KONSEP INSAN KAMIL DALAM DUNIA TASAWUF

KONSEP INSAN KAMIL DALAM DUNIA TASAWUF
(STUDY PEMIKIRAN AL-JILLI)

TUGAS INDIVIDUAL
MATA KULIAH TASAWUF KLASIK
Oleh
SEPTIAN DARWIS
NIM. 109032100004

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014

KONSEP INSAN KAMIL DALAM DUNIA TASAWUF
(STUDY PEMIKIRAN AL-JILLI)
Pendahuluan
Dalam dunia pemikiran yang berkembang dikalangan umat Islam ada
suatu istilah yang sangat dikenal dan begitu popular dikalangan pengkaji dunia
islam yaitu apa yang disebut “Insan Kamil”, alias manusia yang sempurna. Insan

Kamil merupakan suatu istilah yang selalu dipakai untuk menggambarkan derajat
spritual yang paling tinggi, yang menjadi dambaan setiap muslim. Keinginan
untuk bisa mencapai derajat sebagai Insan Kamil sangat berarti bagi seseorang
yang beriman, karena mereka benar-benar dapat dan bisa merasakan makna
sebagai manusia yang sesungguhnya.1
Pencapain manusia kepada posisi atau derajat sebagai Insan Kamil hanya
dikenal dalam dunia tasawuf. Banyak cara atau metode yang ditempuh untuk
mencapai derajat tersebut yang dirumuskan oleh para sufi masyhur. Diantaranya
adalah salah satu tokoh sufi islam yang terkenal yaitu, Al-Jilli, dalam kitabnya,
Al-Insanul Kamil fi Makrifat al-Awakhir wa Awa’il. Ia telah menuliskan
pendapatnya tentang Insan Kamil dengan cukup Mendetail dan terperinci–
sehingga sering dikutip banyak penulis hingga kini.
Biografi
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim ibnu Ibrahim ibnu Khalifah ibnu
Ahmad ibnu Mahmud al-Jilli. Untuk mengetahui kapan ia lahir dan wafat, dimana
ia lahir dan wafat, para sejarahwan dan pengamat sufi berbeda pendapat. Al-Jilli
memang sufi yang sangat misterius, itu dikarenakan riwayat hidupnya juga sangat
sulit untuk dilacak. Menurut orientalis barat sekaligus pengamat sufi, Ignaz
Goldziher, Al-Jilli lahir di sebuah desa yang berada didekat Bagdad yang bernama
Al-Jil – yang kemudian dinisbatkan di belakang namanya.2

Akan tetapi pendapat tersebut dibantah oleh Nicholson, pengamat sufi
yang lain, dalam sebuah karyanya ia menulis, Al-Jilli bisa diartikan sebagai
1

"Insan al Kamil dalam perspektif Abdul Karim Al-Jili". The Islamic College. Diakses

pada 23 Desember 2014.
2

Oman Fathurrahman, dkk (2008). Ensiklopedi Tasawuf. (Bandung: Penerbit Angkasa). h

13-17 Cet.1

pertalian nasab atau keturunan. Jil

atau Jilan menunjukkan bahwa Al-Jilli

merupakan seseorang dari keturunan orang Jilan, sebuah daerah di wilayah
Bagdad3. Argumentasi ini senada dengan beberapa buku mengenai karya Al-Jilli
yang menyebutkan bahwa Al-Jilli masih keturunan dari Syekh Abdul Qadir Al

Jilani, seorang tokoh sekaligus pendiri tarekat Qadiriyah4.
Menurut Al-Jilli sendiri dalam beberapa karyanya menyebutkan bahwa
garis nasabnya tersambung dari cucu perempuan Syekh Abdul Qadir Jailani. Tapi
beberapa ulama, tokoh serta pengamat sufi sepakat, Al-Jilli lahir pada bulan
Muharram tahun 767 H di Baghdad, Irak. Namun untuk mengenai wafatnya para
ulama dan pengamat sufi – seperti At-Taftazani, AJ. Arberry maupun Umar Ridha
Kahhalah – tidak sepakat dan saling berbeda pendapat.
Pendidikan Al-Jilli
Al-Jilli semasa kecilnya dididik dan diajar dengan keras serta penuh
disiplin oleh ayahandanya. Memasuki masa remaja – ketika Baghdad telah
dikuasai pasukan Mongol – ia beserta keluarganya hijrah ke Zabid di Yaman.
Disinilah ia mendapat pendidikan agama secara intensif, antara lain ia pernah
berguru kepada Syekh Syarafuddin Ismail ibnu Ibrahim Al-Jabarti (W. 806 H).
belakangan ia juga mengenyam pendidikan kepada seorang sufi besar di
Hindukusy, India, pada 709 H, tapi tidak ada suatu catatan pun berapa lama ia
tinggal di India.
Ia hanya mengisahkan beberapa pengalamannya dalam menimba ilmu,
antara lain ketika berkenalan dengan tokoh-tokoh tarekat, terutama tarekat
Naqsyabandiyah, Khistiyah, dan Syuhrawardiyah. Ia juga menceritakan hubungan
persahabatannya dengan teman seperguruannya. Syihabuddin Ahmad Raddad (w.

821 H). perjalanannya ke Parsi, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Iran,
untuk bertemu dengan beberapa guru sufi di sana.
Menjelang akhir tahun 799 H, ia pergi menunaikan ibadah haji. Ketika
itulah ia sempat berdiskusi dengan beberapa ulama besar yang berada di mekah.
Selang 4 tahun kemudian, tahun 803 H, ia pergi berkunjung ke Kairo dan sempat
3

R.A. Nicholson, Studies In Islamic Mysticism, (India, 1976), h. 99.

4

Hari Zamhari, Insan Kamil: Citra Sufistik al-Jili tentang Manusia, dalam M. Dawam

Rahardjo (ed), Insan Kamil; Konsepsi Manusia Menurut Islam, (Grafitipers, Jakarta,
1985), h.109.

singgah di Universitas Al-Azhar untuk bertemu dengan beberapa ulama disana. Ia
juga sempat berkunjung ke Gaza salah satu daerah di Palestina dan menetap
disana selama kurang lebih dua tahun, tapi tak lama kemudian ia kembali ke
Zabid, karena dia ingin mendalami pengetahuannya dengan berguru kembali

kepada guru lamanya, Al-Jabarti. Mungkin di kota inilah ia wafat pada tahun 805
H / 1402 M.
Karya-karya Al-Jilli
Tidak jauh seperti halnya para sufi besar lainnya, ia juga banyak menulis
kitab-kitab salah satunya tasawuf. Karya-karyanya ini tergolong sangat berat,
salah satunya antara lain adalah “Al-Insanul Kamil fi Makrifat Al-Awakhir wa
Awail – yaitu, sebuah kitab yang dianggap telah mendapat pengaruh pemikiran
seorang tokoh sufi sekaligus sebagai gurunya, Ibnu Arabi. Kitab Lainnya, Arbaun
Mautian, yang menceritakan perjalanan mistisnya, hingga saat ini masih tersimpan
di Perpustakaan Dar el-Misriyah, Kairo, Mesir5.
Kitab lainnya yang tak kalah hebatnya adalah Bahr al-Hudus wa al-Qidam
wal Maujud wa al-Adam, naskahnya tidak ditemukan, tapi disebutkan dalam kitab
Maratib al-Wujud. Sementara kitab Akidah al-Akabir al-Muqtabasah min Ahzab
wa Shalawat membicarakan akidah para sufi. Kitab ini juga masih tersimpan di
perpustakaan Tripoli, Libya.
Tapi karyanya yang sekaligus menjadi Master Piece nya tetaplah AlInsanul Kamil, yang telah diterbitkan beberapa kali dan sudah tersebar luas
keseluruh dunia. Bahkan beberapa penerbit terkenal dengan bangga menerbitkan
karyanya tersebut, seperti Muktabah Shabih dan Musthafa al-Babi Al- Halabi,
Kairo dan El-Fiqr, Bairut. Kitab yang terdiri dari dua jilid ini memuat 63 bab, 41
bab di jilid pertama, 22 bab di jilid kedua.

Karna sangat menarik dan menjadi acuan oleh kalangan ilmuan dunia,
kitab yang mengemukakan gagasan dan pendapat Al-Jilli tentang Insan Kamil ini
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Seorang tokoh pengamat dunia
islam, Titus Burkehardt, misalnya menerjemahkan ke dalam bahasa Prancis

5

Abdul Karim Ibn Ibrahim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi ma’rifat al-Awakhir wa al-Awali,

juz 2, (Dar al-Fikr), h.74.

dengan judul De I’Home Universal, yang kemudian disalin lagi oleh Angela
Culme Seymour dalam bahasa Inggris dengan diberi judul Universal Man.
Syarah atau komentar yang menceritakan tentang kitab ini ditulis oleh
beberapa ulama dalam beberapa kitab. Diantaranya adalah Mudhihat al-Hal fi
Sa’d Masmu’at al-Dajjal, susunan Syekh Ahmad Muhammad ibnu Madani (w.
1071 H/1660 M), yang mengomentari bab 50-54, yang naskahnya hingga saat ini
tersimpan di Liberary on India Office, New Delhi. Sedangkan syarah yang lainnya
adalah Kayf Al-Bayan ‘an Asrar al-Adyan fi Kitab Al-Insanul Kamil oleh Abdul
Ghani An-Nablusi (w. 1159 H) dan Syekh Ali ibnu Hijazi al- Bayumi (w. 1183 H).

Kitab karangan yang ditulis oleh Al-Jilli lainnya yaitu, Al-Kahf wa arRaqim, memuat dua naskah. Naskah yang pertama Al-Kahf ar-Raqim al-Kasyif
al-Asrar bi Ism Allah al-Rahman al-Rahim, dan naskah kedua, berjudul Al-Kahf
wa Raqim fi Syarh Bimillah al-Rahman al-Rahim. Belakangan kenudian kitab ini
dicetak ulang oleh Dar al-Ma’arif al-Nidzamiyah, Haiderabat, India, pada tahun
1917 M. kitab tersebut merupakan tafsir kesufian terhadap makna Basmalah. Yang
sanagt menarik adalah dia berusaha menafsirkan surat Al-Fatihah, kata demi kata,
kalimat demi kalimat6.
Karya Al-Jilli lainnya yang berhubungan dengan dunia tasawuf, antara
lain, Maratib al-Wujud wa Haqiqat al-Kulli Maujud, yang telah menguraikan
secara panjang lebar beberapa hal tentang peringkat “Wujud” dalam ajaran sufi,
yang telah diterbitkan oleh Maktabah Al-Jundi, Kairo. Al-Jilli juga pernah menulis
syarah atas karya Ibnu Arabi, Ar-Risalah Al-Anwar, didalam sebuah kitab yang
berjudul cukup panjang: Al-Isfar ‘an al-Risalah al-Anwar fi ma Yatajalla li Ahl alDzikir min Asrar li Syekh Al-Akbar.
Ada satu naskah lagi yang tidak kalah penting yaitu, Al-Sifah al-Nataij alAsfar. Naskah ini ditemukan oleh Broclemann yaitu seorang peneliti tasawuf, di
Leipzig, Austria. Akan tetapi ada sebuah kitab Al-Jilli lainnya yang hilang,
judulnya Al-Marqum al-Sirr al-Tauhid al-Mahjul wa Ma’lum, yang banyak
membahas rahasia kemahaesaan Allah SWT. Keberadaan naskah ini banyak
disebut dalam kitab Al-Kamalat al-Ilahiyah.
6


Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari zaman ke zaman (terjemahan), (Pustaka,

Bandung, 1985), h.204.

Ada sekitar 28 jilid dari 30 jilid kitab yang raib dan tidak diketahui
keberadaanya hingga kini. Ke-30 jilid itu telah termaktub dalam kitab ALDaqiqah al-Haqai, ada dua jilid yang masih bisa ditemukan dan kedua jilid itu
adalah Kitab Al-Uqtah (jilid pertama) dan kitab Al-Alif (jilid kedua). Sampai saat
ini naskah kedua jilid tersebut tersimpan di Dar el-Kutub al-Misriyah, Kairo.
Al-Jilli juga telah menulis sebuah kitab tentang Akhlak yang luhur yang
seharusnya telah didapatkan dan ditempuh

oleh seorang sufi, judulnya, Al-

Ghunyah Arbab al-Sama fi Kasyf al-Ghina ‘an wajh al-Itsma, yang ia tulis pada
tahun 803 H di Kairo. Kitab itu bukan hanya mngenai akhlak ideal seorang sufi, ia
juga menulis kitab mengenai beberapa pengalaman-pengalaman sufistisnya.
Dalam Al-Manadzir al-Ilahiyah. Kitab ini juga banyak menguraikan dasar-dasar
akidah yang wajib diyakini bagi seorang muslim, terutama bagi ,mereka yang
menempuh jalan tarekat.
Itulah beberapa karya serta kitab yang dikarang oleh Al-Jilli. Produktivitas

serta gagasannya masih dapat dibaca hingga sekarang. Kekayaan serta kepandaian
intelektualnya sungguh sangat-sangat mempesona publik tasawuf di seluruh jagat
raya.
Konsep Insan Kamil menurut Al-Jilli
Menurut seorang tokoh pengkaji tasawuf, Khan Sahib Khaja Khan, kata
”insan” dipandang berasal dari beberapa turunan kata. Misalnya ”uns” yang
artinya cinta. Sedangkan sebagian yang lain memandangnya berasal kata ”nas”
yang artinya pelupa, karena seorang manusia hidup di dunia ini dimulai dari
terlupa dan akan berakhir dengan terlupa. Yang lain lagi juga berkata asalnya
adalah ”ain san”, ”seperti mata”. Manusia dapat diibaratkan dengan mata, dengan
nama Tuhan menurunkan sifat dan asma-Nya secara terbatas. Insan Kamil,
karenanya merupakan gambaran cermin yang merupakan pantulan dari sifat dan
asma Tuhan”7.
Dalam konsep Insan Kamil, Tuhan bukanlah merupakan sebuah layar bagi
makhluk-Nya, dan makhluk tidak akan tertabiri dari Khalik. Ia menjadi seimbang
dalam kedua arah. Ia adalah seseorang yang telah melaksanakan dengan baik
7

Khan Sahib Khaja Khan, Cakrawala Tasawwuf (terjemahan), (Rajawali Pers, Jakarta,


1993), h.80-81.

suluk (perjalanan pencarian) menuju Tuhan dan selalu bersama Tuhan, dan
mencapai titik Haqiqat-i-Muhammadi, yang bagaikan sebuah titik yang berjarak
antara dua busur atau bahkan lebih dekat lagi. Ia dapat menjadi poros dimana
seluruh eksistensi mengelilingi dan menyinari hati makhluk-makhluk lainnya.
Dalam kenyataannya, ini merupakan bentuk pola tidak langsung atau
tiruan dari individualitasnya. Ini adalah apa yang disebut Ibn Arabi, seorang tokoh
muslim terkenal, sebagai kebijaksanaan individualitas. Penciptaan dimulai dari
Muhammad saw, artinya melalui suatu Haqiqat dari ruh Muhammad,
kebijaksanaan eksistensi ini mewujud secara lengkap dalam individualitasnya.
”Aku sudah menjadi nabi” ujar Rasul ”ketika Adam masih antara air dan
lempung”, artinya Aku sudah diangkat menjadi seorang nabi ketika Adam masih
belum dalam pengetahuan Tuhan, dan belum mendapatkan bentuknya mendunia.
Gagasan tentang konsep Insan Kamil al-Jili sebenarnya melanjutkan
gagasan yang telah dikemukakan Ibn Arabi. Menurut Ibn Arabi, manusia yang
sempurna adalah gambaran alam seluruhnya. Karena Allah ingin melihat
substansi-Nya (bertajalli) dalam alam seluruhnya, yang dapat meliputi seluruh hal
yang ada, yaitu dikarenakan hal ini bersifat wujud serta hanya kepadanya Allah
mengemukakan rahasia-Nya, maka kemunculan manusia sempurna (Insan Kamil).

Menurut Ibn Arabi adalah esensi manusia sempurna merupakan kecermelangan
cermin alam.
Ibn Arabi telah membedakan manusia sempurna menjadi dua bagian.
Pertama manusia sempurna dalam kedudukannya sebagai manusia baru. Kedua,
manusia sempurna dalam kedudukannya sebagai manusia abadi. Karena itu dia
memahami bahwa manusia sempurna adalah manusia baru yang abadi, yang
muncul, bertahan, dan abadi8.
Bagi Ibn Arabi, tegaknya alam semesta justru oleh manusia dan alam ini
akan selalu terpelihara selama manusia sempurna masih ada. Manusia sempurna
atau Haqiqat Muhammad (ruh Muhammad) adalah sumber seluruh hukum,
kenabian, semua wali, atau individu-individu manusia sempurna (yaitu para sufi
yang wali).
8

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Yayasan Nurul Islam, Jakarta,

1980), h.147.

Kemudian al-Jili semakin mempertegas gagasan mengenai Insan Kamil.
Menurutnya, Insan Kamil adalah Muhammad sendiri secara personal, karena
dalam diri beliau terdapat sifat-sifat al-Haq (Tuhan) dan al-Khaliq (makhluk)
sekaligus. Dan sesungguhnya Insan Kamil itu adalah esesnsi dari Ruh Muhammad
yang diciptakan dalam diri nabi-nabi, wali-wali, serta orang-orang soleh. Insan
Kamil merupakan cermin Tuhan (copy Tuhan) yang diciptkan atas nama-Nya,
sebagai refleksi dari gambaran nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Seorang Insan
Kamil memiliki dua dimensi yaitu sebelah kanan dan sebelah kiri. Yang sebelah
kanan merupakan aspek lahir, seperti melihat, mendengar, berkehendak.
Sedangkan dimensi sebelah kirinya bercorak batin dan mutlak, seperti azali, baqa,
awal, dan akhir.
Menurut al-Jili, Insan Kamil adalah dia yang mampu berhadapan dengan
Pencipta dan pada saat yang sama juga mampu berhadapan dengan makhluk.
Insan Kamil atau manusia sempurna merupakan Qutb atau eksis, yang merupakan
tempat segala sesuatu berkeliling dari permulaan hingga akhir. Oleh karena itu
segala sesuatu menjadi ada, maka dia adalah satu (wahid) untuk selamanya. Ia
memiliki berbagai bentuk dan ia akan muncul dalam kana’is atau dalam bentuk
rupa yang bermacam-macam. Untuk menghormati hal yang demikian, maka
namanya akan dipanggil secara berbeda pula dan untuk menghormati selain
daripadanya, maka panggilan nama yang demikian tidak akan dipergunakan pada
mereka. Siapakah dia? Nama sebenarnya adalah Muhammad, nama untuk
kehormatannya adalah Abdul Qosim, dan gelarnya Syamsudin atau Sang Menteri
Agama9.
Suatu pengalaman pribadi pernah dikemukakan oleh al-Jili, yakni
menurutnya: “sekali waktu saya pernah bertemu dengan dia dalam wujudnya
persis seperti syekh saya, Syarifuddin Ismail al-Jabarti, tetapi saya tidak
mengetahui bahwa dia (syekh) itu sebenarnya adalah nabi, padahal saya
mengetahui bahwa dia (nabi) adalah syekh. Ini adalah satu penglihatan yang saya
dapati sewaktu berada di Zabit pada tahun 796 H”. Makna yang sebenarnya yang
terdapat dalam peristiwa ini adalah bahwasanya nabi memiliki kekuatan untuk
9

A.J. Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawwuf (terjemahan), (Mizan, Bandung, 1985),

h.136.

menampilkan diri dalam setiap bentuk. Demikianlah keadaan Muhammad. Akan
tetapi manakala ia dalam bentuk lain dan diketahui bahwa ia Muhammad, maka ia
akan dipanggil dengan nama sebagaimana yang terdapat dalam bentuk tersebut.
Nama Muhammad tidaklah bisa diterapkan kepada sesuatu hal kecuali
kepada ”ide tentang Muhammad” (al-Haqiqatul Muhammadiyya). Maka dengan
demikian, ketika muncul dalam bentuk Syibli, maka Syibli berkata kepada
kawannya: ”saksikanlah bahwa saya adalah utusan Tuhan”, dan orang tersebut
sebagai orang yang telah bersatu dengan roh Muhammad dan telah mengenali
Muhammad. Dan ia berkata: ”Saya bersaksi bahwasannya Anda adalah utusan
Tuhan.”
Dari keterangan di atas sangat nampak bahwa Haqiqat Muhammad atau
Nur Muhammad itu qadim, sebab dia sebagian dari Ahadiyah. Sebagian dari suatu
dan satu. Dia tetap ada, Haqiqat Muhammad itulah yang telah memenuhi tubuh
Adam dan tubuh Muhammad. Dan apabila Muhammad telah mati seluruh
tubuhnya namun Nur Muhammad atau Haqiqat Muhammad akan tetap ada sebab
dia sebagian dari Tuhan. Jadi, Allah, Adam, Muhammad adalah satu. Dan Insan
Kamil-pun adalah Allah juga dan Adam pada hakikatnya. Jadi, menurut al-Jili,
sebagaimana yang telah dikutip oleh Harun Nasution, manusia sempurna )Insan
Kamil) itu merupakan copy (nuskha) Tuhan10.
Tapi dalam keyakinan al-Jili, manusia tidak akan pernah sampai kepada
pemahan untuk mengidentifikasi bahwa dirinya adalah sepenuhnya Tuhan. Dalam
sebuah terminologi kaum sufi, berpindahnya Tuhan ke dalam manusia sehingga
terjadi persatuan antara hamba dan Tuhan yang disebut esensi. Al-Jili dan kaum
sufi pada umumnya merumuskan Tuhan bukan dalam dzat-Nya akan tetapi
sebagai sebuah bentuk esensi dan segala sesuatu yang ada dalam jagat raya
memiliki unsur esensi ilahi, sehingga makhluk yang disebut manusia sangat
dimungkinkan melakukan persatuan atau pertemuan esensi dirinya dengan esensi
Tuhan.
Dengan menerima gagasan dari Ibn Arabi tentang kesatuan wujud, al-Jili
mengemukakan bahwa penampakkan dari esensi Tuhan itu melalui tiga tahap

10

Harun Nasution, Falsafat & Mistisme dalam Islam, (Bulan Bintang, 1973), h.56.

manifestasi beruntun yang disebutnya: ”Kesatuan” (Ahadiah), ”Ke-Diaan”
(Hiwiyah), dan ”Ke-Akuan” (Aniyah).
Pada tahapan Ahadiah, esensi Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar
dari al-a’ma, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap Huwiyah, nama
dan sifat Tuhan telah muncul, akan tetapi Ia masih dalam bentuk potensi. Pada
tahap Aniyah, Tuhan telah menampakkan diri sepenuhnya dengan nama-namaNya dan sifat-sifat-Nya.
Kesimpulan
Walaupun manusia merupakan esensi dari Tuhan yang paling sempurna
diantara semua makhluk-Nya, namun esensi diri Tuhan tidak sama pada semua
manusia. Penampakkan diri Tuhan yang sempurna hanya akan terdapat dalam diri
Insan Kamil. Dan jalan untuk menuju ke tingkatan Insan Kamil tersebut, menurut
al-Jili adalah dengan pengamalan Islam, Iman, Shalat, Ihsan, Syahadah,
Shiddiqiyah, dan Qurbah. Melalui beberapa tahapan, yaitu: Mubtadi, Mutawasit,
dan Ma’rifat yang kemudian mencapai maqam khatam (penghabisan)11.
Pada tingkat Mubtadi, seseorang sufi telah disinari oleh nama-nama
Tuhan, pada sufi yang demikian Tuhan menampakkan esensi diri-Nya dalam
nama-nama-Nya seperti Pengasih, Penyayang, dan seterusnya. Pada tingkat
Mutawasit, seorang sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan seperti: Hayat, Ilmu,
Qudrat, dan lain-lain. Pada sufi yang demikian Tuhan menampakkan esensi diriNya dengan sifat-sifat-Nya. Sedangkan pada tingkat Ma’rifat, seorang sufi
disinari oleh zat Tuhan. Pada sufi yang demikian Tuhan telah menampakkan diri
dengan zat-Nya. Pada tingkatan ini seorang sufi mencapai maqam khatam,
sehingga dapat mencapai atau menjadi Insan Kamil. Ia telah menjadi manusia
sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah)
Allah. Ia adalah bayangan Tuhan yang sangat sempurna.
Itulah adalah beberapa gagasan mengenai konsep Insan Kamil menurut alJili. Wallahualam bis shawaab...
Referensi
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992
11

Harun Nasution, Ensiklopedi, op.cit. h.491-492.

R.A. Nicholson, Studies In Islamic Mysticism, India, 1976.
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari zaman ke zaman
(terjemahan), Pustaka, Bandung, 1985.
Abdul Karim Ibn Ibrahim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi ma’rifat al-Awakhir
wa al-Awali, juz 2, Dar al-Fikr.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Yayasan Nurul Islam,
Jakarta, 1980.
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press,
Jakarta, 1995.
A.J. Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawwuf (terjemahan), Mizan,
Bandung, 1985, 136.
Harun Nasution, Ensiklopedi, op.cit.hal.