TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJ

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014

MAKALAH
DAYAKOLOGI
“Tawur Hasapa dalam Kebudayaan Dayak Ngaju”

DOSEN PENGAMPU:
KATRIANA, M.Si

OLEH:
AGUSTINE CAROLINA
GAA 112 063
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
TA. 2013/2014

Page | 1

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014


KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmatNya lah sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah Dayakologi mengenai “Tawur
Hasapa dalam Kebudayaan Dayak Ngaju” dengan baik dan tepat waktu.
Dalam pembuatan makalah ini tentunya tidak mungkin dapat terselesaikan dengan sempurna
tanpa bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih yang
terhingga kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah banyak memberikan masukan dan
pembelajaran kepada penulis.
Penyusun berharap kepada pembaca yang intelektual untuk memberikan kritikan dan saran
demi kesempurnaan makalah mengenai “Tawur Hasapa dalam Kebudayaan Dayak Ngaju” ini.
Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun maupun pihak lain yang
membacanya.

Palangka Raya, Juni 2014

Penulis

Page | 2

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

2

DAFTAR ISI

3

BAB I PENDAHULUAN
1.
2.
3.
4.

Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
Manfaat Penulisan


4
4
5
5

BAB II PEMBAHASAN
1. Pembahasan tentang Prosesi Tawur Hasapa

6

BAB III ANALISIS
1. Analisis Terhadap Prosesi Adat Tawur Hasapa

13

BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan

15


DAFTAR PUSTAKA

Page | 3

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Tawur dalam masyarakat Dayak Ngaju merupakan sebuah prosesi spiritual yang dilakukan
oleh pemimpin adat dalam bentuk permohonan kepada sang pencipta. Dan karena permohonan
atau doa ini dengan harapan dapat terkabulkan maka bahasa yang digunakan dalam ritual ini pun
harus dengan menggunakan bahasa yang baku dan yang diyakini memiliki kekuatan tertentu.
Maka dari itu bahasa yang digunakan adalah sebuah bahasa Dayak kuno yakni bahasa Sangen
yang diyakini masyarakat setempat sebagai bahasa Sanghyang (bahasa langit). Dengan bahasa
yang baku dan memiliki kesakralan tertentu itulah maka diharapkan akan ada pemaknaan yang
sama antara sang pemohon dan sang termohon yakni Tuhan selaku pengabul doa. Prosesi ritual
tawur sendiri seperti makna etimologisnya yang berarti tabur atau menabur sesuatu, maka
pelaksanaannya pun tak jauh berbeda dengan makna etimologisnya yakni sebuah proses menabur
sesuatu yang biasanya dengan media beras kuning yang dilakukan bersamaan dengan

memanjatkan doa yang dihajatkan manusia seperti meminta kesembuhan, keselamatan, syukur
dan lain sebagainya. Namun, karena yang ingin saya bahas di sini hanya prosesi ritual Tawur
Hasapa yakni sebuah media untuk mengukuhkan sumpah, maka tema ini akan saya persempit
hanya untuk Tawur Hasapa saja.
2. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, adapun rumusan masalah yang dapat saya ambil yaitu:
1) Apa pengertian dari Tawur Hasapa?
2) Apa fungsi dari Tawur Hasapa?
3) Bagaimana prosesi pelaksanaan dari Tawur Hasapa?

Page | 4

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
4) Bagaimana penilaian teori sosiologi komunikasi dalam melihat prosesi Tawur Hasapa
ini?
3. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1) Untuk mengetahui pengertian dari Tawur Hasapa.
2) Untuk mengetahui fungsi dari Tawur Hasapa.
3) Untuk mengetahui bentuk prosesi pelaksanaan dari Tawur Hasapa.

4) Untuk mengetahui penilaian teori sosiologi komunikasi dalam melihat prosesi Tawur
Hasapa ini.
4. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini antara lain:
1) Manfaat teoritis: Agar penulis serta kalangan akademisi lainnya dapat memahami
tentang bentuk prosesi adat Tawur Hasapa yang sering digunakan oleh masyarakat
Dayak Ngaju ini, serta memberikan penilaian terhadap salah satu wujud kebudayaan
masyarakat Dayak Ngaju sekaligus dapat memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan
kepada kolega-kolega sejawat dalam bidang kemasyarakatan.
2) Manfaat praktis: Agar dapat memberikan gambaran umum bagi masyarakat
mengenai kegunaan prosesi adat Tawur Hasapa ini dalam kehidupan bermasyarakat.

Page | 5

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
BAB II
PEMBAHASAN
1. PEMBAHASAN TENTANG PROSESI TAWUR HASAPA
Tawur Hasapa merupakan sumpah yang dilakukan di hadapan manusia dan Tuhan dalam
membuktikan suatu kebenaran atas sesuatu hal yang diingkari seseorang terhadap lainnya dan

Sang Pencipta. Tawur Hasapa sendiri berfungsi sebagai “jalan terakhir” dalam penyelesaian
masalah yang rumit bagi masyarakat Dayak Ngaju dan dianggap sebagai “pengadilan paling
adil” atas sebuah kesalahan yang diperbuat manusia, karena Sang Penciptalah yang “turun
tangan” dalam menyelesaikan perkara yang diperdebatkan tersebut. Sebagai sebuah bahasa
ritual, ia menjadi tetap, utuh dan tidak berubah-ubah, baik secara formasi maupun semantik.
Apabila terjadi perubahan dari aspek keutuhan bahasa maka akan memengaruhi makna dan
pemaknaannya yang berdampak kepada pengabulannya, sehingga ia tidak mempunyai kekuatan
otoritas untuk menghakimi seseorang atau “memutuskan” dan “mengirimkan” sebuah vonis
sosial maupun moral bagi yang melaksanakannya. Tindak tutur yang diucapkan seorang
pemimpin adat dalam hal ini menjadi sebuah otoritas bahasa yang mengukuhkan bahwa kedua
belah pihak yang sedang berperkara akan mendapatkan keadilan Ilahi yang dimanifestasikan
dalam berbagai aspek kehidupan secara jasmani dan rohani serta sosial-ekonominya. Demikian
juga implikasi yang ditimbulkannya melalui pemaknaan budaya oleh masyarakat dan lingkungan
sosialnya sebagai vonis sosial. Tindak tutur tersebut terwujud sebagai sebuah instrumen yang
melembaga dalam hukum adat Suku Dayak Ngaju. Sebagai sebuah bahasa ritual, kekuatan
bahasa yang mempunyai otoritas untuk melaksanakan tawur hasapa adalah bahasa Sangen atau
bahasa Dayak Kuno. Ada sebagian pendapat menyebut bahasa Sangen sebagai bahasa

Page | 6


[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
Sanghyang, terutama para peneliti Barat, seperti diungkapkan Baier dkk. dalam Worterbuch
derPriestersprache der Ngaju Dayak, sebuah kamus bahasa Sangiang-Dayak Ngaju-IndonesiaJerman (1987). Hal ini menyiratkan bahwa keduanya tidak terdapat perbedaan yang signifikan,
jadi hanya masalah penyebutan saja karena bahasanya adalah sama. Bahasa Sangen seperti
halnya bahasa-bahasa kuno pada guyup budaya di Indonesia memiliki kekayaan linguistika yang
berupa apa yang disebut Baier sebagai semantic parallelism di dalam penyampaiannya. Hal ini
juga berlaku pada bahasa ritual Suku Roti seperti yang dinyatakan Fox. (dalam Baier et.al, 1987:
xvi).
Semantic parallelism merupakan rangkaian penamaan khusus sebuah bentuk bahasa yang
dilambangkan dengan dua kata atau lebih yang mempunyai satu makna yang sama atau
sebanding. Di dalam bahasa Sangen, banyak terdapat contoh hal tersebut, misalnya kata air
diungkapkan sebagai nyalung kaharingan belum (zat alam yang memberikan kehidupan), hidup
sebagai batang danum jalayan rengan tingang (sungai yang harus disusuri oleh umur;
kehidupan), dan surga sebagai lewu tatau habaras bulau habusung hintan hakarangan lamiang
(sebuah tempat yang kaya raya berpasirkan emas bergundukan intan dan berkerikilkan permata)
dan lewu tatau dia rumpang tulang rundung raja dia kamalesu uhat hong batang danum tiawu
bulau (sebuah tempat yang kaya raya, tempat di mana tidak ditemui keletihan dan kecapaian,di
dunia yang lain yang penuh kegelimangan), Tuhan dilambangkan sebagai Raja Tuntung
Matanandau, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan (Raja yang Menguasai (atau berkuasa
atas) Matahari), Raja yang Menguasai (atau Melebihi) kebesaran Bulan. Seperti telah disinggung

sebelumnya, bahasa Sangen mengandung unsur-unsur bahasa yang mempunyai aneka kekhasan
tersendiri untuk melambangkan satu bentuk kata dengan tidak melepaskan satu kesatuan makna.
Semantic parallelism yang melekat pada setiap tindak tutur Tawur Hasapa mencerminkan
Page | 7

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
seperangkat kecerdasan linguistik yang hanya diwariskan secara lisan kepada para basir
(pemimpin upacara adat). Untuk itu, diperlukan daya ingat yang tinggi serta ketepatan rima dan
intonasi dalam melafalkannya. Hal tersebut dapat dilihat pada teks Tawur Hasapa yang ditulis
ulang ini merupakan esensi yang sama dengan digunakan pada orang-orang yang berperkara dan
tidak menemui penyelesaian melewati lembaga-lembaga yang dibuat manusia pada masa lalu.
Tawur Hasapa ini sendiri sebenarnya memiliki tujuan yang hampir sama dengan Sumpah
Pocong di Pulau Jawa yaitu sumpah yang dilakukan di hadapan manusia dan Tuhan dalam hal
kebenaran atas apa yang diingkari seseorang terhadap lainnya dan Sang Pencipta, hanya tentu
dengan ritual dan prosesi yang berbeda. Dan karena Tawur Hasapa merupakan sebuah
permohonan meminta keadilan (tepatnya petunjuk keadilan) terhadap dua orang atau lebih yang
berseteru, maka seperti halnya prosesi tawur lain, Tawur Hasapa pun menggunakan bahasa baku
dan tidak berubah-ubah, baik secara formasi maupun semantik. Karena konon apabila terjadi
perubahan bahasa maka itu akan berpengaruh pada makna dan pemaknaannya yang berdampak
kepada pengabulannya, sehingga ia tidak mempunyai kekuatan otoritas untuk menghakimi

sesorang atau “memutuskan dan mengirimkan” sebuah vonis sosial maupun moral bagi yang
melaksanakannya. Pendeknya, Tutur Hasapa adalah merupakan sebuah pengadilan adat yang
digunakan pada orang-orang yang berperkara dan tidak menemui penyelesaian setelah melewati
lembaga-lembaga yang dibuat manusia pada masa lalu.
Tawur Hasapa yang dulu pernah digunakan oleh Tjilik Riwut mewakili 142 Suku Dayak
Pedalaman Kalimantan di hadapan Presiden Soekarno di Jogjakarta dalam bersumpah-setia
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (1993:349) ini mempunyai urut-urutan ritual seperti
yang tertuang dalam sebuah buku yang berjudul Worterbuch derPriestersprache der Ngaju
Dayak, sebuah kamus bahasa Sangiang-Dayak Ngaju Indonesia-Jerman (1987) karya Baier dkk;
Page | 8

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
(Seorang basir/pemimpin upacara adat duduk sambil menimang beras kuning dan kemenyan,
kunir, rotan, abu, garam, dan minyak kelapa. Lalu kedua pihak yang berperkara saling
memegang seutas rotan di atas sebuah kayu sebagai alasnya dan setelah mengukuhkan sumpah
berikut ia sambil memotong rotan diiringi kalimat-kalimat penyebutan nama-nama yang
berperkara dan penaburan beras sedikit demi sedikit sampai habis dan diikuti dengan menabur
abu dan garam) (Berdehem)….. "Ehem behas / mamparinjetku ganam / salumpuk kilau riak
hendan bulau / namparuguhku labatam/pananterusan ruwan lantin rabia/lampang kamaitan
gulung manarusan langit/timbuk kajayam / basikap mametas hawun/manuntung riwut raweiku/

manambing salatan tisuiku/mangat manyembang Raja Tuntung Matanandau/Kanaruhan
Tambing Kabanteran Bulan/mangat Ie mahining/bulau tampak bengkele/manyantuh rantunan
tanduke/manahingan rawei/hayak manantuneng/batantar sumpah tingang. Amun……(menyebut
nama si yang berperkara) toh hangga auh tanjaru dia toto/ tatarawang kilau kawu/lenyoh kilau
uyah/bageto kilau uei. Amun ie hanggap auh toto/te taloh jari bulau/untung panjang/rabia
nyame ambu jari sapaungut belum/sapaling tahaseng/jari penyang/panundung tarung/patarung
sariangkat tinting."
Yang terjemahan bebas artinya kurang lebih sebagai berikut. "Ehem, beras kubangunkan
rohmu / rohmu seperti riak cahaya emas/kugoncangkan rohmu / arwah bercahaya seperti kuning
emas / timbul kemanjuran bergulung menerusan langit/menimbun kejayaanmu/bergerak
berjalan menyingkap langit/meminta (kepada) angin panggilanku/supaya sampai (meminta
kepada) Raja Tuntung Matahari/Raja Tambing Kebulatan Bulan/supaya Ia mendengar /
(cahaya)

keemasan

telinganya

/

(manyantuh

rantunan)

puncaknya/mendengarkan

perkataan/sekaligus mencermati/batantar sumpah orang (manusia) /. Kalau si…………….
sampai (bersaksi) tentang kebohongan, tidak benar / (maka dia akan) beterbangan seperti abu /
Page | 9

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
hancur seperti garam (menjadi air) / putus seperti rotan (yang dipotong) / Kalau ia anggap
benar perkataannya / (semuanya) akan menjadi emas (berkat) / rejeki tak putus-putus /
menggenggam emas sepanjang hidupnya selamanya / panjang napas(nya) (panjang umur(nya)) /
menjadi berkat / menjadi jimat dalam mengangkat (harum namanya; terangkat harkat
martabatnya)."
Dan meski setelah prosesi Tawur Hasapa ini, sang ketua adat tak melakukan / menjatuhkan
vonis apapun terhadap yang berperkara, tetap saja prosesi ini menjadi sedemikian penting bagi
yang berperkara, karena seperti yang disebutkan dalam kalimat-kalimat di atas, waktu dan
Tuhanlah yang kemudian akan memvonis siapa yang bersalah dan siapa yang tetap dalam
kebenaran dengan cara memberi kelimpahan rezeki dan sebagainya terhadap yang benar dan
menghancur leburkan hidup yang salah.
Kebudayaan Suku Dayak Ngaju dan religi Kaharingan merupakan dua kesatuan yang sulit
untuk dipisahkan. Bahasa Sangen sebagai produk kebudayaan Suku Dayak Ngaju menjadi
bahasa kuno yang hanya terdokumentasikan pada kitab-kitab ajaran Kaharingan. Implikasinya
bagi kajian bahasa yang berkaitan dengan kebudayaan menjadi sangat jarang dilakukan. Hal ini
terkait erat dengan dua aspek yang sulit untuk dipertemukan; satu sisi kajian bahasa yang
dilakukan berdasarkan fakta-logis-empiris sebagai satuan dari kata dan frasa-frasa atau kalimat
yang mengandung medan makna secara semantik dan leksikal (lihat Pateda, 2001), di sisi lain
bahasa atau berupa kata (kata-kata) atau frasa-frasa dan bersifat oral tersebut memuat kandungan
perspektif teologis yang profan, sakral dan dapat menimbulkan persepsi yang berbeda. Di dalam
kehidupan sosialnya, masyarakat Suku Dayak Ngaju juga mengenal berbagai perangkat etika
normatif yang tidak tertulis dan mengikat seluruh individu. Individu sebagai bagian dari sebuah
masyarakat diatur di dalam tatanan kehidupan yang memberikan toleransi dan rasa keadilan bagi
Page | 10

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
individu lainnya. Namun, sebagai manusia kadang-kadang terjadi pula rasa kurang puas,
ketidakadilan dan berbagai bentuk ketidakpuasan lainnya yang memunculkan adanya rasa untuk
mengembalikan semua persoalan manusia tersebut kepada Tuhan sebagai Pihak yang Mahatahu.
Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan sosial antarsesama individu, misalnya
perebutan kepemilikan tanah/kebun, pertanggung jawaban seseorang terhadap aib, dan
pembohongan publik atas sebuah kasus pembunuhan, biasanya diselesaikan melalui mekanisme
hukum adat. Namun, sebagian lain yang bersifat kasuistik juga tidak menaati hukum yang
berlaku. Dalam representasi itulah, peran Tawur Hasapa menjadi sebuah jalan terakhir. Dalam
persepsi kebudayaan, Suku Dayak memandang bahwa eksistensi Tawur Hasapa menjadi sebuah
titah terakhir Tuhan kepada individu yang dapat menyingkap makna hakiki tentang kebenaran.
Kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh kekuasaan yang tidak tampak; kekuasaan Tuhan dengan
segala aspek di luar rasio dan nalar manusia. Dengan demikian, keadilan akan berpihak kepada
kebenaran yang tidak dapat dimanipulasi dalam bentuk dan dalih apapun. Implikasi yang
ditimbulkannya pun (awalnya dipandang sebagai mitos) memberikan sanksi sosial yang
bermacam-macam, di antaranya kematian yang tidak wajar bagi pihak yang berbuat curang atau
melakukan kebohongan, menderita penyakit yang sukar disembuhkan, atau kelainan
kejiwaan/gila. Sedangkan di pihak yang tetap pada jalur kebenaran akan mendapatkan
kemudahan-kemudahan dalam menjalankan kehidupannya beserta keturunannya. Karena
kesakralannya, tindak tutur Tawur Hasapa menjadi peristiwa yang langka di masa kini karena
hampir semua kebutuhan untuk mendapatkan keadilan duniawi telah terlembaga melalui
mekanisme perangkat hukum positif. Di samping itu, majunya ilmu pengetahuan dan teknologi,
termasuk dikenalnya agama dan kebudayaan baru menjadikan tindak tutur tersebut sebagai
bagian dari sejarah kebudayaan dan kearifan lokal Suku Dayak Ngaju yang seolah terlupakan.
Page | 11

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
Dalam perspektif budaya, adat yang ada dan dikenal secara turun-temurun merupakan tuntunan
bagi segenap kehidupan manusia, dan manusia harus diarahkan olehnya (dan dapat mengarahkan
dirinya), supaya ia jangan sesat di jalan yang benar (Scharer dalam Ugang, 1983:51).

Page | 12

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
BAB III
ANALISIS
1. ANALISIS TERHADAP PROSESI ADAT TAWUR HASAPA
Tawur hasapa menurut saya termasuk dalam hasil nyata sebuah proses sosial yang
dijalankan oleh manusia bersama masyarakatnya. Prosesi ini merupakan suatu sarana
komunikasi di dalam masyarakat dayak ngaju yang dianggap dapat menghubungkan manusia
dengan sang Pencipta yaitu Ranying Hatala Langit. Yang mana, dalam prosesi adat ini sang
Pencipta memiliki peran sebagai hakim yang memutuskan hukuman bagi yang melanggar
sumpah/janji yang telah diucapkan kepada orang lain.
Dalam prosesi tawur hasapa, bahasa yang digunakan adalah bahasa Sangen yang dianggap
sebagai bahasa Sanghyang (bahasa langit), yang mana bahasa Sangen ini merupakan hasil
produk kebudayaan unsur-unsur potensi budaya berupa cipta masyarakat (immaterial culture)
yaitu bukan budaya spiritual culture yang menghasilkan pranata sosial namun cipta yang
menghasilkan gagasan, berbagai teori, wawasan dan semacamnya yang bermanfaat bagi manusia
terutama dalam komunikasi. Selain itu, tawur hasapa juga merupakan hasil dari unsur-unsur
potensi budaya berupa rasa yang termasuk dalam spiritual culture. Rasa menghasilkan kaidahkaidah-kaidah, nilai-nilai sosial, hukum, dan norma sosial atau yang disebut dengan pranata
sosial. Apa yang dihasilkan rasa digunakan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan,
misalnya agama, ideologi, kebatinan, dan lainnya.
Adapun sosiologi komunikasi melihat tentang prosesi adat Tawur Hasapa ini sebagai proses
komunikasi sosial berupa penyelesaian masalah melalui mekanisme hukum adat, dimana
komunikasi terjadi secara langsung antara komunikator dan komunikan dan lebih diarahkan
Page | 13

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
kepada pencapaian suatu integrasi sosial sehingga melalui kegiatan ini terjadilah aktualisasi dari
berbagai masalah yang dibahas. Komunikasi sosial sekaligus suatu proses sosialisasi dan untuk
pencapaian stabilitas sosial, sehingga fungsi Tawur Hasapa digunakan sebagai pemecah
kesulitan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
hubungan sosial antarsesama individu, misalnya perebutan kepemilikan tanah/kebun,
pertanggung jawaban seseorang terhadap aib, dan pembohongan publik atas sebuah kasus
pembunuhan.

Page | 14

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
BAB IV
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Otoritas sebuah bahasa terutama bahasa ritual menjadi sarat makna, tetap dan tidak berubahubah, menjadikan Bahasa Sangen (Dayak Kuno) digunakan pada hampir semua aktivitas untuk
berkomunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Melalui media Tawur Hasapa, esensi
pencarian kebenaran yang hakiki oleh manusia merupakan jalan terakhir untuk mendapatkan
pengadilan yang juga hakiki. Masyarakat Suku Dayak Ngaju memandang eksistensi Tawur
Hasapa sebagai sarana penghukuman sosial, moral, dan budaya bagi individu yang tidak
menemui solusi pada institusi hukum adat yang ada. Sanksi moral, sosial dan budaya tersebut
telah menjadi momok yang membuat efek jera atau isolasi sosial bagi individu yang bersengketa.
Di dalam fungsionalitasnya sebagai media komunikasi (terutama bersifat verbal), peran bahasa
memiliki otoritas yang melebihi muatan semantisnya, misalnya dalam sebuah tindak tutur. Ia
juga dimanifestasikan sebagai sarana untuk menghukum, menghakimi, bahkan mematikan
karakter sosial individu yang sengaja untuk mempermainkan nilai-nilai hakiki tentang
kebenaran.

Page | 15

[TAWUR HASAPA DALAM KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU] June 28, 2014
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H.M. Burhan Bungin, S.Sos., M.Si. 2011. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma,
dan Diskursus Teknologi Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan. Disunting oleh Nila Riwut dan
Agus Fahri Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana Ugang, Hermogenes.

Page | 16