Hubungan Pengetahuan dan Sikap Penderita Diabetes Melitus (DM) dengan Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung Tahun 2010

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PENDERITA DIABETES MELITUS (DM) DENGAN PEMANFAATAN KLINIK

DIABETES MELITUS DI PUSKESMAS SERING KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

TAHUN 2010 S K R I P S I

Oleh :

ERWINA RAFNI HARAHAP NIM : 061000017

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

ABSTRAK

Diabetes melitus dikenal sebagai non communicable disease adalah penyakit yang sering diderita di Indonesia saat ini. Penyakit diabetes melitus semakin hari semakin meningkat, dapat dilihat dari meningkatnya frekuensi kejadian penyakit tersebut. Berdasarkan data dari Puskesmas Sering ada 105 pasien diabetes melitus. Dari data tersebut terlihat bahwa penderita diabetes melitus di Sumatera Utara masih sangat tinggi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, sejak tahun 2007 Puskesmas Sering telah membentuk klinik diabetes melitus. Pemanfaatan klinik diabetes melitus sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan sikap responden mengenai penyakit diabetes melitus dan klinik diabetes melitus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

Jenis penelitian bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita diabetes melitus yang mengikuti pengobatan di klinik diabetes melitus Puskesmas Sering yang berjumlah 105 orang dengan sampel 40 orang. Metode pemilihan sampel adalah purposive dengan kriteria yaitu pasien diabetes melitus telah melakukan kunjungan ke klinik diabetes melitus minimal dua kali, bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Sering, dan bersedia menjadi responden.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya berada pada kategori pengetahuan sedang (72,5%), dan kategori sikap baik (70%) serta kategori tindakan sedang (90%). Diperoleh hasil tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering. Kemudian diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkatan pengetahuan dan sikap dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering.

Disarankan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan untuk melakukan kegiatan monitoring secara bertahap untuk dapat memperoleh gambaran efektifitas dan efesiensi dari pemanfaatan klinik diabetes melitus dan bagi petugas kesehatan perlu peningkatan promosi kesehatan untuk meningkatkan pencegahan komplikasi diabetes melitus dan pemanfaatan klinik diabetes melitus.


(3)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Identitas Diri

Nama : Erwina Rafni Harahap

Tempat/Tanggal Lahir : Sitinjak, 6 Pebruari 1988

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Jumlah Keluarga : 6 orang

Alamat : Jl.Letda Sudjono Gg Hasan Basri

No.1C Medan

Telp. : 085297492199

Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dasar Negeri(SDN) 145583 Parsalakan, 1994 - 2000 2. Madrasah Tsanawiyah Negeri Padang Sidimpuan, 2000 - 2003 3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Plus Sipirok, 2003 - 2006


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT serta shalawat dan salam bagi Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabatnya karena atas berkat dan rahmat-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada wakturahmat-nya. Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “Hubungan Pengetahuan

dan Sikap Penderita Diabetes Melitus (DM) dengan Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung Tahun 2010”.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini mungkin masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, maka penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dalam memperkaya materi skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada :

1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, MSi selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Drs. Tukiman, MKM selaku Kepala Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku dan juga selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan petunjuk, saran dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

3. DR. R. Kintoko Rochadi, MKes, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak menyumbangkan waktu dan pikiran untuk penulisan skripsi ini.

4. dr. Taufik Ashar, MKM dan Drs. Eddy Syahrial, MS sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik serta motivasi kepada peneliti untuk perbaikan skripsi ini.

5. DR. Ir. Albiner Siagian, MSi selaku dosen pembimbing akademik penulis pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(5)

6. Seluruh staf pengajar FKM USU serta dosen Peminatan Bagian Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku khususnya yaitu Ibu Dra. Syarifah, MS., Ibu Lita Sri Andayani, SKM, MKes., Ibu Linda T. Maas, MPH., dan Bapak Drs. Alam Bakti Keloko, MKes serta seluruh pegawai FKM USU.

7. Kepala Puskesmas Sering dr. Hj. Rosita Nurjannah S. yang telah memberikan izin melakukan penelitian di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung beserta Seluruh staff Puskesmas yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian ini, khususnya buat kak Ana.

8. Ayahanda Sori Monang Harahap dan Ibunda Nurhayani Dalimunthe yang dengan sabar dan penuh cinta, perhatian, kasih dan sayang memberikan dukungan moral, spritual dan material hingga penulis bisa menyelesaikan studi di FKM USU. 9. Saudara-sudaraku yang tercinta, kakanda Sriyanti Harahap, S.Si, adinda Erwin

David Harahap dan Tetty Rohani Harahap yang selalu mendukung lewat setiap doa-doa dan motivasinya.

10.Sahabat-sahabatku seperjuangan Syuharni Nihe, SKM., Leny Mairani, SKM., Dede Hariani MS, Aysyahtun Hasanah Siregar, Neni Simanjuntak, Budi Aswin, SKM., dan lain-lain. Teman-teman di Fotokopi FKM USU (kak Yeni, kak Fitri, Endang). Terima kasih buat persahabatan, perhatian dan motivasi yang diberikan buat penulis.

11.Buat Keluarga kak Sandra dan bang Duner terima kasih penulis ucapkan yang sebesar-besarnya atas doa dan motivasinya.

12.Semua yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Semoga Allah SWT melimpahkan karunia dan berkah-Nya pada kita semua. Akhir kata penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Juni 2010


(6)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... .... i

Abstrak ... .... ii

Riwayat Hidup Penulis... ... iv

Kata Pengantar ... .... v

Daftar Isi ... .. viii

Daftar Tabel ... ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... .... 1

1.2.Perumusan Masalah ... .... 8

1.3.Tujuan Penelitian ... .... 8

1.3.1. Tujuan Umum ... .... 8

1.3.2. Tujuan Khusus ... .... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... ... 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Perilaku ... ... 11

2.1.1. Perilaku Kesehatan ... ... 12

2.1.2. Perilaku Sakit ... ... 14

2.2. Bentuk-bentuk Perilaku ... ... 15

2.2.1. Pengetahuan ... ... 17

2.2.2. Sikap ... ... 20

2.2.3. Tindakan... ... 25

2.3. Model Kepercayaan Kesehatan ... ... 26

2.4. Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku ... ... 28

2.5. Konsep Sehat dan Sakit ... ... 29

2.6. Diabetes Melitus ... ... 29

2.6.1. Pengertian Diabetes Melitus... ... 29

2.6.2. Jenis-Jenis Diabetes Melitus ... ... 30

2.6.3. Gejala Diabetes Melitus ... ... 33

2.6.4. Determinan Diabetes Melitus ... ... 34

2.6.5. Upaya Pencegahan Diabetes Melitus ... ... 37

2.6.6. Pengelolaan Diabetes Melitus Klinik Diabetes Melitus ... 39

2.7. Klinik Diabetes Melitus ... ... 41

2.7.1. Sejarah Klinik Diabetes Melitus ... ... 41

2.7.2. Pengertian Klinik Diabetes Melitus ... ... 42

2.7.3. Visi dan Misi Klinik Diabetes Melitus ... ... 42

2.7.4. Kegiatan Klinik Diabetes Melitus ... ... 43

2.8. Kerangka Konsep Penelitian... ... 44

2.9. Hipotesa Penelitian... ... 45


(7)

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian ... ... 46

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... ... 46

3.2.1. Lokasi ... ... 46

3.2.2. Waktu Penelitian ... ... 46

3.3. Populasi dan Sampel ... ... 47

3.3.1. Populasi ... ... 47

3.3.2. Sampel ... ... 47

3.4. Metode Pengumpulan Data ... ... 48

3.5.1. Data Primer ... ... 48

3.5.2. Data Sekunder ... ... 48

3.5. Instrumen ... ... 48

3.6. Defenisi Operasional dan Skala Pengukuran ... ... 49

3.7. Teknik Analisa Data ... ... 56

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... ... 58

4.1.1. Ketenagaan Kesehatan ... ... 58

4.1.2. Data Fasilitas Kesehatan ... ... 59

4.2. Karakteristik Responden ... ... 60

4.3. Sumber Informasi ... ... 61

4.4. Pengetahuan Responden ... ... 62

4.5. Sikap Responden ... ... 68

4.6. Tindakan Responden ... ... 72

4.7. Hasil Analisis Bivariat ... ... 78

BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Responden ... ... 84

5.2. Sumber Informasi ... ... 85

5.3. Pengetahuan Responden ... ... 86

5.4. Sikap Responden ... ... 94

5.5. Tindakan Responden ... ... 97

5.6. Hasil Analisis Bivariat ... .. 107

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... .. 112

6.2. Saran ... .. 114 DAFTAR PUSTAKA


(8)

LAMPIRAN − Kuesioner

− Master Pengolahan Data − Hasil Pengolahan Data − Surat Penelitian


(9)

DAFTAR TABEL

TABEL HAL

Tabel 4.1. Distribusi Tenaga Puskesmas Sering Tahun 2010 ... 59 Tabel 4.2. Distribusi Fasilitas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas

Sering ... 59 Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik

Responden di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering Tahun

2010 ... 60 Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi di

Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering Tahun 2010 ... 61 Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Penyakit

Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 62 Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Kadar Gula

Darah di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering Tahun 2010... 64 Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang

Penanggulangan dan Pencegahan Komplikasi Diabetes Melitus

di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering Tahun 2010 ... 66 Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Klinik

Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 67 Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Tingkatan Pengetahuan Responden Terhadap

Penyakit Diabetes Melitus dan Klinik Diabetes Melitus ... 68 Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Sikap Responden di Klinik Diabetes Melitus

Puskesmas Sering Tahun 2010 ... 68 Tabel 4.11. Distribusi Frekuensi Tingkatan Sikap Responden Terhadap Penyakit

Diabetes Melitus dan Klinik Diabetes Melitus ... 71 Tabel 4.12. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden Ketika Ada Gejala

Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 72 Tabel 4.13. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden tentang Alasan Pertama

Kali Datang ke Klinik Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas SeringTahun 2010 ... 72 Tabel 4.14. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden tentang Alasan

Menggunakan Klinik Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Melitus


(10)

Tabel 4.15. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden tentang Tempat Berobat Sebelum di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 73 Tabel 4.16. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden tentang Alasan Memilih

Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 74 Tabel 4.17. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden tentang Kegiatan yang

Pernah Diikuti di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 74 Tabel 4.18. Distribusi Tindakan Frekuensi Responden tentang Waktu Mengukur

Kembali Kadar Gula Darah di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas

Sering Tahun 2010 ... 76 Tabel 4.19. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden tentang Jumlah Kalori

yang Dikonsumsi di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 76 Tabel 4.20. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden terhadap Kategori Olahraga

yang Dilakukan di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

Tahun 2010 ... 77 Tabel 4.21. Distribusi Frekuensi Tingkatan Tindakan Responden Terhadap

Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 78 Tabel 4.22. Hubungan Umur Responden dengan Tindakan Pemanfaatan Klinik

Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 78 Tabel 4.23. Hubungan Jenis Kelamin Responden dengan Tindakan Pemanfaatan

Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 79 Tabel 4.24. Hubungan Tingkat Pendidikan Responden dengan Tindakan

Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 80 Tabel 4.25. Hubungan Pekerjaan Responden dengan Tindakan Pemanfaatan

Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 80 Tabel 4.26. Hubungan Pendapatan Responden dengan Tindakan Pemanfaatan

Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 81 Tabel 4.27. Hubungan Tingkatan Pengetahuan Responden tentang Diabetes

Melitus dan Klinik Diabetes Melitus dengan Tindakan Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering ... 82 Tabel 4.28. Hubungan Tingkatan Sikap Responden tentang Diabetes Melitus dan

Klinik Diabetes Melitus dengan Tindakan Pemanfaatan Klinik


(11)

ABSTRAK

Diabetes melitus dikenal sebagai non communicable disease adalah penyakit yang sering diderita di Indonesia saat ini. Penyakit diabetes melitus semakin hari semakin meningkat, dapat dilihat dari meningkatnya frekuensi kejadian penyakit tersebut. Berdasarkan data dari Puskesmas Sering ada 105 pasien diabetes melitus. Dari data tersebut terlihat bahwa penderita diabetes melitus di Sumatera Utara masih sangat tinggi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, sejak tahun 2007 Puskesmas Sering telah membentuk klinik diabetes melitus. Pemanfaatan klinik diabetes melitus sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan sikap responden mengenai penyakit diabetes melitus dan klinik diabetes melitus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

Jenis penelitian bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita diabetes melitus yang mengikuti pengobatan di klinik diabetes melitus Puskesmas Sering yang berjumlah 105 orang dengan sampel 40 orang. Metode pemilihan sampel adalah purposive dengan kriteria yaitu pasien diabetes melitus telah melakukan kunjungan ke klinik diabetes melitus minimal dua kali, bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Sering, dan bersedia menjadi responden.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya berada pada kategori pengetahuan sedang (72,5%), dan kategori sikap baik (70%) serta kategori tindakan sedang (90%). Diperoleh hasil tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering. Kemudian diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkatan pengetahuan dan sikap dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering.

Disarankan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan untuk melakukan kegiatan monitoring secara bertahap untuk dapat memperoleh gambaran efektifitas dan efesiensi dari pemanfaatan klinik diabetes melitus dan bagi petugas kesehatan perlu peningkatan promosi kesehatan untuk meningkatkan pencegahan komplikasi diabetes melitus dan pemanfaatan klinik diabetes melitus.


(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Masalah kesehatan adalah masalah kompleks yang merupakan hasil dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia. Datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak, meskipun kadang bisa dicegah atau dihindari. Konsep sehat sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor-faktor di luar kenyataan klinis yang mempengaruhi terutama faktor sosial budaya. Jadi, sangat penting menumbuhkan pengertian yang benar pada benak masyarakat tentang konsep sehat dan sakit karena dengan konsep yang benar maka masyarakat pun akan mencari alternatif yang benar pula untuk menyelesaikan masalah kesehatannya (Foster, 2006).

Pengetahuan masyarakat tentang konsep sehat dan sakit yang benar akan membuat masyarakat mengerti bagaimana memberdayakan diri untuk hidup sehat dan kebiasaan mereka untuk mempergunakan fasilitas kesehatan yang ada. Hal ini merupakan dua dari empat grand strategy yang dilakukan Departemen Kesehatan untuk mewujudkan visinya yaitu “memandirikan masyarakat untuk hidup sehat” dengan misi “membuat masyarakat sehat” (Depkes RI, 2009).

Pemerintah sering dihadapkan pada berbagai masalah di bidang kesehatan, masalah yang cukup menjadi perhatian para ahli belakangan ini adalah assessment faktor risiko penyakit tidak menular. Salah satu penyebabnya adalah karena penyakit tidak menular sekarang ini memperlihatkan tendensi peningkatan. Peningkatan


(13)

penyakit tidak menular ini banyak terjadi di negara berkembang karena perkembangan ekonominya mulai meningkat. Karena itulah maka terjadi peralihan bentuk penyakit yang harus dihadapi, yaitu dari penyakit menular dan infeksi menjadi penyakit tidak menular dan kronis. Proses tersebutlah yang kerap dikenal sebagai transisi epidemiologi (Bustan, 1997).

Transisi penyakit di Indonesia mulai ditandai dengan semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak menular yang dirawat inap di beberapa rumah sakit. Peningkatan ini menempatkan penyakit tidak menular menjadi penyakit utama rawat inap di berbagai fasilitas kesehatan. Karena itu seharusnya transisi epidemiologi juga menyebabkan terjadinya transisi kebijakan yang menyeluruh (Soegondo, 2004).

Penyakit tidak menular sering disebut sebagai penyakit kronis. Penyakit tidak menular memberikan kontribusi bagi 60 persen kematian secara global. Di berbagai negara yang termasuk negara berkembang, peningkatan penyakit ini terjadi secara cepat dan memberikan dampak yang sangat signifikan pada sisi sosial, ekonomi dan kesehatan. WHO sendiri memperkirakan bahwa pada tahun 2020, penyakit tidak menular akan menyebabkan 73 persen kematian secara global dan memberikan kontribusi bagi penyebab kematian secara global atau global burden of disease sebesar 60 persen. Permasalahannya adalah sekitar 80 persen dari penyakit tidak menular ini justru terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah atau yang sering disebut sebagai low and middle income countries (Mirza, 2008).

Perubahan pola hidup manusia seperti gaya hidup, sosial ekonomi, urbanisasi dan industrialisasi pada akhirnya akan meningkatkan prevalensi penyakit tidak


(14)

menular, khususnya penyakit degeneratif. Kecenderungan untuk beralih dari makanan tradisional menjadi makanan cepat saji dan berlemak, terutama di daerah urban mengakibatkan perubahan penyakit yaitu menurunnya penyakit infeksi dan meningkatnya penyakit non infeksi (degeneratif). Hal ini menunjukkan telah terjadi transisi epidemiologi. Tentu saja penyakit ini akan menimbulkan suatu beban bagi pelayanan kesehatan dan perekonomian suatu negara karena memerlukan biaya yang besar untuk perawatannya (Bustan, 1997).

Salah satu jenis penyakit tidak menular yang ternyata menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi adalah penyakit diabetes melitus. Penyakit ini bukanlah penyakit yang baru, hanya saja kurang mendapat perhatian di tengah-tengah masyarakat khususnya yang memiliki resiko tinggi untuk menderita penyakit tersebut. Ketidaktahuan akan gambaran penyakit diabetes melitus dan kurangnya perhatian masyarakat, serta minimnya informasi akan mempengaruhi perilaku serta anggapan yang salah akan penyakit ini (Mirza, 2008).

Berdasarkan Laporan WHO tahun 1995, prevalensi penyakit diabetes melitus di dunia adalah sebesar 4,0% dan diperkirakan pada tahun 2025 prevalensinya akan meningkat menjadi 5,4%. Di negara maju, jumlah penyakit diabetes melitus pada tahun 1995 adalah sebesar 51 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2025 akan meningkat mencapai 72 juta orang. Sementara itu, di negara sedang berkembang jumlah penderita diabetes melitus akan meningkat dari 84 juta orang menjadi 228 juta orang. Diperkirakan jumlah tersebut akan naik melebihi 250 juta orang pada tahun 2025 (Wiyono, 2004).


(15)

Diabetes melitus yang dikenal sebagai non communicable disease adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus diabetes melitus tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai terjadinya komplikasi. Penyakit tidak menular seperti diabetes melitus semakin hari semakin meningkat, dapat dilihat dari meningkatnya frekuensi kejadian penyakit tersebut di masyarakat (Soegondo, 2004).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia jumlahnya sangat luar biasa. Pada tahun 2000 jumlah penderita 8.400.000 jiwa, pada tahun 2003 jumlah penderita 13.797.470 jiwa dan diperkirakan tahun 2030 jumlah penderita bisa mencapai 21.300.000 jiwa. Data jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2005 sekitar 24 juta orang. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat pada tahun yang akan datang (Soegondo, 2005).

Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan Data Surveilans Terpadu Penyakit (STP) tahun 2008 terlihat jumlah kasus yang paling banyak adalah penyakit diabetes melitus dengan jumlah kasus 1.717 pasien rawat jalan yang dirawat di rumah sakit dan puskesmas Kabupaten/Kota. Untuk rawat jalan penyakit diabetes melitus ini mencapai 918 pasien yang dirawat di 123 rumah sakit dan 998 pasien yang dirawat di 487 puskesmas yang ada di 28 Kabupaten/Kota seluruh Sumatera Utara. Sedangkan pada tahun 2009 mencapai 108 pasien yang dirawat di rumah sakit dan 934 pasien dirawat di puskesmas selama Januari hingga Juni 2009. Berdasarkan data tersebut


(16)

terlihat bahwa penderita diabetes melitus di Sumatera Utara masih sangat tinggi (STPTM Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2008).

Penyakit diabetes melitus di Medan, sampai September 2009 merupakan penyakit dengan penderita terbanyak, yang terus mengalami peningkatan jumlahnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2009 terlihat jumlah kasus yang terbanyak setelah hipertensi adalah kasus diabetes melitus. Hingga September 2009 ada 10347 penderita diabetes melitus yang berobat ke 39 Puskesmas di kota Medan. Data tersebut menunjukkan bahwa penderita diabetes melitus di Kota Medan sangat tinggi (STPTM Dinas Kesehatan Kota Medan, 2009).

Dari data tersebut di atas, dapat dilihat trend penyakit diabetes melitus di Indonesia menunjukkan prevalensi yang meningkat. Prediksi yang diajukan oleh semua ahli epidemiologi menyebutkan angka prevalensi yang makin meningkat di masa yang akan datang, sehingga menempatkan diabetes melitus sebagai The Global Epidemy (PERKENI, 2009).

Diabetes melitus apabila tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi dengan penyakit serius lainnya, diantaranya: jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal ginjal, dan kerusakan sistem syaraf. Jika positif menderita diabetes melitus, maka sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter dan mengikuti anjuran dokter dengan penuh disiplin. Selain itu cara yang efektif yang diterapkan pada diabetes melitus adalah perencanaan makan (diet), latihan (olahraga), pemantauan glukosa darah, terapi (bila diperlukan) dan lain-lain yang dapat diperoleh di klinik khusus diabetes melitus. Klinik khusus diabetes ini memberikan pelayanan


(17)

khusus kepada setiap pasien diabetes melitus dan juga membantu pasien dalam merubah kebiasaan dan gaya hidupnya, melalui terapi perilaku, dukungan kelompok dan penyuluan gizi yang berkelanjutan (Soegondo, 2004).

Puskesmas Sering yang merupakan puskesmas satu-satunya yang memiliki klinik diabetes melitus di Kota Medan mencatat bahwa penderita diabetes melitus yang ada di wilayah kerjanya ada sekitar 105 orang, akan tetapi yang mau datang berobat dan mengikuti program-program yang ada di klinik tersebut hanya 12-15 orang (17-21%) tiap minggunya (klinik diabetes melitus buka pada hari Kamis saja), tidak sesuai dengan harapan petugas yaitu 45-50% dari jumlah penderita. Pihak klinik diabetes melitus sendiri merasa telah memberikan pelayanan yang baik, namun ternyata belum sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen (penderita diabetes melitus). Hal tersebut menyebabkan penanganan diabetes melitus tidak optimal sehingga faktor resiko diabetes melitus akan tetap tinggi di masa yang akan datang.

Kondisi ini membuat klinik diabetes melitus yang ada di Puskesmas Sering membuat visi yang terkait dengan kondisi kesehatan Indonesia yaitu memberikan pelayanan diabetes melitus yang berkualitas dan terjangkau ditingkat puskesmas. Untuk mencapai visi tersebut maka ditetapkan misi yaitu : 1. Memberikan edukasi agar pasien diabetes melitus dapat mengatur diet sendiri, 2. Mendidik pasien agar terhindar dari komplikasi diabetes melitus, 3. Memberikan penyuluhan kepada pasien dan masyarakat yang mempunyai faktor resiko penyakit diabetes melitus agar tidak tercetus penyakit diabetes melitus (Profil Puskesmas Sering, 2009).


(18)

Melalui survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada beberapa penderita diabetes melitus di lokasi penelitian alasan penderita diabetes tidak datang lagi berobat pada waktu yang ditentukan adalah karena pada pemeriksaan terakhir mereka memiliki kadar glukosa darah mendekati nilai normal dan akan kembali datang lagi berobat apabila merasa kadar glukosa darahnya sudah tidak normal lagi. Selain itu ada juga yang lupa minum obat karena cara minum obat diabetes harus sesuai dengan anjuran dokter, sehingga masih banyak obat yang tersisa dan mereka menunggu sampai obat tersebut habis.

Penelitian ini terfokus kepada Puskesmas Sering mengingat lokasi penelitian yang merupakan bagian dari Puskesmas Sering. Puskesmas Sering adalah puskesmas satu-satunya yang memiliki klinik diabetes melitus di Kota Medan. Sehingga dengan diadakannnya penelitian di wilayah kerja Puskesmas Sering ini akan memberikan gambaran tentang perilaku penderita diabetes melitus terhadap pelayanan klinik diabetes melitus yang ada di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung dan bagaimana cara mereka memandang klinik diabetes melitus tersebut sehingga bisa dilakukan tindakan preventif dan rehabilitatif terhadap kondisi di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang perilaku penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung sehingga dapat diketahui seberapa maksimal pelayanan yang dilakukan klinik diabetes melitus yang ada di Puskesmas Sering dan tindakan yang dilakukan oleh penderita diabetes melitus untuk memanfaatkan pelayanan yang seharusnya diterimanya dari Puskesmas.


(19)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Hubungan Pengetahuan dan Sikap Penderita Diabetes Melitus (DM) dengan Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus yang ada di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung Tahun 2010.

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan) penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

2. Untuk mengetahui pengetahuan penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

3. Untuk mengetahui sikap penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.


(20)

4. Untuk mengetahui tindakan penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

5. Untuk mengetahui hubungan antara umur dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

6. Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

7. Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

8. Untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

9. Untuk mengetahui hubungan antara pendapatan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

10.Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

11.Untuk mengetahui hubungan antara sikap dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.


(21)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Puskesmas Sering dan Dinas Kesehatan Kota Medan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan derajat kesehatan masyarakat.

2. Sebagai acuan bagi pihak lain yang ingin melanjutkan penelitian ini ataupun melakukan penelitian yang sehubungan dengan penelitian ini.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan) (Sarwono, 1993).

Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri, yang mempunyai bentangan yang sangat luas mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpikir, persepsi dan emosi. Perilaku juga dapat diartikan sebagai aktifitas organisme, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2007).

Perilaku dan gejala yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik dan hidup terutama perilaku manusia. Faktor keturunan merupakan konsep dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup itu selanjutnya, sedangkan lingkungan merupakan kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut.

Dengan demikian kita juga dapat menyimpulkan bahwa banyak perilaku yang melekat pada diri manusia baik secara sadar maupun tidak sadar. Salah satu perilaku


(23)

yang penting dan mendasar bagi manusia adalah perilaku kesehatan. Becker, 1979 membuat suatu konsep tentang perilaku dalam 3 kelompok yaitu:

2.1.1. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan menurut Skinner dalam Notoatmodjo adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman dan lingkungan. (Notoatmodjo, 2007).

Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007), membuat klasifikasi tentang perilaku kesehatan yang terdiri dari:

1. Perilaku Hidup Sehat

Perilaku Hidup Sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya yang mencakup antara lain:

Makan dan menu seimbang (appropriate diet) • Olahraga teratur

• Tidak merokok

• Tidak minum-minuman keras dan narkoba • Istirahat yang cukup

• Mengendalikan stress

• Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks.


(24)

2. Perilaku sakit (IIInes behaviour)

Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang : gejala dan penyebab penyakit, dan sebagainya.

3. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)

Orang sakit (pasien) mempunyai hak dan kewajiban sebagai orang sakit,yang harus diketahui oleh orang sakit itu sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya). Perilaku ini disebut perilaku peran sakit (the sick role) yang meliputi:

• Tindakan untuk memperoleh kesembuhan

• Mengenal / mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/penyembuhan penyakit yang layak.

• Mengetahui hak (misalnya : hak memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit (memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama kepada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya).

Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas terutama petugas kesehatan dan diperlukan juga undang-undang kesehatan untuk memperkuat perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2003).


(25)

2.1.2. Perilaku Sakit

Menurut Suchman dalam Sarwono (2004), ada lima macam reaksi dalam mencari proses pengobatan sewaktu sakit yaitu:

Shoping atau proses mencari beberapa sumber yang berbeda dari medical care untuk satu persoalan atau yang lain, meskipun tujuannya adalah untuk mencari dokter yang akan mendiagnosis dan mengobati yang sesuai harapan. • Fragmentation atau proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada

lokasi yang sama.

Procastination atau penundaan pencarian pengobatan sewaktu gejala sakit dirasakan.

Self Medication atau mengobati sendiri dengan berbagai ramuan atau

membelinya diwarung obat.

Discontuinity atau proses tidak melanjutkan (menghentikan pengobatan). Menurut Hendrik L. Blum faktor – faktor yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan digambarkan sebagai berikut :

Keturunan

Fasilitas kesehatan (Pelayanan Kesehatan)

Perilaku (Behaviour)

Lingungan

(Environment)

Status kesehatan


(26)

Dari skema diatas, dapat dilihat bahwa perilaku manusia mempunyai kontribusi, yang apabila dianalisa lebih lanjut kontribusinya lebih besar. Sebab disamping berpengaruh langsung terhadap kesehatan, juga berpengaruh tidak langsung melalui lingkungan terutama lingkungan buatan manusia, sosio budaya, serta faktor fasilitas kesehatan. Faktor perilaku ini juga berpengaruh terhadap faktor keturunan. Karena perilaku manusia terhadap lingkungan dapat menjadikan pengaruh yang negatif terhadap kesehatan dan karena perilaku manusia pula maka fasilitas kesehatan disalah gunakan oleh manusia yang akhirnya berpengaruh terhadap status kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

2.2. Bentuk-Bentuk Perilaku

Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku ke dalam tiga domain atau ranah/kawasan yaitu ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain) dan ranah psikomotor (psychomotor domain), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan, yaitu mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut yang terdiri dari:

1. Pengetahuan peserta terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge). 2. Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan


(27)

3. Praktik atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice).

Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007), seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Berdasarkan rumus teori Skinner tersebut maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observable behavior.

Dari penjelasan di atas dapat disebutkan bahwa perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu :

1. Faktor eksternal, yaitu stimulus yang merupakan faktor dari luar diri seseorang.

Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi maupun politik.


(28)

2. Faktor internal, yaitu respon yang merupakan faktor dari dalam diri seseorang. Faktor internal yang menentukan seseorang merespon stimulus dari luar dapat berupa perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya.

Dari penelitian-penelitian yang ada faktor eksternal merupakan faktor yang memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk perilaku manusia karena dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya dimana seseorang itu berada (Notoatmodjo, 2007).

2.2.1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.


(29)

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

4. Analisis (analysa)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau subjek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (syntesa)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru sari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.


(30)

Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain :

1. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki.

2. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

3. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan aspek fisik dan psikologis (mental), dimana aspek psikologis ini taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa.

4. Minat

Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan sesorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.

5. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu baik dari dalam dirinya ataupun dari lingkungannya. Pada dasarnya pengalaman mungkin


(31)

saja menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi individu yang melekat menjadi pengetahuan pada individu secara sabjektif.

6. Informasi

Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. (Wahid dkk, 2007).

2.2.2. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

Selain bersifat positif atau negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dsb). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab sering kali terjadi bahwa seseorang memperhatikan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap dapat berubah dengan diperoleh tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 1993).

Adapun ciri – ciri sikap adalah sebagai berikut:

1. Sikap itu dipelajari (learnability)

Sikap merupakan hasil belajar. Ini perlu dibedakan dari motif – motif psikologi lainnya, misalnya : lapar, haus, nyeri adalah motif psikologis yang tidak dipelajari, sedangkan pilihan kepada makanan eropa adalah sikap. Beberapa sikap dipelajari


(32)

tidak disengaja atau tanpa kesadaran sebagai individu. Mungkin saja yang terjadi adalah mempelajari sikap denga sengaja bila individu mengerti bahwa hal tersebut akan membawa lebih baik untuk dirinya sendiri, membantu tujuan kelompok atau memperoleh sesuatu nilai yang sifatnya perseorangan.

2. Memiliki kesetabilan (stability)

Sikap yang bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap dan stabil melalui pengalaman. Misalnya pengalaman terhadap suka atau tidak suka terhadap warna tertentu (spesifik) yang sifatnya berulang – ulang.

3. Personal Societal Significance

Sikap melibatkan hubungan antara seseorang dengan orang lain dan juga antara orang dan barang atau situasi. Jika seseorang merasa bahwa orang lain menyenangkan, terbuka dan hangat, maka ini sangat berarti bagi dirinya dan dia akan merasa bebas dan nyaman.

4. Berisi Kognitif dan Affecty

Komponen kognitif dari sikap adalah berisi informasi yang aktual, misalnya objek itu dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan

5. Approach – Avoidence Directionality

Bila seseorang memiliki sikap yang mudah beradaptasi terhadap sesuatu objek, mereka akan mendekati dan membantunya, sebaliknya bila seseorang memiliki sikap yang susah beradaptasi maka mereka akan menghindarinya. (Ahmadi, 1999)


(33)

Selanjutnya ciri – ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut : 1. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling)

Hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan – pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus, dan merupakan modal untuk bertindak dengan pertimbangan untung – rugi, manfaat serta sumberdaya yang tersedia.

2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (personnal references)

Merupakan faktor penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan – pertimbangan individu

3. Sumber daya (resurces) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan dari pada individu tersebut.

4. Sosial budaya (culture) berperan besar dalam mempengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek / stimulus tertentu. (Notoatmodjo, 2005).

Sikap mempunyai tiga komponen pokok, seperti yang dikemukakan Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007), yaitu :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).


(34)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan sikap, yaitu:

1. Menerima (receiving) artinya bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek.

2. Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dan sikap.

3. Menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga (kecenderungan untuk bertindak).

4. Bertanggung jawab (responsible) yaitu yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

Ciri-ciri sikap adalah :

1. Sikap seseorang tidak dibawa sejak lahir, tetapi harus dipelajari selama perkembangan hidupnya.

2. Sikap itu tidak semata-mata berdiri sendiri, melainkan selalu berhubungan dengan suatu objek, pada umumnya sikap tidak berkenaan dengan suatu objek saja, melainkan juga dapat berkenaan dengan deretan-deretan objek yang serupa.


(35)

3. Sikap, pada umumnya mempunyai segi-segi motivasi dan emosi, sedangkan pada kecakapan dan pengetahuan hal ini tidak ada.

Sedangkan fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yaitu : 1. Sikap sebagai alat untuk menyesuaikan diri.

Sikap adalah sesuatu yang bersifat coomunicable, artinya suatu yang mudah menjalar, sehingga menjadi mudah pula menjadi milik bersama. Sikap bisa menjadi rantai penghubung antara orang dengan kelompoknya atau dengan anggota kelompoknya.

2. Sikap sebagai alat pengatur tingkah laku.

Pertimbangan antara perangsang dan reaksi pada anak dewasa dan yang sudah lanjut usianya tidak ada. Perangsang itu pada umumnya tidak diberi perangsang secara spontan, akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang itu.

3. Sikap sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman.

Manusia didalam menerima pengalaman-pengalaman dari luar sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua berasal dari dunia luar tidak semuanya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi, semua pengalaman diberi penilaian lalu dipilih.

4. Sikap sebagai pernyataan kepribadian.

Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang, ini disebabkan karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya oleh karena itu dengan melihat


(36)

sikap-sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut. Sikap merupakan pernyataan pribadi (Notoatmodjo, 2007).

2.2.3. Tindakan (practice)

Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terbentuknya suatu sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain didalam tindakan atau praktik (Notoatmodjo, 2007).

Tingkatan-tingkatan praktik itu adalah :

1. Persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

2. Respon terpimpin (guided response) adalah bila seseorang dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar.

3. Mekanisme (mechanism) adalah apabila seseorang melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.

4. Adaptasi (adaptation) adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.3. Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model)

Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling


(37)

berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum mampu mengubah perilaku tersebut (Machfoedz, 2006).

Health Belief Model (HBM) adalah suatu model kepercayaan penjabaran dari model sosio-psikologis. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa masalah-masalah kesehatan ditandai oleh kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider. Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit menjadi model kepercayaan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

Health Belief Model (HBM) dikembangkan sejak tahun 1950 oleh kelompok ahli psikologi sosial dalam pelayanan kesehatan masyarakat Amerika. Model ini digunakan sebagai upaya menjelaskan secara luas kegagalan partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit dan sering kali dipertimbangkan sebagai kerangka utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia yang dimulai dari pertimbangan orang-orang tentang kesehatan (Maulana, 2007).

HBM ini digunakan untuk meramalkan perilaku peningkatan kesehatan. HBM merupakan model kognitif yang berarti bahwa khususnya proses kognitif dipengaruhi oleh informasi dari lingkungan. Menurut HBM kemungkinan individu akan melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian.


(38)

Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap resiko yang akan muncul. Hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang berpikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan ancaman bagi dirinya. Asumsinya adalah bahwa bila ancaman yang dirasakan tersebut maka perilaku pencegahan juga akan meningkat.

Penilaian tentang ancaman yang dirasakan ini berdasarkan pada ketidakkekebalan yang merupakan kemungkinan bahwa orang-orang dapat mengembangkan masalah kesehatan menurut kondisi mereka. Keseriusan yang dirasakan orang-orang yang mengevaluasi seberapa jauh keseriusan penyakit tersebut apabila mereka mengembangkan masalah kesehatan mereka atau membiarkan penyakitnya tidak ditangani.

Penilaian kedua yang dibuat adalah antara keuntungan dan kerugian dari perilaku dalam usaha untuk memutuskan tindakan pencegahan atau tidak yang berkaitan dengan dunia medis dan mencakup berbagai ancaman, seperti check up untuk pemeriksaan awal dan imunisasi. Penilaian ketiga yaitu petunjuk berperilaku sehat. Hal ini berupa berbagai informasi dari luar atau nasihat mengenai permasalahan kesehatan, misalnya media massa, promosi kesehatan dan nasihat orang lain atau teman (Maulana, 2009).

Sebagai kesimpulan, apabila individu bertindak untuk melakukan pengobatan dan pencegahan penyakitnya ada 3 hal yang berpengaruh terhadap upaya yang akan diambil yaitu :


(39)

1. Kerentanan yang Dirasakan

Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasa bahwa ia rentan terhadap penyakit tersebut.

2. Keseriusan yang Dirasakan

Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakitnya akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat.

3. Manfaat dan Rintangan yang Dirasakan

Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit yang dianggap gawat atau serius, ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan tersebut tergantung pada manfaat dan rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut.

2.4. Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku

1. Perubahan Alamiah (natural change)

Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian dari perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota masyarakat didalamnya juga akan mengalami perubahan.

2. Perubahan Terencana (planned change)

Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek.


(40)

Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut dan sebagian orang lagi sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2003).

2.5. Konsep Sehat dan Sakit

Persepsi masyarakat tentang sehat-sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu, di samping unsur sosial budaya. Sebaliknya, petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kriteria medis yang objektif berdasarkan symptom yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik seseorang individu. Perbedaan persepsi antara masyarakat dan petugas kesehatan inilah yang sering menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan.

Terkadang orang tidak pergi berobat atau menggunakan sarana kesehatan yang tersedia sebab dia tidak merasa mengidap penyakit. Atau jika si individu merasa bahwa penyakitnya itu disebabkan oleh makhluk halus, maka ia akan memilih untuk berobat pada “orang pandai” yang dianggap mampu mengusir makhluk halus tersebut dari tubuhnya sehingga penyakitnya itu akan hilang (Sarwono, 1997).

2.6. Diabetes Melitus

2.6.1. Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu sindrom klinik yang khas ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi atau penurunan efektifitas insulin. Gangguan metabolik ini mempengaruhi metabolisme dari karbohidrat,


(41)

protein, lemak, air dan elektrolit. Gangguan metabolisme tergantung pada adanya kehilangan aktivitas insulin dalam tubuh dan pada banyak kasus, akhirnya menimbulkan kerusakan selular, khususnya sel endotelial vaskular pada mata, ginjal dan susunan saraf (Soegondo, 2004).

Menurut American Diabetes Association (ADA) diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi nilai normal (hiperglikemia) dengan diagnosa kadar gula darah sewaktu >> 200 mg/dl atau kadar gula darah puasa >> 120 mg/dl, yang terjadi oleh karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Glukosa secara normal bersikulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi. Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh pankreas, mengendalikan kadar kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya. Pada penderita diabetes kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurunkan atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Oleh karena itu terjadi gangguan jumlah insulin sehingga pengaturan kadar glukosa darah menjadi tidak stabil.

2.6.2. Jenis-Jenis Diabetes Melitus

Secara umum, diabetes melitus dibagi menjadi 3 macam, yaitu :

1. Diabetes Mellitus yang tergantung pada insulin (IDDM atau DM Tipe-1)

Kebanyakan diabetes tipe-1 adalah anak-anak dan remaja yang pada umumnya tidak gemuk. Setelah penyakitnya diketahui mereka harus langsung


(42)

memakai insulin. Pankreas sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan insulin (Soegondo, 2004).

Diabetes melitus tipe-1 dicirikan dengan hilangnya sel beta penghasil insulin pada Langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Sampai saat ini, diabetes tipe-1 tidak dapat dicegah. Diet dan olahraga tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe-1. Kebanyakan penderita diabetes tipe-1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai diderita. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.

Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe-1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh. Saat ini diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah (Mirza, 2008).

2. Diabetes Mellitus Tipe-2 atau Tidak Tergantung Insulin (DMTTI)

Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena kombinasi dari kecacatan dalam produksi insulin dan resistensi terhadap insulin atau berkurangnya sensitifitas terhadap insulin yang melibatkan reseptor insulin di membran sel. Pada tahap awal abnormalitas yang paling utama adalah berkurangnya sensitivitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Pada tahap ini, hiperglikemia dapat diatasi dengan berbagai cara dan obat anti diabetes yang dapat


(43)

meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi gula dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan.

Diabetes tipe kedua ini disebabkan oleh kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin. Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif (Mirza, 2008).

DM Tipe-2 biasanya terjadi pada usia > 40 tahun. Penderita DM Tipe-2 lebih sering dijumpai dari pada DM Tipe-1, proporsinya mencapai 90% dari seluruh kasus diabetes. Pasien-pasien yang termasuk dalam kelompok DM Tipe-2 biasanya memiliki berat badan yang berlebih dan memiliki riwayat adanya anggota keluarga yang menderita DM, 25% dari pasien DM Tipe-2 mempunyai riwayat adanya anggota keluarga yang menderita DM. Kembar identik dengan DM Tipe-2, pasangan kembarnya akan menderita penyakit yang sama (Noer, 1996).

3. Diabetes Melitus Gestasional (Diabetes Kehamilan)

Diabetes melitus gestasional melibatkan suatu kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup, yang meniru DM Tipe-2. Jenis diabetes ini terjadi selama kehamilan dan bisa juga meningkat atau lenyap. Meskipun kejadiannya sementara, namun diabetes jenis ini bisa merusak kesehatan janin dan ibu.

Gestasional Diabetes Mellitus (GDM) terjadi sekitar 2-5 % dari semua kehamilan. Diabetes ini sifatnya sementara dan harus ditangani dengan baik, karena


(44)

jika tidak, bisa menyebabkan masalah dalam kehamilan seperti makrosomia, cacat janin, penyakit jantung sejak lahir, gangguan pada sistem saraf pusat, dan juga cacat otot. Bahkan ada dugaan bahwa hiperbillirubinemia juga diakibatkan oleh binasanya sel darah merah akibat dari meningkatnya gula dalam darah. Bahkan dalam kasus yang parahm hal ini bisa mengakibatkan kematian. Karena itulah, hal ini harus mendapat pengawasan medis yang seksama selama kehamilan.

2.6.3. Gejala Diabetes Melitus

Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160 - 180 mg/dL dan air seni (urine) penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose), sehingga urine sering dilebung atau dikerubuti semut (Mirza, 2008).

Penderita kencing manis umumnya menampakkan tanda dan gejala dibawah ini meskipun tidak semua dialami oleh penderita :

1. Jumlah urine yang dikeluarkan lebih banyak (Polyuria) 2. Sering atau cepat merasa haus/dahaga (Polydipsia) 3. Lapar yang berlebihan atau makan banyak (Polyphagia) 4. Frekwensi urine meningkat/kencing terus (Glycosuria) 5. Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya

6. Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf ditelapak tangan & kaki 7. Cepat lelah dan lemah setiap waktu


(45)

9. Apabila luka/tergores (korengan) lambat penyembuhannya 10.Mudah terkena infeksi terutama pada kulit.

Kondisi kadar gula yang drastis menurun akan cepat menyebabkan seseorang tidak sadarkan diri bahkan memasuki tahapan koma. Gejala kencing manis dapat berkembang dengan cepat waktu ke waktu dalam hitungan minggu atau bulan, terutama pada seorang anak yang menderita penyakit Diabetes Mellitus Tipe-1. Lain halnya pada penderita Diabetes Mellitus Tipe-2, umumnya mereka tidak mengalami berbagai gejala diatas. Bahkan mereka mungkin tidak mengetahui telah menderita kencing manis.

2.6.4. Determinan Diabetes Melitus

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit diabetes melitus terdiri dari:

a. Genetik

Diabetes melitus dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap penyakit diabetes melitus, yang disebabkan oleh karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuh tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik. Individu yang mempunyai riwayat keluarga penderita diabetes melitus memiliki resiko empat kali lebih besar jika dibandingkan dengan keluarga yang sehat.

Jika kedua orang tuanya menderita diabetes melitus, insiden pada anak-anaknya akan meningkat, tergantung pada umur berapa orang tuanya mendapat diabetes melitus. Resiko terbesar bagi anak-anak untuk mengalami diabetes melitus terjadi jika salah satu atau kedua orang tua mengalami penyakit ini sebelum 40 tahun. Walaupun demikian, tidak lebih dari 25 % dari anak-anak mereka akan menderita


(46)

penyakit diabetes melitus dan gambaran ini lebih rendah pada anak-anak dari orang tua dengan diabetes melitus yang timbulnya lebih lanjut (Waspadji, 1997).

b. Umur

Bertambahnya usia mengakibatkan mundurnya fungsi alat tubuh sehingga menyebabkan gangguan fungsi pankreas dan kerja dari insulin. Pada usia lanjut cenderung diabetes melitus tipe 2 (Noer, 1996).

c. Pola Makan dan Obesitas

Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pergeseran pola makan di masyarakat, seperti pola makan di berbagai daerah pun berubah dari pola makan tradisional ke pola makan modren. Hal ini dapat terlihat jelas dengan semakin banyaknya orang mengkonsumsi makanan cepat saji (fast food) dan berlemak. Kelebihan mengkonsumsi lemak, maka lemak tersebut akan tersimpan dalam tubuh dalam bentuk jaringan lemak yang dapat menimbulkan kenaikan berat badan (obesitas).

Kelebihan berat badan atu obesitas merupakan faktor resiko dari beberapa penyakit degeneratif dan metabolik termasuk diabetes melitus. Pada individu yang obesitas banyak diketahui terjadinya retensi insulin. Akibat dari retensi insulin adalah diproduksinya insulin secara berlebihan eleh sel beta pankreas, sehingga insulin didalam darah menjadi berlebihan (hiperinsulinemia). Hal ini akan meningkatkan tekanan darah dengan cara menahan pengeluaran natrium oleh ginjal dan meningkatkan kadar plasma neropineprin.


(47)

Insulin diperlukan untuk mengelola lemak agar dapat disimpan ke dalam sel-sel tubuh. Apabila insulin tidak mampu lagi mengubah lemak menjadi sumber energi bagi sel-sel tubuh, maka lemak akan tertimbun dalam darah dan akan menaikkan kadar gula dalam darah (Noer,1996).

d. Kurangnya Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik seperti pergerakan badan atau olah raga yang dilakukan secara teratur adalah usaha yang dapat dilakukan untuk menghindari kegemukan dan obesitas. Pada saat tubuh melakukan aktivitas atau gerakan maka sejumlah gula akan dibakar untuk dijadikan tenaga, sehingga jumlah gula dalam tubuh akan berkurang sehingga kebutuhan hormon insulin juga berkurang. Dengan demikian, untuk menghindari timbulnya penyakit diabetes melitus karena kadar gula darah yang meningkat akibat konsumsi makanan yang berlebihan dapat diimbangi dengan aktifitas fisik yang seimbang, misalnya dengan melakukan senam, jalan jogging, berenang dan bersepeda. Kegiatan tersebut apabila dilakukan secara teratur dapat menurunkan resiko terkena penyakit diabetes melitus, sehingga kadar gula darah dapat normal kembali dan cara kerja insulin tidak terganggu (Soegondo, 2004).

e. Kehamilan

Diabetes melitus yang terjadi pada saat kehamilan disebut Diabetes Melitus Gestasi (DMG). Hal ini disebabkan oleh karena adanya gangguan toleransi insulin. Pada waktu kehamilan tubuh banyak memproduksi hormon estrogen, progesteron, gonadotropin, dan kortikosteroid, dimana hormon tersebut memiliki fungsi yang antagonis dengan insulin. Untuk itu tubuh memerlukan jumlah insulin yang lebih


(48)

banyak. Oleh sebab itu, setiap kehamilan bisa menyebabkan munculnya diabetes melitus. Jika seorang wanita memiliki riwayat keluarga penderita diabetes melitus, maka ia akan mengalami kemungkinan lebih besar untuk menderita Diabetes Melitus Gestasional (Waspadji, 1997).

2.6.5. Upaya Pencegahan Diabetes Melitus

Mengingat jumlah pasien yang semakin meningkat dan besarnya biaya perawatan pasien penderita diabetes melitus yang terutama disebabkan oleh karena komplikasi, maka upaya yang paling baik adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada penderita diabetes melitus ada 3 tahap, yaitu :

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah suatu upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita diabetes melitus, tetapi berpotensi untuk menderita diabetes melitus. Pencegahan ini merupakan suatu cara yang sangat sulit karena yang menjadi sasarannya adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat sehingga cakupannya menjadi sangat luas (Noer, 1996).

Yang bertanggung jawab dalam hal ini bukan hanya profesi tetapi semua pihak, untuk mempromosikan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup beresiko, seperti : kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makan seimbang, menjaga berat badan agar tidak gemuk dengan olah raga secara teratur. Cara tersebut merupakan alternatif terbaik dan harus sudah


(49)

ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Hal ini merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat murah dan efektif (Noer, 1996).

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan atau menghambat timbulnya komplikasi dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Menurut WHO (1994) untuk negara berkembang termasuk Indonesia kegiatan tersebut memerlukan biaya yang sangat besar (PERKENI, 2002).

Pada pencegahan sekunder penyuluhan tentang perilaku terhadap sehat seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan, disamping itu juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.

c. Pencegahan Tertier

Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya terdiri dari 3 tahap, antara lain :

1. Mencegah timbulnya komplikasi.

2. Mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak terjadi kegagalan organ. 3. Mencegah terjadinya kecacatan oleh karena kegagalan organ atau jaringan.

Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik antara pasien dan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan


(50)

komplikasinya. Dalam hal ini peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya (Soegondo, 2004).

2.6.6. Pengelolaan Diabetes Melitus

Tujuan pengelolaan diabetes melitus dibagi atas tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah hilangnya berbagai keluhan/ gejala diabetes sehingga penderita dapat menikmati hidup sehat dan nyaman. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah tercegahnya berbagai komplikasi baik pada pembuluh darah maupun pada susunan syaraf sehingga dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas (Waspadji, 1997).

a. Edukasi / Penyuluhan

Edukasi diabetes adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan diabetes yang diberikan kepada setiap penderita diabetes. Disamping kepada penderita, edukasi juga diberikan kepada anggota keluarga penderita dan kelompok masyarakat yang beresiko tinggi. Tim kesehatan harus senantiasa mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Makanya dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi (Waspadji, 1997).

Beberapa hal yang perlu dijelaskan pada penderita diabetes melitus adalah apa penyakit diabetes melitus itu, cara perencanaan makanan yang benar (jumlah kalori, jadwal makan dan jenisnya), kesehatan mulut (tidak boleh ada sisa makan dalam mulut, selalu berkumur setiap habis makan), latihan ringan, sedang, teratur setiap hari dan tidak boleh latihan berat, menjaga baik bagian bawah ankle joint (daerah


(51)

berbahaya) seperti : sepatu, potong kuku, tersandung, hindari trauma dan luka (Waspadji, 1997).

b. Diet Diabetes

Tujuan utama terapi diet pada penderita diabetes melitus adalah menurunkan atau mengendalikan berat badan disamping mengendalikan kadar gula atau kolesterol. Semua ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan mencegah paling tidak menunda terjadinya komplikasi akut maupun kronis. Penurunan berat badan pasien diabetes melitus yang mengalami obesitas umumnya akan menurunkan resistensi insulin. Dengan demikian, penurunan berat badan akan meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel dan memperbaiki pengendalian glukosa darah (Mirza, 2008).

c. Latihan Fisik

Diabetes melitus akan terawat dengan baik apabila terdapat keseimbangan antara diet, latihan fisik secara teratur setiap hari dan kerja insulin. Latihan juga dapat membuang kelebihan kalori, sehingga dapat mencegah kegemukan juga bermanfaat untuk mengatasi adanya resistensi insulin pada obesitas (Noer, 1996).

Meskipun latihan teratur itu baik untuk penderita diabetes melitus, tetapi syarat yang harus dipenuhi adalah persediaan insulin di dalam tubuh harus cukup. Apabila latihan dikerjakan oleh penderita diabetes melitus yang tidak cukup persediaan insulinnya, maka latihan akan memperburuk bagi penderita tersebut. Beberapa kegunaan dari latihan teratur setiap hari pada penderita diabetes melitus antara lain :


(52)

a. Meningkatkan kepekaan insulin apabila dikerjakan setiap 1,5 jam sesudah makan dapat mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas insulin pada reseptornya.

b. Mencegah kegemukan apabila ditambah latihan pagi dan sore.

c. Meningkatkan kadar kolesterol HDL yang merupakan faktor protektif untuk penyakit jantung koroner.

d. Glikogen otot dan hati menjadi kurang, maka selama latihan akan dirangsang pembentukan glikogen baru.

e. Menurunkan total kolesterol dan trigliserida dalam darah, karena terjadi pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.

d. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah normal belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan fisik. Dalam pengelolaan diabetes melitus yang memakai obat hipoglikemia ini ada dua macam obat yang diberikan yaitu pemberian secara oral dan secara injeksi. Obat yang diberikan secara oral/hipoglikemia yang umum dipakai adalah Sulfonilurea dan Binguanid. Sedangkan yang diberikan secara injeksi adalah insulin (Waspadji, 1997).

2.7. Klinik Diabetes Melitus

2.7.1. Sejarah Klinik Diabetes Melitus

Menghadapi jumlah pasien diabetes melitus yang semakin meningkat, diperlukan peran semua tingkat pelayanan kesehatan. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan tingkat primer perlu memiliki pengetahuan, ketrampilan


(53)

dan ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih baik sehingga mampu berperan dalam pelayanan pasien diabetes melitus.

Untuk menciptakan terciptanya pelayanan diabetes melitus yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan pendekatan holistik dan kekeluargaan di wilayah kerja Puskesmas Sering, maka dibentuklah sebuah sarana yang khusus menangani pasien diabetes melitus yaitu klinik diabetes melitus. Klinik diabetes melitus Puskesmas Sering ini didirikan pada tanggal 30 Mei 2008 yang beralamat di Jalan Sering No. 20 Kecamatan Medan Tembung dan memberikan pelayanan setiap hari Kamis mulai jam 9 WIB (Profil Puskesmas Sering, 2010).

2.7.2. Pengertian Klinik Diabetes Melitus

Klinik diabetes melitus merupakan bagian dari satuan organisasi sosial fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat. Upaya kesehatan ini diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan kesehatan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal (Profil Puskesmas Sering, 2010).

2.7.3. Visi dan Misi Klinik Diabetes melitus

Adapun Visi klinik diabetes ini adalah memberikan pelayanan diabetes melitus yang berkualitas dan terjangkau ditingkat puskesmas.

Dalam mewujudkan visi tersebut, maka klinik diabetes melitus memiliki 3 misi, yaitu :


(54)

2. Mendidik pasien agar terhidar dari komplikasi diabetes melitus.

3. Memberikan penyuluhan kepada pasien dan masyarakat yang mempunyai faktor resiko penyakit diabetes melitus agar tidak tercetus penyakit diabetes melitus.

Klinik diabetes melitus Puskesmas Sering, kebanyakan pasien baru yang datang dan sudah menderita diabetes melitus sehingga langkah kebijakan yang diambil adalah meningkatkan penyuluhan dan deteksi dini faktor resiko diabetes melitus.

2.7.4. Kegiatan Klinik Diabetes Melitus

Kegiatan yang dilakukan klinik diabetes melitus antara lain : 1. Penyuluhan Diabetes Melitus

2. Pemeriksaan Kadar Gula Darah pasien baru

3. Pemeriksaan Kadar Gula Darah setiap 2- 4 minggu 4. Urine glukotes

5. Demonstrasi Diet Diabetes Melitus, antara lain : a. panduan diet diabetes melitus dan bahan penukarnya b. memberikan contoh menu berdasarkan jumlah kalori diet

c. peragaan model diet diabetes melitus dam bentuk mentah dan olahan. 6. Pemeriksaan fisik

7. Terapi

Tujuan utama dari klinik diabetes melitus adalah pasien bisa mandiri atau dapat mengatur dietnya sendiri untuk mengontrol kadar gula darah. Agar kegiatan


(55)

klinik diabetes melitus terus berlanjut maka mulai tanggal 27 Juni 2008 dilakukan upaya menjaring pasien baru dengan cara sosialisasi pelayanan khusus diabetes melitus di Puskesmas Sering, mengirim pengumuman ke Puskesmas Pembantu dan ke perwiritan masyarakat.

2.8. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan teori dan keterbatasan saya sebagai peneliti, maka peneliti membatasi hal – hal yang akan diteliti. Hal – hal tersebut dapat dilihat dengan jelas pada bagan kerangka konsep berikut ini :

3. 4.

5.

Karakteristik :

- Umur

- Jenis kelamin - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan Tindakan Terhadap Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung Tahun 2010

Sikap , terhadap : • DM dan

Pencegahannya • Kerentanan yang

dirasakan • Keseriusan penyakit yang dirasakan • Pertimbangan terhadap manfaat dan rintangan

Sumber Informasi :

- Petugas kesehatan - Media Cetak - Media Elektronik

Pengetahuan

terhadap :

- DM


(56)

2.9. Hipotesa Penelitian

1. Ada hubungan antara umur dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

2. Ada hubungan hubungan antara jenis kelamin dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

3. Ada hubungan hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

4. Ada hubungan antara pekerjaan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

5. Ada hubungan antara pendapatan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

6. Ada hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

7. Ada hubungan antara sikap dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat analitik yang bertujuan untuk melihat hubungan pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di klinik diabetes melitus Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung. Adapun alasan pemilihan lokasi ini adalah :

1. Puskesmas Sering merupakan satu-satunya puskesmas yang memiliki klinik diabetes melitus di Kota Medan, bahkan di Sumatera Utara.

2. Dari hasil survei pendahuluan dengan mewawancarai salah satu petugas klinik diabetes melitus bahwa sebagian besar penderita diabetes melitus masih banyak yang tidak patuh terhadap pengobatan yang dilakukan di klinik tersebut.

3. Belum pernah dilakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus (DM) dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan saat dimulai penyusunan proposal yaitu bulan Desember sampai selesai penelitian pada bulan Juni 2010.


(58)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita diabetes melitus yang pernah berobat di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung mulai dari bulan Januari tahun 2009 sampai pada bulan April tahun 2010. Jumlah populasi didapatkan dari data kunjungan Puskesmas Sering, data tersebut menyatakan populasi sebesar 105 orang.

3.3.2. Sampel

Dalam menentukan besar sampel yang akan diteliti ditentukan dengan menggunakan rumus Lameshow (1994) sebagai berikut :

Z2 . P (1 – P). N

d2 . (N – 1) + Z2 P ( 1 – P)

Dimana N : Besar populasi

n : Besar Sample d : galat pendugaan (0.1)

Z : Tingkat kepercayaan (90% = 1.645) P : Proporsi Populasi (Ditentukan 0.5) Maka besar sampel :

n =

n

=

(0,1)2 . (1451) + (1,645)2 . 0,5 (1 – 0.5)

n

=

(2,706) . (0.25). (1451) (0,01) . (105) . + ((1,645)2.(0.25))


(59)

n =

n = 37,9 --- 38  40 Orang.

Dari hasil perhitungan sampel minimal sebanyak 40 orang penderita diabetes melitus.

Untuk menentukan sampel yang akan dijadikan unit analisis dilakukan dengan metode purposive sampling dengan kriteria sebagai berikut:

1. Pasien diabetes melitus telah melakukan kunjungan ke klinik diabetes melitus minimal dua kali.

2. Bertempat tinggal diwilayah kerja Puskesmas Sering. 3. Bersedia menjadi responden.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data ini dapat diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap responden dengan menggunakan kuesioner sebagai paduan pertanyaan ketika melakukan wawancara.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah diperoleh dari Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung, meliputi data kunjungan dan data sarana dan prasarana.

3.5. Instrumen

Alat untuk pengumpulan data adalah kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang karakteristik (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan) dan sumber informasi (petugas kesehatan, media cetak dan media


(60)

elektronik), pengetahuan, sikap dan tindakan penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010.

3.6. Defenisi Operasional dan Skala Pengukuran

Variabel dalam penelitian ini adalah : a. Penderita Diabetes Melitus

Adalah penderita yang didiagnosa memiliki kadar glukosa darah melebihi nilai normal (< 120 mg/dl saat puasa dan < 200 mg/dl dua jam setelah makan) yang tercatat di data kunjungan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung mulai dari bulan Mei tahun 2009 sampai bulan Maret 2010. b. Klinik diabetes melitus

Adalah tempat penderita diabetes melitus mendapatkan pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

c. Karakteristik adalah hal-hal yang melekat pada diri responden dan yang dapat membedakan responden yang satu dengan yang lainnya.

• Umur

Adalah lama waktu perjalanan responden yang dihitung sejak saat dia hidup responden yang dihitung sejak saat ia dilahirkan sampai batas waktu wawancara dilakukan yang dinyatakan dalam satuan tahun sesuai dengan pengakuan responden.


(1)

Kategori Umur Berdasarkan Median * Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering Crosstabulation

Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering

Baik Sedang Total

Kategori Umur Berdasarkan Median

<= 57 tahun 4 16 20

> 57 tahun 2 18 20

Total 6 34 40

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .784a 1 .376

Continuity Correctionb .196 1 .658

Likelihood Ratio .797 1 .372

Fisher's Exact Test .661 .331

Linear-by-Linear

Association .765 1 .382

N of Valid Cases 40

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.00. b. Computed only for a 2x2 table


(2)

Jenis Kelamin Responden * Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering Crosstabulation

Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering

Baik Sedang Total

Jenis Kelamin Responden

Laki-laki 0 7 7

Perempuan 6 27 33

Total 6 34 40

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.497a 1 .221

Continuity Correctionb .411 1 .522

Likelihood Ratio 2.524 1 .112

Fisher's Exact Test .567 .289

Linear-by-Linear

Association 1.460 1 .227

N of Valid Cases 40

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.05. b. Computed only for a 2x2 table


(3)

Tingkat Pendidikan Responden * Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering Crosstabulation

Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering

Baik Sedang Total

Tingkat Pendidikan Responden

Sekolah Pendidikan

Dasar 5 23 28

Sekolah Pendidikan

Menengah 0 8 8

Sekolah Pendidikan

Tinggi 1 3 4

Total 6 34 40

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.905a 2 .386

Likelihood Ratio 3.042 2 .219

Linear-by-Linear

Association .070 1 .792

N of Valid Cases 40

a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .60.

Pekerjaan Responden * Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering Crosstabulation

Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering

Baik Sedang Total

Pekerjaan Responden Pegawai 0 7 7

Wiraswasta 1 5 6

Tdak Bekerja 5 22 27


(4)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.511a 2 .470

Likelihood Ratio 2.535 2 .282

Linear-by-Linear

Association 1.275 1 .259

N of Valid Cases 40

a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .90.

Pendapatan Responden * Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering Crosstabulation

Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering

Baik Sedang Total

Pendapatan Responden < Rp. 1.020.000,- 5 26 31

> Rp.1.020.000,- 1 8 9

Total 6 34 40

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .138a 1 .711

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .146 1 .702

Fisher's Exact Test .590 .590

Linear-by-Linear

Association .134 1 .714

N of Valid Cases 40

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.35. b. Computed only for a 2x2 table


(5)

pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering Crosstabulation

Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering

Baik Sedang Total

Pengetahuan tentang diabetes melitus dan klinik diabetes melitus

Baik 3 3 6

Sedang 3 26 29

Kurang 0 5 5

Total 6 34 40

Chi-Square Tests

Value Df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 7.140a 2 .028

Likelihood Ratio 6.208 2 .045

Linear-by-Linear

Association 5.660 1 .017

N of Valid Cases 40

a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .75.


(6)

Sikap tentang diabetes melitus * Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering Crosstabulation

Tindakan pemanfaatan klinik diabetes melitus Puskesmas Sering

Baik Sedang Total

Sikap tentang diabetes melitus

Baik 2 26 28

Sedang 4 8 12

Total 6 34 40

Chi-Square Tests

Value Df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 14.519a 1 .000

Continuity Correctionb 12.698 1 .000

Likelihood Ratio 14.131 1 .004

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear

Association 14.406 1 .003

N of Valid Cases 40

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.80. b. Computed only for a 2x2 table