HUKUM AGRARIA KEBEBASAN PRIBADI DALAM MA

HUKUM AGRARIA

KEBEBASAN PRIBADI DALAM
MASALAH HUKUM AGRARIA

SRIWAHYUNI (15B02117)

PENDIDIKAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2016

PENDAHULUAN

Puluhan juta warga masyarakat hukum adat di Indonesia menghadapi masalah
ketidakpastian hak atas wilayah adatnya, terutama mereka yang tinggal di wilayah-wilayah
yang ditunjuk dan/atau ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan. Ketidakpastian hak
atas wilayah adat tersebut berwujud pada pengabaian keberadaan dan hak-hak masyarakat
hukum adat, sampai penggusuran pemindahan paksa masyarakat hukum adat dari
wilayahnya. Ditambah, dalam proses memperjuangkan hak-haknya, ribuan warga masyarakat
hukum adat kehilangan hak hidupnya, mengalami penganiayaan, dan kehilangan mata

pencaharian.
Bagi masyarakat hukum adat, hutan adalah bagian dari wilayah hidup, hutan adalah
sumber kehidupan dan faktor penentu eksistensi mereka. Di sana hidup dan tumbuh aneka
ragam tumbuh-tumbuhan, hewan, sumber dan gantungan hidup, dan elemen penting
spritualitas mereka. Hutan juga menjadi sumber obat-obatan tradisional mereka. Dengan
demikian hilang dan rusaknya hutan adalah hilang dan rusaknya kehidupan mereka.
Pelanggaran hak masyarakat hukum adat terjadi karena tata kelola dan kebijakan
Negara terhadap masyarakat hukum adat, wilayahnya dan sumber daya alamnya cenderung
kapitalistik yang menempatkan manusia sebagai makhluk ekonomi dan hutan sebagai sumber
ekonomi semata. Proses Reformasi yang diharapkan dapat mengoreksi kekeliruan masa lalu
ternyata belum berhasil mengubah sektor pertanahan dan kehutanan secara menyeluruh.
Permasalahan bertambah rumit ketika aparat Pemerintah, termasuk POLRI, terlibat
dalam konflik dan tidak bersikap netral dalam sebagian besar konflik yang terjadi. Mereka
seringkali hanya mengandalkan pembuktian tertulis untuk setiap klaim hak atas sebidang
tanah. Padahal Pemerintah belum banyak menerbitkan bukti-bukti tertulis atas kepemilikan
adat sehingga yang masyarakat miliki dan/atau ketahui hanya pengakuan antara masyarakat
hukum adat dan bukti-bukti alam. Ketika konflik sudah tidak seimbang, kekerasan seringkali
dianggap sebagai cara penyelesaiannya.
Kemampuan bangsa Indonesia menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia
sebagai akibat dari kebijakan pemerintahan terdahulu sedang diuji. Jalan menuju

penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia melalui proses yang ada di tangan Pemerintah.
Negara sepatutnya hadir dengan menyelesaikan permasalahan yang sudah lebih seabad
berlangsung. Masyarakat Hukum Adat berhak atas keadilan. Indonesia, tanah air kita semua.
Mari kita wujudkan keadilan di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat Hukum Adat merupakan salah satu subjek hukum negara yang diakui
dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan. Pasal 18B(2) Bab VI tentang
Pemerintahan Daerah UUD 1945 menyatakan: Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya, Pasal 28I (3) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia UUD 1945
menyatakan: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban. Salah satu definisi tentang masyarakat hukum adat
dalam UU tertuang dalam Pasal 1 butir 31 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan: kelompok masyarakat yang secara turuntemurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidupnya, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Masyarakat hukum adat memiliki hubungan multidimensi dengan tanah dan

wilayahnya. Bagi Masyarakat hukum adat, tanah bukan sekadar sumber ekonomi. Tanah
merupakan bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan kehidupan masyarakat hukum adat.
Beragam ritual adat dilaksanakan sebagai wujud relasi spiritual mereka dengan alam,
termasuk hutan. Pengabaian atas relasi Masyarakat hukum adat dengan tanah dan
wilayahnya, asal-usul penguasaan tanah dan wilayah Masyarakat hukum adat dan sejarah
politik agraria yang terjadi selama ini telah berakibat pada rusaknya tatanan kehidupan
masyarakat hukum adat secara keseluruhan.
Masyarakat hukum adat memiliki ciri khusus dalam tata kelola SDA mereka, baik tata
kelola atas tanah, hutan, pesisir dan laut maupun keragaman tata produksi dan konsumsi
mereka. Pengetahuan dan kearifan lokal tentang tata kelola hutan dan SDA di sekitarnya
diwariskan secara turun-temurun, baik dalam tradisi dan praktik budaya maupun dalam
bentuk tulis, terus mengalami adaptasi, inovasi, dan dinamika selaras dengan perubahan
sosial, ekonomi, politik, dan budaya serta lingkungannya. Namun demikian, prinsip-prinsip
nilai dan norma adat yang dimiliki sebagian besar masih memiliki fungsi-fungsi yang selaras
dengan prinsip keberlanjutan SDA dan ekosistem. Dalam beberapa kasus di komunitas
masyarakat hukum adat model tata kelola SDA yang telah dipraktikkan secara turun temurun
oleh masyarakat hukum adat bahkan dianggap dan terbukti lebih baik dari bentuk-bentuk

konservasi dan pelestarian lingkungan yang dibuat oleh negara, swasta atau para penganjur
konservasi dan pelestari lingkungan lainnya.

Salah satu hal yang mendasar dalam aturan yang ditegakkan oleh masyarakat hukum
adat dalam pelestarian lingkungan mereka, yakni masih adanya aturan adat dan masih
kuatnya sanksi adat yang tegas bagi para pelanggarnya. Ketegasan sanksi ini menjadi sistem
kontrol yang lebih dipatuhi oleh komunitas masyarakat hukum adat daripada bentuk aturan
normatif hukum negara yang seringkali tidak selaras dengan “hukum yang hidup“ (living
law) di komunitas masyarakat hukum adat. Sebaliknya, dalam praktik, hukum dan aturanaturan negara atas wilayah kelola masyarakat hukum adat justru menjadi pendorong bagi
proses peluruhan nilai-nilai adat di satu sisi, dan seringkali memberi peluang lebih besar bagi
penghancuran tata kelola adat atas SDA-nya sendiri. Pemberian izin dan konsesi Negara yang
lebih memprioritaskan pada swasta, korporasi, dan pemilik modal besar berupa Hak Guna
Usaha (HGU), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Izin Usaha Pertambangan (IUP), Hutan
Tanaman Industri (HTI), Hak Pakai (HP), Konservasi, dan sejenisnya terbukti menjadi pintu
masuk utama bagi perusakan ekologis dan hilangnya hak serta marginalisasi masyarakat
hukum adat atas tanah, air, dan wilayahnya di kawasan hutan.
Pengabaian keberadaan lembaga masyarakat hukum adat, eksistensi, teritori, hak-hak,
dan tradisi-budaya mereka dalam pengelolaan tanah, air, hutan, dan SDA hingga kini kerap
terjadi. Secara sepihak lembaga pemerintahan dan budayanya diganti atas nama modernisasi
dan pembangunan melalui kebijakan penyeragaman bentuk lembaga pemerintahan berupa
penyeragaman model pemerintahan desa. Selain itu, Pemerintah juga mengembangkan
program pemukiman kembali dan program transmigrasi sebagai bagian dari upaya
penggabungan kampung-kampung yang terpencar dan terpencil yang menjauhkan mereka

dari wilayah-wilayah adatnya dan pengetahuan lokal masyarakat hukum adat akhirnya terjadi
karena dibarengi dengan penerbitan izin-izin pengusahaan hutan, izin pinjam pakai untuk
pertambangan, dan pelepasan untuk perkebunan, serta peruntukan lainnya di wilayah-wilayah
adat mereka. Meski UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan UUPA No.
5 Tahun 1960 mengakui hak ulayat, tetapi berbagai peraturan perundang-undangan dan
kebijakan produk pemerintah dan DPR sejak 1966 mengabaikan keberadaaan dan hak-hak
tradisional mereka.

ANALISIS PEMBAHASAN
Kasus : Hak Masyarakat Hukum Adat Elang Dodo Kab. Sumbawa Dalam Sengketa Tanah Di
Wilayah Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara.
Terlebih dahulu, perlu kita ketahui bahwa status tanah yang digunakan oleh PT
newtont nusa tenggara untuk melakukan kegiatan eksplorasi di Elang dodo, yaitu tana balo
tolo dari masyarakat yang berada di sekitar elang dodo, yang meliputi masyarakat yang
bermukim di desa labangkar, desa ropang, desa lawin, dan desa-desa di sekitarnya. Tanah
balo tolo merupakan terminologi yang dikenal dalam bahasa Sumbawa. Tanah balo tolo
merupakan tanah yang berasal dari orang tua kakek nenek (balo) atau garis keturunan ke
atasnya (tolo) dari masyarakat labangkar yang ditinggalkan pada tahun 1935.
Tanah di Elang Dodo sebagai tanah balotolo adalah di dasarkan pada bukti-bukti
sejarah bahwa lokasi tersebut telah ada kehidupan sebelumnya. Secara historis bahwa

wilayah kontrak karya yang digunakan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan
kegiatan eksplorasi semula merupakan sebuah desa, yang dinamakan desa Dodo. Orang yang
tinggal di Desa Dodo disebut “Tau Dodo”. Desa Dodo ini terdiri dari empat dusun yaitu
a.
b.
c.
d.

Dusun Kebulun (dusun Aho)
Dusun Tanah Beta
Dusun Bakal Bila
Dusun MMatirig Berak

Luas wilayah desa dodo diperkirakan 6000 Ha. Adapun batas-batas wilayah desa dodo
meliputi :
a.
b.
c.
d.


Sebelah utara
Sebelah barat
Sebelah Selatan
Sebelah timur

: berbatasan dengan jeluar;
: berbatasan dengan Bru Lebah;
: berbatasan dengan Laut Selatan (samudra Indonesia);
: berbatasan dengan Desa Salesek (sekarang Desa Lawin)

Batas-batas wilayah Desa Dodo tersebut diatas adalah merupakan wilayah-wilayah
yang dikuasai dan digarap oleh masyarakat Dodo dalam bentuk sawah, kebun dan lading,
yang luasnya diperikan 3.415 Ha.
Pada zaman kerajaan Sumbawa, masyarakat yang tinggal di Desa Dodo dipindahkan
ke berbagai lokasi yang berdekatan dengan desa Dodo. Ada masyarakat Desa Dodo yang
dipindahkan ke Desa Lawin, Labangkar, Lunyuk, Ledang dan Desa Lemurung (Lenangguar).
Penyebab masyarakat dipindahkan ke berbagai tempat itu adalah karena adanya perintah Raja

Sumbawa, yaitu Sultan Kaharuddin II. Alasan raja memerintahkan untuk pindah ke lokasi
sekitarnya, yaitu karena kawasan tersebut rawan longsor dan rawan bencana. Sebagai bukti

kedatangannya, Sultan meminta bukti berupa kerikil, pasir dan batu kali masing-masing satu
“ponyan” (kantung).
Alasan utama bahwa tanah elang dodo merupakan tana balo lolo adalah karena lahan
yang berada dikawasan hutan Elang Dodo saat ini merupakan lahan yang ditinggalkan oleh
balo tolo (leluhur) mereka pada tahun 1935. Sejak tahun 1935-1978 lahan tidak digunakan
untuk kepentingan pertanian, namun penduduk di Desa Lebangkar sampai tahun 2011 tetap
mengambil gula aren/enau (pola) untuk menunjang kehidupan mereka. Pengambilan air pola
untuk membuat gula merah yang dalam istilah masyarakat disebut dengan bajalid.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa yang menjadi bukti bahwa mereka memiliki
atau menguasai kawasan hutan Elang Dodo. Adapun menurut masyarakat setempat menunjuk
dengan bukti-bukti yang berupa tembok bekas bangunan masjid Desa Dod, beduk, makam
(kuburan), serta tanaman, seperti pohon kelapa, pohon aren, pinang, pohon jati, pohon kemiri,
pohon pinang, pohon nangka, pohon belimbing wuluh, dan jeruk nipis.
Sikap dan pandangan dari pemerintah kabupaten Sumbawa dan PT Newmont Nusa
Tenggara tentang status tanah yang digunakan oleh PT Newmont Nusa Tenggara untuk
melakukan kegiatan eksplorasi, disajikan berikut ini:
“status tanah itu merupakan kawasan hutan, bukan tanah ulayat alasannya karena di
Sumbawa tidak mengenal tanah ulayat/tanah adat. Sehingga pemerintah kabupaten Sumbawa
tidak mengakui tanah Elang Dodo sebagai tanah ulayat/tanah adat atau tana balo tolo orang
labangkar.

Negara mengklaim semua tanah yang dianggap “bukan tanah siapa-siapa” sebagai
tanah yang dikuasai oleh negara. Pada tahap ini pemerintah bermaksud untuk mendapatkan
pendapatan dari ekstraksi sumber daya alam. Penetapan “Teritorialisasi Fungsional” oleh
negara. Dalam konteks kehutanan adalah Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) serta
pembagian “fungsi-fungsi” lain hutan dan “kawasannya” oleh negara. Penetapan batas-batas
tanah yang dinyatakan sebagai tanah dan/atau hutan negara untuk menekankan kontrol
wilayah oleh pemerintah terhadap SDA tanpa memperhatikan apalagi menyelesaikan klaim
pemegang hak atas tanah tersebut, termasuk masyarakat hukum adat. Setelah batas-batas
sebuah wilayah ditetapkan, pemerintah melarang siapa pun untuk mengakses wilayah

tersebut berikut sumber daya alam di dalamnya kecuali jika pemerintah mengizinkan atau
memberikan konsesi.
Kalau

kita

memperhatikan

lebih


jauh,

Kementerian

Kehutanan

(sekarang

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) memiliki tafsir sempit atas hutan dan SDA
di dalamnya. Negara telah melakukan penggusuran hak-hak masyarakat hukum adat dengan
cara menerapkan model zonasi, tanpa keterlibatan masyarakat hukum adat. Negara
mengabaikan tata guna lahan yang telah dipraktikkan secara turun-temurun sejak masyarakat
hukum adat hidup dan berkembang. Sistem zonasi yang diterapkan pemerintah lebih
mencerminkan kepentingan ilmiah dan politik penguasaan Negara. Pengetahuan tradisional
masyarakat hukum adat tidak menjadi pertimbangan. Dan dalam praktik, paska zonasi fungsifungsi kawasan hutan, negara justru memberi jalan bagi pemilik modal besar masuk dan
memanfaatkan kawasan hutan untuk industri kehutanan, pertambangan, dan perkebunan skala
besar.
Dan ini terlihat dari kasus tersebut dimana oleh pemerintah setempat memberikan
penguasaan kepada PT Newmont Nusa Tenggara untuk mengeksplorasi kawasan yang ada di
wilayah Tanah Elang Dodo tanpa memperhatikan adanya keberadaan masyarakat adat yang

sudah lama mendiami kawasan tersebut karena pemerintah menganggap wilayah yang di
tempati masyarakat tersebut merupakan kawasan hutan Negara. Yang dengan pemberian izin
tersebut kepada pihak swasta membuat kelestarian hutan dan lingkungan hidup justru
terancam, khususnya akibat izin-perizinan tersebut. Bahkan jaminan dan keselamatan dan
kesejahteraan manusia yang hidup di dalam dan sekitar hutan pun semakin menurun.
Selain itu, Tumpang tindihnya tanah ulayat masyarakat hukum adat dengan kawasan
hutan Negara cenderung membawa kerugian terhadap kehidupan sehari-hari penduduk desa.
Pasal 50 UU No. 41/1999 melarang sejumlah kegiatan pertanian, misalnya secara melawan
hukum mengerjakan/membudidayakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan
hutan; melanggar batas-batas suatu kawasan hutan, di dalam radius atau jarak tertentu;
membakar hutan, menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan
tanpa memiliki hak atau surat izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwewenang.
Ketiadaan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat tersebut
berimplikasi pada tidak jelas atau tidak pastinya status mereka menurut hukum. Lebih jauh,
belum adanya pengakuan tersebut mengakibatkan tidak diakuinya wilayah adat dan jaminan
keamanan wilayah adat. Selain itu juga berkaitan dengan tidak adanya sistem hukum yang
disediakan negara untuk melindungi wilayah adat. Dan terjadinya praktik-praktik pengaburan
terhadap batas-batas wilayah yang mengukuhkan dominasi tafsir negara atas wilayah adat.

Selanjutnya, Pengetahuan masyarakat hukum adat tentang batas-batas kawasan hutan
adatnya yang berdasar tradisi lisan (tidak tertulis) tidak diakui. Sementara pemerintah secara
sepihak memperlakukan “kawasan hutan” sebagai “hutan negara.” Sangat sedikit masyarakat
hukum adat yang mendapat pengakuan secara de jure. Pada umumnya Pememerintah daerah
mengakui secara de facto, namun tidak sedikit yang justru secara tegas tidak mengakui dan
menyangkal keberadaan masyarakat hukum adat tertentu. Misalnya pada kasus yang kami
bahas di Pulau Sumbawa, masyarakat desa labangkar dan desa ropang Kec. Ropang Kab.
Sumbawa dengan PT Newmont Nusa Tenggar tidak diakui sebagai sebagai masyarakat
hukum adat oleh Pemerintah setempat. Di lapangan, kondisi ini berdampak pada
ketidakpastian terhadap status wilayah kelola. Hal ini membuat mereka harus berhadapan
dengan klaim sepihak oleh negara dan korporasi yang memiliki kepentingan ekonomi dan
politik atas wilayah kelola tersebut.
Dan masalah ini menurut analisis kami telah membuat hilangnya kebebasan pribadi
untuk melangsungkan hidup dan penghidupannya sebagai masyarakat hukum adat yang telah
diakui dalam instrument hak asasi manusia. Dimana dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia menetapkan: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.”
Selain itu juga, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatur secara menyeluruh
hak-hak asasi setiap warga negara Indonesia. Beberapa hak yang berlaku umum yang relevan
dengan tata kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah sebagai berikut:
a. Hak untuk Hidup (Pasal 9)
-

Hak untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya;

-

Hak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin;

-

Hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

b. Hak atas Kesejahteraan (Pasal 36 dan Pasal 38)
-

Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan
cara yang tidak melanggar hukum;

-

Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara
melawan hukum;

-

Hak milik mempunyai fungsi sosial;

-

Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas
pekerjaan yang layak.

c. Hak Memperoleh Keadilan (Pasal 17)
-

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan
tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang
objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan
benar.

d. Hak atas Rasa Aman (Pasal 29 dan Pasal 33)
-

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan hak miliknya;

-

Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,penghukuman atau perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
Dan perlu diketahui bahwa UU 39/1999 tentang HAM memuat pasal khusus tentang

hak masyarakat hukum ada dalam:
-

Pasal 6 (1): “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,
masyarakat, dan Pemerintah.”

-

Pasal 6 (2): “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.”

Untuk lebih memperjelas kami membuat sebuah tabel untuk melihat adanya dugaan
pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat hukum adat di Kawasan Elang Dodo dan
pasal yang dilanggar dalam undang-undang Hak Asasi Manusia.
No
1

Pengambil

Kondisi
alihan

sewenang-wenang

secara Hak

HAM yang dilanggar
kebebasan pribadi;

hutan menentukan nasib sendiri; Hak atas

adat/bagian hutan adat melalui hidup

yang

layak;

penunjukan dan/atau penetapan kesejahteraan;
sebagai

kawasan
penerbitan

Hak

Hak

atas Pasal 2, 6, 9, 21, 30, 34,35, 36,
untuk 38, dan 39 UU HAM

hutan, membangun keluarga; Hak untuk

peruntukan fungsi konservasi mempertahankan
dan

Pasal yang dilanggar
Hak

hidup

dan

hak-hak meningkatkan taraf hidup; Hak untuk Pasal 10, dan 32 Deklarasi

pemanfaatannya kepada pihak- mempunyai milik; Hak untuk tidak PBB tentang Hak-hak
pihak lain untuk pengusahaan dirampas miliknya secara sewenang- Masyarakat Adat
hutan,

perkebunan, wenang;

pertambangan,
transmigrasi;

Hak

bebas

dari

atau diskriminasi; hak untuk berpartisipasi
yang

membuat dalam pembangunan.

tergusurnya Masyarakat Hukum
Adat
2

dari

sumber

Penghidupannya
Eksploitasi Sumber daya alam Hak atas lingkungan yang baik dan Pasal 3,6, 29, 30, 33,34, 35,
berdampak

Buruk

bagi sehat; Hak atas rasa aman

dan 49 UU HAM

Masyarakat hukum adat.
Sesuai dengan jaminan akan hak asasi tersebut yang telah diuraikan, maka semua
pihak termasuk pemerintah dan pihak perusahaan harus menghargai dan menghormati
hak-hak ulayat masyarakat adat yang ada di Sumbawa. Dan terkait dengan hal tersebut,
perlu diketahui pelanggaran HAM terjadi tidak hanya karena tindakan. Tetapi, pelanggaran
HAM terjadi pula ketika negara tidak melakukan upaya penyelesaian atau pembiaran
terhadap pelanggaran HAM. Pelanggaran karena tindakan lazim disebut pelanggaran by
commission dan pelanggaran karena pembiaran lazim disebut pelanggaran by omission.
Upaya masyarakat hukum adat mempertahankan dan membela hak-hak adatnya
justru telah mengakibatkan terhambat, terkurangi, dan/atau hilangnya hak atas rasa aman,
hak atas keadilan, perlindungan dan kepastian hukum, dan persamaan di depan hukum
atau dalam hal ini terhalanginya kebebasan pribadi masyarakat hukum adat. Masyarakat
hukum adat sering mengalami intimidasi, penangkapan dan penahanan tanpa melalui
proses hukum yang akuntabel. Konflik sosial antara warga masyarakat hukum adat, salah
satunya timbul akibat pemerintah dan korporasi yang kurang partisipatif dan transparan.
Selain itu juga kurangnya peran dari pemerintah dalam penyelesaian konflik-konflik yang
terjadi. Akibat tumpang-tindih klaim wilayah adat dan perbedaan pandangan tentang
kehadiran korporasi maka kekerabatan antar anggota masyarakat hukum adat, antara
masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum adat lain, atau masyarakat hukum adat
dengan masyarakat lain menjadi rusak.
Sikap Pemerintah dan/atau aparat keamanan seharusnya menjadi pelindung
masyarakat hukum adat dan rakyat. Akan tetapi, dalam praktik mereka justru lebih
melindungi kepentingan korporasi/ pemegang izin daripada kepentingan masyarakat

hukum adat. Dan ini bisa dilihat dari kasus masyarakat yang ada disumbawa dengan PT
Newmont Nusa tenggara, dimana tidak adanya perlindungan terhadap masyarakat
setempat sehingga PT Newmont Nusa tenggara dengan leluasa mengeksplorasi wilayah
tersebut. Selain itu, Menurunnya tingkat kesejahteraan, hilangnya kesempatan akses ke
wilayah adat, dan perlakuan diskriminatif oleh aparat dan pejabat Negara telah
memperburuk kondisi ekonomi masyarakat hukum adat dan telah memicu timbulnya
konflik antara masyarakat hukum adat dan korporasi.
selanjutnya dari analasis kami, walaupun pemerintah kabupaten Sumbawa dan PT
Newmont Nusa tenggara melihatnya dari aspek hukum yang dibuat oleh pemerintah
setempat tetapi pemerintah juga harus memperhatikan dalam aspek penegakan hak asasi
manusia dan adanya pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum, sehingga status
tanah yang digunakan oleh PT Newmont Nusa tenggara untuk melakukan kegiatan
eksplorasi di Elang Dodo adalah merupakan tanah yang berasal dari balo tolo (bapak/ibu
dari kakek-nenek) dari masyarakat labangkar yang ditinggalkan sejak tahun 1935 dan hal
ini dibuktikan dengan bukti-bukti, yang berupa makam, masjid, pohon-pohonan, dan
lainnya. Selain itu, pembenaran ini didasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia No. 7/K/Sip/1973 tertanggal 27 Februari 1975. Dalam yurisprudensi itu
difatwakan bahwa:
“Dalam hukum adat dengan lewatnya waktu saja hak milik atas tanah tidak
hapus”.
Dengan memerhatikan fatwa itu, maka masyarakat Desa Labangkar dalam
menuntut haknya terhadap tanah yang ditinggalkan oleh balo tolo mereka yang berada di
elang dodo tidak menjadi hilang atau hapus, walaupun tanah itu telah ditinggalkan 77
tahun yang lalu. Hal ini disebabkan dalam hukum adat yang tidak mengenal daluwarsa
dalam menuntut hak atas tanah adat. Sehingga menurut analisis kami, pemerintah
Kabupaten Sumbawa dan PT Newmont Nusa tenggara barat dapat mengakui secara factual
bahwa tanah tersebut sebagai tanah balo tolo masyarakat yang berada di desa labangkar.
Dari berbagai kondisi terhadap permasalahan yang telah di bahas, maka adapun
solusi sebagai jalan keluar dari permasalahan kebebasan pribadi masyarakat hukum adat
terhadap masalah agraria yaitu:

a. Pemerintah harus menjamin adanya penindak lanjutan, pengelola wilayah dan korporasi
untuk menyelesaikan konflik guna dilakukan untuk memastikan adanya pemenuhan,
penegakan, dan perlindungan HAM.
b. Pemerintah setempat harus sesegera mungkin membuat Peraturan daerah tentang
pengukuhan masyarakat hukum adat yang memasukkan pengakuan atas wilayah adat dan
hutan adat.
c. Pemerintah perlu menempuh upaya rekonsiliasi antarmasyarakat untuk penyelesaian
konflik horizontal akiba perbedaan pandangan tentang kehadiran korporasi dan tumpang
tindih klaim tanah adat. Rekonsiliasi hendaknya juga diupayakan bagi penyelesaian
konflik vertikal, antara masyarakat hukum adat dan penyelenggara Negara;
d. penyelesaian konflik hak atas tanah yang sudah menahun perlu secepatnya dilakukan
secara damai dengan didasari prinsip-prinsip penghormatan dan perlindungan HAM dan
hak masyarakat hukum adat.Penyelesaian konflik juga harus mempertimbangkan aspek
pelestarian lingkungan hidup melalui moratorium perizinan, kegiatan korporasi dan
aktivitas masyarakat kecuali terkait kegiatan tradisi. Rekonsialiasi harus juga dibarengi
dengan upaya pemulihan para korban.
e. kepada masyarakat hukum adat dan/atau warganya yang telah menjadi korban
pelanggaran HAM dan untuk mencegah berulangnya pelanggaran HAM perlu diberkan
remedi (remedy). Ada dua kategori remedi yang perlu dilakukan, yaitu remedi yang
dilaksanakan secepatnya dan remedi yang dilaksanakan secara berlanjut;
f. Remedi yang dilakukan secepatnya berupa ganti kerugian (reparation) dalam bentuk:
i.

Restitusi (ganti kerugian) yang diberikan oleh korporasi atau lembaga yang dapat
dianggap

sebagai

penanggung

jawab

terjadinya

pelanggaran

HAM

yang

bersangkutan) kepada MHA, warganya, dan/atau keluarga warga (dalam hal warga
MHA yang bersangkutan telah meninggal), yang dapat berupa, antara lain
pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
kerusakan benda, dan pembayaran ganti kerugian atas kerusakan (harm) fisik
dan/atau mental atau atas biaya yang telah dikeluarkan oleh korban untuk
penyembuhannya.
ii.

Kompensasi (ganti kerugian) yang diberikan oleh Negara, dalam hal penanggung
jawab pemberian restitusi tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya
kepada korban dan penggantian biaya lain yang telah atau harus dikeluarkan oleh
korban sebagai akibat kerusakan (harm) yang dialaminya.

iii.

Rehabilitasi (pemulihan pada kedudukan semula dan/atau pemulihan kondisi semula,
sebelum terjadinya pelanggaran HAM), yang dapat berupa, antara lain pemulihan
kebebasan, pengembalian ke tempat tinggal semula, pemulihan lahan ke keadaan
semula termasuk pemulihan nama baik (dalam hal sebelumnya terjadi kriminalisasi
atau stigmatisasi), dan perbaikan prasarana kehidupan lainnya yang rusak oleh
pengambilalihan lahan yang bersangkutan.

iv.

Pemenuhan rasa keadilan (satisfaction), yang dapat berupa, antara lain,
a) Pengambilan tindakan efektif guna menghentikan berlangsungnya dan mencegah
berlanjutnya pelanggaran.
b) Penyelidikan peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM yang
bersangkutan dan pengungkapan kebenaran peristiwa yang bersangkutan.
c) Pencarian warga masyarakat hukum adat yang hilang (kalau ada).
d) Permintaan maaf secara publik atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan
kebebasan dasar yang dialami oleh sejumlah masyarakat hukum adat
e) Pengenaan sanksi hukum atau administrasi terhadap pelaku nyata pelanggaran HAM
yang bersangkutan.
f) Penyelenggaraan peringatan terjadinya pelanggaran HAM yang bersangkutan dan
penghormatan kepada korban dan/atau keluarganya.

v.

Akses ke peradilan yang setara dan efektif, antara lain, perlindungan korban,
keluarganya, dan masyarakat hukum adat umumnya terhadap intimidasi dan
kemungkinan pembalasan dan tindak kekerasan.

g. Remedi berlanjut :
i.

Akses ke pengadilan yang setara dan efektif, antara lain.

a) Penyuluhan tentang hak asasi manusia dan kebebasan dasar masyarakat hukum adat.
b) Bantuan kepada korban yang mencari akses ke peradilan.
c) Akses ke informasi yang relevan mengenai pelanggaran HAM masyarakat hukum
adat .

PENUTUP
Kesimpulan
Persoalan ketiadaan kepastian hukum tentang pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat, wilayah adat dan hak-hak tradisionalnya menjadi akar konflik dan pengabaian

hak masyarakat hukum adat di kawasan hutan. Tidak diakuinya batas-batas wilayah adat oleh
Negara berakibat pada perampasan wilayah adat masyarakat hukum adat. seperti di daerah
Sumbawa yang oleh pemerintah memberikan izin kepada PT Newmont Nusa Tenggara untuk
mengekplorasi kawasan di Elang Dodo yang selama ini ditempati oleh masyarakat hukum
adat setempat. Pemberian konsesi dan izin oleh Pemerintah kepada korporasi dan pemilik
modal untuk usaha-usaha yang bersifat ekstraktif dan eksploitatif atas tanah dan hutan di
wilayah masyarakat hukum adat menjadi penyebab konflik yang dapat menjadikan
masyarakat hukum adat sebagai korban pelanggaran HAM. Penyederhanaan masalah
keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya atas wilayah adat serta sumber daya
hutan disikapi oleh Pemerintah sebagai masalah yang bersifat administratif, bukan suatu
kewajiban penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM yang merupakan hak-hak
konstitusional masyarakat hukum adat dan warganya yang setara dengan warga negara
lainnya di Indonesia
Dalam perseteruan antara legalitas dan legitimitasi keberadaan hak-hak masyarakat
hukum adat, masyarakat hukum adat ditempatkan berhadapan dengan Pemerintah dan
pemegang izin/usaha kehutanan yang mendapatkan izin usaha dari pemerintah, serta
korporasi pertambangan dan perkebunan yang mendapatkan izin pinjam pakai dan tukarmenukar kawasan hutan dari Pemerintah. Hal ini menjadi persoalan mendasar yang
menjadikan masyarakat hukum adat sebagai pihak yang dikalahkan hak-haknya dan
diabaikan keberadaannya dalam pengambilan keputusan-keputusan penting atas masa depan
wilayah adatnya, di kala secara legal formal masyarakat hukum adat belum ditetapkan.
Sikap Pemerintah dan/atau aparat keamanan seharusnya menjadi pelindung
masyarakat hukum adat dan rakyat. Akan tetapi, dalam praktik mereka justru lebih
melindungi kepentingan korporasi/ pemegang izin daripada kepentingan masyarakat hukum
adat. Selain itu, konflik agraria telah mengakibatkan hilangnya peran-peran tradisional
mereka, termasuk pewarisan pengetahuan mereka kepada generasi penerus.
Pemerintah dan aparat keamanan mestinya mengantisipasi kemungkinan terjadinya
konflik horizontal antarsesama anggota masyarakat hukum adat atau antara masyarakat
hukum adat dan warga masyarakat lainnya akibat adanya penyikapan yang berbeda terhadap
kehadiran satu korporasi atau terhadap kebijakan pemerintah atas tanah/hutan masyarakat
hukum adat.
Saran

Untuk menghindari atau mengurangi adanya permasalahan agraria dalam masyarakat hukum
adat maka pemerintah perlu adanya pembaruan hukum yang mencakup tiga tataran (saling
terkait), yaitu Peraturan perundang-undangan; Pembaruan kebijakan; dan Kelembagaan.
Sehingga masyarakat hukum adat bisa mendapatkan kepastian dalam pengakuan wilayah
tempat tinggalnya dan bisa menjamin adanya kebebasan dalam mengelola dan hidup di
wilayah hukum adatnya sendiri tanpa adanya intimidasi dari berbagai pihak yang ingin
mendapatkan keuntungan baik secara pribadi maupun kelompok dengan mengabaikan hak
asasi manusia masyarakat hukum adat.

DAFTAR PUSTAKA
Salim HS. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertisasi. Jakarta:
Rajawali Pers

Muhammad Bakri. “Pembatasan Hak Menguasasi Tanah Oleh Negara dalam Hubungannya
dengan Hak Ulayat dan Hak Perorangan Atas Tanah”. Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Airlangga, Surabaya, 2006, hlm. ix-x.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
https://www.komnasham.go.id/. Diakses pada tanggal 26 Nopember 2016, 13:29:47
http://download.portalgaruda.org/. Diakses pada tanggal 21 Nopember 2016, 6:30:19