Efektivitas Konseling Kelompok dan Media Promosi Keshatan Video terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Perawatan Kaki Penderita Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Medan 2013

(1)

EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN

DAN SIKAP PERAWATAN KAKI PENDERITA DIABETES MELITUS DI KLINIK DIABETES PUSKESMAS SERING MEDAN 2013

TESIS

Oleh

HARYATI LUBIS 117032139/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE EFFECTIVENESS OF GROUP COUNSELING AND HEALTH PROMOTION OF VIDEO MEDIA ON INCREASING THE

KNOWLEDGE AND ATTITUDE IN FOOT CARE OF DIABETES MELLITUS PATIENTS AT DIABETES

CLINIC OF SERING PUSKESMAS, MEDAN, IN 2013

THESIS

By

HARYATI LUBIS 117032139/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEATH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN

DAN SIKAP PERAWATAN KAKI PENDERITA DIABETES MELITUS DI KLINIK DIABETES PUSKESMAS SERING MEDAN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HARYATI LUBIS 117032139/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN VIDEO TERHADAP PENINGKATAN

PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWATAN KAKI PENDERITA DIABETES MELITUS DI KLINIK DIABETES PUSKESMAS SERING MEDAN 2013

Nama Mahasiswa : Haryati Lubis Nomor Induk Mahasiswa : 117032139

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H) (Drs. Eddy Syahrial, M.S

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

pada Tanggal : 19 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. Drs. Eddy Syahrial, M.S

2. Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D 3. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN

DAN SIKAP PERAWATAN KAKI PENDERITA DIABETES MELITUS DI KLINIK DIABETES PUSKESMAS SERING MEDAN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

Haryati Lubis 117032139/IKM


(7)

ABSTRAK

Pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus tentang perawatan kakinya dapat memperkecil kemungkinan munculnya komplikasi kaki diabetes. Konseling yang dilakukan secara berkelompok dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes melitus melalui percakapan dan interaksi yang terjadi selama proses konseling. Media video merupakan media penyuluhan yang menarik dan merangsang lebih banyak indera. Tujuan penelitian ini adalah menilai apakah konseling kelompok atau media promosi kesehatan video yang lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi experimental design dengan jumlah sampel 60 orang, yang terdiri dari 30 orang mendapat perlakuan konseling kelompok dan 30 orang mendapatkan perlakuan penayangan video. Pengambilan sampel melalui purposive sampling dan pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dianalisis dengan paired t test untuk setiap perlakuan dan independent t test untuk menilai keefektivan masing-masing perlakuan. Penilaian terhadap pengetahuan dan sikap setelah masing-masing perlakuan memperlihatkan peningkatan yang bermakna setelah diuji dengan paired t test. Namun pada uji independent t test, konseling tidak menunjukkan penurunan nilai sikap yang bermakna pada saat segera setelah konseling dan seminggu setelah konseling. Hal ini yang menjadi dasar bagi peneliti merekomendasikan konseling secara berkelompok dalam pembelajaran bagi pasien diabetes melitus dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki.

Kata Kunci: Konseling Kelompok, Media Video, Pengetahuan, Sikap, Kaki Diabetes


(8)

ABSTRACT

The knowledge and attitude of diabetes mellitus patients about their foot care can decrease the possibility of the diabetic foot complication. A grouped counseling can help increase the knowledge and attitude about foot care of diabetes mellitus patients by conducting conversation and interaction during the process of counseling. Video is one of the counseling media which interests and stimulates the senses. The objective of the research was to know which one was more effective in increasing the knowledge and attitude in footcare of diabetes patients, whether health promotion through grouped counseling or through video media. The research used quasi experimental design. The samples consisted of 60 respondents: 30 of them were grouped in the counseling treatment and the other 30 respondents were grouped in the video display treatment. The samples were taken by purposive sampling technique. The data were gathered by using questionnaires which were analyzed by using paired t test for each treatment and independent t test for evaluating the effectiveness for each treatment. The evaluation of knowledge and attitude for each treatment indicated that there was significant increase after being tested by pair t test. On the other hand, the result of the independent t test indicated that counseling did not show any significant decrease in attitude, right after the counseling was done and a week after it was done. This result had caused the researcher to recommend that diabetes mellitus patients learn from a grouped counseling in order to improve their knowledge and attitude in foot care.

Keywords: Group Counseling, Video Media, Knowledge, Attitude, Diabetic Foot


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Efektivitas Konseling Kelompok dan Media Promosi Keshatan Video terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Perawatan Kaki Penderita Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Medan 2013”. Tesis ini diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Program S2 Ilmu Kesehatan masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Banyak pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan tesis ini, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga serta penghargaan kepada : 1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

4. Dr. dr. Wirsal Hasan,MPH selaku dosen pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.


(10)

5. Drs. Eddy Syahrial, M.S selaku dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini

6. Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan saran, bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini. 7. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku Dosen Penguji II yang telah banyak

memberikan saran, bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini.

8. Seluruh dosen minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, semoga ilmu pengetahuan yang diberikan menjadi amal ibadah dan mendapat rahmat dari Allah SWT.

9. Kepala Puskesmas Sering Medan yang telah bersedia memberikan izin penggunaan ruangan dan fasilitas lainnya selama proses penelitian,sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini

10.Temanku Syahdiana Sari yang sangat banyak membantu terlaksananya proses kegiatan penelitian ini.

11.Suamiku yang tercinta Ramadhani Banurea, S.Si, M.Si, Ayah, Bunda dan Ibu Mertua serta seluruh keluraga yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat untuk penyelesaian pendidikan ini

12.Seluruh rekan – rekan seperjuangan di S2 IKM peminatan PKIP Angkatan 2011 atas segala dukungan, motivasi dan kebersamaannya

13.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya dalam penyusunan tesis ini.


(11)

Peneliti menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala saran yang membangun senantiasa diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat dan semoga Allah SWT meridhai kita semua.

Medan, Oktober 2013 Penulis

Haryati Lubis 117032139/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Haryati Lubis, lahir di Pekanbaru pada tanggal 9 Maret 1977, beragama Islam, merupakan anak ke 1 dari 3 bersaudara dengan nama ayah H. M.Siddik Lubis dan Ibu Hj. Hartati Nasution. Telah menikah dengan Ramadhani Banurea,Ssi, Msi dan bertempat tinggal di Komplek Kejaksaan Medan.

Pendidikan formal diawali dari SD Negeri 001 Rumbai yang lulus pada tahun 1989, kemudian melanjutkan ke SMP Cendana Rumbai yang diselesaikan pada tahun 1992, setelah itu melanjutkan pendidikan ke SMA Cendana Rumbai dan lulus tahun 1995. Pada tahun yang sama kemudian penulis melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi yakni Fakultas Kedokteran USU dan selesai tahun 2002. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Strata 2 di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang berlangsung hingga saat ini.

Riwayat pekerjaan penulis diawali sebagai Dokter PTT di Pustu Desa Besar Martubung Medan pada tahun 2003-2008, kemudian Dokter Umum di Puskesmas Sering Medan dan Penanggung Jawab Klinik Diabetes Melitus di Puskesmas Sering sejak tahun 2008 sampai sekarang.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ASBTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... ... 1

1.2 Permasalahan... .... 10

1.3 Tujuan Penelitian... .... 11

1.4 Hipotesis... ... 11

1.5 Manfaat Penelitian... .... 11

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1Konseling... ... 12

2.1.1 Pengertian Konseling... .... 12

2.1.2 Tujuan dan Fungsi Konseling... ... 13

2.1.3 Konseling Kelompok... 16

2.1.3.1.Jenis Konseling Kelompok ... 17

2.1.3.2.Manfaat Konseling Kelompok ... 18

2.1.3.3. Pelaksanaan Konseling Kelompok ... 19

2.1.4 Prinsip Konseling... ... 20

2.1.5 Konselor... ... 22

2.2 Media Pembelajaran ... 25

2.2.1 Konsep Media... ... 25

2.2.2 Jenis-jenis Media Pembelajaran... ... 27

2.2.3 Fungsi Media... ... 29

2.2.4 Media Promosi Kesehatan... ... 29

2.2.5 Proses Pembelajaran... ... 30

2.2.6 Media Audiovisual... ... 32

2.3 Pengetahuan... 34

2.4 Sikap ... 35

2.5. Diabetes Melitus... ... 36

2.5.1. Kaki Diabetes... ... 40

2.5.2. Perawatan Kaki Diabetes... ... 41

2.5.3. Senam Kaki Diabetes... ... 43


(14)

2.6. Landasan Teori... ... 44

2.7. Kerangka Konsep Penelitian... ... 45

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 46

3.1. Jenis Penelitian... .... 46

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... ... 48

3.3. Populasi dan Sampel... ... 48

3.1.1 Populasi... ... 48

3.1.2 Sampel... ... 48

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 49

3.4.1 Jenis Data... ... 49

3.4.2 Uji Validitas dan Reabilitas... ... 50

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional... .... 52

3.6 Metode Pengukuran ... 53

3.7 Metode Analisa Data... ... 55

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 57

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 57

4.1.1 Gambaran Umum Klinik Diabetes Puskesmas Sering... . 57

4.1.2 Sumber Daya Puskesmas Sering... 58

4.2. Analisis Univariat... 58

4.2.1 Gambaran Karakteristik Responden... 59

4.2.1.1 Gambaran Karakteristik Responden Menurut Umur.. 59

4.2.1.2 Gambaran Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin. ... 59

4.2.1.3 Gambaran Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan... 60

4.2.1.4 Gambaran Karakteristik Responden Menurut Lama Mendertita DM... 60

4.2.2 Gambaran Pengetahuan Sebelum Konseling Kelompok, Segera Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering.... 61

4.2.3 Gambaran Pengetahuan Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu Setelah Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 65

4.2.4 Gambaran Sikap Sebelum Konseling Kelompok, Segera Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering. 68 4.2.5 Gambaran Sikap Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu Setelah Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 77

4.3. Analisis Bivariat ... 86 4.3.1 Perbedaan Pengetahuan Sebelum Konseling Kelompok, Segera


(15)

Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling

Kelompok... 86

4.3.2 Perbedaan Pengetahuan Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu Setelah Penayangan Video ... 88

4.3.3 Perbedaan Sikap Sebelum Konseling Kelompok, Segera Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling Kelompok ... 90

4.34 Perbedaan Pengetahuan Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu Setelah Penayangan Video. ... 91

4.4. Hubungan Lama Menderita Diabetes dengan Ketertarikan terhadap Perlakuan ... 93

4.4.1 Hubungan Lama Menderita DM dengan Postes Pengetahuan Dan Sikap Konseling Kelompok ... 93

4.4.2 Hubungan Lama Menderita DM dengan Postes Pengetahuan Dan Sikap Video ... 94

4.5. Efektivitas Pengetahuan dan Sikap Responden Antara Kelompok Konseling dan Kelompok Video ... 95

4.4.1 Pengetahuan ... 95

4.4.2 Sikap ... 95

BAB 5. PEMBAHASAN ... 97

5.1. Hubungan Lama Menderita DM dengan Perlakuan... ... 97

5.2. Pengetahuan dan Sikap Responden Sebelum Konseling Kelompok Dan Video... 97

5.3. Pengetahuan dan Sikap Responden Setelah Konseling Kelompok Dan PenayanganVideo... 99

5.3.1 Pengetahuan... 99

5.3.2 Sikap... 101

5.4. Pengetahuan dan Sikap Responden Seminggu Setelah Konseling Kelompok dan Penayangan Video... 102

5.4.1 Pengetahuan... .... 102

5.4.2 Sikap... 104

5.5. Keterbatasan Penelitian... 105

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

6.1. Kesimpulan ... 107

6.2. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Perbedaan Motivasi, Penyuluhan dan Konseling... 13 2.2 Tipe Diabetes Melitus dan Penyebabnya ... 36 3.1 Hasil Uji Validitas dan Realibilitas Kuesioner Pengetahuan dan Sikap . 51 3.2 Variabel dan Defenisi Operasional ... 55 4.1 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Umur Pasien Diabetes

di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 59 4.2 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien

Diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 59 4.3 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pasien Diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 60 4.4 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Lama Pasien Menderita

Diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 60 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Sebelum

Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 61 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Segera

Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 62 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Seminggu

Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 63 4.8 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan

SebelumKonseling Kelompok , Segera Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes

Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 64 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Sebelum

Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 65


(17)

4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Segera

Setelah Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 66 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Seminggu

Setelah Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 67 4.12 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan

Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu SetelahPenayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas

Sering ahun 2013 ... 68 4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum Konseling

Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 69 4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Segera Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 71 4.15 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Seminggu Setelah

Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 73

4.16 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum Konseling Kelompok, Segera Setelah Konseling Kelompok dan

Seminggu Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 76 4.17 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum

PenayanganVideo di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 77 4.18 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Segera Setelah

Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 80 4.19 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Seminggu Setelah

Penayangan Videodi Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 82 4.20 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum

Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu SetelahPenayangan Videodi Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 85 4.21 Perbedaan Pengetahuan Responden Sebelum dan Segera Setelah

Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 86 4.22 Perbedaan Pengetahuan Responden Sebelum dan Seminggu Setelah


(18)

Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 87 4.23 Perbedaan Pengetahuan Responden Segera Setelah dan Seminggu

Setelah Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 87 4.24 Perbedaan Pengetahuan Responden Sebelum dan Segera Setelah

Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 88 4.25 Perbedaan Pengetahuan Responden Sebelum dan Seminggu Setelah

Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 88 4.26 Perbedaan Pengetahuan Responden Segera Setelah dan Seminggu

Setelah Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 89 4.27 Perbedaan Sikap Responden Sebelum dan Segera Setelah Konseling

Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 90 4.28 Perbedaan Sikap Responden Sebelum dan Seminggu Setelah Konseling

Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 90 4.29 Perbedaan Sikap Responden Segera Setelah dan Seminggu Setelah

Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 91 4.30 Perbedaan Sikap Responden Sebelum dan Segera Setelah Penayangan

Video Perawatan Kaki Diabetes ... 91 4.31 Perbedaan Sikap Responden Sebelum dan Seminggu Setelah

PenayanganVideo Perawatan Kaki Diabetes ... 92 4.32 Perbedaan Sikap Responden Segera Setelah dan Seminggu Setelah

Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 92 4.33 Hubungan Lama Menderita DM dengan Konseling Kelompok ... 94 4.34 Hubungan Lama Menderita DM dengan Video ... 94 4.35 Perbedaan Pengetahuan Responden antara Kelompok Konseling dan

Kelompok Video ... 95 4.36 Perbedaan Sikap Responden antara Kelompok Konseling dan

Kelompok Video ... 96


(19)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Landasan Teori ... 45 2.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 45


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 114

2. Hasil Uji Validitas dan Realibilitas ... 117

3. Hasil Analisis Univariat dan Bivariat ... 120

4. Gambar Bantu Konseling ... 148

5. Bahan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 150

6. Master Data ... 153


(21)

ABSTRAK

Pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus tentang perawatan kakinya dapat memperkecil kemungkinan munculnya komplikasi kaki diabetes. Konseling yang dilakukan secara berkelompok dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes melitus melalui percakapan dan interaksi yang terjadi selama proses konseling. Media video merupakan media penyuluhan yang menarik dan merangsang lebih banyak indera. Tujuan penelitian ini adalah menilai apakah konseling kelompok atau media promosi kesehatan video yang lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi experimental design dengan jumlah sampel 60 orang, yang terdiri dari 30 orang mendapat perlakuan konseling kelompok dan 30 orang mendapatkan perlakuan penayangan video. Pengambilan sampel melalui purposive sampling dan pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dianalisis dengan paired t test untuk setiap perlakuan dan independent t test untuk menilai keefektivan masing-masing perlakuan. Penilaian terhadap pengetahuan dan sikap setelah masing-masing perlakuan memperlihatkan peningkatan yang bermakna setelah diuji dengan paired t test. Namun pada uji independent t test, konseling tidak menunjukkan penurunan nilai sikap yang bermakna pada saat segera setelah konseling dan seminggu setelah konseling. Hal ini yang menjadi dasar bagi peneliti merekomendasikan konseling secara berkelompok dalam pembelajaran bagi pasien diabetes melitus dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki.

Kata Kunci: Konseling Kelompok, Media Video, Pengetahuan, Sikap, Kaki Diabetes


(22)

ABSTRACT

The knowledge and attitude of diabetes mellitus patients about their foot care can decrease the possibility of the diabetic foot complication. A grouped counseling can help increase the knowledge and attitude about foot care of diabetes mellitus patients by conducting conversation and interaction during the process of counseling. Video is one of the counseling media which interests and stimulates the senses. The objective of the research was to know which one was more effective in increasing the knowledge and attitude in footcare of diabetes patients, whether health promotion through grouped counseling or through video media. The research used quasi experimental design. The samples consisted of 60 respondents: 30 of them were grouped in the counseling treatment and the other 30 respondents were grouped in the video display treatment. The samples were taken by purposive sampling technique. The data were gathered by using questionnaires which were analyzed by using paired t test for each treatment and independent t test for evaluating the effectiveness for each treatment. The evaluation of knowledge and attitude for each treatment indicated that there was significant increase after being tested by pair t test. On the other hand, the result of the independent t test indicated that counseling did not show any significant decrease in attitude, right after the counseling was done and a week after it was done. This result had caused the researcher to recommend that diabetes mellitus patients learn from a grouped counseling in order to improve their knowledge and attitude in foot care.

Keywords: Group Counseling, Video Media, Knowledge, Attitude, Diabetic Foot


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya meningkat dari tahun ke tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2005) melansir angka kesakitan akibat diabetes didunia mencapai 171 juta pada tahun 2000 dan diperkirakan akan mencapai 366 juta pada tahun 2030 (Depkes, 007). Sementara itu di Indonesia sendiri, WHO memprediksikan peningkatan penderita diabetes melitus sekitar 12,9 juta dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Depkes, 2008).

Data statistik WHO juga memperkirakan jumlah penderita diabetes melitus di beberapa negara berkembang cenderung meningkat dan Indonesia menduduki peringkat keempat dunia untuk jumlah penderita diabetes melitus setelah India, China dan Amerika Serikat. Namun jika dilihat dari persentase pertumbuhannya hingga sampai tahun 2030, maka Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Bangladesh dan Pakistan. Hal ini mungkin dipengaruhi kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup dimasa sekarang ini. Konsumsi makanan berlemak dan kurang serat sudah menjadi trend di sebagian besar kalangan masyarakat kita. Kemajuan teknologi yang mempermudah aktivitas dan mobilisasi masyarakat ditambah dengan kesibukan yang semakin padat membuat berkurangnya aktivitas fisik sehari-hari.


(24)

Prevalensi diabetes melitus di Indonesia pada penduduk usia > 15 tahun sekitar 5,7% dengann provinsi yang terbanyak adalah Maluku Utara dan Kalimantan Barat, masing-masing 11,1%. Sementara itu, prevalensi nasional untuk Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) 10,2%. Diabetes lebih banyak dijumpai pada perempuan (6,4%) dibanding laki-laki (4,9,%), demikian juga TGT pada perempuan (11,5%) lebih tinggi dibanding laki-laki (8,7%). Prevalensi diabetes melitus dan TGT di Sumatera Utara adalah 5,3% dan 11,3%. Membuat Sumatera Utara berada di posisi kelima untuk TGT dari seluruh provinsi di Indonesia Dan ini (Riskesdas,2007). Data dari subdin Penyakit Tidak Menular (PTM) Dinas Kesehatan Kota Medan, kunjungan pasien diabetes di seluruh puskesmas di Kota Medan pada tahun 2011 sebanyak 25461 pasien dan tahun 2012 sebanyak 27390 pasien, menduduki peringkat kedua penyakit tidak menular setelah hipertensi.

Diabetes Melitus jika tidak ditangani dengan benar akan dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi, seperti: gagal ginjal, penyakit jantung, stroke, kebutaan serta kelainan bentuk dan infeksi pada kaki. Para ahli diabetes telah mulai memperkenalkan masalah kaki diabetes di Inggris dan di beberapa negara eropa pada tahun 1990. Menyadari pentingnya masalah kaki diabetes,

Federasi Diabetes Internasional juga memilih tema “Put Feet First, Prevent

Amputations” pada hari Diabetes tahun 2005 (Soegondo & Soekardji, 2008 dan Somroo, 2011).


(25)

Prevalensi penderita ulkus diabetika di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetika merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk diabetes melitus. Data di Ruang Perawatan Penyakit Dalam RS Ciptomangunkusumo tahun 2007 menunjukan, dari 111 pasien diabetes melitus yang dirawat dengan masalah kaki diabetik, angka amputasi mencapai 35%, terdiri atas 30% amputasi mayor dan 70% amputasi minor. Jumlah angka kematian akibat amputasi tersebut sekitar 15%. Sayangnya, data 2010-2011 justru memperlihatkan peningkatan angka amputasi menjadi 54%. Sebagian besar merupakan amputasi minor, yakni bagian bawah pergelangan kaki sebanyak 64,7%, dan amputasi mayor sejumlah 35,3% (www.pdpersi.co.id). Pasien diabetes dengan komplikasi pada kaki juga dijumpai di Klinik Diabetes Melitus (DM) Puskesmas Sering. Pasien termuda yang mengalami komplikasi di kaki berusia 40 tahun dan sudah meninggal dunia. Kebanyakan pasien diabetes yang berobat ke puskesmas ke tidak mengetahui gejala dan komplikasi diabetes pada kaki, selain itu proses penyembuhan ulkus di kaki yang lama penyembuhannya, menimbulkan suatu pemikiran bagaimana cara menambah pengetahuan dan menimbulkan kesadaran pasien untuk mencegah komplikasi tersebut.

Pasien dengan penyakit kronis memerlukan konseling untuk membantu mereka menangani penyakit dan mencegah komplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan tantangan bagi petugas pelayanan kesehatan karena jumlah penderita penyakit kronis yang semakin meningkat. Penelitian mengenai


(26)

konseling individu yang dilakukan oleh para dokter di pelayanan kesehatan dasar di Swiss terhadap pasien diabetes mengenai gaya hidup kepada mereka menghasilkan kontrol glikemik yang lebih baik dan perbaikan kualitas hidup (Seboa et all. 2006). Selain itu, penelitian yang dilakukan Palaian dkk dari Departement Farmasi Universiatas Manipal di RS. Kartuba India tentang konseling individual yang dilaksanakan pada sebagian pasien diabetes type 2 menunjukkan hasil yang signifikan terhadap peningkatan skor pengetahuan, tetapi tidak untuk sikap dan tindakan. Konseling yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari empat tahapan, yaitu pada saat opname, saat akan pulang meninggalkan rumah sakit, dan dua kali kunjungan rutin kontrol ulang dalam waktu dua bulan setelah opname dengan interval kunjungan selama 1 bulan. Konseling mengenai penyakit, gaya hidup, konsumsi obat dan penggunaan insulin yang dilakukan disini berdurasi 30 – 60 menit selama kunjungan dengan petugas farmasi (Palain et all, 2006).

Penelitian yang dilakukan Malathy dkk selama lebih dari 9 bulan, di 2 rumah sakit spesialis dan 1 klinik diabetes di Erode India Selatan, menyimpulkan bahwa konseling individu merupakan elemen yang penting dalam program penanganan diabetes. Hal ini terlihat dari hasil yang signifikan pada penurunan kadar gula puasa dan lipid profile pasien diabetes setelah mendapat konseling. Penilaian dari kuesioner tentang memperlihatkan hasil yang signifikan dari peningkatan skor pengetahuan, sikap dan tindakan pada pasien yang mendapatkan perlakukan konseling dan diberi leaflet oleh petugas pada setiap kali


(27)

kunjungan dibandingkan kelompok kontrol yang mendapatkan perlakukan konseling dan diberi leaflet oleh petugas pada akhir penilaian saja. Konseling ini dilakukan selama 3 bulan dengan interval tiap konseling sebulan, dengan durasi konseling yang dilakukan berkisar 20-25 menit setiap kali kunjungan (Malathy et all, 2011).

Konseling sudah menjadi bagian dari penangan pasien diabetes dan penyakit kronis lainnya. Satpute dkk melakukan penilaian dampak dari konseling individu mengenai nutrisi dan aktivitas fisik terhadap pasien diabetes type 2 di RS.Indira Gandhi India yang dilakukan pada saat kunjungan pasien ke rumah sakit setiap bulannya selama 3 bulan. Dari hasil penilaian didapatkan bahwa konseling memberikan efek yang signifikan terhadap penurunan kadar gula darah puasa dan post prandial, HbA1c, BMI, LDL dan trigliserida serta peningkatan HDL pasien. Di Indonesia, Razak (2010) yang melakukan penelitian terhadap perilaku makan dan status gizi penderita HIV/AIDS dengan metode konseling individu di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar, mendapatkan kesimpulan bahwa konseling yang dilakukan selama 4 minggu dengan durasi 60-90 menit dengan intervensi LCD dan food model, efektif meningkatkan perilaku, asupan makan dan status gizi penderita HIV/AIDS.

Penelitian yang dilakukan Rurik dkk (2010) di pelayanan kesehatan dasar di Hungaria pada 47 orang pasien diabetes menggunakan metode konseling kelompok dan individual mengenai pengaturan diet. Pasien diabetes yang mengikuti konseling kelompok sebanyak 23 orang, dimana pasien dibagi kedalam


(28)

grup yang terdiri dari 6-8 orang ( maksimal 10 orang). Konseling yang dipandu oleh ahli gizi ini dilakukan selama 90 menit, dalam dua kali pertemuan dengan interval pertemuan dua minggu dimana diskusi mengenai pengalaman pasien di sesi kedua. Konseling individual yang diikuti 24 orang dilakukan sebanyak tiga sesi pertemuan, dimana ahli gizi mengumpulkan data pasien dalam dua kali pertemuan dengan durasi konseling 1 jam. Hasil pengukuran FGB dan HbA1c yang dilakukan 1- 2 bulan setelah konseling pada seluruh pasien yang mengikuti konseling kelompok mengalami penurunan yang lebih nyata daripada pasien yang mengikuti konseling individual. Namun pada pengukuran yang dilakukan setahun setelah konseling, kadar FGB pasien dengan konseling individu lebih rendah dari pada pasien yang mengikuti konseling kelompok. Hal ini kemungkinan disebabkan pada konseling individu, pasien mendapatkan motivasi pribadi selama proses konseling.

Pada penelitian yang dilakukan Murphy dkk di Toronto pada tahun 2004 tentang edukasi nutrisi pada sekelompok ibu hamil dengan diabetes yang dilakukan dengan konseling kelompok kecil (2-4 orang) dan individual, didapatkan peningkatan pengetahuan yang signifikan pada kedua kelompok setelah konseling, tetapi tidak ada perbedaan yang berarti diantara kedua perlakuan. Penanganan penyakit diabetes dalam bentuk kelompok juga dilakukan di Afrika Selatan yang dilaksanakan di 45 pusat kesehatan masyarakat di Cape Town sejak Oktober 2010 sampai April 2011. Penelitian ini dilakukan sebagai dasar kebijakan penanganan diabetes bagi masyarakat kurang mampu. Dalam


(29)

program ini satu kelompok terdiri dari 10-15 orang. Materi diberikan dalam 4 sesi pertemuan dengan durasi 20-60 menit per sesi, dimana dalam setiap pertemuan membahas topik yang berbeda. Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisa data secara statistik, namun didapatkan kesimpulan bahwa, intervensi dalam bentuk kelompok dapat mempengaruhi self efficacy penderita diabetes, menstabilkan tekanan darah, menurunkan berat badan dan HbA1c serta meningkatkan kualitas hidup dibandingkan kelompok kontrol yang mendapatkan perawatan dan saran pada saat konsultasi biasa ataupun percakapan di ruang tunggu pasien (Mash dkk,2012).

Penelitian dengan metode konseling kelompok juga dilakukan oleh Lubis dan Othman di Medan pada tahun 2011. Dalam penelitian ini , peneliti menilai dampak kelompok Cognitive Behavorial Theraphy (CBT) dan kelompok dukungan sosial dalam mengatasi gangguan sikap menghargai diri sendiri pada penderita kanker payudara dengan menggunakan kelompok kontrol. Penelitian yang melibatkan 15 orang penderita kanker payudara ini, dilaksanakan dalam 12 sesi dengan interval pertemuan satu minggu dan durasi kegiatan berkisar 120 menit. Dalam penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa nilai rata-rata kedua kelompok mengalami peningkatan yang sgnifikan, dengan nilai CBT lebih tinggi daripada nilai dukungan sosial dan kelompok kontrol.

Proses penyampaian informasi atau penyuluhan mengenai penyakit dan penanganannya merupakan bagian dari pembelajaran / pendidikan bagi pasien. Demikian pula dengan pasien diabetes, melalui pembelajaran diharapakan para


(30)

diabetisi dapat menjalani kehidupan sehari-harinya seperti orang normal walau menderita diabetes melitus. Dalam proses penyampaian informasi atau penyuluhan, tenaga kesehatan sering menggunakan media untuk mempermudah pasien mengerti tentang informasi yang disampaikan. Seperti penelitian yang dilakukan Rahmawati dkk pada tahun 2007 di Kabupaten Kota Waringin Provinsi Kalimantan Barat, penggunaan media audio visual dalam penyuluhan ternyata meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu yang memiliki balita gizi kurang dan buruk. Penelitian ini bersifat quasi eksperimen terhadap 15 orang responden dengan rancangan pretest-postest dengan control group design, dimana responden diberikan intervensi penyuluhan sebanyak 3 kali, mulai dari pretest sampai dengan postest. Satu minggu setelah penyuluhan yang pertama, dilakukan postest terhadap responden. Penyuluhan yang kedua diulang 10 hari sebelum dilaksanakan postest yang kedua, dan perlakukan penyuluhan yang ketiga diualng 10 hari sebelum post test yang ketiga. Peneliti melakukan pengulangan hanya tiga kali dikarenakan menurut Watson dkk (1984) di dalam Social Psychology–Science and Application, individu akan bosan dan dapat menolak pesan jika penyampaiannya lebih dari tiga kali. Dari hasil penelitian didapatkan peningkatan yang signifikan terhadap nilai pengetahuan dan perilaku ibu tentang gizi kurang/buruk dengan penggunaan media audio visual, tetapi peningkatan nilai sikap tidak signifikan.

Penelitian terhadap pasien tuberkulosis yang dilakukan oleh Kumboyo di Puskesmas Kedungkandang pada tahun 2009, menyimpulkan adanya peningkatan


(31)

pengetahuan yang lebih tinggi pada pasien tuberkulosis yang mendapatkan penyuluhan dengan media audio visual dibandingkan dengan media cetak (Kumboyo, 2011). Sementara itu, penelitan yang dilakukan Sitepu Anhela mengenai pengetahuan dan sikap ibu tentang penyakit pneumoni pada balita di Kabupaten Stabat dengan metode ceramah dengan VCD dan metode ceramah tanpa VCD, menghasilkan peningkatan pengetahuan dan sikap yang bermakna kelompok ceramah dengan VCD dan kelompok ceramah tanpa VCD pada postest yang dilakukan setelah selesai perlakuan maupun seminggu setelah perlakuan. Namun terdapat penurunan skor pengetahuan dan sikap yang lebih besar dan bermakna pada kelompok ceramah tanpa VCD dibandingkan kelompok ceramah dengan VCD yang juga mengalami penurunan, tetapi tidak bermakna pada postest yang dilakukan seminggu setelah perlakuan.

Dari pemaparan diatas, peneliti merasa penting melakukan penelitian dengan menggunakan metode konseling kelompok dan penayangan video untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes di klinik DM Puskesmas Sering, dengan dasar pemikiran ; 1) Kebanyakan pasien yang berobat ke puskesmas berpenghasilan menengah kebawah dan tidak memiliki kartu asuransi kesehatan, 2) dalam pengamatan peneliti selama ini, pasien tidak merasa bosan jika harus menunggu giliran karena mereka dapat saling bercerita dan bertukar pengalaman dan jika dokter memberikan penjelasan pada salah satu pasien, pasien yang lain juga tertarik untuk mendengarkan karena merasa senasib sehingga sering terjadi percakapan yang interaktif antara dokter/perawat dengan


(32)

beberapa pasien sekaligus, 3) sebagian pasien datang dan pulang bersama-sama dengan temannya sesama penderita diabetes, 4) dari segi waktu pelaksanaan dan pembiayaan, konseling kelompok lebih efisien daripada konseling individu, 5) konseling kelompok dapat menjadi media terapeutik pasien, 6) konseling kelompok dapat meningkatkan pemahaman pasien tentang manfaat tindakan pencegahan penyakit, sehingga timbulnya kompliksi penyakit yang memerlukan banyak biaya dapat dihindarkan.

Selain itu, peneliti juga merasa perlu meneliti manfaat penggunaan media video dalam menyampaikan informasi perawatan kaki bagi penderita diabetes juga, karena selain pemanfaatan media video dalam kegiatan penyuluhan bagi penderita diabetes di puskesmas belum pernah dilakukan, media video juga memerankan dua fungsi yaitu; memperbaiki proses alih informasi (terutama proses kognitif) dan memperkuat motivasi untuk perubahan (Van den Ban ,dikutip dari Benunur, 2006).

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin mengetahui apakah konseling kelompok ataukah penyuluhan dengan media video yang lebih efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering.


(33)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menilai efektivitas konseling kelompok dan media promosi kesehatan video dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Kota Medan tahun 2013.

1.4. Hipotesis

1. Ada perbedaan rata-rata peningkatan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering sebelum dan sesudah konseling kelompok.

2. Ada perbedaan rata-rata peningkatan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering sebelum dan sesudah intervensi media video

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering dalam memberikan pelayanan dan edukasi bagi penderita diabetes melitus 2. Sebagai masukan bagi peneliti khususnya dan praktisi kesehatan lainnya

dalam memberikan penjelasan dan edukasi bagi penderita diabetes melitus. 3. Penelitian ini secara umum bermafaat untuk mempromosikan hal-hal yang

dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi pada kaki penderita diabetes melitus.


(34)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konseling

2.1.1. Pengertian Konseling

Ada banyak pengertian konseling yang dicetuskan oleh para ahli. Hal ini didasarkan pada latar belakang dan pendidikan para ahli yang berbeda pula. Menurut Pepinsky & Pepinsky, dalam Schertzer dan Stone (1974), konseling merupakan interaksi yang; (a) terjadi antara dua orang individu , masing-masing disebut konselor dan klien; (b) terjadi dalam suasana yang profesional; (c) dilakukan dan dijaga sebagai alat untuk memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien (Lubis, 2011).

Menurut Lewis, dalam Shertzer & Stone (1974), konseling adalah proses mengenai seseorang individu yang sedang mengalami masalah (klien) dibantu untuk merasa dan bertingkah laku dalam suasana yang lebih menyenangkan melalui interaksi dengan seseorang yang bermasalah yang menyediakan informasi dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan tingkah laku yang memungkinkan kliennya berperan secara lebih efektif bagi dirinya sendiri dan lingkungannya (Lubis, 2011)

Menurut Machfoedz (2009), konseling merupakan media bagi pasien untuk mengungkapkan dan mengurangi beban perasaannya, menambah


(35)

pengetahuan dan membantu pasien menyikapi masalah yang dihadapinya secara konstruktif.

Konseling menurut Roger dapat diartikan sebagai hubungan membantu, dimana konselor bertujuan meningkatkan kemampuan dan fungsi mental klien. Didalam hubungan dokter/perawat dan pasien, dapat dikatakan bahwa dokter/perawat adalah pihak yang membantu, dan pasien sebagai pihak yang terbantu. (Lubis, 2011).

Pada awalnya konseling dilaksanakan untuk menangani kasus psikologi (Latipun,dikutip dari Lubis 20011), namun dalam perkembangannya konseling beradaptasi dengan cabang ilmu lain di dalam penerapannya dikarenakan dalam setiap interaksi sosial antar individu, konseling memegang peran penting. Cabang-cabang ilmu yang memerlukan konseling dalam aplikasinya antara lain : ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, ilmu agama, industri, dan lain-lain.

2.1.2. Tujuan dan Fungsi Konseling

Dalam dunia kesehatan, konseling mempunyai perbedaan dengan penyuluhan dan motivasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan seperti tabel berikut (Manuaba et all, 2007):

Tabel 2.1. Perbedaan Motivasi, Penyuluhan dan Konseling

Hubungan Motivasi Penyuluhan Konseling

Tujuan Mengerahkan Menjelaskan Membimbing

Isi Promosi Edukatif Fakta

Pembicaraan Searah Berat Sebelah Dua arah

Sifat Kepentingan Petugas Kewajiban Petugas Kepentingan Klien Tempat Dimana saja Dimana saja Ruangan Khusus


(36)

Beragam pendapat yang mengemukakan tujuan dari pelaksanaan konseling. Menurut Machfoedz (2009), tujuan konseling itu sendiri meliputi lima hal sebagai berikut :

a. Aktualisasi diri. Konseling yang dilakukan dapat menggali dan mengembangkan potensi yang ada pasien.

b. Pertumbuhan dan perkembangan kepribadian pasien. Dengan konseling pasien menjadi lebih bijaksana dalam menghadapi masalah kesehatan yang dihadapinya.

c. Memahami orang lain. Konseling menumbuhkan sikap saling menghargai, peduli dan menjaga hak dan privasi orang lain.

d. Efektivitas. Setelah mengikuti konseling, pasien diharapkan memiliki kemampuan menjalani hidup yang lebih efektif, efisien dan sistematis dalam memilih alternatif pemecahan masalah.

e. Kompetensi. Meningkatnya kemampuan kognitif, afektif, aspek perilaku merupakan salah satu tujuan penting dari pelaksanaan konseling. Kemampuan pasien DM dalam melaksanakan perawatan kaki merupakan contoh kompetensi yang dimiliki pasien setelah mengikuti konseling.

Menurut Kromboltz dalam Lubis (2011), tujuan konseling dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Mengubah penyesuaian perilaku yang salah

Maksudnya adalah dengan bantuan konseling, perilaku pasien yang salah selama ini akan diubah menjadi perilaku yang sehat.


(37)

2. Belajar membuat keputusan

Konseling disini lebih ditujukan kepada klien dengan permasalahan psikologis

3. Mencegah timbulnya masalah.

Menurut Notosoedirjo dan Latipun, mencegah munculnya masalah terdiri dari tiga pengertian, yaitu : mencegah agar masalah tidak menimbulkan hambatan di kemudian hari, mencegah agar masalah tidak berkepanjangan, mencegah agar masalah tidak menimbulkan gangguan yang menetap.

Corey dalam Lubis (2011) menyatakan tujuan konseling yang berdasarkan pendekatan tingkah laku yang digunakan dalam proses konseling adalah ; (a) menghapus pola tingkah laku maladaptif, (b) mempelajari pola tingkah laku konstruktif, (c) mengubah tingkah laku.

Fungsi konseling meliputi fungsi pencegahan, fungsi adaptif, fungsi perbaikan dan fungsi pengembangan (Machfoedz, 2009).

a. Fungsi Pencegahan, yaitu mencegah terjadinya masalah yang dapat menggangu kebutuhan dasar pasien. Contohnya: rasa nyeri pada kaki yang sangat hebat dapat mengganggu tidur pasien di malam hari

b. Fungsi Adaptasi. Kelainan yang terjadi dan dirasakan pasien akibat penyakit diabetes melitus yang dideritanya memerlukan pengetahuan, agar pasien dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.


(38)

c. Fungsi Perbaikan. Keluhan yang dirasakan pada pasien diabetes melitus memerlukan penjelasan sehingga pasien mau dan mampu menggali potensi dirinya untuk mengurangi keluhan yang ada.

d. Fungsi Pengembangan. Konseling dapat menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan pasien dalam mengenal dan mengatasi masalah kesehatannya.

Konseling yang dilakukan dalam penelitian ini mengharapkan adanya perubahan perilaku perawatan kaki penderita diabetes melitus, sehingga komplikasi diabetes melitus pada kaki dapat dihindarkan.

2.1.3. Konseling Kelompok

Pada awalnya pelaksanaan konseling dilakukan secara perorangan antara konselor dan klien. Sejalan dengan perkembangan ilmu tentang konseling dan penerapannya di berbagai bidang, maka terciptalah konsep konseling kelompok. Konseling kelompok adalah proses konseling yang dilakukan seorang konselor dengan beberapa orang klien dalam waktu bersamaan yang membicarakan satu permasalahan (Lubis, 2011).

Menurut Latipun dalam Lubis (2011), konseling kelompok adalah suatu bentuk konseling yang membantu beberapa klien normal yang diarahkan untuk mencapai fungsi kesadaran secara afektif, yang dilakukan dalam jangka pendek atau menengah.

Dilakukannya konseling secara berkelompok memiliki alasan tersendiri. Selain untuk keefektivan konseling kepada beberapa orang klien/pasien yang


(39)

memiliki permasalahan yang sama, menurut Wiener, konseling kelompok bertujuan sebagai media terapeutik bagi klien/pasien, karena dapat meningkatkan pemahaman diri dan merubah perilaku individual. Sementara George dan Christiani menyatakan konseling kelompok dapat dimanfaatkan sebagai proses belajar dan upaya untuk menolong klien/pasien dalam memecahkan masalahnya (Lubis, 2011). Menurut Corey (2012), konseling kelompok dapat digunakan untuk tujuan terapeutik atau pendidikan atau kombinasi keduanya. Konseling kelompok dapat menjadi media yang dapat memberikan pemahaman dan dukungan, yang mendorong para anggota untuk mengeksplorasi permasalahan mereka satu sama lain. Dalam suasana yang mendukung inilah, anggota

2.1.3.1.

dapat menambah pengetahuan dan contoh perilaku yang dapat diterapkan oleh masing-masing anggota kelompok (Corey, 2012).

Jenis Konseling Kelompok

a.

Konseling kelompok dapat dibentuk berdasarkan populasi tertentu, seperti : kelompok anak-anak, orang dewasa, pelajar dan orang tua.

Konseling Kelompok Anak-anak

Biasanya ditujukan pada anak-anak yang berperilaku agak berlebihan dibandingkan teman-teman seusianya, seperti sering berkelahi, tidak dapat bersosialisasi dengan teman-temannya ataupun berprestasi rendah di sekolah. Berkumpul dalam satu kelompok kecil dapat membuat anak-anak mengekspresikan perasaan dan pikirannya sehingga dapat diketahui permasalahan emosional dan perilaku serius yang dialami anak.


(40)

b. Konseling Kelompok Remaja

c.

Didalam kelompok ini, remaja dapat mengeksplorasi perasaan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada, saling berkomunikasi dan mendengarkan keluhan-keluhan teman sebayanya, sehingga mereka dapat saling membantu dan menguatkan serta meningkatkan kepercayaan diri. Konseling Pelajar dan Mahasiswa

d.

Konseling kelompok dapat membantu para pelajar ataupun mahasiswa yang mempunyai kendala dalam penyelesaian studi mereka.

Konseling Lansia

Hampir sama dengan remaja, konseling kelompok dapat meningkatkan kepercayaan diri para lansia yang sering merasa tidak produktif lagi, tidak diperlukan dan tidak diinginkan sehingga menimbulkan depresi

2.1.3.2.

Prosedur teknik dan proses konseling kelompok juga dipergunakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, seperti : psikoterapi (untuk gangguan emosional dan perilaku), psikoedukasi (edukasi dan pengobatan, seperti kelompok penderita HIV ) dan kelompok tugas (Corey, 2012).

Manfaat Konseling Kelompok

Menurut Corey (2012) di dalam

1.

Theory & Practice of Group Counseling, konseling kelompok dapat bermanfaat untuk :

Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan diri dan menumbuhkan identitas diri.


(41)

2. Menumbuhkan rasa kebersamaan anggota yang memiliki permasalahan yang sama.

3. Membantu anggota belajar bagaimana membangun hubungan yang berarti dan

4.

Akrab.

Membantu anggota dalam menemukan sumber daya dalam komunitas mereka sebagai cara untuk

5.

mengatasi permasalahan mereka.

Meningkatkan penerimaan diri, kepercayaan diri, harga diri, dan untuk mencapai pandangan baru tentang diri sendiri dan

6.

orang lain. Mempelajari cara untuk mengekspresikan emosi seseorang

7. Menemukan cara alternatif dalam menangani masalah perkembangan normal ataupun konflik tertentu.

dengan cara yang sehat.

8. Meningkatkan pengarahan diri sendiri, saling ketergantungan, dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.

9. Membantu seseorang dalam mengambil keputusan dengan bijaksana. 10.Membuat suatu rencana untuk mengubah

11.

perilaku tertentu. Mempelajari keterampilan sosial

2.1.3.3.

yang lebih efektif.

Dalam pelaksanaannya, jumlah konseling kelompok bersifat fleksibel, bergantung pada kemampuan konselor dan pertimbangan keefektifan proses dan kondisi konseling yang ingin diciptakan konselor. Menurut Guez dan Allen (2011), jumlah ideal dalam konseling kelompok tergantung dari usia anggota


(42)

kelompok, misalnya ; kelompok anak usia sekolah dapat terdiri dari 4-5 orang dan kelompok remaja ataupun dewasa dapat terdiri dari 8-10 orang. Jumlah anggota kelompok tidak telalu sedikit agar dapat tercipta interaksi tetapi tidak terlalu banyak agar setiap anggota dapat telibat dalam diskusi kelompok (Unesco, 2011).

Menurut Yalom konseling kelompok dapat beranggotakan 4-12 orang klien/pasien. Waktu pelaksanaan konseling kelompok tergantung kompleksitas masalah yang akan dibahas. Tetapi secara umum konseling kelompok yang bersifat jangka pendek berdurasi 60-90 menit per sesi. Menurut Latipun, konseling kelompok pada umumnya dilaksanakan satu hingga dua kali dalam seminggu seminggu. Jika dilakukan terlalu jarang, dikhawatirkan akan menyebabkan banyak informasi dan umpan balik yang terlupakan (Lubis, 2011). .

Didalam pelaksanaannya, konseling kelompok di pimpin oleh seorang konselor berperan dalam memfasilitasi interaksi antara anggota dan membantu para anggota belajar satu sama lain.

2.1.4. Prinsip Konseling

Konseling kelompok tidak hanya terbatas pada masalah kesehatan, tetapi juga dapat membantu menyelesaikan masalah pendidikan, karir, sosial, dan lain sebagainya tergantung masalah yang dialami oleh individu dalam kelompok tersebut.

Dalam membantu pasien diabetes melitus agar dapat memahami tindakan yang mencegah timbulnya komplikasi pada kaki mereka, tenaga kesehatan sebagai konselor harus melaksanakan tindakan yang didasarkan pada (Machfoedz, 2009) :


(43)

1. Pengajaran. Didalam hal ini, pasien mempunyai kesempatan untuk mendapatkan informasi dan pengalaman dari petugas kesehatan selaku konselor.

2. Nasihat dan Bimbingan. Konselor harus mempunyai keterampilan, pengetahuan untuk memotivasi dan membimbing serta memberikan saran pada pasien, agar permasalahan pasien dapat berkurang.

3. Tindakan Langsung. Konselor harus mempunyai pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang memadai untuk menghindari kemungkinan negatif dari pasien yang tidak diharapkan.

4. Pengelolaan. Konselor harus memiliki keterampilan dalam mengelola emosi pasien dan dirinya agar konseling dapat berjalan dengan efektif.

5. Konseling. Konseling dilaksanakan dalam suasana yang akrab dan nyaman dengan memperhatikan privasi pasien.

Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran penderita diabetes melitus (Soegondo et all, 2011), yaitu :

1. Pendekatan ketaatan (compliance) edukasi. Cara ini bermaksud mempengaruhi pasien untuk meningkatkan ketaatan pasien diabetes pada rekomendasi terapi dan nasehat yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

2. Pendekatan pemberian wewenang (empowerment). Tujuannya adalah mempersiapkan penyandang diabetes melitus agar mampu membuat keputusan perawatan diabetes mereka sendiri sehari-hari.


(44)

2.1.5. Konselor

Dalam konseling kesehatan, yang berperan sebagai konselor adalah tenaga kesehatan, bisa dokter, perawat atau tenaga medis lainnya. Dasar konseling di dalam Manuaba et all (2007) adalah hak penderita untuk menentukan nasib dirinya sendiri, mendapat pelayanan adekuat dan menerima informasi yang lengkap dan benar. Untuk dapat melakukan konseling diabetes yang baik, petugas kesehatan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Keterampilan sebagai konselor

2. Memiliki pengetahuan klinis tentang penyakit yang diderita pasien

Selain itu petugas kesehatan hendaknya menguasai tiga keterampilan komunikasi, yaitu : (Basuki,2009)

1. Keterampilan melaksanakan komunikasi verbal dan non verbal 2. Keterampilan mengamati komunikasi verbal dan non verbal pasien

Dalam melaksanakan konseling kesehatan, seorang konselor dituntut memiliki keterampilan sebagai berikut :

1. Mampu berempati kepada pasien

2. Dapat menciptakan rasa nyaman dalam hubungan dua arah.

3. Dapat menimbulkan rasa saling percaya yang membuat pasien merasa nyaman untuk berkeluh kesah tentang penyakitnya.

4. Mampu mengenal hambatan sosio kultural setempat, agar tidak menjadi penghalang proses komunikasi.

5. Mampu menyampaikan informasi yang lengkap dan jelas


(45)

6. Bersedia menjadi pendengar yang baik, dan bila bertanya secara baik dan jelas

7. Mampu mengenali semua aspek kesehatan yang berhubungan dengan kondisi penyakit pasien

8. Dapat memahami bahasa non verbal di balik ungkapan kata/kalimatnya, gerak tubuh klien/pasien.

9. Mampu mengenali keinginan klien/pasien dan mengenali keterbatasan dirinya sebagai penolong.

10. Dapat membuat klien/pasien bertanya dan mengeluarkan pendapat.

11. Menghormati hak klien/pasien sehingga sikap membantu lebih ditonjolkan. 12. Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan pasien (bahasa tubuh) agar

tidak mengganggu komunikasi selama konseling, misalnya karena pasien keliru mengartikan gerak tubuh, raut muka dan sikap dokter

Menurut Kaira dan Kaira (2010), konselor diabetes yang baik hendaknya keahlian sebagai berikut:

C : Confident Competence, yaitu keahlian (pengetahuan yang berkaitan dengan diabetes seperti; gejala, penanganannya, diet dan gaya hidup) dan kemampuan untuk meyakinkan pasien untuk mau melakukan nasehat yang diberikan melalui bahasa tubuh, dan sikap yang bersahabat.

A : Accessible Authenticity, maksudnya seorang konselor hendaklah orang yang bersahaja, tidak sulit untuk dijumpai dan apa adanya, karena kebanyakan pasien akan merasa minder jika berhadapan dengan edukator yang superior.


(46)

Seorang konselor hendaklah tersenyum dengan hangat pada pasiennya, jika melakukan bahasa tubuh yang kurang menyenangkan seperti menguap, maka hendaklah ia minta maaf pada pasiennya.

R : Reciprocal Respect, maksudnya saling menghormati antara konselor dan pasien, sehingga tercipta hubungan yang harmonis dalam komunikasi.

E : Expressive Empathy, maksudnya konselor dapat merasakan seperti apa yang dirasakan pasien dan dapat berfikir dari sudut pandang pasien, sehingga pasien merasa konselor dapat memahaminya.

S : Straightforward Simplicity, maksudnya dalam menyampaikan informasi kepada pasien tidak bertele-tele, cukup dengan cara atau bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.

Menurut Corey (2012), dalam pelaksanaan konseling secara berkelompok, konselor juga hendaknya memiliki kemampuan seperti berikut ini :

1. Aktif mendengarkan, menaruh perhatian terhadap komunikasi verbal dan non verbal klien tanpa sikap menghakimi. Hal ini sangat penting untuk menimbulkan kepercayaan sehingga lebih banyak keterangan yang dapat digali.

2. Mengulangi apa yang disampaikan klien guna memperjelas maksud yang ingin disampaikan klien

3. Mengklarifikasi pernyataan dari klien yang dapat menimbulkan kesalahpahaman.


(47)

4. Menyimpulkan hal-hal penting yang terjadi selama interaksi kelompok

5. Menanyakan pertanyan yang dapat membuat klien dapat mengeluarkan pendapat atau pengalamannya seperti pertanyaan apa atau bagaimana yang berkaitan dengan perilaku klien terhadap suatu masalah.

6. Menerangkan hal-hal yang dapat menjelaskan pemikiran, perasaan dan perilaku

7. Memfasilitasi komunikasi langsung antara beberapa klien dalam kelompok sehingga timbul kebersamaan anggota kelompok

8. Membatasi pembicaraan yang tidak sesuai topik diantara klien 9. Menetapkan tujuan dari konseling kelompok yang ingin dicapai. 10.Memberikan umpan balik dan sugesti kepada klien untuk menerapkan

perilaku baru

2.2. Media dan Pembelajaran 2.2.1. Konsep Media

Media berasal dari bahasa latin ”medium” yang secara harfiah berarti “perantara” atau “pengantar” yang digunakan untuk menyampaikan pesan ke penerima pesan. Definisi media menurut sebagian ahli adalah sebagai AECT (Asociation Of Education And Communication Technologi) yaitu media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan informasi.


(48)

Heinich menyebut media sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima (Arsyad, 2007).

Menurut Depdiknas (2003), media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan orang untuk menyampaikan pesan.Yang dimaksud sesuatu di sini adalah apa saja yang bisa digunakan untuk menyampaikan pesan dapat berupa lisan atau alat peraga yang mengisyaratkan maksud tertentu dan bisa dipahami oleh orang yang menerima pesan (Kuswanto 2012).

Menurut Schramm (dalam Kuswanto 2012), media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat digunakan untuk pembelajaran. Sedangkan menurut Kuswanto (2012) media pembelajaran adalah semua sarana yang dapat dimanipulasikan untuk digunakan mempengaruhi / merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan sikap peserta didik (komunikan), sehingga mempermudah terjadinya proses pembelajaran. Pemakaian media pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran.

Media dalam promosi kesehatan dapat diartikan sebagai alat untuk menyebarkan informasi atau memperlancar komunikasi, alat bantu untuk mempromosikan kesehatan (Kholid,2012). Menurut Soekidjo (2005), media promosi kesehatan adalah semua sarana/upaya yang digunakan komunikator untuk menyampaikan pesan, baik itu media cetak, elektronik hingga media luar ruang kepada sasaran, sehingga meningkat pengetahuannya dan akhirnya terjadi perubahan perilaku yang lebih sehat.


(49)

Jadi foto, film, radio, televisi, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan cetakan dan sejenisnya adalah media yang disebut dengan media komunikasi. Namun apabila media-media itu membawa pesan-pesan atau informasi-informasi yang mengandung maksud pengajaran maka media itu disebut dengan media pembelajaran (Arsyad,2007).

2.2.2. Jenis-jenis Media Pembelajaran

Berdasarkan bentuknya, jenis media pembelajaran dibagi menjadi (Kholid,2011):

1. Media visual, contoh : grafik, diagram,chart, bagan, poster.

2. Media auditif, contoh : radio, tape, recorder, laboratorium bahasa dan sejenisnya.

3. Projected still media, contoh : slide, OHP, in focus dan sejenisnya.

4. Projected motion media, contoh : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer dan sejenisnya.

Berdasarkan perkembangan teknologi (Arsyad,2007), media pembelajaran terbagi dalam empat kelompok, yaitu :1) media hasil teknologi cetak, 2) media hasil teknologi audio visual, 3) media hasil teknologi yang berdasarkan komputer dan 4) media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer.

Pengelompokan media seperti diatas memiliki kelebihan dan kekurangan didalam penggunaannya masing-masing. Gerlach & Ely (dalam Arsyad, 2007) menyatakan tiga ciri media yang digunakan untuk pembelajaran :


(50)

1. Cirifixative

Ciri ini menggambarkan kemampuan media untuk merekam, menyimpan dan merekonstruksi suaru peristiwa atau objek. Dengan kata lain, media memungkinkan rekaman suatu peristiwa pada waktu tertentu ditampilkan kembali di satu waktu. Media yang memiliki ciri ini antara lain ; fotografi, video tape, audio tape dan film

2. Ciri manipulatif

Ilustrasi untuk menjelaskan kemampuan media disini adalah perubahan larva menjadi kepompong sampai menjadi kupu-kupu yang memakan waktu beberapa hari, dapat ditampilkan hanya dalam beberapa menit saja. Penggunaan media disini dapat untuk mengedit bagian – bagian penting saja yang ingin ditampilkan.

3. Ciri distributif

Ciri ini memungkinkan media memindahkan objek atau kejadian melalui ruangan dan disajikan secara bersamaan kepada sejumlah audien.

Keberhasilam menggunakan media untuk meningkatkan hasil tergantung dari tiga hal, yaitu : (1) isi pesan, (2) cara menyampaikan pesan, (3) karakteristik penerima pesan. Kriteria pemilihan media harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Jika tujuan yang diharapkan agar audien dapat menghapal kata-kata, maka media audio yang menjadi pilihan. Jika tujuan audien yang diharapkan dapat memahami isi bacaan, maka media


(51)

cetak yang sebaiknya digunakan, tetapi jika tujuan pembelajaran agar audien dapat menirukan gerakan atau aktivitas, maka media video yang menjadi pilihan.

2.2.3. Fungsi Media

Menurut Kholid dan Notoatmodjo (2012), media memiliki fungsi antara lain :

1. Menimbulkan minat sasaran pengajaran

2. Dengan menggunakan media, sasaran pengajaran yang ingin dijangkau dapat lebih banyak.

3. Media dapat mengatasi keterbatasan pemahaman audien , dimana media dapat menyajikan hal yang dimaksud dalam bentuk nyata atau miniatur ataupun gambar, yang dapat disajikan dalam bentuk audio visual atau audio

4. Mempermudah penyampaian pesan atau informasi ke sasaran. 5. Terdapat keseragaman pengamatan audien.

6. Media dapat menanamkan konsep dasar yang konkret dan realistis

7. Media dapat membangkitkan motivasi dan rasa ingin tahu yang lebih, kemudian ingin mendalami dan akhirnya mendapatkan pengertian yang lebih baik.

2.2.4. Media Promosi Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2012), media promosi kesehatan adalah media yang menjadi saluran untuk menyampaikan informasi kesehatan, yang dapat mempermudah penerimaan informasi kesehatan bagi masyarakat.


(52)

1. Mengajarkan ketrampilan dalam membaca menulis berbagai hal dalam kesehatan

2. Meningkatkan aspirasi dibidang kesehatan 3. Menyebarluaskan informasi dibidang kesehatan 4. Sumber daya pengetahuan dalam kesehatan

5. Berpartisipasi dalam keputusan yang berkaitan dengan kesehatan 6. Membentuk perilaku hidup sehat dari statis ke dinamis

2.2.5. Proses Pembelajaran

Menurut Paivio, manusia memiliki dua sistem ingatan ; satu untuk mengolah simbol-simbol verbal dan yang lainnya untuk mengolah simbol non verbal. Artinya proses pembelajaran dengan mengunakan indera ganda ( pandang dan dengar) akan memberikan keuntungan yang lebih optimal bagi audien. Pendapat para ahli mengenai hal tersebut pun beragam. Perbandingan hasil belajar melalui penglihatan dan pendengaran sangat jelas perbedaannnya. Menurut Baugh hasil belajar yang diperoleh seseorang melalui penglihatan sebesar 90%, dan hanya 5% melalui pendengaran, 5% lagi diperoleh melalui indera lain. Sementara menurut Dale, perolehan hasil belajar melalui melalui penglihatan berkisar 75%, melalui pendengaran 13% dan indera lainnya 12% (Arsyad, 2007).

Dikarenakan pasien DM hampir seluruhnya berusia dewasa, dan kelompok ini yang ingin diberikan pembelajaran maka didalam pelaksanannya, pembelajaran bagi orang dewasa membutuhkan metode yang dikombinasikan dengan situasi dan kondisi yang diperlukan untuk mencapai hasil yang


(53)

memuaskan. Berdasarkan hal diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penyampaian informasi kesehatan yang cocok adalah media visual atau audio visual (video).

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan penderiata diabetes melitus (Soegondo et all,2011) :

1. Ceramah singkat. Dalam hal ini kebanyakan pasien berperan pasif.

2. Diskusi. Pasien dapat lebih berpartisipatif dan aktif dalam kegiatan ini, karena mereka mempunyai kesempatan untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak. Jika diskusi yang dilakukan bersifat individual ataupun beberapa orang dalam kelompok yang kecil, maka teknik konseling bisa dimasukkan kedalam cara ini.

3. Peragaan. Berguna untuk pelatihan psikomotor dan keterampilan sosial.

4. Materi cetakan. Materi seperti ini dapat berupa leaflet, brosur ataupun poster. Namun dalam pengamatan di klinik diabetes melitus, pasien tidak selalu mengerti atau dapat memahami informasi diabetes yang tertulis di media tersebut.

5. Alat bantu audiovisual seperti slide.film, video tentang diabetes melitus dan komplikasinya dapat memperjelas informasi bagi penderita. Penggunaan alat bantu audiovisual sangat membantu pasien yang tidak dapat belajar dengan baik melalui membaca.

6. Permainan. Cara pembelajaran seperti ini lebih menyenangkan dan dapat mengembangkan partisipasi belajar penderita diabetes melitus.


(54)

2.2.6. Media Audiovisual

Media yang menggunakan teknologi audio visual dalam penggunaanya menggunakan mesin-mesin mekanis dan elektronik untuk menyampaikan pesan audio dan visual (Arsyad, 2007).

Menurut Djamarah, media audiovisual adalah mempunyai unsur suara dan gambar (dikutip dari Waryanto, 2007) dan terbagi dalam dua jenis :

• Audiovisual diam, yang menampilkan suara dan visual diam, seperti film sound slide.

• Audiovisual gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak, seperti film, video cassete dan VCD.

Menurut Punaji Setyosari & Sihkabuden (dikutip dari Kristanto, 2011), video adalah media penyampai pesan, termasuk media audio visual atau media pandang dengar. Sementara itu Hujair AH (dikutip dari Kristianto, 2011) media video adalah seperangkat alat yang memproyeksikan gambar bergerak dimana antar gambar dan suara mempunyai karakter yang sama dengan objek aslinya.

Menurut Ronal Anderson (dikutip dari Waryanto, 2007), media video adalah rangkaian gambar elektronis yang disertai unsur suara dan juga unsur gambar yang dituangkan melalui pita video. Media video ini juga memiliki kekurangan dan kelebihan sebagai berikut :

Kelebihan media video :

1. Dapat digunakan untuk kelompok atau individu. 2. Dapat digunakan sewaktu-waktu dan berulang-ulang


(55)

3. Dapat menyajikan materi yang secara fisik tidak dapat dihadirkan di dalam ruangan.

4. Dapat menyajikan objek secara detail dan dapat menyajikan objek yang sifatnya berbahaya.

5. Dapat meningkatkan motivasi, menanamkan sikap dan segi afektif lainnya. 6. Dapat ditujukan kepada kelompok besar atau kecil, kelompok heterogen dan

homogen.

7. Sangat baik menjelaskan suatu proses dan keterampilan, mampu menunjukkan rangsangan yang sesuai dengan tujuan dan respon yang diharapkan.

8. Pesan yang disampaikan cepat dan mudah diingat.

Kelemahan media video :

1. Sukar untuk dapat direvisi jika ada kesalahan. 2. Memerlukan biaya yang relatif mahal.

3. Pada saat ditayangkan, gambar yang ditampilkan bergerak terus, sehingga tidak semua audien dapat menangkap pesan yang ingin disampaikan melalui media video tersebut.

4. Video yang tersedia tidak selalu sesuai dengan kebutuhan belajar yang diinginkan.


(56)

2.3. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan yang terjadi melalui panca indera manusia dan sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan atau ranah kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu : 1. Pengetahuan, merupakan tingkat terendah tujuan ranah kognitif berupa

pengenalan dan pengingatan kembali terhadap pengetahuan tentang fakta, istilah, dan prinsip-prinsip dalam bentuk seperti mempelajari.

2. Pemahaman, merupakan tingkat berikutnya dari ranah kognitif berupa kemampuan memahami/mengerti tentang isi pelajaran yang dipelajari tanpa perlu menghubungkannya dengan isi pelajaran lainnya.

3. Penggunaan/ penerapan, merupakan kemampuan menggunakan generalisasi atau abstraksi lainnya yang sesuai dalam situasi konkret dan / situasi baru. 4. Analisis, merupakan kemampuan menjabarkan isi pelajaran ke bagian-bagian

yang menjadi unsur pokok.

5. Sintesis, merupakan kemampuan menggabungkan unsur-unsur pokok ke dalam struktur yang baru.

6. Evaluasi, merupakan kemampuan menilai isi pelajaran untuk suatu maksud atau tujuan tertentu.


(57)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.

2.4. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2012). Pengertian sikap atau ranah afektif terdiri dari beberapa tingkatan yaitu :

1. Menerima, merupakan tingkat terendah ranah afektif berupa perhatian terhadap stimulasi secara pasif yang meningkat secara lebih aktif.

2. Merespons, merupakan kesempatan untuk menanggapi stimulan dan merasa terikat secara aktif memperhatikan.

3. Menilai, merupakan kemampuan menilai gejala atau kegiatan sehingga dengan sengaja merespon lebih lanjut untuk mencari jalan bagaimana dapat mengambil bagian atas apa yang terjadi.

4. Mengorganisasikan, merupakan kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai bagi dirinya berdasarkan nilai-nilai yang dipercaya.

5. Karakterisasi, merupakan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan masing-masing nilai pada waktu merespons, dengan jalan mengidentifikasi karakteristik nilai atau membuat pertimbangan-pertimbangan.


(58)

2.5. Diabetes Melitus

Menurut ADA (American Diabetes Association) (2010), diabetes melitus adalah salah satu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Perkeni, 2011). Berdasarkan penyebabnya, diabetes melitus dikategorikan menjadi 4 tipe :

Tabel 2.2. Tipe Diabetes Melitus dan Penyebabnya Tipe Penyebab

Tipe 1 Umumnya disebabkan defisiensi insulin oleh karena destruksi sel beta pankreas

• Autoimun

• Idiopatik

Tipe 2 Bervariasi, mulai dari yang dominan resistenasi insulin disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resisitensi insulin

Tipe lain • Kerusakan atau kelainan fungsi kelenjar pankreas

• Obat-obatan atau zat kimia

• Infeksi

• Sebab imunologi yang lain

• Sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM Diabetes

Gestasional

Diabetes yang mulai pada saat kehamilan

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, 2011

Kasus yang banyak terjadi adalah diabetes melitus tipe 2. Penyakit ini banyak terjadi pada orang dewasa , tetapi pada saat ini ada beberapa kasus yang muncul pada usia anak-anak. Makin meningkatnya angka kejadian penyakit ini selain di pengaruhi faktor keturunan, ada juga beberapa faktor lain yang sangat berperan seperti perilaku tidak sehat, yaitu : diet yang tidak seimbang seperti


(59)

kurang serat, banyak konsumsi goreng-gorengan , aktivitas fisik yang kurang, kebiasaan merokok, berat badan yang berlebih (obesitas), hipertensi, hiperkolesterolemia dan konsumsi alkohol (Depkes RI, Riskesda 2007)

Berkaitan dengan berbagai faktor resiko diatas, Riskesdas (2007) telah mencatat beberapa angka-angka prevalensi faktor resiko diabetes melitus sebagai berikut :

1. Prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berumur >15 tahun sebesar 10,3% dan obesitas sentral sebesar 18,8%

2. Prevalensi nasional hipertensi berdasarkan pengukuran pada penduduk berusia > 18 tahun sebesar 29,8%

3. Prevalensi nasional merokok setiap hari pada penduduk usia > 10 tahun sebesar 23,7% dan 85,4% perokok telah merokok di dalam rumah ketika bersama anggota keluarga.

4. Prevalensi nasional kurang makan buah dan sayur pada penduduk > 10 tahun sebesar 93,6%

5. Prevalensi nasional kurang aktifitas fisik pada penduduk usia > 10 tahun sebesar 48,2%

6. Prevalensi peminum alkohol pada 12 bulan terakhir sebesar 4,6% .

Dalam perjalanannya, diabetes melitus tipe 2 biasanya terjadi secara bertahap dan perlahan, sehingga sering kali tidak terasa oleh penderita. Gejala ringan mungkin dapat dirasakan selama bertahun-tahun atau bahkan tidak ada gejala sama sekali sehingga penderita tidak menyadari bahwa dia telah menderita


(60)

diabetes melitus. Gejala klasik diabetes melitus yang sering terjadi adalah sering merasa haus, selalu lapar walaupun sudah makan, sering kencing, berat badan menurun tanpa sebab yang jelas serta cepat merasa lelah. Gejala lain yang sering dikeluhkan pasien adalah badan lemah, kesemutan, gatal-gatal, penglihatan kabur, gigi goyang, luka yang lama sembuh dan disfungsi ereksi. (Perkeni, 2011 dan Soegondo & Sukardji, 2008)

Diagnosa dari penyakit diabetes melitus itu sendiri dapat ditegakkan melalui hasil pengukuran glukosa darah serta gejala-gejala penyakit diabetes melitus. Berdasarkan konsensus pengendalian dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011, ada 3 cara menegakkan diagnosa penyakit diabetes melitus yaitu : 1. Jika ditemukan gejala klasik dan pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200

mg/dl.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl disertai keluhan gejala klasik. 3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200

mg/dl. TTGO yang dilakukan sesuai dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan kedalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapat glukosa plasma setelah makan antara 140-199 mg/dl. Dan diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa


(61)

didapat antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam sebesar > 140 mg/dl (Perkeni dan Soegondo et all, 2011).

Didalam perjalanannya penyakit ini menimbulkan komplikasi pada beberapa organ seperti: otak, jantung, ginjal, mata dan pembuluh darah kaki sehingga menimbulkan penyakit stroke, penyempitan pembuluh darah jantung, gagal ginjal, retinophaty dan penyakit kaki diabetes. Penderita diabetes melitus memiliki resiko untuk menderita penyakit jantung koroner dan stroke 2 kali lebih besar , 5 kali lebih mudah menderita menderita ulkus/ganggren di kaki, 7 kali lebih mudah menderita gagal ginjal dan 25 kali lebih mudah mengalam kebutaan akibat kerusakan retina dari pada yang bukan pasien diabetes melitus (Soegondo et all, 2011).

Penyakit diabetes melitus seperti halnya penyakit lain memilki tindakan pencegahan, yang terdiri dari :

1. Usaha pencegahan primer : yaitu mencegah agar tidak timbul penyakit

2. Usaha pencegahan sekunder : mencegah timbulnya penyulit walau sudah menderita diabetes melitus

3. Usaha pencegahan tersier : mencegah timbulnya kecacatan lebih lanjut walaupun sudah terjadi penyulit (stroke dan gejala sisa, kebutaan, gagal ginjal kronik dan amputasi tungkai bawah)

Untuk mencegah timbulnya kecacatan pada penderita diabetes melitus, diperlukan tindakan untuk mendeteksi dini penyulit diabetes melitus itu sendiri,


(1)

Pretes Sikap Video

S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15 S16 S17 S18

R1 2 1 3 2 1 3 1 3 1 2 1 2 3 3 2 2 2 2

R2 2 2 2 2 1 2 1 3 1 3 3 1 3 2 2 2 1 1

R3 2 2 2 3 1 3 3 2 3 3 1 3 2 2 3 3 2 4

R4 2 1 2 4 2 2 2 1 1 2 1 2 2 2 1 1 1 4

R5 1 2 3 2 1 2 2 2 1 4 2 3 2 1 1 2 2 3

R6 1 4 2 1 3 4 2 3 3 2 1 3 2 4 3 3 3 4

R7 1 2 2 1 1 2 2 2 1 2 1 1 2 2 2 2 2 2

R8 3 4 1 1 2 2 2 4 2 1 1 1 2 1 2 1 1 2

R9 4 1 1 2 2 1 1 2 1 1 2 4 2 2 1 2 4 2

R10 1 2 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1

R11 2 2 2 2 2 3 2 2 2 3 2 1 2 1 2 2 2 2

R12 2 2 2 2 4 2 4 1 2 2 4 2 1 2 3 4 4 2

R13 1 1 4 2 1 2 2 2 2 2 4 1 3 2 1 1 2 3

R14 4 1 4 2 4 2 2 1 1 1 2 2 3 2 1 3 2 3

R15 1 3 4 3 2 2 4 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2

R16 1 2 1 3 1 2 3 1 2 2 2 1 1 3 1 2 3 2

R17 3 1 2 2 2 2 2 1 2 2 1 2 1 4 1 4 2 2

R18 2 2 2 3 2 2 2 1 1 2 2 4 1 2 3 1 2 2

R19 1 2 2 2 4 1 2 4 2 2 4 1 2 3 2 2 2 3

R20 2 3 2 2 1 1 2 1 4 2 2 3 1 3 3 3 3 2

R21 1 3 3 3 2 1 1 4 2 3 2 1 1 2 2 1 1 3

R22 3 3 2 2 2 3 3 1 2 2 2 4 1 2 1 4 1 3

R23 1 4 2 1 2 2 2 1 1 2 2 2 1 4 2 1 2 3

R24 2 2 2 4 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2

R25 2 3 2 1 3 1 3 2 3 2 3 2 2 3 1 4 2 4

R26 1 2 3 2 3 1 2 2 2 1 1 3 1 2 3 2 1 3

R27 3 3 2 1 1 2 1 2 2 3 3 1 1 2 1 2 1 3


(2)

Postes Sikap Konseling

S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15 S16 S17 S18 R1 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 3 4 3 3 4 4 3 4 R2 3 3 4 4 3 4 4 2 4 3 4 3 3 3 4 4 3 4 R3 3 2 4 3 4 3 3 3 3 3 4 4 3 3 3 4 3 4 R4 3 3 3 3 4 4 4 3 3 3 3 4 3 3 4 4 3 4 R5 2 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 4 2 2 3 R6 2 3 3 3 3 4 3 4 3 3 3 3 3 3 2 2 2 4 R7 2 3 3 2 3 3 3 2 4 3 4 3 3 3 3 2 2 4 R8 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 4 3 3 4 R9 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 4 3 3 4 R10 3 3 3 4 4 3 4 4 4 2 3 4 2 3 4 4 3 4 R11 4 4 2 4 3 4 3 3 4 3 4 4 3 3 4 4 4 4 R12 2 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 2 2 4 R13 3 4 3 4 3 3 3 2 2 4 3 4 3 4 4 3 4 4 R14 4 4 3 2 3 2 4 3 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 R15 3 3 2 2 3 2 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 2 4 R16 3 4 4 3 2 4 3 4 3 3 3 4 3 4 4 4 3 4 R17 3 4 3 3 2 3 3 2 4 3 4 3 3 2 3 4 4 4 R18 3 3 4 3 3 2 2 2 3 3 3 3 2 3 3 2 2 4 R19 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 R20 4 2 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 R21 3 3 2 3 4 4 4 4 3 3 4 3 3 3 4 3 3 4 R22 3 4 3 3 2 4 3 3 3 4 2 3 3 2 3 2 3 4 R23 3 2 3 3 3 3 3 3 4 4 3 4 3 4 4 4 3 4 R24 3 3 3 3 3 4 3 3 2 3 4 3 3 2 3 3 2 4 R25 3 3 4 3 3 4 4 2 2 4 3 3 2 3 4 4 2 4 R26 3 3 2 3 3 4 3 4 3 4 4 4 2 3 4 4 3 4


(3)

Postes Sikap Video

S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15 S16 S17 S18 R1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 4 3 3 4 4 3 4 R2 3 3 4 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 R3 3 2 4 3 4 3 3 3 3 3 4 4 3 3 3 4 3 3 R4 3 3 3 3 4 4 4 3 3 3 3 4 3 3 4 4 3 4 R5 3 3 3 3 3 2 4 2 2 3 3 3 2 3 4 4 4 3 R6 2 3 3 2 3 3 3 2 3 3 2 3 2 3 2 2 3 3 R7 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3 3 4 2 3 3 R8 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 R9 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 2 3 3 R10 2 3 3 2 2 3 2 2 2 2 3 2 2 1 2 2 2 3 R11 3 2 2 2 3 2 3 2 2 3 2 2 3 3 2 2 2 4 R12 2 4 3 3 3 2 3 3 3 4 3 3 3 2 3 2 2 4 R13 3 4 3 4 3 3 3 2 3 3 3 3 3 4 4 3 4 4 R14 4 4 3 2 3 2 4 3 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 R15 3 3 2 4 3 4 3 3 4 4 4 4 3 3 4 3 4 4 R16 3 4 4 3 2 3 3 4 3 3 3 4 3 4 4 4 3 4 R17 2 4 3 3 2 3 3 2 4 3 4 3 3 2 3 2 2 4 R18 3 3 4 3 3 3 4 4 4 3 4 4 2 3 4 4 3 4 R19 2 2 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 4 R20 4 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 R21 3 3 2 3 4 3 4 4 3 3 4 3 3 3 4 3 3 4 R22 2 4 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 R23 3 2 3 2 3 3 3 3 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 R24 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 3 2 4 4 2 3 R25 3 3 4 2 3 3 4 2 3 4 3 3 3 3 4 4 2 4 R26 3 3 2 3 3 3 3 4 3 4 4 4 3 3 4 4 3 4 R27 2 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 2 3 R28 2 3 2 2 4 3 3 3 4 3 4 3 3 3 3 2 3 3


(4)

Postes Sikap Konseling 1 minggu

S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15 S16 S17 S18 R1 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 3 4 3 3 4 4 3 4 R2 3 3 4 4 3 4 4 2 4 3 4 3 3 3 4 4 3 4 R3 3 2 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 R4 3 3 3 3 4 4 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 R5 2 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 4 2 2 3 R6 2 3 3 3 3 4 3 4 3 3 3 3 3 3 2 2 2 4 R7 2 3 3 2 3 3 3 2 4 3 4 3 3 3 3 2 2 4 R8 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 R9 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 R10 3 3 3 4 4 3 4 4 2 2 3 3 2 3 3 2 3 3 R11 4 4 2 4 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 R12 2 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 2 2 4 R13 3 4 3 4 3 3 3 2 2 4 3 2 3 2 3 3 3 3 R14 4 4 3 2 3 2 3 2 3 3 3 2 3 4 3 3 4 3 R15 3 3 2 2 3 2 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 2 4 R16 3 4 4 3 2 4 3 4 3 3 3 4 3 4 4 4 3 4 R17 3 4 3 3 2 3 3 2 4 3 4 3 3 2 3 3 3 3 R18 3 3 4 3 3 2 2 2 3 3 3 3 2 3 3 2 2 4 R19 3 2 4 3 4 3 3 4 3 4 3 4 3 4 4 4 3 4 R20 4 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 3 3 4 4 3 4 R21 3 3 2 3 4 4 4 4 3 3 4 3 3 3 4 3 3 4 R22 3 4 3 3 2 3 3 3 3 4 3 3 3 3 2 2 3 4 R23 3 2 3 3 3 3 3 3 4 4 3 4 3 4 4 4 3 4 R24 3 3 3 3 3 4 3 3 2 4 4 4 3 2 4 4 2 4 R25 3 3 4 3 3 4 4 2 2 4 3 3 2 3 3 3 2 3 R26 3 3 2 3 3 4 3 4 3 4 4 4 2 3 4 4 3 4


(5)

Postes Sikap Video 1 minggu

S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15 S16 S17 S18 R1 2 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 2 3 3 4 4 3 4 R2 3 3 4 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 R3 3 2 4 3 4 3 3 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 R4 2 3 3 3 4 4 2 3 3 3 3 2 3 3 2 4 3 4 R5 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 3 1 2 2 3 R6 2 3 3 2 3 3 3 2 3 3 2 3 2 3 2 2 3 3 R7 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 3 4 2 4 2 3 3 R8 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 2 3 1 2 1 3 3 R9 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 4 3 3 4 R10 2 3 1 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 3 R11 3 2 2 2 3 2 3 2 2 3 2 2 3 3 2 2 2 4 R12 2 2 3 3 3 2 3 3 3 4 3 3 3 2 3 2 2 4 R13 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 4 R14 2 4 3 2 3 2 4 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 3 R15 3 3 2 4 3 4 3 3 4 4 4 4 3 3 4 3 4 3 R16 3 4 4 3 2 3 3 4 3 3 3 4 3 4 4 4 3 3 R17 2 4 3 3 2 3 3 2 4 3 4 3 3 2 3 2 2 4 R18 3 3 4 3 3 3 4 4 4 3 4 4 2 3 4 4 3 3 R19 2 2 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 4 R20 4 2 3 3 3 3 3 4 3 2 3 3 2 3 4 2 3 3 R21 3 3 2 3 4 3 4 4 3 3 4 3 3 3 4 3 3 3 R22 2 4 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 R23 3 2 3 2 3 3 3 3 4 4 3 4 4 4 4 4 3 3 R24 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 2 4 4 2 3 R25 3 3 4 2 3 3 4 2 3 4 3 3 3 3 3 3 2 3 R26 3 3 2 3 3 3 3 2 3 2 4 4 2 3 2 4 3 4 R27 2 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 2 3 R28 2 3 2 2 4 3 3 3 4 3 4 3 3 3 3 2 3 3


(6)