Teks Pidato Soekarno Tentang Lahirnya Pancasila Tinjauan Pragmatik

(1)

TEKS PIDATO SOEKARNO TENTANG LAHIRNYA PANCASILA

TINJAUAN PRGAMATIK

SKRIPSI

OLEH

FORESTER K. P. MENDROFA NIM 080701017

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya orang yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang tertulis sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Maret 2012


(4)

TEKS PIDATO SOEKARNO TENTANG LAHIRNYA PANCASILA

TINJAUAN PRAGMATIK

FORESTER K. P. MENDROFA ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Teks Pidato Soekarno Tentang Lahirnya Pancasila Tinjauan Prgamatik.” Metode yang digunakan adalah metode padan dengan menggunakan data wacana teks pidato Seokarno yang terdapat dalam buku lahirnya pancasila. Data kemudian dianalisis berdasarkan teori H. Paul Grace, J.L. Austin dan Searle yang digunakan sebagai kerangka. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetukan implikatur dan tindak tutur apa sajakah yang terdapat dalam teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya Pancasila. Teori yang digunakan adalah bagian dari Pragmatik, yaitu teori implikatur oleh H. Paul Grice dan tindak tutur oleh J.L. Austin dan Searle. Temuan ini menunjukkan bahwa implikatur yang terkandung dalam wacana teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila dapat disimpulkan lebih mengarah pada tindakan untuk menambah wawasan, membakar semangat, mengajak dan mempengaruhi audiens yang hadir pada sidang pertama BPUPKI tersebut pada hari ke empat, mengenai pembicaraan tentang dasar negara Indonesia. Hal ini disesuaikan dengan konteks yang lekat dengan situasi anggota sidang tersebut yang sedang bergulat dengan pendapatnya masing-masing tentang dasar negara Indonesia yang terbaik yang akan diterima dan disetujui oleh pihak Jepang dan juga pihak Indonesia sendiri. Dalam wacana tersebut juga ditemukan tiga jenis tindak tutur yaitu (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, (3) tindak perlokusi. Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle (Leech, 1993:164), dapat dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan wacana teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila mencakup tindak ilokusi representatif atau asertif, direktif, dan ekspresif. Kategori ilokusi ini disimpulkan berdasarkan analisis pembukaan, isi, dan penutup pidato Soekarno, yang dianggap dapat mewakili keseluruhan teks pidato tersebut.


(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, atas kasih dan karunia-Nya yang senantiasa berlimpah kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada orang tua tercinta, Bapak Folata Mendrofa, S.Pd dan Ibu Yasminta Harefa, karena telah memberikan dukungan moral, material, kasih sayang yang tanpa batas, dan doa yang tidak pernah berhenti. Kiranya kasih setia dan kemurahan Tuhan senantiasa bersama dengan kita semua.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menemui kesulitan, akan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik berupa dorongan nasihat, dukungan moral, dan petunjuk praktis maka penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak yang telah membantu penulisan ini, yaitu:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Ikhwanuddin Nasution, M. Si., selaku ketua Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara,

3. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, SP, selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Asrul Siregar, M. Hum., selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan dan saran kepada penulis, baik dalam perkuliahan maupun saat proses penulisan skripsi ini.


(6)

5. Bapak Drs. T. Aiyub Sulaiman, selaku pembimbing II yang telah banyak memberi dukungan dan membantu penulis dalam penyusunan proposal hingga penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Drs. Amhar Kudadiri, M. Hum., sebagai Dosen Penasehat Akademik yang turut memberikan nasihat dan dukungan selama proses perkuliahan sampai pengerjaan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan, baik dalam bidang linguistik, sastra maupun bidang-bidang umum lainnya, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

8. Adik penulis tercinta, Cahaya Ningsih Mendrofa, yang selalu menjadi penyemangat dalam segala hal. (Terimakasih telah hadir ke dunia, menemaniku, karena tanpamu, aku tidak pernah merasakan bahagianya menjadi seorang kakak.)

9. Sahabat-sahabat penulis, yang tidak pernah lelah menjadi semangat penulis, untuk menjadi yang lebih baik. (Nama kalian akan selalu ada dihatiku, selamanya).

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan. Untuk itu dengan kerendahan hati penulis menerima segala saran dan kritik yang dapat menyempurnakan isi skripsi ini. Terima kasih.

Medan, Maret 2012 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ...i

ABSTRAK ...ii

PRAKATA ...iii

DAFTAR ISI ...v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah ...1

1.1.1 Latar Belakang ...1

1.2.1 Masalah ...6

1.2 Batasan Masalah ...6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...7

1.3.1 Tujuan Penelitian ...7

1.3.2 Manfaat Penelitian ...7

1.3.2.1 Manfaat Teoretis ...7

1.3.2.2 Manfaat Praktis ...7

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ...8

2.1.1 Tinjauan ...8

2.1.2 Teks Pidato Soekarno ...8

2.1.3 Lahirnya Pancasila ...9

2.1.4 Pragmatik ...9

2.2 Landasan Teori ...9

2.2.1 Pragmatik ...9


(8)

2.2.3 Tindak Tutur ...14

2.2.4 Konteks ...17

2.3 Tinjauan Pustaka ...19

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...21

3.1.1 Lokasi Penelitian ...21

3.1.2 Waktu Penelitian...21

3.2 Populasi dan Sampel...21

3.2.1 Populasi ...21

3.2.2 Sampel ...21

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...22

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ...23

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Implikatur dan Tindak Tutur Pembukaan Teks Pidato Soekarno Lahirnya Pancasila ...29

4.2 Implikatur dan Tindak Tutur Isi Teks Pidato Soekarno Lahirnya Pancasila...35

4.3 Implikatur dan Tindak Tutur Penutup Teks Pidato Soekarno Lahirnya Pancasila...41

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ...47

5.2 Saran ...48


(9)

TEKS PIDATO SOEKARNO TENTANG LAHIRNYA PANCASILA

TINJAUAN PRAGMATIK

FORESTER K. P. MENDROFA ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Teks Pidato Soekarno Tentang Lahirnya Pancasila Tinjauan Prgamatik.” Metode yang digunakan adalah metode padan dengan menggunakan data wacana teks pidato Seokarno yang terdapat dalam buku lahirnya pancasila. Data kemudian dianalisis berdasarkan teori H. Paul Grace, J.L. Austin dan Searle yang digunakan sebagai kerangka. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetukan implikatur dan tindak tutur apa sajakah yang terdapat dalam teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya Pancasila. Teori yang digunakan adalah bagian dari Pragmatik, yaitu teori implikatur oleh H. Paul Grice dan tindak tutur oleh J.L. Austin dan Searle. Temuan ini menunjukkan bahwa implikatur yang terkandung dalam wacana teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila dapat disimpulkan lebih mengarah pada tindakan untuk menambah wawasan, membakar semangat, mengajak dan mempengaruhi audiens yang hadir pada sidang pertama BPUPKI tersebut pada hari ke empat, mengenai pembicaraan tentang dasar negara Indonesia. Hal ini disesuaikan dengan konteks yang lekat dengan situasi anggota sidang tersebut yang sedang bergulat dengan pendapatnya masing-masing tentang dasar negara Indonesia yang terbaik yang akan diterima dan disetujui oleh pihak Jepang dan juga pihak Indonesia sendiri. Dalam wacana tersebut juga ditemukan tiga jenis tindak tutur yaitu (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, (3) tindak perlokusi. Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle (Leech, 1993:164), dapat dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan wacana teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila mencakup tindak ilokusi representatif atau asertif, direktif, dan ekspresif. Kategori ilokusi ini disimpulkan berdasarkan analisis pembukaan, isi, dan penutup pidato Soekarno, yang dianggap dapat mewakili keseluruhan teks pidato tersebut.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang

Bahasa adalah sebuah media komunikasi yang digunakan manusia dalam berinteraksi. Bahasa sebagai lambang bunyi yang arbitrer digunakan oleh masyarakat untuk berhubungan dan bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Harimurti Kridalaksana, 1994:24). Hidayat (dalam Sobur, 2004: 274) mengatakan bahwa pengertian bahasa adalah percakapan, alat untuk melukiskan sesuatu pikiran, perasaan, atau pengalaman; alat ini terdiri dari kata-kata yang merupakan penghubung bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti.

Bahasa dan pikiran saling berkaitan erat. Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Saphir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia.

Salah satu bentuk penggunaan bahasa dapat dilihat dalam wacana. Kridaklaksana (dalam Tarigan, 1993: 25) mengatakan wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.

Menurut Tarigan (1987: 23) istilah wacana mencakup komunikasi pikiran dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau gagasan, komunikasi secara umum serta


(11)

kegiatan formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon. Salah satu bentuk wacana berdasarkan media penyampaiannya adalah wacana lisan. Wacana lisan atau

spoken discourse adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan (Tarigan 1987: 55). Salah satu wacana yang disampaikan secara lisan adalah pidato. Untuk menerima, memahami, atau menikmati sebuah wacana lisan maka penerima harus menyimak dan mendengarkan wacana tersebut. Hal terpenting adalah kemampuan penyimak atau pendengar untuk memahami maksud dan tujuan yang disampaikan dengan tetap menggunakan daya nalar yang dimiliki.

Istilah penalaran sebagai terjemahan dari bahasa Inggris reasoning menurut kamus The Random House Dictionary berarti the act or process of a person who reasons (kegiatan atau proses menalar yang dilakukan oleh seseorang), sedangkan

reason berarti the mental powers concerned with forming conclusion, judgements or inferences (kekuatan mental yang berkaitan dengan pembentukan simpulan dan penilaian) (Effendy, 1990: 104). Dalam menganalisis wacana, pendengar atau penyimak harus memiliki daya nalar yang baik sehingga pendengar atau penyimak dapat membentuk suatu simpulan dan penilaiannya sendiri terhadap wacana yang disampaikan. Dengan kata lain, pendengar atau penyimak dapat memahami makna yang terkandung dalam wacana tersebut.

Pemahaman terhadap wacana lisan, dalam hal ini pidato jelas membutuhkan pemikiran dan pengertian yang mendalam terhadap beberapa aspek yang mendukung pendengar atau penyimak dalam menerima isi dan tujuan yang disampaikan oleh pemberi pidato. Aspek tersebur antara lain adalah studi pragmatik yang bergelut pada ranah pengambilan makna melalui hubungan bahasa dengan pemakainya.

Pragmatik menurut Levinson (dalam Siregar, 1997: 23) adalah penelitian di dalam bidang deiksis, implikatur, praanggapan, pertuturan (tindak ujar) dan struktur


(12)

wacana. Leech (1974: 22) berpendapat bahwa pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar. Leech membatasi pragmatik umum pada kajian komunikasi linguistik yang berkenaan dengan prinsip-prinsip percakapan, dan pada suatu model pragmatik yang retoris.

Penggunaan istilah ‘retoris’ ini sangat tradisional dan mengacu pada kajian mengenai pemakaian bahasa secara efektif di dalam komunikasi. Dalam tradisi-tradisi historis tertentu, retorik diartikan sebagai seni keterampilan menggunakan bahasa untuk tujuan-tujuan persuasi, sastra, atau berpidato. Istilah retorik memusatkan diri pada situasi ujar yang berorientasi tujuan, dan di dalam situasi tersebut penutur memakai bahasa dengan tujuan menghasilkan suatu efek tertentu pada pikiran petutur.

Jalan menuju pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks. Dijk (dalam Lubis, 1993: 21) berpendapat bahwa teks sama dengan discourse, yaitu kesatuan dari beberapa kalimat yang satu dengan yang lain saling terikat erat. Pengertian satu kalimat harus dihubungkan dengan kalimat yang lain dan tidak dapat ditafsirkan satu-satu kalimat. Dengan kata lain, teks adalah satu kesatuan semantik bukan kesatuan gramatikal. Kesatuan yang bukan dikarenakan bentuknya (seperti morfem, klausa, kalimat) tetapi kesatuan artinya.

Teks adalah suatu contoh proses dan hasil dari makna dalam konteks situasi tertentu. Pemahaman terhadap teks tidak terlepas dari konteks yang menyertai teks tersebut. Teks dan konteks merupakan aspek dari proses yang sama. Ada teks dan ada teks lain yang menyertainya (yang disebut konteks). Pengertian mengenai konteks tidak hanya meliputi hal-hal tertulis melainkan juga hal-hal yang tanpa kata atau nonverbal (Halliday dan Hasan, 1992:6). Teks dan konteks dapat muncul bersama-sama dalam sebuah pidato.


(13)

Pidato adalah mengungkapkan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak atau wacana yang disiapkan untuk diucapkan di depan khalayak (KBBI, 2003: 871). Pidato merupakan salah satu bentuk retorika. Retorika atau dalam bahasa Inggris rhetoric bersumber dari perkataan Latin rhetorica yang berarti ilmu bicara (Effendy, 1990: 53). Cleanth Brooks dan Robert Penn Waren (dalam Effendy, 1990: 53) dalam bukunya, Modern Rhetoric, mendefenisikan retorika sebagai the art of using language effectively atau seni penggunaan bahasa secara efektif.

Pemahaman terhadap sebuah pidato tidak dapat dipisahkan dari struktur yang membangun pidato tersebut. Seperti pada teks pidato lahirnya pancasila, Soekarno sebagai seorang yang terampil dalam berpidato terlihat dengan sangat jelas membangun pidatonya dengan struktur yang sangat terperinci. (Wisanggeni, 2011 : 71) dalam bukunya, Cara Instan Jago MC & Berpidato Dalam Bahasa Indonesia,

mengatakan bahwa secara garis besar, kerangka pidato dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut,

1. Pendahuluan atau Pembuka

Pendahuluan atau pembuka bertujuan untuk mempersiapkan pendengar pada pokok permasalahan yang hendak dikemukakan. Pendahuluan berisi sapaan kepada pendengar, ucapan syukur, dan latar belakang masalah.

2. Isi

Bagian isi berisi gagasan pokok atau materi yang hendak disampaikan. 3. Penutup

Berisi rangkuman, seruan, maupun penegasan kembali. Penutup berupa kesimpulan, saran dan ucapan terimakasih.

Soekarno yang lebih dikenal dengan sapaan Bung Karno merupakan tokoh nasionalisme Indonesia yang juga sebagai presiden Indonesia pertama lahir di


(14)

Surabaya pada tangal 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1970 dalam umur yang ke-69 tahun.

Soekarno memilki peranan yang sangat penting dalam memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Soekarno tidak hanya sebagai proklamator kemerdekaan tetapi juga sebagai pemikir dan pencetus dasar negara Republik Indonesia yang sekarang kita kenal sebagai pancasila.

Tim Redaksi Nera Pustaka (2011 :254) mengatakan bahwa Soekarno dikenal dunia internsional sebagai pejuang dan konseptor kemerdekaan RI yang handal. Banyak konsepnya sangat dikagumi oleh dunia karena itu ia sering kali diundang oleh banyak negara. Undangan itu ia manfaatkan untuk mengungkapkan konsepnya tentang pembangunan dan perjuangan yang disampaikannya dengan menarik yang membuat orang terkagum padanya. Soekarno dikenal sebagai pejuang dan peletak dasar RI yang punya kemampuan berpidato yang baik yang dapat ditunjukkan di level internasional dan dalam negara Indonesia. Pidato yang mengesankan dari Soekarno adalah pidato hari lahirnya Pancasila dan hari kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945.

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau dalam bahasa Dokuritsu Junbi Cosakai atau dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai adalah sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara tanggal dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan bangsa menjanjikan bahwa beranggotakan 63 orang yang diketuai ole ketua Hibangase Yosio (orang Jepang) dan R.P. Soeroso.


(15)

Rapat pertama diadakan di gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Pada zaman Belanda, gedung

tersebut merupakan gedung

Rapat dibuka pada tanggal 28 Mei 1945 dan pembahasan dimulai keesokan harinya 29 Mei 1945 dengan tema dasar negara. Pada sidang pertama ini terdapat 3 orang yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara. Pada tanggal 29 Mei 1945, Mr tanggal 1 Juni yaitu:

a. Kebangsaan Indonesia

b. Internasionalisme dan peri kemanusiaan c. Mufakat atau demokrasi

d. Kesejahteraan sosial e. Ketuhanan yang Maha Esa

Kelima asas dari Soekarno disebut pancasila yang menurut beliau bilamana diperlukan dapat diperas menjadi Trisila atau Tiga Sila yaitu:

a. Sosionasionalisme b. Sosiodemokrasi

c. Ketuhanan yang berkebudayaan

Bahkan masih menurut Soekarno, Trisila tersebut di atas bila diperas kembali disebutnya sebagai Ekasila yaitu merupakan sila gotong royong yang merupakan upaya kesatuan. Selanjutnya lima asas tersebut kini dikenal dengan istila konsep tersebut pada akhirnya disetujui dengan urutan serta redaksi yang sedikit berbeda.


(16)

Lahirnya Pancasila merupakan buah dari pidato Bung Karno yang diucapkan dengan tidak tertulis pada masa dahulu dalam sidang pertama BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 (hari ke empat) ketika sidang membicarakan Dasar (Beginsel) Negara Indonesia, sebagai wujud dari keinginan bung Karno. Pidato yang disampaikan langsung tanpa naskah ini, sangatlah luar biasa isinya, hingga mampu mencetuskan kelangsungan hidup bangsa Indonesia hingga saat ini.

Teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila ini menarik dan penting untuk diteliti karena menunjukkan suatu kekuatan bahasa berkaitan dengan makna bahasa dan pemakai bahasa tersebut dalam menghasilkan sesuatu yang merupakan landasan berlangsungnya kehidupan suatu bangsa yang besar yaitu bangsa Indonesia. Hal tersebut menjadi alasan utama peneliti melakukan penelitian yang lebih mendalam terhadap teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya Pancasila. Adapun judul penelitian ini adalah Teks Pidato Soekarno Tentang Lahirnya Pancasila, Tinjauan Pragmatik.

1.1.1 Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Implikatur apakah yang terdapat dalam teks pidato Soekarno tentang lahirnya pancasila?

2. Tindak tutur apa sajakah yang terdapat dalam teks pidato Soekarno tentang lahirnya pancasila


(17)

1.2 Batasan Masalah

Sebuah penelitian sangat membutuhkan batasan masalah agar penelitian tersebut terarah dan tidak terlalu luas sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Adapun yang menjadi batasan dalam penelitian ini terbatas pada analisis pragmatik yang meliputi implikatur dan tindak tutur yang terdapat pada teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila, pada tanggal 1 Juni 1945.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang dirumuskan, adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut di bawah ini.

1. Menentukan implikatur yang terdapat dalam teks pidato Soekarno tentang lahirnya pancasila.

2. Menemukan dan menganalisis jenis-jenis tindak tutur yang terdapat dalam teks pidato Soekarno tentang lahirnya pancasila.

1.3.2 Manfaat penelitian 1.3.2.1Manfaat Teoretis

Secara teoretis, manfaat hasil penelitian tinjauan pragmatik terhadap teks pidato lahirnya pancasia Presiden Soekarno adalah:

(1) menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai pidato lahirnya pancasila Presiden Soekarno yang membuahkan tercetusnya dasar negara kita. (2) menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin membicarakan tentang teks


(18)

1.3.2.2Manfaat Praktis

Hasil penelitian tinjauan pragmatik terhadap teks pidato lahirnya pancasila Presiden Soekarno secara praktis dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran kepada calon-calon pemimpin bangsa agar memiliki kemampuan retorik yang baik, sehingga mampu menyebarluaskan dan menanamkan nilai-nilai nasional dan rasa kecintaan akan kesatuan dan persatuan bangsa kepada masyarakat, demi tercapainya suatu keadaan yang dikehendaki bersama.


(19)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk 2003: 588).

2.1.1 Tinjauan

Tinjauan adalah hasil meninjau; pandangan; pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari dan sebagainya) atau perbuatan meninjau (KBBI, 2007: 1198).

2.1.2 Teks Pidato Soekarno

Pidato adalah mengungkapkan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak atau wacana yang disiapkan untuk diucapkan di depan khalayak (KBBI, 2003: 871). Berikut ini merupakan sebagian dari pidato Soekarno pada sidang BPUPKI yang pertama tanggal 1 Juni 1945.

Paduka tuan Ketua yang mulia!

Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.

Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda "philosofische grondslag" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan "merdeka".

Merdeka buat saya ialah: "political independen-ce", politieke onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?

Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir,


(20)

kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan di dalam bahasa asing, ma'afkan perkataan ini - "zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil "zwaarwichtig" sampai kata orang Jawa "jelimet". Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.

Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.

Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!

Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.

Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toh Saudi Arabia merdeka!

Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!

Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur!

(Tepuk tangan riuh).

2.1.3 Lahirnya Pancasila

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau dalam bahasa Dokuritsu Junbi Cosakai atau dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai adalah sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan bala tentar tanggal dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan bangsa


(21)

menjanjikan bahwa beranggotakan 63 orang yang diketuai ole ketua Hibangase Yosio (perwakilan Jepang) dan R.P. Soeroso.

2.1.4 Pragmatik

Pragmatik menurut levinson (dalam Siregar, 1997:23) adalah penelitian di dalam bidang deiksis, implikatur, praanggapan, pertuturan (tindak ujar) dan struktur wacana. Leech (1974:22) berpendapat bahwa pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Pragmatik

Teori pragmatik merupakan disiplin ilmu yang relevan untuk penelitian ini. Istilah pragmatik lahir dari pemikiran seorang filosof yang bernama Charles Morris (1983) yang mengolah kembali pemikiran filosof-filosof pendahulunya (Locke dan Pierce) mengenai semiotik. Oleh Morris, semiotik dibedakan menjadi sintaksis, pragmatik, dan semantik. Kajian mengenai hubungan antartanda disebut dengan sintaksis; telaah mengenai hubungan antara tanda-tanda dengan denotatanya disebut semantik; dan telaah mengenai hubungan antara tanda dengan pemakai tanda disebut pragmatik (Siregar 1997: 3).

Di dalam “Kamus Linguistik” Harimurti Kridaklaksana (1982) disebutkan, pragmatik adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; pragmatika adalah 1. Cabang semiotika yang mempelajari asal-usul, pemakaian dan akibat lambang dan tanda; 2. Ilmu yang menyelidiki pertuturan konteksnya dan maknanya (Siregar 1997: 5).


(22)

Dalam penelitian ini, pembicaraan mengenai kajian pragmatik lebih dibatasi pada implikatur dan tindak tutur yang merupakan bagian dari suatu tuturan dan konteks yang mempunyai peranan penting dalam situasi tuturan.

2.2.2 Implikatur

Menurut Gunpers (dalam Lubis 1991:68), inferensi (implikatur) adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Selalu benar apa yang dimaksud oleh si pembicara tidak sama dengan apa yang ditanggap oleh si pendengar sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat atau sering juga terjadi si pembicara mengulangi kembali ucapannya mungkin dengan cara atau kalimat yang lain supaya dapat ditanggapi oleh si pendengar.

Hal yang memungkinkan berlangsungnya situasi percakapan seperti di atas dikuasai oleh satu hukum atau kaidah pragmatik umum yang menurut H. Paul Grice (1967 dalam Soemarmo 1988:171) disebut kaidah penggunaan bahasa. Kaidah ini mencakup peraturan tentang bagaimana percakapan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Kaidah ini terdiri dari dua pokok, yaitu: (1) prinsip koperatif yang menyatakan “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu.” (2) empat maksim percakapan yang terdiri dari maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya seseorang harus mengatakan bahwa Jakarta adalah ibukota Indonesia, bukan kota-kota yang lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Akan tetapi, bila terjadi hal yang sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal demikian bisa terjadi.


(23)

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Contoh:

(4) Tetangga saya hamil.

(5) Tetangga saya yang perempuan hamil.

Ujaran (4) di atas lebih ringkas, juga tidak menyimpang nilai kebenarannya

(truth value). Setiap orang tentu mengetahui bahwa wanitalah yang mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan (5) sifatnya berlebihan. Kata hamil dalam (4) sudah menjelaskan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan

dalam (5) justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini bertentangan dengan maksim kuantitas.

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan.

Contoh:

(6) + Ani, ada telepon untuk kamu. - Saya lagi di belakang, Bu!

Jawaban (-) pada (6) di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila diamati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Jawaban (-) pada (6) mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak dapat menerima telepon itu. Fenomena (6) mengisyaratkan bahwa fenomena relevansi tindak ujar peserta yang kontribusinya tidak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi memungkinkan pula pada apa yang diimplikasikan ujaran itu.

Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak takabur, tidak taksa, dan tidak belebihan serta runtut.


(24)

(7) + let’s stop and get something to eat! - Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S!

Dalam (7) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara langsung, yakni dengan mengeja satu per satu kata Mc Donalds. Penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya.

Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah bahwa pendengarnya menganggap bahwa pembicaraanya mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas. Apabila terdapat tanda-tanda bahwa salah satu dasar atau maksim tersebut tidak diikuti maka ucapan itu mempunyai implikatur (Siregar 1997:30)

Contoh:

A. Nasinya sudah masak. Implikaturnya adalah silakan dimakan.

B. Saya punya sepeda. Implikaturnya adalah sepeda saya boleh Anda pakai.

Kalimat-kalimat di atas mempunyai implikatur karena keduanya tidak sesuai dengan maksim kuantitas (sesuatu yang jelas masih dinyatakan). Jadi, pendengarnya harus memutuskan bahwa ada makna lain di balik ucapan itu dan karena pada setiap percakapan kita harus menganggap bahwa prinsip kooperatifnya selalu diikuti maka tugas pendengarnya adalah menetapkan atau mengolah ucapan itu untuk menentukan makna di baliknya dengan mempergunakan kaidah-kaidah yang ada.

2.2.3 Tindak Tutur

Menurut Searle, (dalam Rani 2004:158) komunikasi bahasa terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekadar lambang, kata, atau


(25)

kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku atau tindak tutur. Lebih tegasnya, tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa. Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah, tindak tutur dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah.

Teori tindak tutur dikemukakan oleh John R. Searle (1983) dalam bukunya

Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language. Ia membagi praktik penggunaan bahasa menjadi tiga macam tindak tutur, yaitu:

1. Tindak “lokusi” yang mengaitkan suatu topik dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan “pokok” dengan “predikat” atau “topic” dan penjelasan dalam sintaksis. Dalam tindak ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan si penutur, tetapi bermaksud untuk memberi tahu petutur (dalam Lubis 1991:9)

Contoh: Saya lapar, seseorang mengartikan Saya sebagai orang pertama tunggal (si penutur), dan lapar mengacu ke “perut yang kosong dan perlu diisi”, tanpa bermaksud untuk meminta makanan.

2. Tindak “ilokusi” yaitu tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu. Pada tindak tutur ini, penutur mengucapkan kalimat tidak dimaksudkan untuk memberi tahu penutur saja, tetapi ada keinginan petutur melakukan tindakan di balik tuturan tersebut.

Contoh: Saya lapar yang maksudnya adalah meminta makanan merupakan suatu tindak ilokusi. Begitu juga kalimat “ Saya mohon bantuan Anda” tidak hanya suatu pernyataan saja, tetapi maksudnya adalah si penutur benar-benar meminta bantuan.


(26)

3. Tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu (Nababan 1989:18, dalam Lubis 1993:9)

Contoh: dari kalimat Saya lapar yang dituturkan oleh si penutur menimbulkan efek kepada pendengar yaitu dengan memberikan atau menawarkan makanan kepada penutur. Dalam ilmu bahasa dapat kita samakan tindak lokusi itu dengan “predikasi”, tindak ilokusi dengan ‘maksud kalimat’ dan tindak perlokusi dengan ‘akibat suatu ungkapan’ atau dengan kata lain dapat kita katakan bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat itu. Ilokusi sebagai daya yang ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah, ejekan, keluhan, pujian, dan lain-lain. Perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya

Kalimat: Nilai raportmu bagus sekali!

Dari segi lokusi, ini hanya sebuah pernyataan bahwa nilai raport itu bagus (makna dasar). Dari segi ilokusi, dapat berupa pujian atau ejekan. Pujian kalau nilai raportnya memang bagus, dan ejekan kalau nilainya tidak bagus. Dari segi perlokusi dapat membuat pendengar itu menjadi sedih (muram) dan sebaliknya dapat mengucapkan terima kasih.

Ucapan yang tidak langsung itu tidak menyatakan pujian atau ejekan, tetapi mengharuskan si pedengar mengolahnya sehingga makna yang sebenarnya dapat ditentukannya. Jadi, kalimat: nilai raportmu bagus sekali bermakna dasar sebuah raport bernilai bagus. Prinsip kooperatifnya di sini dijalankan karena si pembicara menyatakan sesuai dengan tujuan pembicara itu. Dari segi evaluatifnya dapat dikatakan sebagai berikut: si pembicara menyatakan sesuatu dengan terang dan jelas dan ini biasanya mempunyai makna di balik ujaran tersebut.


(27)

Dalam hal ini, konteks dan penuturnya memegang peranan untuk menyatakan nilai evaluatifnya. Jika yang menyatakan itu adalah orang tua kepada anaknya yang menunjukkan raportnya dan air muka orang tua itu tidak jernih, maka jelas daya ilokusi pernyataan itu adalah kekesalan. Simpulan ini menentukan bagaimana respon si pendengar atau anak yang mempunyai raport tersebut. Ia mungkin akan menyatakan bahwa guru-gurunya tidak jujur atau juga mungkin hanya merasa sedih atau mungkin juga dapat menangis atau ia menyatakan akan berusaha sekuat mungkin. Dan inilah nilai perlokusi.

Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori, yakni:

1. Representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan. 2. Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan

yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat

3. Komisif yaitu ilokusi yang terikat pada suatu tindakan pada masa depan, misalnya menjanjikan, menawarkan.

4. Ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, menuduh, memuji, mengucapkan belasungkawa dan sebagainya. 5. Deklaratif yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan,

misalnya mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.


(28)

2.2.4 Konteks

Konteks berasal dari bahasa latin ‘contexere’ yang berarti ‘menjalin bersama’. Kata konteks merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan yang berhubungan dengan dirinya, yang terjalin bersama.

Hymes (1972, dalam Chaer, 1995:62), sorang pakar linguistik terkenal mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah:

1. S (Setting and Scane).

2. P (Participants).

3. E (Ends), merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.

4. A (Act sguence), mengacu kepada bentuk ujaran dan isi ujaran.

5. K (Keys), mengacu pada nada, cara dan semangat bahwa suatu pesan disampaikan dengan senang hati, serius, mengejek, bergurau.

6. I (Instrumentalities).

7. N (Norm of interaction and interpretation), mengacu pada tingkah laku yang khas dan sikap yang berkaitan dengan peristiwa tutur.

8. G (Genres), mengacu pada jenis penyampaian.

Setting berkenaan dengan tempat dan waktu tuturan berlangsung sedangkan

scane mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi.


(29)

Di lapangan sepak bola kita boleh bericara keras-keras, tetapi di ruang perpustakaan harus seperlahan mungkin.

Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara dan pendengar, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda apabila berbicara dengan orang tua atau gurunya bila dibandingkan kalau ia berbicara dengan teman sebayanya.

Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara, namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Dalam peristiwa tutur di ruang kajian linguistik, dosen yang cantik itu berusaha menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami mahasiswanya namun mungkin ada diantara para mahasiswa datang hanya untuk memandang wajah ibu dosen yang cantik itu.

Act Sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan apa hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.

Keys mengacu pada nada, cara dan semangat bahwa suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan


(30)

mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentatalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek atau register.

Norms of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, dan pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (Alwi, dkk 2003: 912).

Wijana (2001) meneliti implikatur dalam wacana pojok. Dia menyimpulkan tentang fakta bahwa sebuah tuturan khususnya tuturan yang diutarakan untuk maksud mengritik, mengecam, memberikan cara-cara dengan sopan, seperti halnya wacana pojok dikreasikan sedemikian rupa dengan tuturan-tuturan yang berimplikatur. Dalam hal ini kajian pragmatik harus memberikan kepastian konteks agar semakin sempit atau terbatas kemungkinan implikatur yang dapat ditimbulkan oleh sebuah tuturan.

Dewana (2001), dalam skripsinya Pasangan Bersesuaian dalam Wacana Persidangan (Analisis Implikatur Percakapan). Dia menyimpulkan tentang penerapan prinsip kerja sama serta empat maksim percakapan pasangaan bersesuaian yang


(31)

terdapat pada analisis implikatur percakapan dalam wacana persidangan adalah pola panggilan-jawaban, pola permintaan pemersilahan-penerimaan, pola permintaan informasi-pemberian, pola penawaran-penerimaan, pola penawaran-penolakan.

Dari uraian di atas, penelitian terhadap implikatur dalam wacana khususnya wacana teks pidato masih sedikit. Oleh karena itu, pada kesempatan ini akan diteliti bagaimana bentuk implikatur dalam teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila dan pesan-pesan apa yang tersirat di balik konteks pidato tersebut.


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi adalah letak atau tempat (Alwi, dkk 2003: 680). Adapun lokasi penelitian ini adalah perpustakaan-perpustakaan yang menyimpan bukti-bukti tertulis tentang pidato Presiden Soekarno pada waktu lahirnya pancasila.

3.1.2 Waktu Penelitian

Penulis melakukan penelitian terhadap objek selama dua minggu.

3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi

Populasi adalah sekelompok orang, benda, atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel; suatu kumpulan yang memenuhi syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian (Alwi, dkk 2003: 889).

Berdasarkan pengertian di atas, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila yang disampaikan beliau pada rapat BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.

3.2.2 Sampel

Menurut Arikunto (1998: 117) sampel penelitian adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel penelitian ini ditentukan dengan menggunakan

purposive sampling (Bungin, 2003: 53). Sebuah sampel dari populasi ditentukan secara sengaja oleh peneliti yang dinilai mampu mewakili populasi. Dari teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila ditentukan tiga bagian yang dinilai mampu mewakili pembukaan, isi, dan penutup teks pidato tersebut yang berupa


(33)

rangkaian paragraf yang mengandung satu atau beberapa ide pokok yang berkesinambungan.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode adalah cara mendekati, mengamati, menganalisis dan menjelaskan suatu fenomena (Kridalaksana, 2001:136). Data sangat diperlukan dalam penelitian untuk dianalisis. Oleh karena itu, untuk memperoleh data penelitian ini penulis menggunakan metode simak. Disebut metode simak atau penyimakan karena memang berupa penyimakan: dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Metode ini digunakan karena penulis hanya menyimak pemakaian bahasa pada pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI yang pertama yang terdapat pada buku Lahirnya Pancasila. Pada dasarnya, penyimakan itu diwujudkan dengan penyadapan. Kegiatan menyadap itu dapat dipandang sebagai teknik dasarnya dan dapat disebut “teknik sadap”. Sebagai teknik lanjutannya, penulis menggunakan teknik simak bebas libat cakap. Hal ini disebabkan penulis tidak terlibat dalam dialog, melainkan penulis berkedudukan sebagai pemerhati bahasa. Dalam hal ini, konsep “dialog” digunakan dalam arti yang seluas-luasnya, yang pada pokoknya melibatkan dua pihak yang berlaku sebagai pembicara dan mitra wicara, baik secara berganti-ganti maupun tidak, baik yang lebih bersifat komunikasi (dua arah dan timbal balik, sehingga bersifat imbal wicara) maupun yang lebih bersifat kontak (satu arah), (Sudaryanto 1993:134). Mengingat objek penelitian ini adalah teks pidato Presiden soekarno lahirnya pancasila, maka penulis mengambil data tentang pidato tersebut dari sumber yang mendukung baik buku maupun internet. Selanjutnya, data yang dijadikan bahan untuk penelitian ini adalah data yang bersifat tertulis.


(34)

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan penulis dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap analisis data adalah metode padan. Metode padan adalah metode penelitian yang alat penentunya berada di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (language) yang bersangkutan (Sudaryanto 1993:13). Teknik merupakan jabaran metode yang ditentukan oleh alat yang dipakai. Fakta itu menunjukkan bahwa dalam berbicara tentang teknik, ihwal alat yang dipakai sangat penting untuk dibahas. Peneliti sendiri menggunakan teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP sebagai teknik dasar di dalam penelitian ini. Adapun alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto, 1993:21). Sesuai dengan jenis penentu yang akan dipisah-pisahkan atau dibagi menjadi berbagai unsur itu maka daya pilah itu dapat disebut daya pilah referensial.

Contoh :

Paragraf 1 dan 2 pidato Soekarno (data 1) Paduka Tuan Ketua yang Mulia!

“Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.”

Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda "philosofische grondslag" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan "merdeka".


(35)

Contoh data (1) dianalisis dengan menggunakan teori implikatur dan tindak tutur yang dijadikan landasan teori pada penelitian ini. Tuturan pada data (1) akan dianalisis sebagai berikut:

Langkah pertama untuk menganalisis implikaturnya adalah menentukan makna dasarnya. Dalam menentukan makna dasar data (1) di atas, akan dijelaskan berdasarkan paragrafnya. Paragraf 1 dan 2 pidato di atas merupakan pembukaan dari pidato Soekarno, yang bermakna semua pendapat sebelumnya tentang pembahasan dasar Negara Indonesia belum tepat, dan beliau akan menyampaikan bahwa pidato beliau sudah tepat, sesuai dengan permintaan Paduka Yang Mulia/Saikoo Sikikan.

Langkah berikutnya adalah menentukan implikaturnya. Dan untuk dapat menentukan implikatur tuturan pada data (1), terlebih dahulu harus diketahui apakah tuturan pada data (1) mematuhi empat maksim percakapan yang dikemukakan Grice atau tidak. Nantinya akan dapat diputuskan bahwa apabila tuturan pada data (1) terbukti telah melanggar salah satu dari empat maksim Grice, maka tuturan pada data (1) memiliki implikatur.

Empat maksim percakapan tersebut adalah:

1. Maksim kuantitas mewajibkan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Tuturan pada data (1) bersifat kooperatif karena participants yang dalam hal ini Presiden Soekarno sebagai pembicara, telah memberikan kontribusi yang secara kuantitas memadai atau mencukupi.

2. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta pertuturan mengatakan hal yang sebenarnya dan berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Tuturan pada data (1) tidak bersifat kooperatif karena tidak menuturkan hal yang sebenarnya dan berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Maksud dan tujuan dari tuturan Presiden


(36)

Soekarno dalam pembukaan pidatonya adalah, ingin menyatakan bahwa anggota yang telah berpidato sebelumnya, belum mengutarakan hal-hal yang sebenarnya diminta oleh Paduka Tuan ketua tentang dasar negara Indonesia. Hal ini, merupakan pendapat Soekarno, dan belum ada bukti yang jelas, apakah benar bahwa pidato sebelumnya sudah atau belum tepat menurut Paduka Tuan Ketua. 3. Maksim relevansi mewajibkan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi

yang relevan dengan masalah pembicaraan. Tuturan pada data (1) memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah. Paragraf 1 dan 2 pidato di atas pastinya membicarakan hal yang sesuai dengan pembahasan pada waktu pidato tersebut disampaikan sehubungan dengan pembahasan dasar Negara Indonesia.

4. Maksim pelaksanaan mewajibkan setiap peserta pertuturan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. Tuturan pada data (1) diungkapkan secara berlebih-lebihan. Dapat dipahami melihat penggunaan kata maaf beribu maaf, yang seharusnya cukup dengan mengucapkan kata maaf, sudah menjelaskan makna yang hendak beliau sampaikan.

Berdasarkan empat maksim percakapan di atas, maka dapat diputuskan bahwa tuturan pada data (1) memiliki implikatur karena terbukti telah melanggar dua dari empat maksim percakapan tersebut,yaitu maksim kualitas dan maksim pelaksanaan.

Selanjutnya, setelah diketahui bahwa tuturan pada data (1) memiliki implikatur maka penentuan implikatur dapat dilanjutkan dengan melihat penganutan prinsip kooperatifnya. Dalam membicarakan dasar Negara Indonesia pada sidang BPUPKI tersebut, ternyata Soekarno melihat bahwa pidato-pidato sebelumnya belum menyampaikan apa yang sebenarnya ingin didengarkan oleh


(37)

pihak Paduka Yang Mulia, sehingga ia menyampaikan apa yang dianggapnya sesuai dengan bahasan pada rapat tersebut. Dengan demikian, tuturan pada data (1) menganut prinsip kooperatif.

Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Untuk menentukan nilai evaluatif tuturan pada data (1), dibutuhkan pengetahuan konteks dan nilai kultural.

Konteks:

Pada paragraph 1 dan 2 pidato soekarno di atas, dapat disimpulkan bahwa Soekarno sangat yakin bahwa pendapat-pendapat sebelumnya belum memberikan kontribusi tentang dasar Negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari sidang pertama BPUPKI yang sudah dilangsungkan selama tiga hari berturut-turut, dari tanggal 29 Mei sampai tanggal 1 Juni, belum membuahkan hasil atau kesepakatan tentang dasar negara Indonesia. Situasi psikologis pembicara (scene) dalam hal ini Presiden Soekarno pada hari ke empat dari sidang pertama BPUPKI tersebut, menginginkan kesatuan pikiran dari seluruh peserta rapat, untuk melahirkan dasar negara Indonesia. Setelah Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya, dengan

keys yang berkobar-kobar, dan menyampaiakan pendapatnya dengan act sequence

yang berkenaan dengan pembahasan dalam sidang tersbut, maka tercetuslah dasar negara Indonesia yaitu pancasila, yang disetujui oleh seluruh peserta rapat yang redaksi dan urutannya sedikit berbeda, sesuai dengan kesepakatan anggota sidang tersebut.

Pertimbangan nilai evaluatifnya adalah bahwa pidato-pidato sebelum Soekarno dianggap tidak berbobot atau isinya tidak jelas. Simpulannya, impilkatur dari paragraf di atas adalah, bahwa Soekarno secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa pidato-pidato sebelumnya tidak bermanfaat untuk


(38)

merumuskan dasar Negara Indonesia, yang pada saat itu merupakan hal yang sangat penting demi kelangsungan hidup bangsa Indonesia.

Austin mengatakan bahwa ada tiga macam tindak tutur yang terjadi secara bersamaan dalam sebuah tuturan, yaitu: (1) tindak ‘lokusi’ yang mengaitkan suatu topik dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’ dengan ‘predikat’ atau ‘topik’ dan penjelasan dalam sintaksis. (2) tindak ‘ilokusi’ yaitu suatu pengucapan atau suatu pernyataan, tawaran, janji pernyataan, dan sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang mewujudkan suatu ungkapan. (3) tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu.

Demikian pula halnya dengan data (1), dalam tuturan ini telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin. Lokusinya adalah suatu pernyataan yang menyatakan akan memberikan hal apa yang seharusnya disampaikan dalam sidang BPUPKI yang berkenaan dengan pembentukan dasar Negara Indonesia. Secara kultural, tuturan pada data (1) mempunyai daya ilokusi sindiran. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan sindiran, maka daya perlokusinya adalah kesadaran. Dengan demikian, setelah seluruh anggota sidang mendengarkan tuturan pada data (1) anggota sidang yang lain akan menyadari bahwa mereka belum memberikan kontribusi yang jelas untuk pembentukan dasar Negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari respon anggota sidang pada saat Soekarno berpidato dan hasil akhir yang menunjukkan bahwa konsep dasar negara yang disampaikan oleh Presiden Soekarno diterima dengan sedikit perubahan urutan dan redaksi kata.


(39)

Searle (dalam Rani, 2004: 158) mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori, yakni: (1) Representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan. (2) Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat. (3) Komisif yaitu ilokusi yang terikat pada suatu tindakan pada masa depan, misalnya menjanjikan, menawarkan. (4) Ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, menuduh, memuji, mengucapkan belasungkawa dan sebagainya. (5) Deklaratif yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan, misalnya mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.

Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan data (1) termasuk ke dalam ilokusi ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi yang dalam hal ini berupa sindiran kepada anggota sidang lainnya, karena pendapat yang mereka sampaikan sebelumnya tentang dasar negara Indonesia, belum dapat disetujui dan diputuskan sebagai dasar negara Indonesia.


(40)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Implikatur dan Tindak Tutur Pembukaan Teks Pidato Soekarno Lahirnya Pancasila

Paduka tuan Ketua yang mulia!

Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.

Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda

"philosofische grondslag" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag

itulah pundamen, filsafat, pikiran yang dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan "merdeka".

Merdeka buat saya ialah: "political independen-ce", politieke onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?

Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan di dalam bahasa asing, ma'afkan perkataan ini - "zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil "zwaarwichtig" sampai kata orang Jawa "jelimet". Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai

jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.

Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.

Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!

Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.

Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat


(41)

Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toh Saudi Arabia merdeka!

Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!

Kutipan di atas adalah beberapa paragraf pada bagian pembukaan teks pidato Presiden Soekarno yang merupakan data dari penelitian ini. Selanjutnya data ini akan dianalisis secara keseluruhan.

Data tersebut akan dianalisis berdasarkan kaidah pertuturan yang dikemukakan Grace, yaitu menentukan implikatur yang terdiri dari penganutan prinsip koperatifnya dan empat maksim percakapan serta menentukan tindak tutur yang terdapat dalam tuturan tersebut.

Penentuan implikatur dalam pembukaan teks pidato Soekarno tentang lahirnya pancasila ini menggunakan kaidah pertuturan seperti yang sudah dijelaskan pada landasan teori, yaitu penentuan prinsip kooperatif dan empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace adalah “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu”.

Bagian pembukaan teks pidato Soekarno di atas berisikan tentang pernyataan Soekarno bahwa akan mengutarakan pendapatnya tentang dasar negara namun sebelum itu beliau juga memberitahukan pendapatnya tentang arti kata “merdeka”. Kemudian dilanjutkan dengan penganutan empat maksim percakapan. Apabila salah satu dari empat maksim tersebut dilanggar maka tuturan tersebut memiliki implikatur. Berdasarkan empat maksim percakapan yang dikemukakan Grace dapat diputuskan bahwa tuturan data penelitian ini mengandung implikatur karena terbukti melanggar


(42)

tiga dari empat maksim tersebut yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas dan maksim pelaksanaan. Maksim kuantitas mewajibkan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Dalam pembukaan pidatonya, Soekarno sudah melanggar maksim kuantitas, karena telah menyatakan sangat banyak hal-hal yang sesungguhnya tidak dibutuhkan oleh anggota sidang pada waktu itu. Soekarno dalam pidatonya mengemukakan bagaimana negara-negara lain merdeka, dan bagaimana tokoh-tokoh negara tersebut memperjuangkan keberlangsungan kehidupan negaranya, misalnya Ibn Saud ketika mendirikan Saudi Arabia dan Lenin mendirikan negara Soviet. Sidang BPUPKI yang pertama ini adalah sidang yang akan membicarakan dasar negara secara langsung, sehingga Soekarno dalam pidatonya, tidaklah perlu menyampaikan terlalu banyak contoh-contoh negara yang juga pernah merumuskan kemerdekaan dan berdiri pada satu dasar negara, karena yang dibutuhkan oleh seluruh hadirin pada sidang tersebut adalah dasar negara Indonesia yang disampaikan oleh Soekarno secara langsung.

Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta pertuturan mengatakan hal yang sebenarnya dan berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Dalam pembukaan pidatonya, Soekarno menyatakan bahwa pendapat tentang dasar negara yang telah disampaikan sebelumnya belum sesuai dengan apa yang diinginkan oleh P.Y.M Saikoo Sikikan. Hal ini merupakan pendapat Soekarno sendiri tanpa ada bukti yang jelas bahwa P.Y.M Saikoo Sikikan telah mengatakan bahwa pendapat sebelumnya belum sesuai dengan permintaannya.

Selanjutnya, tuturan dari data penelitian ini juga melanggar maksim pelaksanaan yang mewajibkan setiap peserta pertuturan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. Pada pembukaan pidatonya, Presiden Soekarno menyampaikan pendapatnya secara tidak


(43)

langsung. Beliau tidak langsung menyampaikan dasar negara, melainkan menjelaskan pendapatnya tentang arti merdeka atau apa itu kemerdekaan. Selanjutnya, beliau juga membukakan banyak sejarah-sejarah lahirnya negara-negara lain, misalnya Saudi Arabia, Jerman, Rusia dan sebagainya, tanpa langsung menyampaikan akan dasar negara yang hendak beliau kemukakan. Soekarno juga mengungkapan permohononan maaf secara berlebih-lebihan, dengan menggunakan kata maaf beribu maaf yang dapat dilihat pada paragraf 2 yang seharusnya cukup dengan menggunakan kata maaf saja, sudah menjelaskan maksud dari beliau. Dengan demikian, tuturan pada data penelitian ini tidak menganut prinsip kooperatif.

Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Menentukan nilai evaluatif data penelitian dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Konteks merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan yang berhubungan dengan diri yang terjalin bersamanya. Situasi dan latar belakang yang menggambarkan data penelitian, merupakan sebuah suasana sidang penentuan dasar sebuah negara yang sedang mengupayakan kemerdekaan. Sidang ini sangat menentukan keberlangsungan suatu negara yang akan memperoleh kemerdekaannya. Sidang BPUPKI yang pertama ini dilaksanakan hingga empat hari berturut-turut, hingga mencapai suatu kesepakan tentang dasar negara Indonesia ialah pancasila. Hal ini tentunya sangat lekat dengan bagaimana tokoh-tokoh pada masa itu berpikir keras untuk merumuskan dasar negara yang menurut pendapat mereka terbaik, dan dapat diterima dan disetujui oleh pihak Jepang, dan juga pihak bangsa Indonesia sendiri. Presiden Soekarno dalam hal ini, sangat yakin bahwa pendapat-pendapat sebelumnya belum memberikan kontribusi yang tepat tentang dasar negara Indonesia, sehingga belum ada keputusan atau kesepakatan yang bulat dari sidang pertama tersebut hingga Soekarno menyampaikan pendapatnya.


(44)

Pertimbangan nilai evaluatifnya adalah, sidang pembahasan tentang dasar negara oleh BPUPKI yang anggota-anggota sidang yang lain juga telah menyampaikan pendapatnya, yaitu Mr. Muhammad Yamin dan Prof. Dr. Mr. Soepomo, oleh Soekaro dianggap belum tepat. Simpulannya, implikatur dari pembukaan pidato Soekarno ini, menyatakan bahwa pidato-pidato sebelumnya tidak bermanfaat untuk merumuskan dasar negara Indonesia, yang pada saat itu merupakan hal yang sangat penting demi kelangsungan hidup bangsa Indonesia, dan peserta rapat tersebut, belum memahami secara benar apa itu kemerdekaan, sehingga mereka tidak mampu merumuskan dasar negara Indonesia.

Austin mengatakan bahwa ada tiga macam tindak tutur yang terjadi secara bersamaan dalam sebuah tuturan, yaitu: (1) tindak ‘lokusi’ yang mengaitkan suatu topik dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’ dengan ‘predikat’ atau ‘topik’ dan penjelasan dalam sintaksis. (2) tindak ‘ilokusi’ yaitu suatu pengucapan atau suatu pernyataan, tawaran, janji pernyataan, dan sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang mewujudkan suatu ungkapan. (3) tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu. Dapat dikatakan, bahwa di dalam setiap tuturan sudah dapat dipastikan adanya lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi berupa tuturan, ilokusi berupa maksud si penutur, dan perlokusi berupa reaksi dari lawan tutur.

Dalam analisis teks pidato Soekarno ini, kita akan fokus melihat ilokusi yang terkandung di dalam teks pidato tersebut. Hal ini disebabkan karena lokusinya adalah keseluruhan dari tuturan dalam teks, dan perlokusinya berada pada lawan tutur, yang dalam hal ini adalah anggota sidang dan seluruh hadirin yang hadir pada saat terjadinya


(45)

pertuturan tersebut. Perlokusi yang dapat dipastikan adalah, bahwa seluruh anggota sidang dapat menerima usulan “Pancasila” sebagai dasar negara Indonesia.

Dalam tuturan pembukaan teks pidato Soekarno ini telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin. Lokusinya adalah suatu pernyataan yang menyatakan akan memberikan hal apa yang seharusnya disampaikan dalam sidang BPUPKI yang berkenaan dengan pembentukan dasar negara Indonesia namun sebelumnya terlebih dahulu menjelaskan arti kemerdekaan. Secara kultural, tuturan pada pidato Soekarno ini mempunyai daya ilokusi sindiran. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan sindiran, maka daya perlokusinya adalah kesadaran dari seluruh anggota sidang bahwa mereka belum memberikan kontribusi yang tepat tentang dasar negara, dan kesadaran bahwa pemahaman mereka yang kurang tepat tentang arti kemerdekaan. Dengan demikian, setelah mendengarkan tuturan dari pembukaan pidato Soekarno tersebut, anggota sidang BPUPKI dapat memahami maksud dan tujuan Soekarno tentang dasar negara Indonesia dan menyetujui Pancasila

sebagai dasar negara Indonesia, yang sebelumnya diadakan perundingan sehingga terjadi perubahan redaksi dan urutan dari apa yang disampaikan Soekarno dalam pidatonya. Namun, meskipun redaksi dan urutannya berbeda, nama Pancasila dan maksud-maksud dari isinya, merupakan buah dari pemikiran Soekarno yang disampaikan dalam pidatonya.

...Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori, yakni: (1) Representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan. (2) Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat. (3) Komisif yaitu ilokusi yang terikat pada suatu tindakan


(1)

berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini!

Gandhi berkata, “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan”, “My nationalism is humanity.”

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri bukan chauvinisme, sebagaimana dikobar-kobarkan orang di Eropa, yan mengatakan “Deutsrhland uber Alles”, tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo (mulya-red.), berambut jagung, dan bermata biru,”bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demkian Tuan-tuan, jangan berkata bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.

Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principel yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan “internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakan internsonalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopilitisme yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak Amerika, dan lin-lainnya.

Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan pinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain. Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.

Untuk pihak Islam, inilah tempat terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun adalah orang Islam – maaf beribu-ribu maaf keislaman saya jauh belum sempurna – tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.

Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau kita memang rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan islam. Jikalau memang rakyat Indonesia, rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam Badan Perwakilan ini. Ibaratnya Badan Perwakilan Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari Badan Perwakilan Rakyat itu, hukum islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, hiduplah Islam


(2)

Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf beribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam. Maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor tiga ini, yaitu prinsip permusywaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham didalamnya. Baik di dalam staat Islam, di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor tiga, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat Saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya.

Kalau misalnya, orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk Badan Perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil – fair play! Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan didalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwata’ala memberi pikiran kepada kita agar dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, supaya ke luar dari padanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor tiga, yaitu prinsip permusyawaratan!

Prinsip nomor empat sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Saya katakan tadi prinsipnya San Min Chu I ialah Min Mintsu Chuam, Min Cheng: nationalism, democracy, socilism. Maka prinsip kita harus: apakah kita mau Indonesia Merdeka yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?

Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada Badan Perwakilan! Tak lain tak bukan sebabnya ialah karena Badan-badan Perwakilan Rakyat yang diadakan di sana itu, sekadar menurut resepnya Fransche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah dinamakan democratic di sana itu hanyalah politieke democratic saja: semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid – tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures yang menggambarkan politieke democratic. “Di dalam parlementaire democratic”, kata Jean Jaures, “di dalam parlementaire democratic tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politiek yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?” Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politieke itu, di dalam parlemen dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam pabrik – sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”.


(3)

Saudara-saudara, saya usulkan kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratic yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu Adil ialah sociale rechtvaardigheid, rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian; menciptakan dunia baru yang didalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu jikalau memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita itu harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang akan kita buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politiek demokratie tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.

Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan segala hal! Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarki. Apa sebab? Oleh karena monarki “vooronderstelterfelijkeheid” – turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara baik khalif maupun amirul mu’minin harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarki.

Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan empat prinsip: 1. Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme atau perikemanusiaan 3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejateraan ssosial

Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Prinsip ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan!

Marilah kita amalkan,jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen dengan cara yang berkedaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.

(Tepuk tangan sebagian hadirin)

Nabi Muhammad saw. telah memberi bukti cukup tentang verdraagzaamheid tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdaagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip ke lima daripada negara kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hati ku akan berpesta raya jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.


(4)

Disinilah, dalam pangkuan asas yang ke lima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan kita akan ber-Tuhan pula!

Ingatlah, prinsip ke tiga permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara berkebudayaan!

Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indera. Apa yang lima bilangannya?

(Seorang yang hadir: Pendawa Lima)

Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, emasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan; lima pula bilangannya.

Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan in dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.

(Tepuk tangan riuh)

Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan; saya peras menjadi satu. Itulah yang dahulu saya namakan socio nationalisme.

Dan demokrasi yang bukan demkrasi Barat, tetapi politiek economische democratie, yaitu politieke democratic dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan socio democratie.

Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.

Jadi, yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-democratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang dengan simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Tris Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?

Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia! Semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong.

Alangkah hebatnya negara gotong royong! (Tepuk tangan riuh-rendah)

“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo: satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!


(5)

Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara yang saya usulkan kepada saudara-saudara.

Pancasila menjadi Tri Sila, Tri Sila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih: Tri Sila, Eka Sila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, saudara-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah subhanahuwataala bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang di gembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat-laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah swt.

Berhubung dengan itu, sebagaimana yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isisnya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus weltanschauung kita. Entah saudara-saudara mufakat atau tidak, tetapi saya berjuang sejak 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ketuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi saudara-saudara, diterima atau tidak terserah kepada saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsaf-insafnya bahwa tidak ada satu weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuanagan!

Jangan pun weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!

“De mensch”, manusia harus perjuangkan itu! Zonder (tanpa – red.) perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realitiet! Leninisme tidak bisa menjadi relitiet, zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebi dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama yang dapat menjadi relitiet. Jangan pun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Quran, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi relitiet, zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk didalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan orang Kristen.

Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realitiet, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna; janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.

Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya.


(6)

Nanti kita bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila. Terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insaflah, tanamkan dalam kalbu saudara-saudara bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko – tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak bertekad mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya sampai akhir zaman. Kemerdekaan hanyalah didapat dan dimiliki bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka, merdeka atau mati!”

(Tepuk tangan riuh)

Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawaban atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang sanya anggap “verschrikkelijk zwaarwichtig” itu.

Terima kasih.