drops Average Number of Pieces


(30)

commit to user

dalam satuan gram, setelah itu di cari berapa jumlah pellet yang di dapat dari berat tersebut, sehingga didapatkan kapasitas produksi dalam pcs/menit.


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Digram Alir Penelitian

MULAI

MEMBUAT ALAT STUDI EKSPERIMENTAL UNTUK PROSES HOMOGENITAS Merancang tabung homogenitas pencampuran kotoran sapi dengan molasse

ANALISA DATA:

Data yang diperoleh dari beberapa sampel uji:

1. Analisa data ketahanan impak 2. Analisa data besarnya densitas

3. Analisa data besarnya kapasitas produksi

KESIMPUL

SELESAI PEMBUATAN PELLET: Dengan varisi:

Diamater lubang output STUDI SIFAT FISIS DAN MEKANIS:

- Pencarian data sekunder dari

Uji Ketahanan Impak

Uji Densitas Kapasitas Produksi MEMBUAT DIAMETER LUBANG


(32)

commit to user

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April -November 2010. Bertempat di Laboraturium Material, Laboraturium Proses Produksi Jurusan Teknik Mesin Universitas Sebelas Maret Surakarta

3.3 Bahan Penelitian

1. Bahan dasar yang digunakan adalah kotoran sapi kering residu biogas yang sudah berbentuk powder, berasal dari peternakan sapi perah yang berada di Podok Pesantren Aburrahman bin Auf (Klaten).

Gambar 3.2. Rawmaterial kotoran sapi kering

Kotoran sapi ini telah mengalami proses fermentasi atau pembuatan pupuk organik secara terbuka. Dengan mencampurkan kotoran sapi dengan bakteri pengurai bernama BIOSTAR dan jerami, diaduk dan didiamkan selama 2 sampai 3 minggu. Setelah benar-benar kering kemudian pupuk organik dihancurkan menggunakan mesin crushing. Kotoran sapi sudah tidak berbau lagi dan memiliki struktur yang cukup kering dan berbentik partike/serbuk. Adapun persentase perbandingan dari proses pengomposan pupuk adalah: kotoran sapi + 10 % jerami : STARBIO : air = 8 : 1 : 1.

2. Molasses (tetes tebu) yang berasal limbah proses produksi gula pasir, berasal dari pabrik gula Mojo (Sragen, Jawa Tengah).


(33)

Gambar 3.3. Molasses (tetes tebu)

3.4 Peralatan Penelitian

a) Timbangan Digital b) Mesin pembuat pellet c) Jangka Sorong

3.4.1 Mesin Pembuat Pellet

Gambar 3.4. Mesin Pembuat Pellet

Cara kerja dari mesin pembuat pellet adalah sebagai berikut: gaya pada motor di teruskan ke gear box, gear box mentransmisikan gaya dari arah horizontal ke arah vertikal, dan kemudian gaya diteruskan kembali ke puli untuk


(34)

commit to user

menggerakkan shaft yang sudah terhubung dengan screw pencetak, sesuai dengan arah putaran shaft secara torsional screw menekan bahan kearah keluar mendesak keluar melalui celah-celah pencetak.

Pellet mentah dapat dibentuk dengan pengepresan uniaksial. Pada proses ini diperlukan bahan pengikat (binder) dan pelumas (lubricant). Pengikat dimaksudkan untuk menambah daya ikat antar partikel sehingga tidak terjadi keretakan dan laminasi. Pelumas dimaksudkan untuk mengurangi keausan dinding die dan meningkatkan daya geser partikel. Pelumas yang digunakan dalam peletisasi uranium dioksida ialah seng stearat dan tidak digunakan senyawa pengikat lain, (Sugondo, 2000).

3.5 Tahap Penelitian

1. Tahap pengambilan bahan, pengambilan bahan dasar kotoran sapi diperoleh dari peternakan sapi perah di Pondok Pesantren Abdurahman bin Auf di Delanggu.

2. Tahap pengambilan molasses (tetes tebu), diambil dari limbah pabrik gula pasir yang berada di daerah Karanganyar.

3. Tahap pencampuran, dengan variasi kandungan kotoran sapi dengan molasses

50:50.

4. Tahap pembuatan pellet, dengan memasukkan campuran kotoran sapi dengan

molasses ke dalam mesin pembuat pellet dengan variasi diameter lubang output 12 mm, 10 mm, dan 8 mm.

5. Tahap pengujian, pengujian ketahanan impak dengan alat uji jatuh dengan cara sampel dijatuhkan pada ketinggian 2 meter ,yang mengacu pada standard ASTM D 2677-67T, pengujian densitas mengacu pada standard ASTM D1037-99 dan penghitungan besarnya kapasitas produksi.

6. Tahap analisa data, dengan pengambilan data dari ke tiga pengujian tersebut dapat diambil kesimpulan.


(35)

3.6 Teknik Pelaksanaan 3.6.1 Proses Pencampuran

Pada dasarnya penelitian ini menggunakan metode spray up. Karena raw material yang dipakai berbentuk serbuk (powder) maka metode spray up dilakukan di dalam tabung tertutup (tabung pencampur) yang sudah dimodefikasi dengan lubang masukan dan lubang keluran udara.

Gambar 3. 5. Tabung pencampur

Lubang masukan dan keluaran udara pada tabung pencampur bertujuan agar dapat menciptakan arus terbulensi yang memudahkan dalam proses pencampuran. Kotoran sapi dan molasses dapat tercampur secara homogen akan memudahkan proses pencampuran, proses manufaktur dan pengujian sampel pellet pupuk biokomposit.Berikut adalah set up peralatan spary up ditunjukan pada gambar 3.6. di bawah ini.


(36)

commit to user

3.6.2 Proses Pembuatan Pellet

Proses pembuatan pellet adalah sebagai berikut: 1. Cetakan dipasang terlebih dahulu untuk diameter 12 mm.

2. Memanasi barrel dengan heater dalam waktu 5 menit dengan suhu 120°C. 3. Kemudian setelah mesin dinyalakan adonan dimasukkan ke dalam hopper 4. Kotoran sapi akan masuk dalam barrel menuju cetakan lubang luaran dan

keluar berupa pellet.


(37)

BAB IV ANALISA DATA

4.1 Ketahanan Impak Pellet Pupuk Biokomposit

Pengujian ketahanan impak sampel pupuk pellet biokomposit dapat dilihat pada gambar 4.1.a

Tabel 4.1.a Ketahanan Impak Pupuk Pellet Biokomposit

No Diameter

(mm) Banyaknya nilai jatuh

Banyaknya

sampel IRI (poin)

1 8 22 10 220

2 10 27 10 270

3 12 32 10 320

Gambar 4.1. Kurva hubungan variasi diameter pellet dengan ketahanan impak (IRI)

Ketahanan sampel pupuk pellet biokomposit ditunjukkan dengan nilai IRI poin (impack resistance indect). Untuk variasi diameter lubang output 12 mm memiliki nilai IRI yang terbesar yaitu sebesar 320 poin. Sedangkan nilai IRI yang terendah pada variasi diameter 8 mm yaitu sebesar 220 poin.

Dari perolehan data dapat dilihat bahwa diameter ouput semakin besar maka nilai IRI poin juga akan semakin besar. Semakin besar diameter output maka pupuk pellet biokomposit juga semakin besar pula. Sehingga semakin besar pupuk pellet biokomposit maka ketahanan impaknya juga akan semakin besar pula. Hal ini menunjukkan bahwa IRI poin dipengaruhi oleh besarnya ukuran dari diameter sampel, dengan semakin besar diameter luaran maka diameter dari pupuk pellet


(38)

commit to user

bikomposit akan semakin besar juga sehingga cenderung lebih kuat dan lebih tahan apabila menerima tekanan. Semakin besar ukuran dari diameter sampel maka nilai IRI-nya akan semakin besar pula.

Tabel 4.1.b Perbandingan Ketahanan Impak Pupuk Pellet Biokomposit dengan Kotoran Kambing

Apabila dibandingkan dengan kotoran kambing nilai IRI dari pupuk pellet biokomposit sangat terpaut jauh. Untuk kotoran kambing mempunyai IRI poin sebesar 802 poin. Walau memiliki kekuatan impak yang lebih rendah daripada kotoran kambing, pupuk pellet biokomposit sudah memiliki kekuatan impak yang termasuk bagus. Tujuan dari penelitian ini tidak hanya mencari kekuatan impak yang paling besar saja.

4.2 Densitas

Nilai densitas rata-rata dari pellet pupuk biokomposit adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2. Nilai Densitas Pupuk Pellet Biokomposit No Jenis Pupuk Diameter

(mm)

Banyaknya Nilai Jatuh

Banyaknya

Sampel IRI (poin) 1 Pellet

Biokomposit 8 22 10 220

2 Pellet

Biokomposit 10 27 10 270

3 Pellet

Biokomposit 12 32 10 320

4 Kotoran Kambing ± 8 80.2 10 802

No Massa (gr) Densitas

(gr/mm3) Diamater 8 mm Diameter 10 mm Diamater 12 mm Diamater 8 mm Diameter 10 mm Diamater 12 mm


(39)

Gambar 4.3 Kurva hubungan antara diameter pellet dengan densitas rata-rata

Untuk nilai densitas pupuk pellet biokomposit, pada diameter lubang output 8 mm, nilai densitas 0,00212 gr/mm3. Sedangkan pada diameter 10 mm memiliki nilai densitas 0,0014 gr/mm3. Pada diameter 12 mm densitas yang dihasilkan sebesar 0,00136 gr/mm3.

Besarnya nilai densitas berkebalikan dengan besarnya diameter lubang keluaran. Pada diameter yang besar, dalam hal ini 12 mm, densitas pupuk pellet biokomposit cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan densitas dari pupuk pellet biokomposit yang memliki diameter yang lebih kecil, yaitu 10 mm dan 8 mm. Diameter lubang luaran berpengaruh terhadap besar kecilnya pellet yang

1 1.56 2.22 3.81 0.0019 0.0014 0.0014

2 1.68 2.2 3.55 0.002 0.0014 0.0013

3 1.8 2.29 3.76 0.0022 0.0015 0.0014 4 1.74 2.12 3.62 0.0022 0.0013 0.0013 5 1.84 2.15 3.91 0.0023 0.0014 0.0014


(40)

commit to user

dihasilkan, dengan penekanan yang sama maka untuk diameter lubang luaran yang lebih besar akan mengakibatkan mudah keluar dari pellet tersebut, sehingga kerapatan yang ada cenderung kecil. Untuk diameter lubang luaran yang lebih kecil akan menyebabkan pellet yang keluar lebih susah sehingga kerapatan menjadi lebih besar. Karena dengan ukuran yang lebih besar maka kerapatan tentu saja lebih rendah bila dibandingkan dengan ukuran yang lebih kecil. Sehingga untuk diameter lubang keluaran yang kecil, dalam hal ini 8 mm, memiliki kerapatan yang lebih besar sehingga densitas juga lebih besar pula (0,00212 gr/mm3).

4.3 Kapasitas Produksi

Kapasitas produksi dari mesin pellet dapat dilihat pada gambar 4.3

Tabel 4.3 Kapasitas Produksi Pupuk Pellet Biokomposit.

No Diameter (mm)

Berat rata-rata sampel (gram)

Kapasitas Produksi (pcs/min)

1 8 1.724 110.59

2 10 2.196 98.83


(41)

Gambar 4.3 Kurva hubungan antara diameter pellet dengan besarnya kapasitas produksi pupuk pellet biokomposit

Kapasitas produksi pupuk pellet biokomposit dengan diameter 8 mm adalah sebesar 110,59 pcs/min. Sedangkan pada diameter 10 mm kapasitas produksinya sebesar 98,53 pcs/min. Untuk kapasitas produksi pellet dengan diameter 12 mm, yaitu sebesar 62,86 pcs/min.

Besarnya kapasitas produksi dipengaruhi oleh diameter luaran mesin pellet. Diameter yang besar memang akan menghasilkan pellet dengan jumlah yang lebih sedikit daripada diameter yang lebih kecil. Karena diameter yang lebih kecil akan menghasilkan pellet dengan ukuran yang lebih kecil sehingga jumlah yang dihasilkan pun akan lebih banyak dibandingkan dengan diameter yang lebih besar walaupun berat yang dihasilkan lebih besar pada diameter yang lebih besar.


(42)

commit to user

BAB V PENUTUP

5. 1. Kesimpulan Kesimpulan

1. Densitas pellet pupuk biokomposit diameter 8 mm sebesar 0,0021 gr/mm3, diameter 10 mm sebesar 0,0014 gr/mm3, diameter 12 mm sebesar 0,0013 gr/mm3

2. Nilai IRI pellet pupuk biokomposit untuk diameter 8 mm sebesar 220 poin, diameter 10 mm sebesar 270 poin, diameter 12 mm sebesar 320 poin

3. Besarnya kapasitas produksi untuk diameter luaran 8 mm sebesar 110,59 pcs/min, untuk diameter luaran 10 mm sebesar 98,53 pcs/min, untuk diameter luaran 12 mm sebesar 62,86 pcs/min.

4. Ketahanan impak pupuk pellet biokomposit pada variasi lubang diameter 12 mm, 10mm dan 8 mm cenderung semakin meningkat. Pada diameter lubang output 12 mm nilainya lebih besar dibandingkan dengan diameter 10 mm dan 8 mm.

5. Untuk nilai densitas dan kapasitas produksi, pada variasi diameter lubang output 12 mm, 10 mm dan 8 mm cenderung berbanding terbalik. Pada diameter lubang output 8 mm memiliki nilai densitas yang lebih besar daripada nilai densitas pada diameter lubang output 10 mm dan 12 mm.

5. 2. Saran

Untuk lebih mengembangkan penelitian tentang pupuk pellet biokomposit, maka penulis menyarankan :

1. Untuk penelitian selanjutnya dalam pembuatan pupuk pellet biokomposit disarankan untuk memeprgunakan daya motor yang lebih besar.

2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak variasi dari jumlah lubang outputnya.


(1)

BAB IV ANALISA DATA

4.1 Ketahanan Impak Pellet Pupuk Biokomposit

Pengujian ketahanan impak sampel pupuk pellet biokomposit dapat dilihat pada gambar 4.1.a

Tabel 4.1.a Ketahanan Impak Pupuk Pellet Biokomposit

No Diameter

(mm) Banyaknya nilai jatuh

Banyaknya

sampel IRI (poin)

1 8 22 10 220

2 10 27 10 270

3 12 32 10 320

Gambar 4.1. Kurva hubungan variasi diameter pellet dengan ketahanan impak (IRI)

Ketahanan sampel pupuk pellet biokomposit ditunjukkan dengan nilai IRI poin (impack resistance indect). Untuk variasi diameter lubang output 12 mm memiliki nilai IRI yang terbesar yaitu sebesar 320 poin. Sedangkan nilai IRI yang terendah pada variasi diameter 8 mm yaitu sebesar 220 poin.

Dari perolehan data dapat dilihat bahwa diameter ouput semakin besar maka nilai IRI poin juga akan semakin besar. Semakin besar diameter output maka pupuk pellet biokomposit juga semakin besar pula. Sehingga semakin besar pupuk pellet biokomposit maka ketahanan impaknya juga akan semakin besar pula. Hal ini menunjukkan bahwa IRI poin dipengaruhi oleh besarnya ukuran dari diameter sampel, dengan semakin besar diameter luaran maka diameter dari pupuk pellet


(2)

bikomposit akan semakin besar juga sehingga cenderung lebih kuat dan lebih tahan apabila menerima tekanan. Semakin besar ukuran dari diameter sampel maka nilai IRI-nya akan semakin besar pula.

Tabel 4.1.b Perbandingan Ketahanan Impak Pupuk Pellet Biokomposit dengan Kotoran Kambing

Apabila dibandingkan dengan kotoran kambing nilai IRI dari pupuk pellet biokomposit sangat terpaut jauh. Untuk kotoran kambing mempunyai IRI poin sebesar 802 poin. Walau memiliki kekuatan impak yang lebih rendah daripada kotoran kambing, pupuk pellet biokomposit sudah memiliki kekuatan impak yang termasuk bagus. Tujuan dari penelitian ini tidak hanya mencari kekuatan impak yang paling besar saja.

4.2 Densitas

Nilai densitas rata-rata dari pellet pupuk biokomposit adalah sebagai berikut: Tabel 4.2. Nilai Densitas Pupuk Pellet Biokomposit

No Jenis Pupuk Diameter

(mm)

Banyaknya Nilai Jatuh

Banyaknya

Sampel IRI (poin)

1 Pellet

Biokomposit 8 22 10 220

2 Pellet

Biokomposit 10 27 10 270

3 Pellet

Biokomposit 12 32 10 320

4 Kotoran Kambing ± 8 80.2 10 802

No Massa (gr) Densitas

(gr/mm3)

Diamater 8 mm Diameter 10 mm Diamater 12 mm Diamater 8 mm Diameter 10 mm Diamater 12 mm


(3)

Gambar 4.3 Kurva hubungan antara diameter pellet dengan densitas rata-rata

Untuk nilai densitas pupuk pellet biokomposit, pada diameter lubang output 8 mm, nilai densitas 0,00212 gr/mm3. Sedangkan pada diameter 10 mm memiliki nilai densitas 0,0014 gr/mm3. Pada diameter 12 mm densitas yang dihasilkan sebesar 0,00136 gr/mm3.

Besarnya nilai densitas berkebalikan dengan besarnya diameter lubang keluaran. Pada diameter yang besar, dalam hal ini 12 mm, densitas pupuk pellet biokomposit cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan densitas dari pupuk pellet biokomposit yang memliki diameter yang lebih kecil, yaitu 10 mm dan 8 mm. Diameter lubang luaran berpengaruh terhadap besar kecilnya pellet yang

1 1.56 2.22 3.81 0.0019 0.0014 0.0014

2 1.68 2.2 3.55 0.002 0.0014 0.0013

3 1.8 2.29 3.76 0.0022 0.0015 0.0014 4 1.74 2.12 3.62 0.0022 0.0013 0.0013 5 1.84 2.15 3.91 0.0023 0.0014 0.0014


(4)

dihasilkan, dengan penekanan yang sama maka untuk diameter lubang luaran yang lebih besar akan mengakibatkan mudah keluar dari pellet tersebut, sehingga kerapatan yang ada cenderung kecil. Untuk diameter lubang luaran yang lebih kecil akan menyebabkan pellet yang keluar lebih susah sehingga kerapatan menjadi lebih besar. Karena dengan ukuran yang lebih besar maka kerapatan tentu saja lebih rendah bila dibandingkan dengan ukuran yang lebih kecil. Sehingga untuk diameter lubang keluaran yang kecil, dalam hal ini 8 mm, memiliki kerapatan yang lebih besar sehingga densitas juga lebih besar pula (0,00212 gr/mm3).

4.3 Kapasitas Produksi

Kapasitas produksi dari mesin pellet dapat dilihat pada gambar 4.3 Tabel 4.3 Kapasitas Produksi Pupuk Pellet Biokomposit.

No Diameter

(mm)

Berat rata-rata sampel (gram)

Kapasitas Produksi (pcs/min)

1 8 1.724 110.59

2 10 2.196 98.83


(5)

Gambar 4.3 Kurva hubungan antara diameter pellet dengan besarnya kapasitas produksi pupuk pellet biokomposit

Kapasitas produksi pupuk pellet biokomposit dengan diameter 8 mm adalah sebesar 110,59 pcs/min. Sedangkan pada diameter 10 mm kapasitas produksinya sebesar 98,53 pcs/min. Untuk kapasitas produksi pellet dengan diameter 12 mm, yaitu sebesar 62,86 pcs/min.

Besarnya kapasitas produksi dipengaruhi oleh diameter luaran mesin pellet. Diameter yang besar memang akan menghasilkan pellet dengan jumlah yang lebih sedikit daripada diameter yang lebih kecil. Karena diameter yang lebih kecil akan menghasilkan pellet dengan ukuran yang lebih kecil sehingga jumlah yang dihasilkan pun akan lebih banyak dibandingkan dengan diameter yang lebih besar walaupun berat yang dihasilkan lebih besar pada diameter yang lebih besar.


(6)

BAB V PENUTUP

5. 1. Kesimpulan Kesimpulan

1. Densitas pellet pupuk biokomposit diameter 8 mm sebesar 0,0021 gr/mm3, diameter 10 mm sebesar 0,0014 gr/mm3, diameter 12 mm sebesar 0,0013 gr/mm3

2. Nilai IRI pellet pupuk biokomposit untuk diameter 8 mm sebesar 220 poin, diameter 10 mm sebesar 270 poin, diameter 12 mm sebesar 320 poin

3. Besarnya kapasitas produksi untuk diameter luaran 8 mm sebesar 110,59 pcs/min, untuk diameter luaran 10 mm sebesar 98,53 pcs/min, untuk diameter luaran 12 mm sebesar 62,86 pcs/min.

4. Ketahanan impak pupuk pellet biokomposit pada variasi lubang diameter 12 mm, 10mm dan 8 mm cenderung semakin meningkat. Pada diameter lubang output 12 mm nilainya lebih besar dibandingkan dengan diameter 10 mm dan 8 mm.

5. Untuk nilai densitas dan kapasitas produksi, pada variasi diameter lubang output 12 mm, 10 mm dan 8 mm cenderung berbanding terbalik. Pada diameter lubang output 8 mm memiliki nilai densitas yang lebih besar daripada nilai densitas pada diameter lubang output 10 mm dan 12 mm.

5. 2. Saran

Untuk lebih mengembangkan penelitian tentang pupuk pellet biokomposit, maka penulis menyarankan :

1. Untuk penelitian selanjutnya dalam pembuatan pupuk pellet biokomposit

disarankan untuk memeprgunakan daya motor yang lebih besar.

2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak variasi dari jumlah lubang outputnya.