PERKEMBANGAN HADIS DAN PERADABAN SERTA K
PERKEMBANGAN HADIS DAN PERADABAN
SERTA KEBUDAYAAN MASA ABBASIYAH
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam dan
Budaya Lokal
Oleh:
Agil Muhammad (15551007)
Narendra Jumadil H.R. (15551003)
PROGRAM STUDI ILMU HADIS FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2015
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradaban Dinasti Abbasiyah merupakan salah satu bukti kejayaan
umat Islam di masa lampau. Dan dinasti ini sendiri adalah masa gemilang
Islam karena pada masa ini mulai diadakannya penerjemahan buku-buku
asing dengan dukungan pemerintahan setempat yang ditunjang dengan
banyak fasilitas-fasilitas yang sangat menunjang kebangkitan bagi
pengetahuan pada masa itu.
Dengan mengkaji pengembangan peradaban dan kebudayaan
dinasti ini, diharapkan bisa membangkitkan semangat kita sebagaimana
semangat para ilmuwan-ilmuwan muslim terdahulu khususnya dalam
perkembangan pembukuan hadis-hadis nabi, yang pada masa ini
dibukukannya kutub as-sittah oleh para imam-imam hadis yang sampai
saat ini masih menjadi sumber rujukan utama dalam mencari hadis-hadis
nabi. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini mengenai
perkembangan hadis dan tentang peradaban dan kebudayaan pada Dinasti
Abbasiyah. Sehingga kita tahu bagaimana perkembangan kebudayaan
hebat dan pengetahuan khususnya hadis yang kita perdalami saat ini.
II.
PEMBAHASAN
A. Kemajuan Dalam Bidang Hadis di Masa Bani Abbasiyah
Kekuasaan
dinasti
Bani Abbas
atau
khilafah Abbasiyah,
sebagaimana disebutkan, melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah.
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti
ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaanya berlangsung dalam rentang waktu
yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).1 Dengan
demikian, pada masa ini mencangkup pada tiga periode perkembangan
hadis.
Dalam periode pertama, merupakan masa pengumpulan dan
pengumpulan hadis. Pada masa ini sebenarnya melanjutkan proyek
pengumpulan hadis pada masa dinasti Bani Umayyah yang dipelopori oleh
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz dengan menyuruh para ulama untuk
menyelesaikan proyek mulia ini.
Semua ulama besar yang membukukan hadis adalah ahli-ahli hadis
abad ke-2 Hijrah. Kita menyayangkan kitab Az-Zuhry dan Ibnu Juraij itu
tidak diketahui di mana sekarang ini. Kitab hadis paling tua yang ada di
tangan umat islam dewasa ini ialah Al-Muwaththa’ susunan Imam Malik
atas perintah Khalifah Al-Manshur ketika dia pergi naik haji pada tahun
144 H. (143H).2
Di antara kitab-kitab abad ke-2 yang mendapat perhatian ulama
secara umum adalah Al-Muwaththa’ (susunan Imam Malik), Al-Musnad
dan Mukhtalif al-Hadis (susunan Imam Asy-Syafi’y) serta As-Sirah anNabawiyah atau Al-Maghazi wa as-Siyar (susunan Ibnu Ishaq).3 Dalam
abad ini pula, mulai dipisahkan hadis-hadis tafsir dari umum hadis dan
mulai pula dipisahkan hadis-hadis sirah dan maghazi-nya.4
Pada periode kedua ini merupakan masa pentashhihan dan kaidahkaidahnya. Dalam abad ke-3 Hijrah, upaya pembukuan hadis mulai
1 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 49.
2 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 54.
3 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 55.
4 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 57.
melonjak setelah datangnya kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik yang
disambut gembira oleh umat Islam saat itu.
Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadis yang terdapat di
kota mereka masing-masing. Sebagian kecil saja di antara mereka yang
pergi ke kota lain untuk kepentingan hadis. Keadaan ini dipecahkan oleh
Al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang
dikunjungi untuk mencari hadis.
Ringkasnya, Al-Bukhary
membuat
langkah
baru
untuk
mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam belas tahun
lamanya beliau terus menerus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahihnya.5 Al-Bukhary menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jami’
ash-Shahih yang membukukan hadis-hadis yang dianggap shahih saja.
Kemudian usaha Al-Bukhary ini diikuti pula oleh muridnya yang sangat
alim, yaitu Imam Muslim.6
Sesudah Shahih al-Bukhary dan Shahih Muslim tersusun, muncul
pula beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut,
seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (Sunan at-Tirmidzy),
dan An-Nasa’y (Sunan an-Nasa’y). Itulah yang kemudian terkenal dalam
kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (AlUshul al-Khamsah).
Di samping itu Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab
Sunan yakni Sunan Ibni Majah. Kitab ini oleh sebagian ulama
digolongkan dalam kitab-kitab induk, lalu menjadikan kitab-kitab induk
itu enam buah banyaknya terkenal dengan nama Al-Kutub as-Sittah.7
Pada mulanya ulama menerima hadis dari para perawi, lalu
menulis ke dalam bukunya, dengan tidak menetapkan syarat-syarat
menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya. Musuh yang
berkedok dan berselimut islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadis
dalam
mengumpulkan
hadis
pun
menambah
upaya
untuk
mengacaubalaukan hadis yaitu dengan menambahkan lafalnya atau
membuat hadis maudhu’.
5 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm, 60.
6 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 61.
7 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 61-62.
Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibatakibat perbuatan mereka, maka para ulama hadis bersungguh-sungguh
membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan,
tempat, kediaman, masa dan lain-lain, serta memisahkan hadis-hadis yang
shahih dari yang dha’if yakni menshahihkan hadis.
Ringkasnya, lahirlah tunas Ilmu Diroyah (Ilmu Dirayah al-Hadis)
yang banyak macamnya di samping Ilmu Riwayah (Ilmu Riwayah alHadis).8
Kemudian pada periode ketiga atau yang terakhir di masa Bani
Abbasiyah ini merupakan masa Tahdzib, Istidrak, menyusun Jawami’,
Zawa’id dan Athraf.9
Perlu diketahui bersama bahwa pada periode ini, ditemukan
perbedaan yang menyolok dalam meletakkan sistem penulisan karya
ilmiah, khususnya dalam bidang hadis, sebab pada masa ini, sudah terjadi
pemisahan dua pola dan sistem pemikiran di kalangan para ulama, bahkan
menjadi awal terjadinya pemisahan antara kelompok ulama mutaqoddimin
dan muta’akhirin, yaitu:
a). Mutaqoddimin ialah ulama yang hidup sebelum tahun 300 H. Sistem
penulisan hadis-hadis koleksi mereka dalam kitab-kitab koleksinya,
dengan menggunakan pola mendengar hadis langsung dari para guru
mereka, lalu melakukan penelitian sendiri terhadap matan hadis dan
perawinya.
b). Muta’akhirin, yaitu ulama yang hidup setelah tahun 300 H. Sistem
penulisan hadis-hadis mereka dalam kitab koleksinya, menggunakan pola
menghimpun hadis-hadis dengan tetap berpegang pada kitab-kitab koleksi
hadis yang sudah ada, sehingga usaha mereka terbatas hanya pada
penyusunan hadis-hadis secara lebih sistematis atau hanya membuat
resume (ringkasan) atau mensyarahi kitab-kitab yang sudah ada.10
Ringkasnya, para ulama muta’akhirin ini menyusun kitab-kitab
hadis yang telah ada berdasarkan metode-metode mereka dalam
8 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 60-61.
9 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 79.
10 Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, (Jombang: Darul Hikmah,
2008), hlm. 76.
mengumpukan hadis-hadis mereka. Dan dalam tiap metode tersebut
memiliki nama kitab-kitab tersendiri, diantaranya kitab jami’, mustakhraj,
mustadrak, athraf. Dan kitab-kitab inilah juga merupakan salah satu bukti
perkembangan keilmuan tentang hadis-hadis pada masanya.
B. Peradaban dan Kebudayaan Masa Bani Abbasiyah
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mun (813833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun Al-Rasyid untuk
keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi
didirikan. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada
masa inilah negara islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan
tak tertandingi. Al-Ma’mun, pengganti Al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah
yang
sangat
cinta
kepada
ilmu.
Pada
masa
pemerintahannya,
penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan bukubuku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen
dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah,
salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait alHikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma’mun inilah Baghdad
mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang
besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan,
keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada
masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem
ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti.
Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan
demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.11
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut,
terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama.
Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran
pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interprestasi tradisional dengan
mengambil interprestasi dari nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi alra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat
dan pikiran daripada hadis dan pendapat sahabat.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia
yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang
lebih tinggi. Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan
pemikiran rasional daripada hadis.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak
menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh
madzhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam
Ahmad ibn Hanbal (780-855 M).
Dalam bidang filsafat, para filosuf Islam berusaha menjawab
persoalan-persoalan umat Islam yang berkaitan dengan kepercayaan dan
pemikiran baik secara teoritis maupun praktis, kemanusiaan maupun
ketuhanan yang dianggap oleh umat Islam perlu untuk dijawab sebagai
pegangan hidup keseharian maupun untuk keselamatan yang lebih tinggi.
Pada masa ini pemikiran filsafat mencangkup bidang keilmuan yang
sangat luas seperti logika, geometri, atronomi, dan musik yang
dipergunakan untuk menjelaskan pemikiran abstrak, garis dan gambar,
gerakan dan suara. Para filosuf semasa Abbasiyah seperti Ya’qub ibn Ishaq
al-Kindi, Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibn Bajah, Ibnu Tufail dan Ibnu
11 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 52-52.
Rushd menjelaskan pemikiran pemikirannya dengan menggunakan
contoh, metafor, analogi dan gambaran imaginatif.12
Ekonomi imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan.
Barang-barang kebutuhan pokok dan mewah dari wilayah timur imperium
diperdagangkan dengan barang-barang hasil dari wilayah bagian barat. Di
kerajaan ini, sudah terdapat berbagai macam industri seperti kain linen di
Mesir, sutra dari Syiria dan Irak, kertas dari Samarqand, serta berbagai
produk pertanian seperti gandum dari Mesir dan kurma dari Iraq. Hasilhasil industri dan pertania ini diperdagangkan ke berbagai wilayah
kekuasaan Abbasiyah dan negara lain. Karena industrialisasi yang muncul
di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung lagi. Selain itu,
perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang dari
Nubia dan Sudan barat (termasuk wilayah yang kini bernama Mali dan
Niger) melambungkan perekonomian Abbasiyah.13
Pusat pemerintahan Abbasiyah saat itu berada di kota Baghdad,
negeri seribu satu malam. Baghdad yang ketika itu menjadi ibu kota
negara adalah Baghdad yang menjadi ibu kota kemegahan. Al-Khathib AlBaghdadi telah menyifati dan memujinya dengan pujian yang tidak ada
bandingannya, dia menulis, “Baghdad tidak memiliki padanan dalam
kemegahan nilainya, kebesaran negaranya, dan ilmuwannya yang banyak.
Masyarakat dan orang elit memiliki sifat khusus, wilayahnya besar,
pinggiran sungainya luas, rumah, lorong, jalan, toko, pasar, gang, masjid,
pemandian, dan penginapannya sangat banyak. Airnya segar, peneduhan
dan naungannya sejuk, musim panas dan musin dinginnya normal, musim
bunga dan musim gugurnya menyehatkan, dan banyak perkakas yang
dikumpulkan dari masyarakat”.14
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah
dicapai oleh pemerintahan islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak
ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan
seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam
12 Siti Maryam (dkk.), Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 105-106.
13 Siti Maryam (dkk.), Sejarah Peradaban Islam, hlm. 106-107.
14 Yusuf al-Isy, Dinasti Abbasiyah, terj. Arif Munandar, (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), hlm. 271.
mencapai masa keemasan, kejayaan, dan kegemilangan. Masa keemasan
ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas
periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam
mengalami masa keemunduran.15
III.
KESIMPULAN
Pada masa Bani Abbas atau yang lebih dikenal dengan dinasti
Abbasiyah ini bisa dibilang merupakan masa puncak kejayaan semangat
umat Islam dalam hal perkembangan hadis. Diawali dari masterpiece
Imam Malik yaitu kitab Al-Muwaththa’ yang menuai banyak pujian dan
memberi banyak inspirasi bagi para ulama masa itu untuk melakukan
pengkajian yang lebih mendalam dalam pengumpulan hadis. Dan dengan
kehadiran dua imam hadis yang berjulukan Amir al-Mukminin fi al-Hadis
Imam Bukhori dan muridnya Imam Muslim berhasil membuat karya besar
juga yaitu kitab yang khusus berisi tentang hadis-hadis shohih saja dengan
pengkajian yang sangat teliti dan berhati-hati dengan pengembaraan ke
berbagai sumber-sumber hadis yang ada. Tak lama setelah itu pula muncul
karya-karya hadis imam-imam lain yang sering kita dengar dengan nama
kutub as-sittah oleh Imam Abu Dawud, Imam At-Turmudzi, Imam AnNasa’i dan Imam Ibnu Majah. Dan pada masa ini muncul sebuah ilmu
15 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 59.
tersendiri yaitu ilmu Riwayah dan ilmu Diroyah yang mempelajari tata
cara pengkajian terhadap hadis. Dan pada masa ini pula muncul metode
penyusunan kitab-kitab baru dengan cara menghimpun, memilah dan
mengklasifikasi hadis-hadis yang telah dibukukan sebelumnya oleh para
ulama muta’akhirin yang juga memudahkan kita dalam mencari dan
mempelajari hadis.
Begitu pula peradaban dan kebudayaan Islam pada masa ini juga
merupakan puncak kejayaan peradaban Islam yang pada masanya menjadi
panutan dunia terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, baik ilmu agama
maupun ilmu-ilmu umum lainnya yang didapat dengan penerjemahan
buku-buku asing dalam bahasa arab disertai penelitian kembali yang
bahkan tidak sedikit membenarkan teori-teori yang kurang benar yang
telah berkembang sebelumnya. Dengan dukungan para khalifah-khalifah
yang memberi dukungan berupa fasilitas-fasilitas yang salah satunya
dikenal dengan nama Bait al-Hikmah yang berhasil menumbuhkan
semangat para ilmuwan untuk mempelajari dan mengembangkan
pengetahuan yang mengantarkan Islam ke puncak peradaban pada
masanya. Namun sayangnya, setelah periode ini berakhir, Islam
mengalami kemunduran dan akhirnya kalah dengan peradaban barat yang
pada sebelumnya terinspirasi dari semangat umat muslim yang bahkan
sampai saat ini masih belum mampu mengembalikan masa kejayaannya.
Dan semoga tidak lama lagi kita mampu bangkit dari kemunduran ini
dengan berkaca bahwa pada masa lalu Islam pernah menjadi pusat
peradaban dunia dengan semangat keilmuan yang mereka miliki untuk
membangun peradaban yang lebih baik.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
al-Isy, Yusuf. Dinasti Abbasiyah, terj. Arif Munandar. Jakarta: Al-Kautsar, 2007.
Maryam, Siti (dkk.). Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: LESFI, 2002.
ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Zein, Muhammad Ma’shum. Ulumul Hadis & Musthalah Hadis Jombang: Darul
Hikmah, 2008.
SERTA KEBUDAYAAN MASA ABBASIYAH
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam dan
Budaya Lokal
Oleh:
Agil Muhammad (15551007)
Narendra Jumadil H.R. (15551003)
PROGRAM STUDI ILMU HADIS FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2015
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradaban Dinasti Abbasiyah merupakan salah satu bukti kejayaan
umat Islam di masa lampau. Dan dinasti ini sendiri adalah masa gemilang
Islam karena pada masa ini mulai diadakannya penerjemahan buku-buku
asing dengan dukungan pemerintahan setempat yang ditunjang dengan
banyak fasilitas-fasilitas yang sangat menunjang kebangkitan bagi
pengetahuan pada masa itu.
Dengan mengkaji pengembangan peradaban dan kebudayaan
dinasti ini, diharapkan bisa membangkitkan semangat kita sebagaimana
semangat para ilmuwan-ilmuwan muslim terdahulu khususnya dalam
perkembangan pembukuan hadis-hadis nabi, yang pada masa ini
dibukukannya kutub as-sittah oleh para imam-imam hadis yang sampai
saat ini masih menjadi sumber rujukan utama dalam mencari hadis-hadis
nabi. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini mengenai
perkembangan hadis dan tentang peradaban dan kebudayaan pada Dinasti
Abbasiyah. Sehingga kita tahu bagaimana perkembangan kebudayaan
hebat dan pengetahuan khususnya hadis yang kita perdalami saat ini.
II.
PEMBAHASAN
A. Kemajuan Dalam Bidang Hadis di Masa Bani Abbasiyah
Kekuasaan
dinasti
Bani Abbas
atau
khilafah Abbasiyah,
sebagaimana disebutkan, melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah.
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti
ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaanya berlangsung dalam rentang waktu
yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).1 Dengan
demikian, pada masa ini mencangkup pada tiga periode perkembangan
hadis.
Dalam periode pertama, merupakan masa pengumpulan dan
pengumpulan hadis. Pada masa ini sebenarnya melanjutkan proyek
pengumpulan hadis pada masa dinasti Bani Umayyah yang dipelopori oleh
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz dengan menyuruh para ulama untuk
menyelesaikan proyek mulia ini.
Semua ulama besar yang membukukan hadis adalah ahli-ahli hadis
abad ke-2 Hijrah. Kita menyayangkan kitab Az-Zuhry dan Ibnu Juraij itu
tidak diketahui di mana sekarang ini. Kitab hadis paling tua yang ada di
tangan umat islam dewasa ini ialah Al-Muwaththa’ susunan Imam Malik
atas perintah Khalifah Al-Manshur ketika dia pergi naik haji pada tahun
144 H. (143H).2
Di antara kitab-kitab abad ke-2 yang mendapat perhatian ulama
secara umum adalah Al-Muwaththa’ (susunan Imam Malik), Al-Musnad
dan Mukhtalif al-Hadis (susunan Imam Asy-Syafi’y) serta As-Sirah anNabawiyah atau Al-Maghazi wa as-Siyar (susunan Ibnu Ishaq).3 Dalam
abad ini pula, mulai dipisahkan hadis-hadis tafsir dari umum hadis dan
mulai pula dipisahkan hadis-hadis sirah dan maghazi-nya.4
Pada periode kedua ini merupakan masa pentashhihan dan kaidahkaidahnya. Dalam abad ke-3 Hijrah, upaya pembukuan hadis mulai
1 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 49.
2 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 54.
3 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 55.
4 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 57.
melonjak setelah datangnya kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik yang
disambut gembira oleh umat Islam saat itu.
Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadis yang terdapat di
kota mereka masing-masing. Sebagian kecil saja di antara mereka yang
pergi ke kota lain untuk kepentingan hadis. Keadaan ini dipecahkan oleh
Al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang
dikunjungi untuk mencari hadis.
Ringkasnya, Al-Bukhary
membuat
langkah
baru
untuk
mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam belas tahun
lamanya beliau terus menerus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahihnya.5 Al-Bukhary menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jami’
ash-Shahih yang membukukan hadis-hadis yang dianggap shahih saja.
Kemudian usaha Al-Bukhary ini diikuti pula oleh muridnya yang sangat
alim, yaitu Imam Muslim.6
Sesudah Shahih al-Bukhary dan Shahih Muslim tersusun, muncul
pula beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut,
seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (Sunan at-Tirmidzy),
dan An-Nasa’y (Sunan an-Nasa’y). Itulah yang kemudian terkenal dalam
kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (AlUshul al-Khamsah).
Di samping itu Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab
Sunan yakni Sunan Ibni Majah. Kitab ini oleh sebagian ulama
digolongkan dalam kitab-kitab induk, lalu menjadikan kitab-kitab induk
itu enam buah banyaknya terkenal dengan nama Al-Kutub as-Sittah.7
Pada mulanya ulama menerima hadis dari para perawi, lalu
menulis ke dalam bukunya, dengan tidak menetapkan syarat-syarat
menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya. Musuh yang
berkedok dan berselimut islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadis
dalam
mengumpulkan
hadis
pun
menambah
upaya
untuk
mengacaubalaukan hadis yaitu dengan menambahkan lafalnya atau
membuat hadis maudhu’.
5 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm, 60.
6 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 61.
7 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 61-62.
Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibatakibat perbuatan mereka, maka para ulama hadis bersungguh-sungguh
membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan,
tempat, kediaman, masa dan lain-lain, serta memisahkan hadis-hadis yang
shahih dari yang dha’if yakni menshahihkan hadis.
Ringkasnya, lahirlah tunas Ilmu Diroyah (Ilmu Dirayah al-Hadis)
yang banyak macamnya di samping Ilmu Riwayah (Ilmu Riwayah alHadis).8
Kemudian pada periode ketiga atau yang terakhir di masa Bani
Abbasiyah ini merupakan masa Tahdzib, Istidrak, menyusun Jawami’,
Zawa’id dan Athraf.9
Perlu diketahui bersama bahwa pada periode ini, ditemukan
perbedaan yang menyolok dalam meletakkan sistem penulisan karya
ilmiah, khususnya dalam bidang hadis, sebab pada masa ini, sudah terjadi
pemisahan dua pola dan sistem pemikiran di kalangan para ulama, bahkan
menjadi awal terjadinya pemisahan antara kelompok ulama mutaqoddimin
dan muta’akhirin, yaitu:
a). Mutaqoddimin ialah ulama yang hidup sebelum tahun 300 H. Sistem
penulisan hadis-hadis koleksi mereka dalam kitab-kitab koleksinya,
dengan menggunakan pola mendengar hadis langsung dari para guru
mereka, lalu melakukan penelitian sendiri terhadap matan hadis dan
perawinya.
b). Muta’akhirin, yaitu ulama yang hidup setelah tahun 300 H. Sistem
penulisan hadis-hadis mereka dalam kitab koleksinya, menggunakan pola
menghimpun hadis-hadis dengan tetap berpegang pada kitab-kitab koleksi
hadis yang sudah ada, sehingga usaha mereka terbatas hanya pada
penyusunan hadis-hadis secara lebih sistematis atau hanya membuat
resume (ringkasan) atau mensyarahi kitab-kitab yang sudah ada.10
Ringkasnya, para ulama muta’akhirin ini menyusun kitab-kitab
hadis yang telah ada berdasarkan metode-metode mereka dalam
8 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 60-61.
9 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu, hlm. 79.
10 Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, (Jombang: Darul Hikmah,
2008), hlm. 76.
mengumpukan hadis-hadis mereka. Dan dalam tiap metode tersebut
memiliki nama kitab-kitab tersendiri, diantaranya kitab jami’, mustakhraj,
mustadrak, athraf. Dan kitab-kitab inilah juga merupakan salah satu bukti
perkembangan keilmuan tentang hadis-hadis pada masanya.
B. Peradaban dan Kebudayaan Masa Bani Abbasiyah
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mun (813833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun Al-Rasyid untuk
keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi
didirikan. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada
masa inilah negara islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan
tak tertandingi. Al-Ma’mun, pengganti Al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah
yang
sangat
cinta
kepada
ilmu.
Pada
masa
pemerintahannya,
penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan bukubuku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen
dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah,
salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait alHikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma’mun inilah Baghdad
mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang
besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan,
keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada
masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem
ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti.
Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan
demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.11
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut,
terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama.
Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran
pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interprestasi tradisional dengan
mengambil interprestasi dari nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi alra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat
dan pikiran daripada hadis dan pendapat sahabat.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia
yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang
lebih tinggi. Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan
pemikiran rasional daripada hadis.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak
menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh
madzhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam
Ahmad ibn Hanbal (780-855 M).
Dalam bidang filsafat, para filosuf Islam berusaha menjawab
persoalan-persoalan umat Islam yang berkaitan dengan kepercayaan dan
pemikiran baik secara teoritis maupun praktis, kemanusiaan maupun
ketuhanan yang dianggap oleh umat Islam perlu untuk dijawab sebagai
pegangan hidup keseharian maupun untuk keselamatan yang lebih tinggi.
Pada masa ini pemikiran filsafat mencangkup bidang keilmuan yang
sangat luas seperti logika, geometri, atronomi, dan musik yang
dipergunakan untuk menjelaskan pemikiran abstrak, garis dan gambar,
gerakan dan suara. Para filosuf semasa Abbasiyah seperti Ya’qub ibn Ishaq
al-Kindi, Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibn Bajah, Ibnu Tufail dan Ibnu
11 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 52-52.
Rushd menjelaskan pemikiran pemikirannya dengan menggunakan
contoh, metafor, analogi dan gambaran imaginatif.12
Ekonomi imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan.
Barang-barang kebutuhan pokok dan mewah dari wilayah timur imperium
diperdagangkan dengan barang-barang hasil dari wilayah bagian barat. Di
kerajaan ini, sudah terdapat berbagai macam industri seperti kain linen di
Mesir, sutra dari Syiria dan Irak, kertas dari Samarqand, serta berbagai
produk pertanian seperti gandum dari Mesir dan kurma dari Iraq. Hasilhasil industri dan pertania ini diperdagangkan ke berbagai wilayah
kekuasaan Abbasiyah dan negara lain. Karena industrialisasi yang muncul
di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung lagi. Selain itu,
perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang dari
Nubia dan Sudan barat (termasuk wilayah yang kini bernama Mali dan
Niger) melambungkan perekonomian Abbasiyah.13
Pusat pemerintahan Abbasiyah saat itu berada di kota Baghdad,
negeri seribu satu malam. Baghdad yang ketika itu menjadi ibu kota
negara adalah Baghdad yang menjadi ibu kota kemegahan. Al-Khathib AlBaghdadi telah menyifati dan memujinya dengan pujian yang tidak ada
bandingannya, dia menulis, “Baghdad tidak memiliki padanan dalam
kemegahan nilainya, kebesaran negaranya, dan ilmuwannya yang banyak.
Masyarakat dan orang elit memiliki sifat khusus, wilayahnya besar,
pinggiran sungainya luas, rumah, lorong, jalan, toko, pasar, gang, masjid,
pemandian, dan penginapannya sangat banyak. Airnya segar, peneduhan
dan naungannya sejuk, musim panas dan musin dinginnya normal, musim
bunga dan musim gugurnya menyehatkan, dan banyak perkakas yang
dikumpulkan dari masyarakat”.14
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah
dicapai oleh pemerintahan islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak
ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan
seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam
12 Siti Maryam (dkk.), Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 105-106.
13 Siti Maryam (dkk.), Sejarah Peradaban Islam, hlm. 106-107.
14 Yusuf al-Isy, Dinasti Abbasiyah, terj. Arif Munandar, (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), hlm. 271.
mencapai masa keemasan, kejayaan, dan kegemilangan. Masa keemasan
ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas
periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam
mengalami masa keemunduran.15
III.
KESIMPULAN
Pada masa Bani Abbas atau yang lebih dikenal dengan dinasti
Abbasiyah ini bisa dibilang merupakan masa puncak kejayaan semangat
umat Islam dalam hal perkembangan hadis. Diawali dari masterpiece
Imam Malik yaitu kitab Al-Muwaththa’ yang menuai banyak pujian dan
memberi banyak inspirasi bagi para ulama masa itu untuk melakukan
pengkajian yang lebih mendalam dalam pengumpulan hadis. Dan dengan
kehadiran dua imam hadis yang berjulukan Amir al-Mukminin fi al-Hadis
Imam Bukhori dan muridnya Imam Muslim berhasil membuat karya besar
juga yaitu kitab yang khusus berisi tentang hadis-hadis shohih saja dengan
pengkajian yang sangat teliti dan berhati-hati dengan pengembaraan ke
berbagai sumber-sumber hadis yang ada. Tak lama setelah itu pula muncul
karya-karya hadis imam-imam lain yang sering kita dengar dengan nama
kutub as-sittah oleh Imam Abu Dawud, Imam At-Turmudzi, Imam AnNasa’i dan Imam Ibnu Majah. Dan pada masa ini muncul sebuah ilmu
15 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 59.
tersendiri yaitu ilmu Riwayah dan ilmu Diroyah yang mempelajari tata
cara pengkajian terhadap hadis. Dan pada masa ini pula muncul metode
penyusunan kitab-kitab baru dengan cara menghimpun, memilah dan
mengklasifikasi hadis-hadis yang telah dibukukan sebelumnya oleh para
ulama muta’akhirin yang juga memudahkan kita dalam mencari dan
mempelajari hadis.
Begitu pula peradaban dan kebudayaan Islam pada masa ini juga
merupakan puncak kejayaan peradaban Islam yang pada masanya menjadi
panutan dunia terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, baik ilmu agama
maupun ilmu-ilmu umum lainnya yang didapat dengan penerjemahan
buku-buku asing dalam bahasa arab disertai penelitian kembali yang
bahkan tidak sedikit membenarkan teori-teori yang kurang benar yang
telah berkembang sebelumnya. Dengan dukungan para khalifah-khalifah
yang memberi dukungan berupa fasilitas-fasilitas yang salah satunya
dikenal dengan nama Bait al-Hikmah yang berhasil menumbuhkan
semangat para ilmuwan untuk mempelajari dan mengembangkan
pengetahuan yang mengantarkan Islam ke puncak peradaban pada
masanya. Namun sayangnya, setelah periode ini berakhir, Islam
mengalami kemunduran dan akhirnya kalah dengan peradaban barat yang
pada sebelumnya terinspirasi dari semangat umat muslim yang bahkan
sampai saat ini masih belum mampu mengembalikan masa kejayaannya.
Dan semoga tidak lama lagi kita mampu bangkit dari kemunduran ini
dengan berkaca bahwa pada masa lalu Islam pernah menjadi pusat
peradaban dunia dengan semangat keilmuan yang mereka miliki untuk
membangun peradaban yang lebih baik.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
al-Isy, Yusuf. Dinasti Abbasiyah, terj. Arif Munandar. Jakarta: Al-Kautsar, 2007.
Maryam, Siti (dkk.). Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: LESFI, 2002.
ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Zein, Muhammad Ma’shum. Ulumul Hadis & Musthalah Hadis Jombang: Darul
Hikmah, 2008.