BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Teks Pidato Soekarno Tentang Lahirnya Pancasila Tinjauan Pragmatik

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

  Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk 2003: 588).

  2.1.1 Tinjauan

  Tinjauan adalah hasil meninjau; pandangan; pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari dan sebagainya) atau perbuatan meninjau (KBBI, 2007: 1198).

  2.1.2 Teks Pidato Soekarno

  Pidato adalah mengungkapkan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak atau wacana yang disiapkan untuk diucapkan di depan khalayak (KBBI, 2003: 871). Berikut ini merupakan sebagian dari pidato Soekarno pada sidang BPUPKI yang pertama tanggal 1 Juni 1945.

  Paduka tuan Ketua yang mulia! Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari

  Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.

  Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda "philosofische grondslag" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam- dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan "merdeka".

  Merdeka buat saya ialah: "political independen-ce", politieke onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid? Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritu

  Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan di dalam bahasa asing, ma'afkan perkataan ini - "zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil "zwaarwichtig" sampai kata orang Jawa "jelimet". Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.

  Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!

  Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.

  Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toh Saudi Arabia merdeka!

  Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!

  Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia (Tepuk tangan riuh).

2.1.3 Lahirnya Pancasila

  Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau dalam bahasa pada tanggaldengan menjanjikan bahwadengan wakil ketua Hibangase Yosio (perwakilan Jepang) dan R.P. Soeroso.

2.1.4 Pragmatik

  Pragmatik menurut levinson (dalam Siregar, 1997:23) adalah penelitian di dalam bidang deiksis, implikatur, praanggapan, pertuturan (tindak ujar) dan struktur wacana. Leech (1974:22) berpendapat bahwa pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Pragmatik Teori pragmatik merupakan disiplin ilmu yang relevan untuk penelitian ini.

  Istilah pragmatik lahir dari pemikiran seorang filosof yang bernama Charles Morris (1983) yang mengolah kembali pemikiran filosof-filosof pendahulunya (Locke dan Pierce) mengenai semiotik. Oleh Morris, semiotik dibedakan menjadi sintaksis, pragmatik, dan semantik. Kajian mengenai hubungan antartanda disebut dengan sintaksis; telaah mengenai hubungan antara tanda-tanda dengan denotatanya disebut semantik; dan telaah mengenai hubungan antara tanda dengan pemakai tanda disebut pragmatik (Siregar 1997: 3).

  Di dalam “Kamus Linguistik” Harimurti Kridaklaksana (1982) disebutkan, pragmatik adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; pragmatika adalah 1. Cabang semiotika yang mempelajari asal- usul, pemakaian dan akibat lambang dan tanda; 2. Ilmu yang menyelidiki pertuturan konteksnya dan maknanya (Siregar 1997: 5).

  Dalam penelitian ini, pembicaraan mengenai kajian pragmatik lebih dibatasi pada implikatur dan tindak tutur yang merupakan bagian dari suatu tuturan dan konteks yang mempunyai peranan penting dalam situasi tuturan.

2.2.2 Implikatur

  Menurut Gunpers (dalam Lubis 1991:68), inferensi (implikatur) adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Selalu benar apa yang dimaksud oleh si pembicara tidak sama dengan apa yang ditanggap oleh si pendengar sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat atau sering juga terjadi si pembicara mengulangi kembali ucapannya mungkin dengan cara atau kalimat yang lain supaya dapat ditanggapi oleh si pendengar.

  Hal yang memungkinkan berlangsungnya situasi percakapan seperti di atas dikuasai oleh satu hukum atau kaidah pragmatik umum yang menurut H. Paul Grice (1967 dalam Soemarmo 1988:171) disebut kaidah penggunaan bahasa. Kaidah ini mencakup peraturan tentang bagaimana percakapan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Kaidah ini terdiri dari dua pokok, yaitu: (1) prinsip koperatif yang menyatakan “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan dari maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

  Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang

  sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya seseorang harus mengatakan bahwa Jakarta adalah ibukota Indonesia, bukan kota-kota yang lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Akan tetapi, bila terjadi hal yang sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal demikian bisa terjadi.

  Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.

  Contoh: (4) Tetangga saya hamil.

  (5) Tetangga saya yang perempuan hamil.

  Ujaran (4) di atas lebih ringkas, juga tidak menyimpang nilai kebenarannya

(truth value). Setiap orang tentu mengetahui bahwa wanitalah yang mungkin hamil.

  Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan (5) sifatnya berlebihan. Kata hamil dalam (4) sudah menjelaskan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan dalam (5) justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini bertentangan dengan maksim kuantitas.

  Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan.

  Contoh: (6) + Ani, ada telepon untuk kamu.

  • Saya lagi di belakang, Bu!

  Jawaban (-) pada (6) di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila diamati, mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak dapat menerima telepon itu. Fenomena (6) mengisyaratkan bahwa fenomena relevansi tindak ujar peserta yang kontribusinya tidak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi memungkinkan pula pada apa yang diimplikasikan ujaran itu.

  Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak takabur, tidak taksa, dan tidak belebihan serta runtut.

  Contoh:

  (7) + let’s stop and get something to eat!

  • Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S!

  Dalam (7) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara langsung, yakni dengan mengeja satu per satu kata Mc Donalds. Penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya.

  Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah bahwa pendengarnya menganggap bahwa pembicaraanya mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas.

  Apabila terdapat tanda-tanda bahwa salah satu dasar atau maksim tersebut tidak diikuti maka ucapan itu mempunyai implikatur (Siregar 1997:30) Contoh: A. Nasinya sudah masak. Implikaturnya adalah silakan dimakan.

  B. Saya punya sepeda. Implikaturnya adalah sepeda saya boleh Anda pakai.

  Kalimat-kalimat di atas mempunyai implikatur karena keduanya tidak sesuai dengan maksim kuantitas (sesuatu yang jelas masih dinyatakan). Jadi, pendengarnya harus memutuskan bahwa ada makna lain di balik ucapan itu dan karena pada setiap percakapan kita harus menganggap bahwa prinsip kooperatifnya selalu diikuti maka makna di baliknya dengan mempergunakan kaidah-kaidah yang ada.

2.2.3 Tindak Tutur

  Menurut Searle, (dalam Rani 2004:158) komunikasi bahasa terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekadar lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku atau tindak tutur. Lebih tegasnya, tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa. Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah, tindak tutur dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah.

  Teori tindak tutur dikemukakan oleh John R. Searle (1983) dalam bukunya

  

Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language . Ia membagi praktik

  penggunaan bahasa menjadi tiga macam tindak tutur, yaitu: 1.

  Tindak “lokusi” yang mengaitkan suatu topik dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan “pokok” dengan “predikat” atau “topic” dan penjelasan dalam sintaksis. Dalam tindak ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan si penutur, tetapi bermaksud untuk memberi tahu petutur (dalam Lubis 1991:9) Contoh: Saya lapar, seseorang mengartikan Saya sebagai orang pertama tunggal (si penutur), dan lapar mengacu ke “perut yang kosong dan perlu diisi”, tanpa bermaksud untuk meminta makanan.

  Tindak “ilokusi” yaitu tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu. Pada tindak tutur ini, penutur mengucapkan kalimat tidak dimaksudkan untuk memberi tahu penutur saja, tetapi ada keinginan petutur melakukan tindakan di balik tuturan tersebut.

  Contoh: Saya lapar yang maksudnya adalah meminta makanan merupakan suatu tindak ilokusi. Begitu juga kalimat “ Saya mohon bantuan Anda” tidak hanya suatu pernyataan saja, tetapi maksudnya adalah si penutur benar-benar meminta bantuan.

  3. Tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu (Nababan 1989:18, dalam Lubis 1993:9) Contoh: dari kalimat Saya lapar yang dituturkan oleh si penutur menimbulkan efek kepada pendengar yaitu dengan memberikan atau menawarkan makanan kepada penutur. Dalam ilmu bahasa dapat kita samakan tindak lokusi itu dengan “predikasi”, tindak ilokusi dengan ‘maksud kalimat’ dan tindak perlokusi dengan ‘akibat suatu ungkapan’ atau dengan kata lain dapat kita katakan bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat itu. Ilokusi sebagai daya yang ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah, ejekan, keluhan, pujian, dan lain- lain. Perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya Kalimat: Nilai raportmu bagus sekali!

  Dari segi lokusi, ini hanya sebuah pernyataan bahwa nilai raport itu bagus (makna dasar). Dari segi ilokusi, dapat berupa pujian atau ejekan. Pujian kalau nilai raportnya memang bagus, dan ejekan kalau nilainya tidak bagus. Dari segi perlokusi dapat membuat pendengar itu menjadi sedih (muram) dan sebaliknya dapat mengucapkan terima kasih. tetapi mengharuskan si pedengar mengolahnya sehingga makna yang sebenarnya dapat ditentukannya. Jadi, kalimat: nilai raportmu bagus sekali bermakna dasar sebuah raport bernilai bagus. Prinsip kooperatifnya di sini dijalankan karena si pembicara menyatakan sesuai dengan tujuan pembicara itu. Dari segi evaluatifnya dapat dikatakan sebagai berikut: si pembicara menyatakan sesuatu dengan terang dan jelas dan ini biasanya mempunyai makna di balik ujaran tersebut.

  Dalam hal ini, konteks dan penuturnya memegang peranan untuk menyatakan nilai evaluatifnya. Jika yang menyatakan itu adalah orang tua kepada anaknya yang menunjukkan raportnya dan air muka orang tua itu tidak jernih, maka jelas daya ilokusi pernyataan itu adalah kekesalan. Simpulan ini menentukan bagaimana respon si pendengar atau anak yang mempunyai raport tersebut. Ia mungkin akan menyatakan bahwa guru-gurunya tidak jujur atau juga mungkin hanya merasa sedih atau mungkin juga dapat menangis atau ia menyatakan akan berusaha sekuat mungkin. Dan inilah nilai perlokusi.

  Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori, yakni:

1. Representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan.

  2. Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat 3. Komisif yaitu ilokusi yang terikat pada suatu tindakan pada masa depan, misalnya menjanjikan, menawarkan.

  Ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, menuduh, memuji, mengucapkan belasungkawa dan sebagainya.

  5. Deklaratif yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan, misalnya mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.

2.2.4 Konteks Konteks berasal dari bahasa latin ‘contexere’ yang berarti ‘menjalin bersama’.

  Kata konteks merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan yang berhubungan dengan dirinya, yang terjalin bersama.

  Hymes (1972, dalam Chaer, 1995:62), sorang pakar linguistik terkenal mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah:

  1. S (Setting and Scane).

  2. P (Participants).

  3. E (Ends), merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.

  4. A (Act sguence), mengacu kepada bentuk ujaran dan isi ujaran.

  5. K (Keys), mengacu pada nada, cara dan semangat bahwa suatu pesan disampaikan dengan senang hati, serius, mengejek, bergurau.

  6. I (Instrumentalities).

  7. N (Norm of interaction and interpretation), mengacu pada tingkah laku yang 8.

  G (Genres), mengacu pada jenis penyampaian.

  Setting berkenaan dengan tempat dan waktu tuturan berlangsung sedangkan

scane mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.

  Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi.

  Di lapangan sepak bola kita boleh bericara keras-keras, tetapi di ruang perpustakaan harus seperlahan mungkin.

  Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan).

  Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara dan pendengar, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda apabila berbicara dengan orang tua atau gurunya bila dibandingkan kalau ia berbicara dengan teman sebayanya.

  Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi

  di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara, namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Dalam peristiwa tutur di ruang kajian linguistik, dosen yang cantik itu berusaha menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami mahasiswanya namun mungkin ada diantara para

  Act Sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini

  berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan apa hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.

  Keys mengacu pada nada, cara dan semangat bahwa suatu pesan disampaikan:

  dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

  Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur

  lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentatalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek atau register.

  Norms of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan

  dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

  Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

2.3 Tinjauan Pustaka

  Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, dan pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (Alwi, dkk 2003: 912).

  Wijana (2001) meneliti implikatur dalam wacana pojok. Dia menyimpulkan mengritik, mengecam, memberikan cara-cara dengan sopan, seperti halnya wacana pojok dikreasikan sedemikian rupa dengan tuturan-tuturan yang berimplikatur. Dalam hal ini kajian pragmatik harus memberikan kepastian konteks agar semakin sempit atau terbatas kemungkinan implikatur yang dapat ditimbulkan oleh sebuah tuturan.

  Dewana (2001), dalam skripsinya Pasangan Bersesuaian dalam Wacana

  Persidangan (Analisis Implikatur Percakapan). Dia menyimpulkan tentang penerapan

  prinsip kerja sama serta empat maksim percakapan pasangaan bersesuaian yang terdapat pada analisis implikatur percakapan dalam wacana persidangan adalah pola panggilan-jawaban, pola permintaan pemersilahan-penerimaan, pola permintaan informasi-pemberian, pola penawaran-penerimaan, pola penawaran-penolakan.

  Dari uraian di atas, penelitian terhadap implikatur dalam wacana khususnya wacana teks pidato masih sedikit. Oleh karena itu, pada kesempatan ini akan diteliti bagaimana bentuk implikatur dalam teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila dan pesan-pesan apa yang tersirat di balik konteks pidato tersebut.