MODEL PEMBELAJARAN IPS BERBASIS NILAI BUDAYA LOKAL BATIK KLASIK UNTUK MENGUATKAN JATI DIRI BANGSA :Studi Pada Siswa SMP di Kota Surakarta.

(1)

DAFTAR ISI

JUDUL...……… i

LEMBAR PERSETUJUAN..………... ii

LEMBAR PENGESAHAN ……….. iii

LEMBAR PERSEMBAHAN………... iv

ABSTRACT……… v

ABSTRAK ……….. vi

PERNYATAAN ………. vii

KATA PENGANTAR ……… viii

DAFTAR ISI ……… x

DAFTAR TABEL, BAGAN, DAN GAMBAR ………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xv

BAB I. PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Rumusan Masalah Penelitian ... 28

C. Tujuan Penelitian ………... 28

D. Manfaat Penelitian ………. 29

BAB II KERANGKA TEORI DAN PARADIGMA PENELITIAN……….. 30

A. Posmodernisme dan Teori- teori Posmodern ……… 30

1. Konseptualisasi Postmodern ……… 30

2. Teori dan Teoritikus Postmodernisme ……….. 33

B. Kurikulum Postmodern dan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial ……. 38

1. Kurikulum Postmodern……… 38

2. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Perspektif Postmodern… 47 C. Kebudayaan dan Kearifan Lokal Budaya Jawa. ... 65

1. Kebudayaan dan Sistim Nilai Budaya. ... 65


(2)

D. Transformasi Simbolisme Budaya Jawa dalam Pola Batik Klasik. ... 76

1. Simbolisme Dalam Budaya Jawa ... 76

2. Transformasi Budaya Jawa dalam Pola Batik Klasik... 80

3. Interaksi Simbolik... 91

E. Karakter dan Batik Jati Diri Bangsa.. ... 94

1. Pendidikan Karakter ... 94

2. Batik Sebagai Jati Diri Bangsa ... 104

F. Model Pembelajaran IBNBBK untuk Penguatan Jati Diri Bangsa ... 117

1. Pengembangan Model Pembelajaran... 117

2. Integrasi Nilai Budaya Lokal Batik Klasik dalam Pembelajaran IPS... 137

G. Hasil Penelusuran Penelitian Terdahulu ... 142

H. Paradigma Penelitian ………. 147

BAB III METODE PENELITIAN ………. 153

A. Desain Penelitian ………... 154

1. Penelitian Pendahuluan (pra-survey) ……… 157

2. Pengembangan Model , ………. 157

3. Pengujian Evektivitas Model ……… 158

B. Implementasi Tahap-tahap Penelitian ……… 158

1. Studi Pendahuluan ……… 158

a. Studi Kepustakaan, ………. 159

b. Studi Lapangan, ……….. 160

c. Pengolahan Data Penelitian Pendahuluan, ………. 162

2. Pengembangan Model .IBNBBK ………. 167

3. Pengujian Efektivitas Model melalui Kuasi Eksperimen, ………. 180

C. Lokasi dan Subyek Penelitian ……… 192

D. Defenisi Operasional ……….. 193

BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 196


(3)

1. Deskripsi Hasil Studi Kepustakaan ………. 196

2. Deskripsi Hasil Studi Lapangan ………..……… 197

B. Pengembangan Model Pembelajaran “IBNBBK” ……… 220

1. Pembelajaran IPS di Surakarta ………... 220

2. Model Pembelajaran IBNBBK untuk Peserta Didik di SMP……….. 222

3. Desain Awal (Draf) Model IBNBBK………. 227

4. Perangkat Pembelajaran ………. 239

5. Desain Awal Pelaksanaan Model Pembelajaran ……… 240

C. Tahap Uji Coba Implementasi Model Pembelajaran IBNBBK………… 251

1. Uji Validasi Ahli dan Praktisi ………. 253

2. Uji Implementasi Model (Uji Coba Terbatas) ……… 256

3. Uji Implementasi Model (Uji Luas) ………. 282

D. Pengujian Model IBNBBK ……… 312

1. Hasil Uji Efektivitas Model IBNBBK ………. 312

a. Hasil Uji Efektivitas Model IBNBBK di SMPN (A)………. 312

b. Hasil Uji Efektivitas Model IBNBBK di SMPN (B)……… 328

c. Hasil Uji Efektivitas Model IBNBBK di SMP Swasta…………. 345

2. Kevalidan, Kepraktisan, dan Keefektifan Model IBNBBK…………. 361

E. Pembahasan Hasil Penelitian ………. 364

1. Pembahasan Hasil Penelitian Pendahuluan ………. 364

2. Pembahasan Hasil Pengembangan Model IBNBBK……… 370

3. Pembahasan Hasil Pengujian Model IBNBBK ………... 390

4. Pembahasan Hasil Validasi Model IBNBBK ………. 401

5. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran IBNBBK ……….. 406

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ... 413

A. Kesimpulan... …. 431

1. Kondisi Pembelajaran IPS SMP di Surakarta.………. 431

2. Dasar Pengembangan Model IBNBBK ………... 415

3. Pengembangan Model IBNBBK ………... 417


(4)

5. Kevalidan, Kepraktisan, Kefektifan Model IBNBBK ... 420

6. Dampak Pengiring Model IBNBBK ... 420

B. Implikasi Hsasil Penelitian ... 422

1. Bagi Guru Pendidikan IPS………..., ...422

2. Aktivitas Belajar Siswa………. 424

3. Sumber dan Media belajar……… 423

C. Rekomendasi ... 424

1. Bagi Guru IPS ... 424

2. Bagi Sekolah ... 425

3. Bagi Siswa ... 425

4. Bagi Peneliti Berikutnya ……… 452

5. Bagi Perguruan Tinggi ... 426

DAFTAR PUSTAKA ……… 427

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………...…………... 469

A. Angket Penelitian Pendahuluan Untuk Guru ………. 469

B. Angket Penelitian Pendahuluan untuk Siswa………. 479

C. Hasil Pengembangan Model /Uji Terbatas………. 489

D. Hasil Pengembangan Model/Uji luas………. 492

E. Hasil Uji Efektivitas……….. 528

F. Lembar Observasi dan Penilaian Pelaksanaan Model……… 529

G. Intrumen Karakter dan Sikap Pada Batik Sebagai jati Diri Bangsa 552

. RIWAYAT HIDUP ... 559


(5)

DAFTAR TABEL, BAGAN, DAN GAMBAR

TABEL :

1. Latar Belakang Responden ……… 229

2. Hasil Tes Uji terbatas ……… 306

BAGAN : 1. Pola Mancapat dan Pola Sembilan ... 114

2. Komponen Analisis Data ... 201

3. Daur Ulang Penelitian Tindakan Kelas ……… 214

4. Alur Penelitian Pengembangan ……… 221

5. Bagan Perencanaan Pembelajaran IBNBBK ... 265

6. Desain Pelaksanaan Model Pembelajaran ……… 263

7. Pelaksanan Model setelah Uji Terbatas ... 311

8. Proses Pengembangan Model ……… 327

9. Model Pembelajaran IBNBBK Hipotetik ……….. 328

10. Model Akhir Pembelajaran IBNBBK ………. 334

GAMBAR : 1. Transformasi Nilai Budaya Jawa dalam Motif Batik Klasik. ... 120

2. Motif Batik Klasik ... 121

3. Paradigma Penelitian ... 185

4. Transformasi Nilai Budaya Jawa dalam Motif Batik Klasik. ... 120

5. Motif bati klasik ... 121

6. Paradigma Penelitian ... 185


(6)

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

A. Angket untuk Guru ... 443

B. Angket untuk Siswa ... 450

C. Pelaksanaan Pembelajaran ... 459

D. Hasil Pengujian Model ... 491

E. Hasil Uji Efektivitas ... 516


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi merupakan tantangan bagi dunia pendidikan dan menciptakan peluang baru. Memahami globalisasi dengan segala aspeknya merupakan langkah strategis untuk memperbaiki pendidikan. Sebaliknya, pendidikan juga memainkan peran penting dalam menciptakan pemahaman ini. Sebagaimana dijelaskan Bloom (2004: 72) bahwa peluang yang ditimbulkan oleh integrasi global dalam bidang pendidikan melalui tiga saluran utama. Pertama, globalisasi memungkinkan peserta didik dan bangsa-bangsa untuk beroperasi lebih efektif dalam perekonomian global yang semakin kompetitif. Untuk itu diperlukan produktivitas tinggi dan fleksibilitas dalam menggunakan teknologi untuk meningkatkan nilai barang dan jasa. Kedua, globalisasi menjadikan negara semakin saling tergantung secara ekonomi, sosial, dan politik. Generasi sekarang perlu mengembangkan kemampuan dan keterampilan interpersonal untuk belajar dan bekerja, hidup dengan orang lain yang cenderung berbeda ras, agama, bahasa, dan latar belakang budaya. Diungkapkan oleh Suárez-Orozco dan Gardner (2004:252) bahwa:

Children growing up today will need to develop arguably more than in any generation in human history-the higher order cognitive and interpersonal skills to learn, to work, and to live with others, which are increasingly likely to be of very different racial, religious, linguistic, and cultural backgrounds.

Saluran ketiga, globalisasi akan mempengaruhi meningkatnya kecepatan perubahan pendidikan. Pendidikan dalam visi global perlu mempersiapkan peserta didik menjadi warga global yang bertanggung jawab dan mampu menjadi agen


(9)

perubahan dalam memerangi ketidakadilan sebagai dampak dari globalisasi.

Tantangan globalisasi bagi pendidikan menurut Gardner (2004: 252-258) adalah adanya ketegangan antara laju perubahan kelembagaan pendidikan dan organisasi sosial, ekonomi, dengan transformasi budaya yang begitu cepat. Pendidikan telah berubah karena adanya pergeseran nilai-nilai dan temuan ilmiah sehingga mengubah pemahaman kerangka fikir manusia. Sebagaimana dijelaskan Hannerz (1990: 250) bahwa salah satu wacana dominan era globalisasi adalah hipotesis tentang "homogenitas budaya". Prediksi ini didasarkan asumsi bahwa proses perubahan global yang didukung oleh pengetahuan dan media teknologi akan melahirkan budaya dunia yang homogen. Pada akhirnya, perubahan itu akan mengakibatkan hilangnya pengalaman dan pemahaman generasi muda terhadap keragaman budaya. Menanggapi hipotesis tersebut, Turkel (2002) berpendapat agar guru dan pembuat kebijakan menyiapkan peserta didik untuk memahami bahwa teknologi di satu sisi memberikan kemanfaatan tetapi juga membatasi generasi muda dalam mempersiapkan diri menjadi warga global.

Jenkins dan Watson (2004: 115) menekankan pentingnya peran kearifan lokal sebagai strategi menghadapi tantangan "imperialisme kultural" dan hipotesis "homogenitas budaya". Kearifan lokal secara kritis berperan dalam pertukaran budaya melalui media global dan membentuknya kembali dengan istilah asli. Ditegaskan oleh Watson bahwa faktor kearifan lokal akan mengubah produk global menjadi bermakna dan sesuai dengan kehidupan sosial budaya setempat sebagai bentuk "konvergensi media". Sebagaimana diungkapkan Jenkins (2004: 115) bahwa: …konvergensi media cenderung multi arah, mencerminkan peredaran produk dari Barat ke Timur, serta aliran budaya terus menerus secara bersamaan dari


(10)

Timur ke Barat. Tentu saja ada arus produk budaya di seluruh sumbu lainnya, seperti di negara-negara Asia. Arti gambar dan produk budaya yang dipertukarkan biasanya mengalami metamorfosis yang "tak terduga dan kontradiktif"

Maira (2004:202) menyebutkan bahwa kehidupan anak-anak dewasa ini dibentuk oleh proses global perekonomian dan budaya. Sistem pendidikan yang terikat pada kearifan lokal dalam rangka pembentukan warga negara secara proaktif dapat menghadapi tantangan globalisasi. Sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan maka perlu mempertimbangkan reformasi kurikulum yang mampu menghadapi tantangan perubahan dan beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat. Mengambil pelajaran dari negara lain dapat mendukung pengembangan sistem pendidikan tetapi menjaga dan memelihara pengetahuan lokal penting untuk eksistensi suatu negara. Sebagaimana diungkapkan Lewis (2004) pentingnya menjaga kemampuan masyarakat lokal dan nasional dalam mendukung dan memvalidasi "pengetahuan lokal", bahasa lokal, dan budaya lokal sebagai sebuah model pendidikan secara umum di seluruh dunia.

Menurut Dewantara (1977: 33), kebudayaan merupakan faktor penting bagi pendidikan suatu bangsa. Kebudayaan sebagai landasan pengembangan kurikulum karena kurikulum is a construct of that culture (Print, 1993:15). Sejalan dengan pendapat tersebut, Hasan (1999) pakar kurikulum IPS mengingatkan perlunya para pengembang kurikulum memperhitungkan faktor kebudayaan sebagai landasan penting dalam menentukan komponen tujuan, materi, proses dan kegiatan belajar serta evaluasi siswa.


(11)

meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam menopang pembangunan karakter dan jati diri bangsa. Sebagaimana dijelaskan Poespowardojo (1986: 36) bahwa pendidikan di sekolah haruslah mencerminkan struktur sosial dan budaya masyarakat. Proses belajar tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia dalam rangka penciptaan budaya sekaligus pewarisannya (cultural creation and cultural transmission) kepada generasi muda. Sebagaimana diungkapkan Azra (2000:3) bahwa pendidikan adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.

Dijelaskan dalam Undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 Bab I (2009: 3) bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Apabila pendidikan dimaknakan sebagai usaha sadar dan terencana melalui perwujudan suasana belajar dan proses pembelajaran untuk tercapainya tujuan pendidikan ideal maka kurikulum dipandang sebagai salah satu komponen yang memiliki kedudukan dan peran strategis di dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional.

Realitasnya, sampai saat ini kurikulum pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu menjadi instrumen yang efektif bagi terwujudnya suatu pendidikan nasional yang ideal, yang memberdayakan manusia dan masyarakat Indonesia. Sebagaimana dijelaskan Nata (2003: 45) bahwa permasalahan kegagalan dunia pendidikan di Indonesia disebabkan karena dunia pendidikan selama ini hanya


(12)

membina kecerdasan intelektual, wawasan, dan keterampilan semata tanpa diimbangi dengan membina kecerdasan emosional. Akibatnya, muncul counter productive dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa dan menyebabkan diabaikannya nilai dan moral dalam tata krama pergaulan pada suatu masyarakat yang beradab.

Menempatkan penalaran sebagai sumber primer ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal selaras dengan visi modern. Manusia modern sebagai alat dominasi terselubung bentuk imperialisme dan hegemoni kapitalistik. Implikasinya, tugas pendidik adalah menggali dan mengembangkan kemampuan intelektual manusia agar dapat memelihara, melestarikan dan mengembangkan kehidupan manusia ke arah yang lebih beradab dan bermartabat (Rasyidin dkk, 2009: 73-76).

Dalam konteks pendidikan, modernitas telah menjerumuskan dunia pendidikan dalam problem-problem mekanis teknikalistik dengan pusat perhatiannya pada materi dengan orientasi pada hasil bukan pada proses. Secara lebih khusus dimensi kemanusiaan peserta didik telah terabaikan dan pendekatan afektif mulai ditinggalkan. Sebagaimana dijelaskan Abdullah (2008), bahwa pendidikan selama ini hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga membuat dunia persekolahan memproduksi lulusan yang telah hilang sisi-sisi kemanusiaannya. Dominasi iptek dan penerapan rasio sebagai ukuran kebenaran menyebabkan masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, dan krisis sosial. Menurut Drost (1998:74) pengangkatan harkat dan martabat kemanusian harus terintegratif antara nalar rasional dan nalar


(13)

spiritual. Ketidakmampuan mengembangkan ranah tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang timpang.

Sebagaimana refleksi Suyanto (2003) terhadap terjadinya perubahan kurikulum juga menyimpulkan guru hanya mendepositokan banyak informasi yang diturunkan dari berbagai cabang ilmu tetapi tidak pernah membicarakan untuk apa informasi itu harus dikuasai peserta didik. Pendidikan di Indonesia, mengutip pendapat Freire mengikuti "banking concept of education" (Freire, 2002: 28).

Kritik mendasar postmodernisme terhadap modernisme melahirkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme, deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya (Santoso, 2003:331). Paradigma ini merupakan mainstream gerakan postmodernisme. Postmodern sering dianggap sebagai istilah yang tidak relevan, sulit dipahami dan karenanya dapat didefinisikan dalam berbagai cara. Sebagaimana dijelaskan Griffin et.al., 1993: vii–viii:

Insofar as a common element is found in the various ways in which the term is used, postmodernism refers to a diffuse sentime nt rather than to any set of common doctrines the sentiment that humanity can and must go beyond the

modern‖ (Griffin et al., 1993: vii–viii)

Argumen ini mengkristal menjadi dua filosofi, yakni Neo-Modernism dan Pasca-Modernisme, keduanya berbagi gagasan bahwa dunia modern telah berakhir dan sesuatu yang baru harus menggantinya. Pandangan dunia postmodern berbeda dengan gerakan anti modern. Postmodernisme berusaha untuk mengatasi kerusakan akibat modernitas dengan konsep baru di bidang budaya, bahasa, dan kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan Jencks (1992:10) bahwa:


(14)

Post-modernism has become more than a social condition and cultural movement, it has become a world view. But its exact nature is strongly contested and this has helped widen the debate to a world audience. The argument has crystallised into two philosophies — what I and many others call Neo- and Post-Modernism — both of which share the notion that the modern world is coming to an end, and that something new must replace it . (Jencks, 1992: 10)

Jencks (1984) menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis, dalam Antologia de la poesia Espanola e hispanoamericana (1934) yang memperkenalkan istilah postmodernisme untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme (Siswanto, 1998: 159). Istilah posmodernisme dikenalkan oleh Lyotard (1986) secara eksplisit lewat karyanya The Postmodern Condition: A Report and Knowledge. Dalam bukunya tersebut, Lyotard menolak ide dasar filsafat modern yang dilegitimasi prinsip kesatuan ontologis. Menurutnya prinsip-prinsip seperti itu tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer.

Berakhirnya modernisme yang terlalu mentotalisasi kehidupan manusia mempunyai korelasi dengan proses dekonstruksi. Dekonstruksi dari Jacques Derrida pada perkembangannya menjadi kekuatan utama dari etos post-strukturalisme (2002). Dekonstruksi pendidikan lebih memfokuskan membongkar hegemoni institusi yang selama ini telah dijadikan media dalam mempertahankan status quo. Dekonstruksi juga dimaksudkan untuk menentang ideologi-ideologi pendidikan yang dominan, praktek-praktek pengajaran yang kaku dan tidak manusiawi, mengacaukan otoritas institusi dan para pendidik. Dalam konteks post-modernisme, problematisasi struktur dan hirarki epistimologis ternyata memberikan kekuatan konseptual pemikiran baru bagi dunia pendidikan, baik di tingkat struktural maupun


(15)

personal sehingga pendidikan sendiri mengalami perubahan-perubahan mendasar tentang tujuan, isi, dan metode.

Dalam konteks ini, Tilaar (1999:177) mengemukakan bahwa pendidikan nasional dewasa ini telah terpisah dari kebudayaan, baik kebudayaan daerah maupun nasional. Untuk itu perlu diintegrasikan kembali sehingga pendidikan betul-betul hidup, dihidupi, dan menghidupi kebudayaan. Diungkapkan oleh Poespowardojo (1986:36), pendidikan sekolah haruslah mencerminkan struktur sosial dan budaya masyarakat. Sebagaimana dikutip Singleton, John (1974:26), bahwa budaya dalam konsep esensial pendidikan sebagai ‖the shared product of human learning‖, bahwa proses belajar tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia dalam rangka penciptaan budaya sekaligus pewarisannya (cultural creation and cultural transmission) kepada generasi muda. Ada interelasi sensitif pendidikan dengan kebudayaan dalam arti pertumbuhan yang satu harus diimbangi dengan pertumbuhan lainnya, yang diharapkan memiliki potensi saling dukung (cross fertilizing) dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat manusia. Seperti dijelaskan oleh Dewantara (1977: 3) bahwa manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Pendidikan adalah bagian dari proses manusia membangun dunia atau kebudayaannya. Tanpa kebudayaan, perilaku manusia tidak memiliki wujud dan tidak memiliki arah. Sebagaimana diungkapkan Geertz (1973, 45-46) bahwa:

" ... Tanpa arahan kebudayaan perilaku manusia tak terkendali, suatu chaos tindakan tanpa arah dan letupan emosi semata, pengalaman yang tidak berbentuk. Kebudayaan bukan merupakan hiasan eksistensi manusia, tetapi... kondisi esensial bagi eksistensi manusia."


(16)

Kegiatan pendidikan adalah kegiatan budaya dan dalam hubungannya dengan meneguhkan identitas bangsa. Pendidikan merupakan wahana sentral dalam menterjemahkan gagasan tersebut menjadi kenyataan perilaku. Sebagaimana diungkapkan Ortega (1959: 97), bahwa kebudayaan adalah interpretasi manusia atas kehidupannya, suatu rangkaian pemecahan masalah dan solusinya. Basis kemanusiaan adalah thinking dan bukan making, esensi manusia bukan making tetapi finding and interpreting. Pengetahuan mengenai dunia berasal terutama dari interpretasi bukan dari persepsi langsung.

Merujuk pendapat Lewis (2004) tentang model pendidikan berbasis budaya lokal dan pendapat Dewantara (1977: 3) bahwa manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri maka dikembangkan model pendidikan IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat memperkuat jati diri bangsa.

Pendidikan IPS sebagai kelompok bahan ajar terikat oleh nilai-nilai sosial budaya bangsa, karena itu pendidikan IPS tidak dapat lepas dari tata nilai dan norma yang ada dalam suatu bangsa. Sebagaimana dijelaskan Soemantri (2001:92) bahwa program pendidikan IPS merupakan perpaduan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial dan humaniora termasuk di dalamnya agama, filsafat, dan pendidikan. Bahkan IPS juga dapat mengambil aspek-aspek tertentu dari ilmu-ilmu kealaman dan teknologi. Dengan pengertian ini, IPS merupakan pelajaran yang cukup komprehensif untuk menyikapi dan memecahkan masalah-masalah sosio-kebangsaan sesuai dengan kadar kemampuan dan tingkat perkembangan peserta didik. Sebagai mata pelajaran di sekolah IPS lebih bersifat edukatif ketimbang akademis.


(17)

Beberapa alasan perlunya integrasi nilai-nilai budaya lokal dalam konteks pembelajaran di sekolah adalah sebagai berikut. Pertama, dampak arus globalisasi yang membawa kehidupan menjadi semakin komplek merupakan tantangan baru bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia yang sekarang ini memasuki milenium ketiga. Kepedulian terhadap budaya sendiri akan memperkuat pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal dan pemahaman terhadap nilai-nilai ke Indonesiaan secara menyeluruh. Kedua, adanya kenyataan telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi cerdas individual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa yang merupakan identitas kolektif (Kartadinata, 2009). Pendidikan juga berfungsi membangun karakter, watak, dan kepribadian bangsa. Ketiga, pendidikan yang diselenggarakan saat ini masih didominasi oleh berbagai dogma, dalil-dalil atau ajaran yang diperoleh dari Barat (Alwasilah, 2009). Padahal secara kultural, pendidikan yang diselenggarakan harus tergali dari nilai luhur bangsa Indonesia sendiri. Keempat, adanya ketidakpuasan terhadap modernitas dengan narasi-narasi besar (grand narative) yang dianggap tidak relevan lagi dengan kondisi ke kinian. Hegemoni dan superioritas modernitas tidak memberikan tempat yang cukup bagi perkembangan narasi-narasi lokal (local narative). Sesungguhnya tidak saja globalisasi secara linear tetapi juga glokalisasi. Pada saat dunia berubah menjadi ―the global village‖, sebuah konsep Marshall McLuhan yang ditulis dalam sejumlah bukunya, di antaranya War and Peace in the Global Village (1968) atau


(18)

menjadi satu dunia (“sama”), ia juga pergi menuju fragmentasi, keterpecah-pecahan, sebuah proses lokalisasi.

Hubungan antara globalisasi dan lokalisasi merupakan sebuah proses dialektik. Dalam pendekatan dialektika, yang secara umum dapat dikatakan diwarisi dari Karl Marx dan bahkan dari Hegel sebuah tesis akan dihadapi oleh sebuah antitesis yang kemudian menghasilkan sebuah sintesis. Globalisasi adalah tesis, lokalisasi adalah antitesis maka sintesis keduanya adalah apa yang dapat disebut “glokalisasi” dari kata globalisasi dan lokalisasi. Istilah glocal (globalism dan localism) diperkenalkan oleh Mike Feath Stone dalam karyanya Un doing Culture, Globalization, Postmodernism, and Identity (1995). Pandangan yang mengutamakan keseimbangan globalisasi dan lokalisasi itu sudah ada dalam masyarakat dan kebudayaan lokal.

Dalam buku The Invention of Tradition (1988) yang disunting oleh Eric Hobsbawm dan Terence Ranger. Kearifan/pengetahuan lokal di sini disebut “the

invention of tradition‖ yang dapat diterjemahkan sebagai “penemuan tradisi”. Dalam artikel pembukanya, Hobsbawm (1988) menyepakati bahwa:

Invented tradition is taken to mean a set of practices normally governed by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values and norms of behaviour by repetition, which automatically implies continuity with the past. In fact, where possible, they normally attempt to establish continuity with a suitable historic past .

Yang tampak kemudian adalah kearifan lokal, pengetahuan lokal, indigenous knowledge, local genius, penemuan tradisi adalah sebuah epistemologi relasional. Ia adalah epistemologi mengenai hubungan-hubungan. Hobsbawm menyatakan bahwa “tradisi yang ditemukan” menunjukkan ketersambungan dengan masa lalu. Ini


(19)

berarti, masa lalu tidak benar-benar ditinggalkan meskipun zaman sudah berangkat sangat progresif. Foucault (1985:135) menjelaskan keterhubungan dari analisis sejarah tentang sistem hukuman dan disiplin, ia menyatakan lain kekuasaan, lain pengetahuan. Pengetahuan diserap dalam kekuasaan dan superioritasnya dibongkar.

Menurut Derrida (2001) makna budaya bersifat terbuka pada makna yang lain. Budaya seperti teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda melainkan sebuah “rajutan”, artinya makna teks tersebut tertenun dalam keseluruhan teks. Makna teks akan berubah dan berkembang, bukan milik suatu zaman melainkan terus berjalan seiring perkembangan budaya itu sendiri. Makna budaya juga bersifat longgar, bukan unvocity absolut melainkan multiplicity of meaning dan terkait dengan kreativitas manusia.

Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari identitas bangsa. Partington dan Cudden (1992:12) menjelaskan bahwa identitas masyarakat tercermin pada orientasi yang menunjukkan pandangan hidup dan sistem nilai masyarakat, persepsi yang menggambarkan tanggapan masyarakat terhadap dunia luar, pola dan sikap hidup yang mewujudkan tingkah laku masyarakat sehari-hari, dan gaya hidup yang mewarisi perikehidupan masyarakat. Sejalan dengan pernyataan di atas, Soebadio (1986: 18-25) menjelaskan pengertian kearifan lokal secara keseluruhan dapat dianggap sama dengan Cultural Identify, yang diartikan sebagai identitas budaya bangsa, yang mengakibatkan bangsa bersangkutan menjadi lebih mampu menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan dari luar sesuai dengan watak dan kebutuhan pribadinya.


(20)

Identitas nasional menurut Barker (2005:260) merupakan bentuk identifikasi imajinatif dengan simbol dan wacana negara bangsa. Bangsa bukan sekadar formasi politik melainkan sistem representasi kultural tempat identitas nasional terus menerus direproduksi sebagai tindakan diskursif. Negara bangsa sebagai aparatus politik dan bentuk simbolis memiliki dimensi waktu, dalam arti struktur politik terus hidup dan berubah sementara dimensi simbolis dan diskursif identitas nasional terus menceritakan dan menciptakan gagasan mengenai asal usul, kesinambungan dan tradisi. Dengan demikian identitas bangsa ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis. Sebagaimana dikatakan Zaretsky (1994) dalam Castells (2002: 10) bahwa Identity: must be situated historically. Identitas bangsa berhubungan dengan pengalaman sebuah bangsa di masa lalu dan tidak dapat dipisahkan dengan jati diri bangsa.

Jati diri bangsa yakni suatu pilihan, yang merupakan pencerminan atau tampilan dari karakter bangsa merupakan akumulasi dari karakter individu anak bangsa yang mengelompok menjadi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang berlaku di dalam ruang sosial global menciptakan kerangka kultural baru untuk mendefinisikan kembali identitas dan nilai-nilai bagi komunitas yang memiliki latar kebudayaan berbeda. Pada titik itulah Indonesia harus berproses aktif untuk menegaskan identitasnya di dalam desa global. Menurut Featherstone (1990:19) dibutuhkan kemampuan menjalin komunikasi, karena merupakan kunci bagi suatu komunitas dalam melakukan adaptasi yang berhasil terhadap pergeseran ruang sosial yang dikendalikan oleh logika pasar dan ditunjang dengan kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi.


(21)

Pada komunitas yang besar (nation) dengan cakupan wilayah luas, kondisi lingkungan fisik yang beragam, dan kondisi sosio kultural heterogen, pembentukan identitas bersama memerlukan proses yang panjang dan selalu melibatkan inovasi politis (political innovation). Dengan cara itu berbagai hal yang dipilih dan digunakan sebagai simbol identitas akan mendapat pengakuan sebagai milik bersama dan dapat didayagunakan untuk membangun solidaritas. Pada saat identitas bersama telah terbentuk lewat perantaraan simbol-simbol resmi maka perbedaan di antara etnis-etnis akan hilang dan yang tampak ke permukaan adalah perasaan bahwa mereka adalah warga dari suatu komunitas dan kebudayaan yang sama. Bangsa/negara tidak dapat dilihat sebagai unit administrasi politik semata melainkan lebih tepat disebut sebagai sebuah cultural community (Eriksen, 1993: 99).

Gellner (1983:1) menyebut inovasi politis untuk mencapai tujuan itu sebagai ‟nasionalisme‟, yang dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu sebagai sentimen dan gerakan. Nasionalisme sebagai sentimen merupakan “feeling of anger aroused by the violation of the principle or the feeling of satisfaction aroused by its fulfill-ment‖. Sementara sebagai gerakan, nasionalisme merupakan “one actuated by

sentiment of this kind‖.

Salah satu pembentuk identitas bangsa Indonesia yakni kebudayaan yang meliputi tiga unsur, yaitu akal budi, peradaban, dan pengetahuan. berinteraksi dalam lingkungan lokal. Dengan kata lain identitas didasarkan pada kelokalan yang berinteraksi dengan sumber-sumber pemaknaan dan pengakuan sosial, dalam pola yang beragam memungkinkan interpretasi alternatif. Dengan kebersamaan akan menghasilkan rasa memiliki (feeling of belonging) yang pada akhirnya


(22)

menghasilkan identitas kultural. Untuk itu, dibutuhkan proses mobilisasi sosial sehingga ditemukan common interest yang dipertahankan dan menghasilkan pemaknaan baru.

Batik klasik sebagai hasil budaya memenuhi tiga wujud kebudayaan, yakni budaya ide dan cipta motif batik, budaya fisik yakni berupa hasil karya kain batik, dan budaya perilaku, yakni setelah kain batik digunakan sebagai busana dalam kegiatan manusia Indonesia (Koentjaraningrat, 2001). Dalam tradisi masyarakat Jawa, motif batik klasik berhubungan dengan seluruh tahapan kehidupan manusia Jawa mulai dari lahir hingga mati. Batik klasik dapat memperkuat identitas nasional, regional, lokal, dan etnik. De Travail (1984:3) yang dikutip oleh Andrea Hauenschild berpendapat bahwa “material goods become part of the heritage only as a function of the needs of this collective memory, either to illustrate, or to keep a

representation that is real rather than imaginary, or to seize the future‖

Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1705 seorang Belanda bernama Chastelain telah menggunakan istilah ―batex‖ (batik) dalam laporannya kepada Gubernur Belanda Rijcklof Van Goens (Veldhuisen, 1999: 22). Menurut Hamzuri (1981: VI) dalam bukunya yang berjudul Batik Klasik menyatakan bahwa:

”Batik merupakan suatu cara untuk memberi hiasan pada kain dengan cara menutupi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan perintang. Zat perintang yang sering digunakan ialah lilin atau malam. Kain yang sudah digambar dengan menggunakan malam kemudian diberi warna dengan cara pencelupan. Setelah itu malam dihilangkan dengan cara merebus kain. Akhirnya dihasilkan sehelai kain yang disebut batik berupa beragam motif yang mempunyai sifat-sifat khusus”.

Sebagaimana dikutip Brandes (1889:122) sebelum kedatangan agama Hindu dari India, masyarakat Jawa telah memiliki sepuluh macam kepandaian (basic


(23)

culural traits) termasuk di antaranya adalah batik, wayang, gamelan, tembang, mengerjakan logam, sistem mata uang, pelayaran, bercocok tanam, irigasi, dan sistem pemerintahan yang teratur. Subroto (1991:41) menyiratkan bahwa tradisi batik pada masyarakat Jawa kuna pernah disebut-sebut dalam kitab Sumanasantaka yang tertulis: ewer noralega ngapanday anulis para lukis asipet mwang anjahit yang dalam hal ini bertolak menurut Zoetmulder (1978) kata-kata anulis dan asipet lebih diartikan membatik.

Dalam perkembangannya, batik tetap menjadi seni klasik yang dimulyakan di Istana sebagaimana pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram abad XVI M (Bratara, 2000: 90). Sejak itu sampai terjadinya palihan kerajaan Surakarta menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta batik mendapat formasi normatif yang tegas dan menjadi sistem pranata sosial sebagaimana termuat dalam kitab angger, serat winduaji, dan pranatan dalem bab kampuh lan dodotan (Honggopura, 2002: 12).

Memahami simbolisme dalam visualisasi tata warna motif batik terkandung nilai-nilai falsafah hidup orang Jawa yang dibentuk menurut kerangka kultur yang religius-magis. Kaitannya dengan seni batik klasik, pemakaian tata warna kuning, putih, merah (soga), biru, hitam, menjadi karakteristik masyarakat Jawa yang dianggap memiliki lambang-lambang pemujaan terhadap causa prima yang berada dalam kedudukan tertinggi. Diungkapkan oleh Kartosoedjono (1950:14-23) pada mulanya simbolisme batik dinyatakan lewat pralampita atau pralambang. Warna dasar dalam motif batik klasik diilhami oleh lambang-lambang warna dalam


(24)

kosmologi Jawa, yaitu kiblat papat lima pancer. Orang Jawa memaknai kiblat

papat kelimo pancer‖ Dewa atau Tuhan sebagai pusat yang mengatur segala. Djoemena (1986:11) menjelaskan bahwa setiap penciptaan motif batik selalu memiliki makna simbolis berdasarkan falsafah Jawa, karena itu pemakaian motif didasarkan pada dua hal, yakni (1) kedudukan sosial seseorang di dalam masyarakat, (2) pada kesempatan atau peristiwa apa batik dipergunakan tergantung dari makna dan harapan yang terkandung pada ragam hias batik tersebut. Dengan demikian batik klasik mengandung tuntunan dan tatanan. Ditambahkan Hitchcock (1991: 83-89), bahwa motif batik klasik ada hubungannya dengan arti simbolis dan makna falsafah dalam kebudayaan Hindu-Budha di Jawa.

Kartini (2005:11) menjelaskan bahwa sebagian idiom makna simbolik motif-motif batik Jawa mempunyai kandungan muatan kearifan lokal dan dianggap dapat melampui jamannya. Sebagai contoh adalah motif batik Semen, Truntum, dan Sidoluhur. Hasil penelitian Sariyatun dkk (2006:26) menyebutkan bahwa motif Truntum melambangkan cinta yang bersemi kembali. Selain itu juga dimaknai sebagai tum-tum, yakni menuntun, dalam pemakaiannya motif ini melambangkan orang tua yang menuntun anaknya dalam upacara pernikahan sebagai pintu menjalankan kehidupan baru, yaitu kehidupan rumah tangga yang sarat godaan. Diharapkan motif ini akan menjadikan kehidupan pernikahan menjadi langgeng diwarnai kasih sayang yang selalu bersemi.

Motif Parang Rusak, hanya digunakan oleh para bangsawan pada masa dahulu untuk upacara-upacara kenegaraan. Motif ini sampai sekarang masih tetap terjaga. Menurut Koeswadji (1985: 25) sesuai dengan arti kata, Parang Rusak


(25)

mempunyai arti perang atau menyingkirkan segala yang rusak atau melawan segala macam godaan. Motif ini mengajarkan agar sebagai manusia mempunyai watak dan perilaku yang berbudi luhur sehingga dapat mengendalikan segala godaan dan nafsu. Keberadaan batik klasik sebagai tuntunan dan tatanan dibakukan oleh aturan yang dikeluarkan dari Kraton Surakarta yaitu pada tahun 1769 oleh Paku Buwono III (1749-1788), sebagai berikut:

―Anadene arupa jajarit kang kalebu ing larangan ingsun: batik sawat lan batik parang rusak, batik cumangkiri kang calacap modang, bangun tulak, lenga teleng, daragem, lan tumpal. Anadene batik cumangkiri ingkang acalacap lung-lungan utawa kekembangan, ingkang ingsun kawenangken anganggoha papatih ingsun, lan sentaningsun kawulaningsun wedana‖. “Adapun rupa jarit yang termasuk larangan saya: batik sawat tdan batik parang rusak, batik cumangkiri yang berupa motif modang bangun tulak, lenga teleng, daragem, dan tumpal. Adapun batik cumangkiri yang berupa motif lung-lungan atau kekembangan (bunga), saya ijinkan dipakai oleh patih saya, dan keluarga bangsawan, abdi dalem wedana (Hasanudin, 2001: 23)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa motif batik tidak boleh dikenakan sembarang orang, yakni batik dengan motif sawat, parang rusak dan cumangkiri karena merupakan batik larangan. Direktorat Permuseuman (1991: 3-11), menjelaskan bahwa pemakaian batik pada mulanya sangat berkaitan dengan aktivitas seremonial dan ritual tertentu, seperti upacara-upacara adat yang sebagian besar berorientasi pada tata cara kerajaan/kraton, misalnya upacara jumenengan (penobatan raja), pisowanan (upacara menghadap raja), upacara gerebeg. Pemakaian batik juga berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya transendental atau berlatar belakang magis.


(26)

panjang seumur dengan maraknya peradaban kebutuhan manusia untuk berpakaian, sehingga sangat tepat menjadikan “kearifan tradisional”, yakni batik klasik sebagai „produk‟ yang dikonsumsi dalam rangka „identifikasi diri‟. Pemilihan “citra tradisional” batik klasik dalam percaturan komunitas global yang dipenuhi dengan simbol-simbol modernitas, serta dalam proses „dialog dan interaksi‟ untuk menegosiasikan identitas keindonesiaan di hadapan negara-negara maju, sangat tepat. Sebagaimana diungkapkan Abdullah (2005:34-35) bahwa kearifan tradisional batik klasik sebagai pantulan identitas keindonesiaan berelasi dengan proses konsumsi simbolis yang menjadi salah satu tanda penting dari tumbuhnya budaya konsumen (consumer culture) seiring dengan terbentuknya ruang sosial global. Proses konsumsi simbolis pada hakikatnya merupakan bagian dari proses pembentukan identitas. Barang yang dikonsumsi kemudian juga merepresentasikan kehadiran dan citra seseorang atau suatu komunitas.

Friedman (1990: 312) berpendapat menjadikan „kearifan tradisional‟ yang bersumber dari motif batik klasik sebagai „produk‟ dalam rangka pembentukan jati diri bangsa merupakan cultural strategy of self-definition. „Kearifan tradisional‟ menunjuk pada anggapan bahwa kesempurnaan bentuk dalam budaya dan kesenian tradisional Indonesia bukan merupakan lambang supremasi artistik seperti yang berlaku di Barat, melainkan bertumpu pada nilai transenden yang melampaui jangkauan estetis. Dalam perspektif ini seni menjadi medium untuk mencapai tingkat totalitas kehidupan yang lebih tinggi, suatu yang tak pernah dicapai oleh seni modern Barat yang gagal menjawab persoalan eksistensial manusia.


(27)

makna filosofis batik klasik sejalan dengan pandangan Postmodern. Makna budaya bersifat terbuka pada makna yang lain. Karena itu, postmodernisme menolak segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan tetapi justru menghargai ada unsur sejarah, latar belakang, dan un consciousness di balik fenomena budaya. Kodrat pemaknaan tidak stabil secara esensial. Penanda mengambang terus maka perlu mendefinisikan ulang teori yang selama ini dianut dan mendekonstruksi realitas.

Kasanah batik klasik (Vorstenlanden) yang sarat akan pesan-pesan filosofis, aspek spiritualitas dan aspek social, pada masa feodalisme yakni masa kerajaan Surakarta dan Djogjakarta digunakan sebagai media untuk meligitimasi kekuasaan, didekonstruksi menjadi media yang mencitrakan salah satu identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Penciptaan realitas baru terhadap batik klasik secara paradigmatis merupakan hasil dekonstruksi postmodernisme. Konsepsi dasar pemikiran dekonstruktif ini adalah ide pemikiran yang menempatkan segala realitas sebagai ditentukan oleh tanda. Dalam konteks ini realitas ciptaan tersebut ditentukan oleh tanda, yakni batik klasik.

Untuk menuju pada pengakuan identitas bangsa, selain menjadi proyek yang dilakukan Barat, bangsa Timur juga mempunyai kesadaran dalam mengagendakan untuk melihat Barat dengan kacamata Timur yang disebut oksidentalisme (Said, 1996: 2-3). Kesadaran ini sebagai wacana keilmuan yang netral dan mengutamakan keseimbangan dalam berhubungan dengan berbagai entitas lain. Antara dunia Barat dengan Timur terjadi suatu hubungan yang dialektis yang saling mengisi sehingga akan terhindar dari relasi hegemonik Barat terhadap dunia Timur. Sikap kehati-hatian bangsa Timur (Indonesia) dalam merespon globalisasi adalah mengutamakan


(28)

pentingnya nasionalisme dan dalam bentuk ketahanan Budaya. Nilai-nilai budaya yang bersumber dari motif batik klasik mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Sebagaimana dijelaskan oleh Greertz (2001) bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.

Konstruksi budaya batik Indonesia telah tumbuh dalam kesadaran masyarakat dengan segala kekhasan yang dimiliki. Batik mampu bertahan melintasi zaman dan akhirnya menjadi warisan pusaka. Ada dua hal yang perlu dicermati menurut Kasiyan (1980:3), yakni pertama pengkritisan atas dimensi sosiologis batik akan digunakan untuk melihat bagaimana budaya batik dipahami dalam kesadaran dalam lingkungan masyarakat kontemporer. Kedua, pengkritisan dari dimensi akademis untuk mencermati bagaimana sesungguhnya nilai-nilai filosofis batik mendapatkan ruang concern sebagai disiplin kajian. Perspektif pada dimensi akademis atas batik menjadi urgent, karena dimensi edukasi tetap merupakan salah satu pilar bagi penguatan jati bangsa. Dalam konteks ini perlu diciptakan realitas baru (dekontruksi) terhadap nilai-nilai yang bersumber dari motif batik klasik sebagai komponen pendukung pembentukan karakter bangsa.

Bagian inti dari kebudayaan yakni nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang perlu diinternalisasikan kepada anak didik sepanjang proses belajarnya. Pendidikan karakter berbasis nilai budaya batik klasik dapat diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah. Dengan demikian pembelajaran nilai-nilai budaya tidak hanya pada tataran kognitif tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari.


(29)

Sebagaimana diungkapkan Stahl (2008:2) dalam jurnal NCSS bahwa adanya prinsip pembelajaran IPS (social studies) pada sebuah penelitian berjudul “A Vision of Powerful Teaching and Learning in the Social Studies: Building Social Understanding and Civic Efficacy―, yakni:

(1) Social studies teaching and learning are powerful when they are meaningful; (2) Social studies teaching and learning are powerful when they are integrative. (3) Social studies teaching and learning are powerful when they are value-based, (4) Social studies teaching and learning are powerful when they are challenging, (5) Social studies teaching and learning are powerful when they are active.

Dari lima karakteristik PIPS salah satu yang merefleksikan paradigma konstruktivisme adalah bermakna (meaningful) dan belajar bermakna merupakan inti dari Pendidikan IPS (Brophy & Alleman, 1995:213). Dijelaskan oleh Farisi (2005) bahwa kebermaknaan program IPS menurut visi NCSS terjadi apabila memenuhi unsur-unsur: (1) Siswa harus belajar jaringan yang saling berkaitan dari pengetahuan, keterampilan, keyakinan, watak yang bisa digunakan baik di dalam maupun di luar sekolah. (2) Pembelajaran menekankan pada perkembangan gagasan gagasan penting sesuai keluasan cakupan topik dan fokus pembelajaran untuk memberikan pengertian, penghargaan, dan aplikasi kehidupan. (3) Signifikansi dan kebermaknaan materi ditekankan pada bagaimana materi tersebut disajikan kepada siswa dan dikembangkan lebih jauh dalam aktivitas-aktivitas. (4) Interaksi kelas difokuskan pada pengujian berkelanjutan terhadap sejumlah topik penting dari pada materi yang banyak. (5) Aktivitas belajar bermakna dan strategi asesmen difokuskan pada gagasan utama materi yang dipelajari. (6) Guru harus reflektif dalam merancang, melaksanakan, dan menilai pembelajaran.


(30)

Realitasnya, pembelajaran IPS belum mampu memberikan sumbangsih terhadap pendidikan karakter bangsa, yakni membentuk warga negara yang baik, warga negara yang memiliki kearifan dan keterampilan sosial, serta warga negara yang sadar akan jati dirinya sebagai bangsa. Sebagaimana diungkapkan Sardiman (2010: 148-149), bahwa keluarnya Permen nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permen nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yang kemudian dimunculkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), termasuk mata pelajaran IPS. Namun kenyataannya, perbaikan Standar Isi untuk bidang IPS terutama pada jenjang SMP/MTs belum begitu memuaskan bila dikaitkan dengan pengertian dan tujuan pembelajaran IPS.

Sejumlah penelitian tentang pembelajaran IPS, diantaranya Hasan (1993; 1996; 2002) memandang bahwa materi PIPS kurang memuat masalah sosial, budaya, dan nilai dalam hidup keseharian anak. Pendidikan IPS lebih berorientasi pada penguasaan struktur keilmuan (sumber keilmuan) dari pada realitas sosial budaya sebagai sumber nilai rujukan bagi anak. Karena itu terlalu sarat beban muatan, kurang sesuai dengan motivasi dan orientasi belajar anak. Hasil penelitian Lasmawan (2008), menunjukkan bahwa guru IPS cenderung terikat pada buku teks, baik isi, urutan materi, contoh-contoh, dan latihan-latihan soal yang menyertainya secara kaku. Padahal buku tersebut belum tentu sesuai dengan struktur kurikulum dan kebutuhan belajar peserta didik. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan dan minat peserta didik dalam belajar terabaikan. Hasil penelitian Farisi (2005) menjelaskan bahwa rendahnya apresiasi peserta didik SD terhadap PIPS karena pelajaran IPS sulit dimengerti dan pelajaran IPS banyak yang harus dihafalkan. Syaodih (2008:2)


(31)

menyebutkan bahwa kondisi ideal yang diharapkan dari hasil pembelajaran IPS di persekolahan dianggap belum sesuai dengan harapan, bahkan beberapa temuan penelitian dan pengamatan para ahli pendidikan memperkuat kesimpulan bahwa pendidikan IPS di Indonesia belum maksimal karena perwujudan nilai-nilai sosial yang dikembangkan dalam pembelajaran IPS belum begitu nampak aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.

Hasil penelitian Supriatna (2008) menemukan bahwa budaya ajar di sekolah masih dipengaruhi oleh kurikulum perenealisme dan proses belajar esensialistik, serta penilain yang bersifat behavioristik. Karena itu proses pembelajaran IPS- sejarah di sekolah menekankan pada pewarisan nilai dan transmisi pengetahuan sejarah dari guru pada peserta didik, serta penilaian hasil untuk mengukur aspek intelektual merupakan kondisi yang tidak bisa dilepaskan dari budaya ajar. Peranan guru sangat dominan dan pendewaan terhadap kurikulum menggambarkan status quo dari budaya ajar. Dalam kondisi seperti itu, pengajaran IPS lebih cenderung menjadi pelajaran yang dipahami dengan cara menghafal dari pada dipahami secara bermakna.

Banyak penyebab yang melatarbelakangi mengapa pendidikan IPS belum dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan. Selain faktor materi, penyebab yang lain adalah pelaksanaan pengajaran IPS di sekolah itu sendiri. Menurut Soemantri (2002) pembelajaran IPS sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat monoton dan ekspositoris sehingga peserta didik kurang antusias dan berakibat pelajaran menjadi kurang menarik.


(32)

Salah satu hambatan yang paling kuat dalam pembelajaran IPS berdasar hasil penelitian Leming, Ellington, dan Schug (2006) melalui Dewan Perwakilan Nasional yang dilakukan pada lebih dari 1.000 guru Pendidikan IPS tahun 2005 di Indiana dan North Carolina disebabkan karena rendahnya kedudukan pendidikan IPS dalam kurikulum dibanding matematika dan membaca. Temuan ini menguatkan hasil survei Phillip J.Van Fossen 's (2005) pada 600 guru SD di Indiana yang menyebutkan bahwa studi sosial berada pada urutan keempat mata pelajaran inti, yakni membaca/seni bahasa, matematika, ilmu pengetahuan, dan penelitian sosial. Hasil survey ini mendukung Maria E. Hass dan Margaret A. Laughlin 's (2001) menyebutkan bahwa guru-guru studi sosial ditempatkan sebagai pengajar di sekolah rendah. Posisi marginal studi sosial diperkuat dengan kebijakan sekolah yang menempatkan pengajaran sosial terintegrasi dalam pelajaran membaca/bahasa seni, matematika, dan ilmu pengetahuan yang merupakan disiplin utama dalam kurikulum Sekolah Dasar. Rendahnya status pendidikan IPS sesuai dengan hasil survey Larry Kuba (1991) bahwa studi sosial sering ditempatkan pada jadwal sore hari ketika peserta didik dan guru kurang memiliki energi atau yang lebih sedikit dan perhatian, sedangkan bahasa dan seni serta matematika diajarkan pada pagi hari.

Dengan demikian diperlukan kurikulum pendidikan IPS yang mampu menjembatani pencapaian visi dan tujuan IPS, yakni kurikulum memberdayakan peserta didik agar memiliki kepedulian dan menjadi warga Negara yang bertanggung jawab pada komunitas global. Hal ini berhubungan dengan tujuan utama dari pendidikan IPS, yakni mengembangkan kemampuan kaum muda sebagai


(33)

warga negara dalam membuat keputusan yang tepat untuk kepentingan masyarakat /publik yang memiliki keragaman budaya dan saling tergantung (NCSS, 1994: 3).

Kelas merupakan tempat belajar peserta didik yang beragam sehingga tidak mungkin perencanaan pelajaran yang didasarkan pada standar yang telah ditetapkan dan metode yang sama untuk semua peserta didik dapat dilaksanakan (Slattery, 2004:58). Kurikulum harus fleksibel dalam merencanakan seluruh program pembelajaran dan dilakukan secara kooperatif antara guru dan peserta didik untuk kepentingan peserta didik. Doll (Bab VII, 1993) berpendapat :

―post-modernists suggested that curriculum should be flexible to plan throughout a course and the planning should be done cooperatively between teacher and students for the benefits of students… Post-modernists aimed to create a learner-centered classroom that students possessed the ability to share control with the teacher.

Kurikulum Doll (1993) menekankan pada eksplorasi apa yang tidak diketahui oleh guru dan peserta didik melalui dialog dan refleksi. Kurikulum berperan membantu proses negosiasi dengan berdasar pada unsur 4 R, yakni richness, recursions, relations, dan rigor (Slattery, 2004: 64). Kurikulum pendidikan IPS postmodern bersifat konstruktif dan nonlinier yang muncul melalui aksi dan interaksi dari para peserta didik. Kurikulum bersifat terbuka mendorong berpikir kritis, pengambilan keputusan oleh semua orang sehingga mempromosikan sebuah masyarakat demokratis. Peran guru sebagai fasilitator yang melayani kebutuhan dan perbedaan individu. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif, menarik, dan fleksibel. Lebih lanjut Doll (1993:163) menyatakan:

In fact, it is to use (see) the concept of transformation as central to curriculum - thereby transfonnig curriculum materials, processes, though, and participants. This means, I believe, that teachers and students need to


(34)

be- free, encouraged, demanded to develop their own curriculum in conjoint interaction with one another.

Melalui pembelajaran yang interaktif, menarik, dan fleksibel pendidikan IPS akan menjadi media pengembangan daya kritis peserta didik yang mengutamakan pengembangan kemampuan pengetahuan dan memupuk keberanian mengemukakan pendapat atau argumen. Pendidikan IPS harus dapat mengembangkan kemampun berfikir kritis (critical thinking) dengan berbagai metode pemecahan masalah (problem solving). Pendidikan IPS juga sebagai pengembangan pribadi seseorang (social studies as personal development of the individual). Dengan demikian pendidikan IPS akan membekali kemampuan seseorang dalam pengembangan diri melalui berbagai keterampilan sosial dalam kehidupannya (social life skill).

Untuk itu diperlukan upaya seleksi dan pemilihan materi dari ilmu-ilmu sosial menjadi materi pendidikan IPS di sekolah sebagai upaya melengkapi peserta didik dengan pengetahuan yang abstrak (abstract knowledge) yang berguna dan bermakna dalam kehidupannya. Dijelaskan oleh Sumaatmaja (1980:20) bahwa mata pelajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan dan terampil mengatasi setiap masalah yang menimpa dirinya sendiri maupun masyarakat. Implikasinya, pendidikan IPS diharapkan lebih memfokuskan pada pembinaan nilai nilai karakter, sikap sosial, dan keterampilan sosial serta untuk membentuk peserta didik menjadi warga masyarakat yang mempunyai kepedulian sosial dan keterampilan sosial dalam kehidupan di masyarakat.


(35)

Sebagai upaya menumbuhkan motivasi dan partisipasi peserta didik maka pembelajaran dirancang secara kreatif sehingga dicapai pembelajaran yang bermakna. Perancangan pembelajaran yang kreatif dan bermakna menjadi penting karena kenyataannya pembelajaran terjadi pada suatu komunitas dan hasil belajar juga akan diterapkan pada komunitas budaya tertentu. Dalam hal ini, integrasi nilai-nilai budaya lokal batik klasik dalam pembelajaran merupakan salah satu bentuk perancangan pembelajaran yang kreatif untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna secara kontekstual. Pendekatan pembelajaran berbasis nilai budaya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menciptakan makna dan mencapai pemahaman terpadu atas informasi keilmuan yang diperolehnya, serta penerapan informasi keilmuan tersebut dalam konteks permasalahan komunitas budayanya (Sutarno, 2004).

Dari latar belakang di atas maka dilakukan penelitian pengembangan. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkonstruksi pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat menguatkan jati diri bangsa, untuk selanjutnya disingkat menjadi “IBNBBK”. Melalui konstruksi tersebut penelitian ini dapat memperdayakan (empowering) peneliti, guru IPS, dan peserta didik. Peneliti dan guru secara kolaboratif merencanakan dan menyusun desain pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat meningkatkan penguasaan materi IPS dan memperkuat jati diri bangsa. Model pembelajaran dikembangkan melalui pembelajaran Cooperative Learning dan Value Clarification Technique, karena itu membutuhkan dukungan partisipasi peserta didik yang tinggi dalam kegiatan belajar mengajar.


(36)

Menurut Eggen and Kauchak (1996: 279) model pembelajaran kooperatif merupakan strategi pengajaran yang melibatkan peserta didik belajar secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran ini dapat meningkatkan partisipasi dan memfasilitasi peserta didik dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok serta memberikan kesempatan pada peserta didik untuk berinteraksi dan belajar bersama peserta didik yang berbeda latar belakangnya. Hasil belajar akan meliputi kemampuan akademik, penerimaan terhadap keberagaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Keunggulan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kinerja peserta didik dalam tugas-tugas akademik, unggul dalam membantu peserta didik memahami konsep-konsep yang sulit dan membantu peserta didik dalam menumbuhkan kemampuan berfikir kritis.

Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu peserta didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatan sendiri, untuk meningkatkan kesadaran tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini dinilai efektif dalam alam demokrasi karena akan membantu peserta didik untuk: pertama, menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua, mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri. Ketiga, mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri (Hersh, 1980). Model IBNBBK diharapkan menjadi salah satu solusi untuk memenuhi tuntutan pembelajaran IPS berbasis nilai, menantang dan bermakna (Sthall, 2007). Secara spesifik model pembelajaran yang dikembangkan diharapkan


(37)

akan mendukung tercapainya tujuan pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar serta meningkatkan jati diri bangsa.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dikembangkan model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai budaya lokal batik klasik yang dapat memperkuat jati diri bangsa.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah penelitian maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bagaimanakah Model Pembelajaran IPS Berbasis Nilai Budaya Lokal Batik Klasik yang dapat Menguatkan Jati Diri Bangsa?

Selanjutnya, berdasarkan rumusan masalah maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimanakah kondisi pembelajaran IPS di SMP Surakarta ?

2. Bagaimanakah pengembangan model konseptual pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik di SMP yang dapat mengembangkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa?

3. Bagaimanakah efektivitas model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik di SMP dalam mengembangkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa?

C. Tujuan Penelitian


(38)

1. Mendeskripsikan proses pembelajaran IPS di SMP Surakarta.

2. Mengembangkan model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya batik klasik di SMP Surakarta yang dapat mengembangkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa.

3. Menguji efektivitas model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya batik klasik di SMP Surakarta dalam meningkatkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa.

D. Manfaat Penelitian

Produk utama penelitian ini adalah model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang dapat mengembangkan kompetensi dan menguatkan jati diri bangsa peserta didik SMP di Surakarta.

1. Hasil penelitian ini akan menjadi salah satu model yang bermanfaat bagi pengembangan mata pelajaran IPS. Khususnya pengembangan pembelajaran IPS dengan mengintegrasikan nilai budaya dan karakter bangsa.

2. Bagi guru mata pelajaran IPS, penelitian ini bermanfaat untuk menjadi acuan dalam mengembangkan model-model pembelajaran inovatif dan kreatif berkaitan dengan integrasi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam pembelajaran IPS di sekolah.

3. Bagi Kepala Sekolah, penelitian ini dapat dijadikan tolok ukur upaya guru dalam mewujudkan pengembangan kompetensi profesionalnya.

4. Bagi peneliti berikutnya, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam mengembangkan model pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai budaya lokal.


(39)

5. Bagi LPTK, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan guna meningkatkan kualitas lulusan yang kelak akan menghadapi dinamika dan problematika pendidikan dan pembelajaran di sekolah pada khususnya.


(40)

AB III

METODE PENELITIAN

Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran IPS di SMP berbasis nilai budaya lokal batik klasik (IBNBBK) yang dapat memperkuat jati diri bangsa. Pada hakekatnya tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan kebenaran praktek dan manfaat model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik yang bersifat situasional dan kondisional, dan tidak berpretensi ke arah pembentukan generalisasi. Tujuan operasional penelitian ini untuk memperoleh kebenaran pengalaman (empirik) yang bersifat situasional dari para guru dalam pengembangan model pembelajaran IPS di kelas yang efektif dan stabil di SMP Surakarta. Program pembelajaran IBNBBK dirancang dengan spesifikasi pada integrasi nilai budaya lokal seni batik klasik dalam pembelajaran IPS untuk penguatan jati diri bangsa. Dengan menggunakan teori dekonstruksi, nilai simbolisme dalam motif-motif batik klasik yang mengandung keluhuran budi pekerti direaktualisasikan kembali menjadi nilai-nilai edukatif yang dapat digunakan sebagai sarana penguatan karakter dan jati diri bangsa.

Sebagaimana dikemukakan Clifford Geertz (1973: 89) bahwa kebudayaan merupakan pola dari pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara historis. Lebih lanjut dijelaskan Geertz (1973) bahwa kebudayaan itu merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat


(41)

berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan.

Untuk mengkonstruksi model pembelajaran IBNBBK dalam pandangan postmodernism mengenai kurikulum sebagai sebuah praksis dapat digunakan empat unsur R, yaitu richness, recursions, relations, dan rigor yang dikembangkan Doll (1993: 176-183). Model pembelajaran IBNBBK yang dikembangkan dengan model pembelajaran kooperatif dan klarifikasi serta dikemas dalam turnamen merupakan salah satu upaya untuk mengembangankan peserta didik menjadi seperti apa yang dia inginkan. Melalui transmisi dan komunikasi secara kritis, nilai-nilai budaya batik klasik diciptakan kembali (dekonstruksi) menjadi nilai-nilai pendidikan karakter. Integrasi nilai-nilai budaya lokal seni batik klasik dalam pembelajaran IPS juga merupakan upaya untuk memenuhi pembelajaran IPS yang powerfull and meaningfull, yakni ditandai oleh pembelajaran yang terintegrasi, berbasis nilai, aktif, menantang, dan bermakna.

A. Desain Penelitian

Berdasarkan pada tujuan yang akan dicapai dan masalah penelitian yang harus dipecahkan serta sifat dan analisis data yang diperlukan maka penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan gabungan atau kombinasi antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang bersifat komplementer (Thomas, 2003:6). Karena itu perbedaan karakter dari dua pendekatan tersebut justru memberikan asas manfaat.

Secara historis pemikiran tentang pendekatan gabungan ini mulai populer dikembangkan sekitar tahun 1959, yakni pada penelitian yang dilakukan oleh


(42)

Campbell dan Fisk yang kemudian dikenal dengan multi method - multi trait approach. Penelitian ini dengan prosedur pengumpulan data gabungan, yakni survei dan wawancara yang melahirkan metode "between method" (Creswelt, 1994).

Penggunaan pendekatan gabungan pada penelitian ini didasari oleh aspek terbatasnya cakupan penelitian dan permasalahan penelitian (Creswell, 1994: 173; Branen, 2002:10). Pendekatan gabungan menurut Creswell (1994:177) ada tiga model desain penelitian, yakni (l) two phase design; (2) dominant - less dominant design; dan (3) mixed-methodology design.

Sehubungan dengan penelitian ini maka berdasar tujuan penelitian dan sifat data yang dikumpulkan digunakan model two phase design. Model two phase design memungkinkan secara teoritis maupun praktis untuk pengembangan dua desain pada posisi saling melengkapi (complement), setara (equal), dan dilaksanakan secara berurutan (sequent). Penerapan pendekatan gabungan semata-mata untuk efektivitas pelaksanaan prosedur dan hasil penelitian.

Menurut Richey & Nelson (1996), penelitian ini termasuk jenis penelitian pengembangan (developmental research), yakni penelitian yang berorientasi pada pengembangan suatu produk yang proses pengembangannya dideskripsikan secara teliti dan produk yang diperoleh dievaluasi. Produk yang dikehendaki dalam penelitian ini adalah sebuah model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik untuk penguatan jati diri bangsa. Pendekatan penelitian dan pengembangan dipandang tepat karena tujuannya adalah mengembangkan model


(43)

pembelajaran yang efektif dan adaptabel sesuai kondisi dan kebutuhan nyata di sekolah.

Research and development (R & D) yang dikembangkan oleh Borg dan Gall (1989: 781-802), berdasarkan pada data lapangan, hasil uji lapangan, dan revisi. R & D meliputi tahapan-tahapan berupa cycle hingga diperoleh definisi objektif, mirip

siklus “classroom action research spiral” (Hopkins, 1993:48) yang merupakan

“involves teachers using methods to study classroom problems” (McMillan dan Schumacher, 2001: 20). Ditekankan oleh Borg dan Gall (1989: 783) model yang

dikembangkan hendaknya “real-life”, efisien, dan realistik objektif dalam rangkaian

model pelajaran (Borg dan Gall, 1989: 797).

Borg dan Gall (1989:784-785) mengembangkan sepuluh langkah strategi dalam penelitian pengembangan, yaitu (1) Research and information collecting, yaitu studi pendahuluan, pengumpulan data awal di lapangan, studi literatur, observasi kelas, mempersiapkan rancangan kegiatan dan penelitian. Langkah ini dilakukan dengan prasurvey mengawali R & D. (2) Planning, adalah langkah perumusan tujuan, pengembangan model pembelajaran sebagai educational product, merumuskan keterampilan dan menentukan pokok-pokok pengembangan bahan pembelajaran, serta uji coba tahap awal. (3) Develop preliminary form of product, adalah pengembangan draf awal model yang ingin dihasilkan, menyiapkan perlengkapan dan instrumen pembelajaran, handbook, dan instrumen evaluasi. (4) Preliminary field testing adalah uji coba lapangan awal terbatas. Data wawancara, observasi dan angket dikumpulkan lalu dianalisis. Langkah ke empat ini untuk


(44)

mendapatkan data kualitatif awal dari model hipotetik yang akan diujicobakan pada langkah berikutnya. (5) Main product revision adalah merevisi protipe yang telah diujicobakan. Revisi model hipotetik didasarkan hasil uji coba lapangan awal. (6) Main field testing adalah uji coba lapangan utama. Data kuantitatif berupa skor atau nilai yang diperoleh subyek penelitian pada pretest dikumpulkan, lalu dibandingkan dengan data kelompok kontrol. (7) Operasional product revision adalah merevisi prototipe secara operasional menggunakan informasi dan data yang terkumpul melalui uji coba lapangan tahap pertama, sehingga pada tahap selanjutnya dapat meningkatkan dan menyempurnakan produk penelitian. (8) Operational field testing- uji coba model secara operasional atau uji coba empirik. Data wawancara, observasi, dan angket dikumpulkan lalu dianalisis. Pada langkah ini ditentukan draf akhir model untuk disebarluaskan (diseminasikan); (9) Final product revision-tahap revisi akhir dari prototipe (model yang dihasilkan). Revisi dilakukan memperhatikan masukan dan saran-saran dari monitoring, wawancara dengan guru, dan observasi langsung terhadap pelaksanaan uji coba. (10) Dissemination and implementation.

Untuk kepentingan disertasi ini peneliti menyederhanakan tahap-tahap penelitian dan pengembangan menjadi tiga tahap, yakni sebagai berikut.

1. Penelitian Pendahuluan (pra-survey)

Tahap penelitian pendahuluan merupakan kegiatan research and information collecting memiliki dua kegiatan utama, yaitu studi literatur (kajian pustaka dan hasil penelitian terdahulu) dan studi lapangan. Hasil dari kegiatan ini adalah


(45)

diperolehnya profil implementasi sistem pembelajaran, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan atau obyek pembelajaran yang hendak ditingkatkan mutunya. 2. Pengembangan Model

Tahap pengembangan sebagai gabungan tahap planning and development of the preliminary form of product mengandung kegiatan-kegiatan; penentuan tujuan, menentukan kualifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian dan pengembangan (peneliti dan guru), merumuskan bentuk partisipasi pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian dan pengembangan, menentukan prosedur kerja, dan uji kelayakan. Hasil dari kegiatan ini adalah diperolehnya draft desain model yang siap untuk diujicobakan. Tahap uji lapangan mengandung tahap-tahap preliminary field testing, main product revision, main field testing, dan product revision memiliki kegiatan utama, yaitu uji coba, baik uji coba terbatas (preliminary field test) maupun uji coba lebih luas (main field test). Di samping itu, tahap ini mengandung pula kegiatan untuk merevisi terhadap hasil setiap uji coba model sistem pembelajaran. Kegiatan uji coba dilakukan secara siklis (desain, implementasi, evaluasi, dan penyempurnaan) sampai ditemukan model sistem pembelajaran yang siap untuk divalidasikan.

3. Pengujian Efektivitas Model

Tahap validasi terdiri atas kegiatan operational field testing dan final product revision dengan tujuan untuk menguji model melalui kuasi eksperimen dengan kelompok (pretest–posttest) satu kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol.


(46)

Hasil eksperimentasi menjadi bahan pertimbangan dalam membuat rekomendasi tentang efektivitas dan adaptabilitas model IBNBBK di sekolah.

B. Implementasi Tahap-tahap Penelitian

Implementasi langkah-langkah penelitian dan pengembangan model IBNBBK adalah sebagai berikut.

1. Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan merupakan kegiatan research and information collecting memiliki dua kegiatan utama, yaitu studi literatur (kaji pustaka dan hasil penelitian terdahulu) dan studi lapangan. Aspek-aspek yang diteliti dalam studi pendahuluan ini meliputi kondisi guru, dan peserta didik, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), proses belajar mengajar IPS yang sedang berlangsung sekarang ini.

Kondisi guru yang menjadi fokus penelitian pendahuluan ini adalah latar belakang guru, kemampuan dan kinerja guru, kemampuan guru dalam merencanakan pengajaran, kegiatan guru dalam pembelajaran, materi pembelajaran IPS, metode, media pembelajaran IPS, dan evaluasi pembelajaran IPS.

Kondisi peserta didik yang menjadi fokus penelitian ini adalah kesan-kesan selama mengikuti pelajaran IPS, pendapat peserta didik tentang guru IPS, dan pendapat peserta didik tentang nilai-nilai budaya batik klasik. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), yakni proses belajar mengajar IPS yang sedang berlangsung sekarang ini. Adapun langkah-langkah yang dilakukan yakni sebagai berikut.


(47)

Studi kepustakaan merupakan langkah awal dalam penelitian ini, dimaksudkan untuk mengumpulkan landasan teoritik guna pengembangan model. Paradigma penelitian pengembangan ini adalah Postmodernisme dengan teori

utamanya “dekonstruksi” dari Derrida. Selain itu juga digunakan teori belajar dan

model pembelajaran yang relevan untuk pengembangan model pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik untuk penguatan jati diri bangsa.

Pada studi kepustakaan juga dikaji beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan, yang dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai persoalan-persoalan pembelajaran IPS di sekolah. Selain itu, juga diperlukan untuk lebih memperhatikan kesimpulan, saran, dan rekomendasi berdasarkan temuan-temuan hasil penelitian.

Uraian mengenai hasil studi kepustakaan selengkapnya telah disajikan pada bab II, yang sekaligus juga berfungsi sebagai landasan teori. Dengan demikian pada bab ini hanya disajikan bahasan singkat landasan teori dan studi kepustakaan yang digunakan sebagai dasar pengembangan model IBNBBK.

2. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data melalui angket berkenaan dengan kondisi umum pembelajaran IPS di kota Surakata dan pengamatan yang berkenaan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal batik klasik untuk menguatkan jati diri bangsa.

Berdasarkan dokumen Dikspora Surakarta, diketahui bahwa di Kota Surakarta terdapat 70 SMP, terdiri dari 27 SMP Negeri; 2 SMP SBI; dan 43 SMP


(48)

swasta, terdiri dari 18 SMP Islam, 9 SMP Kristen, 6 SMP Katholik, dan 10 SMP swasta umum.

Untuk mendukung penelitian ini, dilakukan observasi di beberapa sekolah antara lain di SMP Negeri 9, SMP Negeri 10, SMP Negeri 7, SMP Negeri 3, SMP Negeri 19, SMP Muhammadiyah 2, SMP Batik, dan SMP Kristen 1. Observasi dilakukan terhadap proses pembelajaran IPS di kelas, di perpustakaan, dan kegiatan sekolah secara umum yakni pada waktu jam masuk sekolah dan jam berakhirnya pembelajaran keseluruhan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat pelaksanaan pembelajaran IPS dan budaya sekolah yang ditanamkan kepada peserta didik, berkaitan dengan pendidikan budi pekerti dan karakter.

Wawancara dan pengisian angket terbuka dilakukan pada siswa SMP untuk mengetahui: (1) Kesan selama mengikuti pembelajaran IPS; (2) Pendapat siswa tentang guru IPS: (3) Pendapat siswa tentang pelajaran IPS; (4) Kesan siswa terhadap seni batik klasik sebagai salah satu keunggulan budaya Surakarta.

Wawancara dan pengisian angket yang bersifat terbuka untuk guru meliputi: (1) profil guru IPS; (2) kemampuan dan kinerja guru; (3) kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran IPS; (4) kegiatan belajar mengajar mengajar IPS; (5) Pengembangan materi IPS berkaitan dengan integrasi nilai-nilai budaya batik klasik yang menjadi muatan lokal di Surakarta; (6) metode dan media pembelajaran IPS; (6) evaluasi pembelajaran IPS.

Wawancara juga dilakukan dengan Kepala Sekolah meliputi permasalahan (1) latar belakang guru-guru IPS; (2) pengembangan materi IPS dengan


(49)

mengintegrasikan budaya lokal di Surakarta; (3) kegiatan peningkatan kemampuan guru dalam melakukan inovasi pembelajaran IPS agar menarik dan bermakna; (4) kebijakan terhadap pembelajaran IPS terpadu; dan (5) pembelajaran IPS yang berlangsung di sekolah selama ini berkaitan dengan keharusan mengintegrasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran.

Selain itu juga dilakukan studi dokumentasi, berupa kajian terhadap kurikulum mata pelajaran IPS SMP, buku teks yang digunakan, serta perangkat pembelajaran, untuk menentukan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang akan dipilih untuk mengintegrasikan model pembelajaran yang dikembangkan. Hal-hal yang ingin diketahui dari perangkat pembelajaran yang sudah dibuat guru.

Sedangkan identifikasi RPP difokuskan pada: (1) Perumusan Tujuan Pembelajaran, yang meliputi: (a) kejelasan rumusan (operasional); (b) kelengkapan cakupan rumusan; (c) kesesuaian dengan kompetensi dasar. (2) Pemilihan dan pengorganisasian materi pembelajaran yang meliputi : (a) Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran; (b) Kesesuaian dengan karakteristik peserta didik; (c) Keruntutan dan sistemaika materi; (d) Kesesuaian materi dengan alokasi waktu. (3) Pemilihan Sumber Belajar/ Media pembelajaran yang meliputi: (a) Kesesuaian sumber/media pembelajaran dengan tujuan; (b) Kesesuaian sumber/media pembelajaran dengan materi; (c) Kesesuaian sumber/media pembelajaran dengan karakteristik peserta didik; (4) Metode pembelajaran, yang meliputi (a) Kesesuaian strategi dan metode pembelajaran dengan tujuan pembelajaran; (b) Kesesuaian strategi dan metode


(1)

York:Routledge Taylor & Francis Group.

Soedijarto.(1993). Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan Dan Bermutu (Kumpulan Tentang Pemikiran Dan Usaha Meningkatkan Mutu Dan Relevansi Pendidikan Nasional).

Jakarta: Balai Pustaka.

Soemarno S. (2009). KarakterMengantarkan Bangsa dari GelabMenuju Terang. Jakarta: Kompas Gramedia.

Somantri, M. N. ( 2001). MenggagasPembaharuan Pendidikan IPS. Bandung:Rosda Karya. Subroto, PH.(1991). Kedudukan dan Peranan Golongan Pengrajin dan Tukang Pada Masa

Jawa Kuna. Laporan Penelitiuan. Fakultas sastra Universitas gadjah Mada, Yogyakarta Sugiharto, B. ( 2000). Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.

Sugiyono. (2008) . Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung 2002) Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung : Alfabeta. Sumaatmadja, N. (2000) . Manusia dalam Konteks Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup.

Bandung: Alfabeta.

Sumardjo, J. (2002). Arkeologi Budaya Indonesia. Qalam: Yogyakarta

Susanto, S. S.K. (1980). Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Pendidikan RI. Suseno, F. M. (1996). Etika Jawa, Sebuah Analisa falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa,

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Suseno, F. M.(1986). Perspektif Etis Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Tilaar. (1998). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21.

Jakarta: Rineka Cipta.

Tilaar, H. A. R . (2002). Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Tilaar, H.A.R . (2009 ). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Tilaar, H.A.R.(2007). Mengindonesia. Etnisitas dan Identitas bangsa Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Bandung: Rineka Cipta

Tim Balai Bahasa Yogyakarta.( 2001). Bausastra Jawa, Yogyakarta: Kanisius. Toynbee, A . (1947). A Study of History. New York: Oxford University Press.


(2)

Makna, Filosofi, dan Simbolik Busana Pengantin Dodot. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.

Turkle S. (2004). The Fellowship of the Microchip: Global Technologiesas Evocative Objects‖(Edited) Marcelo M. Suárez-Orozco and Desirée Baolian Qin-Hilliar. Berkely Los Angeles London: University of California

Tyler, R. (1949). Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago: University of Chicago Press.

Ullich, R.(1971). Phylosophy of Education, American Book Company, New York:Unitade State of America.

Veildhussein, H. C. (1993) . Batik Belanda 1840-1940. Dutch Influence In Batik From Java History And Stories. Jakarta: Gaya Favorit Press.

Vygotsky, L. S. (1981).The Genesis of Higher Mental Function dalam J. V. Werstch. The Concept of Activity in Soviet Phychologynew York: Sharpe.

Wahono, dkk. (2004). Gaya Ragam Hias Batik (Tinjauan Makna dan Simbol).Semarang: Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah, Dinas P dan K Museum Jawa Tengah “Ronggoiwarsito”

Watson J. L.(2004). Globalization Asia Anthropological Perspectives,‖( Edited ) Marcelo M. Suárez-Orozco and Desirée Baolian Qin-Hilliar. Berkelyy Los Angeles London: University of California

Weinmer, M. (2002) . Learner-Centered Teaching .San Francisco : Jossey-BassWerbwl & Peck. Wiggins,H. (2004). A Learner-centered and participatory approach to teaching community. New

York & Burlingame : Harcourt , Brace & World, Inc

Wiriaatmadja, R. (2005) . Metode Penelitian Tindakan Kelas .Bandung:PPS UPI Bandung dan Remaja Rosdakarya.

Yvonna S. L. & Guba, Egon G. (1985). Naturalist Inquiry. California, Beverly Hills: Sage Publication.

Zubedi. (2005). Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial, Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Zuchdi, D. (2008). HumanisasiPendidikan: Menemukan KembaliPendidikan Yang Manusiawi. Jakarta:Bumi Aksara.


(3)

JURNAL

Aikenhead, G. S., & Jegede, O. J., “Cross-cultural Science Education: A Cognitive Explanation of a Cultural Phenomenon”, dalam Journal of Research in Science Teaching, 36(3), 1999, hal. 269-287.

Al-Shalabi.2011. Empowering Learners: Teaching American Literature by Shifting the Focus from the Instruction Paradigm to the Learning Paradig. in International Journal of Humanities and Social Science Vol. 1 No. 9 [Special Issue – July 2011] 61

Amril. M. 2006. Menumbuh Kembangkan Nilai-nilai Moral … Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2006

Aswani, K. 2009. Social studies in the postmodern world: An essay review. Education Review, 12v(10). Retrieved [date] from http://edrev.asu.edu/essays/v12n10index.html

Dennis, H. 2002. Quality Education through a Post- modernCurriculum Hong Kong Teacher’s Centre Journal 香港教師㆗心㈻報 , Vol. 1, Spring 2002© Hong Kong Teacher’s

Centre 2002

Hicks, D., Tlou, J., Lee, J., Parry, L., & Doolittle, P. 2002. Global connections: Using the Internet to support citizenship education. International Journal of Social Education, 17(1), 93-102

Jegede, O, M. B., O. J., Ogawa, M., Yandila, C. D., & Oladele, F. K., “Nature of World View Presupposition among Science Teachers in Botswana, Indonesia, Japan, Nigeria, and the Philipines”, dalam Journal of Research inScience Teaching (32), 1995, hal. 817-832. NCSS. 1993. A Vision of Powerful Teaching and Learning in the Social Studies: Building Social

Understanding and Civic Efficacy. Social Education journal . 57, no. 5 (September 1993): 213-223, reprinted at the end of this volume. USA: NCSS.


(4)

Noffke, S. E. 2000 . “Identity, community and democracy in the new social order.‖ In D. W. Hursh & E. W. Ross (Eds.), Democratic social education: Social studies for social change

(pps. 73–83). New York: Falmer

Schug, M. C., Western, R. D., & Enochs, L. G. 1997 . Why do social studies teachers use textbooks? The answer may lay in economic theory. Social Education, 61(2), 97-101.

Segall, Avner; Heilman, E. E. & Cherryholmes, Cleo H. (Eds.) (2006) Social Studies—The Next Generation: Re-searching in the Postmodern. New York: Peter Lang Publishing, Inc. Pp. vii + 299 ISBN 0-8204-7067-8

Setiono, K. 2002. “Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia”, dalam Jurnal Ilmiah Psikologi: Kognisi UMS. Vol. 6, Nomor 2 Novemeber 2002.

Stahl, J. 2008. A Vision of Powerful Teaching and Learning in the Social Studies: Building Social Understanding and Civic Efficacy. Journal for Social Studies. USA: National Council for Social Studies. Waldorf, Maryland.

Tiezzi, E., Marchettini, T. & Rossini, M. TT. Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community.

Tucker, J., & Evans, A. 1996 . The challenge of a global age. In B. Massialas & R. Allen (Eds.), Crucial issues in teaching social studies K-12 (pp. 181-218). Belmont, CA: Wadsworth Publishing

Woods, D. R. 1996. Teaching and Learning: What can Research Tell Us?; Journal of College Science Teaching. XXV (3): 229 – 232.

2. Makalah, Publikasi Departemen dan Laporan Penelitian.

Abdullah, M.A, 2006 Faham Keagamaan Dan Kebangsaan Indonesia Di atas Keberagamaan Yang Majemuk Dan Multikultural, makalah disampaikan dalam Stadium General “Membangun Semangat dan Faham Kebangsaan Indonesia Diatas Keberagamaan yang Majemuk dan Multikultural”, Aula Lt.5, Gedung Rektorat, Kampus C. UNAIR, 28 Juni 2006.

Abdullah, M. A., 2007. Pendidikan Agama Untuk Perdamaian Dunia, makalah disampaikan dalam Seminar “Pendidikan untuk Perdamaian Dunia”, diselenggarakan oleh Pasific


(5)

Countries Social and Economic Solidarity Association (PASIAD), Semarang, 24 Maret 2007.

Abdullah, M. A., 2008, Mempertautkan ulum al-diin, al-fikr al-islamiy dan dirasat islamiyyah: sumbangan keilmuan islam untuk peradaban global, makalah disampaikan pada ”Workshop Pembelajaran Inovatif Berbasis Intergrasi-Interkoneksi”, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 19 Desember 2008.

Saidihardjo, 1997, “Jatidiri Sumber Daya Manusia dan Tantangan PIPS pada Era Globalisasi”

Makalah Seminar FORKOM VIII Pimpinan FPIPS/JPIPS se-Indonesia, Jakarta 11-12 November 1997.

Somantri, M.N. 1988. Pendidikan Bidang Studi sebagqi Ciri Khas Fakultas IKIP dalam Mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional “ Orasi Ilmiah Pada Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam PIPS IKIP Bandung 19 Oktober 1988.

Winataputra, U. S. 2001). “Reorientasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Mengantisispasi Perubahan Sosial di Era Global”. Makalah Seminar Nasional dan Kongres Forum Komunikasi X Pimpinan FPIPS/FIS/Fkip Universitas/IKIP se Indonesia serta Kongres HISPIPSI, 22-24 Oktober

3. Sumber dari Internet.

Asnawi, K. (2000). Social Studies in the postmodern world; An essay review Education Review 12 v (10) Retrived (date) form; http;//edrev.asu.edu/essays/v12n10index.html

“Pengakuan UNESCO tentang Batik Bisa Dicabut” (http://gudeg.net/id/news/ 2010/01/ 5202/).

Unesco Putuskan Batik Tulis Indonesia sebagai Pusaka Dunia”, TEMPO Interaktif, Rabu, 05 Agustus 2009.

Doyle,Terry.2008. ”The Learner-Centered Classroom.‖ Earner centered teaching. wordpress.com/articles-and-books/the-learner-centered –classroom

Crocco,M.S.(2001).Leveraging constructivist learning in the social studies classroom.Contemporary Issues in Technology and Teacher Education, 1(3), 386-394. Retrieved from http://www.citejournal.org/vol1/iss3/currentissues/socialstudies/article2.ht


(6)