LAPORAN HASIL PENELITIAN terkait program

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMADUAN KEISLAMAN DAN KEILMUAN UPAYA INTEGRASI-INTERKONEKSI ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM

DI FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA

OLEH: DR. H. AGUS MOH. NAJIB AHMAD BAHIEJ, S.H. M.HUM. DRS. RIYANTO, M.HUM. HJ. FATMA AMILIA, S.AG. M.SI. DR. FAKHRI HUSEIN, S.E. BUDI RUHIATUDIN, S.H. M.HUM. DR. H.M. NUR

LEMBAGA PENELITIAN UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2011

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw. Alhamdulillah, penelitian yang berjudul Pemaduan Keislaman dan Keilmuan: Upaya Integrasi-Interkoneksi Ilmu Agama dan Ilmu Umum di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga ini telah selesai. Penelitian ini dibiayai oleh APBN-P di lingkungan UIN Sunan Kalijaga tahun 2011.

Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. H. Musa Asy’arie selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga, Dr. H. Mardjoko Idris, M.A. selaku Ketua Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga atas kepercayaan dan fasilitas pembiayaan penelitian ini, serta Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada seluruh jajaran struktur Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, dari Kabag Tata Usaha, para Kasubbag, dan para staf Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

Tak ada gading yang tidak retak. Sangat mungkin penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekuranan walaupun para peneliti telah melakukannya dengan usaha maksimal. Oleh karena itu, kritik dan saran membangun akan kami terima dengan lapang dada demi tercapaianya penelitian yang baik.

Yogyakarta, 13 Desember 2011 Ketua Tim Penelitian,

Dr. Agus Moh. Najib, M.A.

NIP. 19710430 199503 1 001

Abstrak

UIN (sebelumnya PTAIN dan IAIN) Sunan Kalijaga merupakan salah satu PTAIN tertua di Indonesia dan untuk beberapa waktu, mungkin juga sampai sekarang, menjadi tujuan utama bagi mahasiswa di seluruh Indonesia yang akan mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Ini berarti bahwa UIN Sunan Kalijaga dipandang oleh masyarakat sebagai salah satu pusat kajian ilmu-ilmu keislaman yang unggul dan dapat diandalkan.

Perubahan menjadi UIN juga sebenarnya berarti adanya perombakan cara pandang terhadap makna studi Islam yang selama ini dipahami. Tanpa memahami makna tersebut, perubahan status menjadi universitas hanya sekedar tambal sulam yang tidak membawa perubahan lembaga secara berarti.

Pokok masalah penelitian ini adalah bagaimanakah paradigma dan struktur keilmuan Islam yang integratif-interkonektif dan non-dikhotomis itu; 2 bagaimana perubahan paradigma dan struktur keilmuan, khususnya interkoneksi antara ilmu agama dan ilmu umum, di Fakultas Syari’ah dan Hukum setelah adanya konversi IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga dan 3. bagaimana aplikasi struktur keilmuan tersebut di Fakultas Syari’ah dan Hukum, baik mengenai nama fakultas dan prodi, arah kurikulum serta strategi pembelajaran yang digunakan?

Penelitian ini menggunakan pendekatan filosofis (philosophical approach). Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis, Dalam menganalisis data, dipergunakan metode induksi dan juga metode deduksi.

Paradigma dan struktur keilmuan di UIN Sunan Kalijaga masih perlu dirombak karena masih terdapat dikhotomi antara ilmu-ilmu qawliyyah (hadarah al-nass, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan) dengan ilmu-ilmu kawniyyah-ijtima’iyyah (hadarah al-‘ilm, ilmu-ilmu empiris-kemasyarakatan), maupun dengan ilmu-ilmu ‘aqliyyah (hadarah al-falsafah, ilmu-ilmu rasional- filosofis). Paradigma keilmuan Islam yang integralistik dan non-dikhotomi itu kemudian harus berimplikasi pada paradigma dan struktur keilmuan di UIN serta diimplementasikan pada pembentukan (nama-nama) Fakultas dan prodi yang berada di bawahnya.

Terdapat perubahan paradigma dan struktur keilmuan, khususnya interkoneksi antara ilmu agama dan ilmu umum, di Fakultas Syari’ah setelah adanya konversi IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga. Secara kelembagaan, Fakultas Syari’ah dan Hukum membuka program studi baru guna mendukung integrasi-interkoneksi ini, yaitu Program Studi Keuangan Islam dan Program Studi Ilmu Hukum.

Kata kunci: integrasi, interkoneksi, dikotomi keilmuan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

UIN (sebelumnya PTAIN dan IAIN) Sunan Kalijaga merupakan salah satu PTAIN tertua di Indonesia dan untuk beberapa waktu, mungkin juga sampai sekarang, menjadi tujuan utama bagi mahasiswa di seluruh Indonesia yang akan mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Ini berarti bahwa UIN Sunan Kalijaga dipandang oleh masyarakat sebagai salah satu pusat kajian ilmu-ilmu keislaman yang unggul dan dapat diandalkan. Pandangan ini diakui juga oleh universitas dan para ilmuwan Islamic studies di Barat. Mereka lebih memilih melakukan kerja sama keilmuan dengan UIN Yogyakarta, di samping UIN Jakarta, di banding UIN/IAIN/STAIN lainnnya di Indonesia. Kepercayaan tersebut di samping harus terus dijaga juga seharusnya sebagai pemacu untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan kualitas akademik dan profesionalitasnya tidak hanya pada tingkat nasional tetapi juga internasional.

Peningkatan kualitas akademik dan profesionalitas tersebut kemudian menjadi hal yang niscaya ketika dihadapkan pada realitas global yang penuh persaingan dan tantangan. Karena itu UIN Sunan Kalijaga, sebagaimana Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) lainnya, menghadapi beberapa tantangan yang harus segera dihadapi dan diselesaikan, apabila tidak hanya ingin tetap survive tetapi juga menjadi perguruan tinggi yang diminati dan disegani secara Peningkatan kualitas akademik dan profesionalitas tersebut kemudian menjadi hal yang niscaya ketika dihadapkan pada realitas global yang penuh persaingan dan tantangan. Karena itu UIN Sunan Kalijaga, sebagaimana Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) lainnya, menghadapi beberapa tantangan yang harus segera dihadapi dan diselesaikan, apabila tidak hanya ingin tetap survive tetapi juga menjadi perguruan tinggi yang diminati dan disegani secara

khusus, 2 dan 2) ilmu-ilmu yang diajarkan di PTAI dianggap kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat sekarang. 3 UIN Sunan Kalijaga memiliki tanggung

jawab yang semakin besar untuk menyelesaikan problem dan tantangan tersebut, karena UIN Sunan Kalijaga sudah menjadi universitas, berdasarkan SK Mendiknas sejak tanggal 23 Januari 2004, dan tidak lagi menjadi institut.

Dua problem utama di atas sebenarnya dapat diselesaikan apabila ada perubahan yang mendasar pada bangunan dan struktur keilmuan yang diajarkan dan menjadi wilayah kajian di PTAI; yaitu struktur keilmuan yang tidak dikhotomis dan berorientasi masa kini dan masa depan. Dengan demikian perubahan menjadi universitas sebenarnya merupakan cermin perubahan kerangka berpikir menyangkut pengembangan ilmu yang ada selama ini. Dengan demikian perubahan tidak sekedar secara legal-formal-administratif, tetapi justru yang

1 Dikhotomi keilmuan antara “ilmu-ilmu sekular” dan “ilmu-ilmu agama” pada dasarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga hampir terjadi di seluruh dunia sekarang ini. Di

negara-negara Barat ilmu pengetahuan dan teknologi dipisahkan dari agama, sementara di negara- negara Islam “ilmu-ilmu agama” sepertinya terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik- Integralistik)” dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya MempertemukanEpistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 3-4.

2 Di Indonesia, khususnya di tingkat Perguruan Tinggi, dikhotomi keilmuan tersebut tidak hanya pada paradigma keilmuan yang memisahkan antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu

umum”, tetapi juga pada kelembagaannya, yaitu dengan adanya PTAI yang berada di bawah Departemen Agama di satu sisi dan PTU yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional di sisi yang lain. Azyumardi Azra, “Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman”, Makalah disampaikan pada “Bedah Buku dan Simposium Nasional Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman di PTAI”, tanggal 10-11 Juli 2003 di IAIN Walisongo Semarang, hlm. 2.

3 Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman BA, Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003), hlm. 6, 8-9.

terpenting harus dibarengi dengan perubahan bangunan ilmu yang akan ditradisikan melalui lembaga yang disebut Universitas ini. Bahkan sebelum perubahan status tersebut dilakukan, seharusnya yang paling awal ditempuh adalah melakukan kaji ulang terhadap struktur ilmu yang dikembangkan sekaligus mengadakan kajian intensif tentang struktur dan bangunan keilmuan yang baru

yang akan ditawarkan. 4 Perubahan menjadi UIN juga sebenarnya berarti adanya perombakan cara

pandang terhadap makna studi Islam yang selama ini dipahami. Tanpa memahami makna tersebut, perubahan status menjadi universitas hanya sekedar tambal sulam yang tidak membawa perubahan lembaga secara berarti. Bahkan sangat mungkin jika tidak dikaji ulang, maka dalam prakteknya akan mengalami nasib yang sama dengan lembaga pendidikan tinggi yang selama ini berlabel Islam, yang hanya memisahkan fakultas agama dengan fakultas lainnya, dan biasanya fakultas agama

tersebut hanya menjadi fakultas kedua yang tidak favorit. 5 Dengan adanya perubahan tersebut sudah selayaknya UIN Yogyakarta,

melalui fakultas yang ada, tidak terkecuali Fakultas Syari’ah dan Hukum, perlu melakukan perubahan mendasar secara paradigmatik dalam memandang ilmu- ilmu keislaman, sehingga dapat menjawab problem-problem keilmuan yang dikhotomis, baik di lingkungan PTAI maupun di Indonesia pada umumnya. Bangunan dan struktur keilmuan yang dibangun ini pada gilirannya akan

4 Akh. Minhaji, “Transformasi IAIN Menuju UIN: Sebuah Pengantar” dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali, hlm. xiii.

5 Ibid., hlm. xiii-xiv.

tercermin pada pembentukan nama fakultas dan program studi, 6 bahkan kurikulum yang akan dibentuk pun pada dasarnya merupakan penjabaran dari

struktur keilmuan tersebut. 7 Dengan kondisi yang diharapkan seperti itu, sebagai langkah awal penelitian

ini akan mengkaji upaya pemaduan dan relasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu- ilmu umum tersebut di Fakultas Syari’ah dan Hukum. Hal ini menarik karena secara internal Fakultas Syari’ah dan Hukum termasuk fakultas tertua di lingkungan UIN Sunan Kalijaga sehingga perlu dilihat respon dan perubahannya setelah menjadi universitas, di samping secara eksternal fakultas Syari’ah dan Hukum ini juga selalu berhadapan dan bersaing dengan Fakultas Hukum, bahkan juga Fakultas Ekonomi, pada umumnya.

B. Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah paradigma dan struktur keilmuan Islam yang integratif- interkonektif dan non-dikhotomis itu?

6 Menurut A. Qodri Azizy, nama-nama fakultas dan jurusan serta program studi di PTAI perlu dikaji ulang dan diganti nama-namanya dengan bahasa Indonesia. A. Qodri Azizy,

“Pengembangan Fakultas, Program Studi, dan Disiplin Ilmu di IAIN”, Makalah disampaikan pada “Bedah Buku dan Simposium Nasional Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman di PTAI”, tanggal 10-11 Juli 2003 di IAIN Walisongo Semarang, hlm. 8 dan 11.

7 Apabila bangunan dan struktur keilmuannya bersifat integralistik maka dengan demikian akan melahirkan Fakultas, Program Studi, serta arah kulrikulum yang non-dikhotomi, sehingga

kemudian tidak akan terjadi, misalnya, ada fakultas agama dan ada fakultas-fakultas umum lainnya, atau ada beberapa fakultas yang mengkaji ilmu agama dan beberapa fakultas yang mengkaji ilmu umum seperti ada fakultas Adab pada satu sisi dan ada fakultas Ilmu Humaniora atau Fakultas Ilmu Budaya pada sisi yang lain.

2. Bagaimana perubahan paradigma dan struktur keilmuan, khususnya interkoneksi antara ilmu agama dan ilmu umum, di Fakultas Syari’ah dan Hukum setelah adanya konversi IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga?

3. Bagaimana aplikasi struktur keilmuan tersebut di Fakultas Syari’ah dan Hukum, baik mengenai nama fakultas dan prodi, arah kurikulum serta strategi pembelajaran yang digunakan?

C. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara jelas mengenai realitas paradigma dan struktur keilmuan di Fakultas Syari’ah dan Hukum setelah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sehingga kemudian diketahui sejauhmana perubahan yang terjadi sehingga menuju arah paradigma dan struktur keilmuan Islam yang integralistik dan non-dikhotomik. Penelitian ini, dengan demikian, akan menelusuri dan mengkaji seperti apa paradigma dan struktur keilmuan Islam yang non-dikhotomik tersebut dan bagaimana aplikasinya yang telah ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum, termasuk dalam penamaan fakultas dan program studi serta arah kurikulum dan strategi pembelajaran yang digunakan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tawaran alternatif bagi pengembangan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta UIN Sunan Kalijaga secara umumnya, khususnya dalam hal pembentukan nama(-nama) fakultas dan program studi serta arah kurikulum yang merupakan manifestasi dari bangunan dan struktur keilmuan Islam yang non-dikhotomik. Di samping itu hasil penelitian ini tentunya juga diharapkan dapat memperkaya khazanah pustaka mengenai Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tawaran alternatif bagi pengembangan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta UIN Sunan Kalijaga secara umumnya, khususnya dalam hal pembentukan nama(-nama) fakultas dan program studi serta arah kurikulum yang merupakan manifestasi dari bangunan dan struktur keilmuan Islam yang non-dikhotomik. Di samping itu hasil penelitian ini tentunya juga diharapkan dapat memperkaya khazanah pustaka mengenai

D. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa buku yang telah membahas tentang pembidangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman di PTAI. Untuk menyebut sebagiannya adalah buku Pembidangan Ilmu Agama Islam pada Perguruan Tinggi Aagama Islam di Indonesia . Buku ini merupakan antologi yang membahas dan mengkritisi seputar pembidangan ilmu di PTAI berdasarkan SK Menteri Agama No. 110

tahun 1982 yang disetujui LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). 8 Sementara buku Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman karya A. Qodri Azizy

menganalisis ilmu-ilmu keislaman yang ada dan memberikan tawaran-tawaran pengembangan, hanya saja belum diaplikasikan secara konkrit pada pembentukan

PTAI. 9 Begitu pula dengan buku Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum . Buku ini

menawarkan dari berbagai sudut pandang tentang bangunan paradigmatik keilmuan yang integral dan non-dikhotomik, namun karena merupakan kumpulan

8 Iskandar Zulkarnain dan Zarkasji Abdul Salam (Eds.), Pembidangan Ilmu Agama Islam pada Perguruan Tinggi Aagama Islam di Indonesia (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN

Sunan Kalijaga, 1995). 9 A. Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Derag RI, 2003).

tulisan sehingga banyak tawaran dan belum tampak gambaran struktur keilmuan Islam yang utuh. 10

Buku yang lebih aplikatif dan menyentuh aplikasi pada PTAI adalah buku Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam karya bersama Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman BA. Pada tingkat aplikasi, buku ini menawarkan tiga pasang bidang keilmuan yang akan berimplikasi pada pembentukan fakultas-fakultas. Tiga pasang bidang keilmuan itu adalah pertama, Akidah-Humaniora yang diwujudkan melalui fakultas Ilmu Wahyu dan Kemanusiaan, fakultas Hukum, Fakultas Psikologi, dan fakultas Pendidikan, kedua, Mu’amalah-Teknologi yang diwujudkan melalui fakultas Ekonomi, Fakultas Teknologi Informasi, Fakultas Teknik, dan Fakultas Sains, dan ketiga, Akhlak-Ilmu Sosial yang direalisasikan melalui fakultas Sosiologi, fakultas Ilmu Politik, dan fakultas Studi Kawasan. Seluruh fakultas di atas dijiwai oleh nilai- nilai Islam, sehingga sebelum memasuki fakultas mahasiswa harus menguasai terlebih dahulu ilmu-ilmu dasar keislaman melalui semacam matrikulasi. Studi Islam sendiri, menurut buku ini, sebaiknya hanya diperdalam pada jenjang S-2,

tidak pada S-1. 11 Walaupun telah menawarkan aplikasi pada pembentukan fakultas, tetapi buku ini tidak menawarkan sampai pembentukan program studi

dan arah kurikulum, di samping belum menyentuh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, apalagi Fakultas Syari’ah dan Hukum-nya yang masih mengkaji studi Islam pada tingkat S-1.

10 Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya MempertemukanEpistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003).

11 Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman BA, Masa Depan Pembidangan Ilmu, hlm.79-81.

Dengan demikian, berbeda dengan buku-buku di atas, penelitian ini akan menelusuri dari mulai tingkat paradigma dan struktur keilmuan Islam sampai pembentukan fakultas dan program studi serta arah kurikulum, yang dikaitkan dengan konteks UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, khususnya Fakultas Syari’ah dan Hukum, yang menjadikan studi Islam sebagai kajiannya.

E. Landasan Teori

Dalam dunia modern cabang ilmu pengetahuan dibagi menjadi tiga bidang, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sciences), ilmu-ilmu Humaniora (humanities), dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ilmu alam pada dasarnya mengkaji keterulangan dan keteraturan gejala alam serta menemukan hukum-hukum alam yang eksak. Sementara ilmu humaniora berusaha mengerti dan memahami karakter budaya dan pikiran manusia yang unik dan abstrak. Ilmu sosial berada di antara dua ilmu di atas, karena ilmu sosial berusaha mengkaji keterulangan perilaku dan struktur masyarakat, sehingga menemukan norma-norma sosial yang

dapat terukur secara lebih cermat dan lebih ajeg. 12 Sementara itu dalam Islam sesungguhnya tidak dikenal dikotomi antara ilmu-

ilmu qawliyyah (ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan) dan ilmu-ilmu kawniyyah-ijtima’iyyah (ilmu-ilmu empiris-kemasyarakatan). Ilmu-ilmu tersebut dapat dikatakan sebagai ilmu-ilmu keislaman ketika secara epistemologis berangkat dari dan sesuai dengan nilai-nilai dan etika Islam. Ilmu yang berangkat

12 M. Atho Mudzhar, “Studi Hukum Islam dengan pendekatan Sosiologi”, pidato pengukuhan guru besar madya dalam ilmu Sosiologi Hukum Islam, disampaikan di hadapan rapat

senat terbuka IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 15 September 1999, hlm. 3-4.

dari nilai-nilai dan etika ajaran Islam pada dasarnya bersifat obyektif yang dapat bermanfaat bagi seluruh makhluk (rahmatan lil ‘alamin). Dengan demikian dalam Islam terjadi proses obyektifikasi dari etika Islam menjadi ilmu agama Islam, yang dapat bermanfaat bagi kehidupan seluruh manusia, baik muslim maupun non-muslim, baik yang beragama maupun yang tidak beragama, serta tidak

membedakan golongan, etnis, suku, bangsa, dan warna kulit. 13 Ilmu-Ilmu keislaman --yang integralistik dengan basis etika Islam yang

humanistik tersebut-- mencakup seluruh bidang keilmuan, baik ilmu-ilmu humaniora (humanities), ilmu-ilmu sosial (social sciences), maupun ilmu-ilmu alam/eksak (natural sciences). Bidang-bidang keilmuan tersebut sesungguhnya pernah dikaji dan dikembangkan oleh para ilmuwan muslim pada era klasik, walaupun kemudian tidak dikembangkan oleh generasi muslim selanjutnya. Dengan demikian bidang-bidang keilmuan di atas dapat dikatakan sebagai ilmu- ilmu keislaman selama secara epitemologis dan aksiologis berangkat dari dan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang humanistik. Di sinilah perbedaannya dengan ilmu-ilmu sekular yang walaupun mengklaim sebagai value free (bebas dari nilai dan kepentingan) namun kenyataannya penuh muatan kepentingan baik secara epistemologis apalagi secara aksiologis, dan inilah yang mengakibatkan munculnya kritik dari berbagai pihak terhadap ilmu-ilmu sekular modern yang

dianggap dehumanistik. 14

13 Bandingkan M. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik”, hlm. 10-12. 14 Mengenai kritik terhadap ilmu-ilmu sekular Barat, lihat misalnya Muchtar Naim,

“Epstemologi dan Paradigma Ilmu-Ilmu sosial dalam Perspektif Pemikiran Islam” dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali, hlm. 75-78.

Bangunan dan struktur keilmuan Islam tersebut seharusnya terimplementasi pada pembentukan nama-nama fakultas dan program studi serta arah kurikulum yang akan menjadi wilayah kajian PTAI sebagai perguruan tinggi yang mengemban amanat untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman di Indonesia. Apalagi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, termasuk Fakultas Syari’ah dan Hukum-nya, sebagai salah satu perguruan tinggi Islam tertua di Indonesia, tanggung jawab itu menjadi semakin besar.

F. Metode Penelitian

Sebagai suatu penelitian yang akan menelusuri paradigma dan struktur keilmuan dalam Islam dan aplikasinya pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, maka secara metodologis penelitian ini menggunakan pendekatan filosofis (philosophical approach). Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan yang menjadi sumber data adalah buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan paradigma dan struktur keilmuan Islam serta buku dan dokumen mengenai Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis, yaitu berusaha mendeskripsikan terlebih dahulu pandangan-pandangan mengenai paradigma dan struktur keilmuan dalam Islam serta aplikasinya di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yang diambil dari data-data yang terkumpul, kemudian isi dari data yang diperoleh tersebut dianalisis dan diinterpretasi untuk mengambil kesimpulan yang selaras dengan pokok masalah.

Dalam menganalisis data, dipergunakan metode induksi, yaitu data-data parsial dari berbagai sumber mengenai paradigma dan struktur keilmuan Islam tersebut dikumpulkan, diklasifikasikan, dan digeneralisir untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum. Setelah itu kemudian digunakan juga metode deduksi, yaitu kesimpulan umum tentang paradigma dan struktur keilmuan Islam tersebut diaplikasikan pada kasus spesifik yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum, khususnya tentang nama fakultas dan program studi serta arah kurikulum dan strategi pembelajarannya.

G. Sistematika Penulisan

Supaya penelitian ini runtut dan dapat menjawab pokok permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini maka pembahasannya disusun sebagai berikut: Bab pertama berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Sementara bab kedua akan dikaji mengenai bagaimana sesungguhnya paradigma keilmuan Islam secara normatif dan upaya rekonstruksi struktur keilmuan di lingkungan PTAI, khususnya Fakultas Syari’ah. Dalam bab ini dikaji paradigma keilmuan Islam yang non-dikhotomi dan upaya rekonstruksi struktur keilmuan tersebut di PTAI.

Bab ketiga akan didibahas mengenai profil Fakultas Syari’ah baik sejarah, perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi sehingga dalam bentuknya yang sekarang. Pada bab keempat dibahas mengenai aplikasi struktur keilmuan Islam yang integratif-interkonektif di Fakultas Syari’ah dan Hukum, terutama Bab ketiga akan didibahas mengenai profil Fakultas Syari’ah baik sejarah, perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi sehingga dalam bentuknya yang sekarang. Pada bab keempat dibahas mengenai aplikasi struktur keilmuan Islam yang integratif-interkonektif di Fakultas Syari’ah dan Hukum, terutama

BAB II INTEGRASI DAN INTERKONEKSI KEILMUAN DALAM ISLAM

A. Paradigma Keilmuan Islam

Islam sesungguhnya tidak mengenal dikhotomi antara ilmu-ilmu qawliyyah (hadarah al-nass, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan) dengan ilmu-ilmu kawniyyah-ijtima’iyyah (hadarah al-‘ilm, imu-ilmu empiris- kemasyarakatan), maupun dengan ilmu-ilmu ‘aqliyyah (hadarah al-falsafah,

ilmu-ilmu rasional-filosofis). 15 Ilmu-ilmu tersebut secara keseluruhan dapat dikatakan sebagai ilmu-ilmu keislaman (ilmu agama Islam) ketika secara

epistemologis berangkat dari, atau sesuai dengan, nilai-nilai dan etika Islam. Ilmu yang berangkat dari nilai-nilai dan etika ajaran Islam secara aksiologis pada dasarnya bersifat obyektif. Dengan demikian, dalam Islam terjadi proses obyektifikasi dari etika Islam menjadi ilmu agama Islam, yang dapat bermanfaat bagi seluruh kehidupan manusia (rahmatan lil ‘alamin), baik mereka yang muslim maupun non-muslim, serta tidak membedakan golongan, etnis, maupun suku

bangsa. 16

15 Lihat misalnya QS. 41: 53, QS.45: 13. M. Amin Abdullah’ “Desaign Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-atomistik ke Arah

Integratif-Interdisiplinary”, Makalah dalam Diskusi Panel Refleksi 21 Tahun Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 16 Maret 2004.

16 M. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-

Integralistik)” dalam dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 10-12..

Ilmu-Ilmu keislaman, yang integralistik dengan basis etika Islam yang humanistik tersebut, mencakup seluruh bidang keilmuan, baik ilmu-ilmu humaniora (humanities), ilmu-ilmu sosial (social sciences), maupun ilmu-ilmu alam/eksak (natural sciences). Bidang-bidang keilmuan tersebut sesungguhnya pernah dikaji dan dikembangkan oleh para ilmuwan muslim pada era klasik, walaupun kemudian kurang memperoleh perhatian dan tidak dikembangkan oleh

generasi muslim selanjutnya. 17 Dengan demikian seluruh bidang keilmuan di atas dapat dikatakan sebagai ilmu-ilmu keislaman (ilmu agama Islam) selama secara

epitemologis dan aksiologis berangkat dari, atau sesuai dengan, nilai-nilai ajaran Islam yang humanistik. Di sinilah perbedaannya dengan ilmu-ilmu sekular yang walaupun mengklaim sebagai value free (bebas dari nilai dan kepentingan) namun kenyataannya penuh muatan kepentingan baik secara epistemologis apalagi secara aksiologis, dan inilah yang mengakibatkan munculnya kritik dari berbagai pihak

terhadap ilmu-ilmu sekular modern yang dianggap dehumanistik. 18 Pembidangan ilmu-ilmu keislaman (ilmu agama Islam) dengan demikian

seharusnya berangkat dari paradigma integralistik-humanistik-etis di atas. Pembidangan ilmu agama Islam, jika didasarkan pada nomenklatur keilmuan yang ada, maka seharusnya terdiri dari Bidang Ilmu Humaniora, Bidang Ilmu Sosial,

17 Mengenai kontribusi umat Islam dalam perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dunia, dan yang membedakannya dengan para ilmuwan Yunani sebelumnya, sebagaimana akan

dikemukakan, lihat misalnya C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hlm. 117-129.

18 Lihat Muchtar Na’im, “Epstemologi dan Paradigma Ilmu-Ilmu sosial dalam Perspektif Pemikiran Islam” dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan

Umum , hlm. 76-78.

dan Bidang Ilmu Kealaman/Eksak, serta ditambah dengan Bidang Ilmu Dasar. 19 Adanya Bidang Ilmu Dasar dalam pembidangan ilmu agama Islam ini sangat

esensial karena bidang ini menjadi landasan dan pijakan dari tiga bidang ilmu lainnya. Setiap gerak langkah tiga bidang ilmu tersebut selalu berpijak pada landasan etika-moral yang dikaji dalam Bidang Ilmu Dasar.

Bidang Ilmu Dasar ini terdiri dari tiga Disiplin Ilmu, yaitu Ilmu Al-Qur’an, Ilmu Hadis, dan Ilmu Agama-Agama (‘Ilm al-Adyan). Ilmu Al-Qur’an dan Ilmu Hadis mengkaji sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis, supaya dapat diinterpretasi terus menerus seiring dengan perkembangan zaman (hermeneutis), sementara Ilmu Agama-Agama mengkaji Agama-Agama yang ada di dunia supaya dapat diciptakan rasa saling memahami dan bersikap toleran. Etika-moral yang terkandung dalam tiga disiplin ilmu inilah yang menjadi pijakan dan pandangan hidup (worldview) kehidupan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Karena itu, sebagaimana dikemukakan di atas, seluruh keilmuan agama Islam secara aksiologis diabdikan bagi kesejahteraan umat manusia secara bersama-sama tanpa memandang latar belakang etnis, agama, ras, maupun golongan.

Sementara tiga Bidang Ilmu lainnya, yaitu Ilmu Humaniora, Ilmu Sosial, dan Ilmu Kealaman, secara umum terdiri dari Disiplin Ilmu-Disiplin Ilmu yang secara epistemologis berangkat dari nilai-nilai ajaran Islam. Sementara Bidang Ilmu

19 Misalnya Kuntowijoyo, “Epistemologi dan Paradigma Ilmu-Ilmu Humaniora dalam Perspektif Pemikiran Islam”, dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu

Agama dan Umum: , hlm.65. Lihat juga Rancangan Pembidangan Ilmu Agama Islam yang baru dalam “Laporan Hasil Sosialisasi Pembidangan Ilmu di PTAI, Jakarta 30-31 Desember 2003”.

Kealaman yang diperlukan terutama adalah penekanan muatan etika Islam pada tataran aksiologisnya. 20 Ilmu-ilmu yang secara epistemologis belum berangkat

dari nilai-nilai ajaran Islam, tentu saja pada perkembangannya kemudian perlu dibangun epistemologi keilmuan Islamnya. Walaupun ilmu-ilmu keislaman (ilmu agama Islam) secara epistemologis berbeda dengan ilmu-ilmu sekular, namun ilmu-ilmu sekular (ilmu konvensional) tersebut tetap perlu dipelajari bahkan tidak dapat ditinggalkan. Dengan kata lain di samping perlu adanya integrasi dan intrakoneksitas antar ilmu-ilmu keislaman sendiri, juga perlu adanya dialog keilmuan dan interkoneksitas antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekular

(ilmu konvensional). 21 Dialog dan interkoneksitas dengan ilmu-ilmu sekular tersebut terjadi baik pada bidang Ilmu Humaniora, Ilmu Sosial, maupun Ilmu

Kealaman/Eksak. Ketika mempelajari Ilmu Fiqh/Hukum Islam, misalnya, maka perlu juga dikaji sistem-sistem hukum yang lain, begitu pula ketika mempelajari Ilmu Kalam, Ekonomi Islam, atau Psikologi Islam maka perlu juga dipelajari Teologi agama lain, Ilmu Ekonomi konvensional, dan Psikologi modern di dunia Barat.

Adanya intrakoneksitas dan interkoneksitas yang didasarkan pada nilai-nilai dan etika universal ajaran Islam dalam keilmuan Islam di atas merupakan hal yang membedakannya dengan ilmu-ilmu Barat yang sekular, baik secara ontologi,

20 Mengenai perbedaan ontologi, epistemologi, dan aksiologi antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekuler, lihat misalnya Muchtar Na’im, “Epstemologi dan Paradigma Ilmu-Ilmu

sosial dalam Perspektif Pemikiran Islam” dalam Jarot Wahyudi dkk (Eds.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum , hlm. 76-77.

21 “Rekaman Proses” Lokakarya Penyusunan Desain Keilmuan Integratif Universitas IslamNegeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Senin 28 Juni 2004.

epistemologi, maupun aksiologi. Dengan paradigma keilmuan seperti itu, tidak menutup kemungkinan umat Islam bangkit dan pada gilirannya dapat memberikan kontribusi yang besar bagi peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ilmuwan muslim masa klasik yang memang tidak mendikhotomi ilmu.

Ilmuwan Muslim klasik tidak hanya melakukan transfer ilmu dari Yunani tetapi juga melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi luar biasa yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ilmu-ilmu yang ada pada masa keemasan Islam tersebut, yang terjadi antara abad 8 sampai 12 M, adalah memang berawal dari penerjemahan ilmu-ilmu Yunani yang sampai ke negeri-negeri Arab. Namun demikian, ilmu pengetahuan yang ada pada orang Islam saat itu memiliki ciri khas yang berbeda dengan ilmu pengetahuan Yunani, sehingga sulit melukiskan bahwa yang pertama hanyalah sebagai kelanjutan dari yang kedua. Sebelum munculnya para ilmuwan muslim, keseluruhan ilmu yang ada hanya merupakan sebuah kumpulan dugaan, kabar angin dan paham-paham yang tidak berdasar. Bahkan ilmu Yunani pun didasarkan atas hipotesis-hipotesis dan pendapat yang belum dapat dibuktikan secara empiris. Para ilmuwan muslim lah yang mendasarkan penyelidikan mereka atas pengamatan dan percobaan. Fakta ini diakui oleh Philip K. Hitti, William Smith, George Sarton, John Herman Randell dan beberapa orang lainnya.

Sebagaimana diketahui Bangsa Yunani gemar sekali menalar dan menggunakan akal di atas segala-galanya. Pengetahuan inderawi dianggap berkedudukan lebih rendah daripada pengetahuan akal, dan oleh sebab itu jauh Sebagaimana diketahui Bangsa Yunani gemar sekali menalar dan menggunakan akal di atas segala-galanya. Pengetahuan inderawi dianggap berkedudukan lebih rendah daripada pengetahuan akal, dan oleh sebab itu jauh

mengabaikan pengamatan dan percobaan. 22 Berbeda dengan para ilmuwan Yunani, para ilmuwan Muslim tidak pernah

menerima baik sesuatu hasil pemikiran kecuali jika telah dibuktikan kebenarannya melalui pengamatan dan percobaan. Mereka memiliki laboratorium sendiri atau bekerja di laboratorium milik negara. Jabir Ibn Hayyan, misalnya, mempunyai laboratorium sendiri, di situ ia membuat berbagai macam asam mineral dan persenyawaan kimia. Demikian pula al-Biruni, Umar Khayyam, Ibnu Sina, Ibnu Yunus, at-Tusi, al-Kawarizmi dan lain-lain, memiliki atau bekerja di laboratorium. Oleh karena itu hasil yang mereka capai didasarkan atas percobaan dan tidak berdasarkan penalaran saja.

Perbedaan lainnya antara ilmu pengetahuan Muslim dan ilmu pengetahuan Yunani adalah bahwa bagi yang pertama, ilmu itu merupakan keseluruhan pengetahuan yang berdasarkan hukum dan bukan sekedar sekumpulan informasi, karenanya kata qanun yang berarti "law atau hukum", merupakan bagian integral dari nama-nama ilmu, seperti al-Qanun, al-Qanun fi at-Tibb, Qanun al-Mas'udi, Kitab ad-Dustur , dan sebagainya. Para ilmuwan modern mengikuti cara yang

22 C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan, hlm. 117.

sama. Misalnya ada Hukum Mendel, Hukum Boyle, dan lain-lain. Sementara bangsa Yunani tidak mempunyai konsepsi seperti itu mengenai ilmu.

Perbedaan lainnya, bahwa bangsa Yunani walaupun telah mencapai tingkat pengetahuan dan intelektual yang tinggi, dalam jangka waktu dua belas abad memimpin bangsa-bangsa lainnya di bidang ilmu pengetahuan, mereka hanya mampu melahirkan sejumlah kecil ilmuwan yang namanya masih diingat sampai sekarang, seperti Aristoteles, Galenus, Euclides,, Archimedes, Pythagoras dan beberapa yang lain. Namun berbeda dengan ilmuwan Muslim yang jumlahnya sangat banyak, mereka memenuhi cakrawala ilmu pengetahuan dengan kecemerlangannya. Dalam waktu enam atau tujuh abad, mereka telah memperkaya gudang ilmu pengetahuan manusia dan memberikan sumbangan yang tidak sedikit dengan penelitian dan penyelidikan mereka di hampir semua

bidang ilmu. 23 Di samping itu, bangsa Yunani hanya meninggalkan sedikit saja buku-buku

keilmuan yang bernilai dibandingkan dengan para ilmuwan Muslim yang telah mewariskan ratusan bahkan ribuan buku penting mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Misalnya Ibnu Sina telah menulis 246 buah buku, asy-Sufa sendiri terdiri dari 20 jilid. Buku-buku al-Biruni; Qanun al-Ma'udi, Kitab ad-Dustur dan at-Tahdid , karya Ibnu Sina Kitab asy-Syifa dan Qanun fi at-Tibb, karya al-Jahiz Kitab al-Hayawan , karya Ibnu al-Haitam Kitab al-Manzir, semuanya merupakan karya-karya termasyhur dan diakui oleh kawan maupun lawan sebagai karya

23 Untuk melihat kontribusi umat Islam dalam bidang sains, misalnya dapat dilihat dalam Ehsan Masood, Ilmuwan-Ilmuwan Muslim: Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern, terj. Fahmy

Yamani (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009).

kesarjanaan monumental serta menjadi buku-buku sumber utama bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.

Perlu juga dicatat bahwa negeri-negeri yang sebelum masuknya Islam mandul dari segi intelektual dan ilmu pengetahuan, kemudian menjadi negeri-negeri yang berkembang dengan cepat dan melahirkan para pemikir dan ilmuwan kelas satu setelah mereka berada di bawah kekuasaan Islam. Zahravi, Jabir Ibn Aflah, Ibnu Zuhr, Ibnu Bitar, Ibnu Rusyd, Ibnu mejriti dan Abu Hamid Gharnati di Spanyol; Umar Khayyam, al-Biruni, Zakaria ar-Razi, Nasiruddin at-Tusi, dan al-Khazimi di Iran; al-Jahiz, Sabit Ibn Qarra, al-Kirkhi, Ibnu al-Haitam, al-Khwarizmi dan al- Kindi di Lembah Tigris-Eifrat; an-Nafis, al-Farabi, dan Uqlidisi di Syria, semuanya muncul dan menjadi termasyhur setelah negeri-negeri itu memeluk Islam. Hal seperti itu tidak pernah terjadi di negeri-negeri tersebut sebelum

masuknya Islam. 24 Perkembangan keilmuan dalam masa keemasan Islam sebagaimana diuraikan

di atas, tidak menutup kemungkinan untuk berulang pada masa yang akan datang, dan pra-syarat untuk itu adalah adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk merekonstruksi keilmuan Islam yang ada sekarang, termasuk yang ada di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya di Universitas Islam Negeri.

Rekonstruksi keilmuan tersebut juga sangat penting dilakukan mengingat ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Barat dan menjadi ilmu pengetahuan modern saat ini secara filosofis didasarkan pada paham sekularisme yang

24 Ibid., hlm. 118-119.

mengacu pada materialisme dan kematian tuhan. Untuk menetralisir paham tersebut, ilmu pengetahuan atau sains yang ada sekarang perlu direkonstruksi baik pada tataran ontologis, aksiologis bahkan epistemologis. Pada aspek ontologis, misalnya, yang menjadi kajian tidak hanya realitas material yang dapat diserap

panca indera tetapi juga realitas yang non-material 25 sehingga akan dapat menyingkap lebih luas realitas alam semesta. Apabila para ilmuwan hanya

membatasi diri sejak awal pada hal-hal yang bersifat material maka penyingkapan alam sebagai tujuan sains akan sangat terbatas dan bisa jadi perkembangannya lambat. Dengan didasarkan pada pandangan fundamental bahwa objek-objek non- imaterial juga menjadi wilayah telaah dan kajian sains maka definisi ilmu pengetahuan akan menjadi lebih luas bahkan bisa sampai merombak filsafat ilmu yang ada. Pandangan ontologis seperti ini juga selaras dengan hakikat manusia yang tidak hanya membutuhkan pemenuhan hasrat material tetapi juga psikis

bahkan spiritual. 26 Kemudian, atas dasar pandangan ontologis di atas, sains secara aksiologis

harus juga bertujuan untuk mengenal Sang Pencipta melalui pola-pola ciptaan- Nya yang ada di alam ini. 27 Tujuan sains seharusnya adalah mengetahui watak

sejati segala sesuatu sebagaimana yang diberikan oleh Tuhan di alam ini. Karena semua makhluk tunduk pada kehendak Tuhan, maka sains sebenarnya juga bertujuan untuk memperlihatkan kesatuan hukum alam dan keterkaitan seluruh

25 Q.S. Al-Haqqah (69): 38-39. 26 Bandingkan misalnya Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta: Sisi Al-Qur`an yang

Terlupakan (Bandung: Mizan, 2009), hlm. 189. 27 Q.S. Ali Imran (3): 191.

bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip ilahi. Dengan pemahaman ini, ilmuwanmenjadi lebih dekat dan tunduk pada Sang Pencipta. Tujuan kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia merupakan tujuan derivatif dari tujuan utama sains untuk mengenal Tuhan Pencipta Alam Semesta.

Kemudian secara epistemologis, pencarian sains di samping melalui metodologi ilmiah yang sudah ada, perlu juga diperluas dengan menjadikan wahyu (Al-Qur`an dan Sunnah Nabi) sebagai salah satu sumber inspirasi sains, karena fungsi wahyu sebagai petunjuk, termasuk petunjuk bagi perkembangan dan bangunan sains. Di samping menjadi petunjuk tentang prinsip-prinsip sains, wahyu juga akan membawa dan mengkaitkan sains dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan sains modern yang justru pada awal kelahirannya di Barat melepaskan diri dari doktrin relijius gereja, sehingga kemudian wahyu secara umum tidak mendapat tempat dalam bangunan

dan struktur sains modern. 28

Atas dasar itu, sebagaimana telah dikemukakan, pembidangan ilmu-ilmu keislaman seharusnya berangkat dari paradigma integralistik-humanistik-etis, sehingga jika didasarkan pada nomenklatur keilmuan yang ada, maka pembidangan ilmu keislaman tersebut terdiri dari Bidang Ilmu Humaniora, Bidang Ilmu Sosial, dan Bidang Ilmu Kealaman/Eksak, serta ditambah dengan Bidang Ilmu Dasar. Adanya Bidang Ilmu Dasar dalam pembidangan ilmu agama Islam ini sangat esensial karena bidang ini menjadi landasan dan pijakan etik- moral dari tiga bidang ilmu lainnya. Di samping itu, dalam pembidangan ilmu

28 Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta, hlm. 192-193.

keislaman juga tidak dikenal adanya dikhotomi antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum”; kedua rumpun keilmuan tersebut dipandang sebagai ilmu- ilmu keislaman apabila secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis didasarkan pada nilai-nilai dan etika universal Islam yang humanistik (rahmatan lil ‘alamin ).

B. Ilmu-Ilmu Syariah

Paradigma keilmuan Islam yang non-dikhotomik di atas seharusnya juga berlaku dalam bidang ilmu-ilmu syariah. Apabila dicermati secara historis, ilmu- ilmu syariah ini apabila dibandingkan dengan nomenklatur keilmuan kontemporer maka mencakup tiga bidang ilmu, yaitu ilmu hukum Islam dan ini yang dominan dikaji dalam ilmu syariah atau ilmu fikih. Kemudian kedua adalah ilmu ekonomi Islam, yang banyak dikaji dalam fikih mu’amalah, dan ketiga ilmu politik Islam, yang banyak dikaji dalah fikih siyasah. Namun karena keterbatasan pembahasan, maka uraian selanjutnya akan banyak membahas ilmu syariah dalam kaitannya dengan ilmu hukum Islam, dan mengenai dua bidang ilmu yang disebut terakhir para pembaca bisa membandingkan dan menganalogikannya dengan bidang ilmu hokum Islam ini.

Hukum Islam atau secara umum biasa disebut Fikih, sebagaimana biasa dipahami, merupakan hasil interpretasi para ulama terhadap Al-Qur`an dan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum yang didialektikakan dengan konteks dan realitas masyarakat yang dihadapi. Karena konteks masyarakat bisa berbeda dan juga bisa berubah, maka hukum Islam sebagai hasil interpretasi tersebut juga bisa Hukum Islam atau secara umum biasa disebut Fikih, sebagaimana biasa dipahami, merupakan hasil interpretasi para ulama terhadap Al-Qur`an dan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum yang didialektikakan dengan konteks dan realitas masyarakat yang dihadapi. Karena konteks masyarakat bisa berbeda dan juga bisa berubah, maka hukum Islam sebagai hasil interpretasi tersebut juga bisa

dengan nilai-nilai syariah (syariah dalam arti luas: ajaran Islam) yang ideal dan juga berbeda dengan adat kebiasaan dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Adat kebiasaan masyarakat (lokal) merupakan praktik sehari-hari yang hidup secara riil dalam masyarakat. Kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang melalui kesadaran kolektif masyarakat itu kemudian menjadi norma kebiasaan. Norma kebiasaan ini merupakan kenyataan

empiris yang berlaku dalam masyarakat. 30 Namun demikian, norma-norma kebiasaan yang menjadi realita dalam masyarakat ini tidak selalu sesuai dan

selaras dengan nilai-nilai syariah Islam yang bersifat ideal. Apabila norma kebiasaan berpegang pada kenyataan tingkah laku yang hidup dalam masyarakat, maka nilai-nilai syariah Islam bersifat ideal yang masih memerlukan upaya untuk diwujudkan dalam realitas empiris. Nilai-nilai syariah merupakan idea yang merupakan tolok ukur untuk menilai baik atau buruk, boleh atau tidak boleh tingkah laku anggota-anggota masyarakat. Syariah ini datangnya bukan dari masyarakat, tetapi berasal dari syāri’ (Allah dan Rasul-Nya) yang diturunkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup ideal bagi manusia (hudan li an-

29 Walaupun demikian, hukum Islam pada dasarnya merupakan bingkai dari moral yang dikandungnya. Namun, untuk menjaga moral tersebut perlu ada aturan hukum yang kongkret dan

aplikatif, dan tidak hanya sekadar anjuran yang tidak mengikat, terutama apabila dikaitkan dengan konteks negara dalam masyarakat modern.

30 Bandingkan Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. 5 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 14-15. Kebiasaan ini dalam hukum Islam dijadikan sebagai pertimbangan yang sangat

penting, sehingga terdapat kaidah: ةد ا (adat kebiasaan dapat dijadikan dasar penetapan hukum). ‘Alī Ahmad an-Nadwī, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah (Damaskus: Dār al-Qalam, 1986), hlm. 256.

nās ) dalam menjalankan hidupnya. Karena sifatnya yang merupakan tatanan ideal, maka syariah perlu diinterpretasi dan dikontekstualisasikan untuk dapat diterapkan dalam masyarakat (lokal).

Hasil interpretasi dan kontekstualisasi syariah yang berhadapan secara diametral dengan norma kebiasaan masyarakat itulah yang disebut fikih sebagai norma hukum. Fikih, dengan demikian, dibentuk dan diformulasi secara sadar dan sengaja untuk menghubungkan antara nilai-nilai syariah yang ideal (das sollen, apa yang seharusnya) dengan norma kebiasaan masyarakat yang riil (das sein, apa

adanya). 31 Karena itu, fikih pada dasarnya sangat terikat dengan dunia ideal syarī’ah dan juga dengan kebiasaan masyarakat yang riil, sehingga pada akhirnya

fikih juga harus mempertanggungjawabkan formulasinya dari dua sudut pandang tersebut, yaitu tuntutan secara ideal filosofis dan secara sosiologis. Secara filosofis, fikih harus memasukkan unsur idealita nilai-nilai syariah di dalamnya, sementara secara sosiologis, fikih harus memperhitungkan bahkan

mengakomodasi kenyataan-kenyataan riil yang hidup dalam masyarakat. 32 Dengan demikian, posisi fikih adalah berada di antara syariah yang ideal dan

kebiasaan riil yang ada dalam masyarakat. Apabila digambarkan dalam bentuk grafik, maka hubungan antara nilai-nilai idealita syariah, norma kebiasaan yang riil dalam masyarakat (‘urf), dan hukum

31 Dialektika antara nilai-nilai syari'ah dan norma kebiasaan masyarakat ini terlihat dengan jelas pada fikih yang diformulasi oleh para imam mazhab terdahulu; Noel J. Coulson, A History of

Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), hlm. 48-49

32 Bandingkan Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, hlm. 15-17.

Islam (fikih sebagai norma hukum) yang berupaya mempertemukan keduanya adalah sebagai berikut:

Syariah

Hukum Islam

(Fikih sebagai Norma Hukum)

Hukum Islam atau fikih sebagai norma hukum ini dengan demikian merupakan dialektika antara adat kebiasaan yang ada dalam masyarakat (termasuk juga hukum adat dan hukum positif yang berlaku) dengan syariah. Hal ini dapat dimengerti karena syariah-lah yang bersifat ideal, sementara ahkām asy-syarī’ah ditetapkan sebagai aplikasi kongkret dari nilai-nilai syariah terhadap masyarakat

yang ada berdasarkan konteks turunnya saat itu. 33 Perlu adanya penegasan fikih sebagai norma hukum ini adalah karena,

Dokumen yang terkait

HASIL PENELITIAN KETERKAITAN ASUPAN KALORI DENGAN PENURUNAN STATUS GIZI PADA PASIEN RAWAT INAP DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE NOVEMBER 2010

7 171 21

KADAR TOTAL NITROGEN TERLARUT HASIL HIDROLISIS DAGING UDANG MENGGUNAKAN CRUDE EKSTRAK ENZIM PROTEASE DARI LAMBUNG IKAN TUNA YELLOWFIN (Thunnus albacares)

5 114 11

KAJIAN MUTU FISIK TEPUNG WORTEL (Daucus carota L.) HASIL PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

17 218 83

KARAKTERISASI DAN PENENTUAN KOMPOSISI ASAM LEMAK DARI HASIL PEMURNIAN LIMBAH PENGALENGAN IKAN DENGAN VARIASI ALKALI PADA ROSES NETRALISASI

9 139 85

Enriching students vocabulary by using word cards ( a classroom action research at second grade of marketing program class XI.2 SMK Nusantara, Ciputat South Tangerang

12 142 101

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENGARUH PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DAN MINAT BACA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 WAY

18 108 89

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62