TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG NOMOR : 706/PID/B/2015/PN.BDG TENTANG TINDAK PIDANA PENGOPLOSAN DAGING SAPI DAN CELENG.

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM
TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG
NOMOR : 706/PID/B/2015/PN.BDG TENTANG TINDAK PIDANA
PENGOPLOSAN DAGING SAPI DAN CELENG

SKRIPSI
Oleh :
Abdul Rohman
NIM : C53212071

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
SURABAYA
2016

DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ...................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ...................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. iii
PENGESAHAN ........................................................................................... iv

ABSTRAK ................................................................................................... v
MOTTO ....................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ........................................................................................ vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR TRANSLITERASI ....................................................................... xiii
BAB I

PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................... 14
C. Batasan Masalah ................................................................ 15
D. Rumusan Masalah .............................................................. 15
E. Kajian Pustaka ................................................................... 16
F. Tujuan Penelitian ............................................................... 17
G. Kegunaan Penelitian .......................................................... 17
H. Definisi Operasional .......................................................... 18
I. Metode Penelitian .............................................................. 19
J. Sistematika Pembahasan ................................................... 21


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM ............................... 23
A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam................. 23
1.

Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum
Pidana Islam ............................................................... 23

2.

Macam-macam Tindak Pidana Menurut Hukum
Pidana Islam ............................................................... 24

x

B. Tindak Pidana Ta’zi>r........................................................ 26

BAB III


1.

Pengertian Jari>mah Ta’zi>r ......................................... 26

2.

Unsur-Unsur Jari>mah Ta’zi>r ...................................... 27

3.

Macam-Macam Jari>mah Ta’zi>r .................................. 29

4.

Hukuman Jari>mah Ta’zi>r .......................................... 34

DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
BANDUNG
NOMOR:

706/PID/B/2015/PN.BDG
TENTANG TINDAK PIDANA PENGOPLOSAN
DAGING SAPI DAN CELENG ............................................ 46
A. Pengertian Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi
Dan Celeng ........................................................................ 46
B. Kasus Terjadinya Praktik Tindak Pidana Pengoplosan
Daging Sapi dan Celeng .................................................... 47
C. Keterangan Saksi-Saksi Dalam Kasus Tindak Pidana
Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng ............................. 50
D. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Terhadap
Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng ..... 52
E. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bandung
Terhadap Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi
Dan Celeng ........................................................................ 60

BAB IV

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP
PUTUSAN NOMOR : 706/PID/B/2015/PN.BDG
TENTANG TINDAK PIDANA PENGOPLOSAN

DAGING SAPI DAN CELENG ............................................ 62
A. Tinjauan
Hukum
Pidana
Islam
Terhadap
Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Tentang
Perkara Nomor: 706/Pid/B/2015/PN.Bdg Tentang
Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng ..... 62
B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan
Hakim Dalam Perkara Di PN Bandung Nomor:
706/Pid/B/2015/PN.Bdg Tentang Tindak Pidana
Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng ............................. 66

xi

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................ 76

B. Saran .................................................................................. 77

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 78
LAMPIRAN ................................................................................................. 80

xii

ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg Tentang Tindak
Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng”, dibuat untuk menjawab dua
pertanyaan penelitian. Pertama: Bagaimana putusan hakim Pengadilan Negeri
Bandung nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang praktik tindak pidana
pengoplosan daging sapi dan celeng? Kedua: Bagaimana tinjauan hukum pidana
Islam terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri Bandung nomor
:706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang praktik tindak pidana pengoplosan daging sapi
dan celeng?
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian pustaka (library research), kajian
teks (teks reading) yang bersumber dari PN Bandung yang berupa data putusan,
yang selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis dengan kerangka

pikir deduktif.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: Pertama, Putusan hakim PN
Bandung terhadap pelaku tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng
sebagaimana diatur dalam UU No. 08 tahun 1999 pasal 62 ayat (1) tentang
perlindungan konsumen jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP serta berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan lain. Majelis hakim memutuskan bahwa para pelaku
tindak pidana tersebut dihukum penjara selama 2 tahun dan barang-barang bukti
yang dimilikinya dirampas oleh negara untuk dimusnahkan. Meskipun hukuman
yang diberikan jauh lebih ringan daripada hukuman yang ditetapkan di undangundang. Namun, hal itu disebabkan karena pertimbangan hakim PN Bandung
dalam memutus perkara tersebut didasarkan dari fakta-fakta yang terungkap
dalam persidangan baik itu keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, barang
bukti dan petunjuk-petunjuk lain. Selain itu, hakim juga berpedoman kepada
aturan pemberian hukuman pidana, ditambah dengan keyakinan hakim yang
didasari oleh pertimbangan rasa keadilan yang tumbuh di dalam diri seorang
hakim. Kedua, menurut hukum pidana Islam bahwa hukuman yang pantas
diberikan kepada pelaku tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng
adalah hukuman ta’zi>r yang berupa hukuman penjara dan merampas harta oleh
negara untuk dimusnahkan yaitu menghancurkannya (al-itla>f) merupakan
Penghancuran terhadap barang-barang dan perbuatan/sifat yang mungkar, dan
diharapkan hukuman yang telah diberikan penguasa dalam hal ini majelis hakim

dapat memberikan efek jera terhadap pelakunya, agar pelaku tidak mengulangi
perbuatannya lagi.
Berdasarkan kesimpulan di atas diharapkan masyarakat bisa lebih
mengetahui dan memahami perbedaan daging sapi dengan daging oplosan, agar
terhindar dari tipuan penjual yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Adapun
kurangnya pengetahuan masyarakat akan perbedaan daging sapi dengan daging
oplosan, perlu untuk di sosialisasikan. Penerapan hukuman dalam UU No. 08
tahun 1999 pasal 62 ayat (1) tentang perlindungan konsumen harus lebih
diperbaiki lagi, agar pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan UU
tersebut bisa semakin berkurang dan tidak terjadi lagi.

v

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana dewasa ini semakin marak terjadi di Indonesia. Hal
tersebut berkaitan erat dengan berbagai aspek, khususnya pada aspek
ekonomi. Salah satu penyebab maraknya tindak pidana yang terjadi karena

kebutuhan ekonomi yang harus terpenuhi secara mendesak, sedangkan
lapangan pekerjaan yang tersedia tidak dapat memenuhi semua masyarakat
Indonesia untuk bekerja dan memperoleh penghasilan yang tetap.
Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 telah secara jelas menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara
yang berdasarkan hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (machtstaat). Hukum pada dasarnya adalah sesuatu yang abstrak
sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda-beda tentang defenisi hukum,
tergantung dari sudut mana mereka memandangnya.1 Menurut Achmad Ali,
hukum adalah:
Seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam suatu sistem yang
menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia sebagai
warga negara dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum tersebut
bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang
diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut,
serta benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat sebagai satu
keseluruhan dalam kehidupannya. Apabila kaidah tersebut dilanggar
akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk
menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.2
1

2

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), 11.
Ibid., 30.

1

2

Dari berbagai fokus pembahasan ilmu hukum, salah satu dari kajian ilmu
hukum yang sangat penting adalah kajian ilmu hukum pidana. Hukum pidana
adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1.

Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh di lakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

2.


Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang diancamkan.

3.

Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.3
Dilihat dalam garis-garis besarnya dengan berpijak pada kodifikasi

sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, hukum pidana
merupakan bagian dari hukum publik yang memuat atau berisi tentang
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :4
1.

Aturan umum hukum pidana dan yang berkaitan atau berhubungan
dengan larangan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai
dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar
larangan itu.

3
4

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 1.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 2.

3

2.

Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi atau harus ada bagi
pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan
pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.

3.

Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara
melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya: polisi, jaksa, hakim)
terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana
dalam

rangka

usaha

negara

menentukan,

menjatuhkan,

dan

melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upayaupaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka atau terdakwa
pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan
hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan
hukum pidana tersebut.
Hukum pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua disebut
hukum pidana materil yang sumber utamanya adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP). Sementara itu, hukum
pidana yang berisi mengenai aspek ketiga disebut hukum pidana formil yang
sumber pokoknya adalah Undang-Undang No. 8 Tahun1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP).
Hukum pidana dapat dibagi dan dibedakan atas berbagai dasar atau cara
berikut ini :5
1.

Hukum pidana berdasarkan materi yang diaturnya terdiri atas hukum
pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil adalah

5

Ibid., 8.

4

kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana,
menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum,
menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman atas
pelanggaran pidana. Sementara itu, hukum pidana formil adalah
kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum
pidana materil terhadap pelanggaran.
2.

Atas dasar pada siapa berlakunya hukum pidana, hukum pidana dapat
dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana khusus dengan
penjelasan bahwa hukum pidana umum adalah hukum pidana yang
ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan
tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu.
Sementara itu, hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang
dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subjek
hukum tertentu (Contoh : Buku II KUHP, pidana jabatan yang hanya
berlaku bagi pegawai negeri).6

3.

Atas dasar sumbernya, hukum pidana dapat dibedakan antara hukum
pidana umum dan hukum pidana khusus yang berbeda pengertian dengan
hukum pidana umum dan hukum pidana khusus di atas. Hukum pidana
umum dalam hal ini adalah semua ketentuan hukum pidana yang
terdapat atau bersumber pada kodifikasi7 sehinggadisebut dengan
hukum pidana kodifikasi. Sementara itu, hukum pidana khusus adalah

Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 18.
Kodifikasi adalah pembukuan hukum Undang-Undang dalam bidang tertentu dengan sistem
secara lengkap oleh suatu Negara.
6

7

5

hukum pidana yang bersumberpada peraturan perundang-undangan di
luar kodifikasi.
4.

Atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana dapat dibedakan
antara hukum pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana
umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintahan negara
pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat
melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara.
Sementara itu, hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat
oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang
melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam
wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut.

5.

Atas dasar bentuk atau wadahnya, hukum pidana dapat dibedakan
menjadi hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis. Hukum
pidana tertulis meliputi KUHP dan KUHAP yang merupakan kodifikasi
hukum pidana materil dan hukum pidana formil, termasuk hukum pidana
tertulis yang bersifat khusus dan hukum pidana yang statusnya lebih
rendah dari perundang-undangan pidana daerah (lokal). Hukum pidana
adat tidak tertulis adalah sebagian besar hukum adat pidana yang
berdasarkan Pasal 5 (3) Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951.8
Salah satu tindak pidana yang marak terjadi dewasa ini adalah tindak

pidana pengoplosan daging sapi dan celeng. Hal ini disebabkan karena tindak
pidana tersebut tidaklah sulit dalam melakukannya, hanya dengan
8

Ibid., 22.

6

bermodalkan kemampuan seseorang dalam mengoplos atau mencampurkan
daging sapi dan celeng sehingga tidak mudah diketahui oleh orang lain serta
meyakinkan orang lain melalui serangkaian kata-kata bohong atau fiktif,
bahwa daging yang dijualnya adalah daging sapi sehingga orang lain percaya
bahwa daging tersebut adalah halal serta baik untuk dikonsumsi.
Fenomena praktik perbuatan hukum berupa pengoplosan daging sapi dan
celeng serta jual beli yang tidak sesuai dengan kaidah hukum merupakan
suatu bentuk pidana berupa penipuan dan atau penipuan yang terorganisir,
yang melibatkan beberapa pihak untuk melakukan perbuatan tersebut, yaitu
pihak penyedia daging celeng yang

bekerjasama dengan pihak yang

mengoplos daging, pihak yang menampung daging dan pihak yang
memasarkan daging tersebut. Umumnya, para pihak pelaku melakukan
tindak pidana tersebut demi meraup keuntungan yang banyak.
Adapun contoh kasus terkait dengan tindak pidana pengoplosan daging
sapi dan celeng sebagaimana yang hendak Penulis teliti adalah terjadinya
tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng di lingkup masyarakat
kota Bandung. Tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dalam kasus ini
adalah tindak pidana mengoplos daging sapi dan celeng dengan modus
menawarkan daging tersebut kepada masyarakat dengan pernyataan daging
sapi. Awalnya pelaku membuka usaha penjualan daging sapi mentah dan
daging sapi olahan berupa bakso kepada masyarakat, akan tetapi mereka
mengoplosnya dengan daging celeng supaya mendapat untung yang lebih,
mereka membeli daging celeng dengan harga Rp. 37.000 per kg, kemudian

7

menjualnya kembali setelah di oplos dengan daging sapi seharga Rp. 22.000
sampai dengan Rp. 30.000 per ½ kg, dan untuk setiap plastik berisi 5 buah
bakso dijual dengan harga Rp. 4.000 dimana setiap menjual daging mentah
dan bakso tersebut mereka mengatakan kepada pembeli atau konsumen
daging sapi dan bakso yang dijualnya tersebut adalah daging sapi sehingga
masyarakat yang membeli menjadi percaya.
Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen sudah mengatur tentang hak dan kewajiban masing- masing
konsumen dan pelaku usaha. Pada pasal 4 butir a, tercantum bahwa
konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pelanggan juga berhak atas informasi
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa (butir c).9 Sementara itu, pasal 7 menuliskan kewajiban pelaku usaha, di
antaranya beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya (butir a) serta
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa (butir b).10
Pengoplosan daging melanggar pasal 8 ayat 1 butir h yang berbunyi:
"Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana penyataan “halal” yang dicantumkan dalam label".11

9

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4.
Ibid., Pasal 7.
11
Ibid., Pasal 8 (h).
10

8

Ketentuan ini merupakan upaya untuk mencegah munculnya berbagai
tindakan yang merugikan konsumen karena faktor ketidak tahuan,
kedudukan yang tidak seimbang dan sebagainya yang mungkin dapat
dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan dengan jalan
melanggar hukum.12
Berdasarkan pengamatan penulis, kasus ini terjadi di berbagai wilayah di
Indoseia, seperti yang belum lama terjadi di Surabaya yaitu kasus
mencampur atau mengoplos daging sapi dan celeng yang kemudian di
edarkan dengan berlabel daging sapi impor.13 Kemudian di kabupaten
Bojonegoro Dinas Peternakan dan Perikanan juga menemukan peredaran
daging sapi yang dioplos dengan daging celeng di pasar Taji kecamatan
Tambak Rejo yang diketahui melalui sampel yang telah diuji di laboratorium
Wates Yogyakarta, yang telah beredar di beberapa kecamatan diantaranya
Ngraho, Tambakrejo, dan Margomulyo.14
Fenomena ini lantas menjadi lazim dan menjadi hal yang tampak
penting untuk diperhatikan. Padahal menurut pasal 62 ayat (1) UndangUndang Perlindungan Konsumen, perbuatan tersebut dapat di ancam dengan

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2010),27.
13
Endan Suhendra, (2 Penjual Daging Celeng Ditetapkan Jadi Tersangka),
http://m.galamedianews.com/nasional/29232/2-penjual-daging-celeng-ditetapkan-jaditersangka.html, diakses pada tanggal 27 Juni 2015.
14
Sujatmiko, (Daging Sapi Mahal, Daging Celeng Dijual Rp 80 Ribu per Kilogram),
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/24/058694570/daging-sapi-mahal-daging-celengdijual-rp-80-ribu-per-kilogram, diakses pada tanggal 24 Agustus 2015.
12

9

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).15
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat
dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:16
a. Perampasan barang tertentu;
b. Pengumuman keputusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen;
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. Pencabutan izin usaha.
Secara normatif, setiap pelanggaran yang dilakukan produsen, maka
kepadanya dikenakan sanksi-sanksi hukum, baik sanksi administratif
maupun sanksi pidana sebagaimana ketentuan di atas. Perbuatan yang
bertentangan dengan tujuan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat,
seperti pengoplosan daging sapi dan celeng dapat dikategorikan sebagai
perbuatan pidana.17
Hukum pidana Indonesia memandang, bahwa pengoplosan daging sapi
dan celeng merupakan perbuatan yang dapat dipidana karena telah
terpenuhinya unsur-unsur perbuatan pidana. Pertama, unsur subyektif, yakni
unsur yang berasal dari dalam diri pelaku yang meliputi perbuatan disengaja
(dolus) atau karena kelalaian (culpa). Kedua, unsur objektif, yakni unsur
yang berasal dari luar diri perilaku yang terdiri atas perbuatan manusia,

15

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999…, Pasal 62 ayat (1).
Ibid., Pasal 63.
17
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di ndonesia…, 94.
16

10

akibat perbuatan manusia, kadaan-keadaan, adanya sifat melawan hukum,
dan adanya sifat dapat dihukum.18
Bila ada perbuatan pidana yang melanggar ketentuan dalam UndangUndang dan terpenuhi unsur-unsurnya, maka sanksi akan segera menanti.
Sanksi merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada
keadaan semula manakala terjadi pelanggaran sekaligus sebagai alat
preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan
yang sama.19 Selain itu, adanya sanksi dalam Undang-Undang perlindungan
konsumen tersebut bermaksud untuk mengarakan pelaku usaha untuk
berperilaku taat hukum dalam rangka mensukseskan pembangunan ekonomi
nasional.
Sementara itu, tindak pidana dalam hukum pidana Islam dikenal dengan
istilah jari>mah, yakni perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang
diancam dengan hukuman had atau ta’zi>r. Bagaimana hukum pidana di
Indonesia, hukum pidana Islam memandang bahwa suatu perbuatan baru
dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi.
Unsur umum berlaku untuk semua jari>mah, sedangkan unsur khusus hanya
berlaku untuk masing-masing jari>mah dan berbeda antara jari>mah yang satu
dengan yang lainnya.20

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana…, 71.
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di ndonesia…, 94.
20
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2005),27-28.
18

19

11

Djazuli mengemukakan, bahwa unsur-unsur umum untuk jari>mah itu ada
tiga macam, yaitu:21
1.

Unsur formal (al-rukn al-syar’i), yaitu adanya nas yang melarang
perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas
perbuatan-perbuatan tersebut.

2.

Unsur material (al- rukn al-madi), yaitu adanya unsur perbuatan yang
membentuk jarimah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang
atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.

3.

Unsur moral (al-rukn al-adabi), yaitu pelaku pidana adalah orang yang
dapat menerima kitab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku
pidana tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas pidana
yang mereka lakukan.
Tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng tersebut belum diatur

dalam hukum pidana Islam. Oleh karena itu, tindak pidana tersebut termasuk
dalam jari>mah ta’zi>r karena tidak ditentukan didalam Alquran ataupun
assunnah, sehingga penjatuhan hukuman jari>mah adalah wewenang ul al-

amri (penguasa) berdasarkan dengan kemaslahatan umat.
Hukuman ta’zi>r dimaksudkan untuk mencegah kerusakan dan menolak
timbulnya bahaya. Apabila tujuan diadakannya ta’zi>r itu demikian maka
jelas sekali hal itu ada dalam Alquran dan assunnah, karena setiap perbuatan
yang merusak dan merugikan orang lain hukumnya tetap dilarang.22

A Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Pidana Dalam Islam), (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), 3.
22
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, 11.
21

12

Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Alquran surat al Qashash
ayat 77:

            

              
 

Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.23
Firman Allah SWT dalam Alquran surat Albaqarah ayat 60:

     …..
Artinya :…”Dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan
berbuat kerusakan”.24
Peranan ul al-amri dalam menghukum pelaku jari>mah ta’zi>r sangatlah
penting. Tingkat pidana jelas akan meningkat bila tidak ada alat yang
menjerakannya yang dijalankan oleh para pengelola urusan masyarakat.25
Sebaliknya jika ul-alamri bersikap tegas dengan membuat berbagai peraturan
perundang-undangan terhadap perilaku yang dilarang berdasarkan situasi dan
kondisi wilayah yang dipimpinnya, niscaya kemaslahatan akan terjamin.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: Syaamil Quran, 2009), 386.
Ibid., 9.
25
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam – terjemah oleh Wadi Masturi dan
Hasri Iba Asghary, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 3.
23

24

13

Tidak lain dan bukan, tujuan umum dari adanya hukum adalah
mewujudkan kemaslahatan bagi kebutuhan-kebutuhan manusia. Pertama,
kebutuhan primer, yakni kebutuhan akan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan
harta benda. Kedua, kebutuhan sekunder, yakni hilangnya kesulitan dari
manusia, ringannya beban yang manusia pikul, dan mudahnya manusia
dalam kegiatan muamalah dan ibadah. Ketiga, kebutuhan pelengkap, yakni
segala sesuatu yang dapat memperindah keadaan manusia, dapat menjadi
sesuatu yang sesuai dengan tuntutan harga diri, dan kemuliaan akhlak.26
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang timbul adalah semakin
maraknya praktik pengoplosan, khususnya pengoplosan daging sapi dan
celeng disekitar masyarakat yang menjadi momok bagi masyarakat dalam
mengkonsumsi daging yang beredar di pasar. Karena belum adanya UndangUndang yang mengatur kasus pengoplosan daging secara spesifik, sehingga
masih banyak pelaku-pelaku yang masih melakukan praktik pengoplosan
tersebut. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis
lebih lanjut mengenai “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg Tentang
Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi Dan Celeng”.

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah Hukum Islam – terjemah oleh Faiz el-Muttaqin, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2003), 291-299.
26

14

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah
diatas, penulis mengidentifikasi beberapa masalah yang timbul sebagai
berikut:
1.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana
pengoplosan daging sapi dan celeng.

2.

Unsur-unsur tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng.

3.

Penyertaan dalam tindak pidana menurut hukum pidana Islam

4.

Putusan hakim terhadap tindak pidana pengoplosan daging sapi dan
celeng di pengadilang negeri Bandung.

5.

Pengoplosan daging sapi dan celeng yang dilarang oleh pasal 8 butir (h)
Undang-Undang

Nomor

8

Tahun

1999

Tentang

Perlindungan

Konsumen.
6.

Sanksi tindak pidana Pengoplosan daging sapi dan celeng menurut pasal
62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.

7.

Tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan hakim tentang tindak
pidana pengoplosan daging sapi dan celeng di Pengadilan Negeri
Bandung.

15

C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan juga bertujuan agar permasalahan
ini dapat dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan karya tulis
ilmiah ini dengan batasan:
1.

Putusan hakim terhadap praktik tindak pidana pengoplosan daging sapi
dan celeng di Pengadilan Negeri Bandung.

2.

Tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri
Bandung nomor :706/Pid/B/2015/PN.Bdg. tentang praktik tindak pidana
pengoplosan daging sapi dan celeng.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pokok masalah diatas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.

Bagaimana putusan hakim Pengadilan Negeri Bandung nomor
:706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang praktik tindak pidana pengoplosan
daging sapi dan celeng?

2.

Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan hakim
Pengadilan Negeri Bandung nomor :706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang
praktik tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng?

16

E. Kajian Pustaka
Penelitian yang terkait dengan skripsi ini adalah pelanggaran terhadap
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
diantaranya telah di teliti oleh:
Mohammad Nadzir, pada tahun 2003, Jurusan Siyasah Jinayah, dengan
judul “Pelanggaran Terhadap Hukum Perlindungan Konsumen Menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Hukum Islam (Studi
Perbandingan).” Dalam defenisi operasionalnya, obyek dalam penelitian
tersebut adalahh perlindungan konsumen yang berhubungan dengan produk
yang dapat dikonsumsi.27 Metodologi yang digunakan pada penelitian
tersebut adalah library research dengan metode analisis deskriptif.28 Dari
penelitian tersebut didapatkan suatu kesimpulan bahwa fungsi utama
Undang-Undang perlindungan konsumen dan hukum Islam adalah samasama mengangkat harkat dan martabat kehidupan konsumen dengan cara
menetapkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.29
Dengan demikian, penelitian ini bukan merupakan pengulangan dari
penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini menitikberatkan kajiannya
pada analisis putusan tindak pidana dan sanksi pengoplosan daging sapi dan
celeng menurut hukum pidana Islam. Oleh karena hal tersebut, menjadi
alasan yang cukup kuat bagi penulis bahwa “Tinjauan Hukum Pidana Islam
Terhadap

Putusan

Pengadilan

Negeri

Bandung

Nomor

Mohammad Nadzir, Pelanggaran Terhadap Hukum Perlindungan Konsumen Menurut UndangUndang Nomor 8 tahun 1999 dan Hukum Islam (Studi Perbandingan), skripsi, 10.
27

28
29

Ibid., 15.
Ibid., 81-82.

:

17

706/Pid/B/2015/PN.Bdg Tentang Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi
Dan Celeng” perlu analisis lebih lanjut.

F. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka secara garis besar tujuan
yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:
1.

Untuk mengetahui putusan hakim Pengadilan Negeri Bandung nomor
:706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang praktik tindak pidana pengoplosan
daging sapi dan celeng.

2.

Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan hakim
Pengadilan Negeri Bandung nomor :706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang
praktik tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng.

G. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat mempunyai nilai kegunaan
baik dari segi teoritis maupun praktis sebagai berikut:
1.

Dari segi teoritis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan disiplin ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana
Islam pada khususnya tentang tindak pidana pengoplosan. Lebih lanjut,
penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelitian-penelitian
selanjutnya.

2.

Aspek praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan
penyuluhan serta penyumbangan pemikiran baik secara komunikatif,

18

informatif, maupun edukatif khususnya bagi masyarakat yang aam akan
penegakan hukum yang ada di Indonesia. Selain itu, agar dapat
menyadarkan masyarakat bahwa makna hakikat hukum dapat menjadi
sumber keadilan, kedamaian, kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah,
sebagai tujuan akhir hukum itu sendiri.

H. Definisi Operasional
Untuk memperjelas dan menghindari terjadinya kesalah pahaman dalam
menafsirkan kata-kata yang ada dalam pembahasan penulisan skripsi, maka
penulis memandang perlu untuk memberikan penjelasan dalam memahami
judul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Nomor :
706/Pid/B/2015/PN.Bdg Tentang Tindak Pidana Pengoplosan Daging Sapi
Dan Celeng”.” maka perlu dijelaskan beberapa istilah atau kata-kata di
dalam judul tersebut:
1.

Hukum Pidana Islam : Hukum yang bersumber dari Alquran, hadis, dan
pendapat para

fuqaha’ yang menghimpun rangkaian pendapat dari

imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam Maliki dan Imam Hambali yang
berkaitan dengan masalah-masalah pidana, khususnya tentang jari>mah

ta’zi>r dan penegakan hukumnya.
2.

Pengoplosan : berasal dari bahasa Belanda yaitu "oplossen" yang berarti
"larut".

30

Di Indonesia istilah oplos sering dikonotasikan sebagai usaha

mencampur dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa
Susi Moeimam, Hein Steinhauer, Kamus Belanda-Indonesi. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2005), 23.
30

19

mengindahkan kualitas. Mencampur adalah memadupadankan satu enda
dengan satu atau beberapa benda lainnya kemudia diolah dan diproses
menjadi benda dengan nama yang lain.31
3.

Daging celeng : Daging babi hutan32 yang memiliki rasa yang hampir
mirip dengan daging sapi, dikarenakan celeng tidak diternak, dan
diperoleh dengan cara diburu di pedalaman hutan.
Jadi maksud dari judul ini ialah untuk meneliti putusan pengadilan

negeri Bandung terhadap pelaku tindak pidana pengoplosan daging sapi dan
celeng dan juga meninjau tindak pidana tersebut dari sudut pandang hukum
pidana Islam.

I.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan hasil dari library research (penelitian
kepustakaan). Kemudian, penulis menggunakan literatur untuk melakukan
analisis. Dalam metode penelitian ini akan dikemukakan tentang :
1.

Data Yang Dikumpulkan
a. Data

putusan

pengadilan

negeri

Bandung

nomor

:

706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang tindak pidana pengoplosan daging
sapi dan celeng.
b. Data mengenai aturan dan sanksi tindak pidana pengoplosan daging
sapi dan celeng menurut pasal 8 butir (h) jo. pasal 62 ayat (1)
31

Goentoer Albertus, (Mencampur), http: // albertusgoentoer, blogspot.com/2009/04/mencampur.
Diakses pada tanggal 24 April 2009.
32
Wikipedia bahasa Indonesia, (Celeng), https://id.wikipedia.org/wiki/Celeng. diakses pada
tanggal 9 Jui 2012.

20

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
2.

Sumber Data
a. Sumber Primer
Sumber data primer putusan nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg
tentang tindak pidana pengoplosan daging sapi dan celeng. Di mana
data diperoleh dari pihak yang menangani perkara tersebut yakni
hakim dan juga panitera di Pengadilan Negeri Bandung atau melalui
website resmi Mahkamah Agung.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah buku-buku yang erat kaitannya dengan
judul penelitian ini, diantaranya ialah :
1) Wiryono Prodjodikoro,

Tindak-tindak Pidana Tertentu Di

Indonesia, Bandung: PT. Eresco , 2002
2) Andi Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
3) PAF Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung
: PT. Cipta Aditya Bakti, 1997.
4) Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta,
2008.
5) Sumber data tersier (penunjang), yaitu bahan yang menunjang
dengan pembahasan skripsi, misalnya media cetak dan internet.
3.

Teknik Pengumpulan Data

21

Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data terkait dengan
penelitian ini adalah teknik dokumenter, yaitu penelitian data-data yang
diperoleh dari dokumen atau arsip hukum, berupa Putusan Pengadilan
Negeri Bandung yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang
dipilih oleh penulis. Untuk mendukung data-data di atas penulis
menggunakan penelitian kepustakaan yaitu mencari data-data dengan
melakukan penelusuran kepustakaan dan menelaahnya.
4.

Teknik Analisis Data
Teknik penulisan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik deskriptif analisis dengan kerangka pikir deduktif, yaitu
merupakan teori-teori yang bersifat umum kemudian dihubungkan
dengan fakta-fakta tentang pengoplosan daging sapi dan celeng,
selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Teknik deskriptif
analisis

digunakan

untuk

menguraikan

masalah

tindak

pidana

pengoploan daging sapi dan celeng dan relevansinya dengan Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

J.

Sistematika Pembahasan
Bertujuan untuk memudakan masalah-masalah dalam studi ini dan dapat
dipahami permasalahannya secara sistematis dan lebih terarah, maka
pembahasannya

dibentuk

dalam

bab-bab

yang

masing-masing

mengandung sub bab, sehingga tergambar keterkaitan yang sistematis.

bab

22

Bab pertama, merupakan gambaran yang memuat pola dasar penulisan
skripsi ini, yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,
kegunaan hasil penelitian, defenisi operasional, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua, merupakan kajian teoritis tentang pengoplosan daging sapi
dan celeng menurut hukum pidana Islam yang meliputi: Dasar hukum
Pengoplosan daging sapi dan celeng, sanksi hukum tindak pidana
pengoplosan daging sapi dan celeng, pengertian dan macam-macam Bentuk
Hukuman Ta’zir.
Bab ketiga, memuat deskripsi data yang berkenaan dengan putusan
pengadilan negeri Bandung Nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang tindak
pidana pengoplosan daging sapi dan celeng.
Bab keempat, merupakan tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan
pengadilan negeri Bandung Nomor : 706/Pid/B/2015/PN.Bdg tentang tindak
pidana pengoplosan daging sapi dan celeng.
Bab kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam
1.

Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam adalah segala ketentuan hukum mengenai
tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang
mukallaf sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang
terperinci dari al quran dan hadits.1 Tindak kriminal dimaksud adalah
tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta
tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari
al quran dan hadits.
Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Syariat Islam dimaksud secara materi mengandung kewajiban asasi bagi
setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat
yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada
pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya
pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah
dimaksud harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.

1

Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Lembaga Study Islam dan
Kemasyarakatan, 1992), 86.

23

24

2.

Macam-macam Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam
Ditinjau dari aspek bobot hukumannya jari>mah dibagi menjadi 3
macam.
a) jari>mah Hudu>d

jari>mah Hudu>d adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
had. Hukuman had sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah:“Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh
syara’ dan merupakan hak Allah”.2 jari>mah Hudu>d ini ada tujuh
macam yaitu: jari>mah zina, jari>mah menuduh zina, jari>mah Syurbul

Khamr,\ jari>mah pencurian, jari>mah hirabah, jari>mah riddah, jari>mah
pemberontakan.
b) jari>mah Qis}as} dan Diyat
Adalah jari>mah yang diancam dengan hukuman qishas dan diat
(ganti rugi dari si pelaku kepada si korban atau walinya). Baik qis}as}
maupun diyat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan
syara’ dan merupakan hak individu.
c) jari>mah ta’zi>r
Adalah jarimah yang hukumannya bersifat mendidik atas
perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman
yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Penjabaran lebih lanjut
tentang jari>mah ta’zi>r akan dijabarkan di sub bab berikutnya.

2

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 10.

25

Tindak pidana atau kejahatan dalam masyarakat merupakan
suatu perbuatan yang merugikan baik secara individu maupun
masyarakat. Sejak zaman awal pemerintahan Islam hal tersebut
sudah diperhatikan oleh nabi Muhammad SAW, hal ini dapat dilihat
bahwa rasulullah di samping memperhatikan akhlak yang mulia,
nabi juga memperhatikan pelembagaan penegakan dan pelestarian
dengan memerintahkan setiap orang untuk melaksanakan amar

ma’ru>f nahi> munkar.
Dalam sejumlah hadis nabi diriwayatkan selalu menekankan
peran ini bagi setiap muslim. Beliau sendiri, seringkali melakukan

inspeksi pasar untuk meninjau apakah para pedagang melakukan
kecurangan atau tidak, setiap kali beliau menemukan orang yang
melakukan kecurangan, beliau pasti melarangnya. Tugas ini beliau
emban baik dalam kapasitasnya sebagai nabi maupun sebagai kepala
negara. Dalam hal ini nabi disebut sebagai al-Muh}tasi>b pertama
dalam sejarah Islam. Selanjutnya, ketika tugas-tugas pribadi beliau
semakin bertambah, beliau menunjuk sahabat Sa’ad ibn al-‘Ash ibn
Umayyah sebagai al-Muh}tasi>b di Makkah dan Umar Bin Khattab di
Madinah.3 Tindakan rasulullah dalam mendelegasikan tugas al-

H}isbah kepada para sahabat dianggap oleh ulama’ fiqh sebagai cikal
bakal wilayah al-H}isbah.

3

Muhamaad, Ekonomi Islam, cet.1 (Malang, t.tp., 2009), 42.

26

Tindak pidana pengoplosan pernah dijumpai oleh Umar Bin
Khattab namun pengoplosan tersebut merupakan pengoplosan susu
dengan air, yang dilakukan oleh seorang Ibu dengan tujuan
mendapatkan keuntungan yang lebih. Dalam memberi hukuman
kasus jari>mah

tersebut

merupakan kewenangan ul al-amri

(penguasa) karena belum ditentukan didalam alquran ataupun
assunnah.

B. Tindak pidana Ta’zi>r
1.

Pengertian Jari>mah Ta’zi>r

Ta’zi>r menurut bahasa berasal dari kata ‘azzara yang mempunyai
persamaan kata dengan mana’awaradda yang artinya mencegah dan
menolak; addaba yang artinya mendidik; az}z}ama wawaqqara yang
artinya mengagungkan dan menghormati.4
Dari keempat pengertian di atas, yang lebih relevan adalah
pengertian addaba (mendidik) dan mana’a waradda (mencegah dan
menolak)5 karena ta’zi>r juga berarti hukuman yang berupa memberi
pelajaran. Disebut dengan ta’zi>r karena hukuman tersebut sebenarnya
untuk mencegah dan menghalangi orang yang berbuat jari>mah tersebut
untuk tidak mengulangi kejahatannya lagi dan memberikan efek jera.6

4

Ibid., 248.
Ibid.
6
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 1997), 165.
5

27

Kata ta’zi>r lebih populer digunakan untuk menunjukkan arti
memberi pelajaran dan sanksi hukuman selain hukuman had. Sedangkan
menurut syara’, ta’zi>r adalah hukuman yang diberlakukan terhadap
suatu bentuk kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan
hukuman had dan tidak pula kafarat, baik itu kejahatan terhadap hak
Allah, seperti makan pada siang hari pada bulan Ramadan. Maupun
kejahatan adami, seperti mencuri dengan jumlah curian yang belum
mencapai nisab pencurian, pencurian tanpa mengandung unsur al-Hirzu
(harta yang dicuri tidak pada tempat penyimpanan yang semestinya),
korupsi, pencemaran dan tuduhan selain zina dan sebagainya.7

2.

Unsur-Unsur Jari>mah Ta’zi>r
Suatu perbuatan dianggap jari>mah apabila unsur-unsurnya telah
terpenuhi. Unsur-unsur ini dibagi menjadi dua, yaitu unsur umum dan
unsur khusus. Unsur umum adalah unsur yang dianggap sebagai tindak
pidana berlaku pada semua jari>mah , sedangkan unsur khusus hanya
berlaku untuk masing-masing jari>mah dan berbeda antara jari>mah yang
satu dengan yang lain.8

7
Wahbahaz-Zuhaili, Fiqih Islam, (Abdul Hayyieal-Kattani, dkk), jilid 7, (Jakarta: Gema Insani,
2007), 523.
8
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam:Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), 27.

28

Djazuli mengemukakan, bahwa unsur-unsur umum untuk jari>mah itu
ada tiga macam, yaitu:9
a) Unsur formal (al-rukn al-syar’i), yaitu adanya nas yang melarang
perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas
perbuatan-perbuatan tersebut.
b) Unsur material (al- rukn al-madi), yaitu adanya unsur perbuatan
yang membentuk jari>mah , baik berupa melakukan perbuatan yang
dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.
c) Unsur moral (al-rukn al-adabi), yaitu pelaku pidana adalah orang
yang dapat menerima kitab atau dapat memahami taklif, artinya
pelaku pidana tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut
atas pidana yang mereka lakukan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tindak pidana
yang tidak ditentukan sanksinya oleh Alquran maupun Hadis disebut
sebagai jari>mah ta’zi>r . Contohnya tidak melaksanakan amanah,
menggelapkan harta, menghina orang, menghina agama, menjadi saksi
palsu, dan suap.10
Adapun syarat supaya hukuman ta’zi>r bisa dijatuhkan adalah hanya
syarat berakal saja. Oleh karena itu, hukuman ta’zi>r bisa dijatuhkan
kepada setiap orang yang berakal yang melakukan suatu kejahatan yang
tidak memiliki ancaman hukuman had, baik laki-laki maupun
A Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Pidana Dalam Islam), (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), 3.
10
Ibid., 163
9

29

perempuan, muslim maupun kafir, balig atau anak kecil yang sudah
berakal (mumayyiz). Karena mereka semua selain anak kecil adalah
termasuk orang yang sudah memiliki kelayakan dan kepatutan untuk
dikenai hukuman. Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, maka ia di

ta’zi>r , namun bukan sebagai bentuk hukuman, akan tetapi sebagai
bentuk mendidik dan memberi pelajaran.11
Sedangkan ruang lingkup dalam ta’zi>r yaitu sebagai berikut:12
a) Jari>mah hudud atau qis}as} diyat yang terdapat syubhat dialihkan ke
sanksi ta’zi>r .
b) Jari>mah hudud atau qis}as} diyat yang tidak memenuhi syarat akan
dijatuhi sanksi ta’zi>r . Contohnya percobaan pencurian, percobaan
pembunuhan dan percobaan zina.
c) Jari>mah yang ditentukan Alquran dan Hadis, namun tidak
ditentukan sanksinya. Misalnya penghinaan, tidak melaksanakan

amanah, saksi palsu, riba, suap, dan pembalakan liar.
d) Jari>mah yang ditentukan ul al-amri untuk kemaslahatan umat,
seperti

penipuan,

pencopetan,

pornografi

dan

pornoaksi,

penyelundupan, pembajakan, human trafficking, dan sebagainya.

3.

Macam-Macam Jari>mah Ta’zi>r
Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dilihat dari hak
yang dilanggar dalam jari>mah ta’zi>r ada dua bagian, yaitu jari>mah ta’zi>r

11
12

Wahbahaz-Zuhaili, Fiqih Islam..., 531.
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), 143.

30

yang menyinggung hak Allah dan jari>mah ta’zi>r yang menyinggung hak
individu (adami).
Yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak Allah
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.
Seperti membuat kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian,
perzinaan, pemberontakan dan tidak taat kepada ul al-amri . Sedangkan
yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak individu
adalah segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi seorang
manusia, seperti tidak membayar utang dan penghinaan.13
Akan tetapi, ada ulama yang membagi kedua jari>mah ini menjadi
dua bagian lagi, yakni jari>mah yang berkaitan dengan campur antara
hak Allah dan hak individu di mana yang dominan adalah hak Allah,
seperti menuduh zina.Dancampur antara hak Allah dan hak individu di
mana yang dominan adalah hak individu, seperti jari>mah pelukaan.14
Jika dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zi>r juga dapat
dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:15
a) Jari>mah ta’zi>r yang berasal dari jari>mah -jari>mah hudud atau qis}as},
tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti
pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 166.
Ibid.
15
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 255.
13

14

31

b) Jari>mah ta’zi>r

yang jenisnya disebutkan dalam nas} syara’tetapi

hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap, mengurangi
takaran dan timbangan.
c) Jari>mah ta’zi>r yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan
oleh syara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ul al-

amri , seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.
Adapun Abdul Aziz Amir membagi jari>mah ta’zi>r secara rinci kepada
beberapa bagian, yaitu:
a) Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan pembunuhan
Dalam jari>mah

pembunuhan itu diancam dengan hukuman

mati, dan bila qis}as}nyadimaafkan maka hukumannya adalah

diyatdan bila qis}as} dan diyatnya dimaafkan maka ul al-amri berhak
menjatuhkan ta’zi>r bila hal itu dipandang lebih maslahat.16
b) Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan pelukaan
Menurut Imam Malik, hukuman ta’zi>r dapat digabungkan
dengan qis}as} dalam jari>mah pelukaan, karena qis}as} merupakan hak

adami (individu), sedangkan ta’zi>r

sebagai imbalan atas hak

masyarakat. Di samping itu ta’zi>r juga dapat dikenakan terhadap

jari>mah pelukaan apabilaqis}as{nyadimaafkan atau tidak bisa
dilaksanakan karena suatu sebab yang dibenarkan oleh syara’.17
c) Jari>mah ta’zi>r

yang berkaitan dengan kejahatan terhadap

kehormatan dan kerusakan akhlak.
16
17

Ibid., 256.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 256.

32

Berkenaan dengan jari>mah ini yang terpenting adalah zina,
menuduh zina dan menghina orang. Di antara kasus perzinaan yang
diancam dengan ta’zi>r adalah perzinaan yang tidak memenuhi syarat
untuk dapat dijatuhi hukuman had, atau terdapat syubhat dalam
pelakunya, perbuatannya atau tempatnya atau menzinai orang yang
telah meninggal

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag Van Rechtsvervolging) Terhadap Tindak Pidana Penggelapan (Studi Kasus Putusan Nomor: 171/ Pid. B/ 2011/ Pn. Smi)

8 132 131

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan Dalam Menggandakan Rekening Bank (Studi Kasus : No.1945 / Pid.B / 2005 / PN-MDN)

2 61 120

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Persepektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Tentang Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan Yang Mengakibatkan Cacat Permanen

0 8 89

Tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan nomor 98/Pid.B/2013/PN.Lmg tentang tindak pidana pengeroyokan.

0 0 80

Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana penodaan agama : analisis putusan Pengadilan Negeri Gresik nomor 461/pid.b/2015/PN.Gsk.

0 0 91

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MAKASSAR NOMOR: 1459/PID/B/2013/PN.MKS TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG DI BAWAH UMUR.

0 0 94

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PUTUSAN NOMOR 244/PID.B/2014/PN.SBY DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA.

0 1 80